APHTHOUS STOMATITIS)
Devita Alamanda
190600079
E-mail: devitaalamandaa@gmail.com
ABSTRACT
Recurrent aphthous stomatitis (RAS) is a common oral mucosal disease
characterized by regular, round or oval, painful ulcers with an erythematous
border that recur on a regular basis on the nonkeratinized oral mucosae such as
labial, buccal, alveolar, and ventral tongue mucosa. Until now, the etiology of this
disease remains unknown, but there are many predisposition factors, one of it is
iron deficiency anemia. Iron deficiency anemia (IDA) is defined as a reduction in
total body iron to an extent that iron stores are fully exhausted and some more
degree of tissue iron deficiency is present. This paper aims to know if iron
deficiency anemia can causes recurrent aphthous stomatitis (RAS). RAS is a
multifactorial disease with one of the common suspected etiology is IDA. Hence
routine hematological examination may be carried out in RAS patients.
Keywords : Recurrent Aphthous Stomatitis, Iron Deficiency Anemia, Iron
ABSTRAK
Stomatitis aphthous rekuren (SAR) adalah penyakit mukosa mulut umum yang
ditandai dengan ulkus yang nyeri, bulat atau oval, dengan perbatasan eritematosa
yang berulang secara teratur pada mukosa mulut non-keratin seperti labial, bukal,
alveolar, dan mukosa lidah ventral. Sampai saat ini, penyebab penyakit ini masih
belum diketahui, tetapi ada banyak faktor predisposisi, salah satunya adalah
anemia defisiensi besi. Anemia defisiensi besi (ADB) didefinisikan sebagai
pengurangan total zat besi tubuh sampai-sampai simpanan zat besi benar-benar
habis dan ada beberapa derajat defisiensi besi jaringan lagi. Tulisan ini bertujuan
untuk mengetahui apakah anemia defisiensi besi dapat menyebabkan stomatitis
aphthous rekuren (SAR). SAR adalah penyakit multifaktorial dengan salah satu
etiologi yang diduga umum adalah ADB. Oleh karena itu pemeriksaan
hematologis rutin dapat dilakukan pada pasien SAR.
Kata kunci : Stomatitis Aftosa Rekuren, Anemia Defisiensi Besi, Zat Besi
PENDAHULUAN
GAMBARAN KLINIS
SAR ditandai oleh ulser rekuren yang nyeri pada mukosa mulut. Kelainan
ini diklasifikasikan menjadi tiga kategori sesuai dengan ukurannya: aftosa minor,
aftosa major, dan ulser herpetiformis5.
Secara klinis SAR dibagi menjadi 3 bentuk umum, yaitu SAR minor,
ulsernya berukuran kecil (< 1cm) dapat sembuh sekitar 7-10 hari. Bentuk yang
kedua yaitu SAR mayor merupakan jenis ulser yang jarang terjadi (sekitar 10%),
tetapi merupakan ulser yang paling parah karena berdiameter besar (≥ 1cm), dapat
timbul di dorsum lidah, masticatory mukosa atau gingiva dan bila sembuh dapat
menimbulkan jaringan parut. Kemudian SAR herpetiformis. SAR herpetiform
merupakan jenis ulser yang paling jarang terjadi (sekitar 510%), berdiameter
sangat kecil tidak lebih besar dari 1mm, namun timbul dalam kelompok 10-100
buah lesi ini hampir menyerupai lesi ulserasi karena infeksi virus. SAR minor
merupakan jenis ulser yang paling sering terjadi (sekitar 80%) dari semua kasus
yang ada, timbul pada mukosa tidak berkeratin. Gambaran klinis SAR diawali
dengan gejala prodromal yang jarang disadari oleh penderita yang digambarkan
sebagai rasa seperti terbakar pada sekitar 24-48 jam sebelum terjadi ulser.
Kemudian daerah tersebut berwarna kemerahan dan timbul papula berwarna
putih. Ulser muncul setelah itu dan perlahan-lahan membesar pada 48-72 jam
kemudian. Semua jenis SAR muncul dengan bentuk yang sama baik bulat maupun
oval, sakit dan berbatas eritema6.
1. SAR MINOR
SAR minor juga disebut dengan canker sore. SAR minor
mempunyai tendensi untuk muncul pada mukosa bergerak yang terletak di
atas kelenjar saliva minor. SAR minor biasanya sembuh secara spontan
tanpa pembentukan jaringan parut dalam waktu 14 hari5. RAS minor,
ulsernya berukuran kecil (< 1cm)6.
2. SAR MAJOR
merupakan jenis ulser yang jarang terjadi (sekitar 10%), tetapi
merupakan ulser yang paling parah karena berdiameter besar (≥ 1cm),
dapat timbul di dorsum lidah, masticatory mukosa atau gingiva dan bila
sembuh dapat menimbulkan jaringan parut.6
Etiologi SAR hingga saat ini masih belum diketahui dengan pasti. Ada
beberapa etiologi/ factor predisposisi yang diketahui secara pasti, namun ada
beberapa etiologi/ faktor predisposisi yang dianggap berhubungan dengan
terjadinya SAR7.
1. Genetik
Faktor ini dianggap mempunyai peranan yang sangat besar pada pasien
yang menderita SAR. Faktor ini diduga berhubungan dengan peningkatan jumlah
Human Leucocyte Antigen (HLA), namun beberapa ahli masih menolak hal
tersebut. HLA menyerang sel-sel melalui mekanisme sitotoksik dengan jalan
mengaktifkan sel mononukleus ke epitelium.Prevalensi paling tinggi dari SAR
dapat terindikasi dari latar belakang kondisi genetik. Keturunan dari beberapa gen
tertentu, terutama sitokin proinflamasi yang berperan dalam pembentukan ulser.
SAR, dapat mempengaruhi anggota keluarga untuk terkena SAR.Pasien dengan
riwayat keluarga SAR akan menderita SAR sejak usia muda dan lebih berat
dibandingkan dengan pasien tanpa riwayat keluarga SAR8.
2. Trauma
Trauma yang sering dialami yaitu trauma karena terbentur sikat gigi saat
menyikat gigi dan tidak sengaja tergigit bagian tertentu dari mukosa mulut.
Beberapa orang mengira bahwa lesi terjadi akibat trauma, sebab gejala awalnya
didahului oleh sikat gigi yang menyodok mukosa mulut. Letak lesinya tergantung
pada daerah yang terlibat dalam trauma tersebut. Cedera yang disebabkan mekanis
dari mukosa mulut dapat menyebabkan ulserasi pada orang rentan terhadap
stomatitis aftosa rekuren8.
3. Defisiensi nutrisi
4. Hipersensitivitas makanan
5. Perubahan hormonal
Para penderita SAR yang disebabkan oleh kadar hormon progesteron yang
rendah maka efek self limiting process berkurang, polimorphonuclear leucocytes
menurun, permeabilitas vaskuler menurun sehingga SAR akan terbentuk dengan
mudah yang muncul berdasarkan periodik sesuai siklus menstruasi4.
6. Imunologi
PENCEGAHAN
PEMBAHASAN
Anemia adalah suatu kondisi medis dimana jumlah sel darah merah atau
hemoglobin kurang dari normal. Anemia merupakan salah satu kelainan darah
yang umum terjadi ketika kadar sel darah merah (eritrosit) dalam tubuh menjadi
terlalu rendah. Anemia dan defisiensi hematologis dapat menjadi faktor etiologis
untuk penyakit SAR. Dalam sebuah penelitian 12 pasien menemukan bahwa 8%
pasien mengalami SAR. Sejumlah kekurangan hematologi telah ditemukan lebih
umum pada pasien dengan SAR daripada pada populasi umum. Beberapa
kekurangan nutrisi termasuk kekurangan vitamin B1, B2, B6, dan B12, folat, zat
besi, dan feritin dianggap sebagai etiologi yang mungkin dari SAR. Sebuah studi
baru-baru ini menemukan bahwa kekurangan vitamin B12, folat, dan zat besi,
yang terjadi sendiri atau bersama-sama, telah dikaitkan dengan stomatitis
aphthous pada pasien dari segala usia. ADB harus dicurigai dalam setiap kasus
SAR ketika tidak ada penyebab jelas lainnya yang diidentifikasi. Temuan ini
diyakini disebabkan oleh gangguan imunitas seluler, defisiensi aktivitas
bakterisida leukosit polimorfonuklear, respon antibodi yang tidak adekuat, dan
kelainan epitel yang disebabkan oleh kekurangan zat besi. Juga diyakini bahwa
pasien SAR dengan anemia dan kadar Hb yang lebih rendah telah mengurangi
kapasitas darah membawa oksigen ke mukosa mulut, yang akhirnya menyebabkan
atrofi mukosa mulut. Selain itu, zat besi sangat penting untuk fungsi normal sel
epitel oral. Sel epitel oral memiliki tingkat turnover yang tinggi. Oleh karena itu,
kekