PPDS I NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONOGORO
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. KARIADI SEMARANG
2020
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Miastenia gravis adalah salah satu karakteristik penyakit autoimun pada manusia yang
disebabkan oleh antibodi yang mengenai reseptor asetilkolin di post sinap, sehingga
menyebabkan berkurangnya kemampuan otot untuk berdepolarisasi dengan gambar klasik
berupa kelemahan yang berfluktuatif pada otot-otot ekstra okuler, bulbar dan otot-otot proksimal.
Selama beberapa dekade terakhir telah dilakukan penelitian tentang gejala miastenia pada
kelinci yang diimunisasi dengan acetylcholine receptor (AchR). Sedangkan pada manusia yang
menderita miastenia gravis, ditemukan adanya defisiensi dari acetylcholine receptor (AchR)
pada neuromuscular junction. Pada tahun 1977, karakteristik autoimun pada miastenia gravis
dan peran patogenik dari antibodi AchR telah berhasil ditemukan melalui beberapa penelitian.
Hal ini meliputi demonstrasi tentang sirkulasi antibodi AchR pada hampir 90% penderita
miastenia gravis, transfer pasif IgG pada beberapa bentuk penyakit dari manusia ke tikus,
lokalisasi imun kompleks (IgG dan komplemen) pada membran post sinaptik, dan efek
menguntungkan dari plasmaparesis1.
Kemudian terdapat perkembangan dalam pengertian tentang struktur dan fungsi dari
AchR serta interaksinya dengan antibodi AchR. Hubungan antara konsentrasi,spesifisitas, dan
fungsi dari antibodi terhadap manifestasi klinik pada miastenia gravis telah dianalisis dengan
sangat hati-hati, dan mekanisme dimana antibodi AchR mempengaruhi transmisi neuromuskular
telah diinvestigasi lebih jauh1.
Kelainan miastenik yang terjadi secara genetik atau kongenital, dapat terjadi karena
berbagai faktor. Hal ini menyebabkan sindrom miastenik kongenital banyak diteliti dan
diinvestigasi. Akhirnya, kelainan pada transmisi neuromuskular yang berbeda dari miastenia
gravis yaitu The Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome ternyata juga merupakan kelainan yang
berbasis autoimun. Pada sindrom ini, zona partikel aktif dari membran presinaptik merupakan
target dari autoantibodi yang patogen baik secara langsung maupun tidak langsung.1
Walaupun terdapat banyak penelitian tentang terapi miastenia gravis yang berbeda-beda,
tetapi tidak dapat diragukan bahwa terapi imunomodulasi dan imunosupresif dapat memberikan
prognosis yang baik pada penyakit ini. Ironisnya, beberapa dari terapi ini justru diperkenalkan
saat pengetahuan dan pengertian tentang imunopatogenesis masih sangat kurang.1,2
Miastenia Gravis dapat terjadi pada semua kelompok umur. Angka kejadian tahunan
Miastenia Gravis adalah 8 sampai 10 kasus per satu juta penduduk dengan prevalensi 150-250
kasus per 1 juta, dan merupakan penyakit neuromuskulkar dengan frekuensi terbanyak.
Berdasarkan RISKESDAS tahun 2010, insidensi Miastenia Gravis di Indonesia diperkirakan 1
kasus dari 100.000. Data yang didapatkan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta
terdapat 94 kasus dengan diagnosa Miastenia Gravis pada periode tahun 2010-2011. Data
penderita Miastenia Gravis yang berobat ke Poli Merpati Rumah Sakit Dokter Kariadi pada
tahun 2016 adalah sebanyak 62 orang.
Krisis miastenik adalah salah satu kegawatan neurologi yang terjadi pada kasus-kasus
Miastenia Gravis. Krisis miatenik ditandai oleh kelemahan otot-otot bulbar dan otot pernafasan.
Perawatan krisis miastenik dianjurkan di ruangan ICU.3,4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Myasthenia gravis (MG) adalah suatu penyakit autoimun yang disebabkan oleh
rusaknya reseptor asetilkolin pada post sinaptik yang mengenai neuromuscular junction,
bercirikan kelelahan otot dan kelemahan yang berfluktuasi. Sesuai dengan namanya,
merupakan kelemahan muskuler dengan prognosis buruk (grave = berat, parah). Aktifitas
sekelompok otot yang berulang atau persisten menyebabkan kelelahan kontraksi, sehingga
timbul paresis progresif. Istirahat akan mengembalikan setidaknya sebagian kekuatan otot.
Manifestasi klinis pasien, dengan asumsi bahwa pasien kooperatif, terkadang sudah cukup
untuk menegakkan diagnosis penyakit ini.3,5
Kasus MG pertama kali dideskripsikan tahun 1664 sebagai suatu kondisi di mana
seseorang kehilangan tonus otot dan kelopak mata cenderung menutup. Pada tahun 1877,
Wilks melaporkan seorang wanita yang mengalami kondisi paralisis bulbar yang berat dan
berakhir dengan kematian namun tidak ditemukan penyakit yang mendasari. Pada tahun
1895, Jolly adalah orang yang pertama kali menggunakan istilah myasthenia gravis dan ia
juga mengusulkan pemakaian fisostigmin sebagai obatnya namun hal ini tidak berlanjut.
Pada tahun 1934, Mary Walker menemukan bahwa gejala pada MG serupa dengan
intoksikasi curare. Dan pemakaian obat fisostigmin baik untuk MG. Pada tahun 1937,
Blabock melaporkan pasien MG yang diberikan kolinesterase inhibitor dan timektomi
mengalami perbaikan klinis. Pada tahun 1959-1960, Nastuk mengemukakan proses autoimun
sebagai penyebab MG. Penggunaan terapi kortikosteroid, azathioprine, dan plasmapharesis
pada MG mulai dikenalkan pada tahun 1970.3,6
Myasthenia gravis dapat berupa kelainan kongenital maupun didapat. Sindrom
miastenik kongenital diklasifikasikan menurut pola pewarisan atau lokasi defeknya, dapat pre
sinaptik atau post sinaptik. Pasien dengan myasthenia kongenital dapat bermanifestasi sejak
masa bayi sampai kanak-kanak awal berupa kelemahan fatigue mengenai okuler, bulbar, dan
otot anggota gerak dengan riwayat pada keluarga yang positif. Kelainan yang didapat lebih
umum terjadi, akibat dari autoantibodi terhadap reseptor asetilkolin post sinaptik.6
B. EPIDEMIOLIGI
Prevelansi MG adalah 14 per 100.000 populasi ( kira-kira 17,000 kasus) di Amerika.
MG mempunyai prevalensi 85-125 per juta, dan insidensi per tahun 2-4 per juta. 3,4,6
Peningkatan prevalensi ini kemungkinan disebabkan perbaikan dari diagnosis dan
penatalaksanaan myasthenia gravis serta peningkatan usia rata-rata yang hidup di populasi
secara umum. MG pada anak-anak jarang didapatkan di Eropa dan Amerika Utara, hanya
kira-kira 10-15% dari kasus MG, namun kasus MG pada anak lebih sering di negara-negara
Asia seperti China, dimana 50 % pasien mempunyai onset penyakit MG dibawah umur 15
tahun, kebanyakan dengan manifestasi ocular.3-5
Puncak insidens penyakit ini bersifat bimodal, dengan puncak pertama dijumpai pada
usia 20 hingga 40 tahun dengan perbandingan pria dan wanita 1:3 dan puncak kedua pada
usia diatas 50 tahun dengan perbandingan pria dan wanita 3:2. Pada usia 60 tahun hingga 80
tahun yang sama antara wanita dan pria. Studi epidemiologi di jepang dan kanada
mendapatkan peningkatan kasus Miastenia Gravis pada usia tua sejak satu decade terakhir.
Di Indonesia belum ada data yang pasti mengenai jumlah kasus Miastenia Gravis.7,8
E. KLASIFIKASI
Terdapat beberapa jenis klasifikasi Miastenia Gravis, diantaranya berdasarkan gejala
klinis, antibody yang ditemukan pada pasie, dan riwayat MG dalam keluarga.
Pada praktik sehari-hari, penderita MG dikelompokkan ke dalam subgroup
berdasarkan kriteria sebagai berikut:4
1. Berdasarkan tipe gejala klinis:
MG Okular (20% dari keseluruhan MG)
MG generalisata
2. Berdasarkan awitas usia:
MG awitan awal sebelum usia 50 tahun (early onset MG)
MG awitan lanjut mulai dan setelah usia 50 tahun (late onset MG)
3. Berdasarkan spesifitas antibody:
Anti-AChR positif
Anti-Muscle-specific receptor tyrosine kinase (MuSK) positif
Anti-low-density lipoprotein receptor-related protein 4 (LRP4)
Seronegative MG
4. Patologi dari timus:
Normal/atrofi timus
Timitis
Paraneoplastik yang berhubungan dengan timoma8
Klasifikasi lain yang juga sering digunakan adalah klasifikasi yang disusun oleh the
Task Force of the Medicak Scientific Advisory Board of the Myasthenia Gravis Foundation
of America.4
Table 1. Klasifikasi Klinis Miastenia Gravis berdasarkan Myastenia Gravis Foundation og
America (MGFA)4
Kelas Deskripsi
I Kelemahan motoric terbatas pada ocular
Memiliki kesulitan dalam menutup mata
Kekuatan motoric lain normal
II Kelemahan motoric derajat ringan melibatkan otot lain selain ocular, dapat
ditemukan kelemahan motoric terbatas pada ocular dengan berbagai derajat.
IIa Kelemahan motoric lebih berat pada ekstremitas, batang tubuh, atau keduanya
Iib Kelemahan motoric lebih berat pada otot orofaring, respiratorik, atau keduanya
III Kelemahan motoric derajat sedang melibatkan otot lain selain ocular. Dapat
ditemukan kelemahan motoric terbatas pada ocular dengan berbagai derajat.
IIIa Kelemahan motoric lebih berat pada otot ekstremitas, batang tubuh, atau
keduanya
IIIb Kelemahan motoric lebih berat pada otot orofaring, respiratorik, atau keduanya
IV Kelemahan motoric derajat berat melibatkan otot lain selain ocular.
Dapat ditemukan kelemahan motoric terbatas pada ocular dengan berbagai
derajat.
IVa Kelemahan motoric lebih berat pada otot ekstremitas, batang tubuh, atau
keduanya.
Ivb Kelemahan motoric lebih berat pada otot orofaring, respiratorik, atau keduanya
V Membutuhkan intubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik, terkecuali
dilakukan pasca operasi.
Pemberian nutrisi enteral tanpa intubasi termasuk ke kelompok IVb
Untuk menilai tingkat respon terhadap terapi dan prognosis, Osserman membuat
klasifikasi klinis sebagai berikut :4
1. Kelompok I Miastenia Okular : hanya menyerang otot-otot okular, disertai ptosis dan
diplopia. Sangat ringan dan tidak ada kasus kematian (15-20 %)
2. Kelompok II A : Miastenia umum ringan : progres lambat, biasanya pada mata,
lambat laun menyebar ke otot-otot rangka dan bulbar. Sistem pernafasan tidak
terkena, respon terhadap terapi obat baik angka kematian rendah (30 %)
Kelompok II B : Miastenia umum sedang : progres bertahap dan sering disertai
gejala-gejala okular, lalau berlanjut semakin berat dengan terserangnya otot-otot
rangka dan bulbar. Respon terhadap terapi obat kurang memuaskan dan aktivitas
pasien terbatas. (25 %)
3. Kelompok III: Miastenia fulminan akut : progres yang cepat dengan kelemahan otot-
otot rangka dan bulbar yang berat disertai mulai terserangnya otot-otot pernafasan.
Biasanya penyakit berkembang maksimal dalam waktu 6 bulan. Dalam kelompok
ini, persentase thymoma paling tinggi. Respon terhadap obat bururk dan angka
kematian tinggi. (15%)
4. Kelompok IV : Miastenia Berat lanjut : timbul paling sedikit 2 tahun sesudah
progress gejala-gejala kelompok I atau II. Respon terhadap obat dan prognosis buruk.
(10 %)4
F. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Pasien dapat muncul dengan keluhan diplopia dan wajah myasthenik (kelopak
mata jatuh tidak simetris, sudut mulut turun, rahang menggantung dan harus ditopang
dengan tangan). Meskipun begitu, hanya sedikit pasien yang datang dengan keluhan
menyeluruh seperti di atas. Keluhan yang disadari pasien adalah kelelahan otot yang
nyata setelah beraktifitas dan berkembang seiring perjalanan hari. Juga dapat terjadi
ptosis, diplopia, sulit berbicara atau menelan, atau kelemahan anggota gerak yang ringan
dan tidak menetap. Gejala ini sering disalahartikan sebagai gejala penyakit
kardiovaskuler. Namun, jika ada temuan gejala berupa kelelahan nyata otot-otot kecil
kranial setelah aktifitas persisten (misalnya fiksasi mata menatap ke lateral atau vertikal
atau saat membaca setelah 2-3 menit) lalu kekuatan otot membaik setelah istirahat.
Pasien dapat ditanyakan beberapa hal seperti:
Apakah munculnya kelemahan otot fluktuatif dan meningkat dengan aktivitas fisik?
Apakah kelemahan meningkat sepanjang hari dan pulih dengan istirahat?
Apakah muncul ptosis?
Adakah kelemahan dari ekstensi dan fleksi kepala?
Apakah kelemahan menyebar dari mata ke wajah untuk bulbar otot dan kemudian ke
truncal dan anggota tubuh?
Apakah pasien memiliki riwayat keluarga yang menderita penyakit yang sama?
2. Pemeriksaan Fisik
Manifestasi paling jelas adalah kelelahan otot abnormal. Pada awalnya, kelelahan
terlihat pada otot yang mengandung motor unit terkecil namun gerakan kontraksinya
paling jelas terlihat. Kelompok otot ini yang akan bereaksi paling kuat terhadap
berkurangnya densitas reseptor asetilkolin, misalnya otot ekstraokuler, levator palpebra,
dan otot-otot mengunyah dan menelan.
Kelemahan otot okuler merupakan manifestasi awal penyakit pada sekitar
setengah kasus dan terjadi pada 90% kasus. Myasthenia okuler dengan kelemahan otot
okuler terisolasi terdapat pada 15% pasien, meskipun nantinya akan berkembang sebagai
myasthenia generalisata. Oleh sebab itu, gejala awal myasthenia gravis tersering adalah
diplopia, ptosis, disfagia dengan aspirasi berulang, serta sulit mengunyah makanan.
Meskipun demikian, pada dasarnya semua kelompok otot bisa terkena saat onset
penyakit. Gejala klinis ini kemudian akan memburuk seiring waktu, dan biasanya paling
jelas terasa saat malam hari. Aktifitas kelompok otot yang berulang-ulang akan
menyebabkan perburukan makin cepat.
Suspected MG
Clinical history/exam
Ach-receptor-modulating/blocking
antibody
+ _
+
Single-fiber EMG
+ -
_
Myastenia gravis
Myasthenia unlikely
-
Pursue alternative diagnosis
2. Botulismus
Toksin botulinum didapatkan melalui makanan dan minuman. Toksin botulinum
dimiliki Clostridium tetani. Manifestasi yang muncul dapat berupa gejala neurologi,
gastrointestinal, dan lain-lain. Disfagia, xerostomia, diplopia, dan disatria akan muncul
dan berkembang secara progresif dalam waktu 12-36 jam. Gejala lain yang timbul antara
lain kram abdomen, fatigue, dan dizziness. Kelemahan akan berkembang dari anggota
gerak atas ke anggota gerak bawah.
Ganggunan nervi craniales seperti ptosis, disfagia, hilangnya gag refleks, dan
nistagmus juga dapat dijumpai. Refleks tendon dalam dapat menurun atau hilang sama
sekali. Gangguan ototnom juga dapat terjadi. Refleks pupil biasanya akan menurun.10
a. Cyclosporine
Cyclosporine adalah polipeptida siklik yang dihasilkan oleh Tolypocladium
terricola Hassan 1987). Sifatnya yang nefrotoksik dan banyak berinteraksi dengan
obat lain membuat cyclosporine menjadi obat lini kedua yang digunakan pada pasien
dengan Mgberat dan pasien yang refrakter terhadap pengobatan konvensional (Kahan
tahun 1989, Nyberg-Hnasen 1988). Cyclosporine mempengaruhi T-limfosit dan
menghambat produksi IL-2 dan sitokin lainnya. Sebuah studi randomized double
blind placebo-contolled menunjukkan peningkatan kekuatan otot pada pasien MG
yang menggunakan cyclosporine. Dosis cyclosporine standar 2,5 mg/kg diberikan
setiap 12 jam untuk mencapai kadar 100-150 ug / liter dalam serum. Pemantauan
kadar cyclosporine dalam serum diperlukan untuk mempertahankan konsentrasi dan
mencegah efek nefrotoksik. Efek samping lain cyclosporine antara lain hipertensi,
tremor, hirsuteness, sakit kepala, mual dan hipertrofi gingiva. Penelitian lain juga
menunjukkan cyclosporine dapat menginduksi proses karsinogenesis oleh mekanisme
seluler langsung termasuk merubag TGF-β.16
b. Methotrexate
Belum ada studi klinis mengenai efektivitas methotrexate dalam pengobatan
MG. Penggunaan methotrexate dapat dipertimbangkan pada pasien yang resisten
dengan obat lainnya. 18
3. Kortikosteroid
Pada kasus myasthenia gravis dengan kelemahan otot moderat atau berat dan
respon terhadap antikolinesterase kurang baik, dapat diberikan kortikosteroid jangka-
panjang (Pascuzzi et al). Jenis yang biasa diberikan adalah prednison (atau prednisolon)
dosis awal 15-20 mg.hari, ditingkatkan bertahap hingga dicapai respon klinis yang
memuaskan, atau hingga dosis 50-60 mg/hari tercapai.9
Peningkatan dosis kortikosteroid umumnya memperparah keluhan, sehingga
dibutuhkan rawat inap dan pengawasan pasien, terutama keluhan sulit bernafas.
Perbaikan klinis akan muncul setelah beberapa minggu. Jika efek terapi maksimal telah
tercapai, dosis dapat diturunkan bertahap.9
4. Plasmaferesis
Plasmaferesis adalah tindakan diambilnya seluruh darah dari pasien, lalu
dipisahkan menjadi beberapa komponen oleh suatu mesin, lalu komponen tertentu yang
berhasil dipisahkan dikembalikan lagi ke tubuh pasien. Komponen yang diambil untuk
dimasukkan kembali ke tubuh pasien adalah komponen padat, sedangkan komponen
cairnya (plasma) diganti dengan plasma dari sumber lain (dapat natural atau artifisial).
Pada perkembangannya, meskipun jarang digunakan dalam terapi penyakit saraf,
prosedur plasmaferesis ini dapat dilakukan untuk membuang hanya sel darah putih saja,
trombosit saja, atau imunoglobulin saja.21
Meskipun belum ada uji klinis terkontrol terhadap terapi plasmaferesis untuk
myasthenia gravis, namun manfaat plasmaferesis telah dilaporkan signifikan pada
beberapa seri kasus. Indikasi paling umum untuk dilakukan plasmaferesis pada pasien
myasthenia gravis adalah pada persiapan preoperatif serta terapi krisis myasthenik.
Plasmaferesis juga dapat digunakan sebagai terapi jangka-panjang.
Plasma axchange direkomendasikan untuk MG dengan gejala klinis berat, krisis
miastenia dan persiapan operasi (recommendation level B).20
5. Imunoglobulin Intravena (IV-Ig)
IV-Ig digunakan pada masa kontrol jangka-pendek untuk kasus perburukan akut
myasthenia. Dosis yang digunakan adalah 2 gr/kgBB diberikan dalam dosis terbagi
selama 3-5 hari. Beberapa seri kasus menyatakan bahwa efek terapi IV-Ig sama dengan
efek terapi plasmaferesis. Namun begitu, manfaat keduanya tidak pernah dibandingkan.
Juga perlu diingat bahwa kedua terapi ini hanya memberikan manfaat jangka-pendek
serta tidak dianggap sebagai terapi reguler myasthenia gravis 9. Plasma exchange atau
IVIG efektif untuk MG eksaserbasi ( recommendation level A). Terapi ini diberikan pada
pasien miastenia gravis eksaserbasi dan krisis miastenik.20
6. Timektomi
Thymektomi dianggap sebagai prosedur terapi yang sesuai untuk pasien
myasthenia gravis uncomplicated usia pubertas hingga 55 tahun. Pembedahan
dijadwalkan elektif dan tidak dilakukan saat periode akut myasthenia.21,22 Lebih kurang
65% pasien MG disertai dengan hiperplasia timus dan 15% pasien disertai dengan
timoma. Timektomi harus dilakukan pada pasien dengan timoma.22,23 Thymoma ini dapat
bersifat lokal invasif atau bermetastasis. Jika tumor tidak dapat diangkat seluruhnya, sisa
tumor diterapi dengan radiasi terfokus. Penyebaran lokal dan invasi ke nodus limfatikus
diterapi dengan kemoterapi Cisplatin.21,22
Pasien dengan MG dan adanya timoma merupakan indikasi untuk dilakukan
timektomi. Sedangkan pada pasien dengan Miastenia Gravis okuler haruslah dievaluasi
dengan CT ataupun MRI pada mediastinum. Meskipun timektomi dapatlah sangat efektif
pada pasien dengan MG okuler tanpa timoma karena dapat mencegah terjadinya MG
generalisata, tetapi banyak klinikus tidak merekomendasikan hal ini pada pasien yang
murni MG okuler, berdasarkan rekomendasi Guidelines AAN. Secara umum timektomi
tidaklah direkomendasikan (pada yang tidak terdapat timoma) pada MG Okuler. Dari 20-
50% pasien MG Okuler akan menjadi remisi tanpa dilakukan timektomi, dan belum
terdapat studi control yang dilakukan pada grup yang dioperasi. 22,23
Gambar 12. Algoritma Terapi Myasthenia Gravis
7. Nutrisi
Nutrisi yang cukup penting untuk menghindari balans energi negatif dan
memburuknya kekuatan otot. Semua pasien MG harus menerima nutrisi yang memadai
(25-35 kalori per kilogram) melalui rute enteral (bila memungkinkan). Diet rendah
karbohidrat merupakan pilihan ada pasien dengan hiperkarbia dan kesulitan weaning.
Selain langkah-langkah tersebut, abnormalitas laboratorium yang dapat mempengaruhi
kekuatan otot juga harus diperbaiki. Imbalans kalium, magnesium, dan fosfat dapat
memperburuk krisis miastenik sehingga harus dikoreksi dengan segera. Anemia juga
dapat memperburuk kelemahan otot. Beberapa ahli merekomendasikan transfusi ketika
hematokrit berada di bawah 30%.16
I. KOMPLIKASI
1. Krisis Miastenik
Krisis miastenik adalah perburukan gejala yag terjadi akibat provokasi factor-
faktor eksternal yang mengakibatkan kelemahan otot pernapasan/bulbar yang berat
sehingga membutuhkan bantuan ventilasi mekanik. Sebanyak 15-20% pasien MG
mengalami krisis miastenik dalam kehidupannya. Waktu rerata kritis MG 8-12 bulan
setelah onset, namun kadangkala krisis MG menjadi gejala inisial dari MG.3,14
Beberapa faktor risiko yang memperbesar kemungkinan terjadinya krisis
miastenia adalah infeksi, konsumsi obat-obat tertentu, psikis, kelainan endokrin, atau
ketidakseimbangan hormonal. Penanganan kondisi akut membutuhkan perawatan
komprehensif yang mencakup seluruh aspek organ dan dukungan ventilasi yang adekuat
serta mengurangi derajat hambatan neuromuscular. Kriteria kegawatan pernapasan pada
krisis miastenik dengan menilai vital capacity (VC) (<1 L atau <20-25 ml/kg), Negatif
Inspiratory force (NIF) < 20 cm H20 dan positif exspriratory force (PEF) (PEF) <40 CM
H20. P ada kondisi ini dibutuhkan ventilator mekanik. Intubasi elektif pada pasien
dengan impending gagal nafas lebih bermanfaat dari pada intubasi emergensi pada pasien
gagal napas.3,14
2. Krisis kolinergik
Merupakan kelemahan neuromuscular dan gagal napas akibat konsumsi obat
penghambat enzim AChE secara berlebihan. Gejalanya hampir serupa dengan krisis
miastenia. Walaupun jarang, krisis kolinergik dapat disebabkan oleh penggunaan bahan
kimia rumahan, pertanian, militer, atau bioterorisme yang memenuhi kerja asetilkolin.3
Gejala yang menandakan asetilkolin dalam jumlah berlebih dapat disingkat
DUMBBELL: Diaforesis, produksi Urin, Miosis, Bradikardia, sekresi Bronkial, Emesis,
Lakrimasi, feses encer (Loose stool). Perburukan gejala setelah pemberian edrofonium
intravena menandakan terjadi krisis kolinergik. Penghentian terapi sementara membantu
mengurangi gejala. Edrofonium memiliki efek antiaritmia. Gangguan kerja otot
pernafasan (intercostal dan diafragma) dan bulbar (laring dan faring) mengancam fungsi
paru-paru. Penilaian fungsi nafas spontan dan neuromuscular (termasuk reflex muntah
dan mmenelan) perlu dilakukan kontinu serta mempersiapkan alternative manajemen
jalan nafas dan oksigenasi.7
Table 5. Perbedaan krisis miastenia dan kolinergik 7,24
Pembeda Krisis miastenia Krisis kolinergik
Denyut jantung Takikardi Bradikardi
Otot Flaksid Flaksid dan fasikulasi
Pupil Normal atau midriasis Miosis
Kulit Pucat atau dingin Eritema dan hangat
Gastrointestinal Tidak ada perubahan Diare, kram perut
Sekresi kelenjar Tidak ada perubahan Meningkat
Uji edrophonium Membaik Memburuk
J. PROGNOSIS
1. Mortalitas pada MG yang tidak diterapi 25-31%
2. Pasien dengan MG okuler dengan hyperplasia timus memiliki angka kejadian relaps lebih
tinggi daripada pasien MG dengan gangguan timus lainnya.
3. Pasien MG yang menderita kelainan autoimun lainnya memiliki angka kejadian relaps
yang cukup tinggi.
4. Prognosis penderita MG juga dapat dievaluasi berdasarkan manifestasi klinis
menggunakan Myasthenia Gravis Composite Score dimana perbaikan klinis pasca terapi
lebih dari tiga poin menunjukan keluaran yang baik.7
Krisis miastenia
Pemberian
immunoglobulin atau Hentikan
Plasmapheresis asetilkolinesterase
inhibitor
Tabel 6. Berbagai obat yang mempengaruhi transmisi neuromuscular7
Memperberat Berpotensi berbahaya
Aminoglikosida Penghambat reseptor beta
Gentamisin Propranolol
Netimisin Timolol
Neomisin Praktolol
Tobramisin Atenolol
Streptomisin Labetalol
Flurokuinolon Metorolol
Siprofloksasin Nadolol
Norfloksasin Penghambat kanal kalsium
Ofloksasin Verapamil
Ketolide Obat jantung lain
Telithromisin Prokainamid
Tetrasiklin Bretilium
Sulfonamide Trimethaphan
Penisilin Obat antiepilepsi
Makrolid Fenitoin
Azithromisin Barbiturate
Klarithromisin Ethosuksimid
Ritonavir Carbamazepin
Nitrofurantoin Gabapentin
Obat mata
Timolol
Betaxolol HCl
Echothiophate
Obat psikiatri
Lithium
Phenotiazin
Amitriptilin
Imipramine
Amfetamin
Haloperidol
Obat neurologi lain
Riluzole
Glatiramer asetat
Obat lain
Fludarabine
Cisplatin
IL-2