Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN PENDAHULUAN

DENGAN GUILLAIN – BARRE SYNDROME DI RUANG IGD

RSUP dr. HASAN SADIKIN BANDUNG

Diajukan sebagai syarat untuk memenuhi tugas stase Kegawat Daruratan

Disusun oleh:

DIKNA FEBIANA

PROGRAM PROFESI NERS

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN DHARMA HUSADA BANDUNG

2024

1
1. Definisi

Guillain – Barre Syndrome adalah suatu kelainan sistem saraf akut


dan difus yang biasanya timbul setelah suatu infeksi atau diakibatkan oleh
autoimun,di mana proses imunologis tersebut langsung mengenai radiks
spinalis dan saraf perifer, dan kadang-kadang juga saraf kranialis. Saraf yang
diserang bukan hanya yang mempersarafi otot, tetapi bisa juga indera peraba
sehingga penderita mengalami baal atau mati rasa. Fase awal dimulai dengan
munculnya tanda – tanda kelemahan dan biasanya tampak secara lengkap
dalam 2 – 3 minggu. Ketika tidak terlihat penurunan lanjut, kondisi ini tenang.
Fase kedua berakhir beberapa hari sampai 2 minggu. Fase penyembuhan
ungkin berakhir 4 – 6 bulan dan mungkin bisa sampai 2 tahun. Penyembuhan
adalah spontan dan komplit pada kebanyakan pasien, meskipun ada beberapa
gejala neurologis, sisa dapat menetap (Japardi, 2010).
Guillain – Barre Syndrome (GBS) adalah sindrom klinis yang
penyebabnya tidak diketahui secara pasti ditunjukkan oleh awitan akut dari
gejala-gejala yang mengenai saraf perifer dan kranial. Proses penyakit
mencakup demielinisasi dan deg Guillain – Barre Syndrome (GBS) adalah
salah satu penyakit saraf, juga merupakan salah satu polineuropati karena
hingga sekarang belum dapat diapstikan penyebabnya. Namun kebanyakan
kasus terjadi sesudah proses infeksi diduga GBS terjadi karena sistem
kekebalan tidak berfungsi. Gejalanya adalah kelemahan otot (parese hingga
plegia), biasanya perlahan mulai dari bawah atas. Jadi gejala awalnya
biasanya tidak bisa berjalan atau gangguan berjalan. Sebaliknya
penyembuhannya diawalai dari bagian atas tubuh ke bawah sehingga bila ada
gejala sisa biasanya gangguan berjalan (Fredericks et all, dalam Ikatan
Fisioterapi Indonesia, 2007).
Berdasarkan beberapa pengertian diatas maka dapat diambil
kesimpulan bahwa GBS merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai
adanya paralisis yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses
autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer dan nervus kranialis.

2
2. Etiologi
Etiologi Guillain – Barre Syndrome sampai saat ini masih belum
dapat diketahui dengan pasti dan masih menjadi bahan perdebatan. Teori
yang dianut sekarang ialah suatu kelainan imunobiologik, baik secara
primary immune response maupun immune mediated process. Periode laten
antara infeksi dan gejala polineuritis memberi dugaan bahwa kemungkinan
kelainan yang terdapat disebabkan oleh suatu respons terhadap reaksi alergi
saraf perifer. Pada banyak kasus, infeksi sebelumnya tidak ditemukan namun
terdapat gangguan di medula spinalis dan medula oblongata (Japardi, 2002).
Beberapa keadaan/ penyakit yang mendahului dan mungkin ada
hubungannya dengan terjadinya GBS, antara lain (Japardi, 2002) :
a. Infeksi virus atau bakteri
GBS sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik.
Insidensi kasus GBS yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara
56% - 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul
seperti infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal.
Infeksi akut yang berhubungan dengan GBS :

b. Vaksinasi
c. Pembedahan, anestesi
d. Penyakit sistematik, seperti keganasan, Systemic Lupus
Erythematosus, tiroiditis, dan penyakit Addison
e. Kehamilan atau dalam masa nifas
f. Gangguan endokrin
3
3. Manifestasi Klinis

a. Masa laten

Waktu antara terjadi infeksi atau keadaan prodromal yang

mendahuluinya dan saat timbulnya gejala neurologis. Lamanya masa

laten ini berkisar antara satu sampai 28 hari, rata-rata 9 hari. Pada masa

laten ini belum ada gejala klinis yang timbul.

b. Gejala Klinis

(1) Kelumpuhan

Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas

tipe lower motor neurone dari otot-otot ekstremitas, badan dan

kadang-kadang juga muka. Pada sebagian besar penderita,

kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah kemudian

menyebar secara asenderen ke badan, anggota gerak atas dan saraf

kranialis. Kadang-kadang juga bisa keempat anggota gerak dikenai

secara serentak, kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis.

Kelumpuhan otot-otot ini simetri dan diikuti oleh

hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-

otot bagian proksimal lebih berat dari bagian distal, tetapi dapat

juga sama beratnya, atau bagian distal lebih berat dari bagian

proksimal

(2) Gangguan sensibilitas

Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka

juga bisa dikenai dengan distribusi sirkumoral. Defisit sensoris

objektif biasanya minimal dan sering dengan distribusi seperti pola

4
kaus kaki dan sarung tangan. Sensibilitas ekstroseptif lebih sering

dikenal dari pada sensibilitas proprioseptif. Rasa nyeri otot sering

ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu aktifitas fisik.

(3) Saraf Kranialis

Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII.

Kelumpuhan otot- otot muka sering dimulai pada satu sisi tapi

kemudian segera menjadi bilateral, sehingga bisa ditemukan berat

antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa dikenai kecuali N.I

dan N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat terkenanya N.IV atau N.III.

Bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan gangguan berupa

sukar menelan, disfonia dan pada kasus yang berat menyebabkan

kegagalan pernafasan karena paralisis nervus laringeus.

(4) Gangguan fungsi otonom

Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita GBS.

Gangguan tersebut berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus

bradikardi, muka jadi merah (facial flushing), hipertensi atau

hipotensi yang berfluktuasi, hilangnya keringat atau episodic

profuse diaphoresis. Retensi urin atau inkontinensia urin jarang

dijumpai. Gangguan otonom ini jarang yang menetap lebih dari

satu atau dua minggu.

(5) Kegagalan pernafasan

Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat

berakibat fatal bila tidak ditangani dengan baik. Kegagalan

pernafasan ini disebabkan oleh paralisis diafragma dan kelumpuhan

otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada 10-33 persen penderita.

5
(6) Papiledema

Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum

diketahui dengan pasti. Diduga karena peninggian kadar protein

dalam cairan otot yang menyebabkan penyumbatan villi

arachoidales sehingga absorbsi cairan otak berkurang.

4. Patofisiologi

Kelemahan dan paralisis yang terjadi pada GBS disebabkan karena

hilangnya myelin, material yang membungkus saraf. Hilangnya myelin ini

disebut demylinisasi. Demylinisasi menyebabkan penghantaran impuls oleh

saraf tersebut menjadi lambat atau berhenti sama sekali. GBS menyebabkan

inflamasi dan destruksi dari myelin dan menyerang beberapa saraf. Oleh

karena itu GBS disebut juga Acut Inflammatory Demyelinating

Polyradiculoneuropathy (AIDP). Tidak ada yang mengetahui dengan pasti

bagaimana GBS terjadi dan dapat menyerang sejumlah orang. Yang

diketahui ilmuwan sampai saat ini adalah bahwa sistem imun menyerang

tubuhnya sendiri, dan menyebabkan suatu penyakit yang disebut sebagai

penyakit autoimun. Infeksi, baik yang disebabkan oleh bakteri maupun

virus dan antigen lain memasuki sel dari saraf dan kemudian mereplikasi

diri. Antigen tersebut mengaktivasi sel limfosit T. sel limfosit T ini

mengaktivasi proses pematangan limfosit B dan memproduksi autoantibodi

spesifik. Ada beberapa tori mengenai pembentukan autoantibodi, yang

pertama adalah virus dan bakteri mengubah susunan sel saraf schingga

sistem imun tubuh mengenalinya sebagai benda asing.

6
Pada GBS, terbentuk atibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai reaksi

terhadap adanya antigen atau partikel asing dalam tubuh, seperti bakteri

ataupun virus. Antibodi yang bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai

myelin serta merusaknya, dengan bantuan sel-sel leukosit, sehingga terjadi

inflamasi pada saraf. Sel-sel inflamasi ini akan mengeluarkan secret

kimiawi yang akan mempengaruhi sel Schwan, yang seharusnya

membentuk materi lemak penghasil myelin. Dengan merusaknya, produksi

myelin akan berkurang, sementara pada waktu bersamaan, myelin yang ada

telah dirusak oleh antibody tubuh. Seiring dengan serangan yang berlanjut,

jaringan saraf perifer akan hancur secara bertahap. Saraf motoric, sensorik

dan otonom akan diserang, transmisi sinyal melambat, terblok atau

terganggu sehingga mempengaruhi tubuh pederita. Hal ini akan

menyebabkan kelemahan otot, kesemutan, kebas serta kesulitan melakukan

aktivitas sehari-hari, termasuk berjalan.

7
5. Pathway

8
6. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan neurologis ditemukan adanya kelemahan otot yang

bersifat difus dan paralisis. Refleks tendon akan menurun atau bahkan

menghilang. Batuk yang lemah dan aspirasi mengindikasikan adanya

kelemahan pada otot-otot intercostal. Tanda rangsang meningeal seperti

perasat kernig dan kaku kuduk mungkin ditemukan. Refleks patologis

seperti refleks Babinsky tidak ditemukan.

b. Pemeriksaan laboratorium

Gambaran laboratorium yang menonjol adalah peninggian kadar protein

dalam cairan otak (> 0,5 mg%) tanpa diikuti oleh peninggian jumlah sel

dalam cairan otak, hal ini disebut disosiasi sito-albuminik. Peninggian

kadar protein dalam cairan otak ini dimulai pada minggu 1-2 dari onset

penyakit dan mencapai puncaknya setelah 3-6 minggu. Jumlah sel

mononuklear < 10 sel/mm3. Walaupun demikian pada sebagian kecil

penderita tidak ditemukan peninggian kadar protein dalam cairan otak.

Imunoglobulin serum bisa meningkat. Bisa timbul hiponatremia pada

beberapa penderita yang disebabkan oleh SIADH (Sindroma

Inapproriate Antidiuretik Hormone).

c. Pemeriksaan elektrofisiologi (EMG)

Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis GBS adalah

kecepatan hantaran saraf motorik dan sensorik melambat. Distal motor

retensi memanjang kecepatan hantaran gelombang-f melambat,

9
menunjukkan perlambatan pada segmen proksimal dan radiks saraf. Di

samping itu untuk mendukung diagnosis pemeriksaan elektrofisiologis

juga berguna untuk menentukan prognosis penyakit : bila ditemukan

potensial denervasi menunjukkan bahwa penyembuhan penyakit lebih

lama dan tidak sembuh sempurna.

d. Pemeriksaan LCS

Dari pemeriksaan LCS didapatkan adanya kenaikan kadar protein ( 1 –

1,5 g/dl ) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oleh Guillain

(1961) disebut sebagai disosiasi albumin sitologis. Pemeriksaan cairan

cerebrospinal pada 48 jam pertama penyakit tidak memberikan hasil

apapun juga. Kenaikan kadar protein biasanya terjadi pada minggu

pertama atau kedua. Kebanyakan pemeriksaan LCS pada pasien akan

menunjukkan jumlah sel yang kurang dari 10/mm3 (albuminocytologic

dissociation).

e. Pemeriksaan MRI

Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan

kira-kira pada hari ke-13 setelah timbulnya gejala. MRI akan

memperlihatkan gambaran cauda equina yang bertambah besar. Hal ini

dapat terlihat pada 95% kasus SGB.

1. Pemeriksaan serum CK biasanya normal atau meningkat sedikit.

2. Biopsi otot tidak diperlukan dan biasanya normal pada stadium awal.

Pada stadium lanjut terlihat adanya denervation atrophy.

7. Penatalaksanaan

Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri.

Pengobatan secara umum bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa

10
penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang

cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga

pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi

beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas

(imunoterapi) (Japardi, 2002). Sindrom, Guillain Barre dipertimbangkan

sebagai kedaruratan medis dan pasien diatasi di unit perawatan intensif

(Japardi, 2002)

1) Pengaturan jalan napas

Respirasi diawasi secara ketat terhadap perubahan kapasitas vital dan

gas darah yang menunjukkan permulaan kegagalan pernafasan.

Setiap ada tanda kegagalan pernafasan maka penderita harus segera

dibantu dengan oksigenasi dan pernafasan buatan. Trakheotomi

harus dikerjakan atau intubasi penggunaan ventilator jika pernafasan

buatan diperlukan untuk waktu yang lama atau resiko terjadinya

aspirasi. Walaupun pasien masih bernafas spontan, monitoring

fungsi respirasi dengan mengukur kapasitas vital secara regular

sangat penting untuk mengetahui progresivitas penyakit.

2) Pemantauan EKG dan tekanan darah

Monitoring yang ketat terhadap tekanan darah dan EKG sangat

penting karena gangguan fungsi otonom dapat mengakibatkan

11
timbulnya hipotensi atau hipertensi yang mendadak serta gangguan

irama jantung. Untuk mencegah takikardia dan hipertensi, sebaiknya

diobati dengan obat-obatan yang waktu kerjanya pendek (short-

acting), seperti : penghambat beta atau nitroprusid, propanolol.

Hipotensi yang disebabkan disotonomi biasanya membaik dengan

pemberian cairan iv dan posisi terlentang (supine). Atropin dapat

diberikan untuk menghindari episode brakikardia selama pengisapan

endotrakeal dan terapi fisik. Kadang diperlukan pacemaker

sementara pada pasien dengan blok jantung derajat 2 atau 3.

3) Plasmaparesis

Pertukaran plasma (plasma exchange) yang menyebabkan reduksi

antibiotik ke dalam sirkulasi sementara, dapat digunakan pada

serangan berat dan dapat membatasi keadaan yang memburuk pada

pasien demielinasi. Bermanfaat bila dikerjakan dalam waktu 3

minggu pertama dari onset penyakit. Jumlah plasma yang

dikeluarkan per exchange adalah 40-50 ml/kg. Dalam waktu 7-14

hari dilakukan tiga sampai lima kali exchange. Plasmaparesis atau

plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi

yang beredar. Albumin : dipakai pada plasmaferesis, karena Plasma

pasien harus diganti dengan suatu substitusi plasma.

4) Perlu diperhatikan pemberian cairan dan elektrolit terutama natrium

karena penderita sering mengalami retensi airan dan hiponatremi

disebabkan sekresi hormone ADH berlebihan.

12
5) Ileus paralitik terkadang ditemukan terutama pada fase akut

sehingga parenteral nutrisi perlu diberikan pada keadaan ini.

f. Perawatan umum

1) Mencegah timbulnya luka baring/bed sores dengan perubahan

posisi tidur.

2) Fisioterapi yang teratur dan baik juga penting. Fisioterapi dada

secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps aru. Segera

setelah penyembuhan mulai fase rekonvalesen) maka fisioterapi aktif

dimulai untuk melatih dan meningkatkan kekuatan otot.

13
3) Spint mungkin diperlukan untuk mempertahakan posisi anggota

gerak yang lumpuh,

4) Kekakuan sendi dicegah dengan gerakan pasif. Gerakan pasti pada

kaki yang lumpuh mencegah deep voin thrombosis.

5) Perawatan kulit, kandung kemih, saluran pencernaan, mulut, faring

dan trakhea.

6) Infeksi paru dan saluran kencing harus segera diobati.

7) Bila ada nyeri otot dapat dapat diberikan

analgetik.

g. Pengobatan

1) Kortikosteroid

Seperti : azathioprine, cyclophosphamid

Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat

steroid tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi GBS.

Peter melaporkan kemungkinan efek steroid dosis tinggi intravenous

menguntungkan. Dilaporkan 3 dari 5 penderita memberi respon

dengan methyl prednisolon sodium succinate intravenous dan

diulang tiap 6 jam diikuti pemberian prednisone oral 30 mg setiap 6

jam setelah 48 jam pengobatan intravenous. Efek samping dari obat-

obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit kepala.

2) Profilaksis terhadap DVT (deep vein thrombosis)

Pemberian heparin dengan berat molekuler yang rendah secara

subkutan (fractioned Low Molecular Weight Heparin/ fractioned

LMWH) seperti : enoxaparin, lovenox dapat mengurangi insidens

terjadinya tromboembolisme vena secara dramatik, yang merupakan


14
salah satu keluhan utama dari paralisis ekstremitas. DVT juga dapat

dicegah dengan pemakaian kaus kaki tertentu (true gradient

compression hose/ anti embolic stockings/ anti- thromboembolic

disease (TED) hose).

3) Pengobatan imunosupresan:

a) Imunoglobulin IV

Beberapa peneliti pada tahun 1988 melaporkan pemberian

immunoglobulin atau gamaglobulin pada penderita GBS yang

parah ternyata dapat mempercepat penyembuhannya seperti

halnya plasmapharesis. Gamaglobulin (Veinoglobulin)

diberikan perintravena dosis tinggi. Pengobatan dengan gamma

globulin intervena lebih menguntungkan dibandingkan

plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan

tetapi harganya mahal. Dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari

selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg

BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh. imunoglobulin intravena

(IVIG 7s) : dipakai untuk memperbaiki aspek klinis dan

imunologis dari GBS dan Dosis dewasa adalah 0,4 g/kg/hari

selama 5 hari (total 2 g selama 5 hari) dan bila perlu diulang

setelah 4 minggu.

Kontraindikasi IVIg : adalah hipersensitivitas terhadap regimen

ini dan defisiensi IgA, antibodi anti IgE/ IgG. Tidak ada

interaksi dng obat ini dan sebaiknya tidak diberikan pd

kehamilan.

b) Obat sitotoksik

15
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah 6

merkaptopurin (6-MP).

6. Asuhan Keperawatan

a. Pengkajian

1) Aktivitas/Istirahat

Gejala : adanya kelemahan dan paralysis secara simetris yang biasanya

dimulai dari ekstremitas bawah dan selanjutnya berkembang dengan

cepat ke arah atas, hilangnya kontrol motorik halus tangan. Tanda :

kelemahan otot, paralysis plaksid (simetris), cara berjalan tidak mantap.

2) Sirkulasi

Tanda : perubahan tekanan darah (hipertensi/hipotensi), disritmia,

takikardia/brakikardia, wajah kemerahan, diaforesis.

3) Integritas Ego

Gejala : perasaan cemas dan terlalu berkonsentrasi pada masalah

yang dihadapi. Tanda : tampak takut dan bingung.

4) Eliminasi

Gejala : adanya perubahan pola eliminasi. Tanda : kelemahan pada otot-

otot abdomen, hilangnya sensasi anal (anus) atau berkemih dan refleks

sfingter.

5) Makanan/cairan

Gejala : kesulitan dalam mengunyah dan menelan. Tanda : gangguan

pada refleks menelan atau refleks gag.

16
6) Neurosensori

Gejala: kebas, kesemutan dimulai dari kaki atau jari-jari kaki dan terus

naik, perubahan rasa terhadap posisi tubuh, vibrasi, sensasi nyeri,

sensasi suhu, perubahan dalam ketajaman penglihatan. Tanda :

hilangnya/menurunnya refleks tendon dalam, hilangnya tonus otot,

adanya masalah dengan keseimbangan, adanya kelemahan pada otot-

otot wajah, terjadi ptoris kelopak mata, kehilangan kemampuan untuk

berbicara.

7) Nyeri/kenyamanan

Gejala : nyeri tekan otot, seperti terbakar, mengganggu, sakit, nyeri

(terutama pada bahu, pelvis, pinggang, punggung dan bokong).

Hiposensitif terhadap sentuhan.

8) Pernafasan

Gejala : kesulitan dalam bernafas. Tanda : pernafasan perut,

menggunakan otot bantu nafas, apnea, penurunan bunyi nafas,

menurunnya kapasitas vital paru, pucat/sianosis, gangaun refleks

gag/menelan/batuk.

9) Keamanan

Gejala : infeksi virus nonspesifik (seperti ISPA) kira-kira dua minggu

sebelum munculnya tanda serangan, adanya riwayat terkena herpes

zoster, sitomegalovirus. Tanda : suhu tubuh yang berfluktuasi, penurunan

kekuatan/tonus otot, paralysis/parestesia


17
10) Nyeri/kenyamanan

Gejala : nyeri tekan otot, seperti terbakar, mengganggu, sakit, nyeri

(terutama pada bahu, pelvis, pinggang, punggung dan bokong).

Hiposensitif terhadap sentuhan.

11) Pernafasan

Gejala : kesulitan dalam bernafas. Tanda : pernafasan perut, menggunakan

otot bantu nafas, apnea, penurunan bunyi nafas, menurunnya kapasitas

vital paru, pucat/sianosis, gangaun refleks gag/menelan/batuk.

12) Keamanan

Gejala : infeksi virus nonspesifik (seperti ISPA) kira-kira dua minggu

sebelum munculnya tanda serangan, adanya riwayat terkena herpes

zoster, sitomegalovirus. Tanda : suhu tubuh yang berfluktuasi,

penurunan kekuatan/tonus otot, paralysis/parestesia.

ANALISA DATA

18
Symptop Etiologi Masalah

Ds : keluarga klien mengatakan Faktor predisposisi Ketidakefektifan pola

klien kesulitan bernafas Proses inflamasi nafas

DO : Menyerang myelin

 RR : 32x /menit Cidera dimelinasi

 Klien tampak kesulitan Guillain barre syndrome

nafas (GBS)

 Terpasang o2 B1 : Breathing

 Terdapat retraksi dinding Gangguan saraf perifer

dada Paralisis otot pernafasan

Ketidakefektifan pola

nafas

Ds : keluarga mengatakan klien Faktor predisposisi Gangguan mobilitas

kesulitan dalam beraktifitas Proses inflamasi fisik

Do : Menyerang myelin

 Tampak berbaring Cidera dimelinasi

ditempat tidur Guillain barre syndrome

 Kekuatan otot menurun B6 : bone dan

 Klien kesulitan bergerak integument

Gangguan fungsi saraf


perifer dan
neuromuskular

Parastesia (kesemutan)
dan kelemahan otot
kaki,yang dapat
berkembang ke
ekstremitas atas,batang
19
tubuh dan otot wajah

Kelemahan fisik umum,


paralisis otot wajah

Penurunan tonus otot


seluruh tubuh

Hambatan mobilitas

fisik

Ds : Faktor predisposisi Perubahan perfusi

Proses inflamasi jaringan perifer

Menyerang myelin

Do : Cidera dimelinasi
 Pengisian kapiler
 Akral buruk Guillain bare syndrome
 Warna kulit pucat
 Turgor kulit kurang Proknosis penyakit yang
kurang baik

B2 : Blood

Disfungsi sistem saraf


otonomik

Penumpukan vaskuler

Penurunan aliran darah


balik vena

Gangguan perfusi
jaringan perifer

Ds : Faktor predisposisi Nyeri akut

Proses inflamasi

Menyerang myelin

20
Do : Cedera dimelinasi

 Keluhan nyeri Guillain bare syndrome


 Meringis
 Sikap protektif B3 : Brain
 Gelisah
 Kesulitan tidur Gangguan fungsi saraf
 Frekuensi nadi kranial

Pelepasan reseptor nyeri


bradikinin prostaglandin

Nyeri akut
Ds : Faktor predisposisi Konstipasi

Proses inflamasi

Menyerang myelin

Do : Cidera dimensiasi
 Frekuensi BAB
 Keluhan defekasi lama Guillain bare syndrome
dan sulit
 Konsistensi feses B5 : bowel
 Peristaltik usus meningkat
Kerusakan

neuromuskular

Imobilisasi

Penurunan peristaltik

usus

Konstipasi

Ds : Faktor predisposisi Ansietas

Proses inflamasi

Menyerang myelin

Do : Cidera dimelinasi

 Verbalisasi kebingungan Guillain bare syndrome


 Perilaku gelisah
 Perilaku tegang Proknosis penyakit yang
kurang baik
21
 Konsentrasi buruk
Kecemasan

22
DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. ketidakefektifan pola nafas b.d paralisis otot pernafasan


2. perubahan perfusi jaringan b.d disfungsi sistem saraf autonomic
3. hambatan mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuscular
4. nyeri akut b.d kerusakan saraf sensosi
5. konstipasi b.d kehilangan sensasi dan reflek sfingter
6. ansietas b.d pajanan informasi mengenai penyakit

INTERVENSI KEPERAWATAN

Diagnosa Tujuan Intervensi


keperawatan
ketidakefektifan Setelah dilakukan intervensi Pemantauan Respirasi
pola nafas b.d keperawatan selama 3 x 24 jam, (I.01014)
paralisis otot maka pola napas membaik, dengan
pernafasan kriteria hasil: Observasi

 Dispnea menurun  Monitor frekuensi,


 Penggunaan otot bantu irama, kedalaman dan
napas menurun upaya napas
 Pemanjangan fase ekspirasi  Monitor pola napas
menurun (seperti bradypnea,
 Frekuensi napas membaik takipnea,
 Kedalaman napas membaik hiperventilasi,
kussmaul, Cheyne-
stokes, biot, ataksik)
 Monitor kemampuan
batuk efektif
 Monitor adanya
produksi sputum
 Monitor adanya
sumbatan jalan napas
 Palpasi kesimetrisan
ekspansi paru
 Auskultasi bunyi napas
 Monitor saturasi
oksigen
 Monitor nilai analisa
gas darah
 Monitor hasil x-ray
thoraks

Terapeutik
23
 Atur interval
pemantauan respirasi
sesuai kondisi pasien
 Dokumentasikan hasil
pemantauan

Edukasi

 Jelaskan tujuan dan


prosedur pemantauan
 Informasikan hasil
pemantauan, jika perlu.
perubahan Setelah dilakukan intervensi Perawatan Sirkulasi (I.02079)
perfusi jaringan keperawatan selama 1 x 24 jam,
perifer b.d maka perfusi perifer meningkat, Observasi
disfungsi sistem dengan kriteria hasil:
saraf autonomic  Periksa sirkulasi
 Pengisian kapiler membaik perifer (mis: nadi
 Akral membaik perifer, edema,
 Warna kulit pucat menurun pengisian kapiler,
 Turgor kulit membaik warna, suhu, ankle-
brachial index)
 Identifikasi faktor
risiko gangguan
sirkulasi (mis:
diabetes, perokok,
orang tua, hipertensi,
dan kadar kolesterol
tinggi)
 Monitor panas,
kemerahan, nyeri, atau
bengkak pada
ekstremitas

Terapeutik

 Hindari pemasangan
infus, atau
pengambilan darah di
area keterbatasan
perfusi
 Hindari pengukuran
tekanan darah pada
ekstremitas dengan
keterbatasan perfusi
 Hindari penekanan dan
pemasangan tourniquet
pada area yang cidera
24
 Lakukan pencegahan
infeksi
 Lakukan perawatan
kaki dan kuku
 Lakukan hidrasi

Edukasi

 Anjurkan berhenti
merokok
 Anjurkan berolahraga
rutin
 Anjurkan mengecek air
mandi untuk
menghindari kulit
terbakar
 Anjurkan
menggunakan obat
penurun tekanan darah,
antikoagulan, dan
penurun kolesterol,
jika perlu
 Anjurkan minum obat
pengontrol tekanan
darah secara teratur
 Anjurkan menghindari
penggunaan obat
penyekat beta
 Anjurkan melakukan
perawatan kulit yang
tepat (mis:
melembabkan kulit
kering pada kaki)
 Anjurkan program
rehabilitasi vaskular
 Ajarkan program diet
untuk memperbaiki
sirkulasi (mis: rendah
lemak jenuh, minyak
ikan omega 3)
 Informasikan tanda
dan gejala darurat yang
harus dilaporkan (mis:
rasa sakit yang tidak
hilang saat istirahat,
luka tidak sembuh,
hilangnya rasa).
hambatan Setelah dilakukan intervensi Dukungan Mobilisasi
mobilitas fisik keperawatan selama 3 x 24 jam, (I.05173)
25
b.d kerusakan maka mobilitas fisik meningkat,
neuromuscular dengan kriteria hasil: Observasi

 Pergerakan ekstremitas  Identifikasi adanya


meningkat nyeri atau keluhan
 Kekuatan otot meningkat fisik lainnya
 Rentang  Identifikasi toleransi
gerak (ROM) meningkat fisik melakukan
pergerakan
 Monitor frekuensi
jantung dan tekanan
darah sebelum
memulai mobilisasi
 Monitor kondisi umum
selama melakukan
mobilisasi

Terapeutik

 Fasilitasi aktivitas
mobilisasi dengan alat
bantu (mis: pagar
tempat tidur)
 Fasilitasi melakukan
pergerakan, jika perlu
 Libatkan keluarga
untuk membantu
pasien dalam
meningkatkan
pergerakan

Edukasi

 Jelaskan tujuan dan


prosedur mobilisasi
 Anjurkan melakukan
mobilisasi dini
 Ajarkan mobilisasi
sederhana yang harus
dilakukan (mis: duduk
di tempat tidur, duduk
di sisi tempat tidur,
pindah dari
tempat tidur ke kursi)
nyeri akut b.d Setelah dilakukan intervensi Manajemen Nyeri (I.08238)
kerusakan saraf keperawatan selama 3 x 24 jam,
sensosi maka tingkat nyeri menurun, Observasi
dengan kriteria hasil:
 Identifikasi lokasi,
26
 Keluhan nyeri menurun karakteristik, durasi,
 Meringis menurun frekuensi, kualitas,
 Sikap protektif menurun intensitas nyeri
 Gelisah menurun  Identifikasi skala nyeri
 Kesulitan tidur menurun  Idenfitikasi respon
 Frekuensi nadi membaik nyeri non verbal
 Identifikasi faktor yang
memperberat dan
memperingan nyeri
 Identifikasi
pengetahuan dan
keyakinan tentang
nyeri
 Identifikasi pengaruh
budaya terhadap
respon nyeri
 Identifikasi pengaruh
nyeri pada kualitas
hidup
 Monitor keberhasilan
terapi komplementer
yang sudah diberikan
 Monitor efek samping
penggunaan analgetik

Terapeutik

 Berikan Teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi nyeri (mis:
TENS, hypnosis,
akupresur, terapi
music, biofeedback,
terapi pijat,
aromaterapi, Teknik
imajinasi terbimbing,
kompres
hangat/dingin, terapi
bermain)
 Kontrol lingkungan
yang memperberat rasa
nyeri (mis: suhu
ruangan, pencahayaan,
kebisingan)
 Fasilitasi istirahat dan
tidur
 Pertimbangkan jenis
dan sumber nyeri
dalam pemilihan
27
strategi meredakan
nyeri

Edukasi

 Jelaskan penyebab,
periode, dan pemicu
nyeri Jelaskan strategi
meredakan nyeri
 Anjurkan memonitor
nyeri secara mandiri
 Anjurkan
menggunakan
analgesik secara tepat
 Ajarkan Teknik
farmakologis untuk
mengurangi nyeri

Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
konstipasi b.d Setelah dilakukan intervensi Manajemen Eliminasi Fekal
kehilangan keperawatan selama 3 x 24 jam, (I.04151)
sensasi dan maka eliminasi fekal membaik,
reflek sfingter dengan kriteria hasil: Observasi

 Frekuensi BAB membaik  Identifikasi masalah


 Keluhan defekasi lama dan usus dan penggunaan
sulit menurun obat pencahar
 Konsistensi feses membaik  Identifikasi
 Peristaltik usus membaik pengobatan yang
berefek pada kondisi
gastrointestinal
 Monitor buang air
besar (mis: warna,
frekuensi, konsistensi,
volume)
 Monitor tanda dan
gejala diare,
konstipasi, atau
impaksi

Terapeutik

 Berikan air hangat


setelah makan
 Jadwalkan waktu
defekasi Bersama
28
pasien
 Sediakan makanan
tinggi serat

Edukasi

 Jelaskan jenis makanan


yang membantu
meningkatkan
keteraturan peristaltik
usus
 Anjurkan mencatat
warna, frekuensi,
konsistensi, volume
feses
 Anjurkan
meningkatkan aktivitas
fisik, sesuai toleransi
 Anjurkan pengurangan
asupan makanan yang
meningkatkan
pembentukan gas
 Anjurkan
mengkonsumsi
makanan yang
mengandung tinggi
serat
 Anjurkan
meningkatkan asupan
cairan, jika tidak ada
kontraindikasi

Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian
obat supositoria
anal, jika perlu
ansietas b.d Setelah dilakukan intervensi Terapi relaksasi (I.09326)
pajanan keperawatan selama 3 x 24 jam,
informasi maka tingkat ansietas menurun, Observasi
mengenai dengan kriteria hasil:
penyakit  Identifikasi penurunan
 Verbalisasi kebingungan tingkat energi,
menurun ketidakmampuan
 Perilaku gelisah menurun berkonsentrasi, atau
 Perilaku tegang menurun gejala lain yang
 Konsentrasi membaik mengganggu
kemampuan kognitif
 Identifikasi Teknik
29
relaksasi yang pernah
efektif digunakan
 Identifikasi kesediaan,
kemampuan, dan
penggunaan Teknik
sebelumnya
 Periksa ketegangan
otot, frekuensi nadi,
tekanan darah, dan
suhu sebelum dan
sesudah Latihan
 Monitor respons
terhadap terapi
relaksasi

Terapeutik

 Ciptakan lingkungan
tenang dan tanpa
gangguan dengan
pencahayaan dan suhu
ruang nyaman, jika
memungkinkan
 Berikan informasi
tertulis tentang
persiapan dan prosedur
teknik relaksasi
 Gunakan pakaian
longgar
 Gunakan nada suara
lembut dengan irama
lambat dan berirama
 Gunakan relaksasi
sebagai strategi
penunjang dengan
analgetik atau
Tindakan medis lain,
jika sesuai

Edukasi

 Jelaskan tujuan,
manfaat, Batasan, dan
jenis relaksasi yang
tersedia (mis: musik,
meditasi, napas dalam,
relaksasi otot
progresif)
 Jelaskan secara rinci
30
intervensi relaksasi
yang dipilih
 Anjurkan mengambil
posisi nyaman
 Anjurkan rileks dan
merasakan sensasi
relaksasi
 Anjurkan sering
mengulangi atau
melatih Teknik yang
dipilih
 Demonstrasikan dan
latih Teknik relaksasi
(mis: napas dalam,
peregangan, atau
imajinasi terbimbing)

31
DAFTAR PUSTAKA

PPNI (2017). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia : Definisi dan Indikator Diagnostik

Edisi 1 cetakan III (revisi) Jakarta

PPNI (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi dan Kriteria hasil

Keperawatan, Edisi I cetakan II. Jakarta

PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia : Definisi dan Tindakan

Keperawatan Edisi 1 Cetakan II. Jakarta

32

Anda mungkin juga menyukai