Anda di halaman 1dari 17

Laporan Pendahuluan

Guillain Barre Syndrome (GBS)

1. Definisi Guillain Barre Syndrome

Guillain Barre Syndrome (GBS) / Sindroma Guillain Barre dapat diartikan


sebagai suatu kelainan akut dan difus dari sistem saraf yang mengenai radiks
spinalis, saraf perifer, dan kadang-kadang saraf kranialis setelah suatu infeksi (Muid,
2005). Sindroma ini merupakan masalah kesehatan yang serius yang terjadi ketika
system imun tubuh menyerang system saraf. Hal ini menyebabkan kelumpuhan otot
atau paralisis da gejala-gejala lainnya.(Jasmin, 2014) Sindroma ini juga sering
disebut sebagai Idiopahtic Polyneuritis, Acute Febrile Polyneuritis, Infective
Polyneuritis, Post Infectious Polyneuritis, Acute Inflammatory Demyelinating
Polyradiculoneuropathy, Guillain Barre Strohl Syndrome, Landry Ascending
Paralysis, dan Landry Guillain Barre Syndrome.

Parry mengatakan bahwa, GBS adalah suatu polineuropati yang bersifat


ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi
akut. Menurut Bosch, GBS merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya
paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun
dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis. (Japardi, 2002)

2. Klasifikasi

Guillain Barre Syndrome dapat diklasifikasikan sebagai berikut : (Davids, 2008;


Lewis, 2009)

1. Acute Motor-Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)

Sering muncul cepat dan mengalami paralisis yang berat dengan perbaikan yang
lambat dan buruk. Seperti tipe AMAN yang berhubungan dengan infeksi saluran
cerna C jejuni. Patologi yang ditemukan adalah degenerasi akson dari serabut
saraf sensorik dan motorik yang berat dengan sedikit demielinisasi.

2. Acute Motor-Axonal Neuropathy (AMAN)

Berhubungan dengan infeksi saluran cerna C jejuni dan titer antibody gangliosid
meningkat (seperti GMI, GDIa, GDIb). Penderita tipe ini memiliki gejala klinis
motorik dan secara klinis khas untuk tipe demielinisasi dengan asending dan
paralisis simetris. AMAN dibedakan dengan hasil studi elektrodiagnostik
dimana didapatkan adanya aksonopati motorik. Pada biopsy menunjukkan
degenerasi ‘wallerian like’ tanpa inflamasi limfositik. Perbaikannyacepat,
disabilitas yang dialami penderita selama kurang lebih 1 tahun.

3. Miller Fisher Syndrome

Variasi dari GBS yang umum dan merupakan 5% dari semua kasus GBS.
Sindroma ini terdiri dari ataksia, optalmoplegia dan arefleksia. Ataksia terlihat
pada gaya jalan dan pada batang tubuh, jarang yang mempengaruhi ekstremitas.
Motorik biasanya tidak terkena. Perbaikan sempurna terjadi dalam hitungan
minggu atau bulan.

4. Chronic Inflammatory Demyelinative Polyneuropathy (CIDP)

CIDP memiliki gambaran klinik seperti AIDP, tetapi perkembangan gejala


neurologinya bersifat kronik. Pada sebagian anak, kelainan motorik lebih
dominan dan kelemahan otot lebih berat pada bagian distal.

5. Acute Pandysautonomia

Tanpa sensorik dan motorik merupakan tipe GBS yang jarang terjadi. Disfungsi
dari system simpatis dan parasimpatis yang berat mengakibatkan terjadinya
hipotensi postural, retensi saluran kemih dan saluran cerna, anhidrosis,
penurunan salvias dan lakrimasi dan abnormalitas dari pupil.

3. Etiologi

Respon alergi atau respon autoimun sangat mungkin sekali. Beberapa penelitian
berkeyakinan sindroma tersebut mempunyai asal tetapi tidak ada virus dapat
diisolasi. Meskipun GBS sampai saat ini masih belum diketahui dengan pasti
penyebab dan masih menjadi perdebatan. Beberapa keadaan atau penyakit
mendahului dan mungkin ada hubungan dengan terjadinya GBS, antara lain :

1. Infeksi virus atau bakteri

GBS sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus
GBS yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai
4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas
atau infeksi gastrointestinal. Infeksi akut yang berhubungan dengan GBS :
a. Virus: CMV, EBV, HIV, Varicella-zoster, Vaccinia/smallpox, Influenza,
Measles, Mumps, Rubella, hepatitis, Coxsackie, Echo.
b. Bakteri: Campylobacter, Jejeni, Mycoplasma, Pneumonia, Typhoid,
Borrelia B, Paratyphoid, Brucellosis, Chlamydia, Legionella, Listeria.

2. Vaksinasi

3. Pembedahan, anestesi

4. Penyakit sistematik, seperti keganasan, Systemic Lupus


Erythematosus, tiroiditis, dan penyakit Addison

5. Kehamilan atau dalam masa nifas

6. Gangguan endokrin

4. Patofisiologi

Pada Guillaian Barre Syndrome selaput mielin yang mengelilingi akson hilang.
Selaput myelin cukup rentan terhadap cidera karena banyak agen dan kondisi,
termasuk trauma fisik, hipoksemia, toksik kimia, insufisiensi vaskuler dan reaksi
imunologi.

Akson bermielin mengkonduksi impul saraf lebih cepat dibanding akson tidak
bermielin. Sepanjang perjalanan serabut bermielin terjadi gangguan dalam selaput
tempat kontak langsung antara membrane sel akson dengan cairan ekstra seluler.
Membran sangat permiabel pada nodus tersebut sehingga konduksi menjadi baik.
Gerakan ion-ion masuk dan keluar akson dapat terjadi dengan cepat hanya pada
nodus ranvier, sehingga impuls saraf sepanjang serabut bermielin dapat melompat
dari satu nodus ke nodus lainnya dengan cukup kuat. Kehilangan selaput myelin
pada GBS membuat konduksi salfatori tidak mungkin terjadi, dan transmisi impul
saraf dibatalkan.

Pada umumnya penyakit ini didahului oleh infeksi influenza saluran pernapasan.
Pada saat inilah kita merasa nafas tersumbat seperti orang Flu. Setelah nafas
tersumbat di dalam tubuh terjadi reaksi autoimun, yakni sistem kekebalan tubuh
sendiri yang menyerang bagian dari ujung ujung saraf. Pada saat inilah terjadi
kesemutan. Karena kesemutan atau Parestesia itu timbul bila terjadi gangguan pada
serabut saraf. Pada penderita Guillaian Barre Syndrome yang akut, kesemutan tidak
hanya pada tangan tetapi bisa menjalar ke kaki hingga ke perut. Itulah sebabnya
penyakit Guillaian Barre Syndrome ini bisa menyebabkan kelumpuhan, bahkan bisa
juga menyebabkan kematian apabila Perusakan saraf pernafasan sudah mencapai
akar saraf di leher sehingga pasien kesulitasn bernafas dan menyebabkan kematian
mendadak. Proses demyelinisasi saraf tepi pada Guillaian Barre Syndrome
dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh
berbagai peristiwa sebelumnya yang paling sering infeksi virus.

5. Manifestasi Klinis

Guillain Barre Syndrome merupakan penyebab paralisis akut yang dimulai


dengan parestesia pada bagian distal dan diikuti secara cepat oleh paralisis keempat
ekstremitas yang bersifat asendens. Parastesia ini biasanya bersifat bilateral. Reflex
fisiologis akan menurun dan kemudian menghilang sama sekali. (NIDS, 2009)
Kerusakan saraf motorik biasanya dimulai dari ekstremitas bawah dan
menyebar secara progresif ke ekstremitas atas, tubuh dan saraf pusat. Kerusakan
saraf motoris ini bervariasi mulai dari kelemahan sampai pada yang menimbulkan
quadriplegia flaccid. Keterlibatan saraf pusat, muncul pada 50% kasus, biasanya
berupa facial diplegia. Kelemahan otot pernapasan dapat timbul secara signifikan
dan bahkan 20% pasien membutuhkan ventilator dalam bernapas. (Saharso, 2006;
Ramachandran, 2009)
Kerusakan saraf sensoris yang terjadi kurang signifikan dibandingkan dengan
kelemahan pada otot. Rasa sakit dan kram juga dapat menyertai kelemahan otot
yang terjadi terutama pada anak-anak. (Davids, 2008; Ramachandran, 2009)
Kelainan saraf otonom tidak jarang terjadi dan dapat menimbulkan kematian.
Kelainan ini dapat menimbulkan takikardi, hipertensi atau hipotensi, aritmia bahkan
cardiac arrest, facial flushing, sfingter yang tidak terkontrol, dan kelainan dalam
berkeringat. (Davids, 2008; Ramachandran, 2009)
Kerusakan pada susunan saraf pusat dapat menimbulkan gejala berupa
disfagia, kesulitan dalam berbicara dan yang paling sering adalah bilateral facial
palsy. (Ramachandran, 2009)
Gejala-gejala tambahan yang biasanya menyertai GBS adalah kesulitan untuk
mulai BAK, inkontinensia urin dan alvi, konstipasi, kesulitan menelan dan bernapas,
perasaan tidak dapat menarik napas dalam, dan penglihatan kabur (blurred visions).
(Davids, 2008)
Menurut National Institute of Neurological and Communicative Disorder and
Stroke (NICDS), manifestasi klinis dari GBS antara lain :
1. Progresifitas : gejala kelemahan motorik berlangsung cepat, maksimal
dalam 4 minggu, 50% mencapai puncak dalam 2 minggu, 80% dalam 3 minggu,
dan 90% dalam 4 minggu.
2. Hiporefleksi.
3. Gangguan sensibilitas ringan.
4. Gejala saraf cranial ±50% terjadi pada N VII dan sering bilateral. Saraf
otak lain dapat terkena khususnya yang mempersarafi lidahdan oto-otot
menelan, kadang <5% kasus neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau saraf
otak lain.
5. Pemulihan : dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti, dapat
memanjang sampai beberapa bulan.
6. Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural, hipertensi
dan gejala vasomotor.
7. Tidak ada demam saat onset gejala neurologis
8. Pada CSF :
a. Protein CSF meningkat setelah gejala 1 minggu atau terjadi
peningkatan pada LP serial.
b. Jumlah sel CSF < 10 MN/mm3
c. Varian :
i. Tidak ada peningkatan protein CSF setelah 1 minggu gejala
ii. Jumlah sel CSF : 11 – 50 MN/mm3
9. Gambaran elektrodiagnostik :
a. Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus. Biasanya
kecepatan hantar kurang dari 60% kecepatan hantar normal.

6. Karakteristik Guillain Barre Syndrome

Kriteria diagnosis sindrom Guillain Barre (Gilroy dan Mayer, 1979):


1. Kelumpuhan flaksid yang timbul secara akut, bersifat difus dan
simetris yang dapat disertai oleh paralysis fasialis bilateral.
2. Gangguan sensibilitas subjektif dan objektif biasanya lebih ringan dari
kelumpuhan motorik.
3. Pada sebagian besar kasus penyembuhan yang sempurna terjadi dalam
waktu 6 bulan.
4. Peningkatan kadar protein dalam cairan otak secara progresif dimulai
pada minggu kedua dari paralisis, dan tanpa atau dengan pleositosis ringan
(disosiasi sito albuminemik).
5. Demam subfebril atau sedikit peningkatan suhu selama
berlangsungnya kelumpuhan.
6. Jumlah leukosit normal atau limfositosis ringan, tanpa disertai dengan
kenaikan laju endap darah.
7. Fase Guillain Barre Syndrom

1. Fase awal, mulai dengan munculnya tanda-tanda kelemahan dan biasanya


tampak secara lengkap dalam 2-3 minggu. Ketika tidak terlihat penurunan lanjut,
kondisi ini tenang.

2. Fase kedua, berakhir beberapa hari sampai 2 minggu.

3. Fase penyembuhan, mungkin berakhir 4-6 bulan dan mungkin samai 2 tahun.
Penyembuhan adalah spontan dan komplet pada kebanyakan pasien, meskipun
ada beberapa gejala neurologis sisa dapat menetap.

8. Penatalaksaan Medis

Pada umumnya ada dua jenis pengobatannya adalah Plasma Exchange dan
Intravenous immunoglobulin. Kedua cara ini sama-sama efektif, walaupun ada pihak
tertentu yang mengklaim plasma exchange lebih baik, sedangkan di pihak lain
immunoglobulin lebih baik. Tetapi jika ada yang mengusulkan menggunakan kedua
cara tersebut secara bergantian maka sebaiknya anda jangan mau. pilihlah salah satu
cara saja. karena pengobatan ini mungkin harus dilakukan berkali kali, tergantung
dari keakutan GBS anda dan kestabilan kesehatan anda, jika anda sudah
memutuskan satu terapi lakukan terapi yang sama untuk selanjutnya.

Tujuan utama perawatan GBS adalah untuk memberikan pemeliharaan system


tubuh, menatasi krisis yang mengancam jiwa dan mencegah komplikasi dan infeksi,
memberikan dukungan psikologis pada pasien dan keluarga.

Jika Respirasi terkena dibutuhkan ventilasi mekanik, perlu dilakukan


trakeostomi jika pasien tidak dapat disapih dari ventilasi mekanik. Gagal nafas harus
diantisipasi karena tidak jelas sejauh mana para lisis akan terjadi. Jika saraf otonom
yang terkena akan terjadi perubahan drastic dalam tekanan darah dan frekuensi
jantung sehingga harus dipantau secara ketat.

Penatalaksanaan nyeri dapat menjadi bagian dalam pasien GBS. Beberapa obat
dapat memberikan penyembuhan sementara. Narkotik dapat diberikan pada malam
hari jika pasien tidak dapat mengkompensasi secara marginal karena norkotik dapat
meningkatkan gagal nafas. Biasanya pasien di intubasi kemudian diberikan narkotik.
Nutrisi yang adekuat harus dipertahankan, jika tidak mampu makan peroral dapat
dipasang NGT tetapi harus dipantau terjadinya infeksi, diare dan keseimbangan
elektrolit pasien.

9. Prognosis

Pada umumnya penderita mempunyai prognosa yang baik tetapi pada sebagian
kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. 95% terjadi
penyembuhan tanpa gejala dalam waktu 3 bulan dengan keadaan antara lain :

a. Pada pemeriksaan NCV-EMG relatif normal

b. Mendapat terapi plasma paresis dalam 4 minggu mulai saat onset

c. Progresifitas penyakit lambat dan pendek

d. Pada penderita berusia 30-60 tahun.

10. WOC
Konsep Asuhan Keperawatan

1 Pengkajian
Pengkajian keperawatan klien dengan GBS meliputi anamnesis riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik, dan pengkajian psikososial. Pengkajian
terhadap komplikasi GBS meliputi pemantauan terus-menerus terhadap ancaman
gangguan gagal napas akut yang mengancam kehidupan. Komplikasi lain mencakup
disritmia jantung, yang terlihat melalui pemantauan EKG dan mengobservasi klien
terhadap tanda trombosis vena profunda dan emboli paru-paru, yang sering mengancam
klien imobilisasi dan paralisis.
1. Anamnesis
a. Identitas klien, antara lain: nama, jenis kelamin, umur, alamat, pekerjaan,
agama, pendidikan, dsb.
b. Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan
kesehatan adalah berhubungan dengan kelemahan otot baik kelemahan fisik secara
umum maupun lokalis seperti melemahnya otot-otot pernapasan.
c. Riwayat Penyakit, meliputi:
1) Riwayat Penyakit Saat Ini
Keluhan yang paling sering ditemukan pada klien GBS dan merupakan
komplikasi yang paling berat dari GBS adalah gagal napas. Melemahnya otot
pernapasan membuat klien dengan gangguan ini berisiko lebih tinggi terhadap
hipoventilasi dan infeksi pernapasan berulang. Disfagia juga dapat timbul, mengarah
pada aspirasi. Keluhan kelemahan ekstremitas atas dan bawah hampir sama seperti
keluhan klien yang terdapat pada klien stroke. Keluhan lainnya adalah kelainan dari
fungsi kardiovaskular, yang mungkin menyebabkan gangguan sistem saraf otonom
pada klien GBS yang dapat mengakibatkan disritmia jantung atau perubahan drastis
yang mengancam kehidupan dalam tanda-tanda vital.
2) Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan adanya
hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi pernahkan klien
mengalami ISPA, infeksi gastrointestinal, dan tindakan bedah saraf. Pengkajian
pemakaian obat-obat yang sering digunakan klien, seperti pemakaian obat
kartikosteroid, pemakaian jenis-jenis antibiotik dan reaksinya (untuk menilai
resistensi pemakaian antibiotik) dapat menambah komprehensifnya pengkajian.
Pengkajian riwayat ini dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang
dan merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan
tindakan selanjutnya.
d. Pengkajian Psiko-sosio-spiritual
Pengkajian psikologis klien GBS meliputi beberapa penilaian yang
memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status
emosi, kognitif, dan perilaku klien. Pengkajian mekanisme koping yang digunakan
klien juga penting untuk menilai respons emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons
atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun
masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien, yaitu timbul ketakutan
akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara
optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh).
Pengkajian mengenai mekanisme koping yang secara sadar biasa digunakan klien
selama masa stres meliputi kemampuan klien untuk mendiskusikan masalah
kesehatan saat ini yang telah diketahui dan perubahan perilaku akibat stres.
Karena klien harus menjalani rawat inap maka apakah keadaan ini memberi
dampak pada status ekonomi klien, karena biaya perawatan dan pengobatan
memerlukan dana yang tidak sedikit. Perawat juga memasukkan pengkajian terhadap
fungsi neurologis dengan dampak gangguan neurologis yang akan terjadi pada gaya
hidup individu. Perspektif keperawatan dalam mengkaji terdiri dari dua masalah,
yaitu keterbatasan yang diakibatkan oleh defisit neurologis dalam hubungannya
dengan peran sosial klien dan rencana pelayanan yang akan mendukung adaptasi
pada gangguan neurologis di dalam sistem dukungan individu.
2. Pemeriksaan Fisik
a. B1 (Breathing)
Inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak
napas, penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan
karena infeksi saluran pernapasan dan paling sering didapatkan pada klien GBS
adalah penurunan frekuensi pernapasan karena melemahnya fungsi otot-otot
pernapasan. Palpasi biasanya taktil premitus seimbang kanan dan kiri.
Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada klien dengan GBS
berhubungan akumulasi sekret dari infeksi saluran napas.
b. B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler pada klien GBS didapatkan
bradikardi yang berhubungan dengan penurunan perfusi perifer. Tekanan darah
didapatkan ortostatik Hipotensi atau TD meningkat (hipertensi transien)
berhubungan dengan penurunan reaksi saraf simpatis dan parasimpatis.
c. B3 (Brain)
Merupakan pengkajian focus meliputi :
a. Tingkat kesadaran
Pada klien GBS biasanya kesadaran compos mentis (CM). Apabila klien
mengalami penurunan tingkat kesadaran maka penilaian GCS sangat penting
untuk menilai dan sebagai bahan evaluasi untuk monitoring pemberian asuhan
keperawatan.
b. Fungsi serebri
Status mental : observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai
gaya bicara klien dan observasi ekspresi wajah, dan aktivitas motorik yang pada
klien GBS tahap lanjut disertai penurunan tingkat kesadaran biasanya status
mental klien mengalam perubahan.
c. Pemeriksaan saraf cranial
 Saraf I. Biasanya pada klien GBS tidak ada kelainan dan fungsi
penciuman
 Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.
 Saraf III, IV, dan VI. Penurunan kemampuan membuka dan menutup
kelopak mata, paralis ocular.
 Saraf V. Pada klien GBS didapatkan paralis pada otot wajah sehingga
mengganggu proses mengunyah.
 Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris
karena adanya paralisis unilateral.
 Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
 Saraf IX dan X. paralisi otot orofaring, kesukaran berbicara,
mengunyah, dan menelan. Kamampuan menelan kurang baik sehngga
mengganggu pemenuhan nutrisi via oral.
 Saraf XI. Tidak ada atrof otot sternokleinomastoideus dan
trapezius.kemampuan mobliisasi leher baik.
 Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada
fasikulasi. Indra pengecapan normal.
d. System motoric
Kekuatan otot menurun, control keseimbangan dan koordinasi
pada klien GBS tahap lanjut mengalami perubahan. Klien mengalami
kelemahan motorik secara umum sehingga menggaganggu moblitas
fisik .
e. Pemeriksaan reflexs
Pemeriksaan reflex dalam, pengetukan pada tendon,
ligamentum, periosteum derajat reflexs dalam respons normal.
f. Gerakan involunter
Tidak ditemukan adanya tremor, kejang, Tic,dan distonia.
g. System sensorik
Parestesia (kesemutan kebas) dan kelemahan otot kaki, yang
dapat berkembang ke ekstrimtas atas, batang tubuh, dan otot wajah.
Klien mengalami penurunan kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri,
dan suhu.
d. B4 (Bladder)
Terdapat penurunan volume haluaran urine, hal ini berhubungan
dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.
e. B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi
asam lambung. Pemenuhan nutris pada klien GBS menurun karena
anoreksia dan kelemahan otot-otot pengunyah serta gangguan proses
menelan menyebabkan pemenuhan via oral kurang terpenuhi.
f. B6 (Bone)
Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran
menururnkan mobilitas pasien secara umum. Dalam pemenuhan kebutuhan
sehari-hari klien lebh banyak dibantu orang lain.
3. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis GBS sangat bergantung pada riwayat penyakit dan
perkembangan gejala-gejala klinik.
1. Lumbal pungsi dapat menunjukkan kadar protein normal pada awalnya
dengan kenaikan pada mnggu ke-4 sampai ke-6. Cairan spinal
memperlihatkan adanya peningkatan konsentrasi protein dengan
menghitung jumlah sel normal
2. Pemeriksaan Konduksi Saraf mencatat transmisi impuls sepanjang
serabut saraf. Pengujan elektrofisiologis diperlihatkan dalam bentuk
lambatnya laju konduksi saraf. Sekitar 25% orang dengan penyakit ini
mempunyai antibody baik terhadap cytomegalovirus atau virus Epstein-
Barr. Telah ditunjukkan bahwa perubahan respons imun pada antigen saraf
tepi menunjang perkembangan gangguan.
3. Uji fungsi pulmonal dapat dilakukan jika GBS terduga, sehingga dapat
ditetapkan nilai dasar untuk perbandingan sebagai kemajuan penyakit.
Penurunan kapasitas pulmonal dapat menunjukkan kebutuhan akan
ventilasi mekanik.
4. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul yakni :
 Pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan kelemahan progresif cepat
otot-otot pernapasan dan ancaman gagal pernapasan
 Resiko tinggi penurunan curah jantung yang berhubungan dengan perubahan
frekuensi, irama, dan konduksi listrik jantung.
 Resiko gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan
dengan ketidakmampuan mengunyah dan menelan makanan.
 Gangguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan
neuromuscular, penurunan kekuatan otot, dan penurunan kesadaran.
 Cemas yang berhubungan dengan kondisi sakit dan prognosis penyakit yang
buruk.
5. Intervensi Keperawatan
Pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan kelemahan progresif cepat otot-otot
pernapasan dan ancaman gagal pernapasan
Tujuan : dalam waktu 3x24 jam setelah diberikan tindakan pola napas kembali efektif.
Kriteria hasil : secara subjektif sesak napas (-), RR 16-20x/menit. Tidak menggunakan otot
bantu pernapasan, gerakan dada normal
Intervensi Rasional
Kaji fungsi paru, adanya bunyi napas
Menjadi parameter monitoring serangan gagal
tambahan, perubahan irama dan kedalaman,
napas dan menjadi data dasar intervensi
penggunaan otot bantu pernapasan
selanjutnya
Evaluasi keluhan sesak napas bak secara
Tanda dan gejala meliputi adanya kesukaran
verbal maupun nonverbal
bernapas saat bicara, pernapasan dangkal dan
ireguler,takikardia dan perubahan pola napas.
Beri ventilasi mekanik
Ventilasi mekanik digunakan jika pengkajian
sesuai kapasitas vital, klien memperlihatkan
perkembangan kearah kemunduran, yang
mengndikasikan kearah memburuknya
kekuatan otot pernapasan
Lakukan pemeriksaan kapasitas vital Penurunan kapasitas vital dhubungkan dengan
pernapasan kelemahan otot-otot pernapasan saat
menelan,sehingga hal ini menyebabkan
kesukaran saat batuk dan menelan, dan adanya
indikasi memburuknya fungsi pernapasan.

Kolaborasi : Membantu pemenuhan oksigen yang sangat


Pemberian humidifikasi oksigen 3L/Menit dperlukan tubuh dengan kondisi laju
metabolism sedang meningkat

Resiko tinggi penurunan curah jantung yang berhubungan dengan perubahan frekuensi,
irama, dan konduksi listrik jantung.
Tujuan : penurunan curah jantung tidak terjadi
Kriteria hasil : stabilitas hemodinamik baik

Intervensi Rasional
Auskultasi TD, bandingkan kedua lengan, ukur Hipotensi dapat terjadi sampai dengan
dalam keadaan berbaring, duduk, atau berdiri disfungsi ventrikel, hipertensi juga fenomena
bila memungkinkan umum karena nyeri cemas pengeluaran
katekolamin.

Evaluasi kualitas dan kesamaan nadi Penurunan curah jantung mengakibatkan


menurunnya kekuatan nadi.
Catat murmur
Menunjukkan gangguan aliran darah dalam
jantung, (kelainan katup, kerusakan septum,
atau fibrasi otot papilar).

Pantau frekuensi jantung dan irama Perubahan frekuensi dan irama jantung
menunjukkan komplikasi disritma.
Kolaborasi :
Berikan O2 tambahan sesuai indikasi Dapat meningkatkan saturasi oksgean dalam
darah

Resiko gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan
ketdakmampuan mengunyah dan menelan makanan
Tujuan : pemenuhan nutrisi klien terpenuhi
Kriteria hasil : setelah dirawat tiga hari klien tidak terjadi komplikasi akibat penurunan asupan
nutrisi
Intervensi Rasional
Kaji kemampuan klien dalam pemenuhan Perhatian yang diberikan untuk nutrisi yang
nutrisi klien oral adekuat dan pencegahan kelemahan otot
karena kurang makanan.

Ilius paralisis dapat disebabkan oleh


Monitor komplikasi akibat paralisis akibat
insufisiensi aktivitas parasimpatis. Dalam
insufisisensi aktivitas parasimpatis
kejadian ini, makanan melalui
intravena dipertimbangkan diberikan oleh
dokter dan perawat mementau bising usus
sampai terdengar

Berikan nutrisi via NGT Indikasi jika klien tidak mampu menelan
melalui oral
Berikan nutrisi via oral bila paralis menelan Bila klien dapat menelan, makanan melalui
berkurang oral diberikan perlahan-lahan dan sangat hati-
hati

Gangguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan neuromuscular,


penurunan kekuatan otot, penurunan kesadaran
Tujuan : dalam waktu 3x24 jam setelah diberikan tindakan mobilitas klien meningkat atau
teradaptasi
Kriteria hasil : peningkatan kemampuan dan tidak terjadi thrombosis vena profunda dan emboli
paru merupakan ancaman klien paralisis yang tidak mampu menggerakkan ekstremitas,
dekubitus tidak terjadi
Intervensi Rasional
Kaji tingkat kemampuan klien dalam melakukan Merupakan data dasar untuk melakukan
mobilitas fisik intervensi selanjutnya
Dekatkan alat dan sarana yang dibutuhkan klien Bila pemulihan mulai untuk dlakukan, klien
dalam pemenuhan aktivitas sehari-hari dapat hipotensi ortostatik ( dari disfungsi
otonom ) dan kemungkinan membutuhkan
meja tempat tidur untuk menolong mereka
mengambil posisi duduk tegak
Hindari factor-faktor yang memungkinkan
Individu paralisis mempunyai kemungkinan
terjadinya trauma pada saat klien melakukan
mengalalmi kompresi neuropati, paling
mobilisasi
sering saraf ulnar dan peritonial

Ekstremitas paralisis disokong dengan posisi


Sokong ekstremitas yang mengalami paralisis
fungsional dan memberikan latihan rentang
gerak secara pasif paling sedikit dua kali
sehari
Monitor komplikasi gangguan mobilitas fisik
Deteksi awal thrombosis vena profunda dan
dekubitus sehingga dengan penemuan yang
cepat penanganan lebih mudah dilaksanakan.

Kolaborasi dengan tim fisisoterapis Mencegah deformities kontraktur dengan


menggunakan pengubahan posisi yang hati-
hati dean lathan rentang gerak

Cemas yang berhubungan dengan kondisi sakit dan prognosis penyakit yang buruk
Tujuan : dalam waktu 1x24 jam setelah diberikan intervensi kecemasan hilang atau berkurang
Kriteria hasil : mengenal perasaannya, dapat mengidentifikasi penyebab atau factor yang
mempengaruhinya, dan menyatakan cemas berkurang
Intervensi Rasonal
Bantu klien mengekspresikan perasaan marah, Cemas berkelanjutan dapat memberikan
kehilangan, dan takut dampak serangan jantung selanjutnya

Kaji tanda verbal dan non verbal kecemasan, Reaksi verbal atau nonverbal dapat
dampingi klien, dan lakukan tundakan bila menunjukkan rasa agitasi, marah dan gelisah
menunjukkan perilaku merusak
Hindari konfrantasi Konfrontasi dapat meningkatkan rasa marah,
menurunkan kerja sama, dan mungkin
memperlambat penyembuhan

Mulai melakukan tindakkan untuk mengurangi Mengurangi rangsangan eksternal yang tidak
kecemasan. Beri lingkungan yang tenang dan perlu
suasana penuh istirahat
Orientasikan klien terhadap prosedur rutin dan Orientasi dapat menurunkan kecemasan
aktivitas yang diharapkan

DAFTAR PUSTAKA

Evidence Center. 2011 . Available from: http:’.bestprice.bmj.com/best-


practice/monograph/basics/epidemio1ogy.htmldiakses tangal 14 september 2015

Japardi . Sindroma Guillan-Barre. FK USU Bagian Bedah. Available from: URL:


http://1ibrary.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi46.pdf

Mardjono M, Sidharta P. 2000. Neurologi Klinis Dasar. Edisi VIII, Jakarta : Dian Rakyat.

Muid Masdar, 2013, manifestasi klinis dan laboratoris penderita sindroa guillain barre di
ruang perawatan anak RSU dr. Saiful anwar Malang. SMF ilmu kesehatan anak
RSU dr. Saiful Anwar. Malang

Anda mungkin juga menyukai