Anda di halaman 1dari 29

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

TEORI ASUHAN KEPERAWATAN PADA GBS (Guillain-Barre Syndrome)

Fasilitator:
Lono Wijayanti, M. Kep

Oleh:
Arla Maradyta Dewi

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2020
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan pendahuluan dan asuhan keperawatan ini dibuat dan disusun


sebagai bukti bahwa mahasiswa di bawah ini telah mengikuti Praktikum Profesi
Ners :
Nama Mahasiswa : Arla Maradyta Dewi
NPM : 1130118043
Kompetensi : Keperawatan KMB
Waktu Pelaksanaan : 13 April 2020 – 25 April 2020
Tempat : RSI Jemursari
Ruang : Az-zahra

Surabaya,25 April 2020

Arla Maradyta Dewi


NPM.1120019163
Mengetahui,

Kepala Ruangan Pembimbing Klinik

Lono Wijayanti, S.Kep.,Ns.,M.Kep


NPP. NPP. 0408761

Pembimbing Akademik

Lono Wijayanti, S.Kep.,Ns.,M.Kep


NPP. 0408761
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunianya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan laporan praktik Keperawatan
Medikal Bedah ini yang alhamdulillah dengan tepat waktu. Laporan ini berisikan tentang
informasi “Teori Asuhan Keperawatan Pada Penderita GBS (Guillain-Barre Syndrome)”
Laporan ini di tulis dengan bahasa yang sederhana berdasarkan berbagai literatur tertentu
dengan tujuan untuk mempermudah pemahaman mengenai teori yang dibahas. Kendati
demikian, tak ada gading yang tak retak. Penulis menyadari bahwa dalam laporan ini terdapat
kekurangan dan kelemahan, oleh karena itu penulis terbuka dengan senang hati menerima kritik
dan saran yang konstruktif dari semua pihak demi perbaikan dan penyempurnaan laporan ini.
Akhirnya, penulis berharap semoga laporan ini dapat memberikan manfaat bagi semua
pihak.

Madiun, 27 April 2020

Penulis

BAB 1
LAPORAN PENDAHULUAN
A. Konsep GBS ( Guillain-Barre Syndrome)
1. Definisi GBS ( Guillain-Barre Syndrome)

Guillain – Barre Syndrome adalah suatu kelainan sistem saraf akut dan difus yang
biasanya timbul setelah suatu infeksi atau diakibatkan oleh autoimun,di mana proses
imunologis tersebut langsung mengenai radiks spinalis dan saraf perifer, dan kadang-
kadang juga saraf kranialis. Saraf yang diserang bukan hanya yang mempersarafi otot,
tetapi bisa juga indera peraba sehingga penderita mengalami baal atau mati rasa. Fase awal
dimulai dengan munculnya tanda – tanda kelemahan dan biasanya tampak secara lengkap
dalam 2 – 3 minggu. Ketika tidak terlihat penurunan lanjut, kondisi ini tenang. Fase kedua
berakhir beberapa hari sampai 2 minggu. Fase penyembuhan ungkin berakhir 4 – 6 bulan
dan mungkin bisa sampai 2 tahun. Penyembuhan adalah spontan dan komplit pada
kebanyakan pasien, meskipun ada beberapa gejala neurologis, sisa dapat menetap (Japardi,
2002).
Menurut Parry Sindroma Guillain Barre (SGB) adalah suatu polineuropati yang
bersifat ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi
akut. Menurut Bosch, SGB merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis
flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya
adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis (Parry dalam Japardi, 2002).
Guillain – Barre Syndrome (GBS) adalah sindrom klinis yang penyebabnya tidak
diketahui secara pasti ditunjukkan oleh awitan akut dari gejala-gejala yang mengenai saraf
perifer dan kranial. Proses penyakit mencakup demielinisasi dan degenerasi selaput myelin
dan saraf perifer kranial (Smeltzer, 2002).
Pendapat lain mengatakan bahwa Guillain – Barre Syndrome (GBS) adalah suatu
demielinasi polineuropati akut yang dikenal dengan beberapa nama lain yaitu polyneuritis
idiopatik, paralisis asenden landry, dan polineuropati inflamasi akut. Gambaran utama GBS
adalah paralisis motorik asendens secara primer dengan segala gangguan fungsi sensorik.
GBS adalah gangguan neuron motorik bagian bawah dalam saraf perifer, final common
pathway untuk gerakan motorik juga (Sylvia A. Price, 2006).
Guillain – Barre Syndrome (GBS) adalah salah satu penyakit saraf, juga
merupakan salah satu polineuropati karena hingga sekarang belum dapat diapstikan
penyebabnya. Namun kebanyakan kasus terjadi sesudah proses infeksi diduga GBS terjadi
karena sistem kekebalan tidak berfungsi. Gejalanya adalah kelemahan otot (parese hingga
plegia), biasanya perlahan mulai dari bawah ke atas. Jadi gejala awalnya biasanya tidak
bisa berjalan atau gangguan berjalan. Sebaliknya penyembuhannya diawalai dari bagian
atas tubuh ke bawah sehingga bila ada gejala sisa biasanya gangguan berjalan (Fredericks
et all, dalam Ikatan Fisioterapi Indonesia, 2007).
Angka kejadian Guillain – Barre Syndrome, di seluruh dunia berkisar antara 1-1,5
kasus per 100.000 penduduk per tahun. Di Indonesia, kasus GBS masih belum begitu
banyak. Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah
dekade I, II, III (di bawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita
hampir sama. Insidensi lebih tinggi pada perempuan dari pada laki-laki dengan
perbandingan 2 : 1. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan
laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Penyakit ini menyerang semua
umur, dan lebih banyak terjadi pada usia dewasa muda yaitu antara 15 sampai dengan 35
tahun. Namun tidak jarang juga menyerang pada usia 50 sampai dengan 74 tahun. Jarang
sekali GBS menyerang pada usia di bawah 2 tahun. Umur termuda yang dilaporkan adalah
3 bulan dan tertua adalah 95 tahun, dan tidak ada hubungan antara frekuensi penyakit ini
dengan suatu musim tertentu. Insiden tertinggi pada bulan April s/d Mei di mana terjadi
pergantian musim hujan dan kemarau (Japardi, 2002)
Berdasarkan beberapa pengertian diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa
GBS merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis yang terjadi secara
akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer dan
nervus kranialis.

2. Klasifikasi
Menurut Lewis (2009) klasifikasi dari Guillain – Barre Syndrome (GBS) adalah
sebagai berikut :
a. Acute Motor-Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)
Sering muncul cepat dan mengalami paralisis yang berat dengan perbaikan yang
lambat dan buruk. Seperti tipe AMAN yang berhubungan dengan infeksi saluran cerna
C jejuni. Patologi yang ditemukan adalah degenerasi akson dari serabut saraf sensorik
dan motorik yang berat dengan sedikir demielinisasi.
b. Acute Motor-Axonal Neuropathy (AMAN)
Berhubungan dengan infeksi saluran cerna C jejuni dan titer antibody gangliosid
meningkat (seperti, GM1, GD1a, GD1b). Penderita tipe ini memiliki gejala klinis
motorik dan secara klinis khas untuk tipe demielinisasi dengan asending dan paralysis
simetris. AMAN dibedakan dengan hasil studi elektrodiagnostik dimana didapatkan
adanya aksonopati motorik. Pada biopsy menunjukkan degenerasi ‘wallerian like’
tanpa inflamasi limfositik. Perbaikannya cepat, disabilitas yang dialami penderita
selama lebih kurang 1 tahun.
c. Miller Fisher Syndrome
Variasi dari SGB yang umum dan merupakan 5 % dari semua kasus GBS.
Sindroma ini terdiri dari ataksia, optalmoplegia dan arefleksia. Ataksia terlihat pada
gaya jalan dan pada batang tubuh dan jarang yang meliputi ekstremitas. Motorik
biasanya tidak terkena. Perbaikan sempurna terjadi dalam hitungan minggu atau
bulan.
d. Chronic Inflammatory Demyelinative Polyneuropathy (CIDP)
CIDP memiliki gambaran klinik seperti AIDP, tetapi perkembangan gejala
neurologinya bersifat kronik. Pada sebagian anak, kelainan motorik lebih dominant
dan kelemahan otot lebih berat pada bagian distal
e. Acute pandysautonomia
Tanpa sensorik dan motorik merupakan tipe SGB yang jarang terjadi. Disfungsi
dari sistem simpatis dan parasimparis yang berat mengakibatkan terjadinya hipotensi
postural, retensi saluran kemih dan saluran cerna, anhidrosis, penurunan salvias dan
lakrimasi dan abnormalitas dari pupil.

3. Etiologi
Etiologi Guillain – Barre Syndrome sampai saat ini masih belum dapat diketahui
dengan pasti dan masih menjadi bahan perdebatan. Teori yang dianut sekarang ialah suatu
kelainan imunobiologik, baik secara primary immune response maupun immune mediated
process. Periode laten antara infeksi dan gejala polineuritis memberi dugaan bahwa
kemungkinan kelainan yang terdapat disebabkan oleh suatu respons terhadap reaksi alergi
saraf perifer. Pada banyak kasus, infeksi sebelumnya tidak ditemukan namun terdapat
gangguan di medula spinalis dan medula oblongata (Japardi, 2002).
Beberapa keadaan/ penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya
dengan terjadinya GBS, antara lain (Japardi, 2002) :
a. Infeksi virus atau bakteri
GBS sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi
kasus GBS yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai
4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau
infeksi gastrointestinal. Infeksi akut yang berhubungan dengan GBS :

b. Vaksinasi
c. Pembedahan, anestesi
d. Penyakit sistematik, seperti keganasan, Systemic Lupus Erythematosus, tiroiditis, dan
penyakit Addison
e. Kehamilan atau dalam masa nifas
f. Gangguan endokrin

