Anda di halaman 1dari 20

PENDAHULUAN

Sindrom Guillain Barre (SGB) merupakan penyebab paling sering dari


paralisis generalisata akut atau subakut. SGB pertama kali dilaporkan pada tahun
1916 oleh Guillain, Barre dan Strohl. SGB mempunyai karakteristik kelemahan
anggota gerak simetris, progresif, ascendens, akut/subakut dengan parestesi distal
dan refleks tendo yang menurun atau menghilang pada pasien yang sebelumnya
sehat. Pada pemeriksaan LCS didapatkan disosiasi sitoalbumin. Secara mikroskopis

terjadi demielinisasi dan infiltrasi mononuklear pada radiks dan rami saraf tepi. 1

Deskripsi klasik dari GBS adalah bahwa dari neuropati demielinasi dengan
ascending paralisis, banyak varian klinis telah didokumentasikan dalam literatur
medis , dan varian yang melibatkan saraf kranial atau keterlibatan motorik murni dan
cedera aksonal dapat pula dijumpai . 1,2

Saat in SGB merupakan sebab terbanyak dari kasus paralisis akut di negara-
negara barat, setelah eradikasi polio melalui program-program vaksinasi. Dalam
bentuk klasik, SGB merupakan poliradikuloneuropati demyelinisasi karena proses
inflamasi. Kriteria diagnostik klinis yang telah ada mendeskripsikan penyakit SGB
secara khas / tipikal, tapi banyak kasus menyimpang dari definisi tersebut dan bukti
elektrofisiologis neuropati demyelinisasi akut merupakan gambaran penting untuk
kepastian diganosis. Ahli neurologi dapat dengan cepat mengidentifikasi kasus-kasus
yang khas, namun kesulitan diagnosis timbul dengan adanya sejumlah variasi
regional atau fungsional yang ditemukan dalam praktek klinis.1,2

Anamnesa dan pemeriksaan fisik memegang peranan penting dalam


menegakkan diagnosa dari sindrom guillain barre. Sekitar sepertiga dari pasien
memerlukan masuk ke unit perawatan intensif ( ICU ) , terutama karena kegagalan
pernapasan . Setelah stabilisasi medis , pasien dapat dirawat di bangsal perawatan
biasa, tapi tetap harus dilakukan monitor ketat untuk menjaga pernapasan , jantung ,
dan komplikasi medis lainnya . Pengobatan dengan imunoglobulin intravena ( IVIG )
atau pertukaran plasma dapat mempercepat pemulihan . Setelah pasien pulang , terapi

1
fisik rawat jalan dan terapi okupasi mungkin bermanfaat dalam membantu pasien
dengan GBS untuk mendapatkan kembali status fungsional dasar mereka.1,2

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Sindrom guillain barre merupakan suatu penyakit autoimun yang menyerang


saraf perifer dan didahului oleh suatu infeksi akut. Karekteristik dari sindrom guillain
barre adalah adanya paralisis ascenden. Ada beberapa bentuk dari SGB, diantaranya
adalah acute inflammatory demyelinating polyneuropathy (AIDP),Acute motor axonal
neuropathy(AMAN), Acute motor-sensory axonal neuropathy(AMSAN) Miller-Fisher
syndrome, Acute panautonomic neuropathy,dan Pure sensory GBS. 3,4

B. EPIDEMIOLOGI
Insiden per tahun adalah 0,6-1,9 kasus per 100.000 populasi. SGB mengenai semua
pasien dari semua tingkat sosial ekonomi, ras dan umur, walaupun tidak lazim dijumpai
pada umur-umur ekstrim. Insiden sedikit memuncak pada usia 30 dan 50 tahun, dengan
umur rata-rata 45 tahun pada penelitian prospektif yang kami lakukan. Kulit putih
tampaknya terkena secara tak proporsional dan terdapat sedikit predominansi laki-laki
pada laporan-laporan penelitian yang ada.5,6
Tidak didapatkan faktor-faktor genetik yang meningkatkan kerentanan terhadap
SGB, juga tidak didapatkan bukti bahwa SGB menular. Penelitian-penelitian berbasis
populasi maupun rumah sakit tak menunjukkan variasi musiman, namun SGB motor
aksonal akut yang ditemukan secara terbatas di Cina utara, terjadi pada musim panas. SGB
biasanya terjadi secara sporadis, namun kadang-kadang dilaporkan terjadi pada kelompok
tertentu walaupun sumbernya tak jelas. Sulit untuk menentukan apakah laporan-laporan
tersebut bermakna sebagai variasi sebaran random yang selama ini dilaporkan. Terdapat
laporan SGB epidemik yang terjadi setelah vaksinasi terhadap influensa babi tahun 1976,
namun terdapat ambiguitas dalam definsi dan penentuan kasus tersebut, sehingga
menimbulkan kontroversi menyangkut validitas hubungan antara vaksinasi tersebut dan
vaksinasi-vaksinasi lain dengan SGB.5,6
SGB telah dilaporkan di seluruh dunia. Kebanyakan penelitian menunjukkan angka
kejadian tahunan mirip dengan yang di Amerika Serikat , tanpa pengelompokan geografis .
AMAN dan AMSAN terjadi terutama di China utara , Jepang , dan Meksiko , yang
membentuk hanya 5-10 % persen kasus GBS di Amerika Serikat . AIDP menyumbang
hingga 90 % dari kasus di Eropa , Amerika Utara , dan negara maju . 3,6

