Anda di halaman 1dari 32

Presentasi Kasus Bangsal

MYASTHENIA GRAVIS + TIMEKTOMI

Oleh: dr. Isa Rahmatikawati


Moderator: dr. Trianggoro Budisulistyo, Sp.S(K), Dipl. of Pain

PPDS I NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONOGORO
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. KARIADI SEMARANG
2020
BAB I
PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
Miastenia gravis adalah salah satu karakteristik penyakit autoimun pada manusia yang
disebabkan oleh antibodi yang mengenai reseptor asetilkolin di post sinap, sehingga
menyebabkan berkurangnya kemampuan otot untuk berdepolarisasi dengan gambar klasik
berupa kelemahan yang berfluktuatif pada otot-otot ekstra okuler, bulbar dan otot-otot proksimal.
Selama beberapa dekade terakhir telah dilakukan penelitian tentang gejala miastenia pada
kelinci yang diimunisasi dengan acetylcholine receptor (AchR). Sedangkan pada manusia yang
menderita miastenia gravis, ditemukan adanya defisiensi dari acetylcholine receptor (AchR)
pada neuromuscular junction. Pada tahun 1977, karakteristik autoimun pada miastenia gravis
dan peran patogenik dari antibodi AchR telah berhasil ditemukan melalui beberapa penelitian.
Hal ini meliputi demonstrasi tentang sirkulasi antibodi AchR pada hampir 90% penderita
miastenia gravis, transfer pasif IgG pada beberapa bentuk penyakit dari manusia ke tikus,
lokalisasi imun kompleks (IgG dan komplemen) pada membran post sinaptik, dan efek
menguntungkan dari plasmaparesis1.
Kemudian terdapat perkembangan dalam pengertian tentang struktur dan fungsi dari
AchR serta interaksinya dengan antibodi AchR. Hubungan antara konsentrasi,spesifisitas, dan
fungsi dari antibodi terhadap manifestasi klinik pada miastenia gravis telah dianalisis dengan
sangat hati-hati, dan mekanisme dimana antibodi AchR mempengaruhi transmisi neuromuskular
telah diinvestigasi lebih jauh1.
Kelainan miastenik yang terjadi secara genetik atau kongenital, dapat terjadi karena
berbagai faktor. Hal ini menyebabkan sindrom miastenik kongenital banyak diteliti dan
diinvestigasi. Akhirnya, kelainan pada transmisi neuromuskular yang berbeda dari miastenia
gravis yaitu The Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome ternyata juga merupakan kelainan yang
berbasis autoimun. Pada sindrom ini, zona partikel aktif dari membran presinaptik merupakan
target dari autoantibodi yang patogen baik secara langsung maupun tidak langsung.1
Walaupun terdapat banyak penelitian tentang terapi miastenia gravis yang berbeda-beda,
tetapi tidak dapat diragukan bahwa terapi imunomodulasi dan imunosupresif dapat memberikan
prognosis yang baik pada penyakit ini. Ironisnya, beberapa dari terapi ini justru diperkenalkan
saat pengetahuan dan pengertian tentang imunopatogenesis masih sangat kurang.1,2
Miastenia Gravis dapat terjadi pada semua kelompok umur. Angka kejadian tahunan
Miastenia Gravis adalah 8 sampai 10 kasus per satu juta penduduk dengan prevalensi 150-250
kasus per 1 juta, dan merupakan penyakit neuromuskulkar dengan frekuensi terbanyak.
Berdasarkan RISKESDAS tahun 2010, insidensi Miastenia Gravis di Indonesia diperkirakan 1
kasus dari 100.000. Data yang didapatkan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta
terdapat 94 kasus dengan diagnosa Miastenia Gravis pada periode tahun 2010-2011. Data
penderita Miastenia Gravis yang berobat ke Poli Merpati Rumah Sakit Dokter Kariadi pada
tahun 2016 adalah sebanyak 62 orang.
Krisis miastenik adalah salah satu kegawatan neurologi yang terjadi pada kasus-kasus
Miastenia Gravis. Krisis miatenik ditandai oleh kelemahan otot-otot bulbar dan otot pernafasan.
Perawatan krisis miastenik dianjurkan di ruangan ICU.3,4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Myasthenia gravis (MG) adalah suatu penyakit autoimun yang disebabkan oleh
rusaknya reseptor asetilkolin pada post sinaptik yang mengenai neuromuscular junction,
bercirikan kelelahan otot dan kelemahan yang berfluktuasi. Sesuai dengan namanya,
merupakan kelemahan muskuler dengan prognosis buruk (grave = berat, parah). Aktifitas
sekelompok otot yang berulang atau persisten menyebabkan kelelahan kontraksi, sehingga
timbul paresis progresif. Istirahat akan mengembalikan setidaknya sebagian kekuatan otot.
Manifestasi klinis pasien, dengan asumsi bahwa pasien kooperatif, terkadang sudah cukup
untuk menegakkan diagnosis penyakit ini.3,5
Kasus MG pertama kali dideskripsikan tahun 1664 sebagai suatu kondisi di mana
seseorang kehilangan tonus otot dan kelopak mata cenderung menutup. Pada tahun 1877,
Wilks melaporkan seorang wanita yang mengalami kondisi paralisis bulbar yang berat dan
berakhir dengan kematian namun tidak ditemukan penyakit yang mendasari. Pada tahun
1895, Jolly adalah orang yang pertama kali menggunakan istilah myasthenia gravis dan ia
juga mengusulkan pemakaian fisostigmin sebagai obatnya namun hal ini tidak berlanjut.
Pada tahun 1934, Mary Walker menemukan bahwa gejala pada MG serupa dengan
intoksikasi curare. Dan pemakaian obat fisostigmin baik untuk MG. Pada tahun 1937,
Blabock melaporkan pasien MG yang diberikan kolinesterase inhibitor dan timektomi
mengalami perbaikan klinis. Pada tahun 1959-1960, Nastuk mengemukakan proses autoimun
sebagai penyebab MG. Penggunaan terapi kortikosteroid, azathioprine, dan plasmapharesis
pada MG mulai dikenalkan pada tahun 1970.3,6
Myasthenia gravis dapat berupa kelainan kongenital maupun didapat. Sindrom
miastenik kongenital diklasifikasikan menurut pola pewarisan atau lokasi defeknya, dapat pre
sinaptik atau post sinaptik. Pasien dengan myasthenia kongenital dapat bermanifestasi sejak
masa bayi sampai kanak-kanak awal berupa kelemahan fatigue mengenai okuler, bulbar, dan
otot anggota gerak dengan riwayat pada keluarga yang positif. Kelainan yang didapat lebih
umum terjadi, akibat dari autoantibodi terhadap reseptor asetilkolin post sinaptik.6

B. EPIDEMIOLIGI
Prevelansi MG adalah 14 per 100.000 populasi ( kira-kira 17,000 kasus) di Amerika.
MG mempunyai prevalensi 85-125 per juta, dan insidensi per tahun 2-4 per juta. 3,4,6
Peningkatan prevalensi ini kemungkinan disebabkan perbaikan dari diagnosis dan
penatalaksanaan myasthenia gravis serta peningkatan usia rata-rata yang hidup di populasi
secara umum. MG pada anak-anak jarang didapatkan di Eropa dan Amerika Utara, hanya
kira-kira 10-15% dari kasus MG, namun kasus MG pada anak lebih sering di negara-negara
Asia seperti China, dimana 50 % pasien mempunyai onset penyakit MG dibawah umur 15
tahun, kebanyakan dengan manifestasi ocular.3-5
Puncak insidens penyakit ini bersifat bimodal, dengan puncak pertama dijumpai pada
usia 20 hingga 40 tahun dengan perbandingan pria dan wanita 1:3 dan puncak kedua pada
usia diatas 50 tahun dengan perbandingan pria dan wanita 3:2. Pada usia 60 tahun hingga 80
tahun yang sama antara wanita dan pria. Studi epidemiologi di jepang dan kanada
mendapatkan peningkatan kasus Miastenia Gravis pada usia tua sejak satu decade terakhir.
Di Indonesia belum ada data yang pasti mengenai jumlah kasus Miastenia Gravis.7,8

C. ANATOMI, FISIOLOGIS dan BIOKIMIA NEUROMUSCULAR JUNCTION


1. Anatomi Neuromuscular Junction
Sebelum memahami tentang miastenia gravis, pengetahuan tentang anatomi dan
fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah penting. Tiap-tiap serat saraf secara
normal bercabang beberapa kali dan merangsang tiga hingga beberapa ratus serat otot
rangka. Ujung-ujung saraf membuat suatu sambungan yang disebut neuromuscular
junction atau sambungan neuromuscular.9
Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya yang disebut
terminal bulb, yang terbentang diantara celah-celah yang terdapat di sepanjang serat
saraf. Membran presinaptik (membran saraf), membran post sinaptik (membran otot),
dan celah sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk neuromuscular junction.9
Gambar 1. Anatomi Neuromuskular Junction
2. Fisiologi dan Biokimia Neuromuscular Junction
Celah sinaps merupakan jarak antara membran presinaptik dan membran post
sinaptik. Lebarnya berkisar antara 20-30 nanometer dan terisi oleh suatu lamina basalis,
yang merupakan lapisan tipis dengan serat retikular seperti busa yang dapat dilalui oleh
cairan ekstraselular secara difusi.9,10
Terminal presinaptik mengandung vesikel yang didalamnya berisi asetilkolin
(ACh). Asetilkolin disintesis dalam sitoplasma bagian terminal namun dengan cepat
diabsorpsi ke dalam sejumlah vesikel sinaps yang kecil, yang dalam keadaan normal
terdapat di bagian terminal suatu lempeng akhir motorik (motor end plate).9,10
Bila suatu impuls saraf tiba di neuromuscular junction, kira-kira 125 kantong
asetilkolin dilepaskan dari terminal masuk ke dalam celah sinaps. Bila potensial aksi
menyebar ke seluruh terminal, maka akan terjadi difusi dari ion-ion kalsium ke bagian
dalam terminal. Ion-ion kalsium ini kemudian diduga mempunyai pengaruh tarikan
terhadap vesikel asetilkolin. Beberapa vesikel akan bersatu ke membran saraf dan
mengeluarkan asetilkolinnya ke dalam celah sinaps. Asetilkolin yang dilepaskan berdifusi
sepanjang sinaps dan berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChRs) pada membran post
sinaptik9,10
Gambar 2. Fisiologi dan Biokimia Neuromuskular Junction
Sintesis asetil kolin terjadi dalam sitosol terminal saraf dengan menggunakan
enzim kolin asetiltransferase yang mengkatalisasi reaksi berikut ini: Asetil-KoA + Kolin
à Asetilkolin + KoA. Asetilkolin kemudian disatukan ke dalam partikel kecil terikat-
membran yang disebut vesikel sinap dan disimpan di dalam vesikel ini. Pelepasan
asetilkolin dari vesikel ke dalam celah sinaps merupakan tahap berikutnya. Peristiwa ini
terjadi melalui eksositosis yang melibatkan fusi vesikel dengan membran presinaptik.
Dalam keadaan istirahat, kuanta tunggal (sekitar 10.000 molekul transmitter yang
mungkin sesuai dengan isi satu vesikel sinaps) akan dilepaskan secara spontan sehingga
menghasilkan potensial endplate miniature yang kecil. Kalau sebuah akhir saraf
mengalami depolarisasi akibat transmisi sebuah impuls saraf, proses ini akan membuka
saluran Ca2+ yang sensitive terhadap voltase listrik sehingga memungkinkan aliran masuk
Ca2+ dari ruang sinaps ke terminal saraf. Ion Ca2+ ini memerankan peranan yang esensial
dalam eksositosis yang melepaskan asitilkolin (isi kurang lebih 125 vesikel) ke dalam
rongga sinaps. Asetilkolin yang dilepaskan akan berdifusi dengan cepat melintasi celah
sinaps ke dalam reseptor di dalam lipatan taut (junctional fold), merupakan bagian yang
menonjol dari motor end plate yang mengandung reseptor asetilkolin (AChR) dengan
kerapatan yang tinggi dan sangat rapat dengan terminal saraf. Kalau 2 molekul asetilkolin
terikat pada sebuah reseptor, maka reseptor ini akan mengalami perubahan bentuk dengan
membuka saluran dalam reseptor yang memungkinkan aliran kation melintasi membran.
Masuknya ion Na+akan menimbulkan depolarisasi membran otot sehingga terbentuk
potensial end plate. Keadaan ini selanjutnya akan menimbulkan depolarisasi membran
otot di dekatnya dan terjadi potensial aksi yang ditransmisikan disepanjang serabut saraf
sehingga timbul kontraksi otot. Kalau saluran tersebut menutup, asetilkolin akan terurai
dan dihidrolisis oleh enzim asetilkolinesterase yang mengkatalisasi reaksi berikut:
Asetilkolin + H2O à Asetat + Kolin. Enzim yang penting ini terdapat dengan jumlah yang
besar dalam lamina basalis rongga sinaps. Kolin didaur ulang ke dalam terminal saraf
melalui mekanisme transport aktif di mana protein tersebut dapat digunakan kembali bagi
sintesis asetilkolin. Setiap reseptor asetilkolin merupakan kompleks protein besar dengan
saluran yang akan segera terbuka setelah melekatnya asetilkolin. Kompleks ini terdiri dari
5 protein subunit, yatiu 2 protein alfa, dan masing-masing satu protein beta, delta, dan
gamma. Melekatnya asetilkolin memungkinkan natrium dapat bergerak secara mudah
melewati saluran tersebut, sehingga akan terjadi depolarisasi parsial dari membran post
sinaptik. Peristiwa ini akan menyebabkan suatu perubahan potensial setempat pada
membran serat otot yang disebut excitatory postsynaptic potential (potensial lempeng
akhir). Apabila pembukaan gerbang natrium telah mencukupi, maka akan terjadi suatu
potensial aksi pada membran otot yang selanjutnya menyebabkan kontraksi otot.9,10

Gambar 3. Perbandingan NMJ normal dan NMJ pada MG

D. ETIOLOGI dan PATOGENESIS


Pasien myasthenia gravis memiliki antibodi untuk reseptor asetilkolin (ACh). ACh
adalah suatu neurotransmiter yang berada di daerah jaringan otot yang menerima impuls
saraf (disebut neuromuscular junctions) yang berfungsi mengontrol kontraksi otot. Antibodi
reseptor ACh pada pasien myasthenia gravis akan menghalangi asetilkolin berikatan dengan
reseptor sel otot. Transmisi impuls saraf menjadi terganggu sehingga serat-serat otot tidak
mampu berkontraksi.11
Kelemahan dan kelelahan (fatigue) myasthenik dijelaskan sebagai akibat gagalnya
transmisi neuromuskuler di sisi post sinaptik. Jumlah reseptor berkurang drastis disertai
aktifitas kompetitif antibodi anti-AchR menyebabkan amplitudo potensial end-plate
berkurang, sehingga potensial aksi beberapa serat saraf berkurang. Akumulasi terhalangnya
transmisi saraf di banyak end-plate menyebabkan berkurangnya kekuatan kontraksi otot.
Defek ini pertama kali terlihat pada otot-otot kranial dan okuler, sebab kontraksinya paling
aktif dan kontinu sedangkan AChR per motor unitnya paling sedikit.11
Mengenai bagaimana antibodi bekerja di permukaan reseptor end-plate masih
diselidiki. Transmisi neuromuskuler mungkin terganggu melalui beberapa cara : (1) Antibodi
mungkin memblok ikatan ACh ke AChR. (2) Serum IgG pasien myasthenik menunjukkan
peningkatan rangsangan 2-3 kali lipat untuk mendegradasi AChR. Ini dapat akibat kapasitas
antibodi untuk melakukan cross-link reseptor, yang kemudian menuju ke kelompok otot
melalui membran otot, dimasukkan lewat proses endositosis dan didegradasi. (3) Antibodi
dapat menyebabkan destruksi complement-mediated di bagian post sinaptik (Engel &
Arahata). Meskipun terdapat bukti-bukti bahwa mekanisme autoimun berperan menyebabkan
gangguan fungsional otot pada kasus myasthenia gravis, namun sumber respon autoimun
yang terjadi masih belum dapat ditentukan. Mayoritas pasien myasthenia gravis memiliki
abnormalitas thymik serta menunjukkan respon baik dengan thymektomi, maka logis untuk
menyimpulkan bahwa reaksi limfoid kelenjar thymus adalah patogenesis penyakit ini.11
Subgroup MG dengan timoma biasanya mempunyai antibodi AChR dan biasanya
subgroup ini banyak pada tipe kortikal. MG timoma terjadi pada setiap umur dan paling
sering onset pada usia 50 tahun, subgroup sama banyak pada wanita dan pria serta adanya
antibodi titin dan RyR pada pasien MG dengan timoma. Adanya timoma tidak
memperburukan kondisi MG. Menurut penelitian Romi F (2005), pasien MG dengan timoma
dan tanpa timoma dibandingkan prognosis jangka panjang dan didapati prognosisnya adalah
hampir sama.12,13
Sesuai laporan terdapat perbedaan patogenesis diantara antibodi AChR positif dan
negatif tanpa bukti timoma, termasuk adanya antibodi kinase spesifik otot pada 10-40%
pasien MG dengan antibodi AChR negatif. . Pasien seronegatif yaitu pasien antibodi AChR
negatif tanpa bukti adanya timoma yang tidak mempunyai antibodi kinase spesifik otot
26
mempunyai gejala klinis MG yang lebih ringan dibandingkan pasien MG seropositif.
Pasien MG seronegatif yang tidak mempunyai antibodi kinase spesifik otot namun
mempunyai antibodi patogenik terhadap otot yang bersirkulasi dan antibodi ini masih belum
diidentifikasi.12,13

Gambar 4.Patofisiologi reseptor asetilkolin (ACh)12


Berbagai obat dapat menyebabkan atau memperburuk gejala MG, termasuk yang
berikut:7
 Antibiotik (misalnya aminoglikosida, polymyxins, siprofloksasin, eritromisin, dan
ampisilin)
 Penisilamin - Ini dapat menyebabkan miastenia sejati, dengan tinggi anti-ACHR titer
antibodi terlihat pada 90% kasus, namun, kelemahan ringan, dan pemulihan penuh
dicapai minggu sampai bulan setelah penghentian obat
 Beta-adrenergik reseptor memblokir agen (misalnya, propranolol dan oxprenolol)
 Lithium
 Magnesium
 Procainamide
 Verapamil
 Quinidine
 Klorokuin
 Prednisone
 Timolol (yaitu, agen beta-blocking topikal digunakan untuk glaukoma)
 Antikolinergik (misalnya, trihexyphenidyl)
 Agen memblokir neuromuscular (misalnya, vecuronium dan curare) - Ini harus
digunakan dengan hati-hati pada pasien myasthenic untuk menghindari blokade
neuromuskuler yang berkepanjangan
 Nitrofurantoin juga telah dikaitkan dengan perkembangan MG okular dalam 1 laporan
kasus; penghentian pemberian obat mengakibatkan pemulihan lengkap.

Gambar 5. Mekanisme Patofisiologi Miastenia Gravis11

E. KLASIFIKASI
Terdapat beberapa jenis klasifikasi Miastenia Gravis, diantaranya berdasarkan gejala
klinis, antibody yang ditemukan pada pasie, dan riwayat MG dalam keluarga.
Pada praktik sehari-hari, penderita MG dikelompokkan ke dalam subgroup
berdasarkan kriteria sebagai berikut:4
1. Berdasarkan tipe gejala klinis:
 MG Okular (20% dari keseluruhan MG)
 MG generalisata
2. Berdasarkan awitas usia:
 MG awitan awal sebelum usia 50 tahun (early onset MG)
 MG awitan lanjut mulai dan setelah usia 50 tahun (late onset MG)
3. Berdasarkan spesifitas antibody:
 Anti-AChR positif
 Anti-Muscle-specific receptor tyrosine kinase (MuSK) positif
 Anti-low-density lipoprotein receptor-related protein 4 (LRP4)
 Seronegative MG
4. Patologi dari timus:
 Normal/atrofi timus
 Timitis
 Paraneoplastik yang berhubungan dengan timoma8
Klasifikasi lain yang juga sering digunakan adalah klasifikasi yang disusun oleh the
Task Force of the Medicak Scientific Advisory Board of the Myasthenia Gravis Foundation
of America.4
Table 1. Klasifikasi Klinis Miastenia Gravis berdasarkan Myastenia Gravis Foundation og
America (MGFA)4
Kelas Deskripsi
I Kelemahan motoric terbatas pada ocular
Memiliki kesulitan dalam menutup mata
Kekuatan motoric lain normal
II Kelemahan motoric derajat ringan melibatkan otot lain selain ocular, dapat
ditemukan kelemahan motoric terbatas pada ocular dengan berbagai derajat.
IIa Kelemahan motoric lebih berat pada ekstremitas, batang tubuh, atau keduanya
Iib Kelemahan motoric lebih berat pada otot orofaring, respiratorik, atau keduanya
III Kelemahan motoric derajat sedang melibatkan otot lain selain ocular. Dapat
ditemukan kelemahan motoric terbatas pada ocular dengan berbagai derajat.
IIIa Kelemahan motoric lebih berat pada otot ekstremitas, batang tubuh, atau
keduanya
IIIb Kelemahan motoric lebih berat pada otot orofaring, respiratorik, atau keduanya
IV Kelemahan motoric derajat berat melibatkan otot lain selain ocular.
Dapat ditemukan kelemahan motoric terbatas pada ocular dengan berbagai
derajat.
IVa Kelemahan motoric lebih berat pada otot ekstremitas, batang tubuh, atau
keduanya.
Ivb Kelemahan motoric lebih berat pada otot orofaring, respiratorik, atau keduanya
V Membutuhkan intubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik, terkecuali
dilakukan pasca operasi.
Pemberian nutrisi enteral tanpa intubasi termasuk ke kelompok IVb
Untuk menilai tingkat respon terhadap terapi dan prognosis, Osserman membuat
klasifikasi klinis sebagai berikut :4
1. Kelompok I Miastenia Okular : hanya menyerang otot-otot okular, disertai ptosis dan
diplopia. Sangat ringan dan tidak ada kasus kematian (15-20 %)
2. Kelompok II A : Miastenia umum ringan : progres lambat, biasanya pada mata,
lambat laun menyebar ke otot-otot rangka dan bulbar. Sistem pernafasan tidak
terkena, respon terhadap terapi obat baik angka kematian rendah (30 %)
Kelompok II B : Miastenia umum sedang : progres bertahap dan sering disertai
gejala-gejala okular, lalau berlanjut semakin berat dengan terserangnya otot-otot
rangka dan bulbar. Respon terhadap terapi obat kurang memuaskan dan aktivitas
pasien terbatas. (25 %)
3. Kelompok III: Miastenia fulminan akut : progres yang cepat dengan kelemahan otot-
otot rangka dan bulbar yang berat disertai mulai terserangnya otot-otot pernafasan.
Biasanya penyakit berkembang maksimal dalam waktu 6 bulan. Dalam kelompok
ini, persentase thymoma paling tinggi. Respon terhadap obat bururk dan angka
kematian tinggi. (15%)
4. Kelompok IV : Miastenia Berat lanjut : timbul paling sedikit 2 tahun sesudah
progress gejala-gejala kelompok I atau II. Respon terhadap obat dan prognosis buruk.
(10 %)4

F. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Pasien dapat muncul dengan keluhan diplopia dan wajah myasthenik (kelopak
mata jatuh tidak simetris, sudut mulut turun, rahang menggantung dan harus ditopang
dengan tangan). Meskipun begitu, hanya sedikit pasien yang datang dengan keluhan
menyeluruh seperti di atas. Keluhan yang disadari pasien adalah kelelahan otot yang
nyata setelah beraktifitas dan berkembang seiring perjalanan hari. Juga dapat terjadi
ptosis, diplopia, sulit berbicara atau menelan, atau kelemahan anggota gerak yang ringan
dan tidak menetap. Gejala ini sering disalahartikan sebagai gejala penyakit
kardiovaskuler. Namun, jika ada temuan gejala berupa kelelahan nyata otot-otot kecil
kranial setelah aktifitas persisten (misalnya fiksasi mata menatap ke lateral atau vertikal
atau saat membaca setelah 2-3 menit) lalu kekuatan otot membaik setelah istirahat.
Pasien dapat ditanyakan beberapa hal seperti:
 Apakah munculnya kelemahan otot fluktuatif dan meningkat dengan aktivitas fisik?
 Apakah kelemahan meningkat sepanjang hari dan pulih dengan istirahat?
 Apakah muncul ptosis?
 Adakah kelemahan dari ekstensi dan fleksi kepala?
 Apakah kelemahan menyebar dari mata ke wajah untuk bulbar otot dan kemudian ke
truncal dan anggota tubuh?
 Apakah pasien memiliki riwayat keluarga yang menderita penyakit yang sama?
2. Pemeriksaan Fisik
Manifestasi paling jelas adalah kelelahan otot abnormal. Pada awalnya, kelelahan
terlihat pada otot yang mengandung motor unit terkecil namun gerakan kontraksinya
paling jelas terlihat. Kelompok otot ini yang akan bereaksi paling kuat terhadap
berkurangnya densitas reseptor asetilkolin, misalnya otot ekstraokuler, levator palpebra,
dan otot-otot mengunyah dan menelan.
Kelemahan otot okuler merupakan manifestasi awal penyakit pada sekitar
setengah kasus dan terjadi pada 90% kasus. Myasthenia okuler dengan kelemahan otot
okuler terisolasi terdapat pada 15% pasien, meskipun nantinya akan berkembang sebagai
myasthenia generalisata. Oleh sebab itu, gejala awal myasthenia gravis tersering adalah
diplopia, ptosis, disfagia dengan aspirasi berulang, serta sulit mengunyah makanan.
Meskipun demikian, pada dasarnya semua kelompok otot bisa terkena saat onset
penyakit. Gejala klinis ini kemudian akan memburuk seiring waktu, dan biasanya paling
jelas terasa saat malam hari. Aktifitas kelompok otot yang berulang-ulang akan
menyebabkan perburukan makin cepat.

Gambar 6. Ptosis Pada Miastenia gravis Generalisata10


A. Kelopak mata tidak simetris,kiri lebih rendah dari kanan.
B. Setelah menatap 30 detik ptosis semakin bertambah
Diagnosis Miastenia Gravis memerlukan kombinasi dari gejala klinis, peneriksaan
fisik dan tes konferensi berupa bedside diagnostic test, tes serologi, elektrofisiologi dan
pencitraan.
Beberapa uji diagnostic yang dapat mendukung diagnosis Miastenia Gravis:
a. Wartenberg test
Penderita diminta untuk menatap tanpa kedip selama 60 detik dengan sudut 30 derajat
pada suatu benda yang terletak di atas, kemudian di perhatikan kelopak mata pasien,
apabila terdapat kelemahan maka kelama-lamaan akan timbul ptosis.
b. Ice packed test
Dengan menempelkan es pada mata yang ptosis selama 2-5 menit maka akan terjadi
perbaikan pada ptosisnya. Sensitifitas pemeriksaan ini 84-92% dan spesifitasnya 97-
98%.24
c. Single breath counting test
Suara akan menghilang saat penderita MG disuruh berhitung dengan suara yang keras
dalam satu helaan nafas.3,4
d. Tes Edrophonium Bromida (Tensilon)
Edrophonium bromide (Tensilon) adalah asetilkoline esterase inhibitor kerja cepat
yang bisa dilakukan di tempat tidur. Efek terapi akan terlihat setelah 30 detik dan
durasi akan berakhir setelah 10 menit. Dosis inisial 2 mg (iv). Bila pasien dapat
mentolerasi dosis inisial dan perbaikan belum secara nyata terlihat, maka bisa
diberikan 8 mg lagi. Hasil yang positif dikatakan apabila terjadi perbaikan keluhan
setelah 2-5 menit.3,4

Gambar 7. Tes Tensilon


3. Laboratorium
Tes Serologi
a. Asetilkolin esterase receptor antibody (AChR ab)
Dapat dilakukan pemeriksaan antibodi anti-AChR menggunakan metode
radioimmunoassay, yang sensitif dan sangat spesifik untuk menegakkan diagnosis
myasthenia. Tes ini memberikan hasil yang positif sebanyak 80-85% pada pasien
Miastenia Gravis general dan 50% pada pasien miastenia gravis okuler. Positif palsu
pernah dilaporkan pada pasien dengan timoma tanpa Miastenia Gravis dan pasien
dengan Lambert Eaton Myastenia Syndrom (LEMS).7,12
b. Muscle Unspecified Tirosine Kinase (MuSK)
Antibody ini ditemukan pada 8-10% pasien MG. Wanita muda lebih sering
mengalami MG jenis ini dengan gejala klinis yang tidak khas seperti: gejala
kelemahan yang otot-otot orofaring, wajah dan leher disertai atrofi otot-otot bulbar,
yang kadang menyerupai gangguan saraf lain. Pada tipe ini jarang ditemukan
keterlibatan otot okuler, sehingga kadang sulit untuk menegakan diagnosis.7,12
Tabel 2. Gejala Klinis Myasthenia Gravis
Gejala Klinis Myasthenia Gravis
- Kelemahan progresif otot-otot individual.
- Kelemahan otot meningkat pada kontraksi cepat dan berulang.
- Pemulihan terjadi dalam hitungan menit, atau kurang dari 1 jam, dengan
beristirahat
- Kelemahan makin parah saat malam hari.
- Otot bola mata sering terkena saat awal sakit (ptosis, diplopia), atau otot faringeal
(disfagia, suara sengau).
- Derajat keparahan kelemahan otot bervariasi pada motor unit yang berbeda.
- Dapat terjadi krisis berupa penurunan kekuatan otot secara mendadak.
- Tidak ada atrofi atau fasikulasi.
- Ada kesembuhan (komplit atau parsial) gejala klinis setelah pemberian inhibitor
antikolinesterase, misalnya tes injeksi edrofonium klorida intravena (tes
Tensilon).
- Dapat terjadi peningkatan titer serum antibodi reseptor asetilkolin (meskipun
jarang ditemukan pada myasthenia okuler)
Gambar 8. Gejala klinis Myasthenia gravis
4. Pemeriksaan elekrodiagnostik
a. Nerve Conduction Studies dan Repetitive Stimulation
Nerve conduction studies rutin dan pemeriksaan EMG jarum dapat normal
pada MG, dan dapat membantu membedakan MG dengan kondisi lainnya seperti
myopathy. Karakteristik myasthenia adalah menurunnya amplitudo potensial aksi
sekelompok otot dengan cepat saat dilakukan perangsangan repetitif di saraf tepi (3
kali/detik). Reaksi ini disebut decrementing response. Respon ini akan menghilang
setelah pemberian neostigmin atau edrofonium. Respon decremental dapat terlihat
pada perangsangan otot wajah, tangan, atau otot proksimal ekstremitas. Gambaran
respon decremental pada pemeriksaan elektrofisiologi dapat dibedakan dari
gambaran potensiasi post-tetanik atau kelelahan post-aktivasi. Dekrementasi 10%
atau lebih amplitudo compound muscle action potential (CMAP) tampak pada
respon terhadap slow repetitive stimulation pada sekitar 50 – 70% pasien dengan
myasthenia generalisata tapi dapat normal pada myasthenia okuler. Untuk
diagnostik selanjutnya dibutuhkan stimulasi pada saraf proksimal (saraf aksesorius
spinal dan fasialis).21

Gambar 9. Stimulasi Repetitif pada Myasthenia Gravis7

b. EMG Single Fiber


EMG single-fiber adalah metode yang lebih sensitif untuk mendeteksi
gangguan transmisi neuromuskuler. Teknik ini menunjukkan interval inkonstan
antar serat otot di satu motor unit yang sama (jitter), atau blokade discharge yang
dihasilkan serat otot tunggal di motor unit yang sama. Tes ini membutuhkan
kerjasama dari pasien, sebab dibutuhkan kontraksi otot yang dipertahankan dalam
amplitudo tetap untuk memisahkan aksi tiap serat otot di motor unit yang sama. Jika
pemeriksa cukup sabar, tes ini juga dapat mendeteksi adanya pasangan serat (pairs
of fibers) melalui stimulasi listrik saraf. Velocity konduksi saraf dan latensi distal
normal kecuali jika ada polineuropati.21
Meskipun EMG single-fiber sangat sensitif tapi tidak spesifik. EMG single-
fiber dapat pula abnormal pada beberapa neuropatik lainnya dan penyakit miopatik.
Interpretasi EMG single-fiber sebaiknya dikombinasikan dengan presentasi klinis
dan pemeriksaan EMG rutin. 21

Gambar 10. EMG Single-fiber 7


5. Pencitraan
Seluruh pasien MG harus dilakukan pemeriksaan Cmputer Tomografi (CT) scan
atau Magnetic Ressonance Imaging (MRI) thorax untuk memastikan timoma. Foto
rontgen thorak memiliki nilai diagnostic ysng lebih rendah dibandingkan CT scan atau
MRI. Pencitraan diulang apabila terdapat relaps pada MG yang sebelumnya stabil untujk
menyingkirkan kemu ngkinan timoma, yang bisa muncul setelah tahap lanjut MG.3

Suspected MG

Clinical history/exam

Bedside maneuver (ice


test/tensilon) _ MuSK antibody

Ach-receptor-modulating/blocking
antibody

Repetitive nerve simulation


_
Ach receptor-binding
+
antibody

+ _

+
Single-fiber EMG
+ -

_
Myastenia gravis

Myasthenia unlikely
-
Pursue alternative diagnosis

Gambar 11. Alur Diagnostik Miastenia Gravis14

G. DIAGNOSIS BANDING MIASTENIA GRAVIS


1. Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome (LEMS)
LEMS adalah penyakit gangguan transmisi neuromuskuler yang kedua terbanyak
setelah MG. Lebih kurang 2/3 kasus LEMS adalah suatu kelainan yang bersifat
paraneoplastik yang dijumpai pada small cell carcinoma. Sebagian besar pasien
mengeluhkan kelemahan proksimal pada tungkai bawah.10
Tabel 3. Perbedaan LEMS dan MG10,15
LEMS MG
LOKASI DEFEK Pre-sinaps Post-sinaps
KOMPONEN NMJ Voltage gated calcium channels AChR pada celah sinaps
YANG TERKENA
GEJALA AWAL Kelemahan ekstremitas Kelemahan otot ekstra
okuler
PROGRESIVITAS Ekstremitas ke wajah Kraniokaudal
AKTIVITAS FISIK Memperbaiki kelemahan Memperburuk kelemahan
TUMOR YANG Small cell lung carcinoma Thymic tumours
MENYERTAI
REFLEKS TENDON Menurun/absen Intak
DALAM
GEJALA OTONOM + -
AUTOANTIBODI Antibodi anti Voltage gated Antibodi anti AChR
SERUM calcium channels pada
membran pre-sinaps
EMG RNS Increment Decrement

2. Botulismus
Toksin botulinum didapatkan melalui makanan dan minuman. Toksin botulinum
dimiliki Clostridium tetani. Manifestasi yang muncul dapat berupa gejala neurologi,
gastrointestinal, dan lain-lain. Disfagia, xerostomia, diplopia, dan disatria akan muncul
dan berkembang secara progresif dalam waktu 12-36 jam. Gejala lain yang timbul antara
lain kram abdomen, fatigue, dan dizziness. Kelemahan akan berkembang dari anggota
gerak atas ke anggota gerak bawah.
Ganggunan nervi craniales seperti ptosis, disfagia, hilangnya gag refleks, dan
nistagmus juga dapat dijumpai. Refleks tendon dalam dapat menurun atau hilang sama
sekali. Gangguan ototnom juga dapat terjadi. Refleks pupil biasanya akan menurun.10

H. TERAPI MIASTENIA GRAVIS


Strategi pengobatan pada pasien MG bersifat individual dan sangat bergantung
kepada kondisi masing-masing pasien. Terapi miastenia gravis dikelompokan menjadi 3
macam:
1. Terapi simtomatik
AChE inhibitor
AChEIs masih merupakan pengobatan lini pertama pada tahap awal MG atau
apabila dijumpai gejala yang masih ringan. AChEIs juga diberikan kepada pasien, yang
mengalami kelemahan residual, pasien yang mendapatkan imunoterapi, atau pasien yang
tidak dapat menerima pengobatan imunosupresif . AChEIs bekerja dengan cara
memperlambat degradasi ACh oleh AChE. AChEIs akan meningkatkan kadar ACh di
celah sinaps dan dengan demikian akan mengkompensasi jumlah AChR yang sedikit.
Namun, AChEIs hanya merupakan pengobatan simtomatik dan tidak mengobati
penyebab utama MG. 16-18
Dosis efektif AChEIs bersifat individual untuk setiap pasien dan harus
disesuaikan dengan usia, jenis kelamin dan faktor komorbidit. Efek samping yang sering
muncul adalah gangguan gastrointestinal yang berhubungan dengan peningkatan aktivitas
muscarinic. Gangguan tersebut antara mual, muntah, kram perut, dan diare. Efek samping
ini dapat diobati dengan pemberian antimuscarinics (loperamide hidroklorida,
diphenoxylate hidroklorida, bromide propantheline) tanpa mengurangi efek nicotinic
AChEIs. Pemberian AChEIs dapat menyebabkan krisis kolinergik yang ditandai oleh
kelemahan otot yang lebih besar disertai dengan peningkatan sekresi bronkial, diare, sakit
perut, hipersalivasi dan bradikardia (Juel 2007; Thanvi 2004; Garcia-Carrasco, 2007). 16-18
Pemberian AChEIs harus dihentikan pada kasus krisis miastenik karena dapat
mengacaukan manajemen bantuan nafas. Penggunaan AChEIs juga beresiko tinggi untuk
menyebabkan krisis kolinergik yang akan memperburuk kondisi gagal nafas pada pasien.
AChEIs juga dilaporkan menimbulkan aritmia dan infark miokard. AChEIs dapat mulai
diberikan kembali melalui NGT menjelang ekstubasi. 16-18
a. Pyridostigmine
Pyridostigmine bromida adalah obat yang paling banyak digunakan dalam
pengobatan MG. Pyridostigmine bromida umumnya memiliki toleransi yang lebih
baik daripada neostigmin bromida dan memiliki lebih sedikit efek samping
gastrointestinal (Juel 2005). Dosis awal pada dewasa adalah 15-30 mg diberikan
setiap 4-6 jam dan dapat ditingkatkan atau disesuaikan untuk memaksimalkan efek
terapi dan meminimalisir efek samping. Dosis dapat ditingkatkan hingga 90 mg tiga
atau empat kali sehari. Peningkatan kekuatan otot biasanya tampak 30 menit setelah
konsumsi dan berlangsung selama empat jam (Juel 2007). Pyridostigmin dapat
diberikan 30-60 menit sebelum makan pada pasien dengan gejala-gejala bulbar. Dosis
pyridostigmin melebih 450mg per hari (atau lebih rendah pada pasien dengan gagal
ginjal) dapat menyebabkan kelemahan otot yang lebih buruk karena adanya blok
depolarisasi pada transmisi neuromuskular. 19
b. Neostigmine
Neostigmin memiliki onset yang cepat namun efeknya hanya berlangsung 2-3
jam. Neostigmine diresepkan untuk pasien dengan MG okular. Neostigmine dapat
diberikan secara intravena atau subkutan, jika pasien mengalami kesulitan dengan
menelan. (Sghirlanzoni 1992). 16
Tabel 4. Dosis Obat Golongan Kolinesterase
Waktu hingga
Nama Obat Dosis Ekivalen Onset
Respon Maksimum
Piridostigmin
60 mg (oral) 40 menit 1 jam
(Mestinon)
Neostigmin oral 15 mg 1 jam 1.5 jam
Neostigmin IM 1.5 mg 30 menit 1 jam
Neostigmin IV 0.5 mg Segera 20 menit
2. Imunosupresan
Imunosupresan konvensional digunakan dalam MG untuk membantu untuk
mengurangi efek samping penggunaan kortikosteroid jangka panjang. Imunosupresan
konvensional bersifat lebih selektif pada fase tertentu dari siklus sel. Azathioprine,
cyclophosphamide, cyclosporine, mycophenolate mofetil dan tacrolimus adalah
imunosupresan yang paling sering digunakan dalam pengobatan MG. Imunosupresan
konvensional dapat dikombinasikan bersama-sama dengan glukokortikosteroid, hal ini
memungkinkan pengurangan dosis kortikosteroid dan dengan demikian meminimalkan
efek samping. Jika digunakan sebagai monoterapi, obat ini memerlukan waktu kerja yang
lama. Oleh karena itu disarankan untuk pengobatan dengan kortikosteroid dan kemudian
secara bertahap mengurangi dosis kortikosteroid. 18
a. Azathioprine
Azathioprine adalah anti metabolit purin yang mengganggu proliferasi sel T
dan sel B. Azathioprine adalah immunosupressan yang paling sering digunakan
sebagai terapi kombinasi dengan kortikosteroid. Azathioprine hanya memiliki sedikit
efek samping sehingga lebih dapat ditoleransi untuk pengobatan jangka panjang
dibandingkan dengan kortikosteroid. Dosis awal azathioprine adalah 50 mg / hari dan
dapat ditingkatkan setiap minggu hingga mencapai dosis pengobatan yang optimal
yaitu 2-2,5 mg / kg / hari. Kombinasi azathioprine dengan prednisone adalah
dianggap menguntungkan karena dapat memperlambat timbulnya efek samping
azathioprine. Efek samping azathioprine antara lain hepatotoksisitas, myelosupresi,
karsinogenik, dan teratogenesik, alopesia dan peningkatan risiko limfoma setelah
penggunaan jangka panjang. Pada pada 15-20% pasien, sebuah reaksi idiosinkrasi
dari gejala seperti influenza, dimana wajib distop, yang terjadi dalam 10-14 hari
setelah dimulainya azathioprine. Leukopeni dan hepatotoxicity adalah yang penting,
namun reversible jika dideteksi lebih awal dan dosis dari azathioprine diturunkan atau
distop. Penggunaan jangka panjang dari azathioprine mungkin meningkatkan resiko
dari perkembangan keganasan. Resiko ini bergantung pada durasi dan dosis sehingga
dosis efektif yang minimum dari azathioprine sebaiknya digunakan. 18
b. Cyclophosphamide
Cyclophosphamide adalah obat sitostatik dengan mekanisme alkilasi
digunakan terutama dalam pengobatan kanker. Cyclophosphamide dimetabolisme
oleh enzip p450 hepar menjadi phosphoramide mustard, bentuk aktif dari
siklofosfamid yang bertanggung jawab pada aktivitas alkilasi dan sifat sitotoksik.
Cyclophosphamide adalah agen yang sangat toksik dan bersifat teratogenik,
karsinogenik dan myelotosik. Cyclophosphamide juga dapat menyebabkan sistitis
hemoragik dan sterilitas. Cyclophosphamide digunakan untuk pasien dengan MG
yang berat dan dapat dikombinasikan dengan kortikosteroid bagi pasien yang tidak
berespon dengan pengobatan kortikosteroid saja (De Feo 2002). Dosis umum yang
digunakan 100-200 mg per hari.18

a. Cyclosporine
Cyclosporine adalah polipeptida siklik yang dihasilkan oleh Tolypocladium
terricola Hassan 1987). Sifatnya yang nefrotoksik dan banyak berinteraksi dengan
obat lain membuat cyclosporine menjadi obat lini kedua yang digunakan pada pasien
dengan Mgberat dan pasien yang refrakter terhadap pengobatan konvensional (Kahan
tahun 1989, Nyberg-Hnasen 1988). Cyclosporine mempengaruhi T-limfosit dan
menghambat produksi IL-2 dan sitokin lainnya. Sebuah studi randomized double
blind placebo-contolled menunjukkan peningkatan kekuatan otot pada pasien MG
yang menggunakan cyclosporine. Dosis cyclosporine standar 2,5 mg/kg diberikan
setiap 12 jam untuk mencapai kadar 100-150 ug / liter dalam serum. Pemantauan
kadar cyclosporine dalam serum diperlukan untuk mempertahankan konsentrasi dan
mencegah efek nefrotoksik. Efek samping lain cyclosporine antara lain hipertensi,
tremor, hirsuteness, sakit kepala, mual dan hipertrofi gingiva. Penelitian lain juga
menunjukkan cyclosporine dapat menginduksi proses karsinogenesis oleh mekanisme
seluler langsung termasuk merubag TGF-β.16
b. Methotrexate
Belum ada studi klinis mengenai efektivitas methotrexate dalam pengobatan
MG. Penggunaan methotrexate dapat dipertimbangkan pada pasien yang resisten
dengan obat lainnya. 18
3. Kortikosteroid
Pada kasus myasthenia gravis dengan kelemahan otot moderat atau berat dan
respon terhadap antikolinesterase kurang baik, dapat diberikan kortikosteroid jangka-
panjang (Pascuzzi et al). Jenis yang biasa diberikan adalah prednison (atau prednisolon)
dosis awal 15-20 mg.hari, ditingkatkan bertahap hingga dicapai respon klinis yang
memuaskan, atau hingga dosis 50-60 mg/hari tercapai.9
Peningkatan dosis kortikosteroid umumnya memperparah keluhan, sehingga
dibutuhkan rawat inap dan pengawasan pasien, terutama keluhan sulit bernafas.
Perbaikan klinis akan muncul setelah beberapa minggu. Jika efek terapi maksimal telah
tercapai, dosis dapat diturunkan bertahap.9

4. Plasmaferesis
Plasmaferesis adalah tindakan diambilnya seluruh darah dari pasien, lalu
dipisahkan menjadi beberapa komponen oleh suatu mesin, lalu komponen tertentu yang
berhasil dipisahkan dikembalikan lagi ke tubuh pasien. Komponen yang diambil untuk
dimasukkan kembali ke tubuh pasien adalah komponen padat, sedangkan komponen
cairnya (plasma) diganti dengan plasma dari sumber lain (dapat natural atau artifisial).
Pada perkembangannya, meskipun jarang digunakan dalam terapi penyakit saraf,
prosedur plasmaferesis ini dapat dilakukan untuk membuang hanya sel darah putih saja,
trombosit saja, atau imunoglobulin saja.21
Meskipun belum ada uji klinis terkontrol terhadap terapi plasmaferesis untuk
myasthenia gravis, namun manfaat plasmaferesis telah dilaporkan signifikan pada
beberapa seri kasus. Indikasi paling umum untuk dilakukan plasmaferesis pada pasien
myasthenia gravis adalah pada persiapan preoperatif serta terapi krisis myasthenik.
Plasmaferesis juga dapat digunakan sebagai terapi jangka-panjang.
Plasma axchange direkomendasikan untuk MG dengan gejala klinis berat, krisis
miastenia dan persiapan operasi (recommendation level B).20
5. Imunoglobulin Intravena (IV-Ig)
IV-Ig digunakan pada masa kontrol jangka-pendek untuk kasus perburukan akut
myasthenia. Dosis yang digunakan adalah 2 gr/kgBB diberikan dalam dosis terbagi
selama 3-5 hari. Beberapa seri kasus menyatakan bahwa efek terapi IV-Ig sama dengan
efek terapi plasmaferesis. Namun begitu, manfaat keduanya tidak pernah dibandingkan.
Juga perlu diingat bahwa kedua terapi ini hanya memberikan manfaat jangka-pendek
serta tidak dianggap sebagai terapi reguler myasthenia gravis 9. Plasma exchange atau
IVIG efektif untuk MG eksaserbasi ( recommendation level A). Terapi ini diberikan pada
pasien miastenia gravis eksaserbasi dan krisis miastenik.20
6. Timektomi
Thymektomi dianggap sebagai prosedur terapi yang sesuai untuk pasien
myasthenia gravis uncomplicated usia pubertas hingga 55 tahun. Pembedahan
dijadwalkan elektif dan tidak dilakukan saat periode akut myasthenia.21,22 Lebih kurang
65% pasien MG disertai dengan hiperplasia timus dan 15% pasien disertai dengan
timoma. Timektomi harus dilakukan pada pasien dengan timoma.22,23 Thymoma ini dapat
bersifat lokal invasif atau bermetastasis. Jika tumor tidak dapat diangkat seluruhnya, sisa
tumor diterapi dengan radiasi terfokus. Penyebaran lokal dan invasi ke nodus limfatikus
diterapi dengan kemoterapi Cisplatin.21,22
Pasien dengan MG dan adanya timoma merupakan indikasi untuk dilakukan
timektomi. Sedangkan pada pasien dengan Miastenia Gravis okuler haruslah dievaluasi
dengan CT ataupun MRI pada mediastinum. Meskipun timektomi dapatlah sangat efektif
pada pasien dengan MG okuler tanpa timoma karena dapat mencegah terjadinya MG
generalisata, tetapi banyak klinikus tidak merekomendasikan hal ini pada pasien yang
murni MG okuler, berdasarkan rekomendasi Guidelines AAN. Secara umum timektomi
tidaklah direkomendasikan (pada yang tidak terdapat timoma) pada MG Okuler. Dari 20-
50% pasien MG Okuler akan menjadi remisi tanpa dilakukan timektomi, dan belum
terdapat studi control yang dilakukan pada grup yang dioperasi. 22,23
Gambar 12. Algoritma Terapi Myasthenia Gravis

7. Nutrisi
Nutrisi yang cukup penting untuk menghindari balans energi negatif dan
memburuknya kekuatan otot. Semua pasien MG harus menerima nutrisi yang memadai
(25-35 kalori per kilogram) melalui rute enteral (bila memungkinkan). Diet rendah
karbohidrat merupakan pilihan ada pasien dengan hiperkarbia dan kesulitan weaning.
Selain langkah-langkah tersebut, abnormalitas laboratorium yang dapat mempengaruhi
kekuatan otot juga harus diperbaiki. Imbalans kalium, magnesium, dan fosfat dapat
memperburuk krisis miastenik sehingga harus dikoreksi dengan segera. Anemia juga
dapat memperburuk kelemahan otot. Beberapa ahli merekomendasikan transfusi ketika
hematokrit berada di bawah 30%.16

I. KOMPLIKASI
1. Krisis Miastenik
Krisis miastenik adalah perburukan gejala yag terjadi akibat provokasi factor-
faktor eksternal yang mengakibatkan kelemahan otot pernapasan/bulbar yang berat
sehingga membutuhkan bantuan ventilasi mekanik. Sebanyak 15-20% pasien MG
mengalami krisis miastenik dalam kehidupannya. Waktu rerata kritis MG 8-12 bulan
setelah onset, namun kadangkala krisis MG menjadi gejala inisial dari MG.3,14
Beberapa faktor risiko yang memperbesar kemungkinan terjadinya krisis
miastenia adalah infeksi, konsumsi obat-obat tertentu, psikis, kelainan endokrin, atau
ketidakseimbangan hormonal. Penanganan kondisi akut membutuhkan perawatan
komprehensif yang mencakup seluruh aspek organ dan dukungan ventilasi yang adekuat
serta mengurangi derajat hambatan neuromuscular. Kriteria kegawatan pernapasan pada
krisis miastenik dengan menilai vital capacity (VC) (<1 L atau <20-25 ml/kg), Negatif
Inspiratory force (NIF) < 20 cm H20 dan positif exspriratory force (PEF) (PEF) <40 CM
H20. P ada kondisi ini dibutuhkan ventilator mekanik. Intubasi elektif pada pasien
dengan impending gagal nafas lebih bermanfaat dari pada intubasi emergensi pada pasien
gagal napas.3,14
2. Krisis kolinergik
Merupakan kelemahan neuromuscular dan gagal napas akibat konsumsi obat
penghambat enzim AChE secara berlebihan. Gejalanya hampir serupa dengan krisis
miastenia. Walaupun jarang, krisis kolinergik dapat disebabkan oleh penggunaan bahan
kimia rumahan, pertanian, militer, atau bioterorisme yang memenuhi kerja asetilkolin.3
Gejala yang menandakan asetilkolin dalam jumlah berlebih dapat disingkat
DUMBBELL: Diaforesis, produksi Urin, Miosis, Bradikardia, sekresi Bronkial, Emesis,
Lakrimasi, feses encer (Loose stool). Perburukan gejala setelah pemberian edrofonium
intravena menandakan terjadi krisis kolinergik. Penghentian terapi sementara membantu
mengurangi gejala. Edrofonium memiliki efek antiaritmia. Gangguan kerja otot
pernafasan (intercostal dan diafragma) dan bulbar (laring dan faring) mengancam fungsi
paru-paru. Penilaian fungsi nafas spontan dan neuromuscular (termasuk reflex muntah
dan mmenelan) perlu dilakukan kontinu serta mempersiapkan alternative manajemen
jalan nafas dan oksigenasi.7
Table 5. Perbedaan krisis miastenia dan kolinergik 7,24
Pembeda Krisis miastenia Krisis kolinergik
Denyut jantung Takikardi Bradikardi
Otot Flaksid Flaksid dan fasikulasi
Pupil Normal atau midriasis Miosis
Kulit Pucat atau dingin Eritema dan hangat
Gastrointestinal Tidak ada perubahan Diare, kram perut
Sekresi kelenjar Tidak ada perubahan Meningkat
Uji edrophonium Membaik Memburuk

J. PROGNOSIS
1. Mortalitas pada MG yang tidak diterapi 25-31%
2. Pasien dengan MG okuler dengan hyperplasia timus memiliki angka kejadian relaps lebih
tinggi daripada pasien MG dengan gangguan timus lainnya.
3. Pasien MG yang menderita kelainan autoimun lainnya memiliki angka kejadian relaps
yang cukup tinggi.
4. Prognosis penderita MG juga dapat dievaluasi berdasarkan manifestasi klinis
menggunakan Myasthenia Gravis Composite Score dimana perbaikan klinis pasca terapi
lebih dari tiga poin menunjukan keluaran yang baik.7

Tatalaksana krisis miastenia

Krisis miastenia

Belum terdiagnosis MG MG positif

Rawat intensif Lanjutkan


Konfirmasi diagnostik
imunosupresant
(ICU)

Pemberian
immunoglobulin atau Hentikan
Plasmapheresis asetilkolinesterase
inhibitor
Tabel 6. Berbagai obat yang mempengaruhi transmisi neuromuscular7
Memperberat Berpotensi berbahaya
Aminoglikosida Penghambat reseptor beta
 Gentamisin  Propranolol
 Netimisin  Timolol
 Neomisin  Praktolol
 Tobramisin  Atenolol
 Streptomisin  Labetalol
Flurokuinolon  Metorolol
 Siprofloksasin  Nadolol
 Norfloksasin Penghambat kanal kalsium
 Ofloksasin  Verapamil
Ketolide Obat jantung lain
 Telithromisin  Prokainamid
Tetrasiklin  Bretilium
Sulfonamide  Trimethaphan
Penisilin Obat antiepilepsi
Makrolid  Fenitoin
 Azithromisin  Barbiturate
 Klarithromisin  Ethosuksimid
Ritonavir  Carbamazepin
Nitrofurantoin  Gabapentin
Obat mata
 Timolol
 Betaxolol HCl
 Echothiophate
Obat psikiatri
 Lithium
 Phenotiazin
 Amitriptilin
 Imipramine
 Amfetamin
 Haloperidol
Obat neurologi lain
 Riluzole
 Glatiramer asetat
Obat lain
 Fludarabine
 Cisplatin
 IL-2

Anda mungkin juga menyukai