Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN DAN KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN GBS

( Gullain - Barre Syndrome)

OLEH
SARCIANI SUHARTINI KASE
200714901511

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


STIKES WIDYAGAMA HUSADA
MALANG
2021
1. Definisi

Guillain – Barre Syndrome adalah suatu kelainan sistem saraf akut dan
difus yang biasanya timbul setelah suatu infeksi atau diakibatkan oleh autoimun,di
mana proses imunologis tersebut langsung mengenai radiks spinalis dan saraf
perifer, dan kadang-kadang juga saraf kranialis. Saraf yang diserang bukan hanya
yang mempersarafi otot, tetapi bisa juga indera peraba sehingga penderita
mengalami baal atau mati rasa. Fase awal dimulai dengan munculnya tanda –
tanda kelemahan dan biasanya tampak secara lengkap dalam 2 – 3 minggu. Ketika
tidak terlihat penurunan lanjut, kondisi ini tenang. Fase kedua berakhir beberapa
hari sampai 2 minggu. Fase penyembuhan ungkin berakhir 4 – 6 bulan dan
mungkin bisa sampai 2 tahun. Penyembuhan adalah spontan dan komplit pada
kebanyakan pasien, meskipun ada beberapa gejala neurologis, sisa dapat menetap
(Japardi, 2010).
Guillain – Barre Syndrome (GBS) adalah sindrom klinis yang penyebabnya
tidak diketahui secara pasti ditunjukkan oleh awitan akut dari gejala-gejala yang
mengenai saraf perifer dan kranial. Proses penyakit mencakup demielinisasi dan
deg
Guillain – Barre Syndrome (GBS) adalah salah satu penyakit saraf, juga
merupakan salah satu polineuropati karena hingga sekarang belum dapat
diapstikan penyebabnya. Namun kebanyakan kasus terjadi sesudah proses infeksi
diduga GBS terjadi karena sistem kekebalan tidak berfungsi. Gejalanya adalah
kelemahan otot (parese hingga plegia), biasanya perlahan mulai dari bawah
atas. Jadi gejala awalnya biasanya tidak bisa berjalan atau gangguan berjalan.
Sebaliknya penyembuhannya diawalai dari bagian atas tubuh ke bawah sehingga
bila ada gejala sisa biasanya gangguan berjalan (Fredericks et all, dalam Ikatan
Fisioterapi Indonesia, 2007).
Berdasarkan beberapa pengertian diatas maka dapat diambil kesimpulan
bahwa GBS merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis yang
terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah
saraf perifer dan nervus kranialis.

2. Klasifikasi
Menurut Lewis (2009) klasifikasi dari Guillain – Barre Syndrome (GBS)
adalah sebagai berikut :
a. Acute Motor-Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)
Sering muncul cepat dan mengalami paralisis yang berat dengan
perbaikan yang lambat dan buruk. Seperti tipe AMAN yang berhubungan
dengan infeksi saluran cerna C jejuni. Patologi yang ditemukan adalah
degenerasi akson dari serabut saraf sensorik dan motorik yang berat dengan
sedikir demielinisasi.
b. Acute Motor-Axonal Neuropathy (AMAN)
Berhubungan dengan infeksi saluran cerna C jejuni dan titer antibody
gangliosid meningkat (seperti, GM1, GD1a, GD1b). Penderita tipe ini memiliki
gejala klinis motorik dan secara klinis khas untuk tipe demielinisasi dengan
asending dan paralysis simetris. AMAN dibedakan dengan hasil studi
elektrodiagnostik dimana didapatkan adanya aksonopati motorik. Pada biopsy
menunjukkan degenerasi ‘wallerian like’ tanpa inflamasi limfositik.
Perbaikannya cepat, disabilitas yang dialami penderita selama lebih kurang 1
tahun.

c. Miller Fisher Syndrome


Variasi dari SGB yang umum dan merupakan 5 % dari semua kasus
GBS. Sindroma ini terdiri dari ataksia, optalmoplegia dan arefleksia. Ataksia
terlihat pada gaya jalan dan pada batang tubuh dan jarang yang meliputi
ekstremitas. Motorik biasanya tidak terkena. Perbaikan sempurna terjadi
dalam hitungan minggu atau bulan.
d. Chronic Inflammatory Demyelinative Polyneuropathy (CIDP)
CIDP memiliki gambaran klinik seperti AIDP, tetapi perkembangan
gejala neurologinya bersifat kronik. Pada sebagian anak, kelainan motorik
lebih dominant dan kelemahan otot lebih berat pada bagian distal
e. Acute pandysautonomia
Tanpa sensorik dan motorik merupakan tipe SGB yang jarang terjadi.
Disfungsi dari sistem simpatis dan parasimparis yang berat mengakibatkan
terjadinya hipotensi postural, retensi saluran kemih dan saluran cerna,
anhidrosis, penurunan salvias dan lakrimasi dan abnormalitas dari pupil.

3. Etiologi
Etiologi Guillain – Barre Syndrome sampai saat ini masih belum dapat
diketahui dengan pasti dan masih menjadi bahan perdebatan. Teori yang dianut
sekarang ialah suatu kelainan imunobiologik, baik secara primary immune
response maupun immune mediated process. Periode laten antara infeksi dan
gejala polineuritis memberi dugaan bahwa kemungkinan kelainan yang terdapat
disebabkan oleh suatu respons terhadap reaksi alergi saraf perifer. Pada banyak
kasus, infeksi sebelumnya tidak ditemukan namun terdapat gangguan di medula
spinalis dan medula oblongata (Japardi, 2002).
Beberapa keadaan/ penyakit yang mendahului dan mungkin ada
hubungannya dengan terjadinya GBS, antara lain (Japardi, 2002) :
a. Infeksi virus atau bakteri
GBS sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik.
Insidensi kasus GBS yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% -
80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi
saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal. Infeksi akut yang
berhubungan dengan GBS :
b. Vaksinasi
c. Pembedahan, anestesi
d. Penyakit sistematik, seperti keganasan, Systemic Lupus Erythematosus,
tiroiditis, dan penyakit Addison
e. Kehamilan atau dalam masa nifas
f. Gangguan endokrin

4. Manifestasi Klinis
a. Masa laten
Waktu antara terjadi infeksi atau keadaan prodromal yang mendahuluinya
dan saat timbulnya gejala neurologis. Lamanya masa laten ini berkisar antara
satu sampai 28 hari, rata-rata 9 hari. Pada masa laten ini belum ada gejala
klinis yang timbul.

b. Gejala Klinis
1) Kelumpuhan
Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower
motor neurone dari otot-otot ekstremitas, badan dan kadang-kadang juga
muka. Pada sebagian besar penderita, kelumpuhan dimulai dari kedua
ekstremitas bawah kemudian menyebar secara asenderen ke badan,
anggota gerak atas dan saraf kranialis. Kadang-kadang juga bisa keempat
anggota gerak dikenai secara serentak, kemudian menyebar ke badan dan
saraf kranialis. Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh
hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot bagian
proksimal lebih berat dari bagian distal, tetapi dapat juga sama beratnya,
atau bagian distal lebih berat dari bagian proksimal
2) Gangguan sensibilitas
Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka juga
bisa dikenai dengan distribusi sirkumoral. Defisit sensoris objektif biasanya
minimal dan sering dengan distribusi seperti pola kaus kaki dan sarung
tangan. Sensibilitas ekstroseptif lebih sering dikenal dari pada sensibilitas
proprioseptif. Rasa nyeri otot sering ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu
aktifitas fisik.

3) Saraf Kranialis
Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan otot-
otot muka sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi
bilateral, sehingga bisa ditemukan berat antara kedua sisi. Semua saraf
kranialis bisa dikenai kecuali N.I dan N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat
terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan
gangguan berupa sukar menelan, disfonia dan pada kasus yang berat
menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis nervus laringeus.

4) Gangguan fungsi otonom


Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita GBS. Gangguan
tersebut berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi
merah (facial flushing), hipertensi atau hipotensi yang berfluktuasi,
hilangnya keringat atau episodic profuse diaphoresis. Retensi urin atau
inkontinensia urin jarang dijumpai. Gangguan otonom ini jarang yang
menetap lebih dari satu atau dua minggu.

5) Kegagalan pernafasan
Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat
fatal bila tidak ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini disebabkan
oleh paralisis diafragma dan kelumpuhan otot-otot pernafasan, yang
dijumpai pada 10-33 persen penderita.
6) Papiledema
Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui
dengan pasti. Diduga karena peninggian kadar protein dalam cairan otot
yang menyebabkan penyumbatan villi arachoidales sehingga absorbsi
cairan otak berkurang.
Infeksi pernafasan ringan atau infeksi GI, pembedahan,

WOC imunisasi, penyakit Hodgkin, limfoma, lupus Eritematosus.

Proses Inflamasi.

Reaksi sel imono.

Menyerang Mielin

Cidera dimelinasi
Kecemasan Proknosis penyakit GBS (Guillain Bare
yang kurang baik
Syndrome)

B 1: BREATHING B 2: BLOOD B3: BRAIN B4: bladder B5: bowel B6: bone &
integument
Gangguan saraf perifer Disfungsi Sistem gangguan fungsi Kerusakan neuro
Saraf Otonomik Kerusakan neuro
saraf kranial muskular muskular Gangguan saraf
perifer dan neuro
Paralisis otot pernapasan
penumpukan vaskular Kehilangan sensasi dan muscular
Pelepasan Imobilisasi
Insufisiensi pernapasan reseptor nyeri reflek sfingter
Penurunan aliran Bradikinin kelemahan otot
darah balik vena Prostaglandin Inkontinensia urin Penurunan peristaltic
Ketidak efektifan pola usus
Imobilitas
pernapasan
Gangguan perfusi Nyeri
jaringan Konstipasi
Penekanan daerah
tertentu

Resiko kerusakan
integritas kulit
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan neurologis ditemukan adanya kelemahan otot
yang bersifat difus dan paralisis. Refleks tendon akan menurun atau
bahkan menghilang. Batuk yang lemah dan aspirasi mengindikasikan
adanya kelemahan pada otot-otot intercostal. Tanda rangsang
meningeal seperti perasat kernig dan kaku kuduk mungkin ditemukan.
Refleks patologis seperti refleks Babinsky tidak ditemukan.
b. Pemeriksaan laboratorium
Gambaran laboratorium yang menonjol adalah peninggian kadar
protein dalam cairan otak (> 0,5 mg%) tanpa diikuti oleh peninggian
jumlah sel dalam cairan otak, hal ini disebut disosiasi sito-albuminik.
Peninggian kadar protein dalam cairan otak ini dimulai pada minggu 1-2
dari onset penyakit dan mencapai puncaknya setelah 3-6 minggu.
Jumlah sel mononuklear < 10 sel/mm3. Walaupun demikian pada
sebagian kecil penderita tidak ditemukan peninggian kadar protein
dalam cairan otak. Imunoglobulin serum bisa meningkat. Bisa timbul
hiponatremia pada beberapa penderita yang disebabkan oleh SIADH
(Sindroma Inapproriate Antidiuretik Hormone).
c. Pemeriksaan elektrofisiologi (EMG)
Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis GBS
adalah kecepatan hantaran saraf motorik dan sensorik melambat. Distal
motor retensi memanjang kecepatan hantaran gelombang-f melambat,
menunjukkan perlambatan pada segmen proksimal dan radiks saraf. Di
samping itu untuk mendukung diagnosis pemeriksaan elektrofisiologis
juga berguna untuk menentukan prognosis penyakit : bila ditemukan
potensial denervasi menunjukkan bahwa penyembuhan penyakit lebih
lama dan tidak sembuh sempurna.
d. Pemeriksaan LCS
Dari pemeriksaan LCS didapatkan adanya kenaikan kadar protein
( 1 – 1,5 g/dl ) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oleh
Guillain (1961) disebut sebagai disosiasi albumin sitologis. Pemeriksaan
cairan cerebrospinal pada 48 jam pertama penyakit tidak memberikan
hasil apapun juga. Kenaikan kadar protein biasanya terjadi pada minggu
pertama atau kedua. Kebanyakan pemeriksaan LCS pada pasien akan
menunjukkan jumlah sel yang kurang dari 10/mm3 (albuminocytologic
dissociation).
e. Pemeriksaan MRI
Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika
dilakukan kira-kira pada hari ke-13 setelah timbulnya gejala. MRI akan
memperlihatkan gambaran cauda equina yang bertambah besar. Hal ini
dapat terlihat pada 95% kasus SGB.
1) Pemeriksaan serum CK biasanya normal atau meningkat sedikit.
2) Biopsi otot tidak diperlukan dan biasanya normal pada stadium awal.
Pada stadium lanjut terlihat adanya denervation atrophy.

7. Penatalaksanaan
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri.
Pengobatan secara umum bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa
penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang
cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga
pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi
beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas
(imunoterapi) (Japardi, 2002).
a. Sindrom, Guillain Barre dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis
dan pasien diatasi di unit perawatan intensif (Japardi, 2002)
1) Pengaturan jalan napas
Respirasi diawasi secara ketat terhadap perubahan kapasitas vital
dan gas darah yang menunjukkan permulaan kegagalan
pernafasan. Setiap ada tanda kegagalan pernafasan maka
penderita harus segera dibantu dengan oksigenasi dan pernafasan
buatan. Trakheotomi harus dikerjakan atau intubasi penggunaan
ventilator jika pernafasan buatan diperlukan untuk waktu yang lama
atau resiko terjadinya aspirasi. Walaupun pasien masih bernafas
spontan, monitoring fungsi respirasi dengan mengukur kapasitas
vital secara regular sangat penting untuk mengetahui progresivitas
penyakit.
2) Pemantauan EKG dan tekanan darah
Monitoring yang ketat terhadap tekanan darah dan EKG sangat
penting karena gangguan fungsi otonom dapat mengakibatkan
timbulnya hipotensi atau hipertensi yang mendadak serta gangguan
irama jantung. Untuk mencegah takikardia dan hipertensi,
sebaiknya diobati dengan obat-obatan yang waktu kerjanya pendek
(short-acting), seperti : penghambat beta atau nitroprusid,
propanolol. Hipotensi yang disebabkan disotonomi biasanya
membaik dengan pemberian cairan iv dan posisi terlentang
(supine). Atropin dapat diberikan untuk menghindari episode
brakikardia selama pengisapan endotrakeal dan terapi fisik. Kadang
diperlukan pacemaker sementara pada pasien dengan blok jantung
derajat 2 atau 3.
3) Plasmaparesis
Pertukaran plasma (plasma exchange) yang menyebabkan reduksi
antibiotik ke dalam sirkulasi sementara, dapat digunakan pada
serangan berat dan dapat membatasi keadaan yang memburuk
pada pasien demielinasi. Bermanfaat bila dikerjakan dalam waktu 3
minggu pertama dari onset penyakit. Jumlah plasma yang
dikeluarkan per exchange adalah 40-50 ml/kg. Dalam waktu 7-14
hari dilakukan tiga sampai lima kali exchange. Plasmaparesis atau
plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi
yang beredar. Albumin : dipakai pada plasmaferesis, karena Plasma
pasien harus diganti dengan suatu substitusi plasma.
4) Perlu diperhatikan pemberian cairan dan elektrolit terutama natrium
karena penderita sering mengalami retensi airan dan hiponatremi
disebabkan sekresi hormone ADH berlebihan.
5) Ileus paralitik terkadang ditemukan terutama pada fase akut
sehingga parenteral nutrisi perlu diberikan pada keadaan ini.
b. Perawatan umum
1) Mencegah timbulnya luka baring/bed sores dengan perubahan
posisi tidur.
2) Fisioterapi yang teratur dan baik juga penting. Fisioterapi dada
secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps aru.
Segera setelah penyembuhan mulai fase rekonvalesen) maka
fisioterapi aktif dimulai untuk melatih dan meningkatkan kekuatan
otot.
3) Spint mungkin diperlukan untuk mempertahakan posisi anggota
gerak yang lumpuh,
4) Kekakuan sendi dicegah dengan gerakan pasif. Gerakan pasti pada
kaki yang lumpuh mencegah deep voin thrombosis.
5) Perawatan kulit, kandung kemih, saluran pencernaan, mulut, faring
dan trakhea.
6) Infeksi paru dan saluran kencing harus segera diobati.
7) Bila ada nyeri otot dapat dapat diberikan
analgetik. c. Pengobatan
1) Kortikosteroid
Seperti : azathioprine, cyclophosphamid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat
steroid tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi GBS.
Peter melaporkan kemungkinan efek steroid dosis tinggi
intravenous menguntungkan. Dilaporkan 3 dari 5 penderita memberi
respon dengan methyl prednisolon sodium succinate intravenous
dan diulang tiap 6 jam diikuti pemberian prednisone oral 30 mg
setiap 6 jam setelah 48 jam pengobatan intravenous. Efek samping
dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit kepala.
2) Profilaksis terhadap DVT (deep vein thrombosis)
Pemberian heparin dengan berat molekuler yang rendah secara
subkutan (fractioned Low Molecular Weight Heparin/ fractioned
LMWH) seperti : enoxaparin, lovenox dapat mengurangi insidens
terjadinya tromboembolisme vena secara dramatik, yang
merupakan salah satu keluhan utama dari paralisis ekstremitas.
DVT juga dapat dicegah dengan pemakaian kaus kaki tertentu (true
gradient compression hose/ anti embolic stockings/ anti-
thromboembolic disease (TED) hose).
3) Pengobatan imunosupresan:
a) Imunoglobulin IV
Beberapa peneliti pada tahun 1988 melaporkan pemberian
immunoglobulin atau gamaglobulin pada penderita GBS yang
parah ternyata dapat mempercepat penyembuhannya seperti
halnya plasmapharesis. Gamaglobulin (Veinoglobulin) diberikan
perintravena dosis tinggi. Pengobatan dengan gamma globulin
intervena lebih menguntungkan dibandingkan plasmaparesis
karena efek samping/komplikasi lebih ringan tetapi harganya
mahal. Dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari
dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15
hari sampai sembuh. imunoglobulin intravena (IVIG 7s) :
dipakai untuk memperbaiki aspek klinis dan imunologis dari
GBS dan Dosis dewasa adalah 0,4 g/kg/hari selama 5 hari
(total 2 g selama 5 hari) dan bila perlu diulang setelah 4
minggu. Kontraindikasi IVIg : adalah hipersensitivitas terhadap
regimen ini dan defisiensi IgA, antibodi anti IgE/ IgG. Tidak ada
interaksi dng obat ini dan sebaiknya tidak diberikan pd
kehamilan.
b) Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah 6
merkaptopurin (6-MP).

8. Komplikasi
a. Paralysis yang persisten
b. Kegagalan pernafasan
c. Hipotensi atau hipertensi
d. Tromboembolisme
e. Pneumonia
f. Aritmia kardial
g. Aspirasi
h. Retensi urinae
i. Problem psikiatrik (seperti : depresi dan ansietas).
9. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
1) Aktivitas/Istirahat
Gejala : adanya kelemahan dan paralysis secara simetris yang
biasanya dimulai dari ekstremitas bawah dan selanjutnya berkembang
dengan cepat ke arah atas, hilangnya kontrol motorik halus tangan.
Tanda : kelemahan otot, paralysis plaksid (simetris), cara berjalan tidak
mantap.
2) Sirkulasi
Tanda : perubahan tekanan darah (hipertensi/hipotensi), disritmia,
takikardia/brakikardia, wajah kemerahan, diaforesis.
3) Integritas Ego
Gejala : perasaan cemas dan terlalu berkonsentrasi pada masalah
yang dihadapi. Tanda : tampak takut dan bingung.
4) Eliminasi
Gejala : adanya perubahan pola eliminasi. Tanda : kelemahan pada
otot-otot abdomen, hilangnya sensasi anal (anus) atau berkemih dan
refleks sfingter.
5) Makanan/cairan
Gejala : kesulitan dalam mengunyah dan menelan. Tanda : gangguan
pada refleks menelan atau refleks gag.
6) Neurosensori
Gejala: kebas, kesemutan dimulai dari kaki atau jari-jari kaki dan terus
naik, perubahan rasa terhadap posisi tubuh, vibrasi, sensasi nyeri,
sensasi suhu, perubahan dalam ketajaman penglihatan. Tanda :
hilangnya/menurunnya refleks tendon dalam, hilangnya tonus otot,
adanya masalah dengan keseimbangan, adanya kelemahan pada otot-
otot wajah, terjadi ptoris kelopak mata, kehilangan kemampuan untuk
berbicara.
7) Nyeri/kenyamanan
Gejala : nyeri tekan otot, seperti terbakar, mengganggu, sakit, nyeri
(terutama pada bahu, pelvis, pinggang, punggung dan bokong).
Hiposensitif terhadap sentuhan.
8) Pernafasan
Gejala : kesulitan dalam bernafas. Tanda : pernafasan perut,
menggunakan otot bantu nafas, apnea, penurunan bunyi nafas,
menurunnya kapasitas vital paru, pucat/sianosis, gangaun refleks
gag/menelan/batuk.
9) Keamanan
Gejala : infeksi virus nonspesifik (seperti ISPA) kira-kira dua minggu
sebelum munculnya tanda serangan, adanya riwayat terkena herpes
zoster, sitomegalovirus. Tanda : suhu tubuh yang berfluktuasi,
penurunan kekuatan/tonus otot, paralysis/parestesia.
b. Diagnosa Keperawatan

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi Rasional


Keperawatan Hasil

1. Ketidakefektifan Setelah dilakukan Mandiri :


pola nafas tindakan keperawatan 1. Pantau frekuensi, kedalaman, dan 1. Peningkatan distress pernapasan
berhubungan selama 3x24 jam kesimetrisan pernafasan. Catat kerja nafas menandakan adanya kelelahan pada otot
dengan diharapkan pola nafas dan observasi warna kulit dan membran pernapasan.
kelemahan/ klien adekuat dengan mukosa.
paralisis otot kriteria hasil : 2. Catat adanya kelemahan pernapasan selama 2. Indikator yang baik terhadap gangguan
pernafasan  Tidak ada distress berbicara fungsi nafas/ menurunnya kapasitas vital
pernafasan paru
 RR klien normal3. Tinggikan kepala tempat tidur (semifowler) 3. Meningkatkan ekspansi paru dan usaha
(16-24 x/menit) batuk, menurunkan kerja pernapasan
4. Evaluasi refleks batuk, refleks gag/menelan 4. Evaluasi dilakukan untuk mencegah
secara periodik aspirasi, infeksi pulmonia, dan gagal
napas
Kolaborasi
5. Lakukan pemeriksaan laboratorium 5. Menentukan keefektifan dari ventilasi
sekarang dan kebutuhan klien
6. Berikan terapi oksigen sesuai indikasi (nasal 6. Mengatasi hipoksia
kanul, masker oksigen, atau ventilator
mekanik)
7. Siapkan untuk mempertahankan inkubasi 7. 10-20% klien yang mengalami gangguan
ventilator mekanik sesuai kebutuhan pernapasan berarti memerlukan
monitoring terus –menerus
8. Lakukan perawatan trakheostomi 8. Mengcegah infeksi

2. Hambatan Setelah dilakukan Mandiri


mobilitas fisik tindakan keperawatan 1. Kaji kekuatan motorik dengan menggunakan 1. Menentukan perkembangan/ intervensi
berhubungan selama 3x24 jam skala 0-5. Lakukan pengkajian secara teratur selanjutnya
dengan diharapkan klien 2. Berikan posisi yang memberikan kenyamanan 2. Menurunkan kelelahan, meningkatkan
kerusakan mampu pada klien dan lakukan perubahan posisi relaksasi, menurunkan resiko terjadinya
neuromuskular mempertahankan dengan jadwal yang teratur sesuai kebutuhan iskemia/ kerusakan pada kulit
mobilitas fisik tanpa individu
ada komplikasi dengan 3. Sokong ekstremitas dan persendian dengan 3. Mempertahankan ekstremitas dalam
kriteria hasil : bantal/papan kaki posisi fisiologis, mencegah kontraktur, dan
 Tidak ada laporan kehilangan fungsi sendi
kontraktur, 4. Lakukan latihan gerak positif. Hindari 4. Menstimulasi sirkulasi, meningkatkan
dekubitus latihanaktif selama fase akut tonus otot, dan meningkatkan mobilisasi
 Meningkatkan sendi
kekuatan oto dan 5. Berikan waktu istirahat saat latihan gerak 5. Penggunaan otot secara berlebihan dapat
fungsi bagian yang meningkatkan waktu yang diperlukan
sakit untuk remielinisasi karena dapat
 Mendemonstrasikan memperpanjang waktu penyembuhan
teknik/perilaku yang 6. Anjurkan untuk melatih gerak secara bertahap 6. Meningkatkan fungsi organ normal dan
diinginkan sesuai memiliki efek psikologis positif
kemampuannya 7. Berikan lubrikasi/minyak artifisial sesuai 7. Mencegah kekeringan dari jaringan tubuh
kebutuhan yang halus
Kolaborasi
8. Konfirmasikan dengan bagian terapi 8. Bermanffat dalam menciptakan kekuatan
fisik/fisioterapi otot

3. Ketidakseim- Setelah dilakukan Mandiri


bangan nutrisi tindakan keperawatan 1. Kaji kemampuan mengunyah, menelan, batuk, 1. Kelemahan otot dan refleks
kurang dari selama 5x24 jam pada keadaan yang teratur hipoaktif/hiperaktif dapat mengindikasikan
kebutuhan tubuh diharapkan tidak terjadi kebutuhan makan klien seperti melaui
perubahan nutrisi selang NG dsb
kurang dari kebutuhan 2. Auskultasi bising usung, evaluasi adanya 2. Perubahan fungsi lambung sering terjadi
dengan kriteria hasil : distensi abdomen akibat dari paralisis/imobilisasi
 BB klien stabil 3. Catat masukan kalori tiap hari 3. Mengidentifikasi kekurangan makanan
 Hasil laboratorium dan kebutuhannya
normal 4. Catat makanan yang disukai atau tidak disukai 4. Meningkatkan rasa kontrol dan usaha
 Tidak ada tanda pasien dan termasuk pilihan diet yang
dikehendaki untuk makan
malnutrisi (mata
cekung, konjungtiva 5. Berikan makanan setengah pada/cair 5. Makanan lunak/setengah padat
menurunkan risiko terjadinya aspirasi
anemis,kurus, 6. Derajat hilangnyakontrol motorik
6. Berikan bantuan saat makan jika diperlukan mempengaruhi untuk dapat makan sendiri
tulang dada
7. Mengkaji kefektifan aturan diet
menonjol
7. Timbang berat badan setiap
hari Kolaborasi
8. Makanan suplementasi dapat
meningkatkan pemasukan nutrisi
8. Kolaborasi dengan ahli gizi tentang diet yang
tepat untuk klien
9. Dapat diberikan jika pasien tidak mampu
untuk menelan, untuk pemasukan kalori,
9. Pasang/pertahankan selang NG, berikan
elektrolit dan mineral
makanan enteral/parenteral
Daftar Pustaka

1. Doengoes, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman


untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Ed. 3.
Jakarta: EGC.

2. Israr, Yayan Akhyar, Juraita, dan Rahmat B.S. 2009. Sindroma Guillain
Barre. Fakultas Kedokteran Unversitas Riau Pekanbaru.

3. Japardi, Iskandar. 2002. Sindrom Guillain Barre. Fakultas Kedokteran


Bagian Bedah Universitas Sumatera Utara.

4. Jurnal Ikatan Fisioterapi Indonesia. 2007. Fisioterapi Guillain Barre


Syndrome. Jakarta : Ikatan Fisioterapi Indonesia.

5. Lewis RA. Chronic Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy.


Available from : URL : http://emedicine.medscape.com/article/1172965-
overview. [diakses tanggal 3 Juni 2014]. Last update ; 2009.

6. Price, A. Sylvia. 2006. Patofisiologi Konsep Vol 2. Jakarta : EGC.

7. Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah


Brunner & Suddarth. Ed. 8. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai