Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Sindrom Guillain-Barre atau Guillain-Barre Syndrome (GBS) merupakan


kelainan saraf perifer yang menyebabkan kelumpuhan ekstremitas secara asenden
dan simetris yang diperantarai mekanisme imunologi. Kasus GBS pertama kali
dilaporkan pada tahun 1859 oleh Jean Baptiste Octave Landry de Thezillat.
Landry de Thezillat melaporkan sepuluh pasien dengan paralisis asenden. Istilah
paralisis asenden Landry digunakan hingga 1876. Sindroma Guillain-Barre (SGB)
merupakan penyebab kelumpuhan yang cukup sering dijumpai pada usia dewasa
muda. SGB ini seringkali mencemaskan penderita dan keluarganya karena terjadi
pada usia produktif, apalagi pada beberapa keadaan dapat menimbulkan kematian,
meskipun pada umumnya mempunyai prognosa yang baik.1,2

GBS merupakan suatu kelompok heterogen dari proses yang diperantarai


oleh imunitas, suatu kelainan yang jarang terjadi; dimana sistem imunitas tubuh
menyerang sarafnya sendiri. Kelainan ini ditandai oleh adanya disfungsi motorik,
sensorik, dan otonom. Dari bentuk klasiknya, GBS merupakan suatu polineuopati
demielinasi dengan karakteristik kelemahan otot asendens yang simetris dan
progresif, paralisis, dan hiporefleksi, dengan atau tanpa gejala sensorik ataupun
otonom. Namun, terdapat varian GBS yang melibatkan saraf kranial ataupun
murni motorik. Pada kasus berat, kelemahan otot dapat menyebabkan kegagalan
nafas sehingga mengancam jiwa. Dibutuhkan pengetahuan dan pemahaman yang
baik mengenai GBS untuk diagnosis yang tepat sedini mungkin sehingga
tatalaksana yang adekuat bisa segera diberikan, dengan demikian prognosis
pasienGBS diharapkan menjadi lebih baik. 1,3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Sindrom Guillain-Barre atau Guillain-Barre Syndrome (GBS) merupakan


suatu poliradikulopati akut yang menyebabkan kelumpuhan ekstremitas secara
asenden dan simetris yang diperantarai mekanisme imunologi. Presntasi klinis
sindrom ini bervariasi sehingga dibagi menjadi beberapa subtipe dengan jenis
antigen antibodi yang berbeda pula. Beberapa nama disebut oleh beberapa ahli
untuk penyakit ini, yaitu Idiopathic polyneuritis, Acute Febrile Polyneuritis,
Infective Polyneuritis, Post Infectious Polyneuritis, Acute Inflammatory
Demyelinating Poliradikulo neuropathy, Guillain Barre Strohl Syndrome, Landry
Ascending paralysis, dan Landry Guillain Barre Syndrome.1, 2

2.2 Epidemiologi

Sebanyak sepuluh studi melaporkan insidensi SGB pada anak-anak (0-15


tahun), dengan insidensi per tahun 0.34 - 1.34/100,000 populasi. Sebagian besar
studi investigaso pada populasi di Eropa dan Amerika Utara melaporkan insidensi
serupa yaitu 0.84 - 1.91/100,000. Lebih dari 70% kasus DGB disebabkan oleh
infeksi sebelumnya. Insidensi GBS di seluruh dunia mencapai 1.1–1.8 kasus per
100,000 pertahun dengan rata-rata angka kejadian yang lebih besar terjadi pada
laki-laki dibandingkan perempuan. Terdapat dua puncak insidensi tertinggi
dimana puncaknya terjadi pada usia dewasa muda dan usia tua. Insidensi
meningkat hingga 3.3 kasus per 100,000 per tahun setelah usia 50 tahun. Terdapat
suatu hubungan antara infeksi yang mendahuluinya dengan 70% kasus yang
umumnya berasal dari infeksi saluran napas dan gastrointestinal.3,4

2.3 Etiologi

Pada tahun 1976 terjadi peningkatan kasus GBS lima kali lipat setelah
program vaksinasi influenza babi. Tetapi asosiasi tersebut masih kontroversial.
Hubungan risiko GBS dengan imunisasi lainnya belum dapat dipastikan. Sekitar
1-4 minggu sebelum onset GBS terjadi sindrom viral akut atau manifestasi
penyakit infeksi lainnya. Tetapi rentang waktu yang lebih singkat atau lama masih
dapat terjadi sebagai variasi antar individu. Pada saat onset GBS dimulai biasanya
infeksi antesenden telah berakhir. Infeksi yang sering mendahului GBS adalah
infeksi saluran respirasi dan saluran pencernaan. Kondisi antesenden yang
berkaitan dengan GBS, yaitu infeksi virus (Cocksackie, CMV, Echo, EBV, virus
hepatitis A dan B, HSV, virus Herpes Zoster, HIV, Influenza, Parainfluenza,
Rubella, Mumps, Measles), infeksi bakteri (Borrelia burgdorferi, Campylobacter
jejuni, Legionella pneumoniae, Mycoplasma pneumonia, Shigella, Typhoid,
Brucellosis, Yersinia enterocolitica), kondisi sistemik (penyakit Addison, limfoma
Hodgkin, leukemia, paraproteinemia, kehamilan, sarkoidosis, tumor padat
terutama tumor paru, operasi, eritematosus lupus sistemik, penyakit tiroid, trauma,
dan vaksinasi). Infeksi CMV antesenden merupakan infeksi virus paling sering
yang mendahului GBS dengan konversi serologi hampir 15%. Infeksi CMV
antesenden lebih sering mengenai individu usia muda dengan manifestasi GBS
yang lebih berat, kegagalan respirasi, gangguan sensorik prominen, keterlibatan
saraf kranial, dan peningkatan antibodi terhadap gangliosida GM2.2,3

Infeksi C. Jejuni merupakan infeksi bakteri yang paling banyak


mendahului GBS terutama strain Penner 19 dan Lior 11. Sebelum onset GBS,
individu mengalami demam, diare cair, dan nyeri perut. Sekitar 30% kasus GBS
hanya disertai bukti infeksi antesenden C. Jejuni secara serologi tanpa manifestasi
enteritis. GBS terkait infeksi C. Jejuni mengalami proses pemulihan lebih
lama, kerusakan aksonal yang lebih ekstensif, dan adanya antibodi gangliosida
GM1. Lipopolisakarida C. Jejuni memiliki kemiripan dengan epitop gangliosida
saraf perifer (GM1, GQ1b, Ga-1NAc-GD1a) sehingga terjadi mimikri molekular
pada keduanya, antibodi yang dirancang untuk mengeradikasi C. Jejuni
menginduksi inflamasi pada sistem saraf perifer.2 Infeksi antesenden M.
pneumonia dengan gejala batuk nonproduktif, demam, dan sakit kepala terjadi
pada 5% kasus GBS. Penyakit Lyme yang disebabkan oleh B. Burgdorferi
merupakan penyebab polineuropati sensori- motor aksonal kronik, poliradikulitis
yang nyeri (Bannwarth Syndrome), diplegia fasial akut yang menyerupai GBS
tetapi adanya polineuritis pascainfeksi dan asosiasinya dengan GBS masih belum
jelas. Pada infeksi HIV terjadi gambaran pleositosis limfositik CSF yang berbeda
dengan gambaran klasik disosiasi sitoalbumin. Kondisi lain noninfeksi lebih
banyak berkaitan dengan CIDP. GBS juga dikaitkan dengan pascaoperasi.
Beberapa kasus memang terbukti terjadi pascaoperasi sedangkan lainnya lebih
disebabkan oleh polineuropati pada keadaan kritis yang disebabkan oleh
kegagalan multiorgan dan sepsis. Asosiasi GBS dengan trauma, medikasi tertentu,
dan vaksinasi selain influenza belum jelas.2,3

2.4 Patogenesis

Patofisiologi GBS melibatkan konsep imunopatogenesis baik selular


maupun humoral. GBS diduga oleh karena suatu fenomena mimikri molekular,
yaitu sistem imun yang seharusnya mengeradikasi agen infeksi juga ikut
menginvasi jaringan sendiri akibat kemiripan epitop. Pada eksperimen yang
menggunakan hewan coba, beberapa hari pasca dilakukan imunisasi jaringan saraf
perifer autolog dan ajuvan Freud (material yang menginduksi respon imun) terjadi
paralisis progresif dengan gambaran patologi inflamasi endoneurial dan
demielinisasi yang menyerupai GBS. Prosedur tersebut menghasilkan sensitisasi
terhadap protein P2, fenomena tersebut dinamakan Experimental Allergic Neuritis
(EAN), dimana respon inflamasi tersebut dimediasi oleh sel T yang mentarget
mielin. 5

Pada GBS, antigen dari agen infeksi antesenden berinteraksi dengan sel
APC (Antigen Presenting Cell) sehingga sel APC mengekspresikan molekul
MHC kelas II. Sel APC akan mengaktifkan sel T yang juga akan
mengekspresikan MHC kelas II yang serupa. Karena antigen agen infeksi
antesenden memiliki epitop yang mirip dengan antigen saraf tepi maka terjadi
mimikri molekular, sehingga terjadi invasi juga ke jaringan saraf perifer. Sel T
aktif akan merusak sawar darah saraf sehingga mentarget antigen endoneurial dan
melepaskan sitokin inflamasi, seperti IL-2 dan TNF. Peningkatan sitokin IL-2 di
serum dan IL-6 serta TNF-α di CSF merupakan bukti aktivasi imun selular.
Pelepasan sitokin inflamasi akan merekrut makrofag untuk menginvasi mielin.
Selain itu juga terjadi invasi makrofag. Inflamasi paling intens terjadi pada area
perivaskular dan radiks spinal dimana terjadi invasi sel imun. 2,5
Patofisiologi GBS juga melibatkan sistem imun humoral. Injeksi serum
dari pasien GBS yang ditransfer ke saraf perifer hewan coba menginduksi
demielinisasi lokal. Koski et al mendemonstrasikan peningkatan level antibodi
antimielin komplemen berhubungan dengan aktivitas penyakit pada pasien GBS.
Peneliti lainnya berhasil mendemonstrasikan deposisi komplemen di permukaan
luar sel Schwann melalui imunositokimia. Keberadaan kompleks komplemen
terminal (C5b-9) berkaitan dengan perubahan vesikular pada lamela mielin terluar
yang terjadi sebelum invasi sel T dan makrofag. Pada bervariasi dan distribusinya
menjelaskan varian-varian GBS. Antigen yang dieskpresikan oleh saraf tepi
adalah gangliosida (GM1, asialo-GM1, GQ1b, GD1a, GT1a) dan distribusi
anatomisnya pada saraf tepi menjelaskan patofisiologi varian GBS. Tabel di
bawah memaparkan antibodi yang terlibat pada berbagai varian GBS. Sindrom
Miller-Fisher berkaitan dengan antibodi IgG anti-GQ1b. Antigen GQ1b banyak
terdapat di saraf motorik ekstraokular dibandingkandi saraf motorik ekstremitas
sehingga menjelaskan manifestasi Sindrom Miller-Fisher. Antibodi monoclonal
anti-GQ1b yang diinduksi oleh C. jejuni juga memblok transmisi neuromuskular
secara eksperimental. GBS dengan keterlibatan aksonal yang prominen, produk
aktivasi komplemen (C3d) berikatan dengan aksolema akson motorik dan pada
kasus yang berat Ig dan C3d juga ditemukan di ruang periaksonal internodal.2,5

Target invasi sistem imun adalah gangliosida, yaitu suatu kompleks


glikosfingolipid yang terdiri dari satu atau lebih residu asam sialat. Gangliosida
berperan dalam interaksi antarsel (akson dan sel glia), modulasi reseptor, dan
regulasi pertumbuhan. Gangliosida terdapat di membran sel sehingga rentan
terhadap paparan sistem imun. Gangliosida terdistribusi luas pada jaringan saraf
terutama pada nodus Ranvier. Antibodi antigangliosida, terutama antibodi
antiGM1, banyak terdapat pada kasus GBS (20-50% kasus) terutama yang dipicu
infeksi C. jejuni. Terdapat kesamaan struktur dan reaksi silang antara glikolipid
C. jejuni dengan gangliosida. Antibodi yang terlibat dalam patofisiologi GBS
Patofisiologi GBS meliputi demielinisasi (paling banyak) dan gangguan aksonal
(pada beberapa varian) yang menjelaskan manifestasi motorik dan sensoriknya.
Pada demielinisasi, integritas aksonal intak sedangkan mielin mengalami
kerusakan sehingga didapatkan blok konduksi, penurunan kecepatan hantar saraf,
dan normalnya amplitudo secara elektrofisiologi. Pemulihan dapat terjadi cepat
seiring dengan proses remielinisasi. Tetapi pada kasus yang berat terjadi
degenerasi aksonal sekunder yang tampak secara elektrofisiologi dan berasosiasi
dengan pemulihan yang lambat dan disabilitas residu. Gangguan aksonal dapat
terjadi secara primer. Prognosis pada tipe tersebut dapat baik apabila gangguan
aksonal terjadi preterminal sehingga reinervasi mudah terjadi atau reinervasi dapat
disuplai dari akson motorik lainnya yang masih cukup baik.2,5

Gambar 1. Kerusakan aksonal yang dimediasi oleh antibodi 1

2.5 Manifestasi Klinis


Pasien dengan GBS umumnya hanya akan mengalami satu kali serangan
yang berlangsung selama beberapa minggu, kemudian berhenti spontan untuk
kemudian pulih kembali. Perjalanan penyakit GBS dapat dibagi menjadi 3 fase: 5

