Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

NEUROPATI DIABETIKUM

Oleh:

Fathia Sri Mulyani G991902020


Fauziah Nurul Laili G991902021
Muhammad Rijalullah G992003013

Pembimbing

Dr. Rivan Danuaji Sp. S, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RS UNS

2020

1
HALAMAN PENGESAHAN

Telah disetujui dan dibacakan jurnal untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret/ Rumah Sakit U
niversitas Sebelas Maret
dengan judul:

Neuropati Diabetikum
Oleh :
Fathia Sri Mulyani G991902020
Fauziah Nurul Laili G991902021
Muhammad Rijalullah G992003013

Pada
Hari, Tanggal:

Mengetahui dan menyetujui,


Pembimbing Referensi Artikel

dr.Rivan Danuaji, Sp. S, M.Kes


BAB I PENDAH
ULUAN

Neuropati diabetik adalah adanya gejala dan atau tanda dari disfungsi sa
raf penderita diabetes tanpa ada penyebab lain selain Diabetes Melitus (DM).Ne
uropati diabetik merupakan komplikasi paling sering dari penyakit DM dan dap
at menyebabkan kualitas hidup pasien menurun. Data epidemiologi menyatakan
bahwa kira-kira 30% sampai 40% pasien dewasa dengan DM tipe 2 menderita
Distal PeripheralNeuropathy (DPN). DPN berkaitan dengan berbagai faktor res
iko yangmencakup derajat hiperglikemia, indeks lipid, indeks tekanan darah, du
rasi menderita diabetes dan tingkat keparahan diabetes. Kesemutan, tingling ata
u nyeri pada kaki sering merupakan gejala pertama.Langkah manajemen terhad
ap pasien adalah untuk menghentikan progresifitas rusaknya serabut saraf deng
an kontrol kadar gula darah secara baik. Mempertahankan kontrol glukosa dara
h ketat, HbA1c, tekanan darah, dan lipids dengan terapi farmakologis dan perub
ahan pola hidup.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi
Neuropati diabetik adalah adanya gejala dan atau tanda dari disfungsi sara
f penderita diabetes tanpa ada penyebab lain selain Diabetes Melitus (DM) (setel
ah dilakukan eksklusi penyebab lainnya). Neuropati diabetik merupakan kompli
kasi paling sering dari penyakit DM dan dapat menyebabkan kualitas hidup pasi
en menurun (Nascimento, 2016). Apabila dalam jangka yang lama glukosa darah
tidak berhasil diturunkan menjadi normal maka akan melemahkan dan merusak
dinding pembuluh darah kapiler yang memberi makan ke saraf sehingga terjadi
kerusakan saraf yang disebut neuropati diabetik.

B. Epidemiologi
Data epidemiologi menyatakan bahwa kira-kira 30% sampai 40% pasien de
wasa dengan DM tipe 2 menderita Distal Peripheral Neuropathy (DPN). DPN be
rkaitan dengan berbagai faktor resiko yang mencakup derajat hiperglikemia, ind
eks lipid, indeks tekanan darah, durasi menderita diabetes dan tingkat keparahan
diabetes. Studi epidemiologik menunjukkan bahwa kadar glukosa darah yang tid
ak terkontrol beresiko lebih besar untuk terjadi neuropati. Setiap kenaikan kadar
HbA1c 2% beresiko komplikasi neuropati sebesar 1,6 kali lipat dalam waktu 4 ta
hun.

C. Patofisiologi

Gambar 1. Patofisiologi Neuropati


1) Teori Vaskular
Proses terjadinya neuropati diabetik melibatkan kelainan vaskular. Penelitia
n membuktikan bahwa hiperglikemia yang berkepanjangan merangsang pemben
tukan radikal bebas oksidatif (reactive oxygen species). Radikal bebas ini merus
ak endotel vaskular dan menetralisasi Nitric Oxide (NO) sehingga menyebabka
n vasodilatasi mikrovasular terhambat. Kejadian neuropati yang disebabkan kel
ainan vaskular dapat dicegah dengan modifikasi faktor resiko kardiovaskular ya
itu hipertensi, kadar trigliserida tinggi, indeks massa tubuh dan merokok.
2) Teori Metabolik
Perubahan metabolisme polyol pada saraf adalah faktor utama patogenesis
neuropati diabetik. Aldose reduktase dan koenzim Nicotinamide Adenine Dinuc
leotide Phosphate (NADPH) mengubah glukosa menjadi sorbitol (polyol). Sorbi
tol diubah menjadi fruktosa oleh sorbitol dehidrogenase dan koenzim
Nicotinamide Adenine Dinucleotide (NAD+). Kondisi hiperglikemia menin
gkatkan aktifitas aldose reduktase yang berdampak pada peningkatan kadar sorb
itol intraseluler dan tekanan osmotik intraseluler. Kondisi tersebut menyebabka
n abnormalitas fungsi serta struktur sel dan jaringan (Kawano, 2014).
Hiperglikemia persisten juga menyebabkan terbentuknya senyawa toksik A
dvance Glycosylation End Products (AGEs) yang dapat merusak sel saraf. AGE
s dan sorbitol menurunkan sintesis dan fungsi Nitric Oxide (NO) sehingga kema
mpuan vasodilatasi dan aliran darah ke saraf menurun. Akibat lain adalah renda
hnnya kadar mioninositol dalam sel saraf sehingga terjadi neuropati diabetik.
Kondisi hperglikemia mendorong pembentukan aktivator protein kinase C e
ndogen. Aktivasi protein kinase C yang berlebih menekan fungsi Na-K-ATP-as
e, sehingga kadar Na intraselular berlebih. Kadar Na intraseluler yang berlebih
menghambat mioinositol masuk ke sel saraf. Akibatnya, transduksi sinyal saraf t
erganggu. Aktivasi protein kinase C juga menyebabkan iskemia serabut saraf pe
rifer melalui peningkatan permeabilitas vaskuler dan penebalan membrana basal
is yang menyebabkan neuropati (Kawano, 2014).

3) Teori Nerve Growth Factor (NGF)


NGF adalah protein yang dibutuhkan untuk meningkatkan kecepatan dan m
empertahankan pertumbuhan saraf. Kadar NGF cenderung menurun pada pasien
diabetes dan berhubungan dengan tingkat neuropati. Penurunan NGF menggang
gu transport aksonal dari organ target menuju sel (retrograde) (Prasetyo, 2011).
NGF juga berfungsi meregulasi gen substance P dan Calcitonin-Gen-Regula
ted Peptide (CGRP) yang berperan dalam vasodilatasi, motilitas intestinal dan n
osiseptif. Menurunnya kadar NGF pada pasien neuropati diabetik, dapat menye
babkan gangguan fungsi-fungsi tersebut.

D. Gejala Klinis
Gejala bergantung pada tipe neuropati dan saraf yang terlibat. Gejala bis
a tidak dijumpai pada beberapa orang. Kesemutan, tingling atau nyeri pada kaki
sering merupakan gejala pertama. Gejala bisa melibatkan sistem saraf sensoris,
motorik atau otonom.

E. Tabel.1. Gejala khas pada neuropati diabetik

Nonpainful Painful
Thick Prickling
Stiff Tingling
Asleep Knife-like
Prickling Electric shock-like
Tingling Squeezing
Constricting
Hurting
Burning
Freezing
Throbbing
F. Allodynia, Hyperalgesia

Dikutip dari : Boulton AJM. Management of Diabetic Peripheral Neuropathy. 200


5. Clinical Diabetes; 23:9-15.
Gambar 2. Macam Serabut Saraf

E. Tipe
National Diabetes Information Clearinghouse tahun 2013 mengelompokkan neu
ropati diabetik berdasar letak serabut saraf yang terkena lesi menjadi:
1) Neuropati Perifer
Neuropati Perifer merupakan kerusakan saraf pada lengan dan tungkai. Bias
anya terjadi terlebih dahulu pada kaki dan tungkai dibandingkan pada tangan da
n lengan. Gejala neuropati perifer meliputi:
a) Mati rasa atau tidak sensitif terhadap nyeri atau suhu
b) Perasaan kesemutan, terbakar, atau tertusuk-tusuk
c) Nyeri yang tajam atau kram
d) Terlalu sensitif terhadap tekanan bahkan tekanan ringan
e) Kehilangan keseimbangan serta koordinasi
Gejala-gejala tersebut sering bertambah parah pada malam hari.
Neuropati perifer dapat menyebabkan kelemahan otot dan hilangnya refleks,
terutama pada pergelangan kaki. Hal itu mengakibatkan perubahan cara berjala
n dan perubahan bentuk kaki, seperti hammertoes. Akibat adanya penekanan ata
u luka pada daerah yang mengalami mati rasa, sering timbul ulkus pada kaki pe
nderita neuropati diabetik perifer. Jika tidak ditangani secara tepat, maka dapat t
erjadi infeksi yang menyebar hingga ke tulang sehingga harus diamputasi.
2) Neuropati Autonom
Neuropati autonom adalah kerusakan pada saraf yang mengendalikan fungsi
jantung, mengatur tekanan darah dan kadar gula darah. Selain itu, neuropati aut
onom juga terjadi pada organ dalam lain sehingga menyebabkan masalah pencer
naan, fungsi pernapasan, berkemih, respon seksual, dan penglihatan.
3) Neuropati Proksimal
Neuropati proksimal dapat menyebabkan rasa nyeri di paha, pinggul, pantat
dan dapat menimbulkan kelemahan pada tungkai.
4) Neuropati Fokal
Neuropati fokal dapat menyebabkan kelemahan mendadak pada satu atau se
kelompok saraf, sehingga akan terjadi kelemahan pada otot atau dapat pula men
yebabkan rasa nyeri. Saraf manapun pada bagian tubuh dapat terkena, contohny
a pada mata, otot-otot wajah, telinga, panggul dan pinggang bawah, paha, tungk
ai, dan kaki.
Subekti (2009) mengelompokkan neuropati diabetik menurut perjalanan penyak
itnya menjadi:
1) Neuropati Fungsional
Neuropati ini ditandai dengan gejala yang merupakan manifestasi perubaha
n kimiawi. Pada fase ini belum ditemukan kelainan patologik sehingga masih be
rsifat reversible.
2) Neuropati Struktural/ Klinis
Pada fase ini gejala timbul akibat kerusakan struktural serabut saraf dan ma
sih ada komponen yang reversible.
3) Kematian Neuron/ Tingkat Lanjut
Kematian neuron akan menyebabkan penurunan kepadatan serabut saraf. K
erusakan serabut saraf biasanya dimulai dari bagian distal menuju ke proksimal,
sebaliknya pada proses perbaikan dimulai dari bagian proksimal ke distal. Sehin
gga lesi paling banyak ditemukan pada bagian distal, seperti pada polineuropati
simetris distal. Pada fase ini sudah bersifat irreversibel.
F. Diagnosis
1) Konsensus San Antonio
Penegakan neuropati diabetik dapat ditegakkan berdasarkan konsen
sus San Antonio. Pada konsensus tersebut telah direkomendasikan bahwa
paling sedikit 1 dari 5 kriteria dibawah ini dapat dipakai untuk menegakka
n diagnosis neuropati diabetika, yakni:
a) Symptom scoring;
b) Physical examination scoring;
c) Quantitative Sensory Testing (QST)
d) Cardiovascular Autonomic Function Testing (cAFT)
e) Electro-diagnostic Studies (EDS).
Pemeriksaan symptom scoring dan physical examinationscoring tel
ah terbukti memiliki sensitifitas dan spesifitas tinggi. Instrumen yang digu
nakan adalah Diabetic Neuropathy Symptom (DNS) dan skor Diabetic Neu
ropathy Examination (DNE).

2) Diabetic Neuropathy Examination (DNE)


Alat ini mempunyai sensitivitas sebesar 96% dan spesifisitas sebesa
r 51%. Skor Diabetic Neuropathy Examination (DNE) adalah sebuah siste
m skor untuk mendiagnosa polineuropati distal pada diabetes melitus. DN
E adalah sistem skor yang sensitif dan telah divalidasi dengan baik dan dap
at dilakukan secara cepat dan mudah di praktek klinik. Skor DNE terdiri da
ri 8 item, yaitu:
A) Kekuatan otot: (1) quadrisep femoris (ekstensi sendi lutut); (2)tibialis a
nterior (dorsofleksi kaki). B) Relfeks: (3) trisep surae/tendo achiles. C)
Sensibilitas jari telunjuk: (4) sensitivitas terhadaptusukan jarum. D) Sensib
ilitas ibujari kaki: (5) sensitivitas terhadap tusukan jarum; (6) sensitivitas t
erhadap sentuhan; (7) persepsi getar ; dan (8) sensitivitas terhadap posisi se
ndi.
Skor 0 adalah normal; skor 1: defisit ringan atau sedang (kekuatan
otot 3-4, refleks dan sensitivitas menurun); skor 2: defisit berat (kekuatan o
tot 0-2, refleks dari sensitivitas negatif/ tidak ada). Nilai maksimal dari 4 m
acam pemeriksaan tersebut diatas adalah 16. Sedangkan kriteria diagnostik
untuk neuropati bila nilai > 3 dari 16 nilai tersebut.
3) Skor Diabetic Neuropathy Symptoms (DNS)
Diabetic Neuropathy Symptom (DNS) merupakan 4 poinyang berni
lai untuk skor gejala dengan prediksi nilai yang tinggi untuk menyaring pol
ineuropati pada diabetes. Gejala jalan tidak stabil, nyeri neuropatik, paraste
si atau rasa tebal. Satu gejala dinilai skor 1, maksimum skor 4. Skor 1 atau
lebih diterjemahkan sebagai positif polineuropati diabetik.
Asad dkk tahun 2010, dalam uji reabilitas neurologikal skor untuk
penilaian neuropati sensorimotor pada pasien DM tipe 2 mendapatkan skor
DNS mempunyai sensitivitas 64,41% dan spesifitas 80,95 % dan menyimp
ulkan bahwa dalam semua skor, DNE yang paling sensitif dan DNS adalah
paling spesifik. Kesimpulan perbandingan studi konduksi saraf dengan sko
r DNE dan DNS pada neuropati diabetes tipe-2 adalah Skor DNE dan Skor
DNS dapat di gunakan untuk deteksi neuropati diabetika.

4) Pemeriksaan Elektrodiagnostik
Elektromiografi (EMG) adalah pemeriksaan elektrodiagnosis untuk
memeriksa saraf perifer dan otot. Pemeriksaan EMG adalah obyektif, tak t
ergantung input penderita dan tak ada bias. EMG dapat memberi informasi
kuantitatif funsi saraf yang dapat dipercaya. EMG dapat mengetahui dener
vasi parsial pada otot kaki sebagai tanda dini neuropati diabetik. EMG ini
dapat menunjukkan kelaianan dini pada neuropati diabetik yang asimptom
atik. Kecepatan Hantar Saraf (KHS) mengukur serat saraf sensorik bermye
lin besar dan serat saraf motorik sehingga tidak dapat mengetahui kelainan
pada neuropati selektif serat bermielin kecil. Pemeriksaan KHS sensorik m
engakses integritas sel-sel ganglion radiks dorsalis dan akson perifernya. K
HS sensorik berkurang pada demielinisasi serabut saraf sensorik. KHS mot
orik biasanya lambat dibagian distal lambat, terutama bagian distal. Respo
n motorik mungkin amplitudonya normal atau berkurang bila penyakitnya
bertambah parah. Penyelidikan kecepatan hantar saraf sensorik biasanya le
bih jelas daripada perubahan KHS motorik.

