Anda di halaman 1dari 47

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN KEGAWATAN

SINDROMA GUILLAIN BARRE

Disusun Oleh :
Dandy Kusuma Sahid
Galang Tegas Pambudhi
Merlinson Donianto G
Rona Caesardestiana A

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS TAHAP SARJANA TERAPAN
KEPERAWATAN SAMARINDA TAHUN 2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat
dan karunia-Nya dan tidak lupa shalawat serta salam kepada junjungan kita Nabi Muhammad
SAW. Sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah “Konsep Dasar dan Asuhan
Keperawatan Gawat Darurat Epilepsi” untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan
Gawat Darurat Neurosensori.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih terdapat kekurangan baik tulisan maupun
informasi yang ada di dalamnya. Kami berterima kasih kepada Bapak Ns. Frana Andriannur,
S.Kep., M.Kep atas bimbingannya dalam menulis dan menyusun makalah ini, sehingga
penulis dapat membuat makalah sesuai dengan kaidah dalam membuat makalah.
Makalah ini masih banyak terdapat banyak kekurangan, kami sangat mengharapkan
kepada para pembaca untuk menyampaikan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi
kebaikan dan kesempurnaan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat selalu
bermanfaat bagi pembaca dan atas kekurangan dalam makalah ini kami mohon maaf.
Terakhir tidak lupa kami mengucapkan terima kasih.

Samarinda, 07 Maret 2022

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Menurut Centers of Disease Control and Prevention / CDC (2012), Guillain Barr

e Syndrom (GBS) adalah penyakit langka di mana sistem kekebalan seseorang menye

rang sistem syaraf tepi dan menyebabkan kelemahan otot bahkan apabila parah bisa te

rjadi kelumpuhan. Hal ini terjadi karena susunan syaraf tepi yang menghubungkan ota

k dan sumsum belakang dengan seluruh bagian tubuh kita rusak. Kerusakan sistem sy

araf tepi menyebabkan sistem ini sulit menghantarkan rangsang sehingga ada penurun

an respon sistem otot terhadap kerja sistem syaraf (Rahayu, 2013). Angka kejadian pe

nyakit GBS kurang lebih 0,6-1,6 setiap 10.000- 40.000 penduduk. Perbedaan angka k

ejadian di negara maju dan berkembang tidak tampak. Kasus ini cenderung lebih bany

ak pada pria dibandingkan wanita. Data RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta m

enunjukkan pada akhir tahun 2010-2011 tercatat 48 kasus GBS dalam satu tahun deng

an berbagai varian jumlahnya per bulan. Pada Tahun 2012 berbagai kasus di RSCM m

engalami kenaikan sekitar 10% (Rahayu, 2013).

Penyakit GBS juga berkaitan dengan kelemahan bulbar, kegagalan pernapasan d

an disfungsi saraf otonom. Prognosis untuk pemulihan pada pasien GBS dapat digolo

ngkan cukup baik dengan gejala sisa minor, bagaimanapun tingkat kematian pada pen

yakit ini berkisar antara 2-12%, dan kegagalan napas merupakan komplikasi yang pali

ng mengancam nyawa dari penyakit GBS. Diperkirakan sepertiga dari pasien GBS dir

awat di ruang intensive care unit (ICU), dan banyak diantaranya yang membutuhkan v

entilasi mekanik. Pada fase kritis ini pasien berisiko akan komplikasi sistemik dengan

potensi morbiditas yang banyak dan mortalitas yang tinggi. Oleh karenanya, sangat pe
nting untuk mengetahui konsep penyakit GBS dan manajemen penanganannya untuk

mencegah komplikasi yang dapat terjadi dan mencegah kematian (Hu et al., 2012).

1.2 RUMUSAN MASALAH

Adapun rumusan masalah zang diangkat dalam penulisan makalah ini adalah

Asuhan kegawatan pada klien dengan Sindroma Guillain Barre ?

1.3 TUJUAN

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui konsep dasar Asuhan kegawatan pada klien dengan

Sindroma Guillain Barre.

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui pengertian Sindroma Guillain Barre

b. Untuk mengetahui etiologi Sindroma Guillain Barre

c. Untuk mengetahui Patofisiologi Sindroma Guillain Barre

d. Untuk mengetahui tanda dan gejala Sindroma Guillain Barre

e. Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostik Sindroma Guillain Barre

f. Untuk mengetahui komplikasi Sindroma Guillain Barre

g. Untuk mengetahui penatalaksanaan Sindroma Guillain Barre

h. Untuk mengetahui Pengakjian (primary dan secondary survey) Sindroma

Guillain Barre

i. Untuk mengetahui rencana intervensi mandiri dan kolaborasi Sindroma

Guillain Barre

j. Untuk mengetahui Algoritma penanganan (mandiri dan kolaborasi)

Sindroma Guillain Barre


k. Untuk mengetahui Telaah jurnal / Evidance Based Nursing (EBN)

l. Untuk mengetahui SOP PenangananSindroma Guillain Barre

1.4 MANFAAT

1.4.1 Praktisi Keperawatan dan Mahasiswa

Manfaat bagi praktisi keperawatan dan mahasiswa adalah untuk mengetahui

dan menerapkan Asuhan kegawatan pada klien dengan Sindroma Guillain Barre.

1.4.2 Instansi Kesehatan

Manfaat bagi instansi kesehatan untuk mengetahui informasi mengenai

Asuhan kegawatan pada klien dengan Sindroma Guillain Barre dan dapat

diaplikasikan dalam memberikan pelayanan asuhan keperawatan pada pasien

Sindroma Guillain Barre.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar


2.1.1 Pengertian
Guillain-Barre syndrome (GBS) atau sindrom Guillain-Barre adalah kumpulan gejala

yang ditandai dengan kelumpuhan, kelemahan otot, dan kehilangan refleks anggota gerak

secara asenden. GBS merupakan poliradikuloneuropati yang serius dan langka (Willison

HJ dkk, 2016). Sindrom Guillain Barre (SGB) adalah sekumpulan gejala

poliradikuloneuropati autoimun yang terjadi pasca infeksi, terutama mengenai neuron

motorik, namun dapat juga mengenai neuron sensorik dan otonom. Menifestasi klinis

tersering adalah paralisis flaksid di sertai menurunnya refleks tendon dalam, dan

keseluruhan gejala dapat pulih setelah beberapa minggu atau bulan. (Sukman tulus putra

dkk, 2014).

Guillain-Barré Syndrome (GBS) adalah demielinasi polineuropati akut yang pertama

kali dijelaskan pada tahun 1859 (Tandel et al., 2016). GBS merupakan suatu kerusakan

sistem imun tubuh yang menyerang bagian dari sistem saraf perifer (Satoto dan Span-

Kar, 2013).

Gambar 2.1 Kerusakan Saraf (Demielinasi) (Tandel et al., 2016)


Menurut Centers of Disease Control and Prevention / CDC (2012), Guillain Barre

Syndrom (GBS) adalah penyakit langka di mana sistem kekebalan seseorang menyerang

sistem syaraf tepi dan menyebabkan kelemahan otot bahkan apabila parah bisa terjadi

kelumpuhan. Hal ini terjadi karena susunan syaraf tepi yang menghubungkan otak dan

sumsum belakang dengan seluruh bagian tubuh kita rusak. Kerusakan sistem syaraf tepi

menyebabkan sistem ini sulit menghantarkan rangsang sehingga ada penurunan respon

sistem otot terhadap kerja sistem syaraf. Guillain-Barré syndrome ini memiliki beberapa

subtipe yaitu:

1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP)

Acute Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy (AIDP) adalah subtipe GBS

yang paling umum di Amerika Serikat dan Eropa, terhitung lebih dari 80% kasus, di

mana penyebab utamanya adalah respons inflamasi terhadap mielin. Sebagian besar

pasien pada awalnya menggambarkan gejala sensorik distal ringan, yang dapat

mencakup mati rasa, parestesia, dan / atau disestesi. Pasien kemudian

mengembangkan kelemahan bilateral dan simetris progresif, klasik melibatkan

semua ekstremitas. Sebagian besar pasien mengalami penurunan atau tidak adanya

refleks. Dalam satu rangkaian besar hampir 500 pasien, semua pasien mengalami

kelemahan anggota badan secara bilateral. Pada 6%, kelemahan itu terbatas pada

kaki, dan pada 1% kelemahan terbatas pada lengan. Saat presentasi, 90% mengalami

refleks menurun atau tidak ada tapi akhirnya hal ini dicatat pada semua pasien.

Gejala memuncak dalam 2 minggu dalam 80%, dan dalam waktu 4 minggu di hampir

semua pasien (97%) (Pasanen, 2015).

2. Acute motor axonal neuropathy (AMAN)

Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN) seluruhnya merupakan motorik

neuropati, paling banyak terjadi di China dan Jepang (50 - 60% kasus),
namunditemukan di negara-negara barat dengan frekuensi yang jauh lebih rendah (10

- 20% kasus). AMAN ditandai dengan degenerasi aksonal dimana akson tampaknya

menjadi target utama serangan kekebalan dan biasanya terjadi dalam 1-2 minggu

setelah infeksi terdahulu (Zhong and Cai, 2007).

3. Acute motor-sensory axonal neuropathy (AMSAN)

Acute Motor And Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN) adalah kelainan

aksonal yang mirip dengan AMAN dengan pengecualian bahwa saraf sensorik juga

terlibat. Subtipe ini sangat sedikit (kurang dari 10% kasus AMAN) dan pola

patologinya sangat mirip dengan AMAN, termasuk kerusakan dan degenerasi akson,

kecuali saraf sensorik yang terpengaruh secara bersamaan. AMSAN biasanya

berhubungan dengan jalur yang lebih parah dan prognosis yang lebih buruk. Tingkat

cedera akson seringkali lebih parah, sehingga menghasilkan presentasi klinis yang

lebih maju dan cepat (Zhong and Cai, 2007; Pasanen, 2015).

4. Miller Fisher syndrome (MFS)

Miller Fisher Syndrome (MFS) ditandai dengan ataksia, arefleksia dan

oftalmoplegia. 25% dari pasien mungkin mengalami kelemahan anggota gerak

(Tandel et al., 2016). MFS adalah varian jarang GBS (sekitar 5%). Keterlibatan saraf

kranial sangat berbeda pada sindrom ini, dan saraf motor okulomotor, trokat, dan

abducens biasanya terpengaruh dan menghasilkan triad klinis khas ophthalmoplegia,

ataksia, dan areflexia (Zhong and Cai, 2007). Meskipun jarang terjadi di Amerika

Utara dan Eropa (~5%), MFS menghasilkan sebanyak 20% sampai 25% kasus GBS

di Asia (Pasanen, 2015).


2.1.2 Etiologi

Penyebab pasti dari Gullaine Barre Syndrom (GBS) sampai saat ini masih belum

dapat diketahui dan masih menjadi bahan perdebatan. Tetapi pada banyak kasus,

penyakit ini sering dihubungkan dengan penyakit infeksi viral, seperti infeksi saluran

pernafasan dan saluran pencernaan. GBS sering sekali berhubungan dengan infeksi akut

non spesifik. Insidensi kasus GBS yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% -

80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran

pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal.

Semua kelompok usia dapat terkena penyakit ini, namun paling sering terjadi pada

dewasa muda dan usia lanjut. Pada tipe yang paling berat, sindroma Guillain-Barre

menjadi suatu kondisi kedaruratan medis yang membutuhkan perawatan segera. Sekitar

30% penderita membutuhkan penggunaan alat bantu nafas sementara.

Kondisi yang khas adanya kelumpuhan yang simetris secara cepat yang terjadi pada

ekstremitas yang pada banyak kasus sering disebabkan oleh infeksi viral. Virus yang

paling sering menyebabkan penyakit ini adalah Cytomegalovirus (CMV), HIV, Measles

dan Herpes Simplex Virus. Sedangkan untuk penyebab bakteri paling sering oleh

Campylobacter jejuni. Tetapi dalam beberapa kasus juga terdapat data bahwa penyakit ini

dapat disebabkan oleh adanya kelainan autoimun.

Lebih dari 60% kasus mempunyai faktor predisposisi antara satu sampai beberapa

minggu sebelum onset. Etiologi GBS belum diketahui secara pasti namun GBS dapat

dipicu oleh infeksi pencetus pada 2/3 kasus, yang pada umumnya infeksi gastrointestinal

dan pernafasan.
1. Infeksi Pencetus

a. Campylobacter jejuni (C. jejuni)

Campylobacter jejuni adalah bakteri Gram negatif berbentuk spiral yang

merupakan salah satu penyebab utama diare telah diakui di seluruh dunia sebagai

patogen yang paling sering untuk GBS (Zhong and Cai, 2007). C. jejuni secara

konsisten diidentifikasi sebagai infeksi pencetus yang paling sering terjadi di

GBS, muncul pada sekitar seperempat pasien (Jasti et al., 2016). Hampir 25 -

40% dari pasien GBS di seluruh dunia menderita penyakit infeksi C. jejuni 1-3

minggu sebelumnya (Nyati and Nyati, 2013). Diperkirakan sekitar satu dari 1000

pasien dengan C. jejuni berkembang menjadi GBS. Dalam sebuah penelitian

epidemiologi yang besar terhadap 100 pasien dengan GBS yang terjangkit C.

jejuni, interval waktu rata-rata dari onset diare dan perkembangan gejala

neurologis adalah 10 hari dan interval terpendek adalah 3 hari(Wakerley and

Yuki, 2013).

b. M. Pneumonia

Agen bakteri kedua yang paling sering ditemui untuk dikaitkan dengan GBS

adalah M. pneumoniae, yang menyebabkan pneumonia atipikal. M. pneumoniae

pada pasien GBS berkisar secara signifikan (1-25%) namun tidak jarang terjadi

pada kontrol. Dalam satu penelitian cross-sectional terhadap 57 pasien GBS

pediatrik, sekitar 20% pasien memiliki bukti baru-baru ini mengenai infeksi yang

didefinisikan oleh adanya antibodi IgM terhadap M. pneumoniae dibandingkan

dengan 14% kontrol (Wakerley and Yuki, 2013).

c. Cytomegalovirus (CMV)

CMV adalah pemicu virus yang paling umum dari GBS, dengan prevalensi

berkisar antara 10% sampai 22% dalam beberapa penelitian pada pasien GBS
dimana CMV terkait GBS ditandai dengan keterlibatan yang menonjol dari

tengkorak dan sensorik saraf (Zhong and Cai, 2007). CMV adalah contoh

mikroorganisme yang menyebabkan penyakit pernafasan dan kemudian dapat

memicu GBS (Parry and Steinberg, 2007).

d. Agen Infeksi Lainnya

Ada banyak laporan dari GBS sebelumnya patogen infeksi termasuk

Epstein-Barr Virus (EBV), Mycoplasma pneumonia, H. influenza, virus

varicella-zoster, virus influenza, adenovirus, parainfluenza 1 virus, virus herpes

simpleks, HIV, dan lain-lain pada multivariat analisis menunjukkan bahwa pada

pasien GBS, infeksi EBV (10%) dan Mycoplasma pneumonia (5%) lebih sering

daripada kelompok control (Zhong and Cai, 2007).

2. Vaksinasi

Kecuali vaksin rabies dini, pengembangan GBS setelah vaksinasi sangat jarang

terjadi, menunjukkan bahwa faktor spesifik host lainnya, termasuk genetik

kemungkinan penting. Risiko pengembangan GBS setelah imunisasi dengan vaksin

polio oral, vaksin konjugasi meningokokus, vaksin tetanus, vaksin gondokcampak

dan rubella, virus hepatitis B, H. influenzae tipe b mungkin sangat rendah (Wakerley

and Yuki, 2013). Dalam hal ini pembuktian masih belum akurat karena manfaat

vaksinasi lebih besar daripada menjadi pemicu GBS.

3. Peristiwa Pencetus Lainnya

Beberapa GBS terkait peristiwa sebelumnya langka lainnya telah dilaporkan

seperti pembedahan, kanker, kehamilan, penyakit autoimun, penggunaan obat-

obatan, anestesi spinal, sengatan serangga, epidural-anestesi umum, bedah untuk

obesitas dan operasi transplantasi (Zhong and Cai, 2007).


4. Riwayat Host Immunogenetic

Beberapa temuan menunjukkan kerentanan korban mungkin menjadi penentu

untuk terjadinya GBS dimana banyak penelitian telah berusaha untuk

mengidentifikasi hubungan antara terjadinya GBS dan jenis HLA tertentu namun

tidak ada kesimpulan pasti yang belum tercapai mengenai faktor immunogenetic

bertanggung jawab untuk pengembangan GBS (Zhong and Cai, 2007).

2.1.3 Patofisiologi
Kelemahan dan paralisis yang terjadi pada GBS disebabkan karena hilangnya

myelin, material yang membungkus saraf. Hilangnya myelin ini disebut demylinisasi.

Demylinisasi menyebabkan penghantaran impuls oleh saraf tersebut menjadi lambat atau

berhenti sama sekali. GBS menyebabkan inflamasi dan destruksi dari myelin dan

menyerang beberapa saraf. Oleh karena itu GBS disebut juga Acute Inflammatory

Demyelinating Polyradiculoneuropathy (AIDP).

Tidak ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana GBS terjadi dan dapat

menyerang sejumlah orang. Yang diketahui ilmuwan sampai saat ini adalah bahwa sistem

imun menyerang tubuhnya sendiri, dan menyebabkan suatu penyakit yang disebut

sebagai penyakit autoimun. Infeksi, baik yang disebabkan oleh bakteri maupun virus dan

antigen lain memasuki sel dari saraf dan kemudian mereplikasi diri. Antigen tersebut

mengaktivasi sel limfosit T. sel limfosit T ini mengaktivasi proses pematangan limfosit B

dan memproduksi autoantibodi spesifik. Ada beberapa teori mengenai pembentukan

autoantibodi, yang pertama adalah virus dan bakteri mengubah susunan sel saraf

sehingga sistem imun tubuh mengenalinya sebagai benda asing.

Pada GBS, terbentuk atibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai reaksi terhadap

adanya antigen atau partikel asing dalam tubuh, seperti bakteri ataupun virus. Antibodi

yang bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai myelin serta merusaknya, dengan
bantuan sel-sel leukosit, sehingga terjadi inflamasi pada saraf. Sel-sel inflamasi ini akan

mengeluarkan secret kimiawi yang akan mempengaruhi sel Schwan, yang seharusnya

membentuk materi lemak penghasil myelin. Dengan merusaknya, produksi myelin akan

berkurang, sementara pada waktu bersamaan, myelin yang ada telah dirusak oleh

antibody tubuh. Seiring dengan serangan yang berlanjut, jaringan saraf perifer akan

hancur secara bertahap. Saraf motoric, sensorik dan otonom akan diserang, transmisi

sinyal melambat, terblok atau terganggu sehingga mempengaruhi tubuh pederita. Hal ini

akan menyebabkan kelemahan otot, kesemutan, kebas serta kesulitan melakukan aktivitas

sehari-hari, termasuk berjalan.

2.1.4 Tanda dan Gejala

Kelemahan dan gangguan sensorik adalah gejala yang muncul paling umum (Tandel

et al., 2016). GBS biasanya dimulai secara tiba-tiba dengan distal, onset paraesthesia

relatif simetris dan segera diikuti oleh kelemahan ekstremitas progresif. Perkembangan

cepat, dengan 50% dari pasien mencapai titik nadir klinis oleh 2 minggu dan lebih dari

90% dengan 4 minggu (Meena et al., 2011). Umumnya ada kelemahan progresif motorik

naik dimulai pada tungkai bawah mulai dari kesulitan dalam berjalan kelumpuhan

kemudian kelemahan dapat naik melibatkan otot-otot pernapasan dan menyebabkan

kegagalan pernafasan serta kelumpuhan saraf wajah yang umum dan ada kemungkinan

terkait kelemahan bulbar dan oftalmoplegia (Tandel et al., 2016). Sekitar 80% -90%

pasien dengan GBS menjadi tidak berdaya selama sakit serta pasien GBS yang dirawat di

rumah sakit membutuhkan ventilasi mekanis karena kelemahan otot pernapasan atau

orofaringeal (Meena et al., 2011).

Gejala sensorik termasuk nyeri, mati rasa dan parestesia dimana nyeri biasanya

mempengaruhi punggung bawah dan bisa berat sedangkan mati rasa dan parestesia mulai
distal dan naik dengan cara yang sama dengan kelemahan motorik pada 80% pasien

(Tandel et al., 2016). Gejala timbul secara progresif dan meliputi :

1. Kelemahan otot yang simetris (tanda neurologi utama) dan muncul pertama – tama

pada tungkai (tipe asenden) yang kemudian meluas ke lengan serta mengenai nervus

fasialis dalam 24 hingga 72 jam akibat tergangguanya transmisi impuls melalui

radiks saraf anterior.

2. Kelemahan otot yang pertama – tama terasa pada lengan (tipe desenden) atau terjadi

sekaligus pada lengan dan tungkai akibat terganggunya transmisi impuls melalui

radiks saraf anterior.

3. Tidak terdapat kelemahan otot atau hanya mengenai nervus fasialis (pada bentuk yang

ringan).

4. Parestesia yang kadang – kadang mendahului kelemahan otot, tetapi akan menghilang

dengan cepat; keluhan ini terjadi karena tergangguanya transmisi impuls lewat radiks

saraf dorsalis.

5. Diplegia yang mungkin disertai oftalmoplegia (paralisis okuler) akibat terganggunya

transmisi impuls melalui radiks saraf motorik dan terkenannya nervus kranialis III,

IV, dan VI.

6. Disfagia atau disartria dan yang lebih jarang terjadi, kelemahan otot yang dipersarafi

nervus kranialis XI (nervus aksesorius spinalis)

Hipotonia dan arefleksia akibat terganggunya lengkung refleks.

(Kowalak, Wels dan Mayer, 2013)

2.1.5 Pemeriksaan Penunjang

Menurut (Rahayu, 2013), diagnosa GBS ditegakkan berdasarkan riwayat dan hasil

tes kesehatan baik secara fisik maupun laboratorium. Berdasarkan riwayat penyakit

didapatkan data tentang obat-obatan yang biasa diminum, apakah ada riwayat konsumsi
alkohol, infeksi-infeksi yang pernah diderita sebelumnya, riwayat vaksinasi dan

pembedahan yang dilakukan pada orang tersebut sebelumnya, maka dokter akan

menyimpulkan apakah pasien menderita penyakit GBS. Tidak lupa juga riwayat penyakit

yang pernah diderita pasien maupun keluarga pasien misalnya diabetes mellitus, diet

yang dilakukan, semuanya akan diteliti dengan seksama hingga dokter bisa menarik

kesimpulan apakah orang terkena GBS atau penyakit lainnya. Pasien yang diduga

mengidap GBS diharuskan melakukan tes:

1. Darah lengkap, berupa pemeriksaan kimia darah secara komplit

Pada pemeriksaan laboratorium, ditemukan laju endap darah (LED) hasil

umumnya normal atau sedikit meningkat, leukosit umumnya dalam batas normal,

hemoglobin dalam batas normal, pada darah tepi didapati leukositosis

polimorfonuklear sedang dengan pergeseran ke bentuk yang imatur, limfosit

cenderung rendah selama fase awal dan fase aktif penyakit. Pada fase lanjut, dapat

terjadi limfositosis; eosinofilia jarang ditemui. Dapat dijumpai respon

hipersensitivitas antibodi tipe lambat, dengan peningkatan immunoglobulin IgG,

IgA, dan IgM, akibat demielinasi saraf pada kultur jaringan.

2. Lumbal puncti, berfungsi untuk mengambil cairan otak

Pada pemeriksaan CSS yang didapatkan dari pungsi lumbal ditemukan

peningkatan konsentrasi protein pada beberapa pasien setelah 2 sampai 3 minggu.

Fraksi - globulin biasanya meningkat. Sel-sel, terutama monosit, ϒ ditemukan pada

20% kasus, tetapi yang khas adalah peningkatan salah satu fraksi protein tanpa

peningkatan jumlah sel (disosiasi sitoalbuminik). Normalnya protein pada CSS yang

didapatkan dari pemeriksaan pungsi lumbal adalah 0,1-0,4 g/L. Teknik pungsi

lumbal yaitu pasien berbaring pada sisi kiri dengan tulang belakang fleksi maksimal

dan punggung tegak lurus terhadap tempat tidur. Suatu garis vertical yang melalui
krista iliaka, menunjukkan rongga L3/4 (paling sering digunakan). Setelah

membersihkan serta melakukan anastesi kulit dan jaringan subkutan dengan obat

anastesi local, masukkan jarum pungsi dengan sudut sedikit mengarah ke kepala

pasien. Rongga subaraknoid dikenali dari sedikit tahanan jaringan saat jarum

dimasukkan. Kemudian tarik stilet dalam jarum, sehingga tekanan cairan

serebrospinal dapat diukur dengan manometer, dan sampel dapat diambil (biasanya

dalam tiga botol dan satu tabung fluoride untuk pengukuran glukosa).

Tabel 2.1 Gambaran Normal Cairan Serebrospinal (Ginsberg, 2005)

Tekanan 80-180 mm CSS

Leukosit < 5 / μL

Protein 0,1 - 0,4 g/L

Glukosa ≥ 50 % nilai serum (biasanya 2,8 - 4,7 mM)

3. EMG (electromyogram), untuk merekam kontraksi otot.

Pemeriksaan EMG (Electromyography) untuk menilai aksi potensial otot. EMG

membantu untuk mengkonfirmasi diagnosis pada kasus klnis sulit seperti pada pasien

yang mengalami nyeri yang ekstrim dan terutama dibutuhkan untuk mengklasifikasi

GBS ke dalam subtipe AMAN dan AIDP. EMG dievaluasi dengan memasukkan

jarum halus ke dalam otot untuk membandingkan jumlah aktivitas listrik yang ada
pada saat otot mengalami istirahat dengan saat terjadi kontraksi. Pemeriksaan EMG

dapat membedakan antara kerusakan otot dan saraf.

4. Pemeriksaan kecepatan hantar syaraf.

Kandungan protein CSF meningkat pada kebanyakan pasien dengan GBS,

namun dapat menunjukkan nilai normal pada beberapa hari awal setelah onset.

Jumlah sel CSF biasanya normal, namun pada beberapa pasien dengan selain GBS

tipikal memiliki 10 hingga 100 sel mononuklear/ul pada CSF. Mononukleosis

infeksiosa, infeksi CMV, hepatitis viral, infeksi HIV, atau penyakit yang disebabkan

oleh virus yang mendahului penyakit ini dapat didokumentasikan menggunakan studi

serologis. Meningkatnya titer antibodi IgG atau IgA menjadi GM-1 atau GD- 1a

dapat ditemukan pada bentuk aksonal GBS. Antibodi anti-GQ-1b berhubungan erat

dengan sindroma Miller-Fisher (Nandar, 2013).

5. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan pada

hari ke 13 setelah timbulnya gejala. MRI lumbosacral akan memperlihatkan

penebalan pada radiks kauda equina dengan peningkatan pada gadolinium. Adanya

penebalan radiks kauda equina mengindikasikan kerusakan pada barier darahsaraf.

Hal ini dapat terlihat pada 95% kasus GBS dan hasil sensitif sampai 83% untuk GBS

akut. 10,11 Akan tetapi, pasien dengan tanda dan gejala yang sangat sugestif

mengarah ke GBS sebenarnya tidak perlu pemeriksaan MRI lumbosakral. MRI

lumbosakral dapat digunakan sebagai modalitas diagnostic tambahan, terutama bila

temuan klinis dan elektrodiagnostik memberikan hasil yang samar.


2.1.6 Komplikasi

Kematian dikarenakan GBS adalah karena masalah terkait penyakit atau komplikasi

sekunder yang berkembang di rumah sakit karena penyakit yang berkepanjangan (Meena

et al., 2011).

1. Kegagalan Pernafasan

Salah satu komplikasi yang paling parah pada pasien dengan GBS adalah

kegagalan pernafasan neuromuskular, dengan 15% sampai 30% pasien memerlukan

ventilasi mekanis. Waktu dari onset menuju awal masuk kurang dari 1 minggu,

kelemahan wajah, ketidakmampuan untuk batuk, ketidakmampuan untuk

mengangkat kepala dari bantal, dan atelektasis pada rontgen dada adalah faktor-

faktor lain yang terkait dengan kegagalan pernafasan dan perlu untuk ventilasi

mekanik. Pasien GBS yang membutuhkan ventilasi mekanis beresiko tinggi

mengembangkan komplikasi yang signifikan seperti pneumonia, tracheobronchitis,

emboli paru, atau bakteremia (Pasanen, 2015; Burns, 2008).

2. Disfungsi Sistem Saraf Otonom

Disfungsi otonom dapat terjadi pada sebanyak 70% pasien. Pemantauan EKG,

tekanan darah dan keseimbangan cairan sangat dianjurkan. Disfungsi otonom akut

berkembang di mayoritas pasien GBS dan merupakan penyebab signifikan kematian

pada pasien. Gangguan jantung dan hemodinamik adalah komplikasi yang paling

serius dan sering, tetapi pasien GBS juga sering mengalami dysautonomia fungsi

usus dan kandung kemih. Gangguan jantung dan hemodinamik diwujudkan sebagai

hipertensi, hipotensi postural, dan takikardia terjadi pada sebagian besar pasien GBS.
Pemantauan kardiovaskular harus terus dilakukan sampai pasien sudah mulai pada

perbaikan klinis atau jika pasien diperlukan ventilasi, sampai dukungan ventilasi

telah dihentikan. Gangguan denyut jantung dan tekanan darah tidak harus selalu

diasumsikan sekunder untuk neuropathy otonom, terutama jika berkelanjutan atau

jika pasien GBS dinyatakan tidak parah atau dekat nadir klinis (Willison et al., 2016;

Pasanen, 2015; Burns, 2008).

Retensi urin dapat terjadi hingga sepertiga dari pasien GBS. Disfungsi kandung

kemih sangat umum pada pasien GBS yang tidak berdaya dan memerlukan ventilasi

mekanis. Retensi urin kemungkinan sekunder pada saraf parasimpatik sakral dan

disfungsi saraf motorik pudendal, dan dapat dikelola dengan steril, tertutup sistem

drainase urin (Burns, 2008).

3. Deep Vein Thrombosis

Imobilisasi yang disebabkan oleh GBS merupakan faktor risiko untuk

pengembangan DVT dan emboli paru. Subkutan fractionated or unfractionated

heparin dan dukungan stoking direkomendasikan untuk pasien GBS yang tidak

berdaya sampai mereka bisa berjalan secara mandiri. Rekomendasi ini didasarkan

pada bukti bahwa heparin subkutan (5000 U setiap 12 jam) atau enoxaparin (40 mg

setiap hari) mengurangi kejadian DVT pada pasien medis akut dan pada pasien bedah

ortopedi dan urologi, dan bukti yang mendukung stoking juga mengurangi risiko

DVT (Meena et al., 2011; Burns, 2008).

4. Nyeri

Nyeri adalah gejala yang umum terjadi pada pasien GBS, terjadi hingga 50%

dari semua pasien GBS, dan harus didiagnosis dan diobati segera. Nyeri dilaporkan

di sebagian besar pasien GBS dan harus ditangani secara agresif. Dalam satu studi

prospektif pasien GBS, 47% melaporkan nyeri yang menyedihkan, mengerikan, atau
menyiksa. Jenis nyeri yang paling umum adalah dalam, sakit punggung dan nyeri

tungkai bawah dan nyeri ekstremitas. Intensitas nyeri berkorelasi buruk dengan

derajat kecacatan (Jasti el al., 2016; Burns, 2008).

2.1.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan GBS biasanya terapi jangka panjang diikuti dengan periode

bertahap lambat untuk pemulihannya. Pengobatan GBS merupakan upaya multidisiplin.

Terapi umum dengan kelemahan otot termasuk pemantauan berkala pada fungsi paru dan

kardiovaskular untuk kemungkinan keterlibatan otot pernapasan dan neuropati otonom

masing-masing, pencegahan infeksi dan trombosis vena dalam, manajemen nyeri,

fisioterapi awal, rehabilitasi awal setelah peningkatan kekuatan otot dimulai dan

dukungan psikososial bagi pasien yang terkena dampak dan keluarga mereka (El-

Bayoumi et al., 2011). Penatalaksanaan GBS yang diberikan pada pasien GBS antara lain

1. Terapi Penunjang : Perawatan Intensive Care Unit (ICU) dan Mechanical Ventilation

Idealnya, semua pasien harus tetap di bawah pengamatan rumah sakit sampai

telah ditetapkan bahwa tidak ada bukti dari pengembangan klinis. Pasien harus

dirawat di Intensive Care Unit (ICU), di mana sumber daya yang memadai tersedia

untuk memantau jantung terus menerus dan pemantauan pernapasan. Pasien dengan

kelemahan yang sangat ringan dan kemampuan untuk berjalan secara independen

tidak memerlukan perawatan apapun di luar perawatan suportif (El-Bayoumi et al.,

2011; Yuki and Hartung, 2012).

Bahkan tanpa adanya gangguan pernapasan klinis, ventilasi mekanis mungkin

diperlukan pada pasien dengan setidaknya satu kriteria utama atau dua kriteria minor.

Kriteria utama adalah hiperkarbia (tekanan parsial karbon dioksida arteri,> 6.4 kPa

[48 mm Hg]), hipoksemia (tekanan parsial oksigen arteri ketika pasien sedang
menghirup udara ambien, <7,5 kPa [56 mm Hg]), dan kapasitas vital kurang dari 15

ml per kilogram berat badan, dan kriteria minor yang batuk tidak efisien, gangguan

menelan, dan atelektasis. Penilaian awal menelan akan mengidentifikasi pasien pada

risiko aspirasi, memerlukan penempatan tabung nasogastrik. dekontaminasi selektif

dari saluran pencernaan mengurangi waktu bahwa pasien tetap pada ventilator (Yuki

and Hartung, 2012).

2. Terapi Simptomatis

a. Analgesik

Dalam penelitian 75% dari pasien GBS diperlukan analgesik opioid oral atau

parenteral dan 30% dirawat dengan infus morfin intravena (kisaran, 1-7 mg/h).

Narkotika dapat memperburuk dismotilitas gastrointestinal dan distensi kandung

kemih sehingga dokter harus hati-hati memantau efek samping tersebut (Burns,

2008).

Sepuluh persen dari pasien menerima antidepresan trisiklik dan 10%

menerima carbamazepine sebagai terapi adjuvant untuk nyeri neuropatik selama

fase akhir dari penyakit. Carbamazepine dan gabapentin dapat juga efektif dalam

manajemen nyeri, dan infus epidural morfin dapat membantu dalam

mengendalikan rasa sakit yang parah dan berat (Zhong and Cai, 2007).

Gabapentin (mis, 15 mg / kg/d) dan carbamazepine (misalnya, 300 mg sehari)

yang dilaporkan efektif untuk pengurangan nyeri pada pasien dengan GBS.

Terapi adjuvan lainnya (misalnya, mexiletine, tramadol, obat antidepresan

trisiklik) mungkin juga membantu dalam pengelolaan jangka pendek dan jangka

panjang dari nyeri neuropatik. Acetaminophen atau agen anti-inflamasi

nonsteroid juga bisa dicoba sebagai pengobatan lini pertama, tetapi sering tidak

sangat efektif (Meena et al., 2011; Burns, 2008).


b. Anti Koagulan

Pasien tidak bergerak beresiko sangat tinggi DVT dan emboli paru. Low

Molecular Weight Heparin (LMWH) kombinasi baik dengan perangkat kompresi

pneumatik atau stoking anti emboli, dianjurkan sampai pasien dapat berjalan

tanpa bantuan (Tandel et al., 2016). Kemudian terdapat rekomendasi yang

didasarkan pada bukti bahwa heparin subkutan (5000 U setiap 12 jam) atau

enoxaparin (40 mg setiap hari) mengurangi kejadian DVT pada pasien medis

akut dan pada pasien bedah ortopedi dan urologi, dan bukti yang mendukung

stoking juga mengurangi risiko DVT (Burns, 2008).

3. Terapi Kausatif

Terapi spesifik untuk pengobatan GBS adalah dengan terapi imunomodulator

seperti Intravenous Immunoglobulin (IVIG) atau Plasma Exchange (PE). Terapi

IVIG ini mampu menetralisir neuromuscular dengan memblok antibodi di GBS

dengan tergantung dosis, mekanisme mediasi antibodi. Sedangkan PE yaitu

membuang immunoglobulin dan antibodi dari serum dengan cara memindahkan

darah tubuh dan mengantinya dengan Fresh Frozen Plasma, albumin atau salin.

Keputusan untuk menggunakan terapi imunomodulator adalah berdasarkan pada

derajat keparahan penyakit, progresifitas dan lamanya waktu antara gejala pertama

dengan manifestasi klinisnya (Dewanto et al., 2007).

a. Intravenous Immunoglobulin (IVIG)

IVIg bekerja dengan cara menghambat efek toksik dari CD8 killer T-Cell

pada myelin di saraf dan CD4 CD45RO+ T Cell, dan mereduksi jumlah total

limfosit B. Selain itu IVIg kemungkinan mempengaruhi produksi antibodi dan

mengurangi inflamasi pada sel. IVIg juga memblok ikatan reseptor Fc (gamma),

sehingga mencegah bahaya fagositosis oleh makrofag. Dosis terapi yang


diberikan adalah 400 mg/kg BB per hari selama 5 hari (total dosis 2,0 g/Kg BB)

melalui infus, pemberian dilakukan secara kontinyu dalam jangka waktu 5 hari

(Pangesti, 2015). Kontraindikasi IVIg meliputi: reaksi anafilaksis sebelumnya

untuk IVIg dan IgA defisiensi (terkait dengan reaksi anafilaksis untuk produk

darah). Efek samping dari IVIg mungkin ringan atau berat dan termasuk mual,

sakit kepala, gangguan dermatologis termasuk eritroderma, kelebihan cairan, tes

fungsi hati, tromboemboli vena, gagal ginjal akut dan anafilaksis (Tandel et al.,

2016). Sediaan IVIG yaitu Gammaras 5%, Sandoglobulin NF liquid – CSL

Bioplasma, mengandung Ig G steril tanpa larutan yang terdiri dari 6gram/50ml

dan 12gram/100ml, Octagam-Octapharma bebas larutan dari Imunoglobulin G

60mg/ml yang diambil dari banyak donor, yang tersedia dalam kemasan 1

gram/20 ml vial dan 2,5 gram/50 ml, 5 gram/100ml dan 10 gram/200 ml.

b. Plasma Exchange (PE)

Plasma Exchange (PE) atau pertukaran plasma adalah sebuah prosedur

terapi di mana darah dari pasien dilewatkan melalui perangkat medis yang

memisahkan plasma dari komponen lain dari darah. Plasma akan dibuang dan

diganti dengan larutan pengganti seperti larutan koloid misalnya, albumin atau

plasma atau kombinasi dari kristaloid / larutan koloid (Schwartz et al., 2016).

Dalam penjelasan lain berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No 91

tahun 2015, PE adalah tindakan mengeluarkan plasma pasien yang merupakan

penyebab penyakit dan diganti dengan Albumin 5%, Fresh Frozen Plasma (FFP),

koloid atau kristaloid (Permenkes No. 91, 2015). Pada pengobatan dengan

plasma exchange dilakukan penggantian autoantibodi, alloantobodi dan

kompleks imun, protein monoclonal dari sirkulasi darah. Aplikasi prosedur

Plasma Exchange yang direkomendasikan adalah sekitar 5 kali/sesi dalam sehari


dengan peggantian volume total plasma 1 – 1,5 kali untuk setiap sesi. Untuk

prosedur PE yang umum dilakukan adalah ± 200 – 250 ml plasma/ kg BB dalam

5 sesi (40 – 50 ml/kg per sesi) dalam waktu 7 – 14 hari. Cairan pengganti yang

digunakan umumnya adalah 20% albumin 100 ml dalam Normal Saline 1000 mL

dan 1000 mL FFP (Dewanto et al., 2007,Pangesti, 2015, Bahrudin, 2013).

Komplikasi yang berkaitan dengan prosedur PE antara lain reaksi alergi,

gejala hypokalemia, hipotensi dan komplikasi pengambilan kateter sedangkan

komplikasi yang lebih parah termasuk emboli paru, sepsis, dan syok anafilaksis

juga telah dilaporkan yang dirangkum dalam Tabel 2.2 (Sederholm, 2010;

Pangesti, 2015).

Selain terapi spesifik imunodulator (IVIG dan PE) terdapat terapi lain yang

diberikan untuk menunjang pengobatan GBS, yaitu kortikosteroid dan

neuroprotektan.

Tabel 2.2 Efek Samping dan Komplikasi PE Pada GBS (Sederholm, 2010)

c. Kortikosteroid

Kortikosteroid secara luas digunakan untuk mengobati berbagai gangguan

autoimun dan sekali diharapkan efektif untuk GBS. Namun, sebagian besar

percobaan menunjukkan tidak ada manfaat dari kortikosteroid. Sebuah uji coba

Belanda menyarankan kombinasi metilprednisolon intravena diikuti oleh IVIG

mempercepat pemulihan pasien GBS sedikit lebih dari IVIG saja. Ada laporan
lain menunjukkan bahwa kortikosteroid mungkin efektif terhadap rasa sakit dari

GBS. Karena kurangnya temuan yang lebih yang mendukung khasiat

kortikosteroid dalam GBS, kortikosteroid tidak dianjurkan atau setidaknya tidak

boleh digunakan sendiri dalam pengobatan GBS (Zhong and Cai, 2007).

d. Neuroprotektan dan Neurotropik

Pasien GBS dengan gejala sisa neurologis dan cacat yang signifikan hampir

selalu memiliki cedera aksonal, sehingga pemulihannya membutuhkan

regenerasi dari situs lintang aksonal. Neuroprotective agent yang dapat

membatasi jumlah cedera saraf selama fase penyakit dan meningkatkan

regenerasi perbaikan saraf / akson selama fase pemulihan GBS sangat

dibutuhkan karena dapat membatasi gejala sisa neurologis permanen pada pasien

GBS (Zhang et al., 2011).

Terapi neuroprotective dan neurotrophic lebih dapat menghasilkan manfaat

di GBS untuk alasan berikut:

1) Tanggapan autoimun menyimpangmenyebabkan cedera saraf adalah self-

terbatas di GBS

2) Saraf perifer memiliki kemampuan melekat untuk regenerasi dan

memperbaiki diri setelah cedera

3) Ada kerusakan sawar darah-saraf di saraf yang terluka, dan obat-obatan saraf

diberikan selama fase akut dari penyakit ini cenderung mencapai serabut

saraf yang terluka.

4) Saraf dan intervensi neurotropik akan untuk jangka waktu terbatas (karena

sifat monophasic GBS) dan dengan demikian cenderung menyebabkan tak

diinginkan efek samping yang berpotensi dapat muncul dengan penggunaan


jangka panjang obat-obatan tersebut (Zhang et al., 2011; Aggarwal et al.,

2013).

Dalam hal ini vitamin B1, B6, dan B12 masuk dalam klasifikasi

neuroprotective agent. Vitamin B1 bertindak dalam penghasil energy untuk

jaringan saraf dengan memetabolisme glukosa, vitamin ini memodulasi kinerja

kognitif, terutama pada populasi lanjut usia. Vitamin B6 dan B12 terlibat

langsung dalam sintesis beberapa neurotransmitter. Methylcobalamin

(Mecobalamin) adalah bentuk vitamin B12 dan berbeda dari sianokobalamin

dalam sianida diganti oleh kelompok metal dimana digunakan dalam pengobatan

neuropati perifer (Jain, 2011).


2.1.8 Algoritma penanganan

Algoritma penanganan Sindroma Guillain

Sindroma Guillain–Barre

Kelemahan otot sedang hingga Kelemahan otot ringan atau


berat atau progresif membaik

Disfungsi Bulbar Disfungsi Bulbar

Aspirasi
VC < 20 mL/kg
PImax < 30 cm H2O VC ≥20 mL/kg
atau PImax ≥ 30 cm H2O
PEmax < 40 cm H2O atau
Ya Yidak atau PEmax ≥ 40 cm H2O
penurunan < 30% dari atau
batas VC (Vital VC stabil
capacity)
Intbasi di
ICU

Monitor di ICU, Monitor di bangsal


pertimbangan
dilakukan Intubasi
2.2 Asuhan Keperawatan

2.2.1 Algoritme keperawatan pendekatan Web Of Caution (WOC)


2.2.2 Pengkajian

Pengkajian Pengkajian terhadap komplikasi Guillain Barre Syndrome meliputi

pemantauan terus menerus terhadap ancaman gangguan gagal napas akut yang

mengancam kehidupan. Komplikasi ini mencakup disritmia jantung, yang terlihat

melalui pemantauan EKG dan mengobservasi klien terhadap tanda thrombosis vena

provunda dan emboli paru – paru, yang sering mengancam klien imobilisasi dan

paralisis. (Arif mutaqin, 2012)

a. Keluhan utama

Kelemahan otot baik kelemahan fisik secara umum maupun local seperti

melemahnya otot – otot pernapasan.

b. Riwayat penyakit sekarang

Pada pengkajian klien GBS biasanya didapatkan keluhan yang berhubungan

dengan proses demielinisasi. Keluhan tersebut diantaranya gejala – gejala

neurologis diawalai dengan parestesia (kesemutan kebas) dan kelemahan otot

kaki, yang dapat berkembang ke ekstremitas atas, batang tubuh dan otot wajah.

Kelemahan otot dapat diikuti dengan cepat adanya paralisis yang lengkap.

c. Riwayat penyakit dahulu

Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan adanya

hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi pernahkah klien

mengalami Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), infeksi gastrointestinal dan

tindakan bedah saraf.

Pengkajian pemakaian obat – obat yang sering digunakan klien, seperti

pemakaian obat kortikosteroid, pemakaian jenis – jenis antibiotik, dan reaksinya


untuk menilai resistensi pemakaian antibiotik) dapat menambah

komprehensifnya pengkajian.

d. Pengkajian psikososiospiritual

Meliputi beberapa penilaian yang memungkinkan perawat untuk

memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku

klien.

e. Pemeriksaan fisik

Pada klien dengan GBS biasanya suhu tubuh normal. Penurunan denyut

nadi terjadi berhubungan dengan tanda – tanda penurunan curah jantung.

Peningkatan frekuensi napas berhubungan dengan peningkatan laju

metabolisme umum dan adanya infeksi pada sistem pernapasan serta akumulasi

secret akibat insufisiensi pernapasan. Tekanan darah di dapatkan ortostatik

hipotensi atau tekanan darah meningkat (hipertensi transien) berhubungan

dengan penurunan reaksi saraf simpatis dan parasimpatis.

1) B1 (Breathing)

Inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak

napas, penggunaan otot bantu napas dan peningkatan frekuensi

pernapasan karena infeksi saluran pernapasan dan yang paling sering

didapatkan pada klien GBS adalah penurunan frekuensi pernapasan

karena melemahnya fungsi otot – otot pernapasan. Palpasi biasanya taktil

premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi bunyi napas tambah seperti

ronkhi pada klien dengan GBS berhubungan akumulasi secret dari infeksi

saluran napas.

2) B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskular pada klien GBS menunjukan

bradikardia akibat penurunan fungsi perifer. Tekanan darah didapatkan

ortostatik hipotensi atau Tekanan Darah (TD) meningkat (hipertensi

transien) akibat penurunan reaksi saraf simpatis dan parasimpatis.

3) B3 (Brain)

a) Pengkajian tingkat kesadaran

Pada klien dengan GBS biasanya kesadaran klien komposmentis.

Apabila klien mengalami penurunan tingkat kesadaran maka penilaian

Glasgow Coma Scale (GCS) sangat penting untuk menilai tingkat

kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk monitoring pemberian asuhan.

b) Pengkajian fungsi cerebral

Status mental : observasi penampilan, tingkah laku, nilai gaya bicara,

ekspresi wajah dan aktifitas motorik klien. Pada klien GBS tahap lanjut

disertai dengan penurunan tingkat kesadaran biasanya status mental klien

mengalami perubahan.

c) Pengkajian saraf cranial

Pada saraf kranial klien dengan GBS mengalami beberapa gangguan,

yaitu pada saraf III, IV, VI terjadi penurunan kemampuan membuka dan

menutup kelopak mata, paralisis ocular. Pada saraf V, klien mengalami

paralisis pada otot wajah sehingga menganggu proses mengunyah. Pada

saraf VII, presepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris

karena adanya paralisis unilateral. Saraf IX, dan X, klien mengalami

paralisis otot orofaring, kesulitan berbicara, mengunyah dan menelan.


Kemampuan menelan kurang baik, sehingga menangganggu pemenuhan

nutrisi via oral.

d) Pengkajian sistem motoric

Kekuatan otot menurun, kontrol keseimbangan dan koordinasi pada

GBS tahap lanjut mengalami perubahan. Klien mengalami kelemahan

motorik secara umum sehingga mengganggu mobilitas fisik.

e) Pengkajian refleks

Pemeriksaan refleks propunda, pengetukan pada tendon, ligamentum

atau periosteum drajat refleks pada respons normal.

f) Pengkajian sistem sensorik

Parestesia (kesemutan) dan kelemahan otot kaki, yang dapat

berkembang ke ekstremitas atas,batang tubuh dan otot wajah. Klien

mengalami penurunan kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri, dan

suhu

4) B4 (Bladder)

Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan

berkurangnya volume pengeluaran urine, hal ini berhubungan dengan

penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal

5) B5 (Bowel)

Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam

lambung. Terjadi penurunan nutrisis karena anoreksia dan kelemahan otot

– otot pengunyah serta gangguan proses menelan menyebabkan

pemenuhan via oral jadi berkurang.


6) B6 (Bone)

Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran menurunkan

mobilitas klien secara umum. Dalam pemenuhan kebutuhan sehari – hari

klien lebih banyak dibantu oleh orang lain.

g) AMPLE

A : Alergi

Menurut CDC (Center For Disease Control And Prevention) penderita

GBS alergi terhadap vaksin Pfizer karena menurut CDC kebanyakan orang

yang pulih sepenuhnya dari GBS setelah mendapatkan vaksin menggalami

kerusakan saraf permanen dan ada sekitar 233 laporan awal yang

diidentifikasi pada tanggal 13 Oktober 2021

M : Obat yang saat ini dikonsumsi (Medikamentosa)

Pada penderita GBS biasanya diberikan pemberian immunoglobulin yang

dimana harapannya bisa melawan immunoglobulin jahat yang menyerang

saraf penggidapnya. Dan juga diberikan terapi plasma darah (plasmaferesis)

yeng dimana tujuannya untuk memproduksi plasma baru yang sehat dan

mengganti plasma jahat yang telah tersaring.

P : Riwayat penyakit dan pembedahan (Pertinent medical or surgical

history)

Penderita GBS biasanya pernah atau sedang mengalami ISPA, infeksi gastr

ointestinal, dan tindakan bedah saraf.

L : Asupan makanan (Last oral intake)

Biasanya pada penderita GBS akan diberikan makanan yang kaya dengan

omega 3 dan vitamin B seperti minyak ikan,salmon serta perbanyak buah


dan sayur. Dan hindari makanan berpengawet atau olahan pabrik, hindari

roko dan juga kafein.

E : Pristiwa yang menyebabkan penyakit atau cideera (Event leading

up to iliniess or injury)

Pada penderita GBS factor yang dapat menyebabkan penyakit GBS antara

lain :

1) Usia

2) Jenis Klamin

Jenis kelamin pria lebih rentan terkena penyakit GBS

3) Menggidap HIV

4) Infeksi Mononnuklear

5) Pernah menjalani operasi

f. Pemeriksaan diagnostic

Diagnosis GBS sangat bergantung pada riwayat penyakit dan

perkembangan gejala klinis dan tidak ada satu pemeriksaanpun yang dapat

memastikan GBS; pemeriksaan tersebut hanya menyingkirkan dugaan – dugaan.

Lumbal pungsi dapat menunjukkan kadar protein normal pada awalnya dengan

kenaikan pada minggu 4-6. Pemeriksaan konduksi saraf mencatat transmisi

impuls sepanjang serabut saraf. Sekitar 25% orang dengan penyakit ini

mempunyai antibodi baik terhadap sitomegalovirus atau virus EpsteinBarr.

Telah ditunjukan bahwa suatu perubahan respon imun pada antigen saraf perifer

dapat menunjang perkembangan gangguan.


2.2.3 Matrik Diagnosa Keperawatan (SDKI), Kriteria Hasil (SLKI), dan Intervensi Ke
perawatan (SIKI)

No Diagnosis Luaran Keperawatan Intervensi Keperawatan


Keperawatan
1 Bersihan jalan napas Setelah dilakukan tindakan Latihan Batuk Efektif
tidak efektif b.d keperawatan selama ...x.. 1.1 Identifikasi kemampuan batuk
sekresi yang tertahan jam diharapkan jalan 1.2 Monitor adanya retensi sputum
nafas membaik, dengan 1.3 Monitor tanda dan gejala infek
kriteria hasil :
si saluran napas
Kriteria hasil : 1.4 Monitor input dan output caira
(Bersihan jalan napas) n
a. Produksi sputum menur 1.5 Atur posisi semi-fowler atau f
un owler
b. Wheezing berkurang 1.6 Pasang perlak dan bengkok di
c. Dispnea menurun pangkuan pasien
1.7 Buang secret pada tempat sput
um
1.8 Jelaskan tujuan dan prosedur b
atuk efektif
1.9 Anjurkan tarik napas dalam
1.10 Anjurkan batuk dengan kuat l
angsung setelah tarik napas dal
am yang ke 3
1.11 Kolaborasi pemberian mukoli
tik atau ekspektoran, jika perlu
2 Pola nafas tidak Setelah dilakukan tindakan Manajemen Jalan Napas (I.01011)
efektif b.d hambatan keperawatan selama ...x.. Observasi
upaya nafas jam diharapkan pola nafas 2.1 Monitor pola nafas
membaik, dengan kriteria (frekuensi, kedalaman, usaha nafas)
hasil : 2.2 Monitor bunyi nafas tambahan (mis:
gagling, mengi, Wheezing, ronkhi)
Kriteria hasil : 2.3 Monitor sputum (jumlah, warna,
(pola nafas L.01004) aroma)
a. Frekuensi nafas dalam 2.4 Posisikan semi fowler atau fowler
rentang normal 2.5 Ajarkan teknik batuk efektif
b.Tidak ada pengguanaan 2.6 Kolaborasi pemberian bronkodila
otot bantu pernafasan to, ekspetoran, mukolitik, jika perlu.
c. Pasien tidak menunjukk 2.7 Anjurkan cairan 2000ml/hari
an tanda dipsnea

3 Penurunan curah Setelah dilakukan tindakan Perawatan Jantung (I.02075)


jantung b.d frekuensi keperawatan selama ...x..
jantung jam diharapkan curah 3.1 Identifikasi tanda/gejala
jantung meningkat, dengan primer penurunan curah jantung
kriteria hasil : 3.2 Identifikasi tanda/gejala
sekunder penurunan curah jantung
Kriteria hasil : 3.3 Monitor intake dan output cairan
(curah jantung) 3.4 Monitor keluhan nyeri dada
1.Tanda vital dalam 3.5 Berikan terapi terapi relaksasi
rentang normal untuk mengurangi strees, jika
2.Kekuatan nadi perifer perlu
meningkat 3.6 Anjurkan beraktifitas fisik sesuai
3. Tidak ada edema toleransi
3.7 Anjurkan berakitifitas fisik secara
bertahap
4 Gangguan persepsi Setelah dilakukan tindakan Manajemen Halusinasi
sensori b.d keperawatan selama ...x..
Gangguan jam diharapkan persepsi 3
Penglihatan sensori membaik, dengan 4
kriteria hasil : 4.1 Monitor perilkau yang
mengidentifikasi halusinasi
Kriteria Hasil :
4.2 Monitor dan sesuaikan tingkat
Persepsi Sensori
1. Verbalisasi melihat aktivitas dan stimulasi lingkungan
membaik 4.3 Monitor isi halusinasi
2. prilaku halusinasi tidak (mis.kekerasan atau
ada membahayakan diri)
4.4 Pertahankan lingkungan yang
aman
4.5 Anjurkan memonitor sendiri
situasi terjadinya halusinasi
4.6 Anjurkan bicara pada orang yang
dipercaya untuk memberi
dukungan dan umpan balik
korektif terhadap halusinasi
4.7 Kolaborasi pemberian obat
antipsikotik dan antiansietas, jika
perlu.
5 Risiko Hipovolemi Setelah dilakukan interve Manajemen Hipovolomia
b.d kekurangan nsi keperawatan selama x 3
intake cairan jam, maka gangguan mob 4
ilitas fisik menurun, deng 5
an kriteria hasil : 5.1 Periksa tanda dan gejala
a. kekuatan nadi hypovolemia
meningkat 5.2 Hitung kebutuhan cairan
b. turgor kulit baik 5.3 Berikan posisi modified
c. Output urine meningkat Trendelenburg
5.4 Berikan asupan cairan oral
5.5 Anjurkan memperbanyak asupan
cairan oral
5.6 Kolaborasi pemberian cairan IV
6 Gangguan mobilitas Setelah dilakukan Dukungan mobilisasi
fisik berhubungan intervensi keperawatan 3
dengan penurunan selama x jam, maka 4
massa otot gangguan mobilitas fisik 5
menurun, dengan kriteria 6
hasil : 6.1 Identifikasi adanya nyeri atau
a. Pergerakan keluhan fisik lainnya.
ekstermitas 6.2 Identifikasi toleransi fisik
meningkat (5) melakukan pergerakan
b. Kekuatan otot 6.3 Fasilitasi aktivitas mobilisasi
meningkat (5) dengan alat bantu
c. Rentang gerak ROM 6.4 Fasilitasi melakukan pergerakan,
meningkat (5) jika perlu
6.5 Libatkan keluarga untuk
membantu pasien dalam
meningkatkan pergerakan
6.6 Jelaskan tujuan dan prosedur
mobilisasi
6.7 Anjurkan melakukan mobilisasi
dini
6.8 Ajarkan mobilisasi sederhana
yang harus dilakukan (mis : duduk
ditempat tidur)

7 Gangguan Setelah dilakukan Promosi komunikasi: devisit bicara


komunikasi verbal intervensi keperawatan 2
b,d gangguan selama ..x.. jam, maka 3
neuromuskuler komunikasi verbal 4
meningkat, dengan 5
kriteria hasil : 6
a. Kemampuan 7
berbicara meningkat 7.1 Monitor kecepatan, tekanan, kuanti
b. Afasia menurun tas, volume dasn diksi bicara
c. Difasia menurun 7.2 Monitor proses kognitif, anatomis,
dan fisiologis yang berkaitan denga
n bicara
7.3 Gunakan metode Komunikasi alter
native (mis: menulis, berkedip, pap
an Komunikasi dengan gambar dan
huruf, isyarat tangan, dan compute
r)
7.4 Sesuaikan gaya Komunikasi
dengan kebutuhan
7.5 Ulangi apa yang disampaikan pasie
n
7.6 Berikan dukungan psikologis
7.7 Gunakan juru bicara, jika perlu
7.8 Anjurkan berbicara perlahan
8 Defisit perawatan Setelah dilakukan Dukungan Perawatan Diri
diri b.d gagngguan intervensi keperawatan 8.1 Identifikasi kebiasaan aktivitas
neuromukoler selama ..x.. jam, derajat perawatan diri
perawatan diri membaik, 8.2 Monitor tingkat kemandirian
dengan kriteria hasil : 8.3 Identifikasi alat bantu
a. Kemampuan BAK 8.4 Sediakan lingkungan yang
dan BAB membaik terapeutik
b. Kemampuan mandi 8.5 Siapkan keperluan pribadi
meningkat 8.6 Dampingi dalam melakukan
c. Kemampuan makan aktivitas
meningkat 8.7 Jadwalkan rutinitas perawatan diri
8.8 Anjurkan melakukan perawatan
diri secara konsisten

2.2.4 Telaah Jurnal

Judul Penatalaksanaan Guillain-Barré syndrome di ICU; Sebuah lapor

an kasus

Latar Belakang Guillain-Barré syndrome (GBS) merupakan salah satu penyebab

terbanyak kelumpuhan flaksid akut secara global. Manifestasi a

wal GBS biasanya bermula di saraf perifer berupa kelumpuhan 

di daerah  tubuh  bagian distal yang  semakin lama semakin naik

(ascending). Penyebab GBS sampai saat ini masih belum dapat d

iketahui dengan pasti.

Tujuan Untuk mengetahuui penatalaksanaan pasien dengan Guillain-Bar

ré syndrome (GBS) di ruang ICU

Hasil Penanganan setiap kasus harus bersifat individual. Untuk pender


ita yang masih mampu untuk berjalan atau penyebabnya sudah st

abil, hanya terapi suportif yang direkomendasi. Meskipun demik

ian, banyak neurolog yang merekomendasikan plasmapharesis at

au IVIg pada semua penderita yang didiagnosis GBS, terutama b

ila ada kelemahan bulbar atau gangguan pernafasan, meski pada

fase plateau. Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggu

naan preparat steroid tidak mempunyai nilai/ tidak bermanfaat u

ntuk terapi GBS.

Kesimpulan Saat ini GBS merupakan penyebab tersering kelumpuhan flaksid

akut di seluruh dunia. GBS sampai saat ini didasari oleh proses a

utoimune. Dengan infeksi menjadi salah satu faktor pencetus pal

ing sering. Belum ada peremeriksaan secara spesifik untuk GBS,

diagnosis didasarkan pada kriteria klinis yang ditunjang oleh pe

meriksaan cairan serebrospinal yang diperoleh dengan lumbal pu

nksi. Penggunaan imunoglobulin intravena (IVIg) dan plasmaph

eresis sebagai terapi efektif pada penderita GBS dengan disabilit

as masih dianjurkan oleh banyak hasil uji klinis, disamping terap

i lain yang sifatnya supportif. tingginya angka kecacatan dapat m

enetap sampai 6 bulan sejak awal gejala meskipun dengan terapi

optimal masih menjadi masalah dalam penanganan GBS.

Sumber Sawelengi. D., Aryabiantara, W., & Waryana, M. (2019). Penata

laksanaan guillain-barré syndrome di ICU; sebuuah laporan kasu

s. Medicina, 50(2). https://doi.org/10.15562/medicina.v50i2.629


PENANGANAN SINDROM GUILLAIN BARRE

(GBS)

UNTUK DOKTER UMUM

Nomor Dokumen No Revisi Halaman

Tanggal terbit : Ditetapkan oleh :

STANDAR PROSEDUR 2019 Direktur RSUD

OPERASIONAL Sumedang

dr. H. HILMAN TAUFIK WS., Mkes

2.2.5 SOP
I. PENGERTIAN Sindrom Guillain Barre adalah penyakit dimana sistem

kekebalan tubuh seseorang menyerang sistem saraf

tepi dan menyebabkan kelemahan otot, apabila parah

dapat

mengakibatkan kelumpuhan, bahkan otot-otot

pernapasan.

II. TUJUAN Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk

penanganan Sindrom Guillain Barre agar

pelaksanaan penanganan pasien

dengan Sindrom Guillain Barre dapat berjalan dengan

baik.

III.KEBIJAKAN Terselenggaranya pelaksanaan tindakan medis pada

pasien Sindrom Guillain Barre di RSUD Sumedang.

IV. PROSEDUR A. Anamnesis Sindrom Guillain Barre

1. Kelemahan ascenden dan simetris

2. Anggota gerak bawah dulu baru menjalar ke

atas

3. Kelemahan akut dan progresif yang

ditandai arefleksia

4. Puncak defisit 4 minggu

5. Pemulihan 2-4 minggu pasca onset


6. Gangguan sensorik pada umumnya ringan

7. Gangguan otonom dapat terjadi

8. Gangguan saraf kranial

9. Gangguan otot-otot nafas

B. Pemeriksaan Fisik Sindrom Guillain Barre

1. Kelemahan saraf cranial (III, IV, VI, VII, IX,

X)

2. Kelemahan anggota gerak yang cenderung

simetris dan asendens

3. Hiporefleksia atau arefleksia

4. Tidak ada klonus atau refleks patologis

C. Diagnosis Banding Sindrom Guillain Barre

1. CIDP

2. Mielitis Transversa

3. Poliomielitis

4. Multipel Sklerosi
D. Pemeriksaan Penunjang Sindrom Guillain Barre

1. Laboratorium

 Pemeriksaan darah lengkap

 Ureum/kreatinin

 Elektrolit

2. Lumbal pungsi

E. Tatalaksana

1. Tirah baring

2. Stabililisasi dan monitor tanda-tanda vital

3. Oksigen 3-5lpm

4. Infus RL

5. Pasang NGT

6. Pasang Kateter Urin

7. Rawat pasien di ICU jika terdapat gagal

nafas

8. Pemberian IVIG 0,4 gram/ kg BB/ hari

selama 5 hari atau plasma exchange

9. Pemberian methylprednisolone 4 x 125 mg


(tap off)

V. UNIT TERKAIT IGD, Perawatan Ruangan

BAB III

SIMPULAN DAN SARAN

3.1 Simpulan

Guillain-Barre syndrome (GBS) atau sindrom Guillain-Barre adalah

kumpulan gejala yang ditandai dengan kelumpuhan, kelemahan otot, dan

kehilangan refleks anggota gerak secara asenden. GBS merupakan

poliradikuloneuropati yang serius dan langka (Willison HJ dkk, 2016).

Sindrom Guillain Barre (SGB) adalah sekumpulan gejala

poliradikuloneuropati autoimun yang terjadi pasca infeksi, terutama mengenai

neuron motorik, namun dapat juga mengenai neuron sensorik dan otonom.

Menifestasi klinis tersering adalah paralisis flaksid di sertai menurunnya

refleks tendon dalam, dan keseluruhan gejala dapat pulih setelah beberapa

minggu atau bulan. (Sukman tulus putra dkk, 2014).

3.2 Saran

1. Diharapkan pembaca dapat memahami teori guillain barre syndrome dan ti

ndakan kegawatdarutan yang harus dilakukan pada klien dengan guillain b

arre syndrome.
2. Saran untuk institusi dalam mata ajar mengembangkan gawat darurat haru

s dapat mengembangkan penelitian terkait masalah guillain barre syndrom

e, sehingga institusi dapat memberikan fasilitas untuk menerapkan pengkaj

ian kegawatdaruratan terhadap berbagai masalah pada klien dengan guillai

n barre syndrome.

Daftar pustaka

El-Bayoumi et al. 2011. Comparison Of Intravenous Immunoglobulin And

Plasma Exchange In Treatment Of Mechanically Ventilated Children With

Guillain Barré Syndrome: A Randomized Study. Critical Care.

Tande AJ et al. 2016. Clinical Presentation, Risk Factors, and Outcomes of

Hematogenous Prosthetic Joint Infection in Patients with Staphylococcus

aureus Bacteremia.

Meena, A. K., Khadilkar, S. V., and Murthy J. M. K. 2011. Treatment guidelines

for Guillain–Barré Syndrome. Annals of Indian Academy of Neurology.

Nyati, Kishan Kumar and Nyati, Roopanshi. 2013. Review Article Role of

Campylobacter jejuni Infection in the Pathogenesis of Guillain-Barré

Syndrome: An Update. Hindawi Publishing Corporation BioMed Research

International Volume 2013.

Parry, Gareth J., and Steinberg, Joel S., 2007. Guillain-Barré Syndrome: From

Diagnosis to Recovery. New York: Demos Medical Publishing.

Pasanen, Mark E. MD. Guillain-Barre´ Syndrome. 2015. Elsevier Inc.

http://dx.doi.org/10.1016/j.ehmc.2014.12.005.
Satoto, Prof.Darto dan. Dr. SpAn-KAR., 2013. Saraf Perifer Masalah dan

Penanganannya. Jakarta: Penerbit PT. Indeks.

Sederholm, Benson H. 2010. Treatment of Acute Immune-mediated

Neuropathies: Guillain-Barré Syndrome and Clinical Variants. Seminars in

Neurology, Vol. 30, No. 4.

Wakerley, Benjamin R and Nobuhiro Yuki. 2013. Infectious And Noninfectious

Triggers In Guillain–Barré Syndrome. Expert Rev. Clin. Immunol. 9(7),

627–639 Informa UK Ltd. ISSN 1744-666X

Willison, Hugh J., Jacobs Bart C, and Van Doorn, Pieter A. 2016. Guillain-Barré

Syndrome. Lancet. Vol 388.

Yuki, Nobuhiro and Hartung, Hans-Peter. 2012. Medical Progress: Guillain-Barré

Syndrome. The New England Journal of Medicine, Vol. 366.

Zhong, Min and Cai, Fang-Cheng, 2007. Current Perspectives on Guillain-Barré

Syndrome. World Journal of Pediatrics, Vol. 3 No. 3

Anda mungkin juga menyukai