Anda di halaman 1dari 17

KEPERAWATAN KRTITIS

NEUROVASKULER: SINDROM GUILLAIN BARRE

Dosen Pengampu : Farida Aini, S.Kep.,Ns.,M.Kep.,Sp.KMB

Disusun oleh :

1. Afian Arif Mahmud (010114A007)


2. Aisah Bibi (010114A003)
3. Dhinarika Dwi Letari (01114A024)
4. Kadek Ria Gangga Dwijayanti (01011A051)

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS NGUDI WALUYO UNGARAN

2016
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut Centers of Disease Control and Prevention / CDC (2012), Guillain
Barre Syndrom (GBS) adalah penyakit langka di mana sistem kekebalan seseorang
menyerang sistem syaraf tepi dan menyebabkan kelemahan otot bahkan apabila parah
bisa terjadi kelumpuhan. Hal ini terjadi karena susunan syaraf tepi yang
menghubungkan otak dan sumsum belakang dengan seluruh bagian tubuh kita rusak.
Kerusakan sistem syaraf tepi menyebabkan sistem ini sulit menghantarkan rangsang
sehingga ada penurunan respon sistem otot terhadap kerja sistem syaraf.
Penyebab GBS awalnya tidak diketahui sehingga penyakit ini mempunyai
nama lain Acute idiophatic polineuritis atau polineuritis idiopatik akut. Idiopatik
berasal dari kata “idiot” atau “tidak tahu”. Bersama jalannya waktu diketahui bahwa
GBS dapat disebabkan oleh kerusakan sistem kekebalan. Kerusakan sistem kekebalan
tersebut menimbulkan pembengkakan syaraf peripheral, sehingga mengakibatkan
tidak adanya pesan dari otak untuk melakukan gerakan yang dapat diterima oleh otot
yang terserang. Apabila banyak syaraf yang terserang, di mana salah satunya adalah
syaraf sistem kekebalan, sehingga sistem kekebalan tubuh kita pun akan kacau,
dengan tidak diperintah dia akan mengeluarkan cairan sistem kekebalan tubuh di
tempat-tempat yang tidak diinginkan. Pengobatan akan menyebabkan sistem
kekebalan tubuh akan berhenti menyerang syaraf dan bekerja sebagaimana mestinya
dan gejala hilang dan bisa pulih sehat seperti semula.

B. Rumusan Masalah
Bagaimana konsep dasar penyakit?      
a. Definisi
b. Etiologi                                                   
c. Patofisiologi                                               
d. Manifestasi Klinis
e. Pemeriksaan Diagnostik
f. Komplikasi
g. Penatalaksanaan medis
  Bagaimana Konsep Dasar Keperawatan?
a. Pengkajian
b. Diagnosa keperawatan
c. Intervensi

C. Tujuan
Tujuan umum
Tujuan umum akalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah “keperawatan
Kritis” serta dapat bermanfaat bagi kalangan mahasiswa keperawatan untuk
menambah pengetahuan mengenai peyakit “Guillain Barre Syndrom (GBS”.
Tujuan khusus
Tujuan khusus dari makalah ini adalah untu mengetahui bagaimana konsep dasar
peyakit “Guillain Barre Syndrom (GBS)” yang meliputi: Definisi, Etiologi,
Patofisiologi, Manifestasi Klinis, Pemeriksaan Diagnostik, Komplikasi,
Penatalaksanaan medis. Serta bagaimana konsep dasar kperawatan “Guillain Barre
Syndrom (GBS)” yang meliputi: pengkajian, diangnosa, dan intervensi
BAB II
PEMBAHASAN

1. Konsep Dasar
A. Definisi
Guillain Barre Syndrome adalah sindroma yang memiliki karakteristik berupa
paralisis asenden simetris yang berkembang secara cepat, biasanya mengikuti infeksi
virus. Adanya riwayat flu saluran pernapasan atas atau gastrik, infeksi mononukleus,
atau hepatitis merupakan hal yang umum. Pemulihan biasanya sempurna, namun
dapat di alami klien sampai 18 bulan, jika derajat yang dipengaruhi cukup luas.
Pemulihan motorik dimulai lebih kurang 10-14 hari setelah serangan dari gejala-
gejala tersebut (Widagdo,W dkk, 2008).
Guillain Barre Syndrome (GBS) atau yang dikenal dengan Acute Inflammatory
Idiopathic Polyneuropathy (AIIP) atau yang bisa juga disebut sebagai Acute
Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy (AIDP) adalah suatu penyakit pada
susunan saraf yang terjadi secara akut dan menyeluruh, terutama mengenai radiks dan
saraf tepi, kadang-kadang mengenai saraf otak yang didahului oleh infeksi. Penyakit
ini merupakan penyakit dimana sistem imunitas tubuh menyerang sel saraf.
GBS merupakan suatu kelompok heterogen dari proses yang diperantarai oleh
imunitas, suatu kelainan yang jarang terjadi; dimana sistem imunitas tubuh
menyerang sarafnya sendiri. Kelainan ini ditandai oleh adanya disfungsi motorik,
sensorik, dan otonom.
Parry mengatakan bahwa, SGB adalah suatu polineuropati yang bersifat
ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi
akut. Menurut Bosch, SGB merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya
paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana
targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis.

B. Etiologi
Penyebab Guillain Bare’ Syndrom tidak jelas/ tidak diketahui. Sebagian besar
pasien-pasien dengan Sindroma Guillain-Barre (SGB) ini ditimbulkan oleh adanya
infeksi (pernapasan atau gastrointestinal) 1-4 minggu sebelum terjadi serangan
neurologik. Pada beberapa keadaan dapat terjadi setelah vaksinasi atau pembedahan.
Hal ini diakibatkan oleh infeksi virus primer, reaksi imun, dan bebeparapa proses lain
atau sebuah kombinasi suatu proses.
Penyebab spesifik sampai sekarang belum diketahui. Ada dua teori mengenai
penyebab dari guillain barre syndrome. Teori pertama mengatakan bahwa guillain
barre disebabkan karena infiltrasi virus ke spinal dan kadang-kadang ke akar-akar
saraf kranial. Teori kedua mengatakan bahwa sindroma ini sebagai akibat dari respon
autoimmun dari tubuh yang mana di timbulkan oleh toksin atau agent infeksi yang
menimbulkan dimielintasi segmen dari saraf-saraf perifer atau kranial. Penyakit ini
umumnya menyerang seseorang yang berusia 30-50 tahun, baik itu pria maupun
wanita (Widagdo W, Suharyanto T, & Aryani R, 2008).
Kondisi yang khas adalah adanya kelumpuhan yang simetris secara cepat yang
terjadi pada ekstremitas yang pada banyak kasus sering disebabkan oleh infeksi viral.
Tetapi dalam beberapa kasus juga terdapat data bahwa penyakit ini dapat disebabkan
oleh adanya kelainan autoimun. Penyebab yang pasti sampai saat ini belum diketahui.
Tetapi pada banyak kasus sering disebabkan oleh infeksi viral. Virus yang paling
sering menyebabkan penyakit ini adalah Cytomegalovirus (CMV), HIV, Measles dan
Herpes Simplex Virus. Sedangkan untuk penyebab bakteri paling sering oleh
Campylobacter jejuni. Lebih dari 60% kasus mempunyai faktor predisposisi antara
satu sampai beberapa minggu sebelum onset, antara lain :
- Peradangan saluran napas bagian atas
- Vaksinasi
- Diare
- Kelelahan
- Peradangan masa nifas
- Tindakan bedah
- Demam yang tidak terlalu tinggi

C. Patofisilogi
Proses autoimun Menghancurkan myelin yang mengelilingi akson Konduksi
salsatori tidak terjadi dan tidak ada transmisi impuls saraf Gangguan fungsi saraf
perifer dan kranial GBS B1 B2 B6 B5 B4 B3 Gangguan saraf perifer dan
neuromuskular Paralise lengkap, otot pernapasan terkena, mengakibatkan insufisiensi
pernafasan Ketidakefektifan pola nafas Disfungsi autoimun Kurang beraksinya sistem
saraf simpatis dan parasimpatis, perubahan sensori Gangguan frekuensi jantung dan
ritme, perubahan tekanan Penurunan curah jantung COP menurun Gangguan perfusi
jaringan Perubahan fungsi serebral Penurunan tingkat kesadaran Resiko cedera
Penurunan perfusi jaringan Aliran darah ke ginjal menurun Hipoperfusi ginjal
Penurunan produksi urin Uremia Gangguan eliminasi urin Gangguan fungsi saraf
kranial: III, IV, V, VI, VIII,IX dan XI Paralisis pada okular, wajah dan otot orofaring,
kesulitan berbicara mengunyah dan menelan Gangguan pemenuhan nutrisi dan cairan
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan Gangguan saraf perifer dan
neuromuskular Parastesia (kesemutan) dan kelemahan otot kaki, yang dapat
berkembang ke ekstermitas atas, batang tubuh dan otot wajah Kelemahan fisik umum,
paralisis otot wajah Penurunan tonus otot seluruh tubuh, perubahan estetika wajah
Gangguan mobilitas fisik
D. Manifestasi klinis
Gejala awal yang timbul yaitu:
a. Parestesia (kesemutan dan kebas) dan kelemahan otot kaki, yang dapat
berkembang ke ekstremitas atas, batang tubuh dan otot wajah.
b. Dari kelemahan otot kemudian dapat diikuti dengan cepat adanya paralisis
yang lengkap, kesulitan berjalan.
c. Saraf kranial yang paling sering terserang, yang menunjukkan adanya
paralisis pada ocular, wajah, dan otot orofaring dan juga menyebabkan
kesukaran berbicara, mengunyah dan menelan.
d. Gangguan frekwensi jantung dan ritme, perubahan tekanan darah (hipertensi
transien, hipotensi ortostatik dan atau takikardi) akibat terjadinya disfungsi
autonom yang memperlihatkan reaksi berlebihan atau kurang bereaksinya
system saraf simpatis dan parasimpatis, penekanan atau kegagalan pernapasan
: dispnea, menurunnya suara napas, menurunnya volume tidal/atau kapasitas
paru.
e. Nyeri berat dan menetap pada punggung dan bagian kaki
f. Kehilangan sensasi terhadap posisi tubuh sama seperti keterbatasan atau tidak
adanya reflex tendon dalam.
g. Oftalmoplegia (tingkat kesadaran, fungsi serebral, dan /atau tanda pupil yang
tidak dipengaruhi).

E. Pemerisaan Diagnostik
1. Anamnesa :
- adanya faktor pencetus
- perjalanan penyakitnya (nyeri radikuler kemudian diikuti kelumpuhan
progresif, > 1    tungkai, simetris, menjalar ke lengan (asenderen)
2. Pemeriksaan Neurologis :
- kelumpuhan tipe flacid terutama otot proksimal
- simetris
- gejala motorik lebih nyata daripada sensorik
3. Pada Lumbal Pungsi :
- didapatkan kenaikan protein tanpa diikuti kenaikan sel (dissosiasi
sitoalbumin) pada minggu II
4. Pemeriksaan EMNG (Elekto Myo Neuro Grafi) :
- penurunan kecepatan hantar saraf  /lambatnya laju konduksi saraf
5. Darah Lengkap
- Terlihat adanya leukositosis pada fase awal.
6. Foto ronsen
- Dapat memperlihatkan berkembangnya tanda-tanda dari gangguan
pernapasan, seperti atelektasis, pneumonia.
7. Pemeriksaan fungsi paru
- Dapat menunjukkan adanya penurunan kapasitas vital, volume tidal, dan
kemampuan   inspirasi

F. Komplikasi
- Pernapasan
- Penyimpangan Kardiovaskuler
- Komplikasi Plasmafaresis

G. Penatalaksanaan
Pengobatan GBS adalah dengan pemberian imunoglobulin secara intravena dan
plasmapharesis atau pengambilan antibodi yang merusak sistem saraf tepi dengan
jalan mengganti plasma darah. Selain terapi pokok tersebut juga telah dijelaskan di
atas tentang pemberian fisioterapi dan perawatan dengan terapi khusus serta
pemberian obat untuk mengurangi rasa sakit. GBS merupakan penyakit akut akan
tetapi bila diterapi dengan baik dan tepat maka dapat memperbaiki kualitas hidup
pasien.
Pencegahan dilakukan dengan menjaga kesehatan supaya tidak mengalami infeksi
dan melakukan pemantauan keamanan vaksin. Vaccine Adverse Event Reporting
(VAERS) adalah suatu sistem yang dikelola CDC dan Food and Drug Administration
(FDA) untuk mengumpulkan laporan sukarela tentang kemungkinan efek samping
yang dialami orang setelah mendapatkan vaksinasi. Hal ini bisa kita lakukan di
Indonesia dengan melaporkan kasus efek samping pemberian vaksinasi pada
Puskesmas setempat yang akan dilanjutkan sampai Kementrian Kesehatan untuk
ditindaklanjuti. Melalui tindak lanjut tersebut diharapkan dapat mendeteksi adanya
kemungkinan risiko GBS yang terkait dengan vaksinasi diketahui secara dini dan
mengambil tindakan lebih awal dan tepat.
Konsep Dasar Keperawatan Kritis

A. Pengkajian
1. Pengkajian Primer

a. Airway
Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan sekret
akibat kelemahan reflek batuk. Jika ada obstruksi maka lakukan :
– Chin lift / jaw trust
– Suction / hisap
– Guedel airway
– Intubasi trakhea dengan leher ditahan (imobilisasi) pada posisi netral.
b. Breathing
Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas, timbulnya pernapasan
yang sulit dan / atau tak teratur, suara nafas terdengar ronchi /aspirasi,
whezing, sonor, stidor/ ngorok, ekspansi dinding dada.
c. Circulation
TD dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi pada tahap lanjut,
takikardi, bunyi jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan membran
mukosa pucat, dingin, sianosis pada tahap lanjut
d. Disability
Menilai kesadaran dengan cepat,apakah sadar, hanya respon terhadap nyeri
atau atau sama sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan mengukur GCS. Adapun
cara yang cukup jelasa dan cepat adalah
Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala AVPU :
 A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi perintah
yangdiberikan diberikan
 V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang tidak bisa
dimengerti
 P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika ekstremitas
awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk merespon)
 U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus nyeri
maupun stimulus verbal.
e. Eksposure
Lepaskan baju dan penutup tubuh pasien agar dapat dicari semua cidera yang
mungkin ada, jika ada kecurigan cedera leher atau tulang belakang, maka
imobilisasi in line harus dikerjakan
2. Pengkajian Sekunder
a. Riwayat kesehatan sekarang
Melemahnya otot pernapasan membuat klien berisiko lebih tinggi terhadap
hipoventilasi dan infeksi pernapasan berulang.Disfagia juga dapat timbul yang
dapat mengarah kepada aspirasi.Selain itu, kelemahan pada ekstremitas atas dan
bawah, kelainan dari fungsi kardiovaskuler yang dapat menyebabkan disritmia
jantung atau perubahan drastis yang dapat mengancam kehidupan dalam tanda-
tanda vital.
b. Riwayat kesehatan dahulu
Penyakit lain yang pernah dialami klien yang memungkinkan hubungan atau
menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi riwayat ISPA, infeksi
gastrointestinal, dan tindakan bedah saraf. Selain itu obat-obatan yang
dikonsumsi klien juga dikaji seperti pemakaian obat kortikosteroid, antibiotik
dan reaksinya (untuk menilai resistensi pemakaian antibiotik).
Anamnesis harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari pasien dan keluarga
A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester, makanan)
M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang menjalani
pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau penyalahgunaan obat
P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit yang pernah
diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan herbal)
L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi berapa
jam sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi termasuk dalam
komponen ini)
E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian yang
menyebabkan adanya keluhan utama)

c. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi 6B dengan fokus pemeriksaan
pada B3 (Brain) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan klien.
- B1 (Breathing)
Klien batuk, produksi sputum meningkat, sesak napas, penggunaan otot bantu
napas, takipnue (karena infeksi pernapasan), bradipnue (karena melemahnya
otot-otot pernapasan). Terdapat bunyi napas tambahan seperti ronkhi akibat
akumulasi secret dari infeksi saluran napas.
- B2 (Blood)
Gejala yang dapat diitemukan adalah bradikardi akibat penurunan perfusi
perifer.Tekanan darah didapatkan ortostatik hipotensi atau tekanan darah
meningkat (hipertensi transien) yang berhubungan dengan penurunan reaksi
saraf simpatis dan parasimpatis.
- B3 (Brain)
a. Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran pada klien GBS biasanya yaitu komposmentis.Tetapi
dapat pula terjadi penurunan kesadaran, dan penilaian GCS sangat penting
untuk menilai tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk monitoring
pemberian asuhan keperawatan.
b. Fungsi serebri
Yang dikaji yaitu status mental klien, yaitu bagaimana penampilan
klien dan tingkah lakunya, gaya bicara dan ekspresi wajah klien, serta
aktivitas motorik klien dimana pada tahap lanjut dapat disertai penurunan
tingkat kesadaran. Biasanya status mental klien mengalami perubahan.
 
c.    Pemeriksaan saraf kranial
d. Saraf I : Biasanya tidak ada kelainan dan fungsi penciuman normal.
e.Saraf II : Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.
f. Saraf III, IV, dan VI : Penurunan kemampuan membuka dan menutup
kelopak mata, paralisis ocular
g. Saraf V : terdapat paralisis pada otot wajah sehingga mengganggu
proses mengunyah
h. Saraf VII : persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris
karena adanya paralisis unilateral
i. Saraf VIII : tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi
j. Saraf IX dan X : terdapat paralisis pada otot orofaring, kesukaran
berbicara, mengunyah dan menelan, sehingga mengganggu pemenuhan
nutrisi via oral
k. Saraf XI : tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius,
kemampuan mobilisasi leher baik
l. Saraf XII : lidah asimetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada
fasikulasi, indra pengecapan normal.
d.    Sistem motorik
Kekuatan otot menurun, pada klien GBS tahap lanjut dapat terjadi
perubahan control keseimbangan dan koordinasi. Klien mengalami
kelemahan motorick secara umum sehingga mengganggu mobilitas fisik.
e.    Pemeriksaan refleks
Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, atau
periosteum derajat refleks pada respon normal.
f.     Gerakan involunter
Tidak ditemukan adanya tremor, kejang, TIK, dan dystonia
 
g.    Sistem sensorik
Gejala yang ditemukan yaitu parestesia dan kelemahan otot kaki, dapat
berkembang ke ekstremitas atas, batang tubuh, dan otot wajah.Klien
mengalami penurunan kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri dan
suhu.
- B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada sistem kandung kemih biasanya didapatkan berkurangnya
volume haluaran urine
- B5 (Bowel)
Gejala yang biasa didapatkan yaitu mual muntah akibat peningkatan asam
lambung. Anoreksia dan kelemahan otot-otot pengunyah serta gangguan
proses menelan menyebabkan terjadinya penurunan pemenuhan nutrisi
- B6 (Bone)
Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran menurunkan
mobilitas klien secara umum.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidak efektipan pola nafas berhubungan dengan disfungsi neuromuskular
(Domain 4, Kelas 4, 00032)
2. Ketidak seimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan ketidakmampuan mengunyah dan menelan makanan. (Domain 2,
Kelas 1, 00002)
3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskular,
gangguan muskulosekeletal, (Domain 4, kelas 2, 00085)

C. Intervensi

No Diagnosa NOC NIC


.
1 Dx 1: Ketidak status respirasi : ventilasi - Monitor pernafasan
efektipan pola pergerakan udara dlm & pasien
nafas keluar paru adekuat - Monitor status
berhubungan oksigen pasien
Kriteria hasil:
dengan disfungsi - Monitor vitas signs;
neuromuskular - RR dalam batas normal RR, nadi, TD, Suhu
- Tidak terlihat - Berikan O2 sesuai
penggunaan otot program
pernafasan tambahan - Posisikan pasien pada
posisi semi fowler
- Tidak ada keluhan nyeri - Informasikan pada
dalam bernafas klien dan keluarga
tentang suctioning
- Kolaborasi untuk
pemberian terapi
Bronchodilator.
2 Dx 2: Ketidak Nutritional Status - Monitor jumlah nutrisi
seimbangan dan kandungan kalori
Nutritional Status : Food
nutrisi: kurang and Fluid Intake - Berikan makanan yang
dari kebutuhan terpilih ( sudah
tubuh Nutritional Status : dikonsultasikan dengan
berhubungan Nutrient Intake ahli gizi)
dengan Weight Control - Berikan informasi
ketidakmampuan tentang kebutuhan
mengunyah dan Kriteria Hasil : nutrisi
menelan - Adanya peningkatan - Kolaborasi dengan ahli
makanan berat badab sesuai gizi untuk menentukan
dengan tujuan jumlah kalori dan
- Berat badan ideal nutrisi yang dibutuhkan
sesuai dengan tinggi pasien.
badan
- Mampu
mengidentifikasi
kebutuhan nutrisi
- Tidak ada tanda-tanda
malnutrisi
- Menunjukkan
peningkatan fungsi
pengecapan dan
menelan
- Tidak terjadi
penurunan berat badan
yang berarti

3 Dx 3: Hambatan - Tungkat mobilitas : - Kaji kemmapuan


mobilitas fisik kemempuan untuk fungsional untuk
berhubungan melkaukan gerakan mengidentifikasi
dengan yang bertujuan kelemahan atau
kerusakan kekuatan
- Joint movement :Aktiv :
neuromuskular, ROM yang dilakukan - Positioning : mengubah
gangguan tempat klien atau tubuh
secara aktif
muskulosekeletal klien untuk
- Ambulasi : berjalan : mneingkatkan
kemampuan untuk kemamapuan fungsi
berjalan dari satu fisiologi dan psikologi
tempat ke tempat lain - Mulailah latihan dari
Kriteria hasil : gerakan pasif menuju
aktif pada semua
- Dapat ekstremitas
mempertahankan dan - Libatkan keluarga
meningkatkan dalam program terapi
kekuatan dan fungsi - Konsultasikan dengna
tubuh ahli fisioterapi secara
- Klien mendemonstrasi aktif, latihan resistif
perilaku ynag dan ambulasi
memungkinkan
melakukan aktivitas
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Guillain Barre Syndrom (GBS) adalah penyakit langka di mana sistem


kekebalan seseorang menyerang sistem syaraf tepi dan menyebabkan kelemahan otot
bahkan apabila parah bisa terjadi kelumpuhan. Hal ini terjadi karena susunan syaraf
tepi yang menghubungkan otak dan sumsum belakang dengan seluruh bagian tubuh
kita rusak. Kerusakan sistem syaraf ini menyebabkan sistem ini sulit menghantarkan
rangsang sehingga ada penurunan respon sistem otot terhadap kerja sistem syaraf .
Kasus ini cenderung lebih banyak pada pria dibandingkan wanita. Pasien yang diduga
mengidap GBS diharuskan melakukan tes darah lengkap, berupa pemeriksaan kimia
darah secara komplit, lumbal puncti berfungsi untuk mengambil cairan otak,
electromyogram (EMG) untuk merekam kontraksi otot dan pemeriksaan kecepatan
hantar syaraf.

Daftar Pustaka

Japardi, Iskandar. 2002. Syndrome Guillain Barre. Fakultas Kedokteran Bagian


Bedah Universitas Sumatera Utara
http://repository.usu.sc.id/bitstream/sindroma-guillain-bare.pdf Diakses 1
Oktober 2016

Rahayu, Tutiek. 2013. Mengenal Guillain Barre Syndrome (GBS). Staf Pengajar:
Biologi FMIPA. Universitas Negeri Yogyakarta.
http://juournal.uny.ac.id/mengeal-guillainbarre-syndriome(GBS).pdf Diakses
pada 1 Oktober 2016

Herdman, T. Hearther, S. Kamitsuru, 2015. NANDA International Inc. Diagnosis


Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2015-2017. Edisi 10. Jakarta: EGC

Mooheread, Sue.dkk. 2015, Nursing Outcomes Classification, NOC. Edisi V ahli


bahasa: Nike Budhi Subekti, dkk. Elsevier. Jakarta

Bulechek, Gloria M. dkk. 2015. Nursing Intervention Classification, NIC. Edisi IV


ahli bahasa: Intan Sari Nurjannah, dkk. Elsevier. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai