Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

GUILLAIN-BARRE SYNDROME (GBS)

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Madya di SMF Neurologi

Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura

OLEH :

Kezia A Rumsowek, S.Ked

Pembimbing :
dr. Prysta Aderlia Sitanggang Sp.N

SMF NEUROLOGI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH JAYAPURA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS CENDERAWASIH
JAYAPURA-PAPUA
2022
BAB I
Pendahuluan

Guillain–Barré syndrome (GBS) merupakan sekumpulan gejala dengan


onset akut yang merupakan penyakit yang diperantarai oleh sistem kekebalan
tubuh yang menyerang sistem saraf perifer. Guillain–Barré syndrome
dikemukakan pada tahun 1916 oleh Guillain dan Barre yang menjelaskan
mengenai karakteristik temuan cairan serebrospinal (CSS) dimana ditemukan
peningkatan konsentrasi protein namun tanpa disertai dengan kenaikan jumlah
sel pada dua prajurit Perancis yang mengalami kelemahan.1
Guillain–Barré syndrome menyebabkan paralisis akut yang dimulai
dengan rasa baal, parestesia pada bagian distal dan diikuti secara cepat oleh
paralisis ke empat ekstremitas yang bersifat ascendens. Parestesia ini biasanya
bersifat bilateral. Refleks fisiologis akan menurun dan kemudian menghilang
sama sekali.2,3 Kerusakan saraf motorik biasanya dimulai dari ekstremitas bawah
dan menyebar secara progresif, dalam hitungan jam, hari maupun minggu ke
ekstremitas atas, tubuh dan saraf pusat.1,2
Kerusakan saraf sensoris yang terjadi kurang signifikan dibandingkan
dengan kelemahan pada otot. Saraf yang diserang biasanya proprioseptif dan
sensasi getar. Gejala yang dirasakan penderita biasanya berupa parestesia dan
disestesi pada ekstremitas bawah.3 Rasa sakit dan kram juga dapat menyertai
terutama pada anak anak. Rasa sakit ini biasanya merupakan manifestasi awal
pada lebih dari 50% anak - anak yang dapat menyebabkan kesalahan dalam
mendiagnosis.2,3
Di samping itu, kelainan saraf otonom tidak jarang terjadi dan dapat
menimbulkan kematian. Kelainan ini dapat menimbulkan takikardi, hipotensi atau
hipertensi, aritmia bahkan cardiac arrest, facial flushing, sfingter yang tidak
terkontrol, dan kelainan dalam berkeringat. Hipertensi terjadi pada 10 – 30 %
pasien sedangkan aritmia terjadi pada 30% dari pasien.1,3
Beberapa nama disebut oleh beberapa ahli untuk penyakit ini, yaitu
Idiopathic polyneuritis, Acute Febrile Polyneuritis, Infective Polyneuritis, Post
Infectious Polyneuritis, Acute Inflammatory Demyelinating

1
Polyradiculoneuropathy, Guillain Barre Strohl Syndrome, Landry Ascending
paralysis, dan Landry Guillain Barre Syndrome.

2
BAB II
Tinjauan Pustaka

A. Definisi
Sindrom Guillan Bare adalah suatu polineuropati yang bersifat ascending dan
akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi akut. Menurut
Bosch, SGB merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid
yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya
adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis.

B. Epidemiologi
Insidensi GBS bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000 orang
pertahun. GBS sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi
kasus GBS yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1
sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan
atas atau infeksi gastrointestinal. Kelainan ini juga dapat menyebabkan kematian,
pada 3 % pasien, yang disebabkan oleh gagal napas dan aritmia. Gejala yang
terjadinya biasanya hilang 3 minggu setelah gejala pertama kali timbul. Sekitar 30 %
penderita memiliki gejala sisa kelemahan setelah 3 tahun. 3% pasien dengan GBS
dapat mengalami relaps yang lebih ringan beberapa tahun setelah onset pertama. Bila
terjadi kekambuhan atau tidak ada perbaikan pada akhir minggu IV maka termasuk
Chronic Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (CIDP). Sampai saat
ini belum ada terapi spesifik untuk GBS. Pengobatan secara simtomatis dan
perawatan yang baik dapat memperbaiki prognosisnya.
Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi GBS belum banyak.
Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah
dekade I, II, III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita
hampir sama. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan
laki-laki dan wanita 3:1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan
April s/d Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau.

3
C. Etiologi
Etiologi GBS sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti
penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit yang
mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya GBS, antara lain:
Infeksi; Vaksinasi; Pembedahan; Penyakit sistematik, seperti keganasan, systemic
lupus erythematosus, tiroiditis. penyakit Addison; serta kehamilan atau dalam masa
nifas. GBS sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi
kasus GBS yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1
sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan
atas atau infeksi gastrointestinal5

Kelemahan dan paralisis yang terjadi pada GBS disebabkan karena hilangnya mielin,
material yang membungkus saraf. Hilangnya mielin ini disebut dengan demielinisasi.
Demielinisasi menyebabkan penghantaran impuls oleh saraf tersebut menjadi lambat atau
berhenti sama sekali. Guillain–Barré syndrome menyebabkan inflamasi dan destruksi dari
mielin dan menyerang beberapa saraf.2,4

Penyebab terjadinya inflamasi dan destruksi pada GBS sampai saat ini belum
diketahui. Ada yang menyebutkan kerusakan tersebut disebabkan oleh penyakit autoimun.2
Mekanisme GBS diyakini merupakan suatu neuropati inflamasi yang disebabkan oleh
reaktivitas silang antara antigen dan antibodi saraf yang disebabkan oleh infeksi tertentu yaitu
organisme menular, seperti C. jejuni, yang memiliki struktur dinding bakteri yang mirip
dengan gangliosida. Molekular mimikri ini akan menciptakan antibodi anti-gangliosida yang
akan menyerang saraf.

Tabel 1: jenis - jenis infeksi yang berhubungan dengan SGB 4 (jurnal)

4
D. Patogenesis
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang
mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada GBS masih belum diketahui
dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi
pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunologi.
Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan
jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:
1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated
immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.
2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran
pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.
Proses demyelinisasi saraf tepi pada GBS dipengaruhi oleh respon imunitas seluler
dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling
sering adalah infeksi virus.

5
Gambar I. Patogenesis dan fase klinikal dari GBS8.

6
 Terdapat 4 stadium pada kerusakan saraf perifer pada GBS, yaitu :
1. Limfosit bermigrasi & bertransformasi ke dalam serabut saraf, myelin & axon
belum rusak.
2. Sel limfosit & sel makrofag meningkat, mulai terjadi segmental demyelinisasi,
axon belum rusak.
3. Kerusakan selubung myelin & axon, terjadi kromatolisis sentral inti sel saraf
menyebabkan atropi & denervasi.
4. Kerusakan axon meningkat pada bagian proximal menyebabkan terjadi
kerusakan yang irreversible akhirnya tidak ada regenerasi sel saraf.
a. Peran imunitas seluler
Dalam sistem kekebalan seluler, sel limfosit T memegang peranan penting
disamping peran makrofag. Prekursor sel limposit berasal dari sumsum tulang (bone
marrow) stem cell yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan kedalam
jaringan limfoid dan peredaran.
Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus
dikenalkan pada limfosit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah menelan
(fagositosis) antigen/terangsang oleh virus, allergen atau bahan imunogen lain akan
memproses antigen tersebut oleh penyaji antigen (antigen presenting cell = APC).
Kemudian antigen tersebut akan dikenalkan pada limfosit T (CD4). Setelah itu
limfosit T tersebut menjadi aktif karena aktivasi marker dan pelepasan substansi
interlekuin (IL2), gamma interferon serta alfa TNF. Kelarutan E-selectin dan adesi
molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh aktivasi sel endothelial akan berperan dalam
membuka sawar darah saraf, untuk mengaktifkan sel limfosit T dan pengambilan
makrofag . Makrofag akan mensekresikan protease yang dapat merusak protein
myelin disamping menghasilkan TNF dan komplemen5,6,8.

b. Patologi
Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan saraf
tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan pertama
berupa edema yang terjadi pada hari ke tiga atau ke empat, kemudian timbul
pembengkakan dan iregularitas selubung myelin pada hari ke lima, terlihat beberapa
limfosit pada hari ke sembilan dan makrofag pada hari ke sebelas, poliferasi sel
schwan pada hari ke tigabelas. Perubahan pada myelin, akson, dan selubung schwan

7
berjalan secara progresif, sehingga pada hari ke enam puluh enam, sebagian radiks
dan saraf tepi telah hancur5.
Asbury dkk mengemukakan bahwa perubahan pertama yang terjadi adalah
infiltrasi sel limfosit yang ekstravasasi dari pembuluh darah kecil pada endo dan
epineural. Keadaan ini segera diikuti demyelinisasi segmental. Bila peradangannya
berat akan berkembang menjadi degenerasi Wallerian. Kerusakan myelin disebabkan
makrofag yang menembus membran basalis dan melepaskan selubung myelin dari sel
schwan dan akson5.

E.Klasifikasi
Sindroma Guillain Barre diklasifikasikan sebagai berikut:

Gambar 2: Skema klasifikasi GBS

1. Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy


Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP) adalah jenis
paling umum ditemukan pada GBS, yang juga cocok dengan gejala asli dari sindrom
tersebut. Manifestasi klinis paling sering adalah kelemahan anggota gerak proksimal
dibanding distal. Saraf kranialis yang paling umum terlibat adalah nervus fasialis.
Penelitian telah menunjukkan bahwa pada AIDP terdapat infiltrasi limfositik saraf
perifer dan demielinasi segmental makrofag.

2. Acute Motor Axonal Neuropathy


Acute motor axonal neuropathy (AMAN) dilaporkan selama musim panas GBS
epidemik pada tahun 1991 dan 1992 di Cina Utara dan 55% hingga 65% dari pasien

8
GBS merupakan jenis ini. Jenis ini lebih menonjol pada kelompok anak-anak, dengan
ciri khas degenerasi motor axon. Klinisnya, ditandai dengan kelemahan yang
berkembang cepat dan sering dikaitkan dengan kegagalan pernapasan, meskipun
pasien biasanya memiliki prognosis yang baik. Sepertiga dari pasien dengan AMAN
dapat hiperrefleks, tetapi mekanisme belum jelas. Disfungsi sistem penghambatan
melalui interneuron spinal dapat meningkatkan rangsangan neuron motorik.

3. Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy


Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN) adalah penyakit akut yang
berbeda dari AMAN, AMSAN juga mempengaruhi saraf sensorik dan motorik. Pasien
biasanya usia dewasa, dengan karakteristik atrofi otot. Dan pemulihan lebih buruk
dari AMAN.

4. Miller Fisher Syndrome


Miller Fisher Syndrome adalah karakteristik dari triad ataxia, arefleksia, dan
oftalmoplegia. Kelemahan pada ekstremitas, ptosis, facial palsy, dan bulbar palsy
mungkin terjadi pada beberapa pasien. Hampir semua menunjukkan IgG auto antibodi
terhadap ganglioside GQ1b. Kerusakan imunitas tampak terjadi di daerah paranodal
pada saraf kranialis III, IV, VI, dan dorsal root ganglia.

5. Acute Neuropatic panautonomic


Acute Neuropatic panautonomic adalah varian yang paling langka pada GBS.
Kadang-kadang disertai dengan ensefalopati. Hal ini terkait dengan tingkat kematian
tinggi, karena keterlibatan kardiovaskular, dan terkait disritmia. Gangguan
berkeringat, kurangnya pembentukan air mata, mual, disfaga, sembelit dengan obat
pencahar atau bergantian dengan diare sering terjadi pada kelompok pasien ini. Gejala
nonspesifik awal adalah kelesuan, kelelahan, sakit kepala, dan inisiatif penurunan
diikuti dengan gejala otonom termasuk ortostatik ringan. Gejala yang paling umum
saat onset berhubungan dengan intoleransi ortostatik, serta disfungsi pencernaan.

9
Tabel 2. Klasifikasi GBS berdasarkan jenis, gejala klinis dan
patofisiologi.10,14,15
Jenis Gejala Patofisiologi
klinis
AIDP (Acute Demielinisasi saraf motorik akibat Terjadi karena makrofag menginvasi
Inflammatory inflamasi, kerusakan akson selubung mielin sehingga menyebabka n
Demyeliniting akson tidak terselubungi
Polyradiculoneuropathy)
AMAN (Acute Motor Adanya gejala pada sistem respirasi Makrofag menginvasi nodus Ranvier,
Axonal Neuropathy) akibat terganggunya saraf motorik masuk di antara akson dan aksolemma
pernapasan, degenerasi aksonal sel Schwann sehingga membuat
primer selubung mielin menjadi intak
AMSAN (Acute Motor Adanya gejala disfungsi pernapasan Hampir sama dengan AMAN dengan
and Sensory Axonal karenasaraf motorik dan sensorik keterlibatan jaras ventral dan dorsal
Neuropathy) mengalami gangguan, adanya
degenerasi aksonal primer dengan
prognosis buruk
MFS (Miller Fisher Oftalmoplegia, ataksia, arefleksia Sistem konduksi yang abnormal akan
Syndrome) tetapi penyebabnya masih belum jelas
APN(Acute Dapat disertai ensefalopati (jarang) Kegagalan sistem saraf simpatis dan
Pandysautonomic parasimpatis
Neuropathy)

F.Gejala Klinis
1. Kelemahan
Gambaran klinis yang klasik adalah kelemahan yang ascending dan simetris
secara natural. Anggota tubuh bagian bawah biasanya terkena duluan sebelum tungkai
atas. Otot-otot proksimal mungkin terlibat lebih awal daripada yang lebih
distal. Tubuh, bulbar, dan otot pernapasan dapat terpengaruh juga. Kelemahan otot
pernapasan dengan sesak napas mungkin ditemukan, berkembang secara akut dan
berlangsung selama beberapa hari sampai minggu. Keparahan dapat berkisar dari
kelemahan ringan sampai tetraplegia dengan kegagalan ventilasi.7
2. Keterlibatan Syaraf Kranialis
Keterlibatan saraf kranial tampak pada 45-75% pasien dengan GBS. Saraf
kranial III-VII dan IX-XII mungkin akan terpengaruh. Keluhan umum mungkin
termasuk sebagai berikut; wajah droop (bisa menampakkan Bell’s palsy), Diplopias,
Dysarthria, Disfagia, Ophthalmoplegia, serta gangguan pada pupil.
Kelemahan wajah dan orofaringeal biasanya muncul setelah tubuh dan tungkai yang
terkena. Varian Miller-Fisher dari GBS adalah unik karena subtipe ini dimulai dengan
defisit saraf kranial.7

10
3. Perubahan Sensoris
Gejala sensorik biasanya ringan. Dalam kebanyakan kasus, kehilangan sensori
cenderung minimal dan variabel.7
Kebanyakan pasien mengeluh parestesia, mati rasa, atau perubahan sensorik
serupa. Gejala sensorik sering mendahului kelemahan. Parestesia umumnya dimulai
pada jari kaki dan ujung jari, berproses menuju ke atas tetapi umumnya tidak melebar
keluar pergelangan tangan atau pergelangan kaki. Kehilangan getaran, proprioseptis,
sentuhan, dan nyeri distal dapat hadir.
4. Nyeri
Dalam sebuah studi tentang nyeri pada pasien dengan GBS, 89% pasien
melaporkan nyeri yang disebabkan GBS pada beberapa waktu selama perjalanannya.
Nyeri paling parah dapat dirasakan pada daerah bahu, punggung, pantat, dan paha dan
dapat terjadi bahkan dengan sedikit gerakan. Rasa sakit ini sering digambarkan
sebagai sakit atau berdenyut. Gejala dysesthetic diamati ada dalam sekitar 50% dari
pasien selama perjalanan penyakit mereka. Dysesthesias sering digambarkan sebagai
rasa terbakar, kesemutan, atau sensasi shocklike dan sering lebih umum di ekstremitas
bawah daripada di ekstremitas atas. Dysesthesias dapat bertahan tanpa batas waktu
pada 5-10%pasien. Sindrom nyeri lainnya yang biasa dialami oleh sebagian pasien
dengan GBS adalah sebagai berikut; Myalgic, nyeri visceral, dan rasa sakit yang
terkait dengan kondisi imobilitas (misalnya, tekanan palsi saraf, ulkus dekubitus).7

5. Perubahan otonom
Keterlibatan sistem saraf otonom dengan disfungsi dalam sistem simpatis dan
parasimpatis dapat diamati pada pasien dengan GBS. Perubahan otonom dapat
mencakup sebagai berikut; Takikardia, Bradikardia, Facial flushing, Hipertensi
paroksimal, Hipotensi ortostatik, Anhidrosis dan / atau diaphoresis
Retensi urin karena gangguan sfingter urin, karena paresis lambung dan dismotilitas
usus dapat ditemukan. Disautonomia lebih sering pada pasien dengan kelemahan dan
kegagalan pernafasan yang parah.7

6. Pernafasan
Empat puluh persen pasien GBS cenderung memiliki kelemahan pernafasan
atau orofaringeal. Keluhan yang khas yang sering ditemukan adalah sebagai berikut;

11
Dispnea saat aktivitas, Sesak napas, Kesulitan menelan, bicara cadel. Kegagalan
ventilasi yang memerlukan dukungan pernapasan biasa terjadi pada hingga sepertiga
dari pasien di beberapa waktu selama perjalanan penyakit mereka.7

Gambar 3 . Ascending paralisis

Hasil Pemeriksaan
a. Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa:
 Protein CSS. Meningkat setelah gejala 1 minggu atau terjadi peningkatan
pada LP serial
 Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3
 Varian: - Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu gejala
- Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3
b. Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosa:
 Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus. Biasanya
kecepatan hantar kurang 60% dari normal5.
Diagnosa GBS terutama ditegakkan secara klinis. GBS ditandai dengan timbulnya
suatu kelumpuhan akut yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon dan didahului

12
parestesi dua atau tiga minggu setelah mengalami demam disertai disosiasi sitoalbumin
pada likuor dan gangguan sensorik dan motorik perifer5.

G.Kriteria Diagnostik
Kelemahan ascenden dan simetris. Anggota gerak bawah terjadi lebih dulu dari
anggota gerak atas. Kelemahan otot proksimal lebih dulu terjadi dari otot distal,
kelemahan otot trunkal ,bulbar dan otot pernafasan juga terjadi5.
Kelemahan terjadi akut dan progresif bisa ringan sampai tetraplegi dan gangguan
nafas. Penyebaran hiporefleksia menjadi gambaran utama, pasien GBS biasanya
berkembang dari kelemahan nervus cranial, seringkali kelemahan nervus fasial atau
faringeal. Kelemahan diafragma sampai nervus phrenicus sudah biasa. Sepertiga pasien
GBS rawat inap membutuhkan ventilator mekanik karena kelemahan otot respirasi atau
orofaringeal.
1. Puncak defisit dicapai 4 minggu
2. Recovery biasanya dimulai 2-4minggu
3. Gangguan sensorik biasanya ringan bisa parastesi, baal atau sensasi sejenis
4. Gangguan Nn cranialis: facial drop, diplopia disartria, disfagia (N. III, V, VI, VII,
IX, dan X)
5. Banyak pasien mengeluh nyeri punggung dan tungkai