EMG jarang menimbulkan aktivitas spontan abnormal dan amplitu


de motor unit bertambah, keduanya menunjukkan hilangnya akson dengan
dengan reinervasi kompensatoris. Bila kerusakan saraf kecil memberi kelu
han nyeri neuropatik, kecepatan hantar sarafnya normal dan diagnosis me
merlukan biopsi saraf. Hasil-hasil EMG saja tidak pernah patognomonik u
ntuk suatu penyakit, walau ia dapat membantu atau menyangkal suatu diag
nosis klinis. Oleh karena itu, pemeriksaan klinis dan neurologik serta ama
mnesis penting sekali untuk membantu diagnosis pasti suatu penyakit.
5) Visual Analoque Scale (VAS)
Banyak metode yang lazim diperkenalkan untuk menentukan deraja
t nyeri , salah satunya adalah Visual AnaloqueScale (VAS). Skala ini hany
a mengukur intensitas nyeri seseorang.
VAS yang merupakan garis lurus dengan ujung sebelah kiri diberi ta
nda 0 = untuk tidak nyeri dan ujung sebelah kanan diberi tanda dengan ang
ka 10 untuk nyeri terberat yang terbayangkan.
Cara pemeriksaan VAS adalah penderita diminta untuk memproyek
sikan rasa nyeri yang dirasakan dengan cara memberikan tanda berupa titik
pada garis lurus Visual Analoque Scale antara 0-10 sehingga penderita dap
at mengetahui intensitas nyeri. VAS dapat diukur secara kategorikal. Melia
la mengemukakan nyeri ringan dinilai dengan VAS :0-<4,sedang nilai VA
S : >4-7, berat dengan nilai VAS >7-10.

G. Tatalaksana
Gambar 3. Manajemen Neuropati Diabetik
Langkah manajemen terhadap pasien adalah untuk menghentikan
progresifitas rusaknya serabut saraf dengan kontrol kadar gula darah secara
baik. Mempertahankan kontrol glukosa darah ketat, HbA1c, tekanan darah,
dan lipids dengan terapi farmakologis dan perubahan pola hidup. Komponen
manajemen diabetes lain yaitu perawatan kaki, pasien harus diajar untuk
memeriksa kaki mereka secara teratur.
Strategi pengelolaan pasien DM dengan keluhan neuropati diabetik dibagi
menjadi 3 bagian:
1. Diagnosis sedini mungkin
2. Kendali glikemik dan perawatan kaki
3. Pengendalian keluhan neuropati/ nyeri neuropati diabetik setelah strategi
kedua dikerjakan
Perawatan umum
Perawatan pada kulit, jaga kebersihannya, terutama pada kaki, hindari
trauma pada kaki seperti menghindari pemakaian sepatu yang sempit. Cegah t
rauma berulang pada neuropati kompresi.
Pengendalian Glukosa Darah
Berdasarkan patogenesisnya, maka langkah pertama yang harus dilaku
kan ialah pengendalian glukosa darah dan monitor HbA1c secara berkala. Dis
amping itu pengendalian faktor metabolik lain seperti hemoglobin, albumin, d
an lipid sebagai komponen tak terpisahkan juga perlu dilakukan. Dengan men
gendalikan glukosa darah, komplikasi kronik diabetes termasuk neuropati dap
at dikurangi.
Tabel 2. Terapi Medikamentosa

Sejauh ini, selain kendali glikemik yang ketat, belum ada bukti kuat su
atu terapi dapat memperbaiki atau mencegah neuropati diabetik. Namun demi
kian, untuk mencegah timbulnya komplikasi kronik DM termasuk neuropati,
saat ini sedang diteliti penggunaan obat-obat yang berperan pada proses timb
ulnya komplikasi kronik diabetes, yaitu :
 Golongan aldose reductase inhibitor, yang berfungsi menghambat penimbuna
n sorbitol dan fruktosa
 Penghambat ACE
 Neurotropin (nerve growth factor, brain-derived neurotrophic factor)
 Alpha lipoic acid, suatu antioksidan kuat yang dapat membersihkan radikal hi
droksil, superoksida dan peroksil serta membentuk kembali glutation
 Penghambat protein kinase C
 Gangliosides, merupakan komponen utama membrane sel
 Gamma linoleic acid (GLA), suatu prekusor membrane fosfolipid
 Aminoguanidin, berfungsi menghambat pembentukan AGEs
 Human intravenous immunoglobulin, memperbaiki gangguan neurologik mau
pun non neurologik akibat penyakit autoimun

