Anda di halaman 1dari 31

Referensi Artikel

LABIOPALATOSCHIZIS

DISUSUN OLEH :

Elga Zuherli G99172066


Mutia Azmi Suswandari G99172119
Maya Angela P. G99181044
Dina Ayu Apriyani G991902015
Dwiana Kartikawati G991902016
Eillien Ramadhani Fauzi G991902017

PEMBIMBING :

drg. Widia Susanti, M.kes

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU PENYAKIT GIGI DAN MULUT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS
RSUD DR. MOEWARDI
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Referensi artikel ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan


Klinik/Program Studi Profesi Bagian Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret/RSUD Dr. Moewardi dengan judul:

LABIOPALATOSCHIZIS

Hari, tanggal: , Oktober 2019

Oleh:
Elga Zuherli G99172066
Mutia Azmi Suswandari G99172119
Maya Angela P. G99181044
Dina Ayu Apriyani G991902015
Dwiana Kartikawati G991902016
Eillien Ramadhani Fauzi G991902017
Mengetahui dan menyetujui,
Pembimbing Presentasi

drg. Widia Susanti, M.kes

NIP. 19780516 200004 2 008

1
BAB I

PENDAHULUAN

Bibir sumbing atau labioschizis adalah suatu kelainan bawaan yang terjadi
pada bibir bagian yang dapat disertai kelainan pada langit-langit. Bibir sumbing
merupakan suatu gangguan pada pertumbuhan wajah sejak embrio umur minggu
ke IV. Labiopalatoschizis bervariasi menurut kelompok ras dan daerah geografis.
Terjadi 1:700 pada kelahiran kaukasoid, dimana lebih sering pada laki-laki
daripada perempuan. Labiopalatoschizis disebabkan oleh multifaktor baik genetik
maupun lingkungan. Celah dapat diklasifikasikan menjadi primer dan sekunder,
lengkap atau tidak lengkap, unilateral dan bilateral (Mitchell, 2012).

Menurut World Health Organization (2019), labiopalatoschizis terjadi


setidaknya 1 per 500-700 kelahiran di seluruh dunia, rasio tersebut bervariasi
tergantung pada kondisi geografis dan kelompok etnis tertentu. Menurut Dudas et
al. (2007) faktor yang dapat menyebabkan terjadinya labiopalatoschizis secara
garis besar adalah faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik meliputi
ras, jenis kelamin, riwayat keluarga, serta mutasi genetik yang menyebabkan
sindrom tertentu. Faktor lingkungan meliputi faktor geografis, paparan faktor
risiko dalam kehamilan, konsumsi alkohol, merokok, gizi buruk saat kehamilan,
infeksi virus, obat teratogenik, serta faktor di tempat kerja dan di rumah. Studi
terbaru bahkan menunjukkan bahwa kegemukan selama kehamilan diduga
berhubungan dengan kejadian labiopalatoschizis.
Belahnya belahan dapat sangat bervariasi, mengenai salah satu bagian atau
semua bagian daridasar cuping hidung, bibir, alveolus dan palatum durum serta
molle. Suatu klasifikasi berguna membagi struktur-struktur yang terkena menjadi:
Palatum primer meliputi bibir, dasar hidung, alveolus dan palatum durum
dibelahan foramen incisivum. Palatum sekunder meliputi palatum durum dan
molle posterior terhadap foramen. Suatu belahan dapat mengenai salah satu atau
keduanya, palatum primer dan palatum sekunder dan dapat unilateral atau
bilateral.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. Anatomi

Rongga mulut merupakan sebuah bagian tubuh yang terdiri dari: lidah,
palatum durum, palatum mole, dasar dari mulut, trigonum retromolar, bibir,
mukosa bukal, ‘alveolar ridge’, dan gingiva. Tulang mandibula dan maksila
adalah bagian tulang yang membatasi rongga mulut. (Snell RS, 2006).

Gambar 1. Anatomi Mulut


Pipi membentuk dinding bagian lateral masing-masing sisi dari rongga
mulut. Pada bagian eksternal dari pipi, pipi dilapisi oleh kulit. Sedangkan
pada bagian internalnya, pipi dilapisi oleh membran mukosa, yang terdiri dari
epitel pipih berlapis yang tidak terkeratinasi. Otot-otot businator (otot yang
menyusun dinding pipi) dan jaringan ikat tersusun di antara kulit dan
membran mukosa dari pipi. Bagian anterior dari pipi berakhir pada bagian
bibir. (Snell, 2006).
Anatomi Bibir dan Palatum
Secara anatomi, bibir dibagi menjadi dua bagian yaitu bibir bagian atas
dan bibir bagian bawah. Bibir bagian atas terbentang dari dasar dari hidung
pada bagian superior sampai ke lipatan nasolabial pada bagian lateral dan
batas bebas dari sisi vermilion pada bagian inferior. Bibir bagian bawah
terbentang dari bagian atas sisi vermilion sampai ke bagian komisura pada
bagian lateral dan ke bagian mandibula pada bagian inferior. (Snell, 2006).

