Anda di halaman 1dari 20

REFERAT

Guillain-Barre Syndrome

Disusun Oleh:
Dea Amelia Glorie 112022154

Pembimbing:
dr. Endang Kustiowati, Sp. S

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF


RS PANTI WILASA DR CIPTO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
PERIODE 10 APRIL 2023 – 13 MEI 2023
LEMBAR PENGESAHAN

Referat

Guillain-Barre Syndrome

Disusun oleh:

Dea Amelia Glorie

112022154

Telah diperiksa dan disahkan

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti dan menyelesaikan

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf

RS Panti Wilasa Dr. Cipto

Periode 10 April 2023-13 Mei 2023

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Kristen Krida Wacana

Semarang, 8 Mei 2023

dr. Endang Kustiowati, Sp. S

1
BAB I
PENDAHULUAN
Sindroma Guillain Barre atau secara klinis sering disebut “Poli Radikulo
Neuropati Inflamasi Demyelinating Polyneuropathy” yang disebut juga Acute
Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (AIDP) atau Post
Infections Polyneuritis yang dapat diartikan sebagai suatu kelainan akut dan difus
dari sistem saraf yang mengenai radiks spinalis, saraf perifer, dan kadang-kadang
saraf kranialis setelah suatu infeksi. Dahulu sindrom ini diduga disebabkan oleh
infeksi virus, tetapi akhir-akhir ini terungkap bahwa ternyata virus bukan sebagai
penyebab. Teori yang dianut sekarang ialah suatu kelainan imunobiologis baik
secara primary immune response maupun immune mediated process. Infeksi
saluran pernafasan dan gastrointestinal sering mendahului gejala neuropathy
dalam 1 sampai 3 minggu (kadang-kadang lebih lama) pada kira-kira 60%
penderita dengan Sindroma Gullain Barre. 1,2,3
SGB menyebabkan peningkatan frekuensi dari akut flaccid paralisis di
seluruh dunia dan mendasari satu dari keadaan darurat yang serius pada bidang
neurologi, 20% pasien berkembang menjadi kelumpuhan yang berat dan kira-kira
5% meninggal. SGB ini seringkali mencemaskan penderita dan keluarganya
karena terjadi pada usia produktif, apalagi pada beberapa keadaan dapat
menimbulkan kematian, meskipun pada umumnya mempunyai prognosa yang
baik. SGB perlu penanganan segera dengan tepat, karena dengan penanganan
cepat dan tepat, sebagian besar sembuh sempurna.1,2,3

2
BAB II
PEMBAHASAN

Definisi
Sindrom Guillain Barre (SGB) adalah inflamasi demielinisasi
polineuropati akut (AIDP) dengan karakterisitik gejala perifer akut dan disfungsi
saraf kranial dan sering dipicu oleh proses infeksi akut, infeksi akut ini
menyebabkan sistem kekebalan tubuh manusia menyerang bagian dari susunan
saraf tepi dirinya sendiri dan menyebabkan kerusakan pada saraf-saraf tersebut.2

Etiologi 3,4,18
Tidak ada etiologi yang akurat dan belum secara lengkap dapat
dimengerti namun sejumlah besar penelitian mengindikasikan bahwa
penyebabnya adalah inflamasi autoimun neuropati perifer, yang dipicu oleh
berbagai faktor termasuk infeksi bakteri ataupun virus, dan vaksinasi.
Agen spesifiknya tidak diketahui, terlihat pada infeksi citomegelovirus,
Epstein-Barr virus, dan HIV atau infeksi bakteri seperti mycoplasma pneumoni
dan lyme disease. Campylobacter Jejuni mungkin adalah bakteri yang paling
banyak dihubungkan dengan SGB.
Meskipun tidak terdapat bukti sensitisasi antigen virus maupun bakteri
pada manusia dengan SGB spontan, aktivitas penyakit ini terlihat berkorelasi
dengan adanya antibodi serum pada myelin saraf perifer sehingga menyebabkan
terjadinya peradangan dan kerusakan mielin.