Gambar 4. Fase Perjalanan Klinis

13
Fase-fase serangan GBS

1. Fase Prodromal
Fase sebelum gejala klinis muncul
2. Fase Laten
a. Waktu antara timbul infeksi/ prodromal yang mendahuluinya sampai
timbulnya gejala klinis.
b. Lama : 1 – 28 hari, rata-rata 9 hari
3. Fase Progresif
a. Fase defisit neurologis (+)
b. Beberapa hari - 4 mgg, jarang > 8 mgg.
c. Dimulai dari onset (mulai terjadi kelumpuhan yang bertambah berat
sampai maksimal )
d. Perburukan > 8 minggu disebut chronic inflammatory-demyelinating
polyradiculoneuropathy (CIDP)
4. Fase Plateau
a. Kelumpuhan telah maksimal dan menetap.
b. Fase pendek :2 hari sampai 3 minggu, jarang > 7 minggu
5. Fase Penyembuhan
a. Fase perbaikan kelumpuhan motorik
b. beberapa bulan
H. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium, ditemukan laju endap darah (LED) hasil

umumnya normal atau sedikit meningkat, leukosit umumnya dalam batas normal,

haemoglobin dalam batas normal, pada darah tepi didapati leukositosis

polimorfonuklear sedang dengan pergeseran ke bentuk yang imatur, limfosit

cenderung rendah selama fase awal dan fase aktif penyakit. Pada fase lanjut, dapat

terjadi limfositosis; eosinofilia jarang ditemui. Dapat dijumpai respon

14
hipersensitivitas antibodi tipe lambat, dengan peningkatan immunoglobulin IgG, IgA,
8,9,10
dan IgM, akibat demielinasi saraf pada kultur jaringan.

2. LCS
- Disosiasi sitoalbumin

Pada fase akut terjadi peningkatan protein LCS > 0,55 g/l, tanpa
peningkatan dari sel < 10 limfosit/mm3. Disosiasi sitoalbumini, yakni
meningkatnya jumlah protein tanpa disertai adanya pleositosis. Pada
kebanyakan kasus, pada hari pertama jumlah total protein CSS normal; setelah
beberapa hari, jumlah protein mulai naik, bahkan lebih lanjut saat gejala klinis
mulai stabil, jumlah protein CSS tetap naik dan menjadi sangat tinggi.
Puncaknya pada 4-6 minggu setelah mulainya gejala klinis. Derajat penyakit
tidak berhubungan dengan naiknya protein dalam CSS. Hitung jenis umumnya
di bawah 10 leukosit mononuklear/mm.8

3. EMG
a. Gambaran poliradikuloneuropati
b. Test Elektrodiagnostik dilakukan untuk mendukung klinis bahwa paralisis
motorik akut disebabkan oleh neuropati perifer.5
c. Pada EMG kecepatan hantar saraf melambat dan respon F dan H abnormal. 3
Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi (EMG)
Gambaran elektromiografi pada awal penyakit masih dalam batas normal,
kelumpuhan terjadi pada minggu pertama dan puncaknya pada akhir minggu
kedua dan pada akhir minggu ketiga mulai menunjukkan adanya perbaikan.
Pada minggu pertama serangan gejala, didapatkan perpanjangan respon
(88%),perpanjangan distal latensi (75%), konduksi blok (58%) dan penurunan
kecepatan konduksi motor (50%). Pada minggu kedua, potensi penurunan
tindakan berbagai otot (CMAP, 100%), perpanjangan distal latensi (92%) dan
penurunan kecepatan konduksi motor (84%). Manifestasi elektrofisiologis
yang khas tersebut, yakni, prolongasi masa laten motorik distal yang
menandai blok konduksi distal dan prolongasi atau absennya respon
gelombang F yang menandakan keterlibatan bagian proksimal saraf, blok

15
hantar saraf motorik, serta berkurangnya KHS. Degenerasi aksonal dengan
potensial fibrilasi yang dapat dijumpai 2-4 minggu setelah awitan gejala
telah terbukti berhubungan dengan tingkat mortalitas yang tinggi serta
disabilitas jangka panjang pada pasien GBS, akibat fase penyembuhan yang
lambat dan tidak sempurna. Sekitar 10% penderita menunjukkan
penyembuhan yang tidak sempurna, dengan periode penyembuhan yang
lebih panjang (lebih dari 3 minggu) serta berkurangnya KHS dan denervasi
EMG.
4. Ro: CT atau MRI
Untuk mengeksklusi diagnosis lain seperti mielopati.

Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika


dilakukan pada hari ke 13 setelah timbulnya gejala. MRI lumbosacral akan
memperlihatkan penebalan pada radiks kauda equina dengan peningkatan
pada gadolinium. Adanya penebalan radiks kauda equina mengindikasikan
kerusakan pada barier darah- saraf. Hal ini dapat terlihat pada 95% kasus
GBS dan hasil sensitif sampai 83% untuk GBS akut. 10,11 Akan tetapi, pasien
dengan tanda dan gejala yang sangat sugestif mengarah ke GBS sebenarnya
tidak perlu pemeriksaan MRI lumbosakral.MRI lumbosakral dapat digunakan
sebagai modalitas diagnostic tambahan, terutama bila temuan klinis dan
elektrodiagnostik memberikan hasil yang samar.

Gambar 5. Gambaran MRI lumbosakral pada pasien perempuan 39 tahun


dengan GBS dan SLE, potongan sagital dan aksial menunjukkan herniasi
16
diskus T12-L1 yang menyebabkan kompresi minimal pada conus
medullaris1

I. Diagnosis Diferensial
Diagnosis banding yang sering mirip GBS, dapat dibedakan dengan: 9,10

a. Miastenia gravis akut: Tidak muncul sebagai paralisis asendens, meskipun


terdapat ptosis dan kelemahan okulomotor. Otot mandibula penderita GBS
tetap kuat, sedangkan pada miastenia, otot mandibula akan melemah setelah
beraktivitas serta tidak didapati defisit sensorik ataupun arefleksia.
b. Thrombosis arteri basilaris: Dapat dibedakan dari GBS dimana pada GBS,
pupil masih reaktif, adanya arefleksia dan abnormalitas gelombang F;
sedangkan pada infark batang otak terdapat hiperefleks serta refleks patologis
Babinski.
c. Paralisis periodik: Ditandai oleh paralisis umum mendadak tanpa keterlibatan
otot pernafasan dan hipo atau hiperkalemia. Pada GBS, terdapat paralisis
umum yang mendadak dan boleh menyebabkan paralisis otot respirasi.
d. Botulisme: Didapati pada penderita dengan riwayat paparan makanan kaleng
yang terinfeksi, dimana gejala dimulai dengan diplopia, disertai dengan
pupil yang non-reaktif pada fase awal, serta adanya bradikardia; yang jarang terjadi
pada pasien GBS.
e. Tick paralysis: Terjadi paralisis flasid tanpa keterlibatan otot pernafasan;
umumnya terjadi pada anak-anak dengan didapatinya kutu yang menempel
pada kulit.
f. Neuropati akibat logam berat: Umumnya terjadi pada pekerja industri dengan
riwayat kontak dengan logam berat. Onset gejala lebih lambat daripada GBS.
g. Cedera medula spinalis: Ditandai oleh paralisis sensorimotor di bawah tingkat
lesi dan paralisis sfingter. Gejala hampir sama yakni pada fase syok spinal,
dimana refleks tendon akan menghilang.
h. Poliomielitis: Didapati demam pada fase awal, mialgia berat, gejala meningeal,
yang diikuti oleh paralisis flasid asimetrik.
i. Mielopati servikalis: Pada GBS, terdapat keterlibatan otot wajah dan
pernafasan jika muncul paralisis, defisit sensorik pada tangan atau kaki jarang
muncul pada awal penyakit, serta refleks tendon akan hilang dalam 24 jam

17
pada anggota gerak yang sangat lemah dalam melawan gaya gravitasi.

J.Komplikasi
1. Paralisis menetap
2. Gagal nafas
3. Hipotensi
4. Tromboembolisme
5. Pneumonia
6. Aritmia Jantung
7. Ileus
8. Aspirasi
9. Retensi urin
10. Problem psikiatrik
GBS dapat berdampak pada kinerja dan kehidupan pribadi pasien dalam jangka
waktu yang lama, dapat terjadi 3 sampai 6 tahun setelah onset penyakit. Kesembuhan
biasanya berlangsung perlahan dan dapat berlangsung bertahun-tahun. Baik pasien
maupun keluarga pasien harus diberitahu tentang keadaan pasien yang sebenarnya untuk
mencegah ekspektasi yang berlebihan atau pesimistik. Kesembuhan pasien berlangsung
selama tahun – tahun pertama, terutama enam bulan pertama, tetapi pada sebagian besar
pasien dapat sembuh sempurna pada tahun kedua atau setelahnya.5
Kecacatan yang permanen terlihat pada 20% - 30% pasien dewasa tetapi lebih
sedikit pada anak-anak. Disabilitas yang lama pada dewasa lebih umum pada axonal
GBS dan GBS yang berbahaya, misalnya pada pasien dengan ventilator. 5
Gangguan fungsi otonomik yang serius dan fatal termasuk aritmia dan hipertensi
ekstrim atau hipotensi terjadi kurang lebih 20% dari pasien dengan GBS gangguan lain
yang signifikan adalah ileus dinamik, hipontremia, dan defisiensi dari fungsi mukosa
bronchial

K.Terapi
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum
bersifat simtomatik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu
dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup
tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan.
Sebanyak 30% kasus GBS dapat mengalami gagal pernapasan, sehingga terapi suportif
yang baik menjadi elemen penting dalam terapi GBS. Umumnya pasien GBS dimasukkan ke
ruang intensif ataupun ruang pelayanan intermediet untuk memungkinkan monitoring pernapasan

18
dan fungsi otonom yang lebih intensif. Penurunan expiratory forced vital capacities < 15
cc/kgBB ideal atau tekanan inspirasi negative dibawah 60 cmH2O mengindikasikan bahwa
pasien memerlukan intubasi dan ventilator mekanik sebelum terjadi hipoksemia. Setelah
duaminggu penggunaan intubasi, perlu dipertimbangan dilakukannya trakeostomi. Apabilaterjadi
kelompuhan otot wajah dan otot menelan, maka perlu dipasang selang NGT untuk dapat
memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan penderita. Fisioterapi aktif juga diperlukan menjelang
masa penyembuhan untuk mengembalikan lagi fungsi alat gerak penderita, menjaga fleksibilitas
otot, berjalan dan melatih keseimbangan penderita. Fisioterapi pasif dilakukan setelah terjadi
masa penyembuhan untuk memulihkan kekuatan otot penderita.
Adapun penggunaan terapi khusus pada GBS. Tujuan terapi khusus adalah
mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas
(imunoterapi).6,8
1. Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak
mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi GBS. Tetapi, kebanyakan penelitian
yang telah dilakukan sebelumnya mengatakan bahwa preparat steroid tidak memberikan
manfaat sebagai monoterapi. Pemberian kortikosteroid sebagai monoterapi tidak
mempercepat penyembuhan secara signifikan. Selain itu, pemberian metylprednisolone
secara intravena yang berkombinasi dengan imunoterapi juga tidak memberikan manfaat
secara signifikan dalam waktu jangka panjang.12, 13 Sebuah studi awal mengemukakan
pasien yang diberikan kortikosteroid oral menunjukkan hasil yang lebih buruk daripada
kelompok kontrol. Selain itu, sebuah studi randomisasi di Inggris dengan124 pasien GBS
menerima metylprednisone 500 mg setiap hari selama 15 hari dan 118 pasien
mendapatkan placebo. Dalam studi ini tidak didapatkan perbedaan antara kedua
kelompok dalam derajat perbaikan maupun outcome yang lainnya.
2. Plasmaparesis
● Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor
autoantibodi yang beredar. Pemakaian plasmaparesis pada GBS
memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat,
penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih
pendek. Pada analisis 6 studi eksperimen didapatkan perbaikan disabilitas
setelah 4 minggu pada kasus yang mendapat plasmaferesis dibandingkan
kontrol. Keluaran berupa perbaikan komplit kekuatan motorik pada satu tahun
lebih baik pada plasmaferesis dibandingkan kontrol.

19
Pengobatan dilakukan dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-
14 hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala
(minggu pertama). Keterbatasan plasmaparesis yaitu akses intravena memerlukan
kateter double-lumen besar melalui vena femoral atau vena subklavia internal.9

Plasmafaresis direkomendasikan untu kasus GBS imobilisasi dalam durasi 4


minggu pascaonset (level A, kelas II) dan untuk kasus GBS nonimobilisasi dalam
durasi 2 minggu pascaonset (level B, kelas II)

3. Pengobatan imunosupresan:
a. Imunoglobulin IV
Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan
dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan.
Dosis maintenance 0.4 gr/kgbb/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis
maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh.
b. Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:
 6 merkaptopurin (6-MP)
 azathioprine
 cyclophosphamid
Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit
kepala4,6,8.

L.Prognosis
Pada umumnya, sekitar 3% sampai 5% pasien tidak dapat bertahan dengan
penyakitnya, tetapi pada sebagian kecil penderita dapat bertahan dengan gejala sisa. 95%
terjadi penyembuhan tanpa gejala sisa dalam waktu 3 bulan bila dengan keadaan antara
lain pada pemeriksaan NCV-EMG relatif normal, mendapat terapi plasmaparesis dalam 4
minggu mulai saat onset, progresifitas penyakit lambat dan pendek, dan terjadi pada
penderita berusia 30-60 tahun. 1,4,5
Faktor yang mempengaruhi buruknya prognostik5:
1. Penurunan hebat amplitudo potensial aksi berbagai otot
2. Umur tua
3. Kebutuhan dukungan ventilator

20
4. Perjalanan penyakit progresif & berat
Pada umumnya penderita mempunyai prognosa yang baik tetapi pada
sebagian kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. 95% terjadi
penyembuhan tanpa gejala sisa dalam waktu 3 bulan bila dengan keadaan antara
lain:
a. pada pemeriksaan NCV- EMG relatif normal
b. mendapat terapi plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat onset
c. progresifitas penyakit lambat dan pendek
d. pada penderita berusia 30-60 tahun

0. Sehat
1. Terdapat keluhan dan gejala neuropati ringan, tapi penderita masih dapar melakukan pekerjaan
tangan.
2. Dapat jalan tanpa alat bantu (tongkat) tapi tidak dapat melakukan pekerjaan tangan.
3. Dapat jalan dengan bantuan tongkat atau seseorang.
4. Hanya dapat duduk di kursi roda atau terus berbaring di tempat tidur.
5. Dengan kegagalan pernapasan dan memerlukan ventilator.
6. Meninggal.

Gambar 6. Skala berat penyakit menurut


Hughes dkk.

21
BAB III
Kesimpulan
Sindrome Guillain barre merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya
assending paralisis yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun
dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis Mekanisme autoimun
dipercaya bertanggungjawab atas terjadinya sindrom ini. Terapi farmakoterapi dan terapi
fisik, prognosis syndrome Guillain barre tergantung pada progresifitas penyakit, derajat
degenerasi aksonal.
Guillain–Barré Syndrome (GBS) merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya
paralisis flaksid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya
adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis. Kelainan ini kadang-kadang juga menyerang
saraf sensoris, otonom, maupun susunan saraf pusat. GBS merupakan polineuropati akut, bersifat
simetris dan asendens yang biasanya terjadi dalam 1-3 minggu dan kadang sampai 8 minggu
setelah suatu infeksi akut.
Pada sindrom ini sering dijumpai adanya kelemahan yang cepat atau bisa terjadi paralisis dari
tungkai atas, tungkai bawah, otot – otot pernafasan dan wajah. Sindrom ini dapat terjadi pada
segala umur dan tidak bersifat herediter. Beberapa penelitian menunjukkan beberapa faktor
pencetus yang terlibat, diantaranya infeksi virus, vaksinasi, dan beberapa penyakit sistemik.
Manifestasi klinis berupa kelumpuhan, gangguan fungsi otonom, gangguan sensibilitas, dan risiko
komplikasi pencernaan.
Pemeriksaan penunjang untuk GBS adalah pemeriksaan cairan serebrospinal, elektromiografi
dan MRI. Terapi farmakoterapi dan terapi fisik, serta prognosis GBS tergantung pada
progresifitas penyakit, derajat degenerasi aksonal, dan umur pasien. Tatalaksana untuk Guillain–
Barré Syndrome meliputi plasmaparesis dan IVIg serta terapi suportif. Tujuan utama
penatalaksanaan GBS adalah mengurangi gejala, mengobati komplikasi, mempercepat
penyembuhan dan memperbaiki prognosisnya. Penegakan diagnosis lebih dini akan memberikan
prognosis yang lebih baik. Komplikasi yang dapat menyebabkan kematian adalah gagal nafas dan
aritmia.

22
Daftar pustaka
DAFTAR PUSTAKA
1. Mardjono Mahar, Sidharta Priguna. Sindroma Guillain-Barre : Neurologi Klinis
Dasar, Cetakan ke 8. Dian Rakyat, Jakarta, 2000.
2. Evil Science. 2008. Available from : http://www.guillainbarresyndrome.net
3. Erasmus MC. Gullain-Barre Syndrome. Professor Marianne de vissers, Editor.
University Medical Center Rotterdam. Netherlands; 2004
4. Evidence Center. 2011. Available from:
http://bestprice.bmj.com/bestpractice/monograph/176/basics/epidemiology.html
5. Dr Iskandar J, Guillain Barre Syndrome. Universitas Sumatera Utara ; 2005
6. Seneviratne U MD(SL), MRCP. Guillain-Barre Syndrome: Clinicopathological
Types and Electrophysiological Diagnosis. Departement of Neurology, National
Neuroscience Institute, SGH Campus; 2003.
7. Ropper H A, Brown H R. Adam’s and Victor, Principles of Neurological 8th
edition. United States of America; 2005. p.1117-27
8. AIDP ( Guillain Barre Syndrome ). Available from :
http://www.netterimages.com/image/63612.html
9. Gilroy J, Meyer JS. Medical Neurology. Edisi Ke-3. New York: Macmillan Publishing,
Co., Inc; 1979.
10. Hughes RAC, dkk. Acute Inflammatory Polyneuropathy. Di dalam: Rose FC, ( ed).
Clinical Neuroimunology. Oxford: Blackwell Scientific Publications. 1979;14:170-84.

23

Anda mungkin juga menyukai