Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN

DENGAN BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA (BPH)

Disusun untuk memenuhi Tugas laporan individu praktek

provesi ners departemen keperawatan dasar

di ruang teratai 1 RSUD. Kabupaten Sidoarjo

Oleh :

Nama : Anastasius Renda

NIM : 200714901287

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

STIKES WIDYAGAMA HUSADA

MALANG

2020
A. Definisi
Menurut Taufan (2011) Pembesaran jinak kelenjar prostat yang
disebabkan karena hyperplasia beberapa/semua komponen prostat.
Menurut Tanto (2014) Hiperplasia prostat jinak (benign prostate
hyperplasia-BPH) merupakan tumor jinak yang paling sering terjadi pada
laki-laki. Insidennya terkait pertambahan usia, prevelensi yang meningkat
dari 20 % pada laki-laki berusia 41-50 tahun menjadi lebih dari 90% pada
laki-laki berusia lebih dari 80 tahun.
Benigna Prostatic hyperplasia adalah suatu kondisi yang sering
terjadi sebagai hasil dari pertumbuhan dan pengendalian hormon prostat.
(Yuliana elin, 2011). Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah pembesaran
kelenjar prostat non kanker, (Corwin, 2009). Hiperplasia prostat jinak
(BPH) adalah penyakit yang disebabkan oleh penuaan. (Price&Wilson,
2005). Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah pembesanan prostat yang
jinak bervariasi berupa hiperplasia kelenjar atauhiperplasia fibromuskular.
Namun orang sering menyebutnya dengan hipertropi prostat namun
secara histologi yang dominan adalah hyperplasia (Sabiston, David
C,2005).
BPH (Hiperplasia prostat benigna) adalah suatu keadaan di mana
kelenjar prostat mengalami pembesaran, memanjang ke atas ke dalam
kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan menutup orifisium
uretra. BPH merupakan kondisi patologis yang paling umum pada pria.
(Smeltzer dan Bare, 2002)

B. Etiologi
Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum
diketahui secara pasti tetapi hanya 2 dua faktor yang mempengaruhi
terjadinya BPH yaitu testis dan usia lanjut (Jitowiyono & Kristyanasari
2012).Beberapa faktor yang diduga seebagai penyebab timbulnya
Hyperplasia prostate adalah : (Wijaya & Putri2013 Rendy & Magarenth,
2012)
1. Teori hormon dihidrotestoreron (DHT)
Pembesaran prostat diaktifkan oleh testoreron dan DHT. Peningkatan
alfa reduktase dan reseptor androgen akan menyebabkan epitel dan
stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasia.
2. Faktor usia
BPH merupakan penyakit yang diderita oleh klien laki-laki dengan
usia rata-rata 45 tahun dan frekuensi makin bertambah sesuai dengan
bertambahnya umur, sehingga diatas umur 80 tahun kira-kira 80%
menderita kelainan ini. Sebagai etiologi sekarang dianggap
ketidakseimbangan endokrin testosteron dianggap mempengaruhi
bagian tepi prostat, sedangkan estrogen (dibuat oleh kelenjar adrenal)
mempengaruhi bagian tengah prostat. Peningkatan usia membuat
ketidakseimbangan rasio antara estrogen dan testosteron. Dengan
meningkatnya kadar ekstrogen diguga berkaitan dengan terjadinya
hyperplasia stroma, sehingga timbul dugaan bahwa testosteron
diperlukan untuk inisiasi terjadinya poliferasi sel tetapi kemudian
estrogenlah yang berperan untuk perkembangan stroma
3. Faktor pertumbuhan/Growth
Membuktikan bahwa deferensiasi dan pertumbuhan sel epitel
prostate secara tidak langsung diatur oleh sel-sel stroma melalui suatu
mediator tertentu.setelah sel sel stroma mendapatkan stimulasi dari
DHT dan estradiol,sel-sel stroma mensintesis suatu growth faktor yang
selanjutunya mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri secara intrakrin
dan atuokrim,serta mempengaruhi sel-sel epitel secara parakrin.
4. Meningkatnya masa hidup sel-sel prostate
Progam kematian sel (apoptosisi) pada sel prostate adalah mekanisme
fisiologi untuk mempertahankan homeostasis kelenjar prostate.