4. Manifestasi Klinis
a. Masa laten
Waktu antara terjadi infeksi atau keadaan prodromal yang mendahuluinya dan saat
timbulnya gejala neurologis. Lamanya masa laten ini berkisar antara satu sampai 28
hari, rata-rata 9 hari. Pada masa laten ini belum ada gejala klinis yang timbul.
b. Gejala Klinis
1) Kelumpuhan
Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower motor
neurone dari otot-otot ekstremitas, badan dan kadang-kadang juga muka. Pada
sebagian besar penderita, kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah
kemudian menyebar secara asenderen ke badan, anggota gerak atas dan saraf
kranialis. Kadang-kadang juga bisa keempat anggota gerak dikenai secara serentak,
kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis. Kelumpuhan otot-otot ini
simetris dan diikuti oleh hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya derajat
kelumpuhan otot-otot bagian proksimal lebih berat dari bagian distal, tetapi dapat
juga sama beratnya, atau bagian distal lebih berat dari bagian proksimal.
2) Gangguan sensibilitas
Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka juga bisa
dikenai dengan distribusi sirkumoral. Defisit sensoris objektif biasanya minimal
dan sering dengan distribusi seperti pola kaus kaki dan sarung tangan. Sensibilitas
ekstroseptif lebih sering dikenal dari pada sensibilitas proprioseptif. Rasa nyeri otot
sering ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu aktifitas fisik.
3) Saraf Kranialis
Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan otot-otot
muka sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral,
sehingga bisa ditemukan berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa dikenai
kecuali N.I dan N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat terkenanya N.IV atau N.III.
Bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan gangguan berupa sukar menelan,
disfonia dan pada kasus yang berat menyebabkan kegagalan pernafasan karena
paralisis nervus laringeus.
4) Gangguan fungsi otonom
Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita GBS. Gangguan tersebut
berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi merah (facial
flushing), hipertensi atau hipotensi yang berfluktuasi, hilangnya keringat atau
episodic profuse diaphoresis. Retensi urin atau inkontinensia urin jarang dijumpai.
Gangguan otonom ini jarang yang menetap lebih dari satu atau dua minggu.
5) Kegagalan pernafasan
Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal bila
tidak ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini disebabkan oleh paralisis
diafragma dan kelumpuhan otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada 10-33 persen
penderita.
6) Papiledema
Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui dengan pasti.
Diduga karena peninggian kadar protein dalam cairan otot yang menyebabkan
penyumbatan villi arachoidales sehingga absorbsi cairan otak berkurang.
5. Pathway
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan neurologis ditemukan adanya kelemahan otot yang bersifat
difus dan paralisis. Refleks tendon akan menurun atau bahkan menghilang. Batuk
yang lemah dan aspirasi mengindikasikan adanya kelemahan pada otot-otot
intercostal. Tanda rangsang meningeal seperti perasat kernig dan kaku kuduk mungkin
ditemukan. Refleks patologis seperti refleks Babinsky tidak ditemukan.
b. Pemeriksaan laboratorium
Gambaran laboratorium yang menonjol adalah peninggian kadar protein dalam
cairan otak (> 0,5 mg%) tanpa diikuti oleh peninggian jumlah sel dalam cairan otak,
hal ini disebut disosiasi sito-albuminik. Peninggian kadar protein dalam cairan otak
ini dimulai pada minggu 1-2 dari onset penyakit dan mencapai puncaknya setelah 3-6
minggu. Jumlah sel mononuklear < 10 sel/mm3. Walaupun demikian pada sebagian
kecil penderita tidak ditemukan peninggian kadar protein dalam cairan otak.
Imunoglobulin serum bisa meningkat. Bisa timbul hiponatremia pada beberapa
penderita yang disebabkan oleh SIADH (Sindroma Inapproriate Antidiuretik
Hormone).
c. Pemeriksaan elektrofisiologi (EMG)
Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis GBS adalah kecepatan
hantaran saraf motorik dan sensorik melambat. Distal motor retensi memanjang
kecepatan hantaran gelombang-f melambat, menunjukkan perlambatan pada segmen
proksimal dan radiks saraf. Di samping itu untuk mendukung diagnosis pemeriksaan
elektrofisiologis juga berguna untuk menentukan prognosis penyakit : bila ditemukan
potensial denervasi menunjukkan bahwa penyembuhan penyakit lebih lama dan tidak
sembuh sempurna.
d. Pemeriksaan LCS
Dari pemeriksaan LCS didapatkan adanya kenaikan kadar protein ( 1 – 1,5 g/dl
) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oleh Guillain (1961) disebut sebagai
disosiasi albumin sitologis. Pemeriksaan cairan cerebrospinal pada 48 jam pertama
penyakit tidak memberikan hasil apapun juga. Kenaikan kadar protein biasanya terjadi
pada minggu pertama atau kedua. Kebanyakan pemeriksaan LCS pada pasien akan
menunjukkan jumlah sel yang kurang dari 10/mm3 (albuminocytologic dissociation).

e. Pemeriksaan MRI
Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan kira-
kira pada hari ke-13 setelah timbulnya gejala. MRI akan memperlihatkan gambaran
cauda equina yang bertambah besar. Hal ini dapat terlihat pada 95% kasus SGB.
1) Pemeriksaan serum CK biasanya normal atau meningkat sedikit.
2) Biopsi otot tidak diperlukan dan biasanya normal pada stadium awal. Pada stadium
lanjut terlihat adanya denervation atrophy.

