Anda di halaman 1dari 33

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN

DENGAN GUILLAIN BARRE SYNDROM (GBS)

Dosen : DR. Catur Budi Susilo, SKp,. M.Kes

DISUSUN OLEH :

Ovy Septianingsih P07120116041


Erva Ayu Rohmadina P07120116042
Donna Savitri P07120116043
Afita Dian Prabandari P07120116044
Pangestika Ardea Wati P07120116045
Binar Ramadhani P07120116046
Aifin Dyah Sintadewi P07120116047
Arvira Restu Rusmawardhani P07120116048
Muhammad Fadel Assidiq P07120116049
Hanifah Yuki Purwantari P07120116050

D III KEPERAWATAN REGULER B

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN YOGYAKARTA

2017/2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena telah memberikan
kesempatan untuk menyelesaikan Makalah Keperawatan Medikal-Bedah mengenai
penyakit Guillain Barre Syndrom (GBS) ini tepat waktu. Makalah ini disusun dalam
rangka memenuhi tugas kelompok mata kuliah Keperawatan Medikal-Bedah II.

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
proses pembuatan makalah ini. Tanpa dukungan dari berbagai pihak mungkin makalah
ini tidak bisa selesai tepat waktu. Kami menyadari makalah yang kami buat ini masih
banyak kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
makalah ini.

Akhir kata kami mengharapkan makalah Keperawatan Medikal-Bedah II tentang


penyakit Guillain Barre Syndrom (GBS) ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Yogyakarta, 04 Maret 2018

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Syndrome Guillain-Barre adalah suatu syndrome klinis berupa gangguan
neuron motorik bagian bawah dalam saraf perifer, di mana proses penyakitnya
mencakup demielinasi polineuropati akut (Price & Wilson, 2006). Penyebab dari GBS
masih belum ditemukan, tetapi banyak ahli yang berpendapat bahwa infeksi virus
menyebabkan terjadinya reaksi autoimun yang kemudian menyerang mielin saraf
perifer (Smeltzer, 2002).
Patofisiologi Dimulai dari adanya faktor-faktor predisposisi yang terjadi 1-4
minggu sebelum onset, yaitu infeksi pernapasan atau gastrointestinal (virus atau
inflamasi) merubah sel dalam system saraf, sehingga system imun mengenali sel
tersebut sebagaiselasing. Sesudah itu Limfosit T yang tersensitisasi dan makrofag akan
menyerang myelin.Selain itu, limfosit T menginduksi limfosit B untuk menghasilkan
antibodi yang menyerang bagian tertentu dari selubung myelin, dan menyebabkan
kerusakan myelin (NINDS, 2000 dalam Price, 2006). Guillain Bare’ terjadi dengan
frekwensi yang sama pada kedua jenis kelamin dan pada semua ras. Puncak yang agak
tinggi terjadi pada kelompok usia 16-25 tahun, tetapi mungkin bisa berkembang pada
setiap golongan usia. Sekitar setengah dari korban mempunyai penyalit febris ringan 2
sampai 3 minggu sebelum awitan, infeksi febris biasanya berasal dari pernapasan atau
gastrointestinal
Syndrome ini terjadi karena adanya kerusakan myelin di saraf tepi . Guillain
Barre Syndrome ditandai dengan paralisis motorik yang biasanya menyerang
ektremitas bawah kemudian berkembang ke bagian atas. Penyakit ini menyerang di
seluruh dunia baik laki-laki maupun perempuan dengan perbandingan pria dan wanita
= 1,5:1. Insidennya sekitar 1-4 orang per 100.000/tahun di seluruh dunia terserang
penyakit ini. Sindrom ini banyak ditemukan pada bangsa Euro-Amerika dan Australia.
Kejadian tersering terjadi pada pria usia 15-35 tahun (gejala awal) dan > 70 tahun pada
kasus terparah (Prevotz & Sutter, 1997; McKhann, et al., 1993; Jiang, et al., 1996;
Evans & Vedanarayanan, 1997)
GBS tersebar diseluruh dunia terutama di negara–negara berkembang dan
merupakan penyebab tersering dari paralysis akut. Insiden banyak dijumpai pada
dewasa muda dan bisa meningkat pada kelompok umur 45-64 tahun. Lebih sering
dijumpai pada laki – laki dari pada perempuan. Puncak yang agak tinggi terjadi pada
kelompok usia 16-25 tahun, tetapi mungkin juga berkembang pada setiap golongan
usia. Sekitar setengah dari korban mempunyai penyakit febris ringan 2-3 minggu
sebelum awitan. Infeksi febris biasanya berasal dari pernapasan atau gastrointestinal.
Angka kejadian penyakit ini berkisar 1,6 iga puluh persen% penderita ini
membutuhkan mesin bantu pernafasan untuk bertahan hidup, sementara 5% pesampai
1,9/100.000 penduduk per tahun lebih dari 50% kasus biasanya didahului dengan
infeksi saluran nafas atas. Tnderita akan meninggal, meskipun dirawat di ruang
perawatan intensif. Sejumlah 80% penderita sembuh sempurna atau hanya menderita
gejala sisa ringan, berupa kelemahan ataupun sensasi abnormal, seperti halnya
kesemutan atau baal. Lima sampai sepuluh persen mengalami masalah sensasi dan
koordinasi yang lebih serius dan permanen, sehingga menyebabkan disabilitas berat;
10% diantaranya beresiko mengalami relaps.

B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah asuhan keperawatan pada pasien dengan Guillain Barre
Syndrom (GBS) ?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Penulis mendapat gambaran dan pengalaman tentang asuhan keperawatan pada
pasien Guillain Barre Syndrom (GBS).
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui tentang teori penyakit Guillain Barre Syndrom (GBS)
b. Memahami asuhan keperawatan dengan pasien Guillain Barre Syndrom
(GBS) :
1) Memahami pengkajian keperawatan pada klien dengan GBS.
2) Memahami diagnosa keperawatan pada klien dengan GBS.
3) Memahami tindakan keperawatan pada klien dengan GBS.
4) Memahami tindakan keperawatan pada klien dengan GBS.
5) Memahami evaluasi keperawatan pada klien dengan GBS.
BAB II

KAJIAN TEORI

A. Definisi
Guillain Barre Syndrome adalah sindroma yang memiliki karakteristik berupa
paralisis asenden simetris yang berkembang secara cepat, biasanya mengikuti infeksi
virus. Adanya riwayat flu saluran pernapasan atas atau gastrik, infeksi mononukleus,
atau hepatitis merupakan hal yang umum. Pemulihan biasanya sempurna, namun dapat
di alami klien sampai 18 bulan, jika derajat yang dipengaruhi cukup luas. Pemulihan
motorik dimulai lebih kurang 10-14 hari setelah serangan dari gejala-gejala tersebut
(Widagdo,W dkk, 2008).
Guillain Barre Syndrome adalah suatu syndrome klinis berupa gangguan neuron
motorik bagian bawah dalam saraf perifer, di mana proses penyakitnya mencakup
demielinasi polineuropati akut. Syndrome Guillain-Barre (GBS) merupakan sindrom
klinis yang ditunjukan oleh onset (awitan) akut dari gejala-gejala yang mengenai saraf
tepi dan kranial. Proses penyakit mencakup demielinisasi dan degenerasi selaput mielin
dari saraf tepi kranial (Price & Wilson, 2006).
GBS adalah sindrom kronik yang menyangkut saraf perifer dan kranial, yang
penyebabnya tidak diketahui (Smeltzer, 2002).GBS yaitu sindrom idiopatik dengan
karakteristik jenis infeksi yang bertanggung jawab tidak dapat ditentukan (Sidartha, P,
1985 dalam Muttaqin, 2008). GBS adalah gangguan kelemahan neuromuscular akut
yang memburuk secara progresif yang dapat mengarah kepada kelumpuhan total, tetapi
biasanya paralisis sementara (Doenges, Moorhouse, & Geissler, 2012).
GBS juga disebut Akut Idiopatik Polineuropati (AIP) merupakan suatu penyakit
susunan saraf yang terjadi secara akut dan difus, terjadi setelah infeksi, mengenai radiks
dan saraf tepid an terkadang mengenai saraf otak. Guillain Bare’ Syndrom adalah
ganguan kelemahan neuro-muskular akut yang memburuk secara progresif yang dapat
mengarah pada kelumpuhan total, tatapi biasanya paralisis sementara ( Doenges:369).
Guillain Barre Syndrome (GBS) atau yang dikenal dengan Acute Inflammatory
Idiopathic Polyneuropathy (AIIP) atau yang bisa juga disebut sebagai Acute
Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy (AIDP) adalah suatu penyakit pada
susunan saraf yang terjadi secara akut dan menyeluruh, terutama mengenai radiks dan
saraf tepi, kadang-kadang mengenai saraf otak yang didahului oleh infeksi. Penyakit
ini merupakan penyakit dimana sistem imunitas tubuh menyerang sel saraf.

B. Etiologi
Penyebab dari Guillain-Barre Syndrome belum diketahui secara pasti, sehingga
penyakit ini sering disebut idiopathic. Nama lain dari sindrom ini adalah
polyneuropathy/idiopathic polyneuropathy. Namun ada beberapa factor resiko yang
dapat menjadi factor penyebab perkembangan Guillain-Barre Syndrome. (Ignatavicius
& Workman, 2010).
1. Bakteri atau virus, misalnya Campylobacter jejuni
2. Penyakit autoimun : HIV/AIDS, Systemic Lupus Erythematosus
3. Penyakit akut seperti ISPA dan Gastrointestinal illness.
4. Virus : Cytomegalovirus dan Epstein-Barr Virus (EBV)
Dalam kebanyakan kasus GBS, penyebabnya diketahui adalah invasi bakteri
Campylobacter jejuni. Bakteri ini biasanya ditemukan pada ayam atau sapi sehat.
Bakteri ini dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui daging ayam atau sapi yang
mentah atau tanpa melalui proses pemasakan yang matang sempurna. Bakteri ini
terdapat dalam feses ayam/sapi yang berpotensi mencemari daging. Hal ini sama
halnya dengan bakteri Salmonella. Selain itu, air yang tidak berklorin juga merupakan
salah satu tempat berkembangnya bakteri ini. (EVANS, et al., 1998 dalam Rosyidi, et
al., 2012).
Penyebab dari GBS masih belum ditemukan, tetapi banyak ahli yang
berpendapat bahwa infeksi virus menyebabkan terjadinya reaksi autoimun yang
kemudian menyerang mielin saraf perifer (Smeltzer, 2002). Akan tetapi, tidak ada jenis
virus yang dapat diisolasi sejauh ini.Paling banyak pasien yang terkena sindrom ini
bermula dari infeksi pernapasan atau gastrointestinal 1-4 minggu sebelum terjadi
serangan penurunan neurologis(Muttaqin, 2008). Selain itu, imunisasi, pembedahan,
penyakit Hodgkin atau limfoma lain dan lupus eritematosus merupakan keadaan dan
jenis penyakit yang mendahului sindrom tersebut (Price & Wilson, 2006).
Penyebab spesifik sampai sekarang belum diketahui. Ada dua teori mengenai
penyebab dari guillain barre syndrome. Teori pertama mengatakan bahwa guillain barre
disebabkan karena infiltrasi virus ke spinal dan kadang-kadang ke akar-akar saraf
kranial. Teori kedua mengatakan bahwa sindroma ini sebagai akibat dari respon
autoimmun dari tubuh yang mana di timbulkan oleh toksin atau agent infeksi yang
menimbulkan dimielintasi segmen dari saraf-saraf perifer atau kranial. Penyakit ini
umumnya menyerang seseorang yang berusia 30-50 tahun, baik itu pria maupun wanita
(Widagdo W, Suharyanto T, & Aryani R, 2008).
Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti
penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit yang
mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain:
1. Infeksi
a. Infeksi : missal radang tenggorokan atau radang lainnya
b. Infeksi virus : measles, Mumps, Rubela, Influenza A, Influenza B, Varicella
zoster, Infections mono nucleosis (vaccinia, variola, hepatitis inf, coxakie)
c. Vaksin : rabies, swine flu
d. Infeksi yang lain : Mycoplasma pneumonia, Salmonella thyposa, Brucellosis,
campylobacter jejuni
2. Vaksinasi
3. Pembedahan
4. Penyakit sistematik:
a. keganasan, Hodgkin’sdisease, carcinoma,lymphoma
b. systemic lupus erythematosus
c. tiroiditis
d. penyakit Addison
5. Kehamilan atau dalam masa nifas
Infeksi akut yang berhubungan dengan SGB

Infeksi Definite Probable Possible

Virus CMVEBV HIVVaricella- InfluenzaMeaslesMumps


zosterVaccinia/smallpox Rubella
Hepatitis
Coxsackie
Echo
Bakteri Campylobacter Jejeni Typhoid Borrelia
Mycoplasma BParatyphoidBrucellosis
Pneumonia Chlamydia
Legionella
Listeria

SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi
kasus SGB yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% – 80%, yaitu 1 sampai
4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau
infeksi gastrointestinal, Salah satu hipotis menyatakan bahwa infeksi virus
menyebabkan reaksi autoimun yang menyerang mielin saraf perifer.Etiologi GBS tidak
diketahui. Dahulu diperkirakan disebabkan adanya infeksi virus pada jaringan saraf,
namun akhir-akhir ini diyakini disebabkan karena penyakit imun. Umumnya terjadi
secara akut, menghilangkan polyneuritis dengan mengontrol poliomyelitis dengan
pemberian imunisasi. Paling sering diderita oleh orang berusia 16 – 25 tahun. Namun
tidak menutup kemungkinan terjadi pada semua usia.

C. Patofisiologi
Tidak ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana GBS terjadi dan dapat
menyerang sejumlah orang. Yang diketahui ilmuwan sampai saat ini adalah bahwa
sistem imun menyerang tubuhnya sendiri, dan menyebabkan suatu penyakit yang
disebut sebagai penyakit autoimun. Umumnya sel-sel imunitas ini menyerang benda
asing dan organisme pengganggu; namun pada GBS, sistem imun mulai
menghancurkan selubung myelin yang mengelilingi akson saraf perifer, atau bahkan
akson itu sendiri. Terdapat sejumlah teori mengenai bagaimana sistem imun ini tiba-
tiba menyerang saraf, namun teori yang dikenal adalah suatu teori yang menyebutkan
bahwa organisme (misalnya infeksi virus ataupun bakteri) telah mengubah keadaan
alamiah sel-sel sistem saraf, sehingga sistem imun mengenalinya sebagai sel-sel asing.
Organisme tersebut kemudian menyebabkan sel-sel imun, seperti halnya limfosit dan
makrofag, untuk menyerang myelin. Limfosit T yang tersensitisasi bersama dengan
limfosit B akan memproduksi antibodi melawan komponen-komponen selubung
myelin dan menyebabkan destruksi dari myelin. Myelin tidak membungkus akson
secara utuh, namun terdapat suatu jarak diantaranya, yang dikenal sebagai Nodus
Ranvier; dimana daerah ini merupakan daerah yang rentan diserang. Transmisi sinyal
saraf juga akan diperlambat pada daerah ini, sehingga semakin banyak terdapat nodus
ini, transmisi sinyal akan semakin lambat.
Pada GBS, terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai reaksi terhadap
adanya antigen atau partikel asing dalam tubuh, seperti bakteri ataupun virus. Antibodi
yang bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai myelin serta merusaknya, dengan
bantuan sel-sel leukosit, sehingga terjadi inflamasi pada saraf. Sel-sel inflamasi ini akan
mengeluarkan sekret kimiawi yang akan mempengaruhi sel Schwan, yang seharusnya
membentuk materi lemak penghasil myelin. Dengan dirusaknya, produksi myelin akan
berkurang, sementara pada waktu bersamaan, myelin yang ada telah dirusak oleh
antibodi tubuh. Seiring dengan serangan yang berlanjut, jaringan saraf perifer akan
hancur secara bertahap. Saraf motorik, sensorik, dan otonom akan diserang; transmisi
sinyal melambat, terblok, atau terganggu; sehingga mempengaruhi tubuh penderita. Hal
ini akan menyebabkan kelemahan otot, kesemutan, kebas, serta kesulitan melakukan
aktivitas sehari-hari, termasuk berjalan. Untungnya, fase ini bersifat sementara,
sehingga apabila sistem imun telah kembali normal, serangan itu akan berhenti dan
pasien akan kembali pulih.
Pada GBS, terjadi malfungsi pada sistem imunitas sehingga muncul kerusakan
sementara pada saraf perifer, dan timbullah gangguan sensorik, kelemahan yang
bersifat progresif, ataupun paralisis akut. Karena itulah GBS dikenal sebagai neuropati
perifer. GBS dapat dibedakan berbagai jenis tergantung dari kerusakan yang terjadi.
Bila selubung myelin yang menyelubungi akson rusak atau hancur , transmisi sinyal
saraf yang melaluinya akan terganggu atau melambat, sehingga timbul sensasi
abnormal ataupun kelemahan. Ini adalah tipe demyelinasi; dan prosesnya sendiri
dinamai demyelinasi primer. ( Murray,1993)

D. Manifestasi klinis
Menurut Smeltzer tahun 2002, terdapat variasi dalam bentuk awitannya.
Gejala awal yang timbul yaitu:
1. Parestesia (kesemutan dan kebas) dan kelemahan otot kaki, yang dapat
berkembang ke ekstremitas atas, batang tubuh dan otot wajah.
2. Dari kelemahan otot kemudian dapat diikuti dengan cepat adanya paralisis yang
lengkap, kesulitan berjalan.
3. Saraf kranial yang paling sering terserang, yang menunjukkan adanya paralisis
pada ocular, wajah, dan otot orofaring dan juga menyebabkan kesukaran
berbicara, mengunyah dan menelan.
4. Gangguan frekwensi jantung dan ritme, perubahan tekanan darah (hipertensi
transien, hipotensi ortostatik dan atau takikardi) akibat terjadinya disfungsi
autonom yang memperlihatkan reaksi berlebihan atau kurang bereaksinya
system saraf simpatis dan parasimpatis, penekanan atau kegagalan pernapasan
: dispnea, menurunnya suara napas, menurunnya volume tidal/atau kapasitas
paru.
5. Nyeri berat dan menetap pada punggung dan bagian kaki
6. Kehilangan sensasi terhadap posisi tubuh sama seperti keterbatasan atau tidak
adanya reflex tendon dalam.
7. Oftalmoplegia (tingkat kesadaran, fungsi serebral, dan /atau tanda pupil yang
tidak dipengaruhi).

Menurut Landry, 1859


Pertama kalimenemukan GBS dengan gejala :
1. Kelumpuhan keempat anggota badan
2. Kelumpuhan otot intercosta dan diafragma
3. Kelemahan otot leher / batang tubuh
4. Gangguan sensibilitas disertai paraesthesia
5. Gejala dari ektrimitas bawah ke atas
Menurut Guillain Barred an Strohl, 1916
1. Dua kasus gangguan motorik ekstrimitas bagain distal
2. Reflek tendo hilang
3. Gangguan sensibilitas
4. Kelainan LCS (paningkatan protein tanpa kenaikan jumlah sel/Disosiasi
Cyto Albuminologik).
Sulit dideteksi pada awal kejadian, biasanya : Gejala berupa flu, demam,
headache, pegal dan 10 hari kemudian muncul gejala lemah. Selang 1-4 minggu, sering
muncul gejala berupa :
1. Paraestasia (rasa baal, kesemutan)
2. Otot-otot lemas (pada tungkai, tubuh dan wajah)
3. Saraf-saraf cranialis sering terjadi patologi, shg ganguan gerak bola mata,
mimik wajah, bicara
4. Gangguan pernafasan (kesulitan inspirasi)
5. Ganggua saraf-saraf otonom (simpatis dan para simpatis)
6. Gangguan frekuensi jantung
7. Ganggua irama jantung
8. Gangguan tekanan darah
9. Gangguan proprioseptive dan persepsi terhadap tubuh diikuti rasa nyeri pada
bagian punggung dan daerah lainnya.

E. Klasifikasi
Menurut McCance & Huether, 2010, GBS memiliki beberapa tipe, yaitu :
1. Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy
Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP) adalah
jenis paling umum ditemukan pada SGB, yang juga cocok dengan gejala asli dari
sindrom tersebut. Manifestasi klinis paling sering adalah kelemahan anggota gerak
proksimal dibanding distal. Saraf kranialis yang paling umum terlibat adalah nervus
facialis. Penelitian telah menunjukkan bahwa pada AIDP terdapat infiltrasi
limfositik saraf perifer dan demielinasi segmental makrofag.
2. Acute Motor Axonal Neuropathy
Acute motor axonal neuropathy (AMAN) dilaporkan selama musim panas SGB
epidemik pada tahun 1991 dan 1992 di Cina Utara dan 55% hingga 65% dari pasien
SGB merupakan jenis ini. Jenis ini lebih menonjol pada kelompok anak-anak,
dengan ciri khas degenerasi motor axon. Klinisnya, ditandai dengan kelemahan
yang berkembang cepat dan sering dikaitkan dengan kegagalan pernapasan,
meskipun pasien biasanya memiliki prognosis yang baik. Sepertiga dari pasien
dengan AMAN dapat hiperrefleks, tetapi mekanisme belum jelas. Disfungsi sistem
penghambatan melalui interneuron spinal dapat meningkatkan rangsangan neuron
motorik.
3. Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy
Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN) adalah penyakit akut yang
berbeda dari AMAN, AMSAN juga mempengaruhi saraf sensorik dan motorik.
Pasien biasanya usia dewasa, dengan karakteristik atrofi otot. Dan pemulihan lebih
buruk dari AMAN.
4. Miller Fisher Syndrome
Miller Fisher Syndrome adalah karakteristik dari triad ataxia, arefleksia, dan
oftalmoplegia. Kelemahan pada ekstremitas, ptosis, facial palsy, dan bulbar palsy
mungkin terjadi pada beberapa pasien. Hampir semua menunjukkan IgG auto
antibodi terhadap ganglioside GQ1b. Kerusakan imunitas tampak terjadi di daerah
paranodal pada saraf kranialis III, IV, VI, dan dorsal root ganglia.
5. Acute Neuropatic panautonomic
Acute Neuropatic panautonomic adalah varian yang paling langka pada SGB.
Kadang-kadang disertai dengan ensefalopati. Hal ini terkait dengan tingkat
kematian tinggi, karena keterlibatan kardiovaskular, dan terkait disritmia.
Gangguan berkeringat, kurangnya pembentukan air mata, mual, disfaga, sembelit
dengan obat pencahar atau bergantian dengan diare sering terjadi pada kelompok
pasien ini. Gejala nonspesifik awal adalah kelesuan, kelelahan, sakit kepala, dan
inisiatif penurunan diikuti dengan gejala otonom termasuk ortostatik ringan. Gejala
yang paling umum saat onset berhubungan dengan intoleransi ortostatik, serta
disfungsi pencernaan.
6. Ensefalitis Batang Otak Bickerstaff’s (BBE)
Tipe ini adalah varian lebih lanjut dari SGB. Hal ini ditandai dengan onset akut
oftalmoplegia, ataksia, gangguan kesadaran, hiperrefleks atau babinsky sign.
Perjalanan penyakit dapat monophasic atau terutama di otak tengah, pons, dan
medula. BEE meskipun presentasi awal parah biasanya memiliki prognosis baik.
MRI memainkan peran penting dalam diagnosis BEE. Sebagian besar pasien BEE
telah dikaitkan dengan SGB aksonal, dengan indikasi bahwa dua gangguan yang
erat terkait dan membentuk spectrum lanjutan (Seneviratne 2003).

F. Fase GBS
Perjalan penyakit ini terdiri dari 3 fase,yaitu:
1. Fase progresif
Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal sampai gejala
menetap, dikenal sebagai ‘titik nadir’. Pada fase ini akan timbul nyeri, kelemahan
progresif dan gangguan sensorik; derajat keparahan gejala bervariasi tergantung
seberapa berat serangan pada penderita. Kasus GBS yang ringan mencapai nadir
klinis pada waktu yang sama dengan GBS yang lebih berat. Terapi secepatnya akan
mempersingkat transisi menuju fase penyembuhan, dan mengurangi resiko
kerusakan fisik yang permanen. Terapi berfokus pada pengurangan nyeri serta
gejala.
2. Fase plateau.
Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak didapati
baik perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti, namun derajat
kelemahan tetap ada sampai dimulai fase penyembuhan. Terapi ditujukan terutama
dalam memperbaiki fungsi yang hilang atau mempertahankan fungsi yang masih
ada. Perlu dilakukan monitoring tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi,
keseimbangan cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat dimulai di fase ini.
Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan khusus,
serta fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat saraf yang
meradang serta kekakuan otot dan sendi; namun nyeri ini akan hilang begitu proses
penyembuhan dimulai. Lama fase ini tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien
langsung mencapai fase penyembuhan setelah fase infeksi, sementara pasien lain
mungkin bertahan di fase plateau selama beberapa bulan, sebelum dimulainya fase
penyembuhan.
3. Fase penyembuhan
Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan perbaikan dan
penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibody yang
menghancurkan myelin, dan gejala berangsur-angsur menghilang, penyembuhan
saraf mulai terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk
membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang
normal, serta mengajarkan penderita untuk menggunakan otot-ototnya secara
optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang
beregenerasi. Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat muncul relaps. Kebanyakan
penderita mampu bekerja kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien lainnya tetap
menunjukkan gejala ringan samapi waktu yang lama setelah penyembuhan. Derajat
penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan saraf yang terjadi pada fase infeksi.
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Lumbar Puncture
Memperlihatkan fenomena klasik dari tekanan normal dan jumlah sel darah
putih yang normal, dengan peningkatan protein nyata dalam 4-6 minggu. Biasanya
peningkatan protein tersebut tidak akan tampak pada 4-5 hari pertama, mungkin
diperlukan pemeriksaan seri pungsi lumbal (perlu diulang untuk dalam beberapa
hari).
2. Elektromiografi
Hasilnya tergantung pada tahap dan perkembangan sindrom yang timbul.
Kecepatan konduksi saraf diperlambat pelan. Fibrilasi (getaran yang berulang dari
unit motorik yang sama) umumnya terjadi pada fase akhir.
3. Darah lengkap
Terlihat adanya leukositosis pada fase awal. Pada darah tepi, didapati
leukositosis polimorfonuklear sedang dengan pergeseran ke bentuk yang imatur,
limfosit cenderung rendah selama fase awal dan fase aktif penyakit. Pada fase
lanjut, dapat terjadi limfositosis; eosinofilia jarang ditemui. Laju endap darah dapat
meningkat sedikit atau normal, sementara anemia bukanlah salah satu gejala.
4. Fotorontgen
Dapat memperlihatkan berkembangnya tanda-tanda dari gangguan pernapasan,
seperti atelektasis, pneumonia.
5. Pemeriksaan fungis paru
Dapat menunjukan adanya penurunan kapasitas vital, volume tidal, dan
kemampuan inspirasi
6. Koleksi specimen
Meneliti jenis virus/bakteri yang menginfeksi untuk menentukan medikasi
antibiotic yang tepat
7. Lumbal Pungs
Jumlah WBC normal, tekanan normal, peningkatan protein (4-6 minggu)

H. Penatalaksanaan
Tujuan utama dapat merawat pasien dengan SGB adalah untuuk memberikan
pemeliharaan fungsi sistem tubuh. Dengan cepat mengatasi krisis-krisis yang
mengancam jiwa, mencegah infeksi dan komplikasi imobilitas, dan memberikan
dukungan psikologis untuk pasien dan keluarga.
1. Dukungan pernafasan dan kardiovaskuler
Jika vaskulatur pernafasan terkena, maka mungkin dibutuhkan ventilasi
mekanik. Mungkin perlu dilakukan trakeostomi jika pasien tidak dapat disapih dari
ventilator dalam beberapa minggu. Gagal pernafasan harus diantisipasi sampai
kemajuan gangguan merata, karena tidak jelas sejauh apa paralisis akan
terjadi. Jika sistem saraf otonom yang terkena, maka akan terjadi perubahan drastis
dalam tekanan darah (hipotensi dan hipertensi) serta frekuensi jantung akan terjadi
dan pasien harus dipantau dengan ketat. Pemantauan jantung akan memungkinkan
disritmia teridentifikasi dan diobati dengan depat. Gangguan sistem saraf otonom
dapat dipicu oleh Valsava maneuver, batuk, suksioning, dan perubahan posisi,
sehingga aktivitas-aktivitas ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati.
2. Plasmaferesis
Plasmaferesis dapat digunakan baik untuk SGB maupun miastenia gravis untuk
menyingkirkan antibodi yang membahayakan dari plasma. Plasma pasien
dipisahkan secara selektif dari darah lengkap, dan bahan-bahan abnormal
dibersihkan atau plasma diganti dengan yang normal atau dengan pengganti
koloidal. Banyak pusat pelayanan kesehatan mulai melakukan penggantian plasma
ini jika didapati keadaan pasien memburuk dan akan kemungkinan tidak akan dapat
pulang kerumah dalam 2 minggu.
3. Penatalaksanaan nyeri
Penatalaksanaan nyeri dapat menjadi bagian dari perhatian pad pasien dengan
SGB. Nyeri otot hebat biasanya menghilang sejalan dengan pulihnya kekuatan otot.
Unit stimulasi listrik transkutan dapat berguna pada beberapa orang. Setelah itu
nyeri merupakan hiperestetik. Beberapa obat dapat memberikan penyembuhan
sementara. Nyeri biasanya memburuk antara pukul 10 malam dan 4 pagi,
mencegah tidur, dan narkotik dapat saja digunakan secara bebas pada malam hari
jika pasien tidak mengkompensasi secara marginal karena narkotik dapat
meningkatkan gagal pernafasan. Dalam kasus ini, pasien biasanya diintubasi dan
kemudian diberikan narkotik.
4. Nutrisi
Nutrisi yang adekuat harus dipertahankan. Jika pasien tidak mampu untuk
makan per oral, dapat dipasang selang peroral. Selang makan, bagaimana pun,
dapat menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit, jadi dibutuhkan pemantauan
dengan cermat oleh dokter dan perawat.
5. Gangguan tidur
Gangguan tidur dapat menjadi masalah berat untuk pasien dengan gangguan
ini,terutama karena nyeri tampak meningkat pada malam hari. Tindakan yang
memberikan kenyamanan, analgesic dan kontrol lingkungan yang cermat (mis,
mematikan lampu, memberikan suasana ruangan yang tenang) dapat membantu
untuk meningkatkan tidur dan istirahat. Juga harus selalu diingat bahwa pasien
yang mengalami paralise dan mungkin pada ventilasi mekanik dapat sangat
ketakutan sendiri pada malam hari, karena ketakutan tidak mampu mendapat
bantuan jika ia mendapat masalah. Harus disediakan cara atau lampu pemanggil
sehingga pasien mengetahui bahwa ia dapat meminta bantuan. Membuat jadwal
rutin pemeriksaan pasien juga dapat membantu mengatasi ketakutan.
6. Dukungan emosional
Ketakutan, keputusasaan, dan ketidakberdayaan semua dapat terlihat pada
pasien dan keluarga sepanjang perjalanan terjadinya gangguan. Penjelasan yang
teratur tentang intervensi dan kemajuan dapat sangat berguna. Pasien harus
diperbolehkan untuk membuat keputusan sebanyak mungkin sepanjang perjalanan
pemulihan. Kadang pasien seperti sangat sulit untuk dirawat karena mereka
membutuhkan banyak waktu perawat. Mereka dapat menggunakan bel pemanggil
secara berlebihan jika merasa tidak aman. Perawat harus mempertimbangkan untuk
membiarkan keluarga menghabiskan sebagian waktu lebih banyak bersama pasien.
Dengan menyediakan perawat primer dapat memberikan pasien dan keluarga rasa
aman, mengetahui bahwa ada seseorang yang dapat menjadi sumber informasi
dengan konsisten. Pertemuan tim dengan pasien dan keluarga harus dilakukan
secara.

I. Terapi Farmakologi
Sindroma Guillain-Barre dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis dan
pasien diatasi di unit intensif care. Pasien yang mengalami masalah pernapasan
memerlukan ventilator yang kadang-kadang dalam waktu yang lama.
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum
bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu
dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup
tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah
mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas
(imunoterapi).
1. Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak
mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.
2. Plasmaparesis
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor
autoantibodi yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB memperlihatkan
hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu
nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan
dilakukan dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari.
Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala (minggu
pertama).
3. Pengobatan imunosupresan:
a. Imunoglobulin IV
Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan
dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan.
Dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan
dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh.
b. Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:
1) 6 merkaptopurin (6-MP)
2) Azathioprine
3) Cyclophosphamid
Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit
kepala.

J. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi adalah :

1. gagal napas
2. aspirasi makanan atau cairan ke dalam paru
3. pneumonia
4. meningkatkan resiko terjadinya infeksi
5. trombosis vena dalam
6. paralisa permanen pada bagian tubuh tertentu
7. kontraktur pada sendi
8. Kelumpuhan otot pernafasan
9. Cardiac arrhythmia.
10. Hipotensi
11. Trauma/infeksi pada pembuluh darah pada area tindakan
12. Hipovolemia diikuti dengan hipotensi, takikardi, pusing, dan diaphoresis
13. Hypokalemia dan hipokalsemia
14. Parestesi pada ekstremitas bagian distal, kedutan pada otot, mual dan muntah
berkaitan dengan administrasi plasma
15. Sepsis
16. Kegagalan jantung
17. Emboli paru
18. Dekubitus
19. bahkan bisa mengakibatkan kematian.

K. Pencegahan
Salah satu jalan untuk mencegah SGB adalah dengan mempertinggi daya tahan
tubuh saat tidak sakit dengan cara mengkonsumsi protein hewani dari daging dan ikan,
nabati dari tempe dan tahu disertai sayur dan buah, sehingga diharapkan kita jarang
sakit influenza, karena daya tahan tubuh tinggi. Selain itu perlu juga menjaga
kebersihan tubuh dengan mandi dan cuci tangan bila mau makan untuk menghindari
infeksi kuman, virus atau bakteri yang menyebabkan .
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN GUILLAIN BARRE SYNDROM (GBS)

A. Pengkajian
1. Identitas
a. identitas klien
1) Nama
2) Umur : GBS awal menyerang 15-35 tahun, dan penyerangan terparah di
usia 70 tahun ke atas.
3) Jenis kelamin : Karena GBS ini lebih banyak dialami oleh pria, dengan
perbandingan pria dan wanita = 1,5:1.
4) Alamat
5) Suku/ bangsa
6) Agama
7) Pendidikan
8) Pekerjaan
b. Identitas wali
1) Nama
2) Umur
3) Jenis kelamin
4) Alamat
5) Hubungan dengan klien
2. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama
Keluhan utama yang paling sering diungkapkan klien adalah kelemahan
otot baik kelemahan fisik secara umum maupun lokal. Mengeluh pusing dan
sakit kepala, Panas dingin, Ekstremitas lemas dan kesemutan, Kaki baal
seperti memakai kaos kaki, Takut bila ingin berdiri, Jongkok susah berdiri,
Merasa cemas , takut tak sembuh, Agak sesak nafas, Tidur susah dan
gelisah, Susah menelan dan tenggorokan sakit.
b. Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan
adanya hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi
pernahkan klien mengalami ISPA, infeksi gastrointestinal, dan tindakan
bedah saraf. Pengkajian pemakaian obat-obat yang sering digunakan klien,
seperti pemakaian obat kartikosteroid, pemakaian jenis-jenis antibiotik dan
reaksinya (untuk menilai resistensi pemakaian antibiotik) dapat menambah
komprehensifnya pengkajian. Pengkajian riwayat ini dapat mendukung
pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan merupakan data dasar untuk
mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan selanjutnya.
c. Riwayat penyakit sekarang
Pada pengkajian klien GBS biasanya didapatkan keluhan yang
berhubungan dengan proses demielinisasi. Keluhan tersebut diantaranya
gejala-gejala neurologis diawali dengan parestesia (kesemutan kebas) dan
kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang ke ekstremitas atas, batang
tubuh, dan otot wajah. Kelemahan otot dapat diikuti dengan cepat adanya
paralisis yang lengkap.
Keluhan yang paling sering ditemukan pada klien GBS dan merupakan
komplikasi yang paling berat dari GBS adalah gagal napas. Melemahnya
otot pernapasan membuat klien dengan gangguan ini beresiko lebih tinggi
terhadap hipoventilasi dan infeksi pernapasan berulang. Disfagia juga dapat
timbul mengarah pada aspirasi. Keluhan kelemahan ekstremitas atas dan
bawah hampir sama seperti keluhan klien yang terdapat pada klien stroke.
Keluhan lainnya adalah kelainan dari fungsi kardiovaskular, yang
memungkinkan terjadinya gangguan sistem saraf otonom pada klien GBS
yang dapat mengakibatkan distritmia jantung atau perubahan drastis yang
mengancam kehidupan dalam tanda-tanda vital.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Tanyakan pada keluarga klien apakah ada anggota yang pernah
mengalami gangguan kesehatan yang sama dengan klien, dan tanyakan pula
apakah ada anggota keluarga yang pernah menggalami gangguan ISPA
ataupun yang lainnya.
e. Pengkajian Psiko-sosio-spiritual
Pengkajian psikologis klien GBS meliputi beberapa penilaian yang
memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai
status emosi, kognitif, dan perilaku klien. Pengkajian mekanisme koping
yang digunakan klien juga penting untuk menilai respons emosi klien
terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam
keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan
sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun masyarakat. Apakah ada
dampak yang timbul pada klien, yaitu timbul ketakutan akan kecacatan, rasa
cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh). Pengkajian
mengenai mekanisme koping yang secara sadar biasa digunakan klien
selama masa stres meliputi kemampuan klien untuk mendiskusikan masalah
kesehatan saat ini yang telah diketahui dan perubahan perilaku akibat stres.
Karena klien harus menjalani rawat inap maka apakah keadaan ini memberi
dampak pada status ekonomi klien, karena biaya perawatan dan pengobatan
memerlukan dana yang tidak sedikit. Perawat juga memasukkan pengkajian
terhadap fungsi neurologis dengan dampak gangguan neurologis yang akan
terjadi pada gaya hidup individu. Perspektif keperawatan dalam mengkaji
terdiri dari dua masalah, yaitu keterbatasan yang diakibatkan oleh defisit
neurologis dalam hubungannya dengan peran sosial klien dan rencana
pelayanan yang akan mendukung adaptasi pada gangguan neurologis di
dalam sistem dukungan individu.

3. Pemeriksaan Fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien,
pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian
anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan per sistem (B1-B6) dengan
fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (brain) yang terarah dan
dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien.
Pada klien GBS biasanya didapatkan suhu tubuh normal. Penurunan denyut
nadi terjadi berhubungan dengan tanda-tanda penurunan curah jantung.
Peningkatan frekuensi pernapasan berhubungan dengan peningkatan laju
metabolisme umum dan adanya infeksi pada sistem pernapasan dan adanya
akumulasi sekret akibat insufisiensi pernapasan. TD didapatkan ortostatik hipotensi
atau TD meningkat (hipertensi transien) berhubungan dengan penurunan reaksi
saraf simpatis dan parasimpatis.
a. B1 (Breathing)
Inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak
napas, penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan
karena infeksi saluran pernapasan dan paling sering didapatkan pada klien GBS
adalah penurunan frekuensi pernapasan karena melemahnya fungsi otot-otot
pernapasan. Palpasi biasanya taktil premitus seimbang kanan dan kiri.
Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada klien dengan GBS
berhubungan akumulasi sekret dari infeksi saluran napas.
b. B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler pada klien GBS didapatkan
bradikardi yang berhubungan dengan penurunan perfusi perifer.Tekanan darah
didapatkan ortostatik Hipotensi atau TD meningkat ( hipertensi transien )
berhubungan dengan penurunan reaksi saraf simpatis dan parasimpatis.
c. B3 (Brain)
Merupakan pengkajian focus meliputi :
1) Tingkat kesadaran
Pada klien GBS biasanya kesadaran compos mentis ( CM ). Apabila klien
mengalami penurunan tingkat kesadaran maka penilaian GCS sangat
penting untuk menilai dan sebagai bahan evaluasi untuk monitoring
pemberian asuhan keperawatan.
2) Fungsi serebri
Status mental : observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya
bicara klien dan observasi ekspresi wajah, dan aktivitas motorik yang pada
klien GBS tahap lanjut disertai penurunan tingkat kesadaran biasanya status
mental klien mengalam perubahan.
3) Pemeriksaan saraf kranial
a) Saraf I. Biasanya pada klien GBS tidak ada kelainan dan fungsi
penciuman
b) Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.
c) Saraf III, IV, dan VI. Penurunan kemampuan membuka dan
menutup kelopak mata, paralis ocular.
d) Saraf V. Pada klien GBS didapatkan paralis pada otot wajah
sehingga mengganggu proses mengunyah.
e) Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris
karena adanya paralisis unilateral.
f) Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
g) Saraf IX dan X. paralisi otot orofaring, kesukaran berbicara,
mengunyah, dan menelan. Kamampuan menelan kurang baik
sehngga mengganggu pemenuhan nutrisi via oral.
h) Saraf XI. Tidak ada atrof otot sternokleinomastoideus dan
trapezius.kemampuan mobliisasi leher baik.
i) Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak
ada fasikulasi. Indra pengecapan normal.
4) System motoric
Kekuatan otot menurun, control keseimbangan dan koordinasi pada klien
GBS tahap lanjut mengalami perubahan. Klien mengalami kelemahan
motorik secara umum sehingga menggaganggu moblitas fisik .
5) Pemeriksaan reflexs
Pemeriksaan reflex dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum,
periosteum derajat reflexs dalam respons normal.
6) Gerakan involunter
Tidak ditemukan adanya tremor, kejang, Tic,dan distonia.
7) System sensorik
Parestesia ( kesemutan kebas ) dan kelemahan otot kaki, yang dapat
berkembang ke ekstrimtas atas, batang tubuh, dan otot wajah. Klien
mengalami penurunan kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri, dan
suhu.
d. B4 (Bladder)
Terdapat penurunan volume haluaran urine, hal ini berhubungan dengan
penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.
e. B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam
lambung. Pemenuhan nutris pada klien GBS menurun karena anoreksia dan
kelemahan otot-otot pengunyah serta gangguan proses menelan menyebabkan
pemenuhan via oral kurang terpenuhi.
f. B6 (Bone)
Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran menururnkan
mobilitas pasien secara umum. Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien
lebh banyak dibantu orang lain.

4. Pola Fungsi Kesehatan


a. Aktivitas/ Istirahat
Gejala : Adanya kelemahan dan paralisis secara simetris yang biasanya
dimulai dari ekstremitas bagian bawah dan selanjutnya
berkembang dengan cepat kearah atas.Hilangnya kontrol motorik
halus tangan
Tanda : Klemahan otot, paralisis flaksid ( simetris) Cara berjalan tidak
mantap
b. Sirkulasi
Tanda : Perubhan tekanan drah ( hipertensi/hipotensi ), Disritmia,
takikardia/bradikardia, Wajah kemerahan, diaforesis
c. Integritas Ego
Gejala : Perasaan cemas dan terlalu berkonsentrasi pada masalah yang
dihadapi.
Tanda : Tampak takut dan binggung
d. Eliminasi
Gejala : Adanya perubahan pola eliminasi
Tanda : Kelemahan otot-otot abomen, Hilangnya sensasi anal (anus) atau
berkemih dan refleks sfingter.
e. Makanan dan Cairan
Gejala : Kesulitan dalam mengunyah dan menelan
Tanda : Gangguan pada refleks menelan
f. Neurosensori
Gejala : Kebas kesemutan yang dimulai dari kaki atau jari-jari kaki dan
selanjutnya terus naik, Perubhan rasa terhadap posisi tubuh,
vibrasi, sensasi nyeri, sensasi suhu, Perubahan ketajaman
penglihatan.
Tanda : Hilangnya/ menurunnya refleks tenon dalam. Hilangnya tonus
otot, adanya masalah keseimbangan. Adanya kelemahan pada otot-
otot wajah, terjadi ptosis kelopak mata(keterlibatan saraf kranial)
Kehilangan kemampuan untuk berbicara.

g. Nyeri/Keanyamanan
Gejala : Nyeri tekan pada otot; seperti terbakar , sakit, nyeri ( terutama
pada bahu, pelvis,pinggang , punggung dan bokong )
Hipersensitif terhadap sentuhan.
h. Pernafasan
Gejala : Kesulitan dalam bernapas, napas pendek.
Tanda : Pernapasan perut, mengunakan otot bantu napas, apnea
penurunan/ hilangnya bunyi napas. Menurunnya kapasitas vital
paru, Pucat/sianosis, Gangguan refleks menelan/batuk
i. Keamanan
Gejala : Infeksi virus nonspesifik ( seperti; infeksi saluran pernapasan
atas ) kira-kira 2 minggu sebelum munculnya tanda serangan.
Adanya riwayat terkena herper zoster, sitomegalovirus
Tanda : Suhu tubuh berfluktuasi ( sangat tergantung pada suhu
lingkungan ). Penurunan kekuatan/tonus otot, paralisis atau
parastesia.
j. Interaksi sosial
Tanda : Kehilangan kemampuan untuk berbicara/berkomunikasi.

5. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis GBS sangat bergantung pada riwayat penyakit dan perkembangan
gejala-gejala klinik.
a. Lumbal pungsi dapat menunjukkan kadar protein normal pada awalnya dengan
kenaikan pada mnggu ke-4 sampai ke-6. Cairan spinal memperlihatkan adanya
peningkatan konsentrasi protein dengan menghitung jumlah sel normal
b. Pemeriksaan Konduksi Saraf mencatat transmisi impuls sepanjang serabut saraf.
Pengujan elektrofisiologis diperlihatkan dalam bentuk lambatnya laju konduksi
saraf. Sekitar 25% orang dengan penyakit ini mempunyai antibody baik
terhadap cytomegalovirus atau virus Epstein-Barr. Telah ditunjukkan bahwa
perubahan respons imun pada antigen saraf tepi menunjang perkembangan
gangguan.
c. Uji fungsi pulmonal dapat dilakukan jika GBS terduga, sehingga dapat
ditetapkan nilai dasar untuk perbandingan sebagai kemajuan penyakit.
Penurunan kapasitas pulmonal dapat menunjukkan kebutuhan akan ventilasi
mekanik.

B. Diagnnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul yakni :

1. Pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan kelemahan progresif cepat otot-
otot pernapasan dan ancaman gagal pernapasan
2. Resiko tinggi penurunan curah jantung yang berhubungan dengan perubahan
frekuensi, irama, dan konduksi listrik jantung.
3. Resiko gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan
ketidakmampuan mengunyah dan menelan makanan.
4. Gangguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan neuromuscular,
penurunan kekuatan otot, dan penurunan kesadaran.
5. Cemas yang berhubungan dengan kondisi sakit dan prognosis penyakit yang
buruk.

C. Intervensi

Pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan kelemahan progresif cepat
otot-otot pernapasan dan ancaman gagal pernapasan
Tujuan : dalam waktu 3x24 jam setelah diberikan tindakan pola napas kembali efektif.
Criteria hasil : secara subjektif sesak napas (-),RR 16-20x/menit. Tidak menggunakan
otot bantu pernapasan, gerakan dada normal

Intervensi Rasional
Kaji fungsi paru, adanya bunyi napas Menjadi parameter monitoring serangan
tambahan, perubahan irama dan gagal napas dan menjadi data dasar
kedalaman, penggunaan otot bantu intervensi selanjutnya
pernapasan
Evaluasi keluhan sesak napas bak secara Tanda dan gejala meliputi adanya
verbal maupun nonverbal kesukaran bernapas saat bicara,
pernapasan dangkal dan
ireguler,takikardia dan perubahan pola
napas.
Beri ventilasi mekanik Ventilasi mekanik digunakan jika
pengkajian sesuai kapasitas vital, klien
memperlihatkan perkembangan kearah
kemunduran, yang mengndikasikan
kearah memburuknya kekuatan otot
pernapasan
Lakukan pemeriksaan kapasitas vital Penurunan kapasitas vital dhubungkan
pernapasan dengan kelemahan otot-otot pernapasan
saat menelan,sehingga hal ini
menyebabkan kesukaran saat batuk dan
menelan, dan adanya indikasi
memburuknya fungsi pernapasan.
Kolaborasi : Membantu pemenuhan oksigen yang
Pemberian humidifikasi oksigen sangat dperlukan tubuh dengan kondisi
3L/Menit laju metabolism sedang meningkat

Resiko tinggi penurunan curah jantung yang berhubungan dengan perubahan


frekuensi, irama, dan konduksi listrik jantung.
Tujuan : penurunan curah jantung tidak terjadi
Criteria hasil : stabilitas hemodinamik baik
Intervensi Rasional
Auskultasi TD, bandingkan kedua lengan, Hipotensi dapat terjadi sampai dengan
ukur dalam keadaan berbaring, duduk, atau disfungsi ventrikel, hipertensi juga
berdiri bila memungkinkan fenomena umum karena nyeri cemas
pengeluaran katekolamin.
Evaluasi kualitas dan kesamaan nadi Penurunan curah jantung mengakibatkan
menurunnya kekuatan nadi.

Catat murmur Menunjukkan gangguan aliran darah


dalam jantung, (kelainan katup,
kerusakan septum, atau fibrasi otot
papilar).
Pantau frekuensi jantung dan irama Perubahan frekuensi dan irama jantung
menunjukkan komplikasi disritma.
Kolaborasi :
Berikan O2 tambahan sesuai indikasi Dapat meningkatkan saturasi oksgean
dalam darah

Resiko gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan


dengan ketdakmampuan mengunyah dan menelan makanan
Tujuan : pemenuhan nutrisi klien terpenuhi
Criteria hasil : setelah dirawat tiga hari klien tidak terjadi komplikasi akibat penurunan
asupan nutrisi
Intervensi Rasional
Kaji kemampuan klien dalam pemenuhan Perhatian yang diberikan untuk nutrisi
nutrisi klien oral yang adekuat dan pencegahan kelemahan
otot karena kurang makanan.
Monitor komplikasi akibat paralisis akibat Ilius paralisis dapat disebabkan oleh
insufisisensi aktivitas parasimpatis insufisiensi aktivitas parasimpatis.
Dalam kejadian ini, makanan melalui
intravena dipertimbangkan diberikan
oleh dokter dan perawat mementau
bising usus sampai terdengar

Berikan nutrisi via NGT Indikasi jika klien tidak mampu menelan
melalui oral
Berikan nutrisi via oral bila paralis menelan Bila klien dapat menelan, makanan
berkurang melalui oral diberikan perlahan-lahan
dan sangat hati-hati

Gangguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan neuromuscular,


penurunan kekuatan otot, penurunan kesadaran
Tujuan : dalam waktu 3x24 jam setelah diberikan tindakan mobilitas klien meningkat
atau teradaptasi
Criteria hasil : peningkatan kemampuan dan tidak terjadi thrombosis vena profunda dan
emboli paru merupakan ancaman klien paralisis yang tidak mampu menggerakkan
ekstremitas, dekubitus tidak terjadi
Intervensi Rasional
Kaji tingkat kemampuan klien dalam Merupakan data dasar untuk melakukan
melakukan mobilitas fisik intervensi selanjutnya
Dekatkan alat dan sarana yang dibutuhkan Bila pemulihan mulai untuk dlakukan,
klien dalam pemenuhan aktivitas sehari- klien dapat hipotensi ortostatik ( dari
hari disfungsi otonom ) dan kemungkinan
membutuhkan meja tempat tidur untuk
menolong mereka mengambil posisi
duduk tegak

Hindari factor-faktor yang memungkinkan Individu paralisis mempunyai


terjadinya trauma pada saat klien kemungkinan mengalalmi kompresi
melakukan mobilisasi neuropati, paling sering saraf ulnar dan
peritonial
Sokong ekstremitas yang mengalami Ekstremitas paralisis disokong dengan
paralisis posisi fungsional dan memberikan
latihan rentang gerak secara pasif paling
sedikit dua kali sehari
Monitor komplikasi gangguan mobilitas Deteksi awal thrombosis vena profunda
fisik dan dekubitus sehingga dengan
penemuan yang cepat penanganan lebih
mudah dilaksanakan.

Kolaborasi dengan tim fisisoterapis Mencegah deformities kontraktur


dengan menggunakan pengubahan posisi
yang hati-hati dean lathan rentang gerak

Cemas yang berhubungan dengan kondisi sakit dan prognosis penyakit yang
buruk
Tujuan : dalam waktu 1x24 jam setelah diberikan intervensi kecemasan hilang atau
berkurang
Criteria hasil : mengenal perasaannya, dapat mengidentifikasi penyebab atau factor
yang mempengaruhinya, dan menyatakan cemas berkurang
Intervensi Rasonal
Bantu klien mengekspresikan perasaan Cemas berkelanjutan dapat memberikan
marah, kehilangan, dan takut dampak serangan jantung selanjutnya

Kaji tanda verbal dan non verbal Reaksi verbal atau nonverbal dapat
kecemasan, dampingi klien, dan lakukan menunjukkan rasa agitasi, marah dan
tundakan bila menunjukkan perilaku gelisah
merusak
Hindari konfrantasi Konfrontasi dapat meningkatkan rasa
marah, menurunkan kerja sama, dan
mungkin memperlambat penyembuhan
Mulai melakukan tindakkan untuk Mengurangi rangsangan eksternal yang
mengurangi kecemasan. Beri lingkungan tidak perlu
yang tenang dan suasana penuh istirahat
Orientasikan klien terhadap prosedur rutin Orientasi dapat menurunkan kecemasan
dan aktivitas yang diharapkan
D. Implementasi
Implementasi merupakan langkah keempat dari proses keperawatan dan
merupakan wujud nyata dari rencana keperawatan yang bertujuan memenuhi
kebutuhan pasien akan keperawatan dengan melaksanakan kegiatan – kegiatan sesuai
dengan alternatif tindakan yang telah direncanakan
E. Evaluasi

Evaluasi merupakan langkah terakhir dalam keperawatan untuk menilai


pencapaian tujuan. Berdasarkan analisis, jika tujuan belum tercapai maka dilakukan
perencanaan selanjutnya (P).
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sindroma Landry Guillain Barre adalah suatu penyakit autoimun yang menyerang sistem
saraf perifer; dan biasanya dicetuskan oleh suatu proses infeksi yang akut.
1. Sindroma ini dapat disebabkan oleh
adanya Infeksi, Vaksinasi, Pembedahan, Penyakit sistematik.
2. Manifestasi Klinis dari Sindrom Guillain Bare ini, antara lain: kelumpuhan, gangguan
sensibilitas, gangguan saraf kranial, gangguan fungsi otonom, kegagalan pernapasan,
dan papiledema.
3. Asuhan keperawatan meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi,
implementasi, dan evaluasi.
4. Pengkajian meliputi: anamnesa: identitas klien, keluhan, riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan diagnostic.
5. Keluhan yang paling sering ditemukan pada klien GBS dan merupakan komplikasi
yang paling berat dari GBS adalah gagal napas.
6. Pada klien GBS biasanya didapatkan suhu tubuh normal. Penurunan denyut nadi
terjadi berhubungan dengan tanda-tanda penurunan curah jantung. Peningkatan
frekuensi pernapasan berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme umum dan
adanya infeksi pada sistem pernapasan dan adanya akumulasi sekret akibat
insufisiensi pernapasan.
7. Beberapa diagnosa muncul berdasarkan gejala yang terjadi pada klien yang
mengalami Sindrom Guillain Bare.

B. Saran
Demikian makalah ini kami susun sebagaimana mestinya semoga bermanfaat bagi kita
semua khususnya bagi tim penyusun dan semua mahasiswa dan mahasiswi kesehatan pada
umumnya. Kami sebagai penyusun menyadari akan keterbatasan kemampuan yang
menyebabkan kekurangsempurnaan dalam makalah ini, baik dari segi isi maupun materi,
bahasa dan lain sebagainya. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
sifatnya membangun untuk perbaikan-perbaikan selanjutnya agar makalah selanjutnya
dapat lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA

Black. M,Joyce. Hawks, Jane Hokanson.2009. Keperawatan Medikal Bedah Manajemen


Klinis untuk Hasil yang diharapkan. Edisi 8. Buku 3. Jakarta : Salemna Medika

Setiati, Siti, dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi VI. Jakarta:
intermaPublishing

NANDA NIC NOC. 2013. Aplikasi Asuahan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis.
Yogyakarta: Mediaction Publishing

Perry & Potter. 2006. Buku ajar fundal mental keperawatan konsep, proses dan praktik. Edisi
4 volume 1. Jakarta : EGC.

Doengoes, Marilynn E. 1999. RencanaAsuhanKeperawatan :PedomanUntukPerencanaan ___


keperawatandanMasalahKolaboratif. Alihbahasa : I Mode Kamosa, Edisi III. EGC
Jakarta.

Nanda International. 2015. Diagnosis keperawatan definisi dan klasifikasi 2015-2017 edisi 10.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Smeltzer, Suzanne C. 2007. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddart edisi
8 volume 3. Jakarta : EGC

Tim pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar diagnosis keperawatan indonesia definisi dan
indikator diagnostik edisi 1. Jakarta : dewan pengurus pusat PPNI

http://fayldestu.blogspot.com/2010/08/askep-sindrom-guillain-barre.html
http://qittun.blogspot.com/2008/05/asuhan-keperawatan-dengan-gullain-barre.html
http://perawatpskiatri.blogspot.com/2009/2003/sindroma-guillain-barre-sgb.html
http://srigalajantan.wordpress.com/2009/10/31/askep-sindrom-guillain-barre.html
http://minepoemss.blogspot.com/2010/03/sindrom-guillain-barre-sgb.html

Anda mungkin juga menyukai