3
Gambar 2. Anatomi normal bibir
Permukaan bibir bagian dalam dari bibir atas maupun bawah berlekatan
dengan gusi pada masing-masing bagian bibir oleh sebuah lipatan yang
berada di bagian tengah dari membran mukosa yang disebut frenulum labial.
Saat melakukan proses mengunyah, kontraksi dari otot-otot businator di pipi
dan otot-otot orbukularis oris di bibir akan membantu untuk memosisikan
agar makanan berada di antara gigi bagian atas dan gigi bagian bawah. Otot-
otot tersebut juga memiliki fungsi untuk membantu proses berbicara (Snell,
2006).
Palatum membentuk atap mulut, dibedakan menjadi dua bagian, yaitu
palatum durum di depan (bagian dari rongga mulut) dan palatum molle di
belakang (bagian dari oropharynx). Palatum memisahkan rongga mulut
dengan rongga hidung dan sinus maksilaris (Snell, 2006).
Suplai darahnya terutama berasal dari a. palatina mayor yang masuk
melalui foramen palitine mayor. Sedangkan a. palatina minor dan m.
palatina minor lewat melalui foramen palatine minor. Innervasi palatum
berasal dari n. trigeminus cabang maxilla yang membentuk pleksus yang
menginervasi otot-otot palatum. Selain itu, palatum juga mendapat innervasi
dari nervus cranial VII dan IX yang berjalan di sebelah posterior dari pleksus.
a) Palatum Durum
Palatum durum dibentuk oleh processus palatines ossis maxillae dan
lamina horizontalis ossis palatini. Dibatasi oleh arcus alveolaris, dan di
belakang berlanjut sebagai palatum molle. Palatum durum membentuk
dasar cavum nasi. Permukaan bawah palatum durum diliputi oleh
mucoperiosteum dan mempunyai rigi mediana. Membran mukosa di kanan
dan kiri rigi ini tampak berlipat-lipat (Snell, 2006).

4
b) Palatum Molle
Palatum molle merupakan lipatan yang melekat pada pinggir
posterior palatum durum. Pada garis tenggah pinggir posteriornya terdapat
uvula. Pinggir - pinggir palatum molle dilanjutkan sebagai dinding lateral
pharynx. Palatum molle terdiri atas membran mukosa meliputi permukaan
atas dan bawah palatum molle dan aponeurosis palatina adalah lapisan
fibrosa yang melekat pada pinggir – pinggir posterior palatum durum dan
merupakan lanjutan dari tendo m. tensor veli palatini. Otot palatum molle
adalah m. tensor veli palatine, m. levator veli palatine, m. palatoglossus,
m. palatopharyngeus, dan m. uvulae (Snell, 2006).
Secara fungsional, palatum molle berperan memisahkan oropharynx
dari nasopharynx selama menelan dan berbicara. Palatum molle mendekat
ke dinding posterior pharyngeal selama menelan untuk mencegah
regurgitasi nasopharyngeal dan mendekat selama berbicara untuk
mencegah udara keluar dari hidung (Snell, 2006).

Gambar 3. Anatomi Normal Palatum

II. Definisi

Labiopalatoschizis adalah suatu kelainan kongenital dimana keadaan


terbukanya bibir dan langit –langit rongga mulut dapat melalui palatum durum
maupun palatum mole, hal ini disebabkan bibir dan langit-langit tidak dapat
tumbuh dengan sempurna pada masa kehamilan. Pembedahan pada palato
dilakukan pada waktu 6 bulan dan 2 tahun, tergantung pada derajat kecacatan.
Awal fasilitas penutupan adalah untuk perkembangan bicara (Widjoseno, 2004).

5
III. Etiologi
Penyebab labiopalatoschizis belum diketahui dengan pasti dan memiliki
faktor risiko yang bervariasi (multifaktorial). Kebanyakan ilmuwan
berpendapat bahwa labiopalatoschizis muncul akibat kombinasi dari faktor
genetik dan faktor lingkungan. Faktor penyebab yang diduga dapat
menyebabkannya yaitu (Snell, 2006; Mansjoer A., et al., 2005; Muhammad
AH., 2012):
1. Genetik
Dasar genetik terjadinya celah bibir dikatakan sebagai gagalnya mesodermal
berproliferasi melintasi garis pertemuan, di mana bagian ini seharusnya
bersatu dan biasa juga karena atropi dari pada epithelium ataupun tidak
adanya perubahan otot pada epithelium ataupun tidak adanya perubahan otot
pada daerah tersebut sebagai tanda adanya hipoplasia mesodermal. Adanya
gen yang dominan dan resesif juga merupakan penyebab terjadinya hal ini.
Teori lain mengatakan bahwa celah bibir terjadi karena (Mansjoer A., et al.,
2005; Muhammad AH., 2012):
• Dengan bertambahnya usia ibu hamil dapat menyebabkan
ketidakkebalan embrio terhadap terjadinya celah.
• Adanya abnormalitas dari kromosom menyebabkan terjadinya
malformasi kongenital yang ganda.
• Adanya tripel autosom sindrom termasuk celah mulut yang diikuti
dengan anomali kongenital yang lain.
2. Faktor usia ibu
Semakin bertambahnya usia ibu sewaktu hamil, maka bertambah pula
risiko ketidak sempurnaan pembelahan meiosis.
3. Faktor lingkungan.
a. Zat kimia (rokok dan alkohol)
Pada ibu hamil yang masih mengkonsumsi rokok dan alkohol dapat berakibat
terjadi kelainan kongenital karena zat toksik yang terkandung pada rokok dan
alkohol yang dapat mengganggu pertumbuhan organ selama masa embrional.
b. Gangguan metabolik

6
Untuk ibu hamil yang mempunyai penyakit diabetes sangat rentan terjadi
kelainan kongenital, karena dapat menyebabkan gangguan sirkulasi
fetomaternal. Kadar gula dalam darah yang tinggi dapat berpengaruh pada
tumbuh kembang organ selama masa embrional.
c. Penyinaran radioaktif
Untuk ibu hamil pada trimester pertama tidak dianjurkan terapi penyinaran
radioaktif, karena radiasi dari terapi tersebut dapat mengganggu proses
tumbuh kembang organ selama masa embrional.
4. Obat Teratogenik
a. Obat – obatan yang dapat menyebabkan kelainan kongenital
terutama labio palatoschizis. Obat – obatan itu antara lain :
 Talidomid, diazepam (obat – obat penenang)
 Aspirin (Obat – obat analgetika)
 Kosmetika yang mengandung merkuri & timah hitam
(cream pemutih). Sehingga penggunaan obat pada ibu
hamil harus dengan pengawasan dokter.
b. kontrasepsi hormonal
Pada ibu hamil yang masih mengkonsumsi kontrasepsi hormonal, terutama
untuk hormon estrogen yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya
hipertensi sehingga berpengaruh pada janin, karena akan terjadi gangguan
sirkulasi fotomaternal.
5. Infeksi
Terutama pada infeksi toksoplasma dan klamidia. Selain itu, Frases
mengatakan bahwa virus rubella dapat menyebabkan cacat berat, namun
hanya sedikit kemungkinan dapat menyebabkan celah.
6. Trauma.
Strean dan Peer melaporkan bahwa trauma mental dan fisik dapat
menyebabkan terjadinya celah. Stres yang timbul menyebabkan
terangsangnya ACTH (adrenocorticotropic hormone) sehingga
merangsang kelenjar adrenal bagian glukokortikoid mengeluarkan
hidrokortison, sehingga akan meningkat di dalam darah yang dapat
menganggu pertumbuhan janin.

7
IV. Patogenesis

Menurut penelitian faktor genetik terjadi sebanyak 20-30%


pada kelainan ini. Jika anak dilahirkan dengan kelainan ini maka
bayi yang dilahirkan berikutnya pada orang tua yang sama
mempunyai risiko terjadinya celah bibir dan palatum sebesar 5%
dan jika orang tua dan satu anaknya mempunyai kelainan ini maka
kemungkinan terjadinya kelainan ini pada anak berikutnya sebesar
15%. Pada anak kembar persentasenya 30-50% (monozygot) dan
5% (dizygot). (Wrayetal, 2003).

Penyebab mutlak celah bibir dan palatum ini belum diketahui


sepenuhnya. Kombinasi faktor genetik dan lingkungan bisa menjadi
penyebab terjadinya kelainan ini. (Ismaniati dan Herdiana, 2007).

Bibir atas bayi berkembang di sekitar 5 minggu kehamilan dan


dari sekitar 8-12 minggu, palatum berkembang dari jaringan di
kedua sisi lidah. Biasanya jaringan ini tumbuh terhadap satu sama
lain dan bergabung di tengah. Ketika jaringan tidak bergabung di
tengah, akan terbentuk celah di bibir dan gusi. Celah pada bibir atas
mungkin hanya terbatas pada bibir atau dapat juga terjadi pada
palatum mole. Celah bibir unilateral terjadi akibat kegagalan fusi
dari prominens nasal medial dan prominens maxilla pada satu sisi.
Sedangkan celah bibir bilateral merupakan hasil dari kegagalan fusi
pada prominens nasal medial dengan prominens maxilla pada sisi
yang lain. Celah bibir inferior sangat jarang terjadi, dan biasanya
terletak tepat di tengah dan disebabkan oleh ketidaksempurnaan
penyatuan prominensia mandibularis.

Kelainan bibir sumbing dan celah palatum dapat berhubungan


dengan malformasi atau sindrom tertentu yang dikenal dengan
kelainan sindromik. bila kelainan ini tidak berhubungan dengan
malformasi atau sindrom tertentu disebut kelainan nonsindromik
(Kartika, 2014). Sindromik jika etiologi defek tersebut berasal dari

8
transmisi gen (yang diturunkan menurut hukum Mendel, seperti:
autosomal dominan, autosomal resesif atau X-linked), abrasi
kromosom seperti trisomi, efek dari agen teratogen atau lingkungan
(ibu yang menderita diabetes melitus, defisiensi asam folat,
terekspos rokok atau tembakau). Keadaan pasien anak dengan
etiologi sindromik biasanya disertai adanya synostosis, telecanthus,
hipoplasia maksila, facial nerve paresis atau paralysis, bentuk
mandibula yang tidak normal, excursion atau maloklusi. Sementara,
pasien yang digolongkan sebagai nonsindromik yaitu apabila tidak
ada kelainan pada leher dan kepala, memiliki fungsi kognitif dan
pertumbuhan fisik yang normal dan tidak adanya riwayat terekspos
teratogen atau faktor lingkungan. Multifactorial inheritance disebut
sebagai penyebabnya, dimana kecenderungan yang kuat dari
keluarga namun tidak ditemukan adanya pola Hukum Mendel atau
aberasi kromosom. (Bailey, 2006).

Faktor pemicu yang dapat menyebabkan kelainan celah bibir


dan langit- langit ini diantaranya adalah:
• Kekurangan nutrisi
• Radiasi (radiasi pada wanita hamil dapat menyebabkan
mutasi gen pembentuk wajah)
• Hipoksia
• Kelebihan atau kekurangan riboflavin dan asam folat
• Bahan kimia (etanol)
• diabetes melitus maternal
• Asap rokok
• Pemakaian obat-obatan (kortison, antihistamin)
• Infeksi (rubella, toksoplasmosis dan sifilis)
• Trauma pada trimester pertama kehamilan (Wrayetal, 2003).
Masalah yang ditimbulkan cacat ini adalah psikis, fungsi dan
estetik, ketiganya saling berhubungan. Masalah psikis yang mengenai
orang tua dapat diatasi dengan penerangan yang baik. Bila cacat
terbentuk lengkap sampai langit- langit, bayi tak dapat menghisap.

9
ASI harus dimanfaatkan dengan cara lain, dipompa dulu dan
diberikan per sendok atau dengan botol yang lubang dotnya cukup
besar

Tabel 1. Kelainan Sindromik yang Berhubungan denga Labiopalatal Cleft

V. Manisfestasi Klinis

1. Labioschisis
Pada labioschizis ditandai dengan adanya distorsi pada
hidung, tampak sebagian atau keduanya, dan didapatkan
adanya celah pada bibir. Sedangkan pada pasien biasa
dikeluhan gejala, seperti:
a. Deformitas pada bibir
b. Kesukaran dalam menghisap/makan.

10
c. Kelainan susunan archumdentis.
d. Distersi nasal sehingga bisa menyebabkan gangguan pernafasan.
e. Gangguan komunikasi verbal
f. Regurgitasi makanan.
Berat ringannya manisfestasi klinis dari labioschizis
bervariasi tergantung dari klasifikasinya. Berdasarkan lengkap
atau tidaknya celah terbentuk, tingkat kelainan bibir sumbing
bervariasi, mulai dari yang ringan hingga yang berat. Beberapa
jenis bibir sumbing yang diketahui adalah (Shah NS., et al.,
2011):
a) Unilateral Incomplete: jika celah sumbing terjadi hanya disalah
satu sisi bibir dan tidak memanjang hingga ke hidung. Terdapat
pada kanan atau kiri tanpa melibatkan alveolar. Insiden: 25 %
b) Unilateral Complete: jika celah sumbing yang terjadi hanya
disalah satu sisi bibir dan memanjang hingga ke hidung.
c) Bilateral Complete: jika celah sumbing terjadi di kedua sisi
bibir dan memanjang hingga ke hidung.

Gambar 1. Klasifikasi labiopalatoskizis.

11
Gambar 2. Klasifikasi labioschizis unilateral

Gambar 3. Klasifikasi labioschizis unilateral

Gambar 4. Klasifikasi labioschizis bilateral

12
2. Palatoschisis
Pada Palatoschizis, gejala dan tanda yang sering ditemui adalah:

1) Tampak ada celah pada tekak (unla), palato lunak, keras dan
faramen incisive.
2) Ada rongga pada hidung.
3) Distorsi hidung
4) Teraba ada celah atau terbukanya langit-langit saat diperiksa dengan
jari
5) Kesukaran dalam menghisap/makan (Shah NS., et al.,
2011). Palatoschisis yang diklasifikasikan oleh Veau
dibagi dalam 4 golongan:

a) Group 1: cleft hanya pada palatum molle saja.


b) Group 2: cleft palatum molle dan durum, tidak meluas ke
foramen insisivus
c) Group 3: complete unilateral cleft, meluas dari uvula hingga
ke foramen insisivus pada midline, kemudian deviasi ke satu
sisi dan biasanya sampai ke alveolar pada gigi insisivus
lateral.
d) Group 4: complete bilateral cleft, mirip group 3 dengan dua
cleft yang meluas dari foramen insisivus ke alveolar.

13
3. Manifestasi klinis lain yang dapat terjadi pada labiopalatoschizis

a) Masalah asupan makanan


Merupakan masalah pertama yang terjadi pada bayi
penderita labioschizis. Adanya kelainan ini memberikan
kesulitan pada bayi untuk melakukan hisapan pada payudara
ibu atau dot. Tekanan lembut pada pipi bayi dengan
labioschizis mungkin dapat juga meningkatkan kemampuan
hisapan oral. Keadaan tambahan yang ditemukan adalah reflex
hisap dan reflex menelan pada bayi dengan laboschizis tidak
sebaik pada bayi normal dan bayi dapat menghisap lebih
banyak udara pada saat menyusu. Memegang bayi dengan
posisi tegak lurus dapat membantu proses menyusu bayi.
Menepuk – nepuk bayi secara berkala juga dapat membantu.

Gambar 6. The Haberman Feeder

Bayi yang hanya menderita labioschizis atau dengan


celah kecil pada palatum biasanya dapat menyusui, namun
pada bayi dengan labiopalatoschizis biasanya membutuhkan
penggunaan dot khusus (cairan dalam dot dapat keluar dengan

14
tenaga hisapan kecil) ini dibuat untuk bayi dengan
labiopalatoschizis dan bayi dengan masalah pemberian
makan / asupan makanan tertentu serta mencegah aspirasi.
(Mansjoer et al, 2005).

b) Masalah dental
Anak yang lahir dengan labioschizis mungkin
mempunyai masalah tertentu yang berhubungan dengan
kehilangan malformasi dan malposisi dari gigi geligi pada area
dari celah bibir yang terbentuk. (Mansjoer et al, 2005).
Pasien dengan celah bibir dan langit-langit sering
memperlihatkan congenital missing teeth terutama gigi
premolar dan lateral insisivus, supernumerary teeth terutama
pada daerah premaksila dan dekat celah, fused teeth, dan
malformed teeth. Gigi insisivus sentralis sering terlihat
malposisi sehingga relasi horizontal maupun vertikal di daerah
insisivus tampak tidak harmonis, demikian pula erupsi gigi-
gigi di sekelilingnya. Erupsi gigi menjadi terhambat terutama
gigi kaninus. Ektopik gigi molar atas juga sering terjadi, juga
over erupsi gigi geligi anterior bawah, hal ini disebabkan oleh
tidak adanya atau malposisi gigi anterior bawah.
Kelainan gigi geligi yang lain yaitu frekuensi anomali
lain yang tidak didapatkan pada anak yang tidak menderita
cleft-palate seperti tidak adanya benih gigi insisivus lateral di
daerah celah yang sangat sensitif terhadap gangguan tumbuh
kembang. Gigi insisivus lateral bisa juga mengalami
mesiodens, bentuk konus, atau runcing, mikrodontia gangguan
pembentukan gigi, erupsi, kelainan pembentukan akar dan
mahkota lain. Kelainan gigi-geligi ini juga menimbulkan
masalah estetik, berpotensi menimbulkan masalah fungsi,
masalah periodontal karena gigi tidak didukung oleh tulang
alveolar yang cukup dan masalah dalam restorasi gigi.
(Octavia Alfini, 2014).

15
c) Infeksi telinga
Anak dengan labiopalatoschizis lebih mudah untuk
menderita infeksi telinga karena terdapatnya abnormalitas
perkembangan dari otot – otot yang mengontrol pembukaan
dan penutupan tuba eustachius. (Mansjoer A., et al., 2005).
Insersi yang abnormal dari m.tensor veli palatine
menyebabkan tidak sempurnanya pengosongan pada telinga
tengah. Karena sfingter pada muara tuba eustachii kurang
normal maka lebih mudah terjadi infeksi di ruang telinga
tengah. Kemungkinan ini harus selalu diingat supaya tidak
sampai terjadi otitis media perforata.
d) Gangguan berbicara
Komunikasi normal pada manusia membutuhkan
struktur yang utuh dari bibir, rahang, lidah, gigi, dan palatum
yang bekerja di bawah koordinasi otot-otot respirasi dan pita
suara. Mengingat penderita celah bibir dan langit-langit
umumnya memiliki kesulitan mengontrol aliran udara, maka
produksi suara menjadi tidak normal. Suara labiodental seperti
f dan v sulit diucapkan bila bibir atas terlalu panjang, kencang,
dan sulit bergerak akibat jaringan parut yang timbul pasca
tindakan bedah korektif pada bibir. Malposisi gigi anterior atas
atau malformasi kontur alveolar ridge dapat mempengaruhi
pengucapan huruf s, z, th, f, dan v, juga deformitas alveolar
ridge atau palatum yang memendek dalam arah
anteroposterior serta menyempit dapat menyebabkan kesulitan
dalam mengucapkan huruf k, g, dan ng.
Pada bayi dengan labiopalatoschizis biasanya juga
memiliki abnormalitas pada perkembangan otot – otot yang
mengurus palatum mole. Saat palatum mole tidak dapat
menutup ruang / rongga nasal pada saat bicara, maka
didapatkan suara dengan kualitas nada yang lebih tinggi

16
(hypernasal quality of speech). Anak mungkin mempunyai
kesulitan berbicara atau memproduksi suara/ kata “p, b, d, t, h,
k, g, s, sh dan ch” dan terapi bicara (speech therapy) biasanya
sangat membantu. (Mansjoer et al, 2005).

VI. Diagnosis

Dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang


menyeluruh, diagnosis bibir sumbing dan celah palatum dapat
ditegakkan. Keluhan-keluhan umum selain keluhan estetik antara lain
gangguan bersuara, berbicara dan berbahasa, gangguan
menyusu/makan, gangguan pertumbuhan wajah, pertumbuhan gigi,
dan infeksi pendengaran. Pada pemeriksaan fisik kepala dan leher,
dapat ditemukan asimetri wajah, gangguan perkembangan telinga,
gangguan pendengaran, celah dan anomali septum, atresia koana,
gangguan rongga mulut dan gigi, fonasi, dan menelan.

Klasifikasi Veau untuk bibir sumbing dan celah palatum,


dikembangkan pada tahun 1931, merupakan klasifi kasi sederhana
namun kurang terperinci. Kelompok 1 hanya terdiri dari celah
palatum mole saja, kelompok 2 terdiri dari celah palatum mole dan
palatum durum yang mencapai ke foramen insisivus, kelompok 3
terdiri dari celah alveolar yang lengkap pada satu sisi saja yang juga
secara umum mengikutsertakan bibir, dan kelompok 4 terdiri dari
celah alveolar pada dua sisi, yang sering dikaitkan dengan bibir
sumbing kedua sisi (Bailey dan Johnson, 2006)

17
Gambar 7. Klasifikasi Veau

Klasifikasi selanjutnya merupakan klasifikasi yang lebih detail


berdasar pada perkembangan embriologi. Celah bibir/bibir sumbing
diklasifi kasikan menjadi unilateral dan bilateral, dan lebih lanjut
sebagai lengkap atau tidak lengkap. Bibir sumbing lengkap
merupakan celah yang mencapai seluruh ketebalan vertikal dari bibir
atas dan terkadang berkaitan dengan celah alveolar. Bibir sumbing
tidak lengkap terdiri dari hanya sebagian saja ketebalan vertikal dari
bibir, dengan bermacam-macam jenis ketebalan jaringan yang masih
tersisa, dapat berupa peregangan otot sederhana dengan bagian
kulit yang meliputinya atau sebagai pita tipis kulit yang
menyeberangi bagian celah tersebut (Bailey dan Johnson, 2006)

Celah palatum diklasifikasikan sebagai unilateral atau


bilateral, dan perluasannya lebih lanjut sebagai lengkap atau tidak
lengkap. Celah palatum ini diklasifi kasikan tergantung dari lokasinya
terhadap foramen insisivus. Celah palatum primer terjadi pada bagian
anterior foramen insisivus, dan celah palatum sekunder terjadi pada
bagian posterior dari foramen insisivus. Celah unilateral palatum
sekunder didefi nisikan sebagai celah yang prosesus palatum maksila
pada satu sisi bergabung dengan septum nasi. Celah bilateral lengkap

18
palatum sekunder tidak memiliki titik penyatuan maksila dan septum
nasi. Celah lengkap seluruh palatum melibatkan baik palatum primer
dan juga sekunder, dan melibatkan salah satu sisi atau kedua sisi
arkus alveolar, biasanya melibatkan juga bibir sumbing. Celah tidak
lengkap palatum biasanya hanya melibatkan palatum sekunder saja
dan memiliki tingkat keparahan yang beragam (Bailey dan Johnson,
2006)

Gambar 8. Klasifikasi Universias Lowa

Bibir sumbing dibagi menjadi unilateral kiri atau kanan, atau


bilateral (kelompok I), dapat juga lengkap (dengan ekstensi mencapai
dasar hidung) atau tidak lengkap. Bibir sumbing saja dapat terjadi,
namun celah yang terjadi pada daerah alveolus selalu dikaitkan
dengan bibir sumbing. Celah pada palatum dapat dibagi menjadi
primer (terlibatnya anterior foramen insisivum, kelompok IV) atau
sekunder (terlibatnya posterior dari foramen insisivum, kelompok II),
dan kelompok III yaitu pasien dengan bibir sumbing dan celah
palatum (Bailey dan Johnson, 2006).

19
VII. Diagnosis Banding

Terdapat beberapa sindrom yang dapat memunculkan


gambaran bibir sumbing, diantaranya sindroma Larsen, sindroma
Marshall Stickler, Oro-Facio- Digital (OFD), sindroma Roberts,
sindroma Mohr, Ectrodactyly-Ectoderman Displasia- Cleft , dan lain
lain (Rennie, 2005).

VIII. Penatalaksanaan

Untuk mendapatkan hasil yang optimal, diperlukan manajemen terpadu


tatalaksana labialpalatoschisis yang meliputi multidisiplin ilmu dan dalam
jangka panjang. Manajemen terpadu ini melibatkan dokter bedah mulut,
dokter anak, dokter anestesi, dokter THT, psikolog, terapis wicara,
paramedis, dan laboratorium.
Tabel 1. Protokol manajemen terpadu labialpalatoschisis (Erwin,
2000;Arbi, 2012)

Usia Tindakan
Prenatal Konsultasi psikolog mempersiapkan
orang tua dalam menerima kehadiran
anak dengan labialpalatoschisis
0-1 minggu Pemberian nutrisi dengan kepala
miring (posisi 45o)
1-2 minggu Pasang obturator untuk menutup
celah langitan dan pemakaian dot
khusus untuk mencegah aspirasi
10 minggu Labioplasty dengan mengikuti rules
of tens:
1. BB minimal 10 ponds
2. Usia 10 minggu
3. Hb minimal 10 gr/dl

18-24 bulan Palatoplasty


18 bulan-4 tahun Terapi wicara
4-6 tahun Velopharingeal flap apabila

20
ditemukan adanya velopharingeal
incompetence
Kunjungan berkala ke dokter gigi
anak
6-8 tahun Preventif orthodonsia
9-11 tahun Secondary alveolar bone grafting
11-18 tahun Orthodonsia lanjutan
18 tahun Evaluasi perawatan orthodonsia
Bedah orthognatik
Prenatal
Pada masa ini orang tua mendapatkan konsultasi dari tim psikolog untuk
mempersiapkan diri menghadapi kelahiran bayi dengan labialpalatoschisis.
Bimbingan psikologi diperlukan agar orang tua dapat menerima keadaan
ini dan secara bersama-sama dapat merawatnya dengan penuh kasih
sayang. Akan dijelaskan bahwa bayi perlu perhatian khusus, perlu
kerjasama yang baik antara orang tua dan tim medis dalam perawatan
jangka panjang agar bayi dapat berkembang secara optimal.
Kelahiran
Pada saat lahir, orang tua sudah harus mendapatkan pelatihan bagaimana
cara memasang dan membuka feeding plate/obturator. Botol susu dengan
bentuk dot khusus seperti haberman feeder yang mampu mengeluarkan
cairan tanpa bayi perlu mengerahkan tekanan negatif intra oral dapat
digunakan bila menyusui tidak berhasil. Pada pasien dengan
labialpalatoschisis bilateral diperlukan penggunaan plaster extra oral untuk
mengontrol pertumbuhan premaksila dimana hal ini akan
menguuntungkan waktu labioplasty.
Labioplasty
Operasi labioplasty dilakukan pada usia kurang lebih 3 bulan dan
mengikuti ketentuan rules of tens, yaitu :
1. BB minimal 10 ponds
2. Usia 10 minggu
3. Hb minimal 10 gr/dl

21
Tujuan utama labioplasty adalah menciptakan bibir dan hidung yang
seimbang dan simetris dengan jaringan parut minimal dan menciptakan
bibir yang berfungsi baik dengan mengurangi pengaruh operasi terhadap
pertumbuhan dan perkembangan lengkung maksila
Untuk tujuan tersebut maka setiap elemen celah bibir dan hidung harus
dibentuk seanatomis mungkin (kartilago, kulit, otot, dan mukosa nasal)
dengan memperhatikan pengambilan jaringan minimal untuk mencegah
kurangnya volume bibir dan hidung. Penanganan tepi insisi yang baik juga
harus dilakukan untuk mengurangi jaringan parut pasca operasi.
Palatoplasty

Tujuan palatoplasty adalah memisahkan rongga mulut dan rongga hidung,


membentuk katup velofaringeal yang kedap air dan kedap udara dan
memperoleh tumbuh kembang maksilofasial yang mendekati normal.
Tantangan daripada palatoplasty dewasa ini bukanlah hanya menutup
defek celah langit-langit namun juga didapatkan fungsi bicara yang
optimal tanpa mengganggu pertumbuhan maksilofasial.
Waktu yang tepat untuk dilakukannya palatoplasty masih menjadi
kontroversi. Sebagian ahli bedah mendukung waktu palatoplasty sebelum
usia 12 bulan karena lebih menguntungkan perkembangan bicara pasien
sebab proses belajar bicara dimulai pada usia 12 bulan. Penundaan
palatoplasty lebih menguntungkan untuk perkembangan maksilofasial
namun lebih merugikan untuk perkembangan bicara pasien. Waktu untuk
palatoplasty sampai sejauh ini secara ilmiah belum terbukti namun
sebagian besar ahli bedah sepakat bahwa palatoplasty harus dilakukan
pada usia kurang dari 2 tahun.
Berbagai faktor seperti teknik operasi, skill dokter bedah dan rendahnya
standar evaluasi terapi wicara juga berperan besar dan mempengaruhi hasil
palatoplasty. Terdapat berbagai teknik palatoplasty, namun yang paling
sering dipakai adalah teknik von Langenbeck dan V-Y pushback (Veau-
Wardill-Kilner).

Penilaian fungsi pendengaran dan bicara

22
Pendengaran dan fungsi bicara dievaluasi sejak lahir. Peran orang tua
dalam memperhatikan perkembangan anak sangat penting sebagai
masukan untuk penilaian objektif kondisi anak oleh dokter anak atau
dokter spesialis THT. Mulai usia 18 bulan yaitu tepat setelah operasi
palatoplasty, fungsi pendengaran dan bicara anak dievaluasi secara berkala
oleh dokter THT. Dalam perkembangannya ahli terapi wicara akan
berperan dalam mendiagnosa dan memberikan perawatan jangka panjang
agar anak dapat berbicara secara normal. Penilaian dari ahli wicara ini juga
menentukan apakah terjadi velopharingeal incompetence pada seorang
anak dan apakah anak tersebut membutuhkan operasi lebih lanjutan atau
tidak.

Perawatan Dokter Gigi Anak

Pada pasien labialpalatoschisis, usia kronologis kadang tidak sesuai


dengan usia dentalis. Kondisi ini menyebabkan tumbuh kembang gigi
geligi tidak seperti anak normal. Diperlukan perawatan kedokteran gigi
anak untuk mempertahankan oral hygiene yang baik. Pemeriksaan rutin
mutlak diperlukan untuk mengatasi plak, kalkulus, dan karies.

Perawatan preventif orthodonsia

Pasien dengan labialpalatoschisis dapat dipastikan mengalami malposisi


dan malrelasi gigi geligi. Beberapa pasien memiliki supernumerary teeth,
anodonsia parsial dan lengkung maksila yang sempit. Perawatan
orthodonsia mutlak diperlukan untuk mengatasi masalah ini. Perawatan
orthodonsia diperlukan untuk dua hal yaitu, untuk mempersiapkan ruangan
alveolar bone grafting agar gigi caninus memiliki tempat yang cukup
untuk erupsi, dan tujuan kedua untuk melakukan perawatan jangka
panjang agar mendapatkan oklusi yang baik. Evaluasi lanjutan dari
orthodontis dapat menjadi masukan apakah pasien memerlukan operasi
lanjutan seperti distraksi osteogenesis, atau bedah orthognatik untuk
mencapai hasil optimal atau tidak.

Alveolar bone grafting

23
Tujuan alveolar bone grafting adalah untuk mempersiapkan ruangan untuk
erupsi gigi caninus, untuk mendukung basis ala nasi dan juga bisa untuk
menutup fistula di palatal. Biasanya dilakukan di usia 9 atau 10 tahun
yaitu pada saat akar gigi caniinus telah terbentuk 2/3 panjang normal.
Bone graft diambil dari iliac crest dengan metode windowing. Sebelum
dilakukan alveolar bone grafting, gigi susu atau gigi yang lain diekstraksi
mengingat itu dapat menjadi lokus minores resistensiae yang dapat
menggaggalkan keberhasilan alveolar bone grafting.

Evaluasi hasil operasi

Tatalaksana pasien dengan labialpalatoschisis memerlukan beberapa kali


operasi dalam jangka tahunan. Adalah penting untuk mengevaluasi
keberhasilan operasi. Diharapkan evaluasi objektif iini akan menjadi
masukan untuk mengetahui waktu yang paling optimal untuk dilakukan
operasi, jenis teknik operasi, dan perawatan lainnya yang menunjang
keberhasilan operasi.

IX. Komplikasi

Berbagai komplikasi yang terjadi pada anak yang mengalami


labiopalatoschizis yaitu:
1. Labioschizis dapat menyebabkan masalah kosmetik, serta susunan gigi
yang tidak beraturan.
2. Palatoschizis dapat menyebabkan mudahnya mengalami penyakit
ISPA (infeksi saluran pernapasan akut) serta berbicara sengau.
3. Otitis media berulang dan ketulian sering kali terjadi, jarang dijumpai
kasus karies gigi yang berlebihan. Koreksi ortodontik dibutuhkan
apabila terdapat kesalahan penempatan arkus maksilaris dan letak gigi
geligi.
4. Cacat bicara bisa ada atau menetap meskipun penutupan palatum
secara anatomi telah dilakukan dengan baik.
Komplikasi juga dapat dapat terjadi setelah operasi, yaitu berupa:

24
1) Wound dehiscence paling sering terjadi akibat ketegangan yang
berlebihan dari tempat operasi.
2) Wound expansion juga merupakan akibat dari ketegangan yang
berlebih. Bila hal ini terjadi, anak dibiarkan berkembang hingga tahap
akhir dari rekonstruksi langitan, dimana pada saat tersebut perbaikan
jaringan parut dapat dilakukan tanpa membutuhkan anestesi yang
terpisah.
3) Wound infection merupakan komplikasi yang cukup jarang terjadi
karena wajah memiliki pasokan darah yang cukup besar. Hal ini dapat
terjadi akibat kontaminasi pascaoperasi, trauma yang tak disengaja dari
anak yang aktif dimana sensasi pada bibirnya dapat berkurang
pascaoperasi, dan inflamasi local yang dapat terjadi akibat simpul yang
terbenam.
4) Malposisi Premaksilar seperti kemiringan atau retrusion, yang dapat
terjadi setelah operasi.
5) Whistle deformity merupakan defisiensi vermilion dan mungkin
berhubungan dengan retraksi sepanjang garis koreksi bibir. Hal ini
dapat dihindari dengan penggunaan total dari segmen lateral otot
orbikularis.

X. Pencegahan

A. Pencegahan
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya
labiopalatoschizis adalah:
 Menghindari merokok
Ibu yang merokok mungkin merupakan faktor risiko lingkungan terkait
untuk terjadinya celah. Ibu yang menggunakan tembakau selama
kehamilan secara konsisten terkait dengan peningkatan risiko
terjadinya plate.
 Menghindari Alkohol
Peminum alkohol berat selama kehamilan diketahui dapat
mempengaruhi tumbuh kembang embrio, dan langit-langit mulut

25
sumbing telah dijelaskan memiliki hubungan dengan terjadinya defek
sebanyak 10% kasus pada sindrom alkohol fetal.
 Nutrisi
Nutrisi yang adekuat dari ibu hamil saat konsepsi dan trimester I
kehamilan sangat penting bagi tumbuh kembang yang normal bagi
fetus.
 Asam Folat
Asam folat memiliki dua peran dalam menentukan hasil kehamilan.
Satu, ialah dalam proses maturasi janin jangka panjang untuk
mencegah terjadinya anemia dalam kehamilan lanjut. Kedua, ialah
dalam mencegah defek kongenital selama tumbuh kembang embrionik
 Vitamin B6
Diketahui bahwa Vitamin B6 dapat melindungi terhadap induksi
terjadinya celah pada penelitian terhadap binatang. Namun penelitian
pada manusia masih kurang untuk membuktikan peran vitamin B6
dalam terjadinya celah.

 Vitamin A
Hale adalah peneliti pertama yang menemukan bahwa defisiensi
vitamin A pada ibu menyebabkan defek pada mata, celah orofasial,
dan defek kelahiran lainnya pada mamalia. Penelitian klinis pada
manusia menyatakan bahwa paparan fetus terhadap retinoid dan diet
tinggi vitamin A juga dapat menghasilkan kelainan kraniofasial yang
gawat.

XI. Prognosis
Pada umumnya, prognosis adalah jika pasien diberikan terapi yang tepat.
Sampai saat ini terapi terbaik untuk pasien labiopalatoschizis ialah
pembedahan (Parker et al., 2010).
Dengan terapi dan perawatan yang adequat, kebanyakan anak-anak dengan
labiopalatoschizis dapat menjalani kehidupan yang baik. Kebanyakan
anak-anak dengan cacat orofacial mungkin mempunyai permasalahan

26
psikis karena secara fisik mereka berbeda dengan teman sebayanya.
Dukungan moral dari orang tua dan keluarga penting untuk mencegah
terjadinya gangguan psikologis lebih lanjut seperti depresi atau ansietas.
Kesimpulannya, walaupun terapi labiopalatoschizis memerlukan waktu
yang lama dan mungkin memerlukan pembedahan berulang, namun
terdapat prognosis yang baik dalam penampilan, ucapan, dan penggunaan
fungsi oromotor (Yazdy et al., 2008).

BAB III

SIMPULAN DAN SARAN

27
I. Simpulan
Labiopalatoschizis adalah sebuah kondisi defek pada anak-anak yang
mengakibatkan adanya fissure pada palatum dan bibir. Selama ini faktor
genetik dicurigai menjadi etiologi terkuat kuat dari labiopalatoschizis,
namun beberapa studi terkini menunjukkan bahwa faktor lingkungan dan
gaya hidup dari ibu dapat berkontribusi meningkatkan. Belahan pada
kondisi ini diakibatkan tidak terbentuknya jaringan ikat yang menutup
palatum atau membentuk bibir pada masa gestasi. Apabila
labiopalatoschizis tidak diatasi, kondisi ini dapat mengakibatkan gangguan
makan, gangguan berbicara, gangguan pernapasan, dll. Kondisi ini dapat
didiagnosis kini pada masa kehamilan, dan penatalaksanaan dengan
tindakan operasi dan terapi pra dan pasca operasi agar melatih fisiologis
mulut dan gigi anak dengan normal. Pencegahan dapat dilakukan dengan
memperhatikan asupan nutrisi dan gaya hidup dari ibu maupun konsultasi
kehamilan untuk memeriksakan kemungkinan anak mengalami
labiopalatoschizis.

II. Saran
Diperlukan sebuah penelitian yang lebih lanjut untuk mengembangkan
diagnosis yang semakin mutakhir dan dapat melakukan skrining dini pada
masa kehamilan. Diperlukan juga sebuah tindakan penanganan
labiopalatoschizis yang bersifat non-operatif atau terapi penunjang yang
lebih efektif pra maupun pasca operasi.

DAFTAR PUSTAKA

28
Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD (2006). Head & Surgery-Otolaryngology
4th ed. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins.

Erwin S. Perawatan Ortodontik Pada Pasien Celah Bibir dan Langit-langit. Jurnal
Kedokteran Gigi Universitas Indonesia. 2000; 7 ; 607-613.

Ismaniati NA, Herdiana A (2007) Perawatan Ortodonsia pada Kelainan Celah


Bibir dan Langit-Langit. Indonesian Journal of Dentistry 14(2):117-122.

Kartika, H.I. (2014). Teknik Operasi Labiopalatoschizis. CDK-215/ vol. 41 no. 4,


th. 2014.

Mansjoer et al. 2005. Kapita Selekta Kedokteran Edisi ketiga Jilid 1 Cetakan
keenam. Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran UI

Octavia Alfini. (2014). Perawatan Interseptif Dental Pasien Anak Penderita Cleft-
Palate. IDJ Vol.3 No.1: Yogyakarta

Parker SE, Mai CT, Canfield MA, Rickard R, Wang Y, Meyer RE, Anderson P,
Mason CA, Collins JS, Kirby RS, Correa A; for the National Birth Defects
Prevention Network. Updated national birth prevalence estimates for
selected birth defects in the United States, 2004-2006. Birth Defects
Research (Part A): Clinical and Molecular Teratology 2010;88:1008-16

Rennie JM dan Roberton NRC. 2005. Rennie and Roberton’s Textbook of


Neonatology. London: Elseiver.

Shah NS, Khalid M, Khan MS (2011). A review of classification systems for cleft
lip and palate patients: Morphological classifications. Journal of Khyber
College of Dentistry, 1(2):95-99.

Snell, Richard S. Anatomi Klinik ed. 6. EGC : Jakarta. 2006

Stanford Health Care. Cleft lip and cleft palate[internet]. 2017.[diakses pada 15
Maret 2018]. Terdapat di https://stanfordhealthcare.org/medical-
conditions/mouth-and-jaw/cleft-lip-cleft-palate.html.

29
Stone C. Cleft Lip and Palate: Etiology, Epidemiology, Preventive and
Intervention Strategies. Anatomy & Physiology. 2013;04(03). Global
health issues related to cleft lip and palate: Prevention and treatment need to
team together. Indian Journal of Dental Research. 2016;27(5):455.

Yazdy MM, Autry AR, Honein MA, Frias JL. Use of special education services
by children with orofacial clefts. Birth Defects Research (Part A): Clinical
and Molecular Teratology 2008;82:147-54.

Wrayetal D (2003). Textbook of General and Oral Surgery. London: Churchill


Livingstone.

World Health Organization (2019). International Collaborative Research on


Craniofacial Anomalies. https://www.who.int/genomics/anomalies/en/

30

Anda mungkin juga menyukai