1. Fase progresif. Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala


awal sampai gejala menetap, dikenal sebagai ‘titik nadir’. Pada fase ini akan
timbul nyeri, kelemahan progresif dan gangguan sensorik; derajat keparahan
gejala bervariasi tergantung seberapa berat serangan pada penderita. Kasus
GBS yang ringan mencapai nadir klinis pada waktu yang sama dengan GBS
yang lebih berat. Terapi secepatnya akan mempersingkat transisi menuju fase
penyembuhan, dan mengurangi resiko kerusakan fisik yang permanen. Terapi
berfokus pada pengurangan nyeri serta gejala.
2. Fase plateau.  Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana
tidak didapati baik perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah
berhenti, namun derajat kelemahan tetap ada sampai dimulai fase
penyembuhan. Terapi ditujukan terutama dalam memperbaiki fungsi yang
hilang atau mempertahankan fungsi yang masih ada. Perlu dilakukan
monitoring tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi, keseimbangan
cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat dimulai di fase ini. Penderita
umumnya sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan khusus, serta
fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat saraf yang
meradang serta kekakuan otot dan sendi; namun nyeri ini akan hilang begitu
proses penyembuhan dimulai. Lama fase ini tidak dapat diprediksikan;
beberapa pasien langsung mencapai fase penyembuhan setelah fase infeksi,
sementara pasien lain mungkin bertahan di fase plateau selama beberapa
bulan, sebelum dimulainya fase penyembuhan.
3. Fase penyembuhan  Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi,
dengan perbaikan dan penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti
memproduksi antibody yang menghancurkan myelin, dan gejala berangsur-
angsur menghilang, penyembuhan saraf mulai terjadi. Terapi pada fase ini
ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk membentuk otot pasien dan
mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang normal, serta mengajarkan
penderita untuk menggunakan otot-ototnya secara optimal. Kadang masih
didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang beregenerasi. Lama fase ini
juga bervariasi, dan dapat muncul relaps. Kebanyakan penderita mampu
bekerja kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien lainnya tetap menunjukkan
gejala ringan samapi waktu yang lama setelah penyembuhan. Derajat
penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan saraf yang terjadi pada fase
infeksi.

Gambar 2. Fase pada Guillain-Barré syndrome 5

Klasifikasi

GBS dapat dibagi menjadi sedikitnya 4 subtipe utama menurut klinis dan
elektrofisiologis yaitu : acute inflammatory demyelinating polyneuropathy
(AIDP), acute motor axonal neuropathy (AMAN), acute motorsensory axonal
neuropathy (AMSAN) dan miller fisher syndrome (MSF). AIDP ditandai dengan
terjadinya demyelinisasi, AMAN terbatas pada gejala klinis berupa motorik
murni,dan AMSAN lebih berat dengan keterlibatan motor-sensory. Polymerase
chain reaction (PCR) merupakan alat yang sensitif untuk mendeteksi infeksi C.
jejuni pada pasien GBS.1

Tabel 1. Varian SGB 2

1. AIDP

Acute Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy (AIDP) merupakan


bentuk paling umum, terhitung sekitar 85–90% kasus dimana secara patologis
didapatkan demielinisasi, infiltrasi limfosit dan penghancuran myelin yang
dimediasi oleh makrofag. Gejala klinis berupa kelemahan motorik asending yang
simetris dengan hipo- atau areflexia. Proses patologis yang mendasari meliputi
inflamasi dan destruksi selubung myelinyang mengelilingi akson nervus perifer
oleh makrofag yang teraktivasi. Hal ini menyebabkan perlambatan dan blokade
konduksi nervus perifer menyebabkan sehingga terjadi kelemahan otot. Pada
kasus yang berat dapat berkembang menjadi kerusakan aksonal sekunder. Pada
akson terminal serabut saraf yang mengalami kerusakan pada AIDP didapatkan
ikatan antibodi dan fiksasi komplemen. Aktivasi complement pathway
menyebabkan pembentukan membrane attack complex (MAC) dengan degradasi
sitoskeleton akson terminal dan kerusakan mitokondria. 1,2

2. AMAN
Acute motor axonal neuropathy (AMAN) lebih umum terjadi di Jepang
dan Cina, pada usia dewasa muda, serta memiliki hubungan dengan infeksi
Campylobacter jejuni yang mendahuluinya (figure 2) disertai peningkatan titer
antibodi gangliosida (GM1, GD1a, GD1b). Pada varian ini ditemukan gangguan
motorik murni dan secara klinis menyerupai demielinisasi pada GBS dengan
paralisis asenden simetris. Manifestasi klinis mirip dengan AIDP namun masih
didapatkan refleks tendon. Seperti AIDP, AMAN diyakini merupakan kerusakan
yang diperantarai oleh IgG- dan complemen. Tes elektrofisiologis dapat
membedakannya dari varian GBS lainnya dengan ditemukannya keterlibatan lesi
aksonal nervus motorik. Pada AMAN, proses patologis meliputi ikatan antibodi
terhadap antigen gangliosida pada membran sel akson, invasi makrofag, inflamasi
dan kerusakan aksonal. Varian ini dibedakan dengan GBS klasik berdasarkan
gambaran elektrofisiologi yang berupa aksonopati motorik murni yang konsisten.
Histopatologi menunjukkan degenerasi Wallerian tanpa inflamasi limfositik
signifikan. Prognosisnya cukup baik melalui pemulihan yang cepat pada sebagian
besar kasus. Pada kasus yang berat pemulihan dapat berlangsung selama bertahun-
tahun. 1,2,5

3. AMSAN

Acute motor and sensory axonal neuropathy (AMSAN) merupakan salah


satu varian GBS di mana baik serabut motorik maupun sensorik terlibat seperti
yang ditemukan pada tes elektrofisiologis. Varian ini lebih berat dan berhubungan
dengan pemulihan yang lama bahkan hanya parsial. Manifestasi klinis mirip
dengan AMAN namun juga melibatkan gejala sensorik. Proses patologis yang
mendasari serupa dengan AMAN (kerusakan aksonal yang dimediasi oleh
antibodi). Perjalanan varian ini cepat, disertai paralisis berat, proporsi pemakaian
ventilator yang tinggi dan pemulihan yang lambat dan tidak memuaskan, dan
berkaitan dengan C. jejuni. Pada varian ini diperkirakan terjadi demielinisasi
radikular yang diperantarai makrofag dan diikuti degenerasi Wallerian. Pada
pemeriksaan elektrofisiologis ditemukan ganguan aksonal motorik dan sensorik
dan sedikit demielinisasi. 1,2,6
4. MFS

Miller Fisher syndrome (MFS) merupakan varian GBS yang ditemukan


sekitar 5% dari kasus GBS. Manifestasinya berupa ataksia, oftalmoplegia, dan
arefleksia. Ataksia tampak prominen pada trunkus dan gait, tetapi tidak prominan
pada ekstremitas. Kekuatan motorik biasanya masih baik, hanya 25 % yang
berkembang menjadi kelemahan ekstremitas. Studi elektrofisiologi menunjukkan
kegagalan konduksi sensorik primer. Perjalanan penyakitnya akan membaik
secara gradual dan komplit dalam beberapa minggu atau bulan. Terdapat asosiasi
kuat dengan antibodi antigangliosida terutama antibodi anti-GQ1b sekitar 90%,
terutama pada pasien dengan oftalmoplegia. Konsentrasi antibodi tersebut
ditemukan di saraf okulomotor, troklear, dan abdusens yang menjelaskan
manifestasi oftalmoplegia. Proses patologisnya kurang jelas namun terjadi
demielinisasi radiks saraf. Perbedaan utama antara MFS dan AIDP atau AMAN
adalah aktivasi antibodi anti-GQ1b dan anti-GT1a pada MFS dengan target nervus
oculomotor dan bulbar nerves, dimana nervus-nervus tersebut memiliki densitas
gangliosida GQ1b dan GT1a yang relatif tinggi.1,2,6

Table 2: Subtipe GBS dan antibodi antigangliosida yang berhubungan 6

Terdapat bentuk kronik dari GBS dikenal sebagai chronic inflammatory


demyelinating polyneuropathy yang memiliki manifestasi klinis serupa dengan
AIDP tetapi progresivitasnya lambat. Terdapat varian faringeal, servikal, brakial.
dimana pada varian ini ditemukan paralisis fasial, orofaring, servikal, dan
ekstremitas superior tanpa keterlibatan ekstremitas inferior. Selain itu varian
dengan disautonomia murni atau yang disebut pandisautonomia akut merupakan
varian yang jarang tanpa keterlibatan motorik atau sensorik signifikan. Disfungsi
simpatis dan parasimpatis menyebabkan hipotensi postural, retensi urin dan alvi,
anhidrosis, penurunan salivasi dan lakrimasi, dan abnormalitas pupil. 2

Gambar 3. Acute motor axonal neuropathy (AMAN) yang disebabkan oleh


Campylobacter jejuni 1
2.6 Diagnosis

Diagnosa SGB terutama ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis,


profil CSF dan elektrofisiologis. SGB ditandai dengan timbulnya suatu
kelumpuhan atau kelemahan akut disertai hilangnya refleks-refleks tendon,
parestesi akibat gangguan sensorik dan atau motorik perifer, dua atau tiga minggu
setelah mengalami demam. Profil CSF dapat normal pada 48 jam pertama onset
GBS. Pada akhir minggu pertama terjadi peningkatan protein di CSF tanpa
disertai peningkatan jumlah sel yang disebut disosiasi sitoalbumin. 2,3

Gambaran elektrofisiologis berkembang selama 5-8 minggu sejak onset.


Abnormalitas elektrofisiologi tertinggal bila dibandingkan manifestasi klinis. Pada
tipe demielinisasi terjadi pemanjangan latensi distal, penurunan kecepatan hantar
saraf, blok konduksi, dan disperse temporal CMAP. Pada tipe gangguan aksonal
terjadi penurunan amplitudo. Pada 1-2 minggu sejak onset, kecepatan konduksi
saraf masih normal. Abnormalitas awal yang dapat ditemukan adalah hilangnya
gelombang F dan refleks H. Blok konduksi dapat ditemukan di sepanjang trunkus
saraf termasuk di akson terminal. Gambaran tersebut dapat disertai disperse
temporal CMAP yang menghasilkan kompleks gelombang berdurasi panjang.
Profil elektrofisiologis pada stadium awal berupa blok konduksi atau perlambatan
yang melibatkan beberapa trunkus saraf. Amplitudo respon sensorik berkurang
terutama pada tangan dibandingkan kaki. Pemanjangan latensi distal dan
penurunan kecepatan konduksi ter jadi pada stadium yang lebih lanjut dan dapat
tetap prominen pada saat telah terjadi pemulihan klinis. Perbaikan motorik
berjalan sebanding dengan resolusi blok konduksi. Perbaikan gambaran
elektrofisiologi dimulai beberapa hari setelah fase plateau atau pascaplasmafaresis
dan IVIG tetapi dapat juga beberapa minggu atau bulan setelahnya. 2,7
Kriteria diagnosa yang umum dipakai adalah criteria dari National
Institute of Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS),
yaitu: 2,7

I. Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis: Terjadinya kelemahan yang progresif dan
hiporefleksi

II. Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis SGB:

a. Ciri-ciri klinis:
 Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat,
maksimal dalam 4 minggu, 50% mencapai puncak dalam 2
minggu, 80% dalam 3 minggu, dan 90% dalam 4 minggu.
 Relatif simetris, asending
 Gejala gangguan sensibilitas ringan
 Gejala saraf kranial ± 50% terjadi parese N VII dan sering
bilateral. Saraf otak lain dapat terkena khususnya yang
mempersarafi lidah dan otot-otot menelan, kadang < 5% kasus
neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau saraf otak lain
 Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti,
dapat memanjang sampai beberapa bulan.
 Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural,
hipertensi dan gejala vasomotor.
 Tidak ada demam saat onset gejala neurologis
b. Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa:
 Protein CSS. Meningkat setekah gejala 1 minggu atau terjadi
peningkatan pada LP serial
 Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3
 Varian: Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu
gejala, Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3
Tabel 3. Kriteria Diagnostik GBS 2,7
Tabel 4. Diferensial Diagnosis GBS 8

2.7 Pemeriksaan Penunjang 1

Biokimiawi Serum : Ureum dan elektrolit biasanya normal namun terdapat


disfungsi renal atau syndrome of inappropriate ADH. ALT dan gamma GT dapat
meningkat pada 33% pasien. Kreatin kinase dapat meningkat.1,7

Inflammatory markers : Erythrocyte sedimentation rate umunya meningkat


kadang-kadang disertai peningkatan C -reactive protein. 1,7

Antibodi anti-gangliosida : Anti-GM1 positif pada 25% pasien dan berhubungan


dengan outcome yang buruk. Anti-GD1a berhubungan denga GBS subtipe
AMAN, sedangkan Anti-GQ1b berhubungan dengan Miller-Fisher syndrome. 1,7

Skrining infeksi : Tes serologi untuk Campylobacter jejuni, Cytomegalovirus,


Epstein-Barr virus, Herpes simplex virus, Mycoplasma pneumonia, antibodi HIV
harus dipertimbangkan. Kultur feses untuk membuktikan adanya infeksi
gastrointestinal khususnya oleh Campylobacter jejuni. 1,7
Radiologis
CT kepala dilakukan untuk menyingkirkan penyebab lain dari gejala dan
membuktikan ada tidaknya peningkatan TIK sebelum dilakukannya lumbal
punksi. MRI spine dapat menunjukkan gambaran spesifik radiks nervus spinal
bagian anterior (motorik) dengan gadolinium serta menyingkirkan adanya tekanan
pada nervus servikal. 1,7

Lumbal Punksi : peningkatan level protein tanpa disertai peningkatan jumlah sel
(disosiasi citoalbumin) 1,7

Nerve conduction studies : Gambaran NCS tergantung subtipe dari GBS.


Umumnya menunjukkan pola demielinisasi sementara beberapa pasien
menunjukkan kerusakan aksonal dengan atau tanpa lesi demielinisasi. 1,7

2.8 Tatalaksana

Tujuan tatalaksana GBS meliputi tatalaksana suportif dan etiologis. Tatalaksana


suportif diperlukan untuk mengantisipasi dan menangani akibat dari imobilisasi
dan keterlibatan saraf yang mengurus tanda vital. Manajemen suportif meliputi: 2,9
1. Pengukuran kapasitas vital. Jika kapasitas vital 12-15 ml/kgBB maka
diperlukan intubasi, sedangkan kapasitas 15-19 ml/kgBB memerlukan
intubasi apabila terdapat paralisis bulbar.
2. Spirometri insentif untuk mencegah atelektasis.
3. Pembersihan bronkus dan bantuan batuk.
4. Rontgen toraks satu kali per minggu atau lebih sering.
5. Pemeriksaan albumin, natrium, nitrogen urea, dan kalsium serum setiap dua
minggu.
6. Pemeriksaan urinalisis setiap minggu.
7. Profilaksis emboli paru menggunakan 5000 unit heparin dua kali sehari.
8. Pemeriksaan peristaltik.
9. Profilaksis perdarahan gastrointestinal menggunakan antasida yang
mengandung magnesium 30-120 ml atau sukralfat.
10. Profilaksis dekubitus dengan perubahan posisi secara berkala dan penggunaan
matras antidekubitus.
11. Tidak menggunakan antibiotik profilaksis. Infeksi paru atau saluran kemih
ditatalaksana dengan antibiotik setelah ada hasil kultur dan resistensi kecuali
terdapat septicemia.
12. Pemberian diet kaya serat melalui tube nasogastrik apabila proses menelan
terganggu.
13. Tatalaksana nyeri, gangguan tidur, dan komplikasi psikiatri.
14. Pembatasan flebotomi antekubital apabila direncanakan plasmafaresis.

Tatalaksana Etiologis : 2,6,7,8


1. Plasmafaresis
Plasmaferesis dilakukan dengan dosis 50 ml/kgBB 5 kali pada waktu yang
terpisah dalam jangka waktu 1-2 minggu. Pada analisis 6 studi eksperimen
didapatkan perbaikan disabilitas setelah 4 minggu pada kasus yang mendapat
plasmaferesis dibandingkan kontrol. Pada studi metaanalisis dari keenam studi
eksperimen tersebut, terdapat penurunan proporsi penggunaan ventilator (RR
0.56, 95% CI 0.41-0.76, p 0.0003. Keluaran berupa perbaikan komplit kekuatan
motorik pada satu tahun lebih baik pada plasmaferesis dibandingkan kontrol (RR
1.24, 95%CI 1.07-1.45, p 0.005). Satu eksperimen kelas II menunjukkan manfaat
plasmafaresis pada kasus GBS yang ringan. Kejadian efek samping antara
kelompok plasmafaresis dan kontrol sama. Plasmafaresis diasosiakan dengan
jangka waktu rawat inap yang lebih pendek dibandingkan dengan terapi suportif.
Penelitian di Inggris menunjukkan bahwa 4 seri plasmafaresis lebih menghemat
biaya dibandingkan 2 seri plasmafaresis. Perbandingan efektivitas filtrasi CSF
dengan plasmafaresis dikatakan sebanding tetapi besar sampel terlalu sedikit
sehingga perbedaan manfaat keduanya belum dapat dipastikan. Filtrasi CSF
intratekal berisiko menyebabkan infeksi. Plasmafaresis direkomendasikan untuk
kasus GBS imobilisasi dalam durasi 4 minggu pascaonset (level A, kelas II) dan
untuk kasus GBS non-imobilisasi dalam durasi 2 minggu pascaonset (level B,
kelas II). Efektivitas plasmafaresis dan IVIG setara. Belum ada data adekuat yang
mendukung filtrasi CSF (level U, kelas II). Plasmafaresis dilakukan dengan
kecepatan 40-50 ml/kgBB empat kali dalam satu minggu.
Gambar 4: Pendekatan tatalaksana Guillain-Barré syndrome
MICU=intensive care unit. EGRIS=Erasmus GBS Respiratory Insufficiency Score.
IVIg=intravenous immunoglobulin. TRF=treatment related fluctuation. 5

2. Intravenous Immunoglobulin (IVIG)


Studi eksperimental kelas III menunjukkan adanya perbedaan keluaran
yang lebih baik dalam 4 minggu pada kasus yang ditatalaksana dengan IVIG
dibandingkan terapi suportif. Tidak terdapat perbedaan efektivitas plasmafaresis
dibanding kan dengan IVIG pada 3 studi eksperimen. Selain itu pada studi
tersebut juga disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan waktu pemulihan signifikan
pada kasus ringan (masih dapat mobilisasi) dengan pemberian IVIG. Pada studi
lainnya menunjukkan bahwa proporsi kasus yang membaik satu grade dalam 4
minggu dan kecepatan kembalinya fungsi optimal kasus pada kelompok IVIG
lebih baik dibandingkan dengan plasmafaresis. Tidak ada perbedaan antara waktu
ketergantungan ventilator dan proporsi kasus yang mengalami disabilitas atau
kematian dalam 1 tahun di antara kelompok IVIG dan plasmafaresis. Menurut
studi eksperimen, kejadian efek samping lebih banyak pada plasmafaresis
dibandingkan IVIG tetapi hal tersebut belum terbukti secara metaanalisis.
Komplikasi pneumonia, atelektasis, trombosis, dan gangguan hemodinamik lebih
banyak pada kelompok plasmafaresis (22% vs 7%). Tetapi pada studi yang lebih
besar menunjukkan bahwa kejadian efek samping plasmafaresis (hipotensi,
septicemia, pneumonia, malaise, koagulopati, dan hipokalsemia) sebesar 7%
dibandingkan dengan kelompok IVIG (muntah, meningismus, gagal ginjal, infark
miokardium, dan eritema lokal) sebesar 5%. Dua studi terbesar menyimpulkan
bahwa proporsi diskontinuitas terapi lebih sedikit pada kelompok IVIG
dibandingkan plasmafaresis. Pada kesimpulannya, IVIG memiliki efektivitas yang
sama dengan plasmafaresis apabila diberikan dalam 2 minggu onset pada kasus
yang masih bisa mobilisasi (kelas I). Belum ada perbandingan efektivitas antara
IVIG dengan plasmafaresis pada GBS tipe aksonal. Pemberian IVIG
direkomendasikan untuk pasien yang memerlukan bantuan mobilisasi dalam 2
minggu onset (level A) atau 4 minggu dari onset gejala neuropati (level B). Efek
IVIG dan plasmafaresis dianggap ekuivalen. Dosis IVIG total adalah 2 g/kgBB
yang diberikan harian sebanyak 5 kali.
3. Kombinasi
Sebuah studi menunjukkan bahwa plasmafaresis diikuti IVIG tidak
menunjukkan manfaat signifikan dibandingkan plasmafaresis atau IVIG saja
(level A, kelas I). Terapi sekuensial imunoabsorbsi diikuti IVIG belum ditelaah
lebih lanjut (level U, kelas IV)
4. Steroid
Studi tentang penggunaan steroid pada GBS meliputi penggunaan ACTH
IM 100 unit selama 10 hari, metiplrednisolon IV 500 mg selama 5 hari, dan
prednison 100 mg atau prednisolon 40-60 mg oral. Tidak ada perbedaan antara
kelompok yang diberikan steroid dengan kelompok plasebo dalam hal perbaikan
grade dalam 4 minggu setelah pemberian, perbaikan kekuatan motorik,
ketergantungan ventilator, mortalitas, disabilitas dalam 1 tahun. Komplikasi
antara kelompok steroid dan plasebo setara kecuali hipertensi lebih banyak pada
kelompok plasebo. Pada kesimpulannya, steroid tidak direkomendasikan untuk
GBS (level A, kelas I). Efektivitas kombinasi IVIG dan streroid belum dapat
dibuktikan.

2.9 Prognosis

Prognosis GBS tergantung dari variannya. Faktor prognostik buruk


meliputi usia > 60 tahun, progresi cepat menjadi tetraparesis dalam 1 minggu,
intubasi, dan amplitudo motorik distal < 20%. 6,8,9,10

6
Table 5. Skala diasibilitas Guillain-Barre´ syndrome menurut Hughes et al. (1978)

Tabel 6. Faktor prediktif pada Guillain-Barré Syndrome 8

Anda mungkin juga menyukai