I. PENDAHULUAN
Diabetes melitus adalah gangguan endokrin yang ditandai dengan defek dalam sekresi
insulin dan/ atau kerja insulin yang mengakibatkan hiperglikemia. Diabetetes melitus
merupakan penyebab paling sering terjadinya neuropati perifer. Neuropati ditandai dengan
hilangnya fungsi serabut saraf secara progresif. Neuropati diabetika didefinisikan sebagai
adanya gejala dan / atau tanda-tanda disfungsi saraf perifer pada penderita diabetes setelah
eksklusi penyebab lainnya.1,2
Neuropati diabetika merupakan salah satu komplikasi kronik paling umum dari diabetes
melitus yang sering meresahkan penderita karena dirasakan sebagai siksaan oleh penderita,
baik pada DM tipe 2 maupun tipe 2. Angka kejadiannya hingga 50% dari pasien dengan tipe 1
dan tipe 2 DM. Dari semua komplikasi DM, neuropati menyebabkan morbiditas terbesar.
Neuropati juga menambah angka mortalitas dan sangat menurunkan kualitas hidup (QOL)
penderita DM apabila tidak dikelola dengan baik. Neuropati diabetika dapat berkembang
asimptomatik dan tidak terdeteksi, dapat juga menunjukkan gejala dan tanda yang berjalan
lambat. Disamping gejala utama neuropati yang sangat tidak menyenangkan, komplikasi
sekunder (misalnya jatuh, ulkus kaki, aritmia jantung, dan ileus) bahkan lebih serius dan dapat
menyebabkan patah tulang, amputasi, dan bahkan kematian pada pasien dengan DM.3,4
Manifestasi klinis neuropati diabetika dapat berupa variasi luas dari berbagai gejala
sensorik, motorik, dan otonom, Maka secara umum terdapat tiga jenis neuropati diabetika
yang mempengaruhi sistem saraf. Pertama adalah neuropati sensorik, juga disebut neuropati
perifer (PN/ Peripheral Neuropathy), kondisi dimana saraf yang membawa pesan tentang
sensasi ke otak mengalami kerusakan. Kedua, neuropati motor terjadi bila saraf yang
membawa pesan tentang gerakan dari otak ke otot-otot mengalami kerusakan. Yang terakhir,
neuropati otonom terjadi bila saraf yang mengendalikan aktivitas involunter tubuh, seperti
pencernaan dan berkeringat juga dipengaruhi. Gejala neuropati diabetika mencakup sensasi
nyeri, mati rasa, kesemutan, terbakar atau menusuk-nusuk yang dimulai pada kaki. Pada tahap
lanjutan tangan bisa terpengaruh juga. Pada beberapa kasus neuropati diabetika, sensasi yang
abnormal dapat meluas ke lengan, kaki, dan badan (truncal neuropathy).1,2
Pengelolaan neuropati diabetes harus dimulai pada saat diagnosis awal diabetes.
Manajemen neuropati diabetika meliputi dua pendekatan: terapi untuk mengurangi gejala-
Prevalensi neuropati diabetika tidak diketahui dengan pasti dan dilaporkan bervariasi
kriteria dan metode yang digunakan untuk mendiagnosis. Prevalensi neuropati diabetika dalam
berbagai literatur juga sangat bervariasi. Di Amerika Serikat diperkirakan 10-65% pasien DM
didapatkan neuropati perifer. Laporan lain menyebutkan neuropati diabetika didapatkan 10-
20% pada pasien baru yang didiagnosis DM, dengan prevalensi sampai 50% pada pasien orang
tua dengan DM. Penelitian di Amerika Serikat memperlihatkan bahwa 10-20% pasien saat
ditegakkan DM telah mengalami neuropati. 3,4
Prevalensi neuropati diabetika ini akan meningkat sejalan dengan lamanya penyakit dan
tingginya hiperglikemia. Diperkirakan setelah menderita diabetes selama 20 tahun, prevalensi
neuropati diabetika 50%. Kemungkinan terjadi neuropati diabetika pada kedua jenis kelamin
sama. United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) pada tahun 1998 menemukan
kejadian neuropati diabetika meningkat pada usia tua dan ternyata 50% penderita berusia lebih
dari 50 tahun. Namun penelitian-penelitian yang dilakukan menunjukkan prevalensi neuropati
diabetika simtomatik rata-rata 30% dari semua pasien DM. 3,4
Nyeri neuropati diabetika merupakan nyeri neuropatik ditemukan pada 11,6% pasien
neuropati diabetika dengan DM tipe I dan 32,1 % dengan DM tipe II. Gejala yang ditimbulkan
berupa nyeri hebat dan akut seperti terbakar, pedih, seperti kesetrum dan alodinia yang tiada
henti pada tungkai dan memburuk pada malam hari. Nyeri ini secara bermakna berdampak
Susunan saraf tepi terdiri dari : 1) saraf kranial 2) saraf spinal 3) susunan visceral
aferen dan susunan visceral otonom. Suatu saraf terdiri dari satu atau lebih berkas serabut
saraf (akson). Sebuah saraf berukuran sedang, dapat mengandung beribu-ribu serat saraf,
beberapa tak bermielin, dan yang lainnya dikelilingi oleh selubung mielin dengan berbagai
ketebalan. 5,6
Satu sel saraf (neuron) mempunyai satu akson akan tetapi dapat mempunyai satu atau
lebih bahkan sering banyak dendrit. Diameter akson menunjukkan variasi yang cukup luas
dengan ukuran dari kurang 1 mikron sampai 30 mikron. Semua akson baik didalam susunan
saraf pusat maupun perifer kecuali akson yang paling halus (diameter kurang dari 1 mikron)
dibungkus oleh selubung mielin. Selubung mielin ini dibentuk oleh sel-sel Schwann dengan
membentuk lapisan-lapisan konsentrik sekitar akson.7
Serabut saraf aferen dapat dikelompokkan menurut ukuran, selubung mielin dan
kecepatan hantar sarafnya. Serabut saraf sensorik berukuran besar dan kecil mempunyai
fungsi yang berbeda. Serabut saraf sensorik berukuran besar mempunyai selubung mielin dan
menghantarkan stimulus getar dan propioseptif (A). Serabut berukuran kecil menghantarkan
sensasi nyeri suhu dan nyeri tajam ke medula spinalis, yaitu serabut A (bermielin) dan
serabut C (tidak bermielin). Serabut A dan C sering disebut nosiseptor. 8,9
Bagian dari saraf di seluruh jaringan tubuh yang menerima stimulus atau impuls
disebut reseptor. Kepadatan reseptor di jaringan tubuh berbeda beda. Jenis reseptor pun
cukup banyak. Ada yang peka terhadap peregangan, suhu, zat kimia, ada pula yang peka
terhadap berbagai stimuli disebut reseptor polimodal. Reseptor inilah yang paling banyak
berperan dalam proses terjadinya nyeri, lebih sering disebut nosiseptor. Kepekaan nosiseptor
sering berubah, oleh sebab itu sering disebut sleeping nosiseptor. Disamping sebagai
penerima stimulus, nosiseptor dapat juga berperan sebagai neuroefektor yang mampu
Secara morfologik kelainan sel saraf pada neuropati diabetika ini terdapat pada sel-sel
schwann selain mielin dan akson. Kelainan yang terjadi terutama tergantung pada derajat dan
lamanya menginap DM. Perubahan patologis dasar dalam hubungannya dengan patofisiologi
neuropati diabetik meliputi demielinisasi segmental, degenerasi aksonal, dan degenerasi
Wallerian. 10,11
1. Demielinisasi segmental
Segmen-segmen internodal saraf perifer mengalami demielinisasi, sedang akson
masih dalam keadaan utuh. Meskipun demielinisasi telah terjadi secara luas , namun sering
kali aksonnya tidak mengalami perubahan degenerasi. 12
Serabut saraf setelah mengalami demielinisasi seringkali menunjukkan adanya
proses regenerasi berupa remielinisasi, jumlah sel schwan akan bertambah banyak. Jika
proses patologis tersebut berlangsung secara kronis dengan proses dimielinisasi dan
remielinisasi yang berulang-ulang, akan terjadi proliferasi yang konsentrik dari sel schwann,
sehingga sau struktur seperti lapisan bawang merah yang disebut “onion bulp”, yang dengan
palpasi akan teraba benjolan-benjolan pada saraf. 13
3. Degenerasi Wallerian
Suatu trauma mekanik, khemis, termis ataupun iskemik lokal yang menyebabkan
terputusnya satu serabut saraf secara mendadak, akan diikuti oleh suatu proses degenerasi
aksonal di sebelah distal tempat terjadinya perlukaan, yang kemudian diikuti terputusnya
mielin secara sekunder. Proses tersebut terkenal dengan degenerasi Walerian. Kelainan ini
mulai timbul antara 12-36 jam setelah setelah terjadi perlukaan saraf. Perubahan awal
didapatkan pada akson yang terletak di dalam atau disekitar nodus Renvier sepanjang saraf
di sebelah distal dari tempat perlukaan. Perubahan yang sama juga terjadi pada akson di
sekeliling nodus Renvier tepat di sebelah proksimal dari tempat perlukaan. 10,13
Sel Schwann pada bagian ini akan mengalami proliferasi hebat. Makrofag endoneuron
akan membantu sel Schwann dalam menghancurkan mielin yang rusak. Selubung mielin akan
mulai pecah dan berbentuk oval (ellipsoid). Ukuran mielin yang mengalami kerusakan dapat
berguna untuk melihat lamanya lesi (dengan biopsi saraf). Lamina basalis sel schwann pada
bagian distal dari lesi yang rusak, sehingga permukaannya dilapisi langsung
galaktoserebrosida. Jumlah protein mielin dari sel schwann menurun drastis. Akson sebelah
Degenerasi Wallerian
Dari aspek patologi, neuropati diabetika dapat dibedakan menjadi neuropati yang
lebih menonjol mengenai serabut saraf besar (predominantly large fiber desease) dan
neuropati yang lebih menonjol mengenai serabu saraf kecil (predominantly small fiber
desease). 9
Pada gangguan serabut saraf besar lebih nyata terjadinya demielinisasi segmental dan
remielinisasi dari pada degnerasi aksonal. Sebaliknya tipe gangguan serabut saraf kecil lebih
jelas terlihat adanya degenerasi aksonal, dan demielinisasi biasanya terjadi sekunder. 9
Kerusakan serabut saraf pada umumnya dimulai dari distal sampai proksimal ,
sedangkan proses perbaikan dimulai dari proksimal ke distal. Oleh karena itu pada umumnya
lesi distal paling banyak ditemukan, seperti pada distal symmetric polyneuropathy dan saraf
terpanjang seperti yang terlihat pada pasien dengan lesi pada ibu jari kaki yang kemudian
menjalar ke bagian proksimal. Dibandingkan dengan serabut saraf dengan diameter besar,
terlihat bahwa pada awalnya lesi adalah serabut saraf kecil. 9
Penderita neuropati diabetika dengan keluhan nyeri yang berat (terutama pada kaki)
umumnya menunjukkan kelainan neurologik yang ringan berupa gangguan sensorik bagian
distal kaki sedangkan refleks tendo masih dalam batas normal. Pasien neuropati diabetika
tanpa nyeri sering menunjukkan gejala neurologik seperti refleks tendo yang negatif. 9
Apakah hal tersebut sesuai dengan dinamika proses degenerasi, masih menjadi
pertanyaan. Fungsi serabut saraf adalah sebagai penghantar impuls. Adanya gangguan fungsi
penghantar impuls memacu atau mengaktivasi program survival atau kematian. Dengan
demikian dapat dimengerti, bila lesi yang diderita pasien cukup berat maka yang aktif adalah
Banyak teori yang dikemukakan oleh para ahli tentang patofisiologi terjadi neuropati
diabetika, namun semuanya sampai sekarang belum diketahui sepenuhnya. Berbagai penelitian
menunjukkan bahwa mekanisme terjadinya polineuropati pada pasien diabetes sangatlah
kompleks. Faktor-faktor etiologi neuropati diabetika diduga adalah vaskular, berkenaan dengan
metabolisme, neurotrofik dan imunologik. Tampaknya terdapat kecenderungan suatu
multifaktorial pathogenesis yang terjadi pada neuropati diabetika. Polineuropati dapat terjadi
sebagai akibat dari peningkatan stres oksidatif dan radikal bebas dari produk akhir glikosilasi,
akumulasi polyol, dan penurunan kadar nitrit oxide (berdampak pada disfungsi endotel).
Polineuropati juga diakibatkan oleh penurunan aktivitas pompa natrium dan peningkatan kadar
homosistein. Pada pasien diabetes dijumpai pula penurunan kemampuan mekanisme regenerasi
dan ditandai oleh penurunan faktor pertumbuhan saraf. 3
1. Teori Vaskular
Pada pasien neuropati diabetika dapat terjadi penurunan aliran darah ke endoneurium
yang disebabkan oleh adanya resistensi pembuluh darah akibat hiperglikemia. Biopsi nervus
suralis pada pasien neuropati diabetika ditemukan adanya penebalan pembuluh darah, agregasi
platelet, hiperplasia sel endotel dan pembuluh darah, yang kesemuanya dapat menyebabkan
iskemia. Iskemia juga dapat menyebabkan terganggunya transport aksonal, aktivitas Na +/ K+
ATPase yang akhirnya menimbulkan degenerasi akson.3,4
2. Teori Metabolik
Teori jalur polyol berperan dalam beberapa perubahan dengan metabolisme ini. Pada
status normoglikemik, kebanyakan glukosa intraseluler difosforilasi ke glukosa-6-phosphatase
oleh hexokinase, hanya sebagian kecil dari glukosa masuk jalur polyol. Pada kondisi-kondisi
hiperglikemia, hexokinase yang disaturasi, maka akan terjadi influx glukosa ke dalam jalur
polyol. Aldose reductase yang secara normal mempunyai fungsi mengurangi aldehid beracun
di dalam sel ke dalam alkohol non aktif, tetapi ketika konsentrasi glukosa di dalam sel menjadi
terlalu tinggi, aldose reductase juga mengurangi glukosa ke dalam jalur sorbitol, yang mana
kemudian dioksidasi menjadi fruktosa. Dalam proses mengurangi glukosa intraseluler tinggi ke
sorbitol, aldose reductase mengkonsumsi co-faktor NADPH (nicotinamide adenine
dinucleotide phosphate hydrolase), suatu co-faktor yang penting untuk memperbaharui
intracellular critical antioxidant, dan pengurangan glutathione. Dengan mengurangi jumlah
glutathione, jalur polyol meningkatkan kepekaan stress oksidatif intraseluler.
Stres oksidatif berperan utama di dalam pathogenesis neuropati diabetika perifer. Ada
bukti peningkatan oksigen radikal bebas dan peningkatan beberapa penanda stres oksidatif
seperti malondialdehide dan lipid hydroxyperoxide pada penderita neuropati diabetika.
Indikator kuat untuk membuktikan bagaimana peran stres oksidatif dalam neuropati diabetika,
dibuktikan oleh beberapa penelitian mengenai penggunaan antioksidan baik pada binatang
percobaan maupun pada pasien.
Jalur Polyol
Metabolisme glukosa melalui jalur polyol ini terdiri atas dua reaksi : 1) reduksi glukosa
menjadi sorbitol oleh enzim aldose reductase; 2) oksidasi sorbitol menjadi fruktosa oleh enzim
sorbitol dehydrogenase. Pada keadaan normal hanya sebagian kecil metabolisme glukosa yang
melalui jalur ini. Pada keadaan hiperglikemia terjadi peningkatan glukosa intraseluler yang
berakibat meningkatnya jalur ini. Sorbitol dan fruktosa bersifat osmotik sehingga menarik air,
yang akan menimbulkan edema pada sel Schwan dan rusaknya akson. Kerusakan ini terutama
mengakibatkan gangguan penghantaran impuls saraf. 4
Mioinositol ialah suatu heksitol siklik yang merupakan bahan utama membran
fosfolipid dan merupakan komponen dari vitamin B. Mioinositol berperan dalam transmisi
impuls, transport elektrolit dan sekresi peptida. Dalam keadaan normal kadar mioinositol
4
dalam saraf kurang lebih 100 kali dari kadamya dalam plasma.
3. Teori Hipoksia
Hipotesis ini dikembangkan dari teori vaskuler dan teori metabolik, dimana perubahan
vaskuler dan perubahan metabolik saling terkait satu sama lain. Hiperglikemia kronik
menyebabkan perubahan-perubahan metabolik yaitu : 1) perubahan pelepasan oksigen dari sel
darah merah; 2) perubahan pola aliran darah mikrovaskuler; 3) perubahan mikrovaskuler itu
sendiri. Secara keseluruhan menyebabkan mikrohipoksia endoneuron yang mempengaruhi
perubahan-perubahan struktural dan fungsional pada serabut-serabut saraf.4
Aliran darah yang menuju ke saraf perifer tikus yang dibuat menderita DM berkurang
akibat terjadinya mikroangiopati dan hiperviskositas. Keadaan ini akan didapatkan penurunan
oksigen endoneuronal yang selanjutnya akan menurunkan kecepatan saraf, kandungan
mioinositol, transport aksoplasmik, aktivitas Na-K-ATPase dan konsumsi oksigen.
Berkurangnya oksigen ini akan menyebabkan kerusakan saraf. 4
4. Teori Hormonal
Fungsi saraf perifer pada polineuropati diabetika dipengaruhi oleh 3 hormon : tiroksin,
testosterone, dan insulin. Williamson dkk mengamati bahwa ternyata pemberian tiroksin pada
tikus jantan DM dapat memperbaiki hantaran saraf motorik dan peningkatan aktivitas Na-K-
ATPase. Sedangkan pemberian insulin dengan maksud mencegah glukosa normal (euglikemia)
ternyata dapat mencegah neuropati diabetika.15
Akibat hiperglikemia terjadi penimbunan sorbitol dan fruktosa melalui jalur polyol di
dalam sel Schwan yang menyebabkan akumulasi air di dalamnya dan terjadi peningkatan
tekanan osmotik di dalam sel Schwann. Hal ini akan mengakibatkan kerusakan sel saraf dan
selanjutnya terjadi demielinasi.4
7. Teori Autoimun
1. Toksisitas glukosa
2. Disfungsi endotel
3. Perubahan biiokimiawi
1. Toksisitas glukosa
Kadar glukosa yang tinggi dapat mengganggu fungsi dan replikasi sel, termasuk sel
beta pankreas. Glukosa juga memiliki efek toksik langsung pada endotel dengan mengganggu
fungsi replikasi sel endotel sehingga jumlahnya akan berkurang dan kemudian meningkatkan
permeabilitas lapisan endotel, yang akan mnegakibatkan masuknya bahan-bahan yang berasal
dari sirkulasi darah ke dalam lapisan intima dan media.4
2. Disfungsi endotel
Endotel mempunyai peran yang sangat penting sebagai daerah antara sirkulsi dan
dinding vaskuler. Resistensi insulin, hierglikemia dan asam lemak bebas mempengaruhi fungsi
endotel dan mengurangi produksi NO. Karena NO merupakan kunci anti-aterogen maka
temuan ini mempunyai arti klinis yang penting dalam perkembangan komplikasi vaskuler.
Hiperglikemia dapat menyebabkan disfungsi endotel melalui 3 mekanisme yaitu ; 1) sintesis
Diacylglycerol (DAG) yang mengaktifkan protein kinase C (PKC); 2) peningkatan metabolism
aldose reductase; 3) pembentukan AGEs. 4
Peningkatan PKC oleh DAG kemudian akan merangsang sintesis dan daya kerja
prostanoid, yang dapat mengurangi produksi NO. Aktivitas aldose reductase dapat
menyebabkan peningkatan konversi NADPH yang tereduksi menjadi bentuk teroksidasi
(NADP) dan meningkatkan konversi NAD menjadi NADH. Pemakaian yang berlebihan
kofaktor NADPH, dapat menyebabkan pengurangan konversi glutation teroksidasi (GSSH)
menjadi bentuk reduksi (GSH). GSH merupakan suatu antioksidan seluler yang penting,
kekurangannya dapat menyebabkan terjadinya stres oksidatif. Stres oksidatif dianggap sebagai
faktor patogenik komplikasi diabetes karena produksi radikal bebas selama peningkatan kadar
glukosa akut dapat menyebabkan terjadinya glikasi yang labil, auto-oksidasi glukosa dan
aktivasi jalur polyol intraseluler yang kemudua dapat menyebabkan ketidakseimbangan rasio
NADH/ NAD dan mempermudah pembentukan radikal bebas. Kelainan metabolik ini semua
Penelitian mengenai AGE telah membuktikan bahwa kenaikan AGE yang cukup tinggi
dapat disebabkan oleh berbagai reaksi oksidatif termasuk peroksidase lipid. AGE dapat
terbentuk melalui oksidasi suatu produk yang disebut sebagai amadori (1 amino-1-deoksi
ketose) yang merupakan hasil reaksi glukosa dengan gugus amino protein. Pada dinding
pembuluh darah kecil maupun besar terjadi akumulasi penimbunan secara kontinu protein
plasma yang berasal dari AGE, dan keadaaan ini akan berperan pada proses penyempitan
lumen pembuluh darah. Disamping itu, AGE juga meningkatkan aktivitas prokoagulan,
pembentukan adhesion molecules (ICAM, VCAM, ELAM), meningkatkan stres oksidatif,
menstimulasi produksi faktor proinflamator serta menurunkan aktivitas NO. 4
3. Perubahan biokimiawi
Kedua, perubahan yang terjadi secara lambat seperti yang terjadi pada moleku
ekstraseluler sebagai akibat dari kondisi hiperglikemi, menyebabkan terbentuknya produk
peroksidase lipid oleh AGE. Kelainan ini akan mengakibatkan disfungsi pada organ target
yang akan mengakibatkan kerusakan tidak langsung melalaui perubahan struktur dan fungsi
dari elemen mesenkimal penunjang atau mikrovaskuler.4
Indikator kuat untuk membuktikan bagaimana peran stress oksidatif dalam neuropati
diabetika, dibuktikan oleh beberapa penelitian mengenai penggunaan antioksidan baik pada
binatang percobaan maupun pada pasien. Mekanisme yang menyebabkan sres oksidatif pada
hiperglikemik kronik dan perkembangan neuropati telah diperiksa pada model dengan
binatang. Stres oksidatif ini dihubungkan dengan perkembangan apoptosis pada neuron dan
menyokong sel glia dan kemudian dapat menyatukan mekanisme yang membuat perusakan
sistem saraf pada diabetes. 16
Stres oksidatif terjadi dalam sebuah sistem seluler saat produksi dari radikal bebas
melampaui kapasitas antioksidan dari sistem tersebut. Jika antioksidan seluler tidak
memindahkan radikal bebas, radikal bebas tersebut menyerang dan merusak protein, lipid, dan
asam nukleat. Oksidasi produk radikal bebas menurunkan aktifitas biologi, membuat hilangnya
energi metabolisme, sinyal sel, transport, dan fungsi-fungsi utama lainnya. Hasil produknya
juga membuat degradasi proteasome kemudian dapat menurunkan fungsi seluler. Akumulasi
dari beberapa kerusakan membuat sel mati melalui nekrotisasi atau mekanisme apoptosis. 16
Pada binatang percobaan dampak terjadinya stres oksidatif pada sel glia akan
menyebabkan proses demielinasi di mana hal ini diterangkan dengan adanya penurunan Nerve
Conduction Velocity (NCV) dan manifestasinya berupa timbulnya gejala nyeri sedangkan pada
neuron akan menyebabkan aksonopati, penurunan kapasitas regenerasi dari akson sehingga
menimbulkan gejala negative pada neuropati diabetika perifer. 18
Neuropati diabetika adalah gejala dan/ atau tanda dari disfungsi saraf perifer dari
penderita diabetes tanpa adanya penyebab lain selain diabetes melitus setelah dilakukan ekslusi
penyebab yang lainnya. Polineuropati diabetika menggambarkan keterlibatan banyak saraf tepi
dan distribusinya umumnya bilateral simetris meliputi gangguan sensorik, motorik, maupun
otonom.19
Istilah neuropati merupakan terminologi yang luas, dimana saraf tepi mengalami
gangguan fungsi yang bisa disebabkan berbagai faktor antara lain metabolik, trauma,
entrapment (jepitan), penyakit defisiensi, keracunan (zat kimia toksik, logam berat), gangguan
imunologis bahkan etiologi yang sifatnya genetic. Neuropati diabetika adalah keadaan dimana
saraf tepi mengalami gangguan fungsi akibat kerusakan seluler ataupun molekuler yang
etiologinya karena penyakit diabetes melitus (DM). Sedangkan istilah polineuropati diabetika
menggambarkan keterlibatan banyak saraf tepi dan distribusinya umumnya bilateral simetris
meliputi gangguan motoric, sensorik maupun otonom.20,21
1. Gejala Sensorik
Gejala sensorik lebih sering pada segmen distal anggota gerak, dan lebih sering pada
tungkai daripada lengan. Akibat disfungsi saraf sensorik, dapat menimbulkan simtom positif,
simtom negatif, atau kombinasi keduanya.10,24
Keluhan sensorik yang termasuk simtom positif adalah : parestesi atau “gringgingan”,
rasa seperti terbakar, nyeri seperti tertusuk, rasa gatal. Sedang keluhan sensorik yang termasuk
simtom negatif adalah : mati rasa, rasa tebal (hipestesi), seperti mengenakan kaos kaki, seperti
2. Gejala Motorik
Gejala motorik adalah keluhan yang disampaikan oleh penderita, sebagai akibat
kelemahan otot-otot yang berfungsi sebagai alat gerak aktif dari organ tertentu tubuh kita.
Kelemahan otot tersebut disebabkan karena terlibatnya serabut-serabut saraf motorik pada
neuropati diabetika.27
Distribusi kelemahan atau paralisis otot pada polineuropati diabetika adalah khas.
Biasanya otot-otot kaki dan tungkai bawah yang pertama kali terkena dan kurang berat. Pola
ini dapat dijelaskan dengan pathogenesis dari “dying back neuropathy” atau “distal
axonopathy.”10,28
Pendekatan yang lebih praktis untuk pemeriksaan motorik pada pasien-pasien dengan
polineuropati diabetika adalah dengan pemberian skor kekuatan otot secara klinis. Kekuatan
otot dinilai dengan gradasi 0-5.
0 : tidak didapatkan adanya kontraksi otot.
1 : didapatkan sedikit kontraksi otot.
2 : pergerakan aktif terbatas, tidak mampu melawan gaya berat.
3 : pergerakan aktif melawan gaya berat
4 :pergerakan aktif melawan gaya berat dan tahanan ringan.
3. Gejala Otonom
Akibat terlibatnya serabut-serabut saraf otonom pada polineuropati diabetika dapat
menimbulkan berbagai keluhan yang disampaikan penderita. Karena dapat mengenai semua
sistem simpatis maupun parasimpatis, maka keluhan yang disampaikan sangat bervariasi.
Keluhan-keluhan tersebut meliputi antara lain :27
Kelumpuhan Proksimal Sulit naik tangga, sulit bangkit dari kursi atau lantai, terjatuh
sulit bekerja dengan atau mengangkat lengan atas diatas
bahu.
Otonom
Sudomotor Tidak berkeringat, keringat banyak setempat, berkeringat
saat makan, kulit kering.
Kardiovascular Melayang pada posisi tegak, pingsan, sinkop saat BAK /
batuk/ kegiatan fisik.
Seksual Impoten, sulit ejakulasi, ejakulasi retrograd, sulit orgasme.
Sulit menahan BAB /BAK ngompol, anyang-anyangan,
BAB /BAK muntah (terutama bila makan tertahan), diare malam hari,
sulit BAB (konstipasi).
Pupil Sulit adaptasi gelap / terang
Neuropati diabetika mempunyai gambaran klinis yang sangat luas, sehingga muncul
berbagai klasifikasi. Namun kebanyakan para ahli menerima klasifikasi yang diusulkan
Thomas (1997) sebagaimana tertera di bawah ini.
Classification of Diabetic Neuropathy
A. Diffuse Neuropathy
1. Distal symmetric sensorimotor polyneuropathy
2. Autonomic Neuropathy
a. Sudomotor neuropathy
b. Cardiovascular autonomic neuropathy
c. Gastrointestinal neuropathy
d. Genitourinary neuropathy
3. Symmetric proximal lower limb motor neuropathy (amyotrophy)
B. Focal Neuropathy
1. Cranial Neuropathy
2. Radiculopathy/ Plexopathy
3. Entrapment Neuropathy
4. Asymmetric lower limb motor neuropathy (amyotrophy)
B. Focal Neuropathy
1. Cranial Neuropathy/ Neuropati Kranial
Sering pada pasien DM tipe II dengan pengendalian glukosa yang buruk. Saraf yang
mungkin terkena nervus III, nervus IV, nervus VI, dan nervus VII. Paling sering terjadi
opthalmoplegi nervus III akut tanpa kontriksi pupil dan lebih 50% disertai nyeri periorbital
serta dahi. Bila mengenai nervus VII sulit dibedakan dengan Bell’s palsy. Umumnya diatas
50 thn. Patogenesisnya adalah iskemia di bagian sentral fasikulus saraf sehingga serabut
26
parasimpatis yang terletak lebih perifer selamat. Remisi dapat terjadi dalam 3 - 6 bulan.
a. Radikuloneuropati Torakoabdominal.
Terutama pada orang tua yang lama menderita DM dan mungkin disertai penurunan
berat badan nyata. Lebih banyak mengenai penderita DM tipe II. Manifestasi klinisnya
berupa rasa nyeri akut di dada atau abdomen. Nyeri dirasakan seperti terbakar, menikam
seperti dibor, mengikat atau nyeri dalam yang parah pada malam hari. Serangan nyeri
umumnya unilateral kemudian dapat menjadi bilateral. Hipersensitif terhadap sentuhan,
kontak dengan pakaian terasa nyeri atau tidak enak (alodinia). Defisit sensoris berupa
hipestesi sesuai distribusi dermatomal, terutama distribusi interkostal. Kelemahan otot
interkostal dan/ atau abdomen sesuai dengan distribusi radiks yang terkena. Dinding perut
dapat menonjol dan sering kali disalah mengerti sebagai massa abdomen ataupun hernia.
Sering dijumpai bersamaan dengan polineuropati simetris distal. Pada pemeriksaan
elektrodiagnostik diduga kelainan pada radiks saraf. 22,23
b. Radikulopleksopati Lumbosakral
Sering terjadi pada pasien usia tua > 50 tahun dengan diabetes yang tidak terkontrol.
50% penderita berat badannya berkurang. Gejala mulai secara unilateral kemudian menyebar
ke arah kontralateral. Dimulai dari nyeri unilateral pinggul bawah belakang, atau punggung
bawah dan menyebar ke paha bagian depan. Bisa terjadi kelemahan yang progresif pada
pinggul dan otot paha, dapat terjadi atrofi otot proksimal otot tungkai bawah.
1. Anamnesis
Diagnosis neuropatik diabetika terutama didasarkan pada anamnesis yang tipikal.
Pemeriksaan neurologis dan penunjang hanya sedikit membantu dalam diagnosis, tetapi
diperlukan untuk menyingkirkan penyebab penyebab nyeri yang lain. 30
Gejala nyeri neuropatik diabetika biasanya mulainya pelan-pelan, yang khas berawal
dari jari-jari kaki kemudian menjalar ke proksimal sampai tunkai bawah. Tangan jarang
terkena dan biasanya tidak begitu berat dan terjadinya lebih akhir dari kaki. Tidak ada
hubungan antara beratnya neuropati dengan intensitas nyeri. Sifat nyeri pada nyeri neuropatik
diabetika sangat bervariasi dan berbeda-beda antara pasien yang satu dengan pasien yang lain
dan dapat berubah-ubah dari waktu ke waktu pada pasien yang sama. Nyeri dapat muncul
spontan atau dibangkitkan oleh rangsang tertentu. Nyeri spontan dapat berlangsung terus
menerus, meskipun intensitas bervariasi, seperti terbakar, berdenyut, atau intermitent/
paroksismal yang biasanya berlangsung singkat seperti kesetrum, ditusuk atau ditembak. 30
Penderita dapat mengalami alodinia dengan keluhan sprei tempat tidurnya mengiritasi
kaki sehingga mengganggu tidurnya, tidak jarang penderita tidur dengan kaki menggantung
diluar tempat tidurnya. Selain itu perlu ditanyakan apakah ada pasien mengalami gangguan
sensorik berupa rasa baal, kesemutan dan gangguan proprioseptik berupa kesulitan menjaga
keseimbangan bila menutup mata atau saat gelap. Adanya tanda kelemahan anggota gerak
juga harus ditelusuri. Apakah pasien bisa memakai sandal tanpa sering terlepas, kesulitan
menaiki tangga, adanya gangguan gerakan halus tangan. 30
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pasien dengan nyeri neuropati diabetika dilakukan pada semua
tubuh, ini berkaitan dengan komplikasi yang mungkin terjadi pada penderita DM.
Pemeriksaan neurologis rutin ditambah dengan perabaan denyut arteri perifer.
Berbeda dengan pemeriksaan rutin, disini yang lebih diutamakan mencari gejala positif
seperti alodinia dan hiperalgesia. 30
Pemeriksaan rasa getar rutin dengan garputala 128 Hz, rasa getar ini dihantarkan oleh
serat saraf perifer besar bermielin. Gangguan pada fungsi ini sering mendahului reflek
Pemeriksaan symptom scoring dan physical examination scoring yang telah terbukti
memiliki sensitifitas dan spesifitas baik untuk mendiagnosis neuropati atau polineuropati
diabetika adalah skor Diabetic Neuropathy Symptom (DNS) dan skor Diabetic Neuropathy
Examination (DNE). Selain itu, Toronto Clinical Score (TCS) juga dapat dipergunakan karena
telah divalidasi dan memiliki hubungan dengan pemeriksaan elektrodiagnostik dan kontrol
kadar gula darah.31,32
Pemeriksaan ini mempunyai sensitivitas sebesar 96% dan spesifitas 51%. Skor
Diabetic Neuropathy Examination (DNE) adalah sebuah sistem skor untuk mendiagnosa
polineuropati distal pada diabetes melitus. DNE adalah sistem skor yang sensitif dan telah
divalidasi dengan baik dan dapat dilakukan secara cepat dan mudah di praktek klinik. 31
Skor 0 adalah normal; skor 1: defisit ringan atau sedang (kekuatan otot 3-4, refleks dan
sensitivitas menurun); skor 2: defisit berat (kekuatan otot 0-2, refleks dan sensitivitas negative/
tidak ada). Nilai maksimal dari 4 macam pemeriksaan tersebut di atas adalah 16. Sedangkan
kriteria diagnostik untuk neuropati bila nilai > 3 dari 16 nilai tersebut.
Skor Diabetic Neuropathy Symptom (DNS) merupakan 4 poin yang bernilai untuk skor
gejala, dengan prediksi nilai yang tinggi untuk menyaring polineuropati pada diabetes. Gejala
jalan tidak stabil, nyeri neuropatik, parestesi atau rasa tebal. Satu gejala dinilai skor 1,
maksimum skor 4. Skor 1 atau lebih diterjemahkan sebagai positif polineuropati diabetik.31
Meijer dkk pada tahun 2002 menyimpulkan bahwa skor DNS dapat digunakan untuk
diagnosis klinis polineuropati diabetika yag mudah dilakukan dalam praktek klinis, tetapi harus
dikombinasikan dengan metode lain.34
Asad dkk pada tahun 2009 dalam penelitian tentang perbandingan studi konduksi saraf
dengan skor DNE dan DNS pada neuropati diabetes tipe 2 menyimpulkan bahwa skor DNE
dan DNS dapat digunakan untuk mendeteksi neuropati diabetika. Tahun 2010 Asad dkk dalam
uji reabilitas neurological skor untuk penilaian neuropati sensorimotor pada pasien DM tipe 2
mendapatkan skor DNS mempunyai sensitivitas 64,41% dan spesifitas 80,95% serta
menyimpulkan bahwa pada semua skor, DNE yang paling sensitif dan DNS adalah yang paling
spesifik.35
Latar belakang dari pemeriksaan Toronto Clinical Scoring System (TCSS) adalah
bahwa selama ini belum ada pemeriksaan klinik yang sederhana tetapi dapat dipakai untuk
mengetahui ada tidaknya dan beratnya neuropati diabetika. TCSS menggunakan sistem skor 0-
19 dan telah dilakukan validasi antara TCSS dengan morfologi saraf melalui biopsi pada saraf
suralis. TCSS sebagai alat skrining maupun diagnosis adanya neuropati diabetika sebelumnya
juga telah dilakukan uji nilai diagnostik yaitu dibandingkan dengan Elektroneuromiografi
a. Gejala
Gejala pada kaki berupa nyeri, rasa tebal, kesemutan dan kelemahan. Gejala adanya
ataksia serta gejala pada .lengan. Sistem skornya adalah : adanya gejala skor 1, tidak ada gejala
skor 0.
b. Pemeriksaan Refleks
Pemeriksaan dilakukan pada kaki kiri dan kanan untuk refleks patella dan Achilles.
Sistem skornya adalah tidak ada reflek skor 2, reflek menurun skor 1, dan reflek normal skor 0.
c. Pemeriksaan Sensorik
Pemeriksaan meliputi nyeri tusuk, suhu, raba halus, vibrasi, dan posisi. Sistem skornya
adalah sensorik abnormal skor 1, sensorik normal skor 0.
Total skor keseluruhan adalah 19.
Hasilnya adalah klinik untuk neuropati diabetika dengan rentang 0-19 terdiri dari 6 untuk
gejala, 8 untuk reflek tungkai dan 5 untuk sensoris ibu jari.
11 - 19 : ND berat
d. Rasa suhu
Ada dua macam rasa suhu, yaitu rasa panas dan rasa dingin. Rangsangan rasa suhu
yang berlebihan akan mengakibatkan rasa nyeri. Rasa suhu diperiksa dengan menggunakan
tabung reaksi yang diisi dengan air es untuk rasa dingin dan untuk rasa panas dengan air panas.
Penderita disuruh mengatakan "dingin" atau "panas" bila dirangsang dengan tabung reaksi
yang berisi air dingin atau air panas. Untuk memeriksa rasa dingin dapat digunakan air yang
bersuhu sekitar 10-20 °e, dan untuk rasa panas yang bersuhu 40-50° C. Suhu yang kurang dari
5°C dan yang lebih tinggi dari 50°C dapat menimbulkan rasa nyeri.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang membantu diagnosis dan monitoring neuropati diabetika
meliputi.
Pemeriksaan Elektrofisiologik
Pemeriksaan hantar saraf dan elektromiografi akan menambah informasi dalam
evaluasi klinis atau diperlukan dalam penelitian. Tetapi secara umum untuk dapat
mendiagnosis neuropati diabetika tidak harus diperlukan pemeriksaan elektrofisiologis
kecuali pada pasien dengan gejala tanda otonom murni atau hanya nyeri seperti pada
radikulopati dan nyeri neropatik simetris distal anggota gerak. Walaupun pemeriksaan
elektrofisiologis standar sebenarnya tidak dapat mendeteksi serabut saraf berukuran kecil,
tetapi pada neuropati diabetika hampir tidak ada yang selektif mengenai serabut ukuran kecil.
22, 30
Biopsi
Biopsi kulit dikerjakan pada neuropati serabut berukuran kecil termasuk neuropati
diabetika. Pada biopsi saraf antara lain ditemukan antara lain hilangnya akson, degenerasi
walerian, dan penebalan membrana basalis endoneural.Dengan neuropeptida serabut saraf
intraepidermal diwarnai untuk melihat gambaran ujung akhiran saraf. 22
Secara umum kecepatan hantar saraf (KHS) memeriksa transmisi elektris melalui
saraf dan penurunan KHS menandakan adanya kerusakan pada saraf, dan dengan
pemeriksaan KHS dapat diperiksa berbagai saraf di tungkai dan lengan. Kecepatan hantar
saraf (KHS) mengukur serat saraf sensorik bermyelin besar dan serat saraf motorik, jadi tidak
dapat mengetahui kelainan pada neuropati selektif serat bermyelin kecil. Pemeriksaan KHS
sensorik mengakses integritas sel-sel ganglion radiks dorsalis dan akson perifernya. KHS
sensorik berkurang pada demielinasi serabut saraf sensorik. KHS motorik biasanya lambat,
terutama di bagian distal. Respon motorik mungkin amplitudonya normal atau berkurang bila
penyakitnya bertambah parah. Penyelidikan kecepatan hantar saraf sensorik biasanya lebih
jelas daripada perubahan KHS motorik. 38,39
Deteksi adanya neuropati diabetika merupakan area menarik bagi peneliti dan klinisi
untuk didalami, tidak hanya untuk mendiagnosis dan mengelolanya lebih dini namun juga
untuk memahami patofisifisiologinya yang masih terus digali lebih dalam. Secara umum
KHS diterima sebagai bagian penting untuk mendiagnosis neuropati diabetika karena
manfaatnya yang banyak. 42,43
Polineuropati distal sensoris atau sensorimotor adalah bentuk paling umum dari
neuropati diabetika. Baik serabut saraf kecil (yang bermielin tipis dan tidak bermielin)
ataupun serabut saraf besar (yang bermielin tebal) sama-sama terkena. Defisit paling dini
melibatkan serabut saraf kecil (small nerve fibers) yang dicirikan dengan defisit persepsi
nyeri dan suhu, parasthesia, disesthesia dan merupakan predisposisi untuk terjadinya ulkus
kaki. Keterlibatan serabut saraf besar (large nerve fibers) bermielin tebal dicirikan dengan
kehilangan rasa posisi dan getar serta hilangnya refleks tendo dalam. Pada polineuropati
diabetika pemeriksaan KHS menunjukkan bahwa hantaran sensorik yang terganggu berupa
:penurunan kecepatan hantaran saraf sensorik, penurunan amplitudo dan pemanjangan
potensial aksi. 1,32
Neuropati perifer merupakan komplikasi mayor dari diabetes melitus dan perubahan
penanda dapat diobservasi pada saraf sensorimotor. Penurunan KHS yang signifikan dengan
distal latensi yang memanjang merupakan indikasi kerusakan selubung myelin. Penurunan
dalam CMAP dan SNAP merupakan indikasi onset kejadian aksonopati. Bila neuropati
diabetika tidak didiagnosis lebih dini maka ulkus kaki dan arthropati neuropatik (Charcot
joint) merupakan dua komplkasi neurologis mayor yang dapat terjadi pada neuropati
diaebtika. Gejala neuropati diabetika juga dapat diamati pada pasien diabetes yang baru
Pandya dkk melaporkan penurunan KHS motorik dan sensorik, CMAP dan SNAP
secara signifikan, baik pada ekstremitas atas maupun bawah pada pasien DM dengan kontrol
gula yang buruk. KHS tidak hanya digunakan untuk mendiagnosis neuropati diabetika
namun juga untuk mengevaluasi pengobatan. Dengan pemeriksaan KHS secara teratur dan
kontrol gula yang baik, gejala dari neuropati diabetika dapat diperbaiki dan komplikasi lebih
lanjut seperti ulkus kaki, Charcot’s joint dan amputasi dapat dicegah. 1
F-wave adalah gelombang otot respon lambat yang dihasilkan dari aktivasi
antidromik dari sejumlah motor neuron sebagai kelanjutan dari stimulasi elektrik pada saraf
perifer . Nabil melaporkan SCV n. medianus dan n. suralis serta MCV n. tibialis berkurang
secara signifikan pada pasien DM asimtomatis, sedangkan CMAP dan SNAP tidak berbeda
bermakna dengan kontrol. Hal ini memunculkan dugaan bahwa efek dini diabetes pada saraf
perifer terutama adalah kelainan patologik demielinasi. 47,48
Nabil juga melaporkan bahwa latensi F-wave pada pasien DM asimtomatis berkurang
secara signifikan baik pada ekstremitas atas maupun bawah. Hal ini menempatkan F-wave
sebagai indikator sensitif yang bisa dipakai pada deteksi dini lesi saraf subklinis. Manfaat
utama dari F-wave adalah untuk mendeteksi neuropati perifer dimana F-wave mungkin
menunjukkan perubahan klinis dan pengukuran yang signifikan bahkan sebelum KHS
menunjukkan abnormalitas. 47,48
Penggunaan lain dari pengukuran F-wave adalah untuk mengevaluasi lesi saraf
proksimal. Pemeriksaan F-wave dapat memberikan informasi pasien yang mengalami
kompresi radiks servikal atau lumbal ataupun sindroma terowongan karpal. F-wave dapat
digunakan untuk menyingkirkan adanya radikulopati pada pasien DM. 49,50
EMG jarang menimbulkan aktivitas spontan abnormal dan amplitudo motor unit
bertambah, keduanya ini menunjukkan hilangnya akson dengan reinervasi kompensatorik. Bila
kerusakan saraf kecil memberi keluhan nyeri neuropatik, kecepatan hantar sarafnya normal,
dan diagnosis memerlukan biopsi saraf. Hasil-hasil ENMG saja tidak pernah patognomonik
untuk suatu penyakit, walau pun dapat membantu atau menyangkal suatu diagnosis klinis.
Oleh karena itu pemeriksaan klinis dan neurologik serta anamnesis penting sekali untuk
membantu diagnosis pasti suatu penyakit.38
N. Medianus (motorik)
N. Ulnaris (motorik)
A : di m. abduktor hallusis brevis (AHB), medial pedis, 1 cm inferior dan distal os navikulare.
R : tendo m. AHB di digiti I
S1 : ankle, pertengahan maleolus medial- tendo akhilles
S2 : mid fossa poplitea
N. Medianus (sensorik)
N. Ulnaris (sensorik)
https://wiki.umms.med.umich.edu/display/NEURO/Nerve+Conduction+Study+Normal+Values
Fasciculation potential
Jika fibrilasi dihasilkan oleh keluarnya serat tunggal ,maka potensial aksi
spontan yang berasal dari satu unit motor dinamakan fasikulasi dan terlihat di kulit
Neuromyotonic discharge
Merupakan ledakan unit potensial aksi motorik pada tingkat tinggi (150-300
Hz). Potensi ini tidak istimewa dalam penyakit tertentu.
MUP Myopati