7. Penatalaksanaan
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum
bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu
dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup
tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi
beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi)
(Japardi, 2002).
a. Sindrom, Guillain Barre dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis dan pasien
diatasi di unit perawatan intensif (Japardi, 2002)
1) Pengaturan jalan napas
Respirasi diawasi secara ketat terhadap perubahan kapasitas vital dan gas darah
yang menunjukkan permulaan kegagalan pernafasan. Setiap ada tanda kegagalan
pernafasan maka penderita harus segera dibantu dengan oksigenasi dan
pernafasan buatan. Trakheotomi harus dikerjakan atau intubasi penggunaan
ventilator jika pernafasan buatan diperlukan untuk waktu yang lama atau resiko
terjadinya aspirasi. Walaupun pasien masih bernafas spontan, monitoring fungsi
respirasi dengan mengukur kapasitas vital secara regular sangat penting untuk
mengetahui progresivitas penyakit.
2) Pemantauan EKG dan tekanan darah
Monitoring yang ketat terhadap tekanan darah dan EKG sangat penting karena
gangguan fungsi otonom dapat mengakibatkan timbulnya hipotensi atau
hipertensi yang mendadak serta gangguan irama jantung. Untuk mencegah
takikardia dan hipertensi, sebaiknya diobati dengan obat-obatan yang waktu
kerjanya pendek (short-acting), seperti : penghambat beta atau nitroprusid,
propanolol. Hipotensi yang disebabkan disotonomi biasanya membaik dengan
pemberian cairan iv dan posisi terlentang (supine). Atropin dapat diberikan untuk
menghindari episode brakikardia selama pengisapan endotrakeal dan terapi fisik.
Kadang diperlukan pacemaker sementara pada pasien dengan blok jantung derajat
2 atau 3.
3) Plasmaparesis
Pertukaran plasma (plasma exchange) yang menyebabkan reduksi antibiotik ke
dalam sirkulasi sementara, dapat digunakan pada serangan berat dan dapat
membatasi keadaan yang memburuk pada pasien demielinasi. Bermanfaat bila
dikerjakan dalam waktu 3 minggu pertama dari onset penyakit. Jumlah plasma
yang dikeluarkan per exchange adalah 40-50 ml/kg. Dalam waktu 7-14 hari
dilakukan tiga sampai lima kali exchange. Plasmaparesis atau plasma exchange
bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar. Albumin :
dipakai pada plasmaferesis, karena Plasma pasien harus diganti dengan suatu
substitusi plasma.
4) Perlu diperhatikan pemberian cairan dan elektrolit terutama natrium karena
penderita sering mengalami retensi airan dan hiponatremi disebabkan sekresi
hormone ADH berlebihan.
5) Ileus paralitik terkadang ditemukan terutama pada fase akut sehingga parenteral
nutrisi perlu diberikan pada keadaan ini.
b. Perawatan umum
1) Mencegah timbulnya luka baring/bed sores dengan perubahan posisi tidur.
2) Fisioterapi yang teratur dan baik juga penting. Fisioterapi dada secara teratur
untuk mencegah retensi sputum dan kolaps aru. Segera setelah penyembuhan
mulai fase rekonvalesen) maka fisioterapi aktif dimulai untuk melatih dan
meningkatkan kekuatan otot.
3) Spint mungkin diperlukan untuk mempertahakan posisi anggota gerak yang
lumpuh,
4) Kekakuan sendi dicegah dengan gerakan pasif. Gerakan pasti pada kaki yang
lumpuh mencegah deep voin thrombosis.
5) Perawatan kulit, kandung kemih, saluran pencernaan, mulut, faring dan trakhea.
6) Infeksi paru dan saluran kencing harus segera diobati.
7) Bila ada nyeri otot dapat dapat diberikan analgetik.
c. Pengobatan
1) Kortikosteroid
Seperti : azathioprine, cyclophosphamid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak
mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi GBS. Peter melaporkan
kemungkinan efek steroid dosis tinggi intravenous menguntungkan. Dilaporkan
3 dari 5 penderita memberi respon dengan methyl prednisolon sodium succinate
intravenous dan diulang tiap 6 jam diikuti pemberian prednisone oral 30 mg setiap
6 jam setelah 48 jam pengobatan intravenous. Efek samping dari obat-obat ini
adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit kepala.
2) Profilaksis terhadap DVT (deep vein thrombosis)
Pemberian heparin dengan berat molekuler yang rendah secara subkutan
(fractioned Low Molecular Weight Heparin/ fractioned LMWH) seperti :
enoxaparin, lovenox dapat mengurangi insidens terjadinya tromboembolisme