Epidemiologi
Penyakit GBS sudah ada sejak tahun 1859. Nama Guillain Barre diambil
dari dua ilmuwan Perancis, Guillain dan Barre yang menemukan dua orang
prajurit perang di tahun 1916 yang mengindap kelumpuhan kemudian sembuh

3
setelah menerima perawatan medis. GBS termasuk penyakit langka dan terjadi
hanya 1 atau 2 kasus per 100.000 di dunia tiap tahunnya.21

Berdasarkan studi populasi, insiden GBS di Eropa dan Amerika Utara


dilaporan sebanyak 1,2 sampai 1,9 per 100.000 kasus penduduk tiap tahun,
sedangkan di dunia dilaporkan sebanyak 0,6-4 per 100.000 kasus. Terdapat
beberapa jenis penyakit ini, sindroma Fisher merupakan jenis yang paling sedikit
dengan insiden 0,1 per 100.000 kasus. Laki-laki 1,5 kali lebih banyak dari
perempuan dan insidennya meningkat berkaitan dengan usia, 1 per 100.000 pada
usia dibawah 30 tahun dan sekitar 4 per 100.000 kasus pada usia setelah 75
tahun. Dalam lima tahun ini dilaporkan bahwa insiden terbanyak terjadi pada
daerah yang rentan terjadi infeksi organisme dan wabah GBS, dilaporkan
berhubungan dengan infeksi Campylobacter jejuni. Meskipun organisme
patologis penyebabnya belum dapat diidentifikasikan biasanya agen infeksius
yang sering adalah virus Epstein-Barr, Mycoplasma pneumoniae,
Campylobacter jejuni and cytomegalovirus. Dan bisanya terjadi pada musim
panas yang merupakan infeksi sekunder dari C. jejuni. Dilaporkan juga bahwa
vaksinasi berhubungan dengan penyakit ini, seperti vaksinasi influenza,
termasuk vaksin flu burung, vaksin hepatitis dan vaksin meningitis.21,22

Patofisiologi
Patologi klasik pada acute inflammatory demyelinating polyneuropathy
adalah infiltasi sel-sel inflamasi (terutama sel T dan makrofag) dan area segmental
sarafnya mengalami proses demielinisasi, sering juga dihubungkan dengan tanda
degenerasi akson sekunder yang mana dapat dideteksi pada akar spinal sama
halnya pada saraf sensorik-motorik kecil maupun besar. T sel yang teraktivasi di
perifer, mengindikasikan terjadinya perubahan ekspresi antigen, major
histocompatibility complex (MHC) kelas II dan ko-stimulatori faktor, berbagai
sitokin proinflamasi seperti interferon gama (IFN) dan tumor necrosis faktor alpha

4
(TNF α) dan reseptor sitokin. Ini akan mengawali aktivasi daripada komplemen,
yang mengikat ikatan antibodi pada permukaan sel schwaan dan memulai
terjadinya vesikulasi dari myelin. Invasi makrofag diamati terjadi pada waktu 1
minggu sesudah kerusakkan myelin terjadi. 1,2,8
Pada neuropati aksonal motorik akut, IgG dan aktivasi komplemen
berikatan dengan aksolema pada serat motorik dari nodus ranvier, diikuti oleh
pembentukkan kompleks membrane-attack. Selanjutnya diikuti dengan degenerasi
akson dari serat motorik tanpa adanya inflamasi limfosit maupun demielinisasi.
1,2,8

Gambar 1. Kemungkinan patofisiologi dari Sindrom Guillain Barre1

5
6
Gambar 2. Patogenesis Guillain Barre Syndrome 13

Klasifikasi Subtipe 12
a. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP)
Mediasi oleh antibody, dipicu oleh infeksi virus atau bakteri sebelumnya,
gambaran elektrofisiologi berupa demielinisasi, remielinisasi muncul
setelah reaksi imun berakhir, merupakan tipe SGB yang sering dijumpai di
Eropa dan Amerika.
b. Acute motor axonal neuropathy (AMAN)
Bentuk murni dari neuropathy axonal, 67% pasien seropositif untuk
Campylobacteriosis, elektrofisiologi menunjukkan absen/turunnya saraf
motorik dan saraf sensorik, penyembuhan lebih cepat, sering terjadi pada
anak, merupakan tipe SGB yang sering di Cina dan Jepang.
c. Acute motor sensory axonal neuropathy (AMSAN)
Degenerasi myelin dari serabut saraf motorik dan sensorik, mirip dengan
AMAN hanya tipe ini juga mempengaruhi sensorik, seringkali terdapat
pada dewasa.
d. Miller Fisher Syndrome
Merupakan kelainan yang jarang dijumpai, berupa trias ataxia, areflexia
dan oftalmoplegia, dapat terjadi gangguan proprioseptif, resolusi dalam
waktu 1-3 bulan.
e. Acute panautonomic neuropathy
Varian yang paling jarang dari SGB, mempengaruhi system simpatis dan
parasimpatis, gangguan kardiovaskular (hipotensi, takikardi, hipertensi,
disaritmia), gangguan penglihatan berupa pandangan kabur, kekeringan
pada mata dan anhidrosis, penyembuhan bertahap dan tidak sempurna,
sering dijumpai juga gangguan sensorik.

7
Manifestasi Klinis
SGB merupakan penyebab paralisis akut yang dimulai dengan rasa baal,
parestesia pada bagian distal dan diikuti secara cepat oleh paralisis ke-empat
ekstremitas yang bersifat asendens.3,4,5,7,9 Parestesia ini biasanya bersifat bilateral.
Refleks fisiologis akan menurun dan kemudian menghilang sama sekali.
Kerusakan saraf motorik biasanya dimulai dari ekstremitas bawah dan menyebar
secara progresif ke ekstremitas atas, tubuh dan saraf pusat. Kerusakan saraf
motoris ini bervariasi mulai dari kelemahan sampai pada yang menimbulkan
quadriplegia flacid. Keterlibatan saraf pusat, muncul pada 50 % kasus, biasanya
berupa facial diplegia. Kelemahan otot pernapasan dapat timbul secara signifikan
dan bahkan 20 % pasien memerlukan bantuan ventilator dalam bernafas.3,7
Kerusakan saraf sensoris yang terjadi kurang signifikan dibandingkan
dengan kelemahan pada otot. Rasa sakit dan kram juga dapat menyertai
kelemahan otot yang terjadi terutama pada anak-anak. Kelainan saraf otonom
tidak jarang terjadi dan dapat menimbulkan kematian. Kelainan ini dapat
menimbulkan takikardi, hipotensi atau hipertensi, aritmia bahkan cardiac arrest,
facial flushing, sfingter yang tidak terkontrol, dan kelainan dalam berkeringat.3,5,7
Kerusakan pada susunan saraf pusat dapat menimbulkan gejala berupa
disfagia, kesulitan dalam berbicara, dan yang paling sering (50%) adalah bilateral
facial palsy. Gejala-gejala tambahan yang biasanya menyertai SGB adalah
kesulitan untuk mulai BAK, inkontinensia urin dan alvi, konstipasi, kesulitan
menelan dan bernapas, perasaan tidak dapat menarik napas dalam, dan
penglihatan kabur (blurred visions).3,5,7,9
Skala disabilitas syndrome Guillain Barre menurut Hughes:12
0 : Sehat
1 : Gejala minor dari neuropati, namun dapat melakukan pekerjaan
manual

8
2 : Dapat berjalan tanpa bantuan tongkat, namun tidak dapat melakukan
pekerjaan manual
3 : Dapat berjalan dengan bantuan tongkat atau alat penunjang
4 : Kegiatan terbatas di tempat tidur/ kursi (bed/ chair bound)
5 : Membutuhkan bantuan ventilasi
6 : Kematian

Diagnosis
Diagnosis dari SGB biasanya ditegakkan berdasarkan klinisnya. Gejala
klinis utama dari SGB adalah kelemahan bilateral yang progresif dan relatif
simetris dari anggota tubuh dengan atau tanpa keterlibatan dari otot respirasi atau
otot yang diinervasi saraf kranial.3,4,6,8
Diagnosis SGB sering secara langsung, terutama ketika kelemahan
didahului dengan infeksi antara 1-3 minggu, dari onset. Pada beberapa pasien
bagaimanpun, diagnosis dapat menjadi lebih sulit terutama ketika nyeri muncul
sebelum gejala kelemahan atau ketika kelemahan pada awalnya hanya muncul
pada kaki.3,4,6,7,8
Dari anamnesis dapat ditanyakan, ada atau tidaknya infeksi virus yang
mengawali 2-4 minggu sebelum muncul gejala, menanyakan ada atau tidaknya
retensi urin, untuk anak biasanya nyeri 50% sehingga membuat anak menjadi
rewel. Untuk pemeriksaan fisik pada Guillain Barre Syndrome didapatkan antara
lain: 3
a. Akut, simetris, dan kelemahan biasanya asendens dari anggota tubuh
b. Arefleksia atau hiporefleksia dan kelemahan otot, menurunnya posisi dan
sensasi getar
c. Paralisis otot pernapasan 30% jika tanpa terapi
d. Keterlibatan saraf kranial <50%, biasanya kelemahan wajah, 10-20%
ophthalmoparesis

9
e. Disautonomia (50%): tekanan darah yang labil, aritmia, ileus, retensi urin,
dapat terjadi quadriparesis yang berat hingga paralisis otot pernafasan.
f. Ataksia (23%).
Pemeriksaan laboratorium yang dapat menyokong diagnosis Sindroma
Guillain Barre adalah adanya disosiasi sito albuminemik yaitu adanya kenaikkan
jumlah protein didalam cairan serebrospinal tanpa adanya kenaikkan jumlah sel
yang melebihi 10 sel mononuclear per mm3, ini didapatkan pada 80 sampai 90%
dari pasien dengan SGB pada minggu pertama sesudah onset dari gejala.
Pemeriksaan darah tepi antara lain hemoglobin, leukosit dan laju endap darah
biasanya normal, kecuali ada infeksi pada paru-paru dan saluran kencing.3,4,6,7,8,9
Untuk pemeriksaan MRI, sebaiknya dilakukan pada hari ke-13 setelah
timbulnya gejala SGB. Pemeriksaan MRI dengan menggunakan kontras
gadolinium memberikan gambaran peningkatan penyerapan kontras di daerah
lumbosakral terutama di kauda equina. Sensitivitas pemeriksaan ini pada SGB
adalah 83%.3,6,7,8,9
Untuk follow-up dan pemeriksaan spesifik dari pasien SGB yang dapat
dipertimbangkan: 3,4
a. Tes spesifik. Titer serum anti-GM1 antibodi pada axonal yang berbeda.
30% pasien mempunyai peningkatan antibody anti-GM1.
b. Anti GQ1b pada ophthalmoplagia dari SGB (jenis Miller-Fisher)
c. Kelainan yang mungkin di dapatkan pada hasil laboratorium: demielinisasi
neuropati DM mungkin mempunyai hasil pemeriksaan CSF yang sama
dengan SGB, tetapi bagaimanapun SGB biasanya mempunyai protein CSF
tinggi ( > 0,4 g/dL).
d. Protein normal pada 50% pasien pada minggu pertama penyakit.
Kriteria diagnosis umum yang dipakai adalah kriteria dari National Institute
of Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS) yaitu:3
I. Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis:

10
 Terjadinya kelemahan yang progresif
 Hiporefleksi
II. Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis SGB:
a. Ciri-ciri klinis:
 Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat,
maksimal dalam 4 minggu, 50% mencapai puncak dalam 2
minggu, 80% dalam 3 minggu, dan 90% dalam 4 minggu.
 Relatif simetris
 Gejala gangguan sensibilitas ringan
 Gejala saraf kranial ± 50% terjadi parese N VII dan sering
bilateral. Saraf otak lain dapat terkena khususnya yang
mempersarafi lidah dan otot-otot menelan, kadang < 5% kasus
neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau saraf otak lain.
 Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti,
dapat memanjang sampai beberapa bulan.
 Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural,
hipertensi dan gejala vasomotor.
 Tidak ada demam saat onset gejala neurologis
b. Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa:
 Protein CSS meningkat setelah gejala 1 minggu.
 Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3
 Varian:
 Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu gejala
 Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3
c. Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosa:
 Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus.
Biasanya kecepatan hantar kurang 60% dari normal

11
Tatalaksana
1. Terapi Suportif
Pasien dengan SGB terutama membutuhkan perhatian yang
multidisiplin untuk mencegah dan menangani potensi komplikasi yang fatal.
Pasien membutuhkan kehati-hatian dan monitoring teratur dari fungsi paru
(kapasitas vital dan frekuensi respirasi) dan kemungkinan disfungsi autonom
(frekuensi denyut jantung dan tekanan darah) serta infeksi membutuhkan
pencegahan. Pasien dengan gejala yang berat juga membutuhkan ketepatan
waktu untuk memindahkan pasien ke Intensive Care Unit (ICU). 2,4,5,10
Seorang neurologi harus memonitor tanda klinis dari kegagalan
pernapasan seperti takipnea, penggunaan otot-otot aksesoris untuk
pernapasan, asinkronya gerakan dari dada dan perut serta takikardi. Pada
pasien dengan nyeri membutuhkan oral atau parenteral analgesik ataupun
dengan morfin intravena (1-7 mg/ jam). Gabapentin (15mg/kg/ hari)
dilaporkan efektif menurunkan nyeri pada pasien dengan SGB. Terapi
tambahan lainnya (mexiletine, tramadol, tricyclic antidepresan) mungkin
membantu pada jangka panjang dan jangka pendek dalam menangani nyeri
neuropati. Asetaminofen atau NSAID dapat juga dicoba pada terapi lini
pertama tetapi sering kali tidak efektif.2,3,4,7,10
2. Terapi khusus
Sekarang dua pilihan terapi yang tersedia termasuk plasmaparesis dan
intravenous immunoglobulin.
a. Plasmaferesis
Bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar.
Penggunaan plasmaferesis sebagai terapi pada SGB pertama kali
dilaporkan pada tahun 1978 yang kemudian mengarah kepada enam uji
klinis acak yang membandingkan antara plasmaferesis dengan terapi
suportif. Hasil yang didapat adalah terapi dengan plasmaferesis terbukti

12
efektif, sehingga pada tahun 1986 terapi plasmaferesis direkomendasikan
pada kasus SGB berat. Pengobatan dilakukan dengan mengganti 200-250
ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaferesis lebih bermanfaat bila
diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama). Bahan pengganti
plasma yang digunakan adalah albumin atau Fresh Frozen Plasma (FFP).
Pada proses plasmaferesis, plasma dipisahkan dalam mesin dialysis dan
kemudian diganti dengan albumin atau FFP, dengan demikian antigen
asing dalam plasma pasien dapat dibuang. 1,2,3,4,5,7,8,9,10,11,12,18
Pada plasmaferesis efek samping yang sering ditemui adalah hipotensi,
pneumonia, thrombosis, sepsis, dan gangguan hemodinamik. 12
b. Intravenous immunoglobulin (IVIg)
IVIg efektif sebagai pengganti plasma untuk terapi SGB. Pasien
dengan bentukkan klinis yang lebih berat, mungkin diuntungkan dengan
penggunaan IVIg karena durasinya yang lama pada tubuh dan juga karena
efek samping/komplikasi lebih ringan. Pemberian IVIg diduga dapat
menetralisasi antibody myelin yang beredar dengan berperan sebagai
antibody anti-idiotipik, menurunkan sitokin proinflammatory dan
menghadang kaskade komplemen serta mempercepat proses mielinisasi.
Dosis maintenance 0.4- 0,5 gr/kg BB/hari selama 4-5 hari dilanjutkan
dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh.
Bila dibandingkan dengan plasmaferesis, IVIg memiliki beberapa
kelebihan yaitu sediaan lebih muda didapat dan pemberiannya tidak
memerlukan alat khusus.1,2,3,4,5,7,8,9,10,11,12,18
Tabel 3. Penanganan SGB selama penyakit berlangsung7,18
Diagnosis:
 Diagnosis SGB didasarkan terutama dari temuan klinis dan CSS
 Investigasi laboratorium termasuk darah dan EMG
Berikan perawatan yang terbaik:
 Monitoring progesnya, pencegahan serta penanganan komplikasi yang

13
fatal, terutama:
 Monitor secara teratur fungsi paru (kapasitas vital, frekuensi
respirasi), diawali setiap 2-4 jam, pada fase stabil setiap 6-12
jam
 Cek disfungsi autonom (tekanan darah, pacu jantung, pupil dan
ileus)
 Cek disfungsi menelan
 Pengenalan dan terapi nyeri (guideline WHO). Coba untuk
hindari opioid
 Pencegahan (dan terapi) infeksi dan emboli paru
 Pencegahan dekubitus dan kontraktur
Pertimbangkan terapi spesifik dengan IVIg dan PE:
 Indikasi untuk memulai IVIg atau PE
 Pasien yang berat (pasien tidak mampu berjalan tanpa bantuan =
ketidakmampuan SGB skala 3)
 Mulainya terapi lebih baik dalam 2 minggu pertama sesudah
munculnya gejala
 IVIg: 0,4 g/kg untuk 5 hari
 PE: standar 5 x PE dengan total penggantian dari 5 volume plasma
 Tidak diketahui apakah IVIg efektif pada pasien SGB sedang (skala ≤
2) atau pasien MSF
 Indikasi untuk terapi ulangan dengan IVIg: perburukan sekunder
sesudah awalnya membaik atau stabil (terapi mengalami fluktuasi):
diterapi dengan 0,4 g/kg untuk 5 hari
 Tidak ada bukti efek dari terapi ulangan dengan IVIg pada pasien yang
berlanjut menjadi buruk.
Adakah indikasi untuk masuk ICU:
 Kelemahan berat yang progresnya cepat sering dengan kegagalan
respirasi
 Membutuhkan ventilasi buatan (mekanik)
 Penurunan refleks menelan dengan perkiraan infeksi yang tinggi
 Disfungsi autonom berat
 Penggunaan model prognostik untuk mendeterminasi indikasi untuk
ventilasi artificial
Fluktuasi dari penyakit atau berlanjut dengan progress yang lambat
 Pertimbangkan treatment-related fluctuation (TRF): terapi ulangan
14
 Pertimbangkan onset akut CIDP dan terapi yang sesuai
Rehabilitasi dan kelelahan:
 Mulailah fisioterapi sedini mungkin selama proses penyakit
 Memulai rehabilitasi saat penyembuhan dimulai.

Prognosis 3,4,7,18,19,20
Secara keseluruhan SGB mempunyai prognosis yang baik, sekitar 90
sampai 95% penderita akan mengalami penyembuhan sempurna 6 sampai 12
bulan. Bahaya yang paling besar dan mengancam jiwa penderita adalah pada fase
akut dimana dapat terjadi paralisis otot pernapasan dan aritmia jantung. Walaupun
mempunyai prognosis baik tapi pada sebagian kecil penderita dapat meninggal
atau mempunyai gejala sisa. 95% terjadi penyembuhan tanpa gejala sisa dalam
waktu 3 bulan, bila dengan keadaan antara lain:
a. Pada pemeriksaan NCV-EMG relatif normal
b. Mendapat terapi plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat onset
c. Progesifitas penyakit lambat dan pendek
d. Pada penderita berusia 30 – 60 tahun.
Tiga puluh persen pasien SGB mengalami kelemahan residual sesudah 3
tahun. Tiga persen mengalami relaps lemah otot dan sensasi tertusuk-tusuk
bertahun-tahun sesudah serangan awal.

15
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Guillain-Barre Syndrom (GBS) secara klinis digambarkan dengan
kelemahan motorik yang progresif dan arefleksia. Mekanisme autoimun dipercaya
bertanggung jawab atas terjadinya sindrom ini. Terapi farmakoterapi, terapi fisik,
dan prognosis GBS tergantung pada progresifitas penyakit, derajat degenerasi
aksonal, dan umur pasien.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Yuki N, MD, Hartung H P. Guillain Barre Syndrome. The new England


journal of medicine. 2012; 366: 2294-304. Available
from:http://www.aahs.org/medstaff/wp-content/uploads/guillain-
barresyndromenejm20121.pdf
2. Pithadia A B, Kakadia N. Guillain barre syndrome (GBS). Pharmacological
reports. 2010; 62: 220-32. Available from:
http://www.if-pan.krakow.pl/pjp/pdf/2010/2_220.pdf
3. Support and information for those affected by Guillain-Barré syndrome, CIDP
& associated inflammatory neurophaties. Issue 1.0. 2014. Available from:
http://www.gaincharity.org.uk/pdf/A4_GBS_16pp.pdf
4. Wakerley B R. Uncini A, Yuki N. Guillain barre and miller fisher syndromes-
new diagnostic classification. Nature review neurology. 2014; 10: 537-44 .
Available from:
http://static1.squarespace.com/static/53e0d272e4b0ea4fa48a8d40/t/545faddae
4b003a28634ed22/1415556570707/Wakerley+NatRevNeurol2014.pdf
5. Winer J B. An update in guillain barre syndrome. Hindawi publishing
corporation autoimmune disease. 2014. Available from:
http://downloads.hindawi.com/journals/ad/2014/793024.pdf
6. Israr Y A. Juraita, S Rahmat. Sindroma Guillain Barre. Faculty of medicine
Riau. 2009. Available from:
https://yayanakhyar.files.wordpress.com/2009/10/guillain_barre_syndrome_fil
es_of_drsmed.pdf
7. Walling A D, Dickson G. Guillain barre syndrome. American Family
Physician. 2013; 87(3): 191-97. Available from:
http://www.aafp.org/afp/2013/0201/p191.pdf

17
8. Van doorn P A. Diagnosis, treatment and prognosis of guillain barre syndrome
(GBS). Nature reviews neurology. 2013; 42: 193-201. Available from:
http://www.researchgate.net/profile/Pieter_Doorn/publication/
263935465_Guillain-
Barr_syndrome_Pathogenesis_diagnosis_treatment_and_prognosis/links/
54818cb70cf263ee1adfc7cd.pdf?
inViewer=true&&origin=publication_detail&inViewer=true
9. Beth A, Rosen. Guillain barre syndrome. American academy of pediatrics.
2012; 33(4): 164-71. Available from:
http://pedsinreview.aappublications.org/content/33/4/164.full.pdf
10. Rinaldi S. Update on guillain barre syndrome. Journal of the peripheral
nervous system. 2013; 18: 99-112. Available from:
http://www.readcube.com/articles/10.1111%2Fjns5.12020?
r3_referer=wol&tracking_action=preview_click&show_checkout=1&purchas
e_referrer=onlinelibrary.wiley.com&purchase_site_license=LICENSE_DENI
ED
11. Inawati. Sindrome Guillain Barre. Departemen patologi anatomi. 2011.
Available from: http://elib.fk.uwks.ac.id/asset/archieve/jurnal/Vol%20Edisi
%20Khusus%20Desember%202010/SINDROM%20GUILLAIN
%20BARRE.pdf
12. Lukito V, Mangunatmadja I, Pudjiadi A H, Puspandjono T M. Plasmaferesis
sebagai terapi syndrome guillain-barre berat pada anak. Sari pediatric. 2010;
11(06): 448-55
13. Sebastian S. A case of guillain-barre syndrome in a primary care setting. The
journal for nurse practitioners-JPN.2012; 8(8):643-8
14. Jarpadi, Iskandar. Sindoma Guillain Barre. Bagian Bedah Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2011.
15. Teguh, Dwi. Patofisiologi GBS. FKUWK. Surabaya. 2010.

18
16. Guillain Bare syndrome, an overview for the Layperson, 9 th Ed. GBS
Foundation 2010.
17. Radinal, dkk. GBS. Bagian neurologi fakultas kedokteran universitas
hasanudin. Makassar. 2012.
18. Machfoed H. Buku Ajar Ilmu penyakit saraf. Surabaya : FKUA. 2011.
19. Mardjono, M. Neurologi klinis dasar. Jakarta : Dian Rakyat. 2014.
20. Djmal N. Prognosis Guilain Barre Syndrome. Bagian neurologi fakultas
kedokteran universitas hasanudin. Makassar. 2011.
21. Pithadia AB, Kakadia N. 2010. Guillain-Barré syndrome (GBS).
Pharmacological Reports; 62 : 220-232.
22. Willson HJ, Jacobs BC, Doorn PA. 2016. Guillain-Barré syndrome. Seminar.
Lancet; 388: 717– 27.

19

Anda mungkin juga menyukai