Anda di halaman 1dari 20

Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan

Pada Pasien dengan Masalah Guillane Barre


Syndrome (GBS)

Nama Kelompok:

Rival Okta W 201801092

Fahmi Dea Ramadani 201801097

Nanik ernaningtyas 201801117

Oktavia Dharma S. 201801118

Ruben Bibaborbir 201801124

Nanda Yunita R. 201801127

Vivin Affriliana H 201801132

Ulil Alami 201801135

PRODI S1 KEPERAWATAN

STIKes BINA SEHAT PPNI MOJOKETO

JI.Rayajabon Km.06 Mojoanyar Kabupaten Mojokerto telp/fax:


(0321)390203

Email :stikes.ppni@yahoo.co.id Website : www.stikes-ppni.ac.id

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha


Esa atas berkat dan rahmat- Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
tulisan tentang Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Guillane
Barre Syndrome (GBS). Tulisan ini dibuat untuk menambah khasanah
ilmu pengetahuan khususnya pemberian asuhan keperawatan kepada
pasien.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah membantu sehingga penulis dapat
menyelesaikan tulisan ini. Tulisan ini diharapkan dapat bermanfaat
dalam pemberian asuhan keperawatan pada anak serta dapat digunakan
sebagai acuan dalam memberikan perawatan.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna. Penulis
mengharapkan masukan dan saran untuk kesempurnaan makalah ini.

Mojokerto, 25 September 2020

Tim Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Guillain Barre Syndrome (GBS) adalah penyakit neurologi yang
angat jarang, kejaidannya bervariasi antara 0.6 sampai 19 kasus per
100.000 orang pertahun. Selama periode 42 tahun Central Medical
Mayo Clinic melakukan penelitian mendapatkan rata-rata insidien 1.7
per 100.000 orang. Terjadi puncak insidensi antara 15-35 tahun dan
antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia dibawah 12 tahun.
Insiden Guillain Barre Syndrome usia termuda yang pernah
dilaporkan adalah 3 bulan dan paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan
wanita sama jumlahnya. Dari pengelompokan ras didapatkan bahwa
83% penderita adalah ras kulit putih, 7% kulit hitam, 5% hispanic, 1%
Asia dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik. Data di Indonesia
mengenai gambaran epidemologi belum banyak. Penelitian Chandra
menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade II,
II, III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan
wanita hampir sama. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan
bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5
tahun. Isiden tertinggi pada bulan April s/d Mei dimana terjadi
pergantian musim hujan da kemarau.
Penyakit ini sering mrnyrbabkan kelumpuhan yang cukup sering
dijumpai pada usia dewasa muda. Guillain Barre Syndrome ini
seringkali mencemaskan penderita dan keluarganya karena terjadi pada
usia produktif, apalagi pada beberapa keadaan dapat meninmbulkan
kematian, meskipun pada umumnya mmempunyai prognosa yang baik.
Guillain Barre Syndrome biasanya mempunyai prognosa yang baik
sekitar 80% teta[i 15% nya mempunyai gejala sisa atau defisit neurologi

3
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa itu Guillain Barre Syndrome ?
1.2.2 Bagaimana etiologi Guillain Barre Syndrome ?
1.2.3 Seperti apa patofisiologi Guillain Barre Syndrome ?
1.2.4 Bagaimana tanda dan gejala Guillain Barre Syndrome ?
1.2.5 Apa saja pmeriksaan penunjang Guillain Barre Syndrome ?
1.2.6 Apa saja komplikasi Guillain Barre Syndrome ?
1.2.7 Bagaimana penatalaksanaan Guillain Barre Syndrome ?
1.2.8 Bagiamana pencegahan Guillain Barre Syndrome ?
1.2.9 Bagaimana asuhan keperawatan Guillain Barre Syndrome ?

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Tujuan Umum
Agar pembaca dapat memahami lebih jauh tentang
penyakit Guillain Barre Syndrome.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Untuk mengetahui pengertian Guillain Barre Syndrome
1.3.2.2 Untuk mengetahui etiologi Guillain Barre Syndrome.
1.3.2.3 Untuk mengetahui patofisiologi Guillain Barre
Syndrome.
1.3.2.4 Untuk mengetahui tanda dan gelaja Guillain Barre
Syndrome.
1.3.2.5 Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang Guillain
Barre Syndrome.
1.3.2.6 Untuk mengetahui komplikasi Guillain Barre
Syndrome.
1.3.2.7 Untuk mengetahui penatalaksanaan Guillain Barre
Syndrome.
1.3.2.8 Untuk mengetahui pencegahan Guillain Barre
Syndrome.
1.3.2.9 Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan Guillain
Barre Syndrome.

4
1.4 Sistematika Penulisan
Penyusun menggunakan metode pengumpulan data dan
informasi dengan melakukan penelusuran pustaka, pencarian sumber-
sumber yang relevan dari SDKI, SIKI, SLKI, NANDA, NIC-NOC,
medical surgical, dan artikel jurnal.
1.5 Manfaat Penulisan
Makalah ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber
infoemasi baik bagi tenaga kesehatan ataupun masyarakat umum
mengenai penyakit Guillain Barre Syndrome.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Medis


2.1.1 Pengertian
Sindrom guillain-barre merupakan sindrom klinik yang
menyebabkan tidak diketahui yang menyangkut saraf perifer dan
cranial. Paling banyak pasien dengan sindrom ini ditimbulkan oleh
adanya infeksi ( pernapasan atau gastrointestinal ) 1 sampai 4
minggu sebelum terjadi serangan penurunan neurologic. ( Smeltzer,
suzanna, 2002 )
Sindrom Guillain-Barre (GBS) adalah penyebab paling
umum dari kelumpuhan neuromuskuler akut, lembek, dan lemah di
Amerika Serikat. Sindrom Guillain-Barre pertama kali ditemukan
lebih dari seabad yang lalu. Kemajuan dalam abad yang lalu
termasuk menyelidiki patofisiologi penyakit yang dimediasi
kekebalan, mengenali spektrum presentasi, memajukan modalitas
diagnostik, model prognostik, dan melakukan uji coba pengobatan
secara acak untuk meningkatkan hasil. Mengingat morbiditas yang
dapat terjadi tanpa pengobatan, semua dokter harus memiliki
pengetahuan tentang penyakit langka ini.

1.1.2 Etiologi

Salah satu hipotesis menyatakan bahwa infeksi virus


menyebabkan reaksi autoimun yang menyerang myelin saraf
perifer. ( myelin merupakan subtansi yang ada disekitar atau
menyelimuti akson-akson saraf dan berperan penting pada
transmisi implus syaraf ). ( Smeltzer, Suzanna, 2002 )

Sindrom Guillain-Barre (GBS) dan variannya dianggap


neuropati pasca infeksi yang dimediasi oleh imun. Bukti dari

6
model hewan menunjukkan peran kunci mimikri molekuler.
Pada infeksi gastrointestinal Campylobacter jejuni,
lipooligosaccharide yang ada di membran luar bakteri mirip
dengan gangliosida yang merupakan komponen saraf perifer.
Oleh karena itu, respons imun yang dipicu untuk melawan
infeksi dapat menyebabkan reaksi silang pada saraf host.

Banyak infeksi telah dikaitkan dengan GBS. Yang paling


umum adalah penyakit gastrointestinal atau pernapasan. Hingga
70% pasien telah melaporkan penyakit sebelumnya dalam 1
sampai 6 minggu sebelum munculnya GBS. Selama wabah virus
Zika, banyak kasus GBS yang dijelaskan. Laporan kasus
merinci banyak kemungkinan etiologi lain yang terkait dengan
GBS termasuk obat-obatan dan operasi.

Pada tahun 1976, vaksinasi flu terhadap antigen influenza A /


H1N1 menyebabkan peningkatan kejadian kasus GBS yang
terdokumentasi dengan baik; akan tetapi, data surveilans lebih
lanjut untuk vaksinasi flu pada tahun-tahun berikutnya hanya
menggambarkan satu kasus tambahan GBS untuk setiap 1 juta
vaksin. Studi selanjutnya memperkirakan bahwa
mengembangkan GBS setelah infeksi flu hingga 7 kali lebih
mungkin daripada mengembangkan GBS setelah vaksinasi.

1.1.3 Patofisiologi
1.1.4 Manifestasi Klinis ( Smeltzer, Suzanna, 2002 )
1. Parestesia ( kesemutan dan bebas )
2. Kelemahan otot kaki yang dapat berkembang ke
ekstremitas atas, batang tubuh dan otot wajah.
3. Paralisis pada ocular, wajah dan otot orofaring,
kesukaran berbicara, mengunyah dan menelan.
4. Disfungsi autonon yang berakibat kurang bereaksinya
system saraf simpatis dan parasimpatis, seperti
gangguan jantung dan ritme, perubahan TD

7
( hipertensi transien, hipotensi ortostik ), dan
gangguan vasomotori lainnya.
5. Kehilangan sensasi posisi tubuh.
1.1.5 Komplikasi
Komplikasi GBS yang paling berat adalah kematian, akibat
kelemahan atau paralisis pada otot-otot pernafasan. Tiga puluh
persen% penderita ini membutuhkan mesin bantu pernafasan
untuk bertahan hidup, sementara 5% penderita akan meninggal,
meskipun dirawat di ruang perawatan intensif. Sejumlah 80%
penderita sembuh sempurna atau hanya menderita gejala sisa
ringan, berupa kelemahan ataupun sensasi abnormal, seperti
halnya kesemutan atau baal. Lima sampai sepuluh persen
mengalami masalah sensasi dan koordinasi yang lebih serius dan
permanen, sehingga menyebabkan disabilitas berat; 10%
diantaranya beresiko mengalami relaps. Dengan penatalaksanaan
respirasi yang lebih modern, komplikasi yang lebih sering terjadi
lebih diakibatkan oleh paralisis jangka panjang, antara lain
sebagai berikut:
1. Paralisis otot persisten
2. Gagal nafas, dengan ventilasi mekanik
3. Aspirasi
4. Retensi urin
5. Masalah psikiatrik, seperti depresi dan ansietas
6. Nefropati, pada penderita anak
7. Hipo ataupun hipertensi
8. Tromboemboli, pneumonia, ulkus
9. Aritmia jantung
10. Ileus
Komplikasi yang paling ditakuti adalah gangguan pernapasan dan
kelumpuhan bulbar.

8
1.1.6 Pemeriksaan Penunjang ( Grace dan borley, 2007 )
1. pungsi lumbal berurutan : memperlihatkan
fenomena klasik dari tekanan normal dan jumlah
sel darah putih yang normal, dengan peningkatan
protein nyata dalam 4-6 minggu. Biasanya
peningkatan protein tersebut tidak akan tampak
pada 4-5 hari pertama, mungkin diperlukan
pemeriksaan seri pungsi lumbal ( perlu diulang
untuk dalam beberapa hari ).
2. Elektromiografi : hasilnya tergantung pada tahap dan
perkembangan sindrom yang timbul. Kecepatan
konduksi saraf diperlambat pelan. Fibrilasi ( getaran
yang berulang dari unit motorik yang sama )
umumnya terjadi pada fase akhir.
3. Darah lengkap : terlihat adanya leukositosis pada fase
awal.
4. Fotorontgen : dapat memperlihatkan berkembangnya
tanda-tanda dari gangguan pernapasan, seperti
atelektasis, pneumonia.
5. Pemeriksaan fungsi paru : dapat menunjukkan adanya
penurunan kapasitas vital, volume tidal, dan
kemampuan inspirasi.

1.1.7 Penatalaksanaan
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri,
pengobatan secara umum bersifat simptomatik. Meskipun
dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu
dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka
kecacatan ( gejala sisa ) cukup tinggi sehingga pengobatan
tetap harus diberikan.

9
Tujuan terapi khusus adalah mengurangi beratnya
penyakit dan mempercepat penyembuhan melalui sistem
imunitas ( imunoterapi ).
1. Kortikosteroid
Kebanyakan penelitihan mengatakan bahwa penggunaan preparat
steroid tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi GBS.

2. Plasmaparesis
Plasmaparesis atau plasma. Exchange bertujuan untuk
mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar. Pemakai
pasmaparesis pada GBS memperlihatkan hasil yang baik, berupa
perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas yang
lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek . pengobatan
dilakukan dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14
hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan saat awal onset
gejala ( minggu pertama ).
3. Pengobatan imunosupresan
a. Imunoglobulin IV
Pengobatan dengan gamma globulin intravena lebih
menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena efek
samping/ komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0,4
gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis
maintenance 0,4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh.
b. Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah :
- 6 merkaptopurin ( 6-MP )
- Azathioprine
- Cyclophosphamid

10
BAB III
KONSEP KEPERAWATAN

3.1.1 Pengkajian Keperawatan


A. Identitas
B. Pola-pola pengkajian Gordon
1. Pola Persepsi Kesehatan dan Pemeliharaan Kesehatan
a. Keadaan sebelum sakit Tanyakan mengenai
vaksinasi yang di dapatkan pasien,
lingkungan, kebiasaan merokok, pernah
melakukan check up klinis sebelumnya, dan
upaya yang dilakukan mempertahankann
hygiene.
b. Riwayat Penyakit Saat Ini Keluhan utama:
Kelemahan otot, nyeri, kesulitan bernapas,
serta kelumpuhan otot.
c. Riwayat Penyakit Yang pernah dialami
Tanyakan pada pasien apakah sering
mengalami flu atau penyakit lain berhubung
dengan saluran napas, cerna, atau penyakit
lain seperti HIV, hepatitis dll.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga Tanyakan
apakah ada keluarga pasien mengidap
penyakit serupa.
2. Pola Nutrisi dan Metabolik
Gejala : Kesulitan dalam menguyah dan menelan.
Tanda : Gangguan pada reflex menelan.
3. Pola Eliminasi
Gejala : Adanya perubahan pola eliminasi

11
Tanda : Kelemahan pada otot-otot abdomen,
hilangnya sensasi anal (anus) atau berkemih dan
reflex sfingter.
4. Pola Aktivitas dan Latihan
Gejala : Adanya kelemahan dan paralisis secara
simetris yang biasanya dimulai dari ekstremitas
bagian bawah dan selanjutnya berkembang dengan
cepat ke arah atas. Kesulitan dalam bernapas, napas
pendek menyebabkan sulit beraktivitas. Perubahan
tekanan darah (hipertensi/hipotensi) menganggu
latihan.
Tanda : Kelemahan otot, paralisis flaksid (simetris),
cara berjalan tidak mantap. Pernapasan perut,
menggunakan otot bantu napas, tampak
sianosis/pucat. Takikardi/bradikardi, distrimia.
5. Pola Persepsi Kognitif
Gejala : Kebas, kesemutan yang dimulai dari kaki
atau jari-jari kaki dan selanjutnya terus naik,
perubahan rasa terhadap posisi tubuh, vibrasi, sensasi
nyeri, sensasi suhu, dan perubahan dalam ketajaman
penglihatan.
Tanda : Hilangnya/menurunnya reflex tendon dalam,
hilangnya tonus otot, adanya masalah dengan
keseimbangan. Lalu, adanya kelemahan pada otot-
otot wajah, terjadi ptosis kelopak mata. Kehilangan
kemampuan untuk berbicara.
6. Pola Peran dan Hubungan Dengan Sesama
Tanda : Kehilangan kemampuan untuk berbicara dan
berkomunikasi.
7. Pola Mekanisme Koping dan Toleransi terhadap
Stress Gejala : Perasaan cemas dan terlalu

12
berkonsentrasi pada masalah yang dihadapi. Tanda :
Tampak takut dan bingung.
C. Pola Pengkajian B1-B6
Pada klien GBS biasanya didapatkan suhu tubuh
normal. Penurunan denyut nadi terjadi berhubungan dengan
tanda-tanda penurunan curah jantung. eningkatan
frekuensi pernapasan berhubungan dengan peningkatan laju
metabolisme umum dan adanya infeksi pada sistem
pernapasan dan adanya akumulasi sekret akibat insufisiensi
pernapasan. Didapatkan ortostatik  hipotensi atau meningkat
(hipertensi transien) berhubungan dengan penurunan reaksi
saraf simpatis dan parasimpatis.
1. B1 (Breathing)
Inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan
produksi sputum, sesak  napas, penggunaan otot
bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan
karena infeksi saluran pernapasan dan paling sering
didapatkan pada klien GBS adalah penurunan
frekuensi pernapasan karena melemahnya fungsi otot-
otot pernapasan. Palpasi biasanya taktil premitus
seimbang kanan dan kiri. Auskultasi bunyi napas
tambahan seperti ronkhi pada klien dengan GBS
berhubungan akumulasi sekret dari infeksi saluran
napas.
2. B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler pada
klien GBS didapatkan  bradikardi yang berhubungan
dengan penurunan perfusi perifer.-ekanan darah
didapatkan ortostatik hipotensi atau meningkat
( hipertensi transien ) berhubungan dengan penurunan
reaksi saraf simpatis dan  parasimpatis.
3. B3 (Brain)

13
Merupakan pengkajian fokus meliputi :
a. Tingkat kesadaran pada klien GBS biasanya
kesadaran Compos mentis. Apabila klien
mengalami penurunan tingkat kesadaran maka
penilaian GBS sangat  penting untuk menilai
dan sebagai bahan evaluasi untuk monitoring
pemberian asuhan keperawatan.
b.  Fungsi serebri
Status mental observasi penampilan klien dan
tingkah lakunya, nilai gaya biara klien dan
observasi ekspresi wajah, dan aktivitas
motorik  yang ada pada klien GBS tahap
lanjut disertai penurunan tingkat kesadaran
biasanya status mental klien mengalam
perubahan.
c. Pemeriksaan saraf kranial
 Saraf I. Biasanya pada klien GBS tidak
ada kelainan dan fungsi  penciuman
 Saraf II Tes ketajaman penglihatan pada
kondisi normal.
 Saraf III, IV, dan VI. Penurunan
kemampuan membuka dan menutup
kelopak mata, paralis okular.
 Saraf V. Pada klien GBS didapatkan
paralis pada otot wajah sehingga
mengganggu proses mengunyah.
 Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam
batas normal, wajah asimetris karena
adanya paralisis unilateral.
 Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli
konduktif dan tuli persepsi.

14
 Saraf IX dan X. paralisi otot orofaring,
kesukaran berbicara, mengunyah, dan
menelan. Kamampuan menelan kurang
baik sehngga mengganggu  pemenuhan
nutrisi via oral.
Kaji tanda Verbal dan non Verbal Reaksi verbal atau nonverbal dapat
kecemasan, dampingi klien, dan menunjukkan rasa agitasi, marah
lakukan tindakan bila menunjukkan dan gelisah
perilaku merusak 
Hindari konfrantasi Konfrontasi dapat meningkatkan
rasa marah, menurunkan kerja
sama, dan mungkin memperlambat
penyembuhan
Mulai melakukan tindakkan untuk  Mengurangi rangsangan eksternal
mengurangi kecemasan. Beri yang tidak perlu
lingkungan yang tenang dan
suasana  penuh istirahat
Orientasikan klien terhadap Orientasi dapat menurunkan
prosedur  rutin dan aktivitas yang kecemasan
diharapkan

3.1.2 Diagnosa Keperawatan (NANDA, 2018) (SDKI,


1. Ketidakefektifan pola nafas b.d paralisis otot pernapasan
2. Perubahan perfusi jaringan b.d disfungsi system saraf
autonomic
3. Gangguan persepsi sensori penglihatan b.d paralisis okuler
4. Hambatan mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuscular
5. Nyeri akut b.d kerusakan saraf sensorik
6. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d
paralisis orofaringeal.
7. Konstipasi b.d kehilangan sensasi dan reflex sfingter
8. Hambatan interaksi social b.d paralisis otot wajah
9. Ansietas b.d kurang pajanan informasi mengenai penyakit.
3.1.3 Intervensi Keperawatan(NIC, Edisi Keenam)

15
1. Ketidakefektifan pola nafas b.d paralisis otot pernapasan
Noc : Setelah dilakukan tindakan Asuhan Keperawatan 3x 24 Jam
diharapkan Pola napas pasien menjadi efektif atau paten
Nic :
- Pantau frekuensi, kedalaman, dan kesimetrisan pernapasan
Perhatikan gerakan dada, penggunaan otot-otot bantu, serta
retraksi otot.
- Catat peningkatan kerja napas dan obervasi warna kulit dan
membrane mukosa.
- Pantau pola pernapasan bradipnea, apnea.

- Tinggikan kepala tempat tidur atau letakkan pasien pada


posisi bersandar.
- Anjurkan napas dalam melalui abdomen selama periode
distress pernapasan.
- Berikan terapi suplemetasi oksigen (sesuai indikasi).
- Berikan obat/bantu tindakan pembersihan pernapasan
melalui perksusi dada, drainase postural, vibrasi.
2. Ketidakefektifan perfusi jaringan b.d disfungsi system saraf
autonom.
Noc : Setelah dilakukan tindakan Asuhan Keperawatan 3x 24 Jam
diharapkan Perfusi jaringan menjadi efektif
Nic :
- Ukur tekanan darah. Observasi adanya hipotensi postural.
Berikan latihan ketika sedang melakukan perubahan posisi
pasien.
- Pantau frekuensi jantung dan iramanya. Dokumentasikan
adanya distrimia.
- Pantau suhu tubuh. Berikan suhu lingkungan yang nyaman.

- Tinggikan sedikit kaki tempat tidur. Berikan latihan pasif


pada lutut/kaki.
- Kolaborasi dengan pemberian cairan IV sesuai indikasi.
- Pemberian heparin sesuai indikasi.

16
- Pantau pemeriksaan laboratorium seperti Hb.
3. Ganguan persepsi sensori penglihatan b.d paralisis okuler
Noc : Setelah dilakukan tindakan Asuhan Keperawatan 3x 24 Jam
diharapkan pasien dapat mempertahankan fungsi sensori
penglihatan
Nic :
- Kaji lingkungan terhadap kemungkinan bahaya terhadap
keamanan
- Pantau dan dokumentasikan perubahan status neurologis
pasien
- Pantau tingkat kesadaran pasien

- Tingkatkan penglihatan pasien yang masih tersisa, jika


diperlukan jangan memindahkan barang-barang di dlam
kamar pasien tanpa menberitakn pasien
- Ajarkan pasien untuk secara visual memantau posisi bangian
tubuh, jika tedapat kerusakan propriosepsi
4. Hambatan mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuscular
Noc : Setelah dilakukan tindakan Asuhan Keperawatan 3x 24 Jam
diharapkan ada Peningkatan keoptimalan mobilitas
Nic :
- Kaji kekuatan motorik/kemampuan fungsional dengan
menggunakan skala 0-5. Lakukan pengkajian secara teratur
sesuai kebutuhan secara individual.
- Sokong ekstremitas dan persendian dengan bantal,
trochanter roll, papan kaki.
- Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif/pasif
untuk mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan
ketahanan otot
- Anjurkan untuk melakukan latihan yang terus dikembangkan
dan bergantung pada toleransi secara individual.
- Konfirmasikan dengan rujuk ke bagian terapi fisik.
5. Nyeri akut b.d kerusakan saraf sensorik

17
Noc : Setelah dilakukan tindakan Asuhan Keperawatan 3x 24 Jam
diharapkan Nyeri pasien teratasi
Nic :
- Evaluasi derajat nyeri/rasa tidak nyaman dengan
menggunakan skala 0-10.
- Observasi adanya tanda-tanda nonverbal dari nyeri tersebut.
- Berikan masase atau sentuhan sesuai toleransi pasien secara
individual.
- Ajarkan tehnik relaksasi, atau distraksi.

- Beri obat analgetik sesuai kebutuhan.


6. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d
paralisis orofaringeal.
Noc : Setelah dilakukan tindakan Asuhan Keperawatan 3x 24 Jam
diharapkan pemenuhan nutrisi pasien tercukupi
Nic :
- Kaji kemampuan untuk mengunyah, menelan, pada keadaan
yang teratur.
- Catat masukan kalori setiap hari.
- Catat makanan yang disukaii oleh pasien termasuk pilihan
diet yang dikehendaki.
- Izinkan untuk makan sesuai waktu yang diinginkan yang
menyenangkan bagi pasien
- Beri diet tinggi kalori.

- Pasang/pertahankan selang NGT.


7. Konstipasi b.d kehilangan sensasi dan reflex sfingter
Noc : Setelah dilakukan tindakan Asuhan Keperawatan 3x 24 Jam
diharapkan tidak ada Konstipasi yang dikeluhkan.
Nic :
- Auskultasi bising usus, catat adaya perubahan bising usus.

- Anjurkan pasien untuk minum paling sedikit 2000 ml/hari


(jika pasien dapat menelan).

18
- Berikan privasi dan posisi fowler dengan jadwal waktu secara
teratur.
- Beri obat pelembek feses.

- Tingkatkan diet makanan yang berserat.


8. Hambatan interaksi social b.d paralisis otot wajah
Noc : Setelah dilakukan tindakan Asuhan Keperawatan 3x 24 Jam
diharapkan pasien menunjukkan keterampilan interaksi social
Nic :
- Kaji pola dasar interaksi antara pasien dengan orang lain

- Bantu pasien meningkatkan kesadaran tentang kekuatan dan


keterbatasan dalam berkomuniikasi dengan orang lain
- Minta dan harapkan kominikasi verbal
- Gunakan teknik bermain peran untuk meningkatkan
keterampilan dan teknik berkomunikasi.
9. Ansietas b.d kurang pajanan informasi mengenai penyakit.
Noc : Setelah dilakukan tindakan Asuhan Keperawatan 3x 24 Jam
diharapkan Ansietas pasien berkurang.
Nic :
- Kaji dan dokumentasikan tingkat kecemasan pasien.

- Sediakan informasi factual menyangkut diagnosis,


perawatan dan prognosis.
- Diskusikan adanya perubahan citra diri, ketakutan akan
kehilangan kemampuan yang menetap, kehilangan fungsi.
- Sediakan penguatan yang positif ketika pasien mampu untuk
meneruskan aktivitas sehari-hari dan lainnya meskipun
ansietas
3.1.4 Implementasi Keperawatan
Implementasi diberikan sesuai diagnosa yang diutamakan. Dapat
dilihat dari diagnosa 1 hingga 9. Dan harus sesuai protap dari Instansi
Kesehatan masing masing.
Daftar Pustaka

19
Betz Cecily Lynn. 2009. Buku Saku Keperawatan Pediatri Edisi 5. Jakarta:
EGC

Henderson.Crist. 2001. Buku Ajar Konsep Kebidanan. Jakarta:EGC hal 234

Hernawatiaj. 2008. Tumbuh Kembang Anak 3-5 Tahun. Jakarta:EGC

Hull david. Jhontson derek.2008. Dasar-dasar pediatri edisi 3. Jakarta:


EGC.Hal 66

Journal of Maternal, Child and Adolescent Health; California Birth Defects


Monitoring Program at.2009 www.cdph.ca.gov/programs/cbdmp

Manuaba.I.B.G. 2007. Pengantar Kuliah Obstetri.2007. Jakarta: EGC

Makrum.a.h.Ismael .1991. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Jilid 1.


Jakarta:FKUI

Ngastiyah, Setiawan.1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC

Suriadi & Yuliani R.2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak Edisi 1. Jakarta


: CV.

Wong.L Donna.2008. Pedoma Klinis Keperawatan Pediatrik Edisi 4.


Jakarta: EGC

20

Anda mungkin juga menyukai