vena secara dramatik, yang merupakan salah satu keluhan utama dari paralisis
ekstremitas. DVT juga dapat dicegah dengan pemakaian kaus kaki tertentu (true
gradient compression hose/ anti embolic stockings/ anti-thromboembolic disease
(TED) hose).
3) Pengobatan imunosupresan:
a) Imunoglobulin IV
Beberapa peneliti pada tahun 1988 melaporkan pemberian immunoglobulin
atau gamaglobulin pada penderita GBS yang parah ternyata dapat
mempercepat penyembuhannya seperti halnya plasmapharesis.
Gamaglobulin (Veinoglobulin) diberikan perintravena dosis tinggi.
Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan
dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan
tetapi harganya mahal. Dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari
dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai
sembuh. imunoglobulin intravena (IVIG 7s) : dipakai untuk memperbaiki
aspek klinis dan imunologis dari GBS dan Dosis dewasa adalah 0,4 g/kg/hari
selama 5 hari (total 2 g selama 5 hari) dan bila perlu diulang setelah 4 minggu.
Kontraindikasi IVIg : adalah hipersensitivitas terhadap regimen ini dan
defisiensi IgA, antibodi anti IgE/ IgG. Tidak ada interaksi dng obat ini dan
sebaiknya tidak diberikan pd kehamilan.
b) Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah 6 merkaptopurin (6-MP).
8. Komplikasi
a. Paralysis yang persisten
b. Kegagalan pernafasan
c. Hipotensi atau hipertensi
d. Tromboembolisme
e. Pneumonia
f. Aritmia kardial
g. Aspirasi
h. Retensi urinae
i. Problem psikiatrik (seperti : depresi dan ansietas).
B. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian adalah langkah pertama dari proses keperawatan melalui kegiatan
pengumpulan data atau perolehan data yang akurat dapat pasien guna mengetahui
permasalahan yang ada (Azmi Alimul, 2015). Hal-hal yang perlu dikaji pada tahap ini
adalah :
a. Identitas pasien
Hal-hal yang perlu dikaji pada bagian ini yaitu antara lain: Nama, Umur,Jenis
Kelamin,Pendidikan,Agama,Status Mental, Suku.Keluarga, atau orang terdekat,
Alamat,Nomor Registrasi.
b. Keluhan Utama
Keluhan yang sering dirasakan pada pasien GBS biasanya adanya kelemahan
pada sistem syaraf.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Riwayat kesehatan saat ini berupa uraian mengenai penyakit yang diderita oleh
pasien dalam mulai timbulnya keluhan yang dirasakan sampai klien dibawa ke
Rumah sakit Umum serta pengobatan apa yang pernah diberikan dan bagaimana
perubahan serta data yang didapatkan saat pengkajian.
c. Riwayat Penyakit dahulu
Perlu ditanyakan apakah pasien sebelumnya pernah mengalami penyakit GBS
atau penyakit menular yang lain.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu ditanyakan apakah salah satu anngota keluarga ada yang pernah sakit yang
sama dengan pasien atau penyakit yang ada di dalam keluarga.
2. Pemeriksaan Fisik
a. B1 (Breathing)
Kesulitan bernapas/sesak pernapasan abdomen,apnue,menurunya kapasitas
vittal atau paru,reflek batuk turun,resiko akumulasi secret.
b. B2 (Brain)
Kesemutan kelemahan, kelumuhan, ekstermitas sensasi nyeri turun, perubahan
ketajaman penglihatan, gangguan keseimbangan tubuh, afasis (kemampuan
bicara turun), fluktasi, suhu badan.
c. B3 (Bleeding)
Hipotensi/hipertensi,takikardi,wajah kemerahan.
d. B4 (Bladder)
Menurun fungsi kadung kemih,retensi urin,hilang sensai saat berkemih.
e. B5 (Bowel)
Kesulitan menelan,mengunyah,kelemahan otot abdomen. Peristaltik usus
turun,konstipasi sampai hilangnya sensasi anal.
f. B6 (Bone)
Gangguan mobilisasi resiko-resiko cidera/injuri fraktur tulang,
hemiplegi,paraplegi
Refleks
Tidak ada refleks tendon dalam.
3. Diagnosa Keperawatan
1. Pola napas tidak efektif ditandai dengan hambatan upaya napas
2. Gangguan mobilitas fisik ditandai dengan gangguan neuromuskular
3. Ketidakseim-bangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
4. Intervensi Keperawatan
Tabel 1.2 Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Standar Diagnosa Keperawatan Sandart Luaran Keperawatan Standar Intervensi Keperawatan
Keperawatan Indonesia (SDKI) Indonesia (SLKI) Indonesia (SIKI)
1. Pola napas tidak Bab: IV Pola Nafas (L.01004) Pencegahan Aspirasi (I.01018)
efektif ditandai
dengan hambatan Kategori :Fisiologis Definisi : Definisi
upaya napas. Inspirasi dan atau ekspirasi yang memberikan Mengidentifikasi dan mengurangi rseiko
Sub Kategori : Reapirasi ventilasi adekuat masuknya partikel cairan ke dalam paru.

Kode : D.0005 Ekspektasi : Membaik Tindakan


Observasi
Pola Nafas Tidak Efektif Kriteria Hasil : 1. Monitor tingkat kesadaran, batuk,
1. Ventlasi semenit muntah dan kemampuan menelan
2. Kapasitas vital 2. Monitor status penafasan
3. Diameter thoraks anterior-posterior 3. Monitor bunyi napas, terutama setelah
4. Tekanan ekspansi makan/minum.
Definisi :
5. Tekanan inspirasi 4. Periksa residu gaster sebelum memberi
Inspirasi dan atau ekspirasi yang tidak asupan oral
memberikan ventilasi adekuat. Keterangan : 5. Periksa kepatenan selang nagogastrik
1= Menurun sebelum memberikan asupan oral
Penyebab : Terapeutik
2= Cukup Menurun
1. Depresi pusat pernafasan 1. Posisikan semi Fowler (30-45 derajat) 30
3= Sedang
2. Hambatan upaya napas (mis.nyeri saat menit sebelum memberi asupan
4= Cukup Meningkat 2. Pertahankan posisi semi Fowler (30-45
bernafas, kelemahan otot pernafasan)
3. Deformitas dinding dada 5= Meningkat derajat) pada pasien tidak sadar.
4. Deformitas tulang dada 3. Pertahankan kepatenan jalam napas
5. Gangguan neuromuskular 6. Dispnea (mis.teknik head tilt chin lift,jaw thrust,
7. Penggunaan otot bantu napas in line)
8. Pemanjangan fase ekpirasi
6. Gannguan neurologis (mis. 9. Ortopnea 4. Pertahankan pengembangan balon
Elektroensefalogram (EEG) positif, 10. Penafasan pused-tip endotracheal tube (ETT)
cidera kepala, gannguan kejang). 11. Pernapasan pucing hidung 5. Lakukan penghisapan jalan napas, jika
7. Imaturitas neurologis Keterangan : produksi sekret meningkat
8. Penurunan energi 1= Meningkat 6. Sediakan suction di ruangan
9. Obesitas 2= Cukup Meningkat 7. Hindari memberikan makan melalui
10. Posisi tubuh yang menghambat selang gastrointestinal,jika residu
3= Sedang
ekspansi paru banyak
11. Sindrom hipoventilasi 4= Cukup Menurun 8. Berikan makanan dengan ukuran kecil
12. Kerusakan inervasi diafragma 5= Menurun atau lunak
(kerusakan saraf c5 ke atas) 9. Berikan obat oral dalam bentu cair.
13. Cidera pada muedula spinalis 12. Frekuensi napas Terapeutik
14. Efek agen farmakoligis 13. Kedalaman napas 1. Anjurkan makan secara perlahan
15. Kecemasan 14. Ekskursi dada 2. Ajarkan strategi mencegah aspirasi
Gejala dan Tanda Mayor 3. Ajarkan teknik mengunyah atau
a. Subjektif Keterangan : menelan, jika perlu.
1. Dispnea 1= Memburuk
b. Obyektif 2= Cukup Memburuk
1. Penngunaan otot bantu pernapasan
3= Sedang
2. Fase ekspirasi memanjang
3. Pola napas abnormal (mis. 4= Cukup Membaik
Takipnea, bradipnea, hiperventilasi 5= Membaik
kussmaul, cheyne-stokes.
Gejala dan Tanda Minor
a. Subyektif
1. Ortopnea
b. Obyektif
1. Pernafasan pursed-lip
2. Pernapasan cuping hidung
3. Diameter torak anterior-posterior
meningkat
4. Ventilasi semenit menurun
5. Kapasitas vital menurun
6. Tekanan ekspirasi menurun
7. Tekanan inspirasi nenurun
8. Ekskursi dada berubah
Kondisi Klinis Terkait
1. Depresi sitem saraf pusat
2. Cedera kepala
3. Trauma thoraks
4. Gullian barre syndrome
5. Mutiple sclerosis
6. Myasthenia gravis
7. Stroke
8. Kuadriplegia
9. Intoksikasi alkohol
2. Gangguan mobilitas Bab: IV Mobilitas Fisik (L.05042) Tehnik pengutan otot (I.05184)
fisik ditandai Kategori : Fisiologis Definisi : Definisi :
dengan gangguan
SubKategori: Aktivitas/istirahat Kemampuan dalam gerakan fisik dari satu Memfasilitasi latihan otot resistif reguler
neuromuskular
Kode : D.0054 atau lebih ekstremitas secara mandiri. untuk mempertahankan atau meningkatkan
Gangguan mobilitas fisik Ekspektasi : Meningkat kekuatan otot
Definisi: Kriteria Hasil :
Keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu 1. Pergerakan ekstremitas Tindakan :
2. Kekuatan otot
atau lebih ekstremitas secara mandiri Observasi :
3. Rentang gerak (ROM)
Penyebab : 1. Identifikasi resiko latihan
1. Kerusakan integritas struktur tulang Keterangan : 2. Identifikasi tingkat kebugaran otot
2. Perubahan metabilisme dengan mengunakan lapangan latihan
1=Menurun
3. ketidak bugaran fisik atau laboratorium tes (mis.angkat
4. penurunan kendali otot 2= Cukup Menurun maksimum, jumlah daftar perunit waktu)
5. penurunan massa otot
3= Sedang
6. penurunan kekuatan otot 3. Identifikasi jenis dan durasi aktivitas
7. keterlambatan perkembangan 4= Cukup meningkat pemanasan/pendiginan
8. kekuatan sendi
5= Meningkat 4. Monitor efektifitas latihan
9. kontraktur
10. mainutrisi 4. nyeri
11. gangguan muskuloskeletal 5. kecemasan Terapeutik :
12. gangguan neouromuskular 6. kaku sendi
1. Lakukan latihan sesuai program yang
13. indeks masa tubuh diatas persentil ke- 7. gerakan tidak terkoordinasi
ditentukan
75sesuai usia 8. gerakan terbatas
14. efek agen farmakologis 9. kelemahan terbatas 2. Fasilitasi menetapka tujuan jangka
15. proses pembatasan gerak 10. kelemahan fisik pendek dan jangka panjang yang realistis
16. nyeri dalam dalam menentukan rencana
17. kurang terpapar informasi tentang latihan
Keterangan :
aktivitas fisik
18. kecemasan 1= Meningkat 3. Fasilitasi mendapatkan sumber daya
19. gangguan kognitif yang dibutuhkan dilingkungan rumah
2= Cukup Meningkat
20. keengganan melakukan pergerakan /tempat kerja.
21. gangguan sensoripersepsi 3= Sedang
4. Fasilitasi mengembangkan program
4= Cukup menurun latihan yang sesuai dengan tingkat
Gejala dan Tanda Mayor kebugaran otot,indeks muskuloskeletal,
5= Menurun
a. Subyektif tujuan fungsional kesehatan, sumber
1. Mengeluh sulit menggerakkan daya peralatan olahraga, dan dukungan
ekstremitas sosial.
b. Obyektif
1. Kekuatan otot menurun 5. Fasilitasi mengubah program atau
2. Rentang gerak (rom) mrnurun mengembangkan startegi lain untuk
mencegahnya bosan dan putus latihan.

Gejala dan Tanda Minor 6. Berikan inturksi tertulis tentang


pedoman dan bentuk gerakan untuk
a. Subyektif
setiap gerakan otot
1. Nyeri saat bergerak
2. Enggan melakukan pergerakan Edukasi :
3. Merasa cemas saat bergerak
1. Jelaskan fungsi otot, fisiologis olahraga,
b. Objektif dan konsekuensi tidak digunakanya otot
1. Sendi kaku 2. Jelaskan tanda dan gejala intoleransi
2. Gerakan tidak terkoordinasi selama dan setelah sesi latihan (mls,
3. Gerakan terbatas
4. Fisik lemah
kelemahan kesalahn ekstrem, angina,
palpasi)

3. Anjurkan menghindari latihan selama


suhu ekstrim

Kolaborasi:
1. Tetapkan jadwal tindak lanjut untuk
mempertahankan motivasi,
memfasilitasi pemecahan

2. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain


(mis, terapi aktivitas, ahli fisiologi
olahraga, terapis adtasi, terapis rekreasi,
terapis fisik) dalam perencanaan,
pengajaran, dan memonitor program
latihan otot

3. Ketidakseim- Bab : IV Status Nutrisi (L.03030) Edukasi Nutrisi (I.12395)


bangan nutrisi
kurang dari Kategori : Fisiologi Definisi : Definisi :
kebutuhan tubuh Keadekuatan asupan nutrisi untuk memenuhi Memberikan informasi untuk meningkatkan
Sub Kategori : Nutrisi dan Cairan kebutuhan metabolisme. kemampuan kebutuhan nutrisi.

Kode : D.0032 Ekspektasi : Membaik Tindakan :


Observasi
Resiko Defisit Nutrisi. Kriteria Hasil : 1. Periksa status gizi, status alergi, program
1. Porsi makan yang dihabiskan diet, kebutuhan dan kemampuan
Definisi : pemenuhan kebutuhan gizi
Berisiko mengalami asupan nutrisi tudak Keterangan 2. Identifikasi kemampuan dan waktu yang
cukup untuk memenuhi kebutuhan 12 = Menurun tepat menerima informasi.
metabolisme. 2 = Cukup Menurun Terapeutik
3 = Sedang 1. Persiapan materi dan media seperti jenis-
4 = Cukup Meningkat jenis nutrisi,tabel makanan penukar, cara
Faktor Resiko :
mengelola, cara menakar makanan.
1. Ketidakmampuan mnenlan 2. Jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai
2. Ketidakmampuan mencerna makanan. 2. Kekuatan otot pengunyah
3. Kekuatan otot menelan kesepakatan
3. Ketidakmampuan mengabsorbsi 3. Berikan kesempatan untuk bertanya.
makanan 4. Serum albumin
5. Verbalisasi keinginan untuk Edukasi
4. Peningkatan kebutuhan metabolisme
meningkatkan nutrisi 1. Jelaskan pada pasien dan keluarga alergi
5. Faktor ekonomi (mis. finansial tidak
6. Pengetahuan tentang pilihan makanan makanan, yang harus dihindari,
mencukupi)
sehat kebutuhan jumlah kalori, jenis makanan
6. Faktor psikologis
7. Pengetahuan tentang pilihan pilhan yang dibutuhkan pasien.
(mis.stres,keengganan untuk makan).
minum yang sehat 2. Ajarkan cara melaksanakan diet sesuai
8. Pengetahuan tentang standart asupan program (mis. makanan tinggi protein,
Kondisi Terkait : rendah garam, rendah kalori)
nutrisi yang tepat
1. Stroke 9. Penyiapan dari penyimpanan makanan 3. Jelaskan hal-hal yang dilakukan sebelum
2. Pankinson yang aman memberikan makanan (mis. perawatan
3. Mobius syndrome 10. Penyiapan penyimpanan minuman yang mulut, penggunaan gigi palsu, obat-obat
4. Cerebral palsy aman yang harus diberikan sebelum makan
5. Cleft lip 11. Sikap terhadap makanan/minuman sesuai 4. Demonstrasikan cara membersihkan
6. Cleft palate tujuan kesehatan. mulut
7. Amytropic lateral sclerosis Keterangan 5. Demonstrasikan cara mengatur posisi
8. Kerusakan neuromuskuler saat makan.
1 = Menurun
9. Luka bakar 6. Ajarkan pasein dan keluarga memantau
10. Kanker 2 = Cukup menurun
kondisi kekurangan nutrisi.
11. Infeksi 5 = Sedang 7. Anjurkan mendemonstrasikan cara
12. AIDS 6 = Cukup Meningkat memberikanmakan,menghitung
13. Penyakit Croh’s 7 = Meningkat kalori,menyiapkan makanan sesuai
14. Enterokolitik program diet.
15. Fibrosis kistik 12. Perasaan cepat kenyang

Keterangan :
12 = Meningkat
3 = Cukup Meningkat
8 = Sedang
9 = Cukup Menurun

13. Nyeri abdomen


14. Sariawan
15. Rambut rontok
16. Diare

Keterangan :
1 = Meningkat
2 = Cukup Meningkat
3 = Sedang
10 = Cukup Menurun
11 = Menurun

17. Berat badan


18. Indeks MassaTubuh (IMT)
19. Frekuensi makan
20. Nafsu makan
21. Bising usus
22. Tebal lipatan kulit trisep
23. Membran mukosa

Keterangan :
1 = Memburuk
2 = Cukup Memburuk
3 = Sedamg
3 = Cukup Membaik
4 = Membaik
5 Implementasi
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
oleh perawat untuk membantu pasien dari masalah atau status kesehatan yang
dihadapinya kestatus kesehatan yang lebih baik yang menggambarkan kriteria
hasil yang diharapkan. Ukuran intervensi keperawatan yang diberikan kepada
pasien dengan lingkungan, pengobatan, tindakan untuk memperbaiki kondisi,
tindakan untuk keluarga pasien atau tindakan untuk mencegah masalah
kesehatan yang muncul dikemudian hari. Untuk kesuksesan pelaksanaan
implementasi keperawatan agar sesuai dengan rencana keperawatan, perawat
harus mempunyai kemampuan kognitif (intelektual), kemampuan dalam
hubungan interpersonal, dan keterampilan dalam melakukan tindakan.
Implementasi adalah realisasi rencana tindakan untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan (Nikmatur Rohmah & Saiful Walid, 2015).
Proses pelaksanaan implementasi harus berpusat pada kebutuahn pasien,
faktor-faktor lain yang mempunyai kebutuhan keperawatan, strategi
implementasi keperawatan dan kegiatan komunikasi.
6. Evaluasi
Evaluasi adalah penilaian dengan cara membandingkan perubahan
keadaan pasien (hasil diamati) dengan tujuan dan kriteria hasil yang dibuat pada
tahap perencanaan (Nikmatur Rohmah & Saiful Walid, 2015). Melalui kegiatan
evaluasi, kita dapat menilai capaian tujuan yang diharapkan dan tujuan yang
telah dicapai oleh keluarga. Apabila tercapai sebagian atau timbul masalah
keperawatan baru, kita perlu melakukan pengkajian lebih lanjut, memodifikasi
rencana, atau mengganti dengan rencana yang lebih sesuai dengan kemampuan
keluarga.
Evaluasi disusun menggunakan SOAP dimana:
S : Ungkapan perasaan atau keluhan yang dikeluhkan secara subjektif
oleh keluarga setelah diberikan implementasi keperawatan.
O : Keadaan objektif yang dapat diidentifikasi oleh perawat menggunakan
pengamatan yang objektif.
A : Merupakan analisis perawat setelah mengetahui respon subjektif dan
objektif.
P : Perencanaan lanjutan setelah dilakukan tindakan keperawatan.

7. Evidence Based Nursing (EBN) : Penerapan The Funtional Oral Intake Scale
(FOIS) pada Pasien dengan Gangguan Neuorologis
Pada penerapan EBN ini patient problem (P:Problem) yang terjadi
adalah pasien dengan gangguan neurologis yang terpasang mengalami disfagia
dan terpasang NGT belum dilakukan evaluasi kemampuan makan dan belum
dilakukan sesuai evidence. Intervensi (I:Intervention) yang akan dilakukan
adalah penggunaan The Funtional Oral Intake Scale (FOIS) untuk
mengevaluasi kemampuan makan pada pasien. Penerapan FOIS akan
dibandingkan dengan evaluasi kemampuan makan pasien yang dilakukan
perawat ruangan dengan acuan berdasarkan Massey Swallowinh Screen
(C:Control). Hasil dari penerapan EBN ini diharapkan dapat mencegah
kejadian pneumonia aspirasi. Berdasrkan hal tersebut,maka penulis ingin
melakukan penerapan Evidence Based mengenai format The Funtional Oral
Intake Scale (FOIS) sebagai evaluasi pada pasien dengan disfagia (O;Outcome)
Daftar Pustaka

Nimatus Rohmah & Saiful Wahid (2015) Proses Keperawatan Teori dan Aplikasi
Jakarta: Salemba
Doengoes, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Ed. 3. Jakarta: EGC.
Israr, Yayan Akhyar, Juraita, dan Rahmat B.S. 2009. Sindroma Guillain Barre.
Fakultas Kedokteran Unversitas Riau Pekanbaru.
Japardi, Iskandar. 2002. Sindrom Guillain Barre. Fakultas Kedokteran Bagian Bedah
Universitas Sumatera Utara.
Jurnal Ikatan Fisioterapi Indonesia. 2007. Fisioterapi Guillain Barre Syndrome.
Jakarta : Ikatan Fisioterapi Indonesia.
Lewis RA. Chronic Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy. Available
from : URL : http://emedicine.medscape.com/article/1172965-overview. [diakses
tanggal 3 Juni 2014]. Last update ; 2009.
Price, A. Sylvia. 2006. Patofisiologi Konsep Vol 2. Jakarta : EGC.
Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Ed. 8. Jakarta: EGC.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
Definisi dan Tindakan Keperawatan. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi
dan Kriteria hasil Kepreawatan. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI.

Anda mungkin juga menyukai