Sedangkan untuk mengatasi berbagai keluhan nyeri, sangat dianjurkan


untuk memahami mekanisme yang mendasari keluhan tersebut, antara lain ak
tivasi reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) yang berlokasi di membrane p
ost sinaptik spinal cord dan pengeluaran substance P dari serabut saraf besar
A yang berfungsi sebagai neuromodulator nyeri.
Manifestasi nyeri dapat berupa rasa terbakar, hiperalgesia, alodinia, ny
eri menjalar, dll.Pemahaman terhadap mekanisme nyeri penting agar dapat m
emberi terapi yang lebih rasional, meskipun terapi nyeri neuropati diabetik pa
da dasarnya bersifat simtomatis.
Pedoman pengelolaan ND dengan nyeri yang dianjurkan ialah :
1. NSAID (ibuprofen 600 mg 4x/hari, sulindac 200mg 2x/hari). Dapat membantu meng
urangi peradangan yang disebabkan oleh neuropati diabetik dan juga mengurangi ras
a sakit.

 Interaksi: kombinasi dengan aspirin meningkatkan resiko efek samping atau d


engan probenecid dapat meningkatkan konsentrasi dan kemungkinan toksisita
s NSAID.
 Kontra Indikasi : hipersensitivitas, perdarahan GI Tract, terutama penyakit ul
kus peptikum, penyakit ginjal, penyakit jantung
 Efek samping : perhatian pada pasien yang berpotensi mengalami dehidrasi, e
fek jangka panjang dapat meningkatkan nekrosis papiler ginjal, nefritis interst
itial, proteinuria, terkadang bisa terjadi sindrom nefrotik.

2. Antidepresan trisiklik (amitriptilin 50-150 mg malam hari, imipramin 100mg/


hari, nortriptilin 50-150 mg malam hari, paroxetine 40 mg/ hari) Antidepresan
trisiklik (TCA) umumnya merupakan pengobatan yang paling banyak diguna
kan pada diabetes neuropati sensorimotor.Mekanisme kerja TCA terutama ma
mpu memodulasi transmisi dari serotonin dan norepinefrin (NE).Antidepresa
n trisiklik menghambat pengambilan kembali serotonin (5-HT) dan noradrena
lin oleh reseptor presineptik.Disamping itu, antidepresan trisiklik juga menur
unkan jumlah reseptor 5-HT (autoreseptor), sehingga secara keseluruhan ma
mpu meningkatkan konsentrasi 5-HT dicelah sinaptik.Hambatan reuptake nor
epinefrin juga meningkatkan konsentrasi norepinefrin dicelah sinaptik. Penin
gkatan konsentrasi norepinefrin dicelah sinaptik menyebabkan penurunan jum
lah reseptor adrenalin beta yang akan mengurangi aktivitas adenilsiklasi. Pen
urunan aktivitas adenilsiklasi ini akan mengurangi siklik adenosum monofosf
at dan mengurangi pembukaan Si-Na. Penurunan Si-Na yang membuka berart
i depolarisasi menurun dan nyeri berkurang. Pada penggunaan dosis tinggi pada l
anjut usia harus dilakukan EKG terlebih dahulu, karena efek trisiklik dapat memperp
anjang gelombang QT dan blok jantung.Efek antikolinergik yang dapat timbul ad
alah mulut kering (xerostomia), sembelit, pusing, penglihatan kabur, dan rete
nsi urin.Selain itu TCA juga dapat menimbulkan sedasi dan hipotensi ortostati
k.

 Amitriptilin : bila berinteraksi dengan Phenobarbital akan menurunkan efek a


mitriptilin, kombinasi dengan simetidin dapat meningkatkan dosis amitriptilin.
Kontraindikasi bila ada hipersensitivitas, riwayat kejang, aritmia jantung, gla
ukoma, retensi urin.
 Imipramin : mekanisme kerja obat ini dengan menghambat re-uptake norepin
efrin pada sinapsis di pusat jalur menurun modulasi nyeri terletak di batang ot
ak dan sumsum tulang belakang. Kontraindikasi bila ada hipersensitivitas, pe
nggunaan bersama MAOIs, dan bila selama periode pemulihan akut infark mi
okard

3. Antikonvulsan (gabapentin 900mg 3x/hari, karbamazepin 200mg 4x/hari) Farmakolo


gi obat ini memblokir saluran dan menghambat komponen neuronik spesifik.Antikon
vulsan merupakan gabungan berbagai macam obat yang dimasukkan kedalam satu go
longan yang mempunyai kemampuan untuk menekan kepekaan abnormal dari neuro
n-neuron di sistem saraf sentral.Seperti diketahui nyeri neuropati timbul karena adan
ya aktivitas abnormal dari sistem saraf.Nyeri neuropati dipicu oleh hipereksitabilitas
sistem saraf sentral yang dapat menyebabkan nyeri spontan dan paroksismal. Resepto
r NMDA dalam influks Ca2+ sangat berperan dalam proses kejadian wind-up pada n
yeri neuropati. Prinsip pengobatan nyeri neuropati adalah penghentian proses hiperak
tivitas terutama dengan blok Si-Na atau pencegahan sensitisasi sentral dan peningkat
an inhibisi.

 Karbamazepin
Digunakan dalam neuropati perifer sebagai baris ketiga agen jika semua agen
lain gagal untuk mengurangi gejala neuropati diabetik. Merupakan antikonvul
san generasi pertama.Kombinasi dengan fenobarbital, fenitoin, atau primidon
e dapat menurunkan dosis.Kontraindikasi bila ada hipersensitivitas dan riway
at gangguan depresi sumsum tulang.
 Gabapentin
Gabapentin meningkatkan kadar GABA di otak. Bila berinteraksi dengan anta
sida dapat mengurangi bioavailabilitas dari gabapentin secara signifikan.Kont
raindikasi bila ada hipersensitivitas.
4. Antiaritmia (mexilletin 150-450 mg/hari)

Mekanisme kerja : obat obat antiaritmia kelas 1 bekerja dengan meng


hambat kanal natrium yang sensitif voltase oleh mekanisme yang sama denga
n kerja anestesi lokal. Penurunan kecepatan masuknya natrium memperlamba
t kecepatan kenaikan fase nol dari potensi yang aksi (catatan : pada dosis tera
peutik, obat obat ini mempunyai efek yang kecil terhadap membran dalam ke
adaan istirahat dan membran terpolarisasi penuh). Karena itu, obat obat antiar
itmia kelas 1 umumnya menyebabkan penurunan aksi eksitabilitas dan kecepa
tan konduksi.
5. Topical : capsaicin 0,075% 4x/hari, fluphenazine 1mg 3x/hari, transcutaneous
electrical nerve stimulation. Beberapa pertimbangan praktis dalam penggunaa
n klinis krim capsaicin. Pertama, dilakukan tiga atau empat kali setiap hari un
tuk daerah yang terkena.Capsaicin mengurangi rasa sakit akibat radang sendi,
penyakit ruam saraf, sakit saraf.Capsaicin merupakan komponen alami yang t
erkandung dalam cabai merah.Komponen ini mengurangi sensitivitas reseptor
saraf kulit perasa sakit (yang dikenal dengan C-fibers). Dalam praktik sehari-
hari, jarang ada obat tunggal mampu mengatasi nyeri neuropati diabetes.Mesk
ipun demikian, pengobatan nyeri umumnya dimulai dengan obat antidepresan
atau antikonvulsan tergantung ada atau tidaknya efek samping.Dosis obat dap
at ditingkatkan hingga dosis maksimum atau sampai efek samping muncul.Ka
dang-kadang kombinasi antidepresan dan antikonvulsan cukup efektif.Bila de
ngan rejimen ini belum atau kurang ada perbaikan nyeri, dapat ditambahkan o
bat topikal. Bila tetap tidak atau kurang berhasil, kombinasi obat yang lain da
pat dilakukan.

Edukasi
Disadari bahwa perbaikan total sangat jarang terjadi, sehingga dengan
kenyataan seperti itu, edukasi pasien menjadi sangat penting dalam pengelola
an neuropati diabetik. Target pengobatan dibuat serealistik mungkin sejak aw
al, dan hindari memberi pengharapan yang berlebihan. Perlu penjelasan tenta
ng bahaya kurang atau hilangnya sensasi rasa di kaki, perlunya pemeriksaan k
aki secara berkala.
Pencegahan
1. Pemeriksaan berkala untuk glukosa darah
2. Pengendalian Glukosa Darah
3. Diet dan Olahraga teratur