3
C. ETIOLOGI

GBS dianggap sebagai penyakit kekebalan post infeksi, yang menyerang saraf
perifer .Sekitar dua pertiga dari pasien mengalami infeksi bakteri atau virus yg
sebelum timbulnya gejala neurologis . penyakit pendahulu yang paling sering
dilaporkan adalah infeksi pernapasan, diikuti oleh infeksi saluran pencernaan.7,8
Campylobacter jejuni adalah patogen yang paling umum terisolasi di GBS .
Studi serologi dalam sidang GBS Belanda diidentifikasi 32 % dari pasien sebagai
memiliki infeksi Campylobacter jejuni, sementara studi di China utara
mendokumentasikan tingkat infeksi setinggi 60 % .7,8
Infeksi C jejuni juga menghasilkan antibodi anti gangliosida termasuk ke
gangliosides GM1 , GD1a , GalNAc - GD1a , dan GD1b yang biasanya ditemukan
pada pasien dengan AMAN dan AMSAN.8,9
Cytomegalovirus ( CMV ) adalah infeksi kedua yang paling sering dilaporkan
yang mendahului SGB , CMV adalah virung yang paling sering menimbulkan SGB .
Penelitian GBS Belanda tersebut ditemukan CMV untuk hadir di 13 % dari pasien .
Infeksi lain yang dapat mendahului SGB adalah Epstein- Barr virus ( EBV ) ,
Mycoplasma pneumoniae , dan virus varicella-zoster .terdapat pula hubungan antara
infeksi HIV dan SGB. Beberapa infeksi lain juga dapat menimbulkan SGB walaupun
tidak banyak dijumpai ; Infeksi dengan Haemophilus influenzae , Borrelia burgdorferi
,virus para- influenza tipe 1 , virus influenza A , virus influenza B , adenovirus , dan
herpes simplex virus.8,9

Tabel 1. Penyakit-Penyakit yang Mendahului dan yang Dihubungkan dengan


Sindroma Guillain Barré Akut

Infeksi Viral
Cytomegalovirus* Influenza Cocksackie
Virus Epstein Barré* Campak Echo
Human Immunodeficiency virus Gondong Parainfluenza
Virus Herpes simpleks Rubella Respiratory syncitial
Herpes Zooster Hepatitis virus
Infeksi Bakterial
Campylobacter jejuni* Brucellosis Tularensis
Mycoplasma pneumoniae Legionella Tuberculosis
Shigella Salmonella
Typhoid Yersinia enterocolitica
Borrelia burgdorferi (Penyakit Lyme)
Listeria Pasteurella

4
Penyakit Sistemik
Limfoma Penyakit tiroid
Sarkoidosis Penyakit Addison
Leukemia
Tumor padat (kanker paru)
Systemic lupus erythematosus
Lain-lain
Pembedahan
Trauma
Vaksinasi

* : paling sering dalam kategori tersebut

D. PATOFOSIOLOGI

Respon imun humoral dan selular diyakini sebagai mekanisme terjadinya


SGB. Sebagian besar pasien melaporkan adanya penyakit infeksi sebelum muncul
tanda dari SGB. Banyak dari agen infeksius menginduksi produksi dari antibodi yang
bereaksi silang dengan gangliosida dan glikolipid spesifik seperti GM1 dan GD1b
yang terdistribusi sepanjang mielin pada sistem saraf. Mekanisme patologi dari proses
penyakit antesenden dan SGB dapat ditandai dari infeksi Campylobacter jejuni.
Virulensi dari C Jejuni diduga berdasarkan adanya antigen spesifik pada kapasul yang
sama dengan jaringan saraf.9
Respon imun langsung melawan antigen lipopolisakarida pada kapsula dari C
Jejuni menghasilkan antibodi yang bereaksi silang dengan gangliosida GM1 pada
mielin yang menghasilkan kerusakan imunologi pada sistem saraf perifer. Proses ini
disebut molecukar mimicry10,11

Gambar 2: patofisiologi SGB6 (A: peran membran attack- complex, B: peran antibodi antigangliosid)

5
E. DIAGNOSIS
Dalam menegakkan diagnosa sindroma guillain bairre diperlukan suatu
pemeriksaan yang menyeluruh meliputi anamnesa pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang, seperti dibawah ini :

Manifestasi Klinis
Pola Kelemahan 11,12,13
Walaupun SGB akut secara tipikal dimulai dengan parestesi pada ujung jari
tangan dan kaki, namun gambaran yang predominan adalah neuropati motorik.
Parestesi biasanya mengikuti dalam waktu beberapa hari dengan kelemahan tungkai
bilateral, simetris, dengan derajat bervariasi, ditandai dengan kesulitan berjalan dan
pasien secara khas mengungkapkan kesulitan saat menaiki tangga atau bangkit dari
kursi. Kelemahan lengan, tangan dan wajah, okuler atau otot-otot orofaring dapat
terjadi sesuai dengan keparahan penyakit. Walaupun ditekankan adanya kelemahan
bilateral dan simetris, namun kami menemukan bahwa hampir selalu terdapat
kelemahan yang asimetris dengan derajat yang bervariasi. Walaupun asimetrinya
minimal, namun hal ini masih nyata pada pasien.
Berlawanan dengan sebagian besar kelainan miopati dan neuromuscular
junction lain, pada SGB otot-otot proksimal jarang terkena secara tersendiri dalam
jangka waktu yang lama. Lengan dan tangan biasanya ikut terkena beberapa jam
sampai hari setelah tungkai, walaupun kelemahan tungkai dan tangan dapat terjadi
secara bersamaan. Varian kasus menggambarkan kelemahan terbatas pada tungkai,
atau dimulai dari tangan atau bahu diikuti tungkai setelah beberapa hari. Anggota
gerak yang lemah flaksid dan proporsional dengan kelemahannya. Fasikulasi atau
myokimia terdapat pada sebagian kecil kasus.
Keterlibatan saraf kranial umum dijumpai pada SGB dan telah diketahui
secara luas bahwa N VII adalah yang paling sering terkena pada 50 % kasus SGB
tipikal / khas. Kelemahan wajah terjadi lebih sering jika kelemahan anggota gerak
berat,. Seperti kelemahan anggota gerak, diplegia wajah sering asimetris dan kadang-
kadang unilateral. Adanya kelemahan wajah tidak otomatis menunjukkan keterlibatan
saraf kranial lain atau mengarah ke kegagalan nafas. Disfagia merupakan gejala yang
jarang, namun kelemahan orofaring terjadi pada sepertiga sampai setengah jumlah
pasien selama perjalanan penyakit, menyebabkan risiko aspirasi. Kelemahan wajah
biasanya muncul jika kemampuan menelan terganggu.

6
Oftalmoparesis dalam bentuk yang bervariasi terjadi pada 10 % sampai 20 %
pasien, kira-kira 3% sampai 5% saat onset; dan nervus abducens adalah yang paling
sering terlibat. Kelemahan abduksi okuler seringkali bilateral dan asimetris. Ptosis dan
abnormalitas pupil jarang didapatkan jika tidak ada oftalmoplegi. Pasien-pasien yang
terkena SGB dalam bentuk yang hebat dapat mengalami paralisis semua saraf
kranial, biasanya disertai dengan gagal nafas dan kuadriplegia sehingga menimbulkan
keadaan locked-in.
Kegagalan nafas, terutama diakibatkan kelemahan diafragma, merupakan
komplikasi serius yang paling sering dijumpai pada SGB akut, dan ventilasi mekanik
diperlukan pada hampir sepertiga kasus. Pasien-pasien ini umumnya kuadriparesis.
Kelemahan elevasi bahu dan fleksi leher muncul paralel dengan kelemahan diafragma
dan kegagalan nafas serta kelemahan orofaring. Sebagai akibat kelemahan otot-otot
respirasi, terdapat pengurangan volume tidal dan kapasitas vital yang diikuti dengan
atelektasis. Pasien dapat mengalami kesulitan batuk dan mengeluarkan sekresi dahak,
khususnya jika kelemahan orofaring juga ada. Takipneu menurunkan kadar karbon
dioksida, sehingga pada kondisi kompensasi respiratorik awalnya ditemukan hipoksia
ringan dengan kadar karbondioksida yang nenurun. Hiperkapneu terus berlangsung
sampai otot-otot respirasi menjadi lelah. Dalam kondisi ini pasien dapat dengan cepat
mengalami dekompensasi dan terjadi henti nafas. Jika pasien tidak membutuhkan
ventilator mekanik sampai 2 minggu setelah onset penyakit, maka alat tersebut tidak
diperlukan lagi jika tak ada komplikasi berat lain yang terjadi. Pasien dengan ventilasi
mekanik membutuhkan waktu perawatan lebih lama, lebih lama waktu pulihnya, lebih
tinggi angka kematiannya, dan lebih sering mengalami sisa defisit secara signifikan
jika dibandingkan mereka yang tidak membutuhkan respirasi mekanik.

Abnormalitas Sensorik13,14,15
Parestesi jari-jari tangan dan kaki merupakan gejala awal pada lebih dari setengah
kasus pasien SGB. Kebanyakan keluhan seperti kena paku dan jarum, ditusuk-tusuk,
atau sensasi geli, mirip dengan sensasi anggota gerak ‘jatuh tertidur.’ Gejala sensorik
secara khas mendahului 1-2 hari sebelum kelemahan dan menyebar ke pergelangan
kaki dan pergelangan tangan selama perjalanan penyakit. Selama parestesi
berlangsung dan kehilangan rasa sensorik terus berjalan, tangan dan kaki
dideskripsikan pasien sebagai ‘tebal’ dan ‘mati rasa.’ Gejala sensorik lebih simetris
dibandingkan dengan kelemahan motorik, dan ujung jari umumnya mengalami

7
pasrestesi segera setelah kedua kaki terkena.Pasien-pasien ini umumnya tidak
menyadari di tingkat mana dia mengalami hilang rasa, sampai dilakukan pemeriksaan,
dan hasil pemeriksaannya pun hanya samar-samar. Dalam praktek kami telah
dilakukan MRI secara rutin untuk menyingkirkan kemungkinan myelopati pada
pasien-pasien di mana level hilang rasanya jelas. Kelainan sensorik yang paling sering
adalah terganggunya rasa getar, dan sensasi posisi sendi tungkai dan kaki, walaupun
sensasi ‘pinprick’ juga berkurang jika jaras sensorik besar ikut terganggu. Hilang rasa
proprioseptif yang hebat dapat menimbulkan ataksia sensorik.
Nyeri adalah gejala yang umum dijumpai pada SGB, diderita oleh 60%-70%
pasien. Seringkali gejala ini tak diperhatikan oleh tenaga medis atau tersamar oleh
kelemahan atau masalah medis lain yang lebih serius. Nyeri dapat mendahului
kelemahan dan parestesi, karakteristiknya berupa nyeri di otot-otot besar panggul,
tungkai atas atau punggung, nyeri radikuler yang menyebar dari punggung ke salah
satu atau kedua tungkai, atau rasa terbakar. Sensasi disestesi di kaki atau tangan yang
berhubungan dengan parestesi yang tak nyeri.
Berkurang atau menghilangnya refleks-refleks tendo dalam merupakan
gambaran inti SGB, hal ini mungkin merefleksikan proses demyelinisasi, dispersi, dan
desinkronisasi saraf-saraf aferen besar bermyelin yang merupakan bagian dari
lengkung refleks. Hampir dua pertiga pasien mengalami arefleks saat awal dirawat,
walaupun hilangnya refleks dapat pula tertunda sampai kelemahan dan parestesi
menjadi nyata. Persistensi refleks selama perjalanan penyakit ditemukan kurang 5 %
dari keseluruhan kasus, dan bila ini ditemukan, sebaiknya akurasi diagnosis perlu
ditinjau kembali. Jika tungkai lebih lemah daripada lengan, refleks tungkai lebih dulu
menghilang. Refleks masih dijumpai pada anggota gerak yang kelemahannya ringan,
walaupun refleks selalu menghilang jika anggota gerak terlalu lemah untuk melawan
gravitasi, refleks yang meningkat pada anggota gerak yang lemah harus selalu
dicurigai sebagai mielopati.

Disfungsi Otonom

Sejumlah gangguan sistem saraf otonom terjadi pada SGB; Manifestasi yang
paling sering diketahui adalah sinus takikardi, bradikardi, dan aritmia supraventrikuler
lain (jarang terjadi : aritmia ventrikuler), hipertensi, hipotensi, vagal spells, ileus, dan
retensi urine. Emboli pulmoner, hipoksia, infeksi, dan komplikasi medis lain

8
sebaiknya disingkirkan lebih dulu sebelum menganggap gangguan kardiovaskuler yang
dijumpai sebagai disautonomia.14,15

Tabel . Frekuensi masing-masing gambaran klinis pada Sindroma Guillain Barre 15,16

Perjalanan penyakit SGB dapat dibagi menjadi 3 fase: 17,18

1. Fase progresif.

Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal sampai gejala
menetap, dikenal sebagai ‘titik nadir’. Pada fase ini akan timbul nyeri, kelemahan
progresif dan gangguan sensorik; derajat keparahan gejala bervariasi tergantung
seberapa berat serangan pada penderita. Terapi secepatnya akan mempersingkat
transisi menuju fase penyembuhan, dan mengurangi resiko kerusakan fisik yang
permanen. Terapi berfokus pada pengurangan nyeri serta gejala.

9
2. Fase plateau. 

Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak didapati baik
perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti, namun derajat
kelemahan tetap ada sampai dimulai fase penyembuhan. Terapi ditujukan terutama
dalam memperbaiki fungsi yang hilang atau mempertahankan fungsi yang masih ada.
Perlu dilakukan monitoring tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi,
keseimbangan cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat dimulai di fase ini.
Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan khusus,
serta fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat saraf yang
meradang serta kekakuan otot dan sendi; namun nyeri ini akan hilang begitu proses
penyembuhan dimulai. Lama fase ini tidak dapat diprediksikan.

3. Fase penyembuhan 

Fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan perbaikan dan penyembuhan


spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibody yang menghancurkan myelin,
dan gejala berangsur-angsur menghilang, penyembuhan saraf mulai terjadi. Terapi
pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk membentuk otot pasien dan
mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang normal, serta mengajarkan penderita
untuk menggunakan otot-ototnya secara optimal. Lama fase ini juga bervariasi, dan
dapat muncul relaps. Kebanyakan penderita mampu bekerja kembali dalam 3-6 bulan,
namun pasien lainnya tetap menunjukkan gejala ringan sampai waktu yang lama
setelah penyembuhan. Derajat penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan saraf
yang terjadi pada fase infeksi.

10
Tabel . Kriteria Diagnosis untuk Sindroma Guillain-Barré Tipikal / Khas 17

Gambaran Klinis
Gambaran yang harus ada untuk menegakkan diagnosis
Kelemahan progresif baik pada lengan maupun tungkai
Arefleks
Gambaran yang sangat mendukung diagnosis
Perkembangan gejala lebih dari 4 hari
Gejala relatif simetris
Gejala atau tanda sensorik yang ringan
Keterlibatan saraf kranial, terutama diplegia wajah
Kesembuhan dimulai 2 sampai 4 minggu setelah akhir perkembangan gejala
Disfungsi otonom
Tidak ada demam saat onset
Gambaran yang meragukan diagnosis
Gangguan sensorik yang jelas levelnya
Gejala atau tanda asimetri yang jelas menetap
Disfungsi miksi dan defekasi yang parah dan persisten
Gambaran yang menyingkirkan diagnosis
Diagnosis botulismus, myastenia gravis, poliomyelitis, atau neuropati toksik
Metabolisme porfiria yang abnormal
Difteri akut

11
Varian Klinis Sindrom Guillain-Barre 20,21
1. Acute Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy (AIDP)
AIDP merupakan subtipe dari sindrom guillain-barre yang paling banyak ditemukan
di Amerika Serikat. Secara umum AIDP selalu didahului infeksi bakteri dan virus.
Hampir 40% pasien dengan AIDP memiliki pemeriksaan laboratorium seropositif
untuk Campylobacter Jejuni. Gejala akan menghilang dengan adanya remielinisasi.
2. Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN)
Subtipe ini memiliki ciri murni kelemahan motorik dan sering muncul pada pasien
anak –anak. AMAN secara umum memiliki karakteristik kelemahan simetris progresif
yang berkembang dengan cepat dan berujung pada kegagalan pernafasan. Hampir 70-
75% dari subtipe AMAN memiliki seropositif untuk Campylobacter Jejuni dengan
sebagian besar didahului oleh diare yang disebabkan oleh C Jejuni. Inflamasi pada
radik spinales anteriro akan menimbulkan kerusakan pada blood brain barrier.
Pemeriksaan biopsi akan memperlihatkan adanya degenerasi yang menyerupai
degenerasi wallerian tanpa inflamasi limfosit yang signifikan Sepertiga dari pasien
AMAN memiliki peningkatan reflek fisologis, diduga hal ini disebabkan adanya
inhibisi melalui interneuron spinal yang dapat meningkatkan eksitabilitas motor
neuron. Peningkatan reflek fisiologis biasanya berhubungan dengan adanya antibodi
anti-GM1.
3. Acute Motor-Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN).
AMSAN merupakan subtipe paling berat dari SGB yang menyerang sensorik dan
motorik. AMSAN biasanya memiliki perburukan yang cepat. Dapat ditemukan
adanya atrofi otot. Prognosis dari AMSAN biasanya buruk.
4. Miller-Fischer Syndrome
Sindrom Miller Fischer ditemukan pada sekitar 5% dari kasus SGB. Secara klasik
dapat ditemukan adanya trias ataxia, arefleksia dan ophtalmoplegia. Tanda kardinal
dari sindrom miller fischer adalah adanya oftalmoplegia eksternal akut. Dapat pula
ditemukan adanya ptosis, facial palsy dan bulbar palsu. 5.
5. Acute Panautonomic Neuropathy
Merupakan varian SGB yang paling jarang ditemukan yang melibatkan gangguan
simpatis dan parasimpatis. Dapat ditemukan adanya hipotensi postural, gangguan
defekasi dan miksi, anhidrosis, penurunan salivasi dan lakrimasi dan abnormalitas
pupil. Dapat dijumpai adanya gangguan sistem kardiovaskular yang akan
menimbulkan aritmiada dan berujung pada kematian, jarang ditemukan adanya

12
gangguan motorik dan sensorik. Pemulihan terjadi secara bertahap dan biasanya tidak
dapat mengalami perbaikan sempurna.
6. Pure Sensory GBS
Gejala klinisnya ialah adanya gangguan sensorik dengan onset cepat, ataksia sensorik
dan arefleksia simetris dan luas.

Tabel 4. Variasi Sindrom Guillain-Barré 22

Regional
Sindrom Fisher untuk optalmoplegia, ataksia, dan arefleksia
Serviko-brakial-faringeal, sering dengan ptosis
Kelemahan okulofaringeal
Paraparesis predominan
Kelemahan abdusens atau fasial bilateral dengan parestesia distal
Optalmoplegia dengan autoantibodi GQ1b
Fungsional
Ataksia generalisata tanpa disartria atau nistagmus
Sensorik murni
Motorik murni
Pandisautonomia
Aksonal

Tabel 5. Diagnosis diferensial Sindroma Guillain Barré 23

Kelainan batang otak


Trombosis arteri basilaris dengan infark batang otak*
Sindroma Locked In
Ensefalomielitis batang otak
Kelainan medulla spinalis
Mielitis transversal
Mielopati nekrotik akut
Kompresi neoplasma pada medulla spinalis servikal / foramen magnum
Mielopati akut lain
Kelainan sel kornu anterior
Poliomielitis
Rabies
Tetanus
Poliradikulopati
Difteri
Paralisis Tick
Neuropati Buckthorn
Keracunan Ciguatera
Penyakit Lyme
Logam berat : arsen, timbal, thallium, emas
Keracunan organofosfat
Heksakarbon (neuropati penghirup lem)
Perhexiline

13
Obat-obatan : vincristine, disulfiram, nitrofurantoin
Porfiria intermiten akut
Neuropati vaskulitik*
Critical illness polyneuropathy
Kelainan transmisi neuromuskuler
Myastenia gravis
Botulismus
Hipermagnesemi
Paralisis yang diinduksi antibiotika
Bisa gigitan ular
Miopati
Polimiositis
Miopati akut lain, misalnya akibat induksi obat
Abnormalitas metabolik
Hipokalemi
Hipermagnesemia
Hipofosfatemia
Lain-lain
Histeri
Malingering

* : Penyebab tersering dari sindroma-sindroma yang mirip dengan SGB pada masing-masing
kategori sigit

Pemeriksaan Penunjang 21,22,


1. Cairan serebrospinal (LCS) 

Yang paling khas adalah adanya disosiasi sitoalbuminik, yakni meningkatnya


jumlah protein (100-1000 mg/dL) tanpa disertai adanya pleositosis
(peningkatan hitung sel). Pada kebanyakan kasus, di hari pertama jumlah total
protein LCS normal; setelah beberapa hari, jumlah protein mulai naik, bahkan
lebih kanjut di saat gejala klinis mulai stabil, jumlah protein LCS tetap naik
dan menjadi sangat tinggi. Puncaknya pada 4-6 minggu setelah onset.

2. Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi (EMG)


Manifestasi elektrofisiologis yang khas dari SGB terjadi akibat demyelinasi
saraf, antara lain prolongasi masa laten motorik distal (menandai blok
konduksi distal) dan prolongasi atau absennya respon gelombang F (tanda
keterlibatan bagian proksimal saraf), blok hantar saraf motorik, serta
berkurangnya KHS. EMG menunjukkan berkurangnya rekruitmen motor unit.
Dapat pula dijumpai degenerasi aksonal dengan potensial fibrilasi 2-4 minggu
setelah onset gejala, sehingga ampilitudo CMAP dan SNAP kurang dari

14
normal. Derajat hilangnya aksonal ini telah terbukti berhubungan dengan
tingkat mortalitas yang tinggi serta disabilitas jangka panjang pada pasien
SGB, akibat fase penyembuhan yang lambat dan tidak sempurna.
3. Pemeriksaan darah 

Pada darah tepi, didapati leukositosis polimorfonuklear sedang dengan


pergeseran ke bentuk yang imatur, limfosit cenderung rendah selama fase awal
dan fase aktif penyakit. Pada fase lanjut, dapat terjadi limfositosis; eosinofilia
jarang ditemui. Laju endap darah dapat meningkat sedikit atau normal,
sementara anemia bukanlah salah satu gejala. Dapat dijumpai respon
hipersensitivitas antibodi tipe lambat, dengan peningkatan immunoglobulin
IgG, IgA, dan IgM, akibat demyelinasi saraf pada kultur jaringan.

4. Elektrokardiografi (EKG)

menunjukkan adanya perubahan gelombang T serta sinus takikardia.


Gelombang T akan mendatar atau inverted pada lead lateral.

5. Tes fungsi respirasi

(pengukuran kapasitas vital paru) akan menunjukkan adanya insufisiensi


respiratorik yang sedang berjalan (impending).

6. Pemeriksaan patologi anatomi

Umumnya didapati pola dan bentuk yang relatif konsisten; yakni adanya
infiltrat limfositik mononuklear perivaskuler serta demyelinasi multifokal.
Pada fase lanjut, infiltrasi sel-sel radang dan demyelinasi ini akan muncul
bersama dengan demyelinasi segmental dan degenerasi wallerian dalam
berbagai derajat Saraf perifer dapat terkena pada semua tingkat, mulai dari
akar hingga ujung saraf motorik intramuskuler, meskipun lesi yang terberat
bila terjadi pada ventral root, saraf spinal proksimal, dan saraf kranial

F. TATALAKSANA

Aspek medis umum

Pasien yang didiagnosis dengan SGB harus dirawat di rumah sakit untuk
pemantauan ketat sampai telah ditentukan bahwa perjalanan penyakit telah mencapai
fase plateu atau fase penyembuhan. Meskipun kelemahan awalnya mungkin ringan,
gejala dapat berkembang pesat selama beberapa hari. Perkembangan lanjutan dapat

15
mengakibatkan keadaan darurat neuromuscular dengan kelumpuhan berat, gangguan
pernapasan, dan / atau disfungsi otonom dengan komplikasi kardiovaskular.

- Immunotherapy
Terapi spesifik terhadap dugaan gangguan imunitas yang menyebabkan SGB
meliputi Plasma Exchange (PE) dan Intravenous Immunoglobulin (IVIG). Jika
pasien menjadi tidak dapat berjalan tanpa dibantu atau menunjukkan adanya
pengurangan signifikan pada kapasitas vital atau ada tanda-tanda kelemahan
orofaringeal berat, PE atau IVIG (tidak keduanya) diberikan dengan segera.
Biasanya hal ini terjadi pada hari ke lima sampai ke sepuluh setelah munculnya
gejala awal, tetapi dapat lebih cepat (pada hari pertama) atau lebih lambat. 23,24
Pemberian PE yang dianjurkan menggantikan sejumlah 200-250 ml/kg plasma
dalam 4-6 kali perawatan pada hari yang berselang-seling, atau dalam periode yang
lebih singkat jika tidak ada koagulopati. Cairan pengganti yang diberikan adalah
salin dikombinasikan dengan albumin 5%. Kebutuhan akses vena yang besar
biasanya memerlukan pemberian kateter subklavia atau jugularis interna lubang
ganda dan hal ini bisa menjadi sumber utama komplikasi (pneumotoraks, infeksi,
perdarahan. Hepatitis dan AIDS bukan merupakan resiko jika plasma digantikan
dengan albumin dan salin daripada dengan pooled plasma. 23,24
IVIG adalah lebih aman dilakukan pada pasien dengan gangguan
hemodinamik. Beberapa bukti menunjukkan bahwa pada pasien tertentu yang tidak
merespon awal untuk IVIG , dapat diberikan dosis IVIG yang kedua. Pemberian
kombinasi plasma exchange dan IVIG tidak memiliki bukti memberikan manfaat
bagi SGB atau mengurangi durasi dari perjalanan SGB, tetapi beberaa ahli
berpendapat bahwa apabila pemberian plasma exchange tidak berhasil dapat
diberikan IVIG. Pemberian IVIg ini dilakukan dalam 2 minggu setelah gejala
muncul dengan dosis 0,4 g / kgBB /hari selama 5 hari.23,24

16
- Kortikosteroid
Kortikosteroid tidak efektif sebagai monoterapi. pemberian kortikosteroid
tunggal tidak secara signifikan mempercepat pemulihan dari SGB atau
mempengaruhi hasil jangka panjang. Methylprednisolone intravena saja
menghasilkan manfaat yang signifikan atau tidak membahayakan. Dengan
kombinasi methylprednisolode dan IVIG, metilprednisolon intravena dapat
mempercepat pemulihan tetapi tidak signifikan mempengaruhi hasil jangka
panjang.24

Tabel 6. Komplikasi Sindroma Guillain Barré 24

Gagal nafas
Aspirasi
Pneumonia
Emboli pulmoner
Pneumothoraks
Stenosis trakhea*
Sepsis karena kateter intravena*
Infeksi saluran kemih
Dekubitus kulit
Tukak stres, perdarahan gastrointestinal
Konstipasi dan ileus
Obstruksi usus
Malnutrisi
Trombosis vena dalam
Hiponatremia
Hiperkalsemia
Anemia
Disautonomia
Hipertensi
Hipotensi
Aritmia jantung
Ileus
Nyeri
Depresi
Ansietas
Gangguan tidur
Ensefalopati

* : Berhubungan dengan intervensi iatrogenik

17
G. Prognosis

Seperti sudah dijelaskan, sekitar 3-5% pasien tidak bisa selamat dari penyakit ini,
bahkan di RS yang memiliki peralatan terbaik. Pada stadium awal, kematian paling
sering disebabkan karena cardiac arrest, mungkin berkaitan dengan disautonomia,
adult respiratory distress syndrome, pneumo/ hemothorax, atau beberapa tipe
kegagalan mesin kerana ketidaksengajaan. Lebih lanjut pada penyakit ini, emboli paru
dan komplikasi medis lainnya (biasanya bakterial) dari imobilisasi terus-menerus dan
kegagalan pernafasan merupakan penyebab utamanya. 25

Sebelum adanya ventilasi buatan lebih kurang 20 % penderita meninggal oleh


karena kegagalan pernafasan. Sekarang ini kematian berkisar antara 2-10 %, dengan
penyebab kematian oleh karena kegagalan pernafasan, gangguan fungsi otonom,
infeksi paru dan emboli paru. Sebagian besar penderita (60-80 %) sembuh secara
sempurna dalam waktu enam bulan. Sebagian kecil (7-22 %) sembuh dalam waktu 12
bulan dengan kelainan motorik ringan dan atrofi otot-otot kecil di tangan dan kaki.
Kira-kira 3-5 % penderita mengalami relaps. 25

Daftar Pustaka

18
1. Winer JB. Guillain Barré syndrome. Mol Pathol. Dec 2001;54(6):381-5
2. Prevots DR, Sutter RW. Assessment of Guillain-Barré syndrome mortality and
morbidity in the United States: implications for acute flaccid paralysis surveillance. J
Infect Dis. Feb 1997;175 Suppl 1:S151-5
3. Nelson L, Gormley R, Riddle MS, Tribble DR, Porter CK. The epidemiology of
Guillain-Barré Syndrome in U.S. military personnel: a case-control study. BMC Res
Notes. Aug 26 2009;2:171.
4. Jacobs BC, Rothbarth PH, van der Meché FG, Herbrink P, Schmitz PI, de Klerk MA,
et al. The spectrum of antecedent infections in Guillain-Barré syndrome: a case-
control study. Neurology. Oct 1998;51(4):1110-5.
5. Lasky T, Terracciano GJ, Magder L, Koski CL, Ballesteros M, Nash D, et al. The
Guillain-Barré syndrome and the 1992-1993 and 1993-1994 influenza vaccines. N
Engl J Med. Dec 17 1998;339(25):1797-802.
6. Zhong M, Cai F. Current perspectives on Guillain-Barré syndrome. World J Pediatr
2007;3(3):187-194
7. Hughes CA. Pathogenesis and treatment of inflammatory demyelinating
polyradiculoneuropathy. Acta neurol. belg., 2000, 100, 167-170
8. Walling A, Dickson G. Guillain-Barré Syndrome. AAFP.2013.(87).3: 166-97
9. McClellan, K., Armeau, E., Parish, T. Recognizing Guillain-Barré Syndrome in the
Primary Care Setting. The Internet Journal ofAllied Health Sciences and Practice. Jan
2007,(5):1
10. Phitadia A, Kakadia N. Guillain-Barré syndrome (SGB). Pharmacological report.
2010. 220-232
11. Yuki N, Hartung HP. Guillain–Barré Syndrome. N Engl J Med 2012;366:2294-304.
12. Malgorzata QW, Georgios M,Sijan Wang, James S. Malter, Andrew J. Waclawik.
Plasma Exchange After Initial Intravenous Immunoglobulin Treatment in Guillain-
Barre´ Syndrome: Critical Reassessment of Effectiveness and Cost-Efficiency. J Clin
Neuromusc Dis 2010;12:55–61
13. Pieter A, Liselotte R, Bart C J. Clinical features, pathogenesis, and treatment of
Guillain-Barré syndrome. Lancet Neurol 2008; 7: 939–50. Available from URL:
www.thelancet.com/neurology Vol 7 October 2008 [ cited on April 16th 2015]
14. Yu R K, Usuki S, Ariga T. Ganglioside Molecular Mimicry and Its Pathological Roles
in Guillain-Barre´ Syndrome and Related Diseases. Infection And Immunity. 2006
(74). p. 6517–6527
15. Meena A. K., Khadilkar S. V. Murthy J. M. K.Treatment guidelines for Guillain–
Barré Syndrome. Ann Indian Acad Neurol. 2011; 14. S73–S81.
16. Walling A D. Adjunctive steroid therapy for guillain-barré syndrome. Am fam
physician. 2004 ;70(6):1157-1161.
17. Winer JB. Treatment of Guillain-Barre´ syndrome. Q J Med 2002; 95:717–721
18. Cortese I, Chaundry V, So YT, Cantor F, Comblath DR. Evidence-based guideline
update: Plasmapheresis in neurologic disorder. Neurology. 2011. 294-302
19. Khan F, Amatya B, Brand C, Turner-Stokes L. Multidisciplinary care for Guillain-
Barré syndrome (Review). Cochrane Library 2010
20. Hughes RUC. Give or take? Intravenous immunoglobulin or plasma exchange for
Guillain-Barré syndrome. Hughes Critical Care 2011, 15:174. Available from URL :
http://ccforum.com/content/15/4/174 [ cited on Monday, April 14th 2015 ]
21. Raphaël JC, Chevret S, Hughes RAC, Annane D. Plasma exchange for Guillain-Barré
syndrome (Review). The Cochrane Library.2012

19
22. Richard A,Hughes C,Anthony V. Swan,Jean-Claude R,Djillali A, Rinske Konings.
Immunotherapy for Guillain-Barre syndrome:a systematic review. Brain (2007), 130,
2245-2257
23. Berncl C, Hans-Peter H. Guillain Barré syndrome and chronic inflammatory
demyetinating polyradicutoneuropathy. Neuroimmunology. 2003
24. Nachamkin I, Mishu I, Ho T. Campylobacter species and guillain-barre´ syndrome.
Clinical microbiology reviews, 1998, 555–567
25. Fokke C, Berg, Drenthen J, Walgaard C, Doorn P. Diagnosis of Guillain-Barre´
syndrome and validation of Brighton criteria. Brain 2014: 137; 33–43

20

Anda mungkin juga menyukai