Anda di halaman 1dari 13

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Guillain-Barré Syndrome (GBS) adalah demielinasi polineuropati
akut yang pertama kali dijelaskan pada tahun 1859 (Tandel et al.,
2019). GBS merupakan suatu kerusakan sistem imun tubuh yang
menyerang bagian dari sistem saraf perifer (Satoto dan Span-Kar,
2020).
Guillain-Barre Syndrome (GBS) adalah suatu penyakit kelemahan
lesi Lower Motor Neuron (LMN). LMN ini sering ditemukan pada
usia dewasa muda dan dapat menimbulkan kematian. GBS merupakan
penyakit neuropathy yang disebabkan oleh reaksi autoimmune
sehingga dapat mengganggu fungsi motorik dan fungsi sensorik
seperti perasa nyeri, suhu, dan perabaan. GBS dapat menimbulkan
kelemahan otot pada ekstremitas dan hilangnya fungsi sensorik pada
kedua ekstremitas (Torricelli, 2017; Fokke et al, 2020).
Sindrom Guillain-Barré (SGB) merupakan sekumpulan sindrom
yang termanifestasikan sebagai inflamasi akut poliradikuloneuropati
sebagai hasil dari kelemahan dan penurunan refleks dengan berbagai
variasi klinis yang ditemukan (Andary, 2018).
Jadi, dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa
Sindrom Guillain-Barré (SGB) adalah suatu penyakit neuropathy yang
dapat menyebabkan kerusakan pada sistem saraf perifer sehingga
dapat mengganggu fungsi motorik dan fungsi sensorik.
1. Klasifikasi
Terdapat enam subtipe sindroma Guillain-Barre, yaitu:

a. Acute Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy (AIDP)


(AIDP)
Acute Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy
(AIDP) adalah subtipe GBS yang paling umum di Amerika
Serikat dan Eropa, terhitung lebih dari 80% kasus, di mana
penyebab utamanya adalah respons inflamasi terhadap mielin.
Sebagian besar pasien pada awalnya menggambarkan gejala
sensorik distal ringan, yang dapat mencakup mati rasa, parestesia,
dan / atau disestesi. Pasien kemudian mengembangkan kelemahan
bilateral dan simetris progresif, klasik melibatkan semua
ekstremitas. Sebagian besar pasien mengalami penurunan atau
tidak adanya refleks. Dalam satu rangkaian besar hampir 500
pasien, semua pasien mengalami kelemahan anggota badan secara
bilateral. Pada 6%, kelemahan itu terbatas pada kaki, dan pada
1% kelemahan terbatas pada lengan. Saat presentasi, 90%
mengalami refleks menurun atau tidak ada tapi akhirnya hal ini
dicatat pada semua pasien. Gejala memuncak dalam 2 minggu
dalam 80%, dan dalam waktu 4 minggu di hampir semua pasien
(97%) (Pasanen, 2021).

b. Neuropati aksonal motorik akut (AMAN)atau sindroma paralitik


Cina
Menyerang nodus motorik Ranvier dan sering terjadi di Cina
dan Meksiko. Hal ini disebabkan oleh respon autoimun
yang menyerang aksoplasma saraf perifer. Penyakit ini
musiman dan penyembuhan dapat berlangsung dengan cepat.
Didapati antibodi Anti-GD1a, sementara antibodi Anti-GD3
lebih sering ditemukan pada AMAN.
c. Neuropati aksonal sensorimotor akut (AMSAN)
Mirip dengan AMAN, juga menyerang aksoplasma
saraf perifer, namun juga menyerang saraf sensorik dengan
kerusakan akson yang berat. Penyembuhan lambat dan sering
tidak sempurna. Acute Motor And Sensory Axonal Neuropathy
(AMSAN) adalah kelainan aksonal yang mirip dengan AMAN
dengan pengecualian bahwa saraf sensorik juga terlibat. Subtipe
ini sangat sedikit (kurang dari 10% kasus AMAN) dan pola
patologinya sangat mirip dengan AMAN, termasuk kerusakan dan
degenerasi akson, kecuali saraf sensorik yang terpengaruh secara
bersamaan. AMSAN biasanya berhubungan dengan jalur yang
lebih parah dan prognosis yang lebih buruk. Tingkat cedera akson
seringkali lebih parah, sehingga menghasilkan presentasi klinis
yang lebih maju dan cepat (Pasanen, 2019).
d. Sindroma Miller Fisher (MFS)
Miller Fisher Syndrome (MFS) ditandai dengan ataksia,
arefleksia dan oftalmoplegia. 25% dari pasien mungkin
mengalami kelemahan anggota gerak (Tandel et al., 2020). MFS
adalah varian jarang GBS (sekitar 5%). Keterlibatan saraf kranial
sangat berbeda pada sindrom ini, dan saraf motor okulomotor,
trokat, dan abducens biasanya terpengaruh dan menghasilkan
triad klinis khas ophthalmoplegia, ataksia, dan areflexia.
Meskipun jarang terjadi di Amerika Utara dan Eropa (~5%), MFS
menghasilkan sebanyak 20% sampai 25% kasus GBS di Asia
(Pasanen, 2019). Bentuk kronis GBS dikenal sebagai
polineuropati demielinasi inflamasi kronis (CIDP). AIDP
memiliki waktu puncak 4 minggu setelah gejala awal dan 16 jika
berkembang hingga 8 bulan disebut CIDP (Satoto dan Span-Kar,
2021). Gambaran klinis yang mirip dengan AIDP tetapi memiliki
kursus progresif lambat atau kambuh (Tandel et al., 2018).
e. Neuropati panautonomik akut
Merupakan varian GBS yangpaling jarang; dihubungkan
dengan angka kematian yang tinggi, akibat keterlibatan
kardiovaskular dan disritmia.6.Ensefalitis batang otak
Bickerstaff’s (BBE)Ditandai oleh onset akut oftalmoplegia,
ataksia, gangguan kesadaran, hiperefleksia atau refleks
Babinski. Perjalanan penyakit dapat monofasik ataupun diikuti
fase remisi dan relaps. Lesi luas dan ireguler terutama pada
batang otak, seperti pons, midbrain, dan medulla. Meskipun
gejalanya berat, namun prognosis BBE cukup baik.

2. Etiologi
Penyebab pasti dari Gullaine Barre Syndrom (GBS) sampai saat
ini masih belum dapat diketahui dan masih menjadi bahan perdebatan.
Tetapi pada banyak kasus, penyakit ini sering dihubungkan dengan
penyakit infeksi viral, seperti infeksi saluran pernafasan dan saluran
pencernaan. GBS sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non
spesifik. Insidensi kasus GBS yang berkaitan dengan infeksi ini
sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala
neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi
gastrointestinal.
Semua kelompok usia dapat terkena penyakit ini, namun paling
sering terjadi pada dewasa muda dan usia lanjut. Pada tipe yang paling
berat, sindroma Guillain-Barre menjadi suatu kondisi kedaruratan
medis yang membutuhkan perawatan segera. Sekitar 30% penderita
membutuhkan penggunaan alat bantu nafas sementara.
Kondisi yang khas adanya kelumpuhan yang simetris secara cepat
yang terjadi pada ekstremitas yang pada banyak kasus sering
disebabkan oleh infeksi viral. Virus yang paling sering menyebabkan
penyakit ini adalah Cytomegalovirus (CMV), HIV, Measles dan
Herpes Simplex Virus. Sedangkan untuk penyebab bakteri paling
sering oleh Campylobacter jejuni. Tetapi dalam beberapa kasus juga
terdapat data bahwa penyakit ini dapat disebabkan oleh adanya
kelainan autoimun.
Lebih dari 60% kasus mempunyai faktor predisposisi antara satu
sampai beberapa minggu sebelum onset. Beberapa keadaan/ penyakit
yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya
SGB, antara lain:

a. Infeksi
b. Vaksinasi
c. Pembedahan
d. Diare
e. Peradangan saluran nafas atas
f. Kelelahan
g. Demam
h. Kehamilan/ dalam masa nifas
i. Penyakit sistematik:
j. keganasan
k. systemic lupus erythematosus
l. tiroiditis
m. penyakitAddison

3. Manifestasi klinis
Tanda
Pada pemeriksaan klinis kelumpuhan layuh areflexia ditemukan
dimana pengecilan otot biasanya terjadi dalam waktu dua minggu dari
timbulnya gejala dan dapat parah serta pada umumnya disfungsi
otonom yang dapat menyebabkan aritmia, ayunan tekanan darah,
retensi urin, ileus paralitik dan hyperhydriasis (Tandel et al., 2019).
Gejala
Gejala klinis yang terdapat pada GBS antara lain :

a. Paralisis motorik akut dan cepat.


b. Ascending paralysis (lemah dari kaki naik ke atas)
c. Glove stocking (sensasi kesemutan pada ekstrimitas)
d. Reflex fisiologis menurun atau menghilang (arefleksia)
e. Setelah terjadi gangguan motoris, keluhan nyeri
berkurang/menghilang.
f. Bila mengenai saraf autonom (fluktuasi tekanan darah yang tinggi,
hipotensi postural, dan distrimia jantung).
g. Pada 15% kasus terdapat gangguan otot pernafasan sehingga
terjadi hipoventilasi (gagal nafas yang merupakan kegawatan
penyakit GBS) (Bahrudin, 2013; Munir, 2020).
Kelemahan dan gangguan sensorik adalah gejala yang
muncul paling umum (Tandel et al., 2019). GBS biasanya dimulai
secara tiba-tiba dengan distal, onset paraesthesia relatif simetris
dan segera diikuti oleh kelemahan ekstremitas progresif.
Perkembangan cepat, dengan 50% dari pasien mencapai titik nadir
klinis oleh 2 minggu dan lebih dari 90% dengan 4 minggu (Meena
et al., 2020). Umumnya ada kelemahan progresif motorik naik
dimulai pada tungkai bawah mulai dari kesulitan dalam berjalan
kelumpuhan kemudian kelemahan dapat naik melibatkan otot-otot
pernapasan dan menyebabkan kegagalan pernafasan serta
kelumpuhan saraf wajah yang umum dan ada kemungkinan terkait
kelemahan bulbar dan oftalmoplegia (Tandel et al., 2019)Sekitar
80% -90% pasien dengan GBS menjadi tidak berdaya selama sakit
serta pasien GBS yang dirawat di rumah sakit membutuhkan
ventilasi mekanis karena kelemahan otot pernapasan atau
orofaringeal (Meena et al., 2022).
Gejala sensorik termasuk nyeri, mati rasa dan parestesia
dimana nyeri biasanya mempengaruhi punggung bawah dan bisa
berat sedangkan mati rasa dan parestesia mulai distal dan naik
dengan cara yang sama dengan kelemahan motorik pada 80%
pasien (Tandel et al., 2018).

4. Patofisiologi
Akson bermielin mengonduksi impuls saraf lebih cepat
dibanding akson tidak bermielin. Sepanjang perjalanan serabut
bermielin terjadi gangguan dalam selaput (nodus Ranvier) tempat
kontak langsung antara membran sel akson dengan cairan
ekstraselular. Membran sangat permiabel pada nodus tersebut,
sehingga konduksi menjadi baik.
Akson adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk
panjang dan tipis; berfungsi sebagai pembawa sinyal saraf. Beberapa
akson dikelilingi oleh suatu selubung yang dikenal sebagai myelin,
yang mirip dengan kabel listrik yang terbungkus plastik. Selubung
myelin bersifat insulator dan melindungi sel-sel saraf. Selubung
ini akan meningkatkan baik kecepatan maupun jarak sinyal saraf
yang ditransmisikan. Sebagai contoh, sinyal dari otak ke otot
dapat ditransmisikan pada kecepatan lebih dari 50 km/jam.
Myelin tidak membungkus akson secara utuh, namun
terdapat suatu jarak diantaranya, yang dikenal sebagai Nodus
Ranvier; dimana daerah ini merupakan daerah yang rentan diserang.
Transmisi sinyal saraf juga akan diperlambat pada daerah ini,
sehingga semakin banyak terdapat nodus ini, transmisi sinyal akan
semakin lambat.
Gerakan ion masuk dan keluar akson dapat terjadi dengan cepat
banyak pada nodus Ranvier, sehingga impuls saraf sepanjang
serabut bermielin dapat melompat dari satu nodus ke nodus lain
(konduksi saltatori) dengan cukup kuat. Kehilangan selaput
mielin pada Sindrom Guillain-Barre membuat konduksi saltatori
tidak mungkin terjadi dan transmisi impuls saraf dibatalkan.
5. Pathway

WOC SINDROM GUILLAIN BARRE


Proses autoimun

Menghancurkan myelin yang mengelilingi akson

Konduksi salsatori tidak terjadi dan tidak ada transmisi impuls saraf

Gangguan fungsi saraf perifer dan kranial

GBS
6. Komplikasi

B1 B2 KomplikasiB3 GBS yang paling


B4 berat adalahB5 kematian, akibat B6
kelemahan atau paralisis pada otot-otot pernafasan. Tiga puluh
Gangguan saraf

Gangguan saraf Disfungsi autoimun Penurunan perfusi jaringan


Gangguan fungsi
perifer dan
persen% Perubahan
penderita ini membutuhkan mesin bantu pernafasan
saraf kranial: III,
perifer dan
fungsi serebral neuromuskular
neuromuskular IV, V, VI, VIII, IX
Kurang beraksinyauntuk bertahan hidup, sementara 5% penderita
Aliran darah ke
dan XI
akan meninggal,
sistem saraf simpatis Penurunan ginjal menurun Parastesia (kesemutan) dan
P aralise lengkap, dan parasimpatis,meskipun tingkat
dirawat
kesadarandi ruang perawatan intensif. Sejumlahkelemahan 80% otot kaki, yang
o tot p ern ap asan perubahan sensori Paralisis pada okular, dapat berkembang ke
Hipoperfusi ginjal
terk en a, penderita sembuh sempurna atau hanya menderita wajah dan ototgejala
orofaring,sisa ringan,
ekstermitas atas, batang
Resiko cedera kesulitan berbicara tubuh dan otot wajah
m en gak ibatk an
insufisiensi berupa kelemahan ataupunPenurunan
Gangguan frekuensi sensasi abnormal, seperti halnya
mengunyah dan menelan
p ern afasan jantung dan ritme, produksi urin
Kelemahan fisik umum,
kesemutan atau baal. Lima sampai sepuluh
perubahan tekanan
Gangguan persen
pemenuhan mengalami paralisis otot wajah
Ketidakefektifan Uremia nutrisi dan cairan
pola nafas
masalah sensasi dan koordinasi yang lebih serius dan permanen,
Penurunan curah jantung
Penurunan tonus otot seluruh
COP menurun
sehingga menyebabkan disabilitas Gangguan berat; 10% diantaranya tubuh,
Ketidakseimbangan beresiko
perubahan estetika wajah
eliminasi urin nutrisi kurang dari
mengalami relaps. kebutuhan
Gangguan perfusi jaringan Gangguan mobilitas
Dengan penatalaksanaan respirasi yang lebih modern, fisik

komplikasi yang lebih sering terjadi lebih diakibatkan oleh paralisis


jangka panjang, antara lain sebagai berikut:

a. Paralisis otot persisten


b. Gagal nafas, dengan ventilasi mekanik
c. Aspirasi4.Retensi urin
d. Masalah psikiatrik, seperti depresi dan ansietas
e. Nefropati, pada penderita anak
f. Hipo ataupun hipertensi
g. Tromboemboli, pneumonia, ulkus
h. Aritmia jantung
i. Ileus
Komplikasi-komplikasi
a. Gagal pernafasan
Komplikasi yang paling berat dari SGB dan miastenia gravis
adalah gagal nafas. Melemahnya otot pernafasan membuat
pasien dengan gangguan ini berisiko lebih tinggi terhadap
hipoventilasi dan infeksi pernafasan berulang. Disfagia juga
dapat timbul, mengarah pada respirasi. Mungkin terdapat
komplikasi yang sama tentang imobilitas seperti yang terdapat
pada korban stroke.
b. Penyimpangan Kardiovaskuler
Mungkin terjadi gangguan sistem saraf otonom pada
pasien SGB yang dapat mengakibatkan disritmia jantung
atau perubahan drastis yang mengancam kehidupan dalam
tanda-tanda vital.
c. Komplikasi Plasmaferesis
Pasien dengan SGB atau miastenia gravis yang menerima
plasmaferesi, berisiko terhadap potensial komplikasi karena
prosedur tersebut. Infeksi mungkin terjadi pada tempat akses
vaskuler. Hipovolemia dapat mengakibatkan hipotensi.
Takikardia, pening, dan diaphoresis. Hipokalemia dan
hipokalsemia dapat mengarah pada disritmia jantung. Pasien
dapat mengalami sirkumolar temporer dan paresis ekstremitas
distal, kedutan ototdan mual serta muntah yang berhubungan
dengan pemberian plasma sitrat. Pengamatan dengan cermat
pengkajian penting untuk mencegah masalah-masalah ini

7. Pemeriksaan penunjang

a. Cairan serebrospinal (CSS)


Yang paling khas adalah adanya disosiasi sitoalbuminik,
yakni meningkatnya jumlah protein (100-1000 mg/dL) tanpa
disertai adanya pleositosis (peningkatan hitung sel). Pada
kebanyakan kasus, di hari pertama jumlah total protein CSS
normal; setelah beberapa hari, jumlah protein mulai naik, bahkan
lebih kanjut di saat gejala klinis mulai stabil, jumlah protein
CSS tetap naik dan menjadi sangat tinggi. Puncaknya pada
4-6 minggu setelah onset.Derajat penyakit tidak berhubungan
dengan naiknya protein dalam CSS. Hitung jenis umumnya
di bawah 10 leukositmononuclear/mm
b. Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi
(EMG)
Manifestasi elektrofisiologis yang khas dari GBS terjadi
akibat demyelinasi saraf, antara lain prolongasi masa laten
motorik distal (menandai blok konduksi distal) dan prolongasi
atau absennya respon gelombang F (tanda keterlibatan bagian
proksimal saraf),blok hantar saraf motorik, serta berkurangnya
KHS.Pada 90% kasus GBS yang telah terdiagnosis, KHS kurang
dari 60% normal.
c. EMG
Menunjukkan berkurangnya rekruitmen motor unit Dapat
pula dijumpai degenerasi aksonal dengan potensial fibrilasi 2-
4 minggu setelah onset gejala, sehingga ampilitudo CMAP
dan SNAP kurang dari normal. Derajat hilangnya aksonal ini
telah terbukti berhubungan dengan tingkat mortalitas yang
tinggi serta disabilitas jangka panjang pada pasien GBS, akibat
fase penyembuhan yang lambat dan tidak sempurna. Sekitar
10% penderita menunjukkan penyembuhan yang tidak
sempurna, dengan periode penyembuhan yang lebih panjang
(lebih dari 3 minggu) serta berkurangnya KHS dan denervasi
EMG.
d. Pemeriksaan darah pada darah tepi
Didapati leukositosis polimorfonuklear sedang dengan
pergeseran ke bentuk yang imatur, limfosit cenderung rendah
selama fase awal dan fase aktif penyakit. Pada fase lanjut,
dapat terjadi limfositosis;eosinofilia jarang ditemui. Laju
endap darah dapat meningkat sedikit atau normal, sementara
anemia bukanlah salah satu gejala
e. Dapat dijumpai respon hipersensitivitas antibodi tipe lambat
Ditandain dengan peningkatan immunoglobulin IgG, IgA, dan
IgM, akibat demyelinasi saraf pada kultur
jaringan.Abnormalitas fungsi hati terdapat pada kurang dari
10% kasus, menunjukkan adanya hepatitis viral yang akut
atau sedang berlangsung; umumnya jarang karena virus
hepatitis itu sendiri, namun akibat infeksi CMV ataupun EBV.
f. Elektrokardiografi (EKG)
Menunjukkan adanya perubahan gelombang Tserta sinus
takikardia.Gelombang T akan mendatar
atauinvertedpadaleadlateral. Peningkatan voltase QRS kadang
dijumpai, namun tidak sering.
g. Tes fungsi respirasi (pengukuran kapasitas vital paru)
Akan menunjukkan adanya insufisiensi respiratorik yang
sedang berjalan (impending).
h. Pemeriksaan patologi anatomi
Umumnya didapati pola dan bentuk yang relatif konsisten;
yakni adanya infiltrat limfositik mononuklear perivaskuler serta
demyelinasi multifokal. Pada fase lanjut, infiltrasi sel-sel radang
dan demyelinasi ini akan muncul bersama dengan demyelinasi
segmental dan degenerasi wallerian dalam berbagai derajat Saraf
perifer dapat terkena pada semua tingkat, mulai dari akar
hingga ujung saraf motorik intramuskuler, meskipun lesi yang
terberat bila terjadi padaventral root, saraf spinal proksimal, dan
saraf kranial.Infiltrat sel-sel radang (limfosit dan sel
mononuclear lainnya) juga didapati pada pembuluh limfe, hati,
limpa, jantung, dan organ lainnya
8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Medis
Tujuan utama dapat merawat klien dengan GBS adalah untuk
memberikan pemeliharaan fungsi system tubuh, dengan cepat
mengatasi krisis-krisis yang mengancam jiwa, mencegah infeksi
dan komplikasi imobilitas, serta memberikan dukungan psikologis
untuk klien dan keluarga.
Sindrom Guillain-Barre dipertimbangkan sebagai kedaruratan
medis dank lien diatasi di unit perawatan intensif. Klien
mengalami masalah pernapasan yang memerlukan ventilator,
kadang untuk periode yang lama. Plasmaferesis (perubahan
plasma) yang menyebabkan reduksi antibiotic ke dalam sirkulasi
sementara, yang dapat digunakan pada serangan berat dan dapat
membatasi keadaan yang memperburuk pada klien dan
demielinasi. Diperlukan pemantauan EKG kontinu, untuk
kemungkinan adanya perubahan kecepatan atau ritme jantung.
Disritmia jantung dihubungkan dengan keadaan abnormal autono
yang diobati dengan propanolol untuk mencegah takikardi
dan hipertensi. Atropine dapat diberikan untuk menghindari
episode bradikardia selama pengisapan endotrakeal dan terapi fisik.

Anda mungkin juga menyukai