H. Neuropati Diabetik dan COVID-19


Kadar glukosa plasma dan DM adalah prediktor independen untuk mo
rtalitas dan morbiditas pada pasien dengan SARS. Potensi mekanisme yang d
apat meningkatkan kerentanan untuk COVID-19 pada pasien dengan DM mel
iputi: 1) Entri virus yang efisien, 2) penurunan proses pembersihan virus, 3) b
erkurangnya fungsi sel T, 4) peningkatan kerentanan terhadap hiperinflamasi
dan sindrom badai sitokin, dan 5) adanya CVD
Ekspresi ACE2 dalam sel AT2 alveolar, miokardium, ginjal, dan pan
kreas dapat mendukung pengikatan seluler SARS-CoV-2. Peningkatan ekspre
si ACE2 telah ditunjukkan di paru-paru, ginjal, jantung, dan pankreas dalam
model tikus DM. Pemberian insulin menurunkan ekspresi ACE2, sementara h
ipoglikemikagen seperti agonis peptida-1 seperti glukagon (GLP-1) (liraglutid
e) dan thiazolidinediones (TZD; pioglitazone), antihipertensi seperti inhibitor
ACE, dan statin meningkatkan regulasi ACE2. Banyak penelitian yang mene
mukan DM terkait secara kausal dengan peningkatan ekspresi ACE2 paru. St
udi-studi ini mendukung hipotesis bahwa pasien DM rentan terhadap infeksi
SARS-CoV-2.
DM menghambat kemotaksis neutrofil, fagositosis, dan pembunuhan
mikroba intraseluler. Kerusakan pada kekebalan adaptif ditandai dengan keter
lambatan awal dalam aktivasi imunitas yang dimediasi sel Th1 dan respons hi
perinflamasi lambat yang sering diamati pada pasien dengan diabetes. Pada p
asien dengan COVID-19, jumlah di perifer sel CD4 dan CD8 rendah, tetapi d
engan proporsi yang lebih tinggi dari sel T Th4 CD4, serta terjadi peningkata
n sitokin. Dengan demikian, kemungkinan besar pasien dengan DM memiliki
respon IFN anti-virus yang tumpul, dan aktivasi tertunda Th1 / Th17 dapat be
rkontribusi pada respon inflamasi yang terhambat
SARS-CoV-2 memasuki sistem saraf oleh salah satu dari dua cara: per
tama, dengan penyebaran vaskular sistemik dan kedua dengan penyebaran lok
al di cribriform plate tulang ethmoid. Baiget al mengusulkan bahwa sekali dal
am sirkulasi sistemik, virus menyerang jaringan saraf karena sifat-sifat neurot
ropismenya. Dalam hal ini, virus tersebut mengikat dan berinteraksi dengan r
eseptor angiotensin-converting enzyme 2 (ACE2) di endotel kapiler
Gejala utama pada sistem saraf yang dilaporkan adalah sakit kepala da
n disfungsi penciuman serta sensasi gustatory. Namun, penting untuk dicatat
bahwa belum ada data yang menunjukkan apakah keterlibatan neurologis adal
ah prediktor hasil yang buruk pada pasien dengan SARS-CoV-2. Pada data ya
ng diperoleh sampai saat ini, pasien lebih cenderung memiliki komorbiditas la
in yang signifikan, dan ini dapat mempengaruhi tingkat gejala sisa neurologis.
Penelitian unutk menyelidiki kejadian neurologis dan ekstra-pernapasan lainn
ya pada pasien dalam komunitas diperlukan. Apakah manifestasi neurologis
dari SARS-CoV-2 adalah sebagai akibat langsung dari sifat neuroinvasive vir
us atau sebagai konsekuensi tidak langsung dari penyakit komorbid, atau apak
ah itu merupakan kombinasi keduanya.
Perawatan jangka panjang yang dialami beberapa pasien saat ini mung
kin juga menimbulkan masalah lain, yaitu perawatan pasca-intensif sindrom
(PICS), khususnya polineuropati dan miopati. Terdapat beberapa laporan kas
us dari pasien terinfeksi SARS-CoV yang mengalami polineuropati dan miop
ati setelah infeksi virus. Mekanisme yang mendasarinya, meskipun tidak sepe
nuhnya dipahami, diperkirakan disebabkan oleh systemic inflammatory respo
nse syndrome (SIRS) yang memediasi pelepasan sitokin pro-inflamasi dan ra
dikal bebas, yang mempengaruhi sirkulasi mikro sistem saraf pusat dan siste
m saraf tepi dengan mengurangi pengiriman oksigen dan nutrisi. Juga penting
untuk dicatat bahwa faktor-faktor risiko untuk PICS telah diidentifikasi dan te
rmasuk jangka panjang ventilasi mekanik, hipoksia dan sepsis, fitur yang umu
m pada SARS-CoV-2. Namun, tidak ada laporan yang merinci gejala tersebut
pada pasien SARS-CoV-2 sejauh ini.
Penelitian lain menyebutkan bahwa COVID-19 juga berpengaruh pad
a pasien dengan diabetic foot. Peningkatan kadar sitokin (interleukin-6, interl
eukin-10, dan tumor necrosis factor-α) memainkan peran kunci dalam efek bu
ruk dari COVID-19. Disekuilibrium dalam sitokin proinflamasi terlibat dala
m patogenesis Charcot osteoarthropathy. Selain itu, neuropati adalah kontrib
utor terpenting bagi pengembangan lesi pada kaki penderita diabetes. Pada sa
at yang sama, hal itu dapat mengurangi respon inflamasi terhadap infeksi. Bis
a dibilang, neuropati berat pada pasien dengan diabetic foot mungkin memilik
i beberapa pengaruh pada produksi sitokin pro-inflamasi dalam infeksi COVI
D-19. Dan yang terakhir, pasien dengan dispnea biasanya mengurangi kegiata
n setiap harinya. Hal ini dapat berkontribusi pada tingkat penyembuhan yang
lebih cepat dari ulkus neuropati. Ironisnya, setiap kondisi buruk dengan intens
itas aktivitas yang berkurang, termasuk pada pasien COVID-19, dapat memba
ntu dalam hal ini.

Laporan Kasus: Infeksi COVID 19 yang muncul sebagai motorik neuropati perife
r
Pada 23 Maret 2020, seorang pria berusia 69 tahun datang ke Rumah Sakit
Ulster di Irlandia Utara setelah bangun dengan kelemahan tungkai bawah bilater
al tiga hari sebelum masuk rumah sakit lalu membaik dengan sendirinya. Pasien
mengalami mati rasa di kedua kakinya yang berlangsung selama berjam-jam. Pa
sien tidak memiliki sakit punggung, dan tidak ada gejala di lengan, wajah, atau
visual.Pasien membantah gejala sfingterik atau mirip flu. Ia memiliki riwayat hi
pertensi, diabetes melitus tipe 2, dan penyakit paru obstruktif kronik ringan. Dua
hari sebelum masuk rumah sakit dia bisa berjalan bermil-mil. Pasien di swab di
unit gawat darurat untuk COVID 19 karena batuk kronis yang tidak berubah dan
dirawat di bangsal COVID 19. Hasil tesnya positif, sehingga penyelidikan lebih
lanjut ditangguhkan sampai dia sembuh dari COVID19 atau memburuk.
Kekuatan ototnya berkurang menjadi empat dari lima di kedua lutut, dan ke
kuatan otot lainnya normal. Tidak ada gangguan tingkat sensorik. Lutut dan per
gelangan kakinya tidak tersentak secara bilateral dan memiliki gaya berjalan ata
ksia.
Gambar 4. Hasil lab pasien
Dikutip dari : Abdelnour, L., Abdalla, M. E., & Babiker, S. (2020). COVID 19 i
nfection presenting as motor peripheral neuropathy. Journal of the Formosan M
edical Association..

Hasil laboratorium situnjukkan pada Gambar 1. Foto rontgen dada (CXR) a


walnya normal. Pada hari keempat masuk (hari ketujuh timbulnya gejala) dia me
miliki suhu tubuh 38 C dan kebingungan. Dia melakukan foto thorax ulang pada
30 Maret, menunjukkan lobus kanan bawah terdapat konsolidasi, konsisten deng
an infeksi COVID 19.

Setelah suhu stabil, ia melakukan swab ulang pada 31 Maret, yang masih po
sitif, tapi ternyata negatif pada 3 April, jadi dia menjalani pemeriksaan MRI kep
ala dan seluruh tulang belakang. Hasil menunjukkan tidak ada bukti peradangan
atau demielinasi, dengan bukti dari beberapa infark lama di frontal kiri, parietal,
dan lobus oksipital. Pasien mengalami pemulihan yang lambat tetapi spontan, ke
kuatan otot dan gaya berjalannya membaik tanpa perawatan khusus dan dipulang
kan ke rumahnya sendiri pada hari ke 18 masuk rumah sakit (21 hari dari awal ti
mbul gejala).
BAB III
RINGKASAN

Neuropati diabetik adalah adanya gejala dan atau tanda dari disfungsi saraf
penderita diabetes tanpa ada penyebab lain selain Diabetes Melitus (DM).
Manajemen terhadap pasien neuropati diabetikum adalah untuk menghentikan
progresifitas rusaknya serabut saraf dengan kontrol kadar gula darah secara
baik. Mempertahankan kontrol glukosa darah ketat, HbA1c, tekanan darah, dan
lipids dengan terapi farmakologis dan perubahan pola hidup. Komponen
manajemen diabetes lain yaitu perawatan kaki, pasien harus diajar untuk
memeriksa kaki mereka secara teratur. Diagnosis dilakukan dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
DAFTAR PUSTAKA

Abdelnour, L., Abdalla, M. E., & Babiker, S. (2020). COVID 19 infection prese
nting as motor peripheral neuropathy. Journal of the Formosan Medical A
ssociation.

Kawano, T. (2014). A Current Overview of Diabetic Neuropathy –Mechanisms,


Symptoms, Diagnosis, and Treatment. In: Da Silva, P.A. editor. Periphera
l Neuropathy. Chapter 5. InTech. p.89-105

Lumbantobing SM. (2013) Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jak
arta : penerbit FKUI. 2013.

Muniyappa, R., & Gubbi, S. (2020). COVID-19 pandemic, coronaviruses, and


diabetes mellitus. American Journal of Physiology-Endocrinology and
Metabolism, 318(5), E736-E741.

Nascimento OJ, Pupe CC, Cavalcanti EB. (2016). Diabetic Neurophaty. Sao Pa
ulo.

NHS. (2010). Neuropathic pain The pharmacological management of neuropathic pain


in adults in non-specialist settings. www.nice.org.uk/guidance/CG96

Papanas, N., & Papachristou, S. (2020). COVID-19 and diabetic foot: Will the
lamp burn bright?.

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. (2011) Konsensus Pengelolaan dan


Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta: PB,
PERKENI.

Prasetyo, M. (2011). Pengaruh Penambahan Alpha Lipoic Acid terhadap Perbai


kan Klinis Penderita Polineuropati Diabetika. Dipetik November 2, 2016,
dari Tesis Universitas Diponegoro: http://eprints.undip.ac.id/30687/6/Bab
_5.pdf

Simadibrata, M., Setiati, S., Editor. (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jili
d 3. 5th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pp.1947-5
1

Tandra, H., 2007. Komplikasi Diabetes Kronis. Segala Sesuatu yang Harus And
a Ketahui Tentang Diabetes. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.h:44-45

Prasetyo, M. (2011). Pengaruh Penambahan Alpha Lipoic Acid terhadap Perbai


kan Klinis Penderita Polineuropati Diabetika. Dipetik November 2, 2016,
dari Tesis Universitas Diponegoro: http://eprints.undip.ac.id/30687/6/Bab
_5.pdf

Whittaker, A., Anson, M., & Harky, A. (2020). Neurological manifestations of


COVID‐19: A review. Acta Neurologica Scandinavica.

Anda mungkin juga menyukai