C. Tanda dan Gejala


BPH merupakkan yang diderita oleh klien laki-laki dengan usia rata-
rata lebih dari 50 tahun. Gambaran klinis dari BPH sebenarnya sekunder
dari dampak obsetruksi saluran,sehingga klien kesulitan untuk
miksi.berikut ini adalah beberapa gambaran klinis pada klien BPH
(Prabowo & Pranata,2014, Williams & Wilkins,2011).
1. Gejala prostatismus (nokturia, urgency, penurunan daya aliran urine)
kondisi ini dikarenakan oleh kemampuan vesika urinaria yang gagal
mengeluarkan urine secara spontan dan reguler, sehingga volume
urine masih sebagai besar tertinggal dalam vesika.
2. Retensi urine sering dialami oleh klien yang mengalami BPH kronis.
Secara fisiologis, vesika urinaria memiliki kemampuan untuk
mengeluarkan urine melalui kontraksi otot detrusor.
3. Pembesaran prostat yaitu ketika dilakukan palpasi rektal.
4. Inkontetinesia yang terjadi menunjukkan bahwa detrusor gagal dalam
melakukan kontraksi, sehingga kontrol untuk miksi hilang.
5. Lebih sering kencing, disertai nokturia, inkontinensia, dan
kemungkinan hematuria. Yang berakibat infeksi diikuti obstruksi
kencing menyeluruh
6. Gumpalan di tengah yang bisa dilihat (kandung kemih mengalami
distensi) yang mencerminkan kandung kemih yang kosong secara
tidak menyeluruh.

D. Klasifikasi
Derajat berat BPH menurut Tanto (2014) adalah sebagai berikut :
1. Stadium I
Ada obstruksi tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine
sampai habis
2. Stadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine
walaupun tidak sampai habis masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada
rasa tidak enak saat BAK atau disuria dan menjadi nocturia.
3. Stadium III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc
4. Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan. Urine
menetes secara periodik

E. Patofisiologi
Pembesar prostat terjadi secara perlahan-lahan pada traktus
urinarius. Pada tahap awal terjadi pembesar prostat sehingga terjadi
perubahan fisiologis yang mengakibatkan resistensi uretra daerah prostat,
leher, vesika kemudian detrusor mengatasi dengan kontraksi lebih kuat
sebagai akibatnya serat detrusor akan menjadi lebih tebal dan penonjolan
serat dretusor kedalam mokusa buli-buli akan terlihat sebagai balok-balok
yang trabukulasi. Jika dilihat dari dalam vesika dengan sitoskopi, mukosa
fisika dapat menerobos keluar diantara serat detrusor sehingga terbentuk
tonjolan mukosa yang apabila kecil dinamakan sakula dan apabila besar
disebut diverkel. Fase penebalan detrusorsor adalah fase kompensasi
yang apabila berlanjut detrusor akan menjadi lelah dan akhirnya akan
mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk kontransi,
sehingga terjadi retensi urine total yang berlanjut pada hidronefrosis dan
disfungsi saluran kemih atas(Wijaya & Putri 2013).
Pembesaran prostat menyebabkaan penyempitan lumen uretra
prostatika dan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan
peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urine, buli-
buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontaksi
yang terus-menerus ini menyebabkan perubahan perubahan anatomik
buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulaasi, terbentuknya selula,
sakula, dan divertikel buli-buli. Perubahan struktur pada buli-buli tersebut,
oleh pasien dirasakan sebagai keluhan pada 12saluran kemih sebelah
bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal
dengan gejala prostatismus. (Purnomo,2003)
Sejalan dengan pertambahan umur, kelenjar prostat akan
mengalami hiperplasia. Jika prostat membesar, maka akan meluap ke
atas kandung kemih sehingga pada bagian dalam akan mempersempit
saluran uretra prostatica dan menyumbat aliran urine. Keadaan ini
meninggkatkan tekanan intravesikal. Sebagai kompensasi terhadap
tahanan uretra prostatika, maka otot detrusor dan kandung kemih
berkontraksi lebih kuat agar dapat memompa urine keluar. Kontraksi yang
terus menerus menyebabkan perubahan anatomi dari kandung kemih
berupa: hepertropi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula,
sekula,dan divertikel kandung kemih. Tekanan intravesikal yang tinggi
diteruskan keseluruh bagian buli-buli tidak terkeculi pada kedua muara
ureter, tekanan ini dapat menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke
ureter. Keadan ini jika berlangsung terus menerus akan mengakibatkan
hidroureter, hidrofrosis bahkan akhirnya dapat jatuh kedalam gagal ginjal
(Muttaqin & Sari,2012)
F. Patway

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Urinalisa
Analisis urin dan mikroskopik urin penting untuk melihat adanya
sel leukosit, sedimen, eritrosit, bakteri dan infeksi. Bila terdapat
hematuri harus diperhitungkan adanya etiologi lain seperti keganasan
pada saluran kemih, batu, infeksi saluran kemih, walaupun BPH
sendiri dapat menyebabkan hematuri.
Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi
dasar dari fungsi ginjal dan status metabolik. Pemeriksaan prostate
spesific antigen (PSA)dilakukan sebagai dasar penentuan perlunya
biopsi atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai PSA < 4 ng/ml
tidak perlu biopsi. Sedangkan bila nilai PSA 4-10 ng/ml, dihitung
Prostate specific antigen density (PSAD) yaitu PSA serum dibagi
dengan volume prostat. Bila PSAD > 0,15, sebaiknya dilakukan biopsi
prostat, demikian pula bila nilai PSA > 10 ng/ml
2. Pemeriksaan darah lengkap
Karena perdarahan merupakan komplikasi utama pasca operatif
maka semua defek pembekuan harus diatasi. Komplikasi jantung dan
pernafasan biasanya menyertai penderita BPH karena usianya yang
sudah tinggi maka fungsi jantung dan pernafasan harus dikaji.
Pemeriksaan darah mencakup Hb, leukosit, eritrosit, hitung jenis
leukosit, CT, BT, golongan darah, Hmt, trombosit, BUN, kreatinin
serum.
3. Pemeriksaan radiologis
Biasanya dilakukan foto polos abdomen, pielografi intravena,
USG, dan sitoskopi. Tujuan pencitraan untuk memperkirakan volume
BPH, derajat disfungsi buli, dan volume residu urin. Dari foto polos
dapat dilihat adanya batu pada traktus urinarius, pembesaran ginjal
atau buli-buli. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik sebagai tanda
metastase dari keganasan prostat serta osteoporosis akibat
kegagalan ginjal. Dari Pielografi intravena dapat dilihat supresi komplit
dari fungsi renal, hidronefrosis dan hidroureter, gambaran ureter
berbelok-belok di vesika urinaria, residu urin. Dari USG dapat
diperkirakan besarnya prostat, memeriksa massa ginjal, mendeteksi
residu urin dan batu ginjal.
BNO /IVP untuk menilai apakah ada pembesaran dari ginjal
apakah terlihat bayangan radioopak daerah traktus urinarius. IVP
untuk melihat /mengetahui fungsi ginjal apakah ada hidronefrosis.
Dengan IVP buli-buli dapat dilihat sebelum, sementara dan sesudah
isinya dikencingkan. Sebelum kencing adalah untuk melihat adanya
tumor, divertikel. Selagi kencing (viding cystografi) adalah untuk
melihat adanya refluks urin. Sesudah kencing adalah untuk menilai
residual urin.

H. Penatalaksanaan
1. Farmakologi
a) Penyebab adrenergik –a 1 selektif
Cara kerja :
Pemberian penyekat-a bertujuan menghambat kontraksi otot polos
prostat sehingga menurangi resistensi tonus leher kandung kemih
dan uretra
Contoh obat :
- Prazosin 2 x 1-2 m
- Tamsulosin 1 x 0,2-0,4 mg
- Pilihan lain : terazonin dan daksozosin (diberikan 1 kali per
hari)
Efek samping :
hipostensi postural dizziness atau astenia. Efek samping sitemik
paling ringan ditunjukan oleh obat tamsulosin.
b) Pengahambat 5 areduktase
Cara kerja :
menghambat ensim 5 alfa-reduktase, suatu katalisator perubahan
testosteron menjadi dihidtestosteron (DHT). Efeknya
maksimumnya terlihat setelah enam bulan
Contoh obat :
- Dutasterid 1 x 0,5 mg
- Finasterid 1 x 5 mg
Efek samping :
penurunan libido, ginekomastia, dan dapat menurunkan nilai PSA

I. Konsep Askep
Asuhan Keperawatan Pada Benigh Prostatic Hyperplasia (BPH)
Proses keperawatan adalah metode dimana suatu konsep diterapkan
dalam praktek keperawatan (Nursalam, 2012).
1. Pengkajian
Pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan yang
bertujuan untuk mengumpulkan informasi atau data tentang klien,
agar dapat mengidentifikasi, mengenali masalah-masalah, kebutuhan
kesehatan dan keperawatan klien, baik fisik, mental, sosial dan
lingkungan (Nursalam, 2012).
Pengkajian data dasar dalam pengkajian klien dengan Benigh
Prostatic Hyperplasia (BPH)dilakukan mulai dari 3 jam–sampai 3hari
adalah :
a. Pemeriksaan fisik
1) Kepala dan leher
Inspeksi :merintih, menahan aasakit.
Rambut :Lurus/keriting, warna, Ketombe, kerontokan
Mata :Simetris/tidak, pupil isokhor, akonjunctiva
tidak anemis
Hidung :Terdapat mukus/tidak, pernafasan cuping
hidung.
Telinga :Simetris, terdapat mukus/tidak
Bibir :Lembab,tidak ada stomatitis.
Palpasi :Tidak ada pembesaran kelenjar thyroid
2) Dada
Nspeksi :Simetris, tidak terdapat tarikan otot bantu
pernafasan
Palpasi :Denyutan jantung teraba cepat, badan
terasa panas, nyeri tekan(-)
Perkusi :Jantung : Dullness
Auskultasi :Suara nafas normal
3) Abdomen
Inspeksi :terdapat luka post operasi di abdomen
region inguinal
Palpasi :Teraba massa, terdapat nyeri tekan pada
daerah inguinalis
Perkusi :Dullness
Auskultasi :Terdengar bising usus (N= <5 per menit)
4) Ekstremitas
Atas :Simetris, tidak ada edema
Bawah :Simetris, tidak ada edema
5) Genetalia
Inspeksi :Scrotum kiri dan kanan simetris, ada lesi

2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah pernytaan yang jelas mengenai status
kesehatan atau masalah actual atau resiko dalam rangka
mengidentifikasi dan menentukan intervensi keperawatan untuk
mengurangi, menghilangkan, dan mencegah maslah keperawatan
klien yang ada pada tanggung jawabnya.
a. Ansietas
b. Nyeri akut
c. Resiko infekasi
d. Gangguan pola tidur
3. Intervensi keperawatan
Adapun diagnosa keperawatan prioritas adalah Nyeri akut
Kriteria hasil: Tingkat nyeri (L08066)
a) Keluhan nyeri
b) Meringis
c) Gelisah
d) Kesulitan tidur
Intervensi : Manajemen nyeri
Observasi :
1) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri
2) Identifikasi skala nyeri
3) Identifiksasi respon nyeri non verbal
Terapiotik :
4) Berikan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
(mis, terapi musik dan aroma terapi)
5) Fasilitas istirahat dan tidur
6) Pertimbangkan jenin dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi
meredahkan nyeri
Edukasi :
7) Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
8) Jelaskan strategi meredahkan nyeri
9) Anjurkan memonitor nyeri secara mendiri
Kolaborasi :
10 ) kolaborasi pemberian analgesik, jika perlu
DAFTAR PUSTAKA
Nugroho, Taufan. (2011). Asuhan keperawatan maternitas,anak,bedah,penyakit
dalam. Yogyakarta : Nuha Medika.
Tanto, Liwang, Hanifati, & Pradipta. (2014). Kapita selekta kedokteran
edisi IV jilid I . Jakarta: Media Aesculapius.
Wijaya, A. S., & Putri, Y. M. (2013). Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta:
Nuha Medika.

Anda mungkin juga menyukai