Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

DENGAN SINDROMA GUILLAIN BARRE (SGB)

STASE GADAR

DISUSUN OLEH :

CIPTO TRI HARMOKO, S.Kep


NIM:N.420184438

PROGRAM STUDI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
MUHAMMADIYAH KUDUS
2018
LAPORAN PENDAHULUAN

Guilain Bare Syndrom

A. Landasan Teoritis Penyakit


1. Definsi
Sindrom guillain- Bare merupakan sindrom klinik yang penyebabkanya tidak
diketahui yang menyangkut saraf perifer dan cranial. Paling banyak diketahui yang
menyangkut saraf perifer dan cranial. Paling banyak pasien dengan sindrom ini
ditimbulkan oleh adanya infeksi (pernafasan dan atau intestinal) 1 sampai 4 minggu
sebelum terjadinya serangan penurunan neurologic.
Guillain – Barre Syndrome adalah suatu kelainan sistem saraf akut dan difus
yang biasanya timbul setelah suatu infeksi atau diakibatkan oleh autoimun,di mana
proses imunologis tersebut langsung mengenai radiks spinalis dan saraf perifer, dan
kadang-kadang juga saraf kranialis. Saraf yang diserang bukan hanya yang
mempersarafi otot, tetapi bisa juga indera peraba sehingga penderita mengalami baal
atau mati rasa. Fase awal dimulai dengan munculnya tanda – tanda kelemahan dan
biasanya tampak secara lengkap dalam 2 – 3 minggu. Ketika tidak terlihat penurunan
lanjut, kondisi ini tenang. Fase kedua berakhir beberapa hari sampai 2 minggu. Fase
penyembuhan ungkin berakhir 4 – 6 bulan dan mungkin bisa sampai 2 tahun.
Penyembuhan adalah spontan dan komplit pada kebanyakan pasien, meskipun ada
beberapa gejala neurologis, sisa dapat menetap
2. Etiologi
Salah satu hipotesis menyebutkan bahwa infeksi virus menyebabkan reaksi
autoimun yang menyerang myelin saraf perifer. Myelin merupakan substansi yang
ada disekitar atau menyelimuti akson-akson saraf dan berperan penting dalam
transmisi impuls saraf.
3. Manifestasi klinis
a. Masa laten
Waktu antara terjadi infeksi atau keadaan prodromal yang mendahuluinya dan
saat timbulnya gejala neurologis. Lamanya masa laten ini berkisar antara satu
sampai 28 hari, rata-rata 9 hari. Pada masa laten ini belum ada gejala klinis yang
timbul.
b. Gejala Klinis
1) Kelumpuhan
Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe
lower motor neurone dari otot-otot ekstremitas, badan dan kadang-kadang
juga muka. Pada sebagian besar penderita, kelumpuhan dimulai dari kedua
ekstremitas bawah kemudian menyebar secara asenderen ke badan, anggota
gerak atas dan saraf kranialis. Kadang-kadang juga bisa keempat anggota
gerak dikenai secara serentak, kemudian menyebar ke badan dan saraf
kranialis. Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia
atau arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot bagian proksimal lebih
berat dari bagian distal, tetapi dapat juga sama beratnya, atau bagian distal
lebih berat dari bagian proksimal.
2) Gangguan sensibilitas
Parestesi (kesemutan) biasanya lebih jelas pada bagian distal
ekstremitas, muka juga bisa dikenai dengan distribusi sirkumoral. Defisit
sensoris objektif biasanya minimal dan sering dengan distribusi seperti pola
kaus kaki dan sarung tangan. Sensibilitas ekstroseptif lebih sering dikenal dari
pada sensibilitas proprioseptif. Rasa nyeri otot sering ditemui seperti rasa
nyeri setelah suatu aktifitas fisik.
3) Saraf Kranialis
Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan
otot-otot muka sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi
bilateral, sehingga bisa ditemukan berat antara kedua sisi. Semua saraf
kranialis bisa dikenai kecuali N.I dan N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat
terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan
gangguan berupa sukar menelan, disfonia dan pada kasus yang berat
menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis nervus laringeus.
4) Gangguan fungsi otonom
Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita GBS.
Gangguan tersebut berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi,
muka jadi merah (facial flushing), hipertensi atau hipotensi yang berfluktuasi,
hilangnya keringat atau episodic profuse diaphoresis. Retensi urin atau
inkontinensia urin jarang dijumpai. Gangguan otonom ini jarang yang
menetap lebih dari satu atau dua minggu.
5) Kegagalan pernafasan
Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat
berakibat fatal bila tidak ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini
disebabkan oleh paralisis diafragma dan kelumpuhan otot-otot pernafasan,
yang dijumpai pada 10-33 persen penderita.
6) Papiledema
Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui
dengan pasti. Diduga karena peninggian kadar protein dalam cairan otot yang
menyebabkan penyumbatan villi arachoidales sehingga absorbsi cairan otak
berkurang.
4. Pemeriksaan Penujang
a. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan neurologis ditemukan adanya kelemahan otot yang
bersifat difus dan paralisis. Refleks tendon akan menurun atau bahkan
menghilang. Batuk yang lemah dan aspirasi mengindikasikan adanya
kelemahan pada otot-otot intercostal. Tanda rangsang meningeal seperti
perasat kernig dan kaku kuduk mungkin ditemukan. Refleks patologis seperti
refleks Babinsky tidak ditemukan.
b. Pemeriksaan laboratorium
Gambaran laboratorium yang menonjol adalah peninggian kadar protein
dalam cairan otak (> 0,5 mg%) tanpa diikuti oleh peninggian jumlah sel dalam
cairan otak, hal ini disebut disosiasi sito-albuminik. Peninggian kadar protein
dalam cairan otak ini dimulai pada minggu 1-2 dari onset penyakit dan
mencapai puncaknya setelah 3-6 minggu. Jumlah sel mononuklear < 10
sel/mm3. Walaupun demikian pada sebagian kecil penderita tidak ditemukan
peninggian kadar protein dalam cairan otak. Imunoglobulin serum bisa
meningkat. Bisa timbul hiponatremia pada beberapa penderita yang
disebabkan oleh SIADH (Sindroma Inapproriate Antidiuretik Hormone).
c. Pemeriksaan elektrofisiologi (EMG)
Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis GBS adalah
kecepatan hantaran saraf motorik dan sensorik melambat. Distal motor retensi
memanjang kecepatan hantaran gelombang-f melambat, menunjukkan
perlambatan pada segmen proksimal dan radiks saraf. Di samping itu untuk
mendukung diagnosis pemeriksaan elektrofisiologis juga berguna untuk
menentukan prognosis penyakit : bila ditemukan potensial denervasi
menunjukkan bahwa penyembuhan penyakit lebih lama dan tidak sembuh
sempurna.
d. Pemeriksaan LCS
Dari pemeriksaan LCS didapatkan adanya kenaikan kadar protein ( 1 –
1,5 g/dl ) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oleh Guillain (1961)
disebut sebagai disosiasi albumin sitologis. Pemeriksaan cairan cerebrospinal
pada 48 jam pertama penyakit tidak memberikan hasil apapun juga. Kenaikan
kadar protein biasanya terjadi pada minggu pertama atau kedua. Kebanyakan
pemeriksaan LCS pada pasien akan menunjukkan jumlah sel yang kurang dari
10/mm3 (albuminocytologic dissociation).
e. Pemeriksaan MRI
Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika
dilakukan kira-kira pada hari ke-13 setelah timbulnya gejala. MRI akan
memperlihatkan gambaran cauda equina yang bertambah besar. Hal ini dapat
terlihat pada 95% kasus SGB.
f. Pemeriksaan serum CK biasanya normal atau meningkat sedikit.
g. Biopsi otot tidak diperlukan dan biasanya normal pada stadium awal. Pada
stadium lanjut terlihat adanya denervation atrophy.
5. Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum
bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri,
perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa)
cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah
mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan melalui sistem
imunitas (imunoterapi).
a. Sindrom, Guillain Barre dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis dan
pasien diatasi di unit perawatan intensif (Japardi, 2002)
1) Pengaturan jalan napas
Respirasi diawasi secara ketat terhadap perubahan kapasitas vital
dan gas darah yang menunjukkan permulaan kegagalan pernafasan.
Setiap ada tanda kegagalan pernafasan maka penderita harus segera
dibantu dengan oksigenasi dan pernafasan buatan. Trakheotomi harus
dikerjakan atau intubasi penggunaan ventilator jika pernafasan buatan
diperlukan untuk waktu yang lama atau resiko terjadinya aspirasi.
Walaupun pasien masih bernafas spontan, monitoring fungsi respirasi
dengan mengukur kapasitas vital secara regular sangat penting untuk
mengetahui progresivitas penyakit.
2) Pemantauan EKG dan tekanan darah
Monitoring yang ketat terhadap tekanan darah dan EKG sangat
penting karena gangguan fungsi otonom dapat mengakibatkan timbulnya
hipotensi atau hipertensi yang mendadak serta gangguan irama jantung.
Untuk mencegah takikardia dan hipertensi, sebaiknya diobati dengan
obat-obatan yang waktu kerjanya pendek (short-acting), seperti :
penghambat beta atau nitroprusid, propanolol. Hipotensi yang
disebabkan disotonomi biasanya membaik dengan pemberian cairan iv
dan posisi terlentang (supine). Atropin dapat diberikan untuk
menghindari episode brakikardia selama pengisapan endotrakeal dan
terapi fisik. Kadang diperlukan pacemaker sementara pada pasien
dengan blok jantung derajat 2 atau 3.
3) Plasmaparesis
Pertukaran plasma (plasma exchange) yang menyebabkan reduksi
antibiotik ke dalam sirkulasi sementara, dapat digunakan pada serangan
berat dan dapat membatasi keadaan yang memburuk pada pasien
demielinasi. Bermanfaat bila dikerjakan dalam waktu 3 minggu pertama
dari onset penyakit. Jumlah plasma yang dikeluarkan per exchange
adalah 40-50 ml/kg. Dalam waktu 7-14 hari dilakukan tiga sampai lima
kali exchange. Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk
mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar. Albumin : dipakai pada
plasmaferesis, karena Plasma pasien harus diganti dengan suatu
substitusi plasma.
4) Perlu diperhatikan pemberian cairan dan elektrolit terutama natrium
karena penderita sering mengalami retensi airan dan hiponatremi
disebabkan sekresi hormone ADH berlebihan.
5) Ileus paralitik terkadang ditemukan terutama pada fase akut sehingga
parenteral nutrisi perlu diberikan pada keadaan ini.
b. Perawatan umum
1) Mencegah timbulnya luka baring/bed sores dengan perubahan posisi tidur.
2) Fisioterapi yang teratur dan baik juga penting. Fisioterapi dada secara
teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps aru. Segera setelah
penyembuhan mulai fase rekonvalesen) maka fisioterapi aktif dimulai
untuk melatih dan meningkatkan kekuatan otot.
3) Spint mungkin diperlukan untuk mempertahakan posisi anggota gerak
yang lumpuh,
4) Kekakuan sendi dicegah dengan gerakan pasif. Gerakan pasti pada kaki
yang lumpuh mencegah deep voin thrombosis.
5) Perawatan kulit, kandung kemih, saluran pencernaan, mulut, faring dan
trakhea.
6) Infeksi paru dan saluran kencing harus segera diobati.
7) Bila ada nyeri otot dapat dapat diberikan analgetik.
c. Pengobatan imunosupresan
1. Imunoglobulin IV
Pengobatan dengan gamma globulin intravena lebih menguntungkan
dibandingkan dengan plasmaparesis karena efek samping atau komplikasi
lebih ringan. Dosis maintanance 0,4 gr/kb BB selama 3 hari dilanjutkan
dengan dosis maintanance 0,4 gr/kg BB tiap 15 hari sampai sembuh.
2. Obat sitotoksik
- 6 mekaptopurin
- Azathioprine
- Cyclophosphamid
6. Komplikasi
- Paralysis yang persisten
- Kegagalan pernafasa
- Hipotensi atau hipertensi
- Tromboembolisme
- Pneumonia
- Aritmia kardial
- Aspirasi
- Retensi urina
- Problem psikiatrik (seperti : depresi dan ansietas).

B. Landasan Teoritis Asuhan Keperawatan


a. Pengkajian
1. Identitas pasien
2. Riwayat kesehatan
1) Keluhan utama
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta
pertolongan kesehatan adalah berhubungan dengan kelemahan otot baik
kelemahan fisik secara umum maupun lokalis seperti melemahnya otot-
otot pernapasan.
2) Riwayat kesehatan sekarang
Keluhan yang paling sering ditemukan pada klien GBS dan
merupakan komplikasi yang paling berat dari GBS adalah gagal napas.
Melemahnya otot pernapasan membuat klien dengan gangguan ini berisiko
lebih tinggi terhadap hipoventilasi dan infeksi pernapasan berulang.
Disfagia juga dapat timbul, mengarah pada aspirasi. Keluhan kelemahan
ekstremitas atas dan bawah hampir sama seperti keluhan klien yang
terdapat pada klien stroke.
Keluhan lainnya adalah kelainan dari fungsi kardiovaskular, yang
mungkin menyebabkan gangguan sistem saraf otonom pada klien GBS
yang dapat mengakibatkan disritmia jantung atau perubahan drastis yang
mengancam kehidupan dalam tanda-tanda vital.
3) Riwayat kesehatan dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan
adanya hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi
pernahkan klien mengalami ISPA, infeksi gastrointestinal, dan tindakan
bedah saraf. Pengkajian pemakaian obat-obat yang sering digunakan klien,
seperti pemakaian obat kartikosteroid, pemakaian jenis-jenis antibiotik dan
reaksinya (untuk menilai resistensi pemakaian antibiotik) dapat menambah
komprehensifnya pengkajian.
Pengkajian riwayat ini dapat mendukung pengkajian dari riwayat
penyakit sekarang dan merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh
dan untuk memberikan tindakan selanjutnya.
4) Riwayat kesehatan keluarga
Perlu dikaji mungkin ada anggota keluarga sedarah yang pernah
mengalami stroke.
b. Pola fungsi kesehatan Gorgon
1. Pola Persepsi dan penanganan kesehatanTerjadi penurunan kemampuan sensori
dan persepsi sehingga mudah terjadiinjury dan terjadi disorientasi serta kesulitan
dalam pengambilan keputusan
2. Pola nutrisi dan metabolisme
Klien mengalami disfagia atau kesulitan dalam menelan, berkurangnya sensori di
pipi, tenggorokan dan lidah
3. Pola eliminasi
Setelah timbul gejala stroke klien mungkin mengalami inkontinensia urin
sementara karena konfusi, ketidak mampuan mengkomunikasikan kebutuhan dan
ketidakmampuan mengontrol keluaran urin karena kontrol motorik.
4. Pola aktifitas dan olahraga
Klien mengalami gangguan dalam beraktifitas karena hemiplagia atau hemiparise
dan penurunan tonus otot
5. Pola istirahat dan tidur
Klien bisa mengalami gangguan tidur karena ketidak nyamanan pada anggota
tubuh dan juga mudah lelah karena kemampuan motorik yang berkurang
6. Pol kognitif atau perpsepsi
Klien mengalami gangguan kognitif dan persepsi seperti afasia (berkurangnya
kemampuan berkomunikasi), disfungsi persepsi visual, gangguan dalam hubungan
visual- spasial dan kehilangan sensori
7. Pola persepsi konsep diri
Pada klien biasanya akan terajadi peningkatan rasa khawatir klien tentang
penyakit yang dideritanya serta pada pasien juga mengalami harga diri rendah
8. Pola peran dan hubungan
Kaji dukungan yang didapatkan klien dan bagaimana pengaruh penyakit terhadap
peran dan hubungan nya dengan orang terdekat
9. Pola seksualitas dan reproduksi
Klien dapat mengalami gangguan reproduksi dan seksualitas karena adanya
penurunan fungsi motorik dan sensorik
10. Pola kognitif toleransi stres (koping)
Karena mengalami kelemahan anggota gerak, maka akan berdampak pada
kemampuan klien bertoleransi terhadap stres
11. Pola keyakinan dan nilai
Kaji pengaruh agama terhadap kemampuan klien beradaptasi dengan penyakit.
c. Pemeriksaan fisik
1. Pemeriksaan fisik head to toe
a) Kepala : inspeksi kulit kepala untuk kebersihan kepala. Lalu inspeksi
bentuk kepala apakah ada deformitas atau benjolan
b) Mata : perhatikan conjunctiva dan sklera
c) Wajah : perhatikan kesimetrisan wajah, biasanya pasien dengan stroke
akan mengalami kelemahan pada wajah
d) Mulut : perhatikan kesimetrisan bibir dan kemampuan pasien berbicara
dan menelan
e) Leher : perhatikan apakah ada pembengkakan
f) Thoraks
Paru-paru :
Inspeksi = dada simetris kira=kanan , penggunaan otot bantu pernafasan
Palpasi = fremitus
Perkusi = sonor
Auskultasi : dapat terjadi rhonkie karena kesulitan kien mengeluarkan
sekret.
Jantung : lakukan pemeriksaan IPPA, biasanya tidak ada kelainan
g) Abdomen : bisa ditemukan kembung dan penurunan peristaltik usus
karena bed rest yang lama
h) Ekstremitas : klien bisa mengalami hemiplegia dan hemiparise. Kaji
kekuatan otot dan refleks

2. Pemeriksaan neurologis
a. Tingkat kesadaran (GCS)
- Kompos mentis : klien dalam keadaam kesadaran pennuh, mampu merespons semua
rangsang dengan baik
- Latergi : klien mampu merespons tetapi lambat, klien tampak mengantuk dan tidur
jika tidak ada rangsangan
- Apatis : klien tidak bangun dengan ransangan minimal, perlu ransangan yang agak
keras untuk tetap terjaga. Tidak mampu mengikuti perintah pemeriksa.
- Sopor : hanya merespons jika diberi ransangan kuat
- Sopor koma : hanya merespons refleks cahaya, tidak berespons secara fisik, atau
berespons secara fisik hanya untuk tujuan tertentu saja.
- Koma : tidak merespons ransangan apapun. Jika koma masih belum terlalu dalam
mungkin bisa menerima ransang nyeri yang hebat. Jika dalam konsisi koma yang
dalam, klien tidak mampu merangsang respons apapun
b. Pemeriksaan nervus cranial
Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik nervus cranial :
1. Nervus olfaktorius diperiksa tajamnya penciuman dengan satu lubang
hidung Klien ditutup, sementara bahan penciuman diletakan pada lubang
hidung kemudian di suruh membedakan bau.
2. Nervus optikus yang diperikasa adalah ketajaman penglihatan dan
pemeriksaan oftalmoskopi.
3. Nervus okulomotorius yang diperiksa adalah reflek pupil dan akomodasi.
4. Nervus troklearis dengan cara melihat pergerakan bola mata keatas,
bawah, kiri, kanan, lateral, diagonal.
5. Nervus trigeminus dengan cara melakukan pemeriksaan reflek kornea
dengan menempelkan benang tipis ke kornea yang normalnya Klien akan
menutup mata, Pemeriksaan cabang sensoris pasa bagian pipi,
pemeriksaan cabang motorik pada pipi.
6. Nervus abdusen dengan cara Klien di suruh menggerakan sisi mata ke
samping kiri dan kanan.
7. Nervus fasialis di dapatkan hilangnya kemampuan mengecap pada dua
pertiga anterior lidah, mulut kering, paralisis otot wajah.
8. Nervus vestibulokoklearis yang di periksa adalah pendengaran,
keseimbangan, dan pengetahuan tentang posisi tubuh.
9. Nervus glosofaringeus di periksa daya pengecapan pada sepertiga posterior
lidah anestesi pada farings mulut kering sebagian.
10. Nervus vagus dengan cara memeriksa cara menelan.
11. Nervus asesorius dengan cara memeriksa kekuatan pada muskulus
sternokleudomastoideus, Klien di suruh memutar kepala sesuai tahanan
yang di berikan si pemeriksa.
12. Nervus hipoglosus bisa dengan melihat kekuatan lidah, lidah di julurkan
ke luar jika ada kelainan maka lidah akan membelok ke sisi lesi.
No Diagnosa Keperawatan NOC NIC
1. Ketidakefektifan pola NOC: NIC:
napas b.d kerusakan Setelah dilakukan tindakan Oxygen Therapy:
neurologis ditandai keperawatan selama 3 x 24 1) Observasi kepatenan jalan
dengan perubahan jam Klien dapat napas
kedalaman napas, mempertahankan 2) Monitor kecepatan aliran
dispneu/ takipneu, dan Dengan kriteria hasil: oksigen
penggunaan otot a. Respiratory status: 3) Pertahankan posisi Klien
pernapasan tambahan airway patency 4) Atur peralatan oksigenasi
Batasan karakteristik: 1) Peningkatan ventilasi 5) Monitor adanya
a.Perubahan pada dan oksigenasi yang kecemasan Klien terhadap
kedalaman pernafasan adekuat oksigenasi
b. Menurunnya 2) Memelihara kebersihan 6) Jelaskan pada Klien
tekanan ekspirasi paru dan bebas dari tentang perlunya
c.Menurunnya ventilasi tanda distress penggunaan terapi oksigen
semenit pernapasan 7) Kolaborasikan dengan
d. Bradipnea 3) Mendemonstrasikan tenaga kesehatan lain
e.Dyspnea batuk efektif dan suara untuk pengguanaan terapi
f. Nasal flaring napas bersih, tidak ada oksigen selama
g. Penggunaan otot sianosis dan dispneu beraktivitas atau istirahat
bantu nafas b. Vital Sign Status Vital Sign Monitor:
4) Tanda-tanda vital dalam 1) Monitor TTV sebelum
rentang normal dan sesudah beraktivitas
(latihan ROM)
2) Monitor, suhu, warna, dan
kelembaban kulit.

2. Ketidakefektifan Setelah diberikan asuhan Airway Management


bersihan jalan napas keperawatan selama 1 x24
1. Kaji jumlah/kedalaman
berhubungan dengan jam diharapkan jalan nafas
pernapasan dan pergerakan
penumpukan secret Klien kembali efektif
dada.
Batarsan karakteristik:
Dengan kriteria hasil: 2. Auskultasi daerah paru-
1. Suara nafas
paru, catat area
tambahan 1. Respiratory status:
menurun/tidak adanya aliran
2. Tidak ada batuk ventilation udara serta catat adanya
3. Perubahan pada a. Secara verbal tidak suara napas tambahan seperti
kedalaman dan ritme ada keluhan sesak ronchi, crackles dan
pernafasan b. Frekuensi pernapasan wheezing.
4. Dispnea dalam batas normal 3. Elevasi kepala, sering
5. Adanya sputum sesuai usia (16- ubah posisi.
6. restlessness 24x/mnt) 4. Bantu Klien dalam
2. Respiratory status: melakukan latihan napas
airway patency dalam.
c. Suara napas normal Demonstrasikan/bantu Klien
(tidak ada suara nafas belajar untuk batuk, misalnya
tambahan seperti menahan dada dan batuk
ronchi) efektif pada saat posisi tegak
d. Tidak ada lurus.
penumpukan sputum 5. Lakukan suction atas
e. Batuk (-) indikasi.
6. Berikan cairan + 2500
ml/hari (jika tidak ada
kontraindikasi) dan air
hangat.
Kolaborasi

7. Kaji efek dari pemberian


nebulizer dan fisioterapi
pernapasan lainnya, misal
incentive spirometer, dan
postural drainage. Lakukan
tindakan selang diantara
waktu makan dan batasi
cairan jika cairan sudah
mencukupi.
8. Berikan pengobatan atas
indikasi: mukolitik,
ekspoktoran, bronkodilator,
dan analgesik.
9. Berikan cairan suplemen
misalnya IV, humidifikasi
oksigen, dan humidifikasi
ruangan.
10. Monitor serial chest X-
ray, ABGs, dan pulse
oxymetri.
11. Bantu dengan
bronchoscopy/thoracentesis
jika diindikasikan.
3. Hambatan mobilitas fisik Setelah dilakukan tindakan Exercise therapy: ambulation
b.d gangguan keperawatan selama … x 24 1) Kaji kekuatan otot klien
neuromuscular ditandai jam klien mampu mencapai: 2) Ubah posisi klien tiap 2 jam
dengan keterbatasan Kriteria hasil: 3) Lakukan gerak pasif pada
rentang pergerakan a. Mobility Level ekstrimitas yang sakit
sendi, pergerakan 1) Mengerti tujuan 4) Ajarkan klien tentang
lambat, dan keterbatasan peningkatan mobilitas pentingnya mobilisasi
melakukan keterampilan 2) Meningkat dalam aktivitas 5) Ajarkan untuk melakukan
motorik halus dan kasar fisik latihan gerak aktif pada
Batasan karakteristik: 3) Memperagakan ekstrimitas yang tidak sakit
a. Keterabatasan dalam menggunakan alat bantu 6) Berikan papan kaki pada
rentang gerak mobilisasi ekstrimitas dalam posisi
b. Tremor saat bergerak b. Selfcare: ADL fungsionalnya.
c. Instability postural 1) Mapu melakukan
d. Perpindahan lambat pemenuhan ADL
e. Gerakan tidak
terkoordinasi
f. Kesulitan berpindah
DAFTAR PUSTAKA

Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Ed. 8. Jakarta: EGC.
Price, A. Sylvia. 2006. Patofisiologi Konsep Vol 2. Jakarta : EGC.
Nanda International. 2015. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2015-
2017. Jakarta: EGC
Joanne McCloskey Dochterman&Gloria M. Bulechek. 2013. Nursing
Interventions Classification (NIC) Fourth Edition. Mosby: United States America
Joanne McCloskey Dochterman&Gloria M. Bulechek. 2013. Nursing Outcomes
Classification (NOC) Fourth Edition. Mosby: United States America
Price, A & Wilson, L. 2004. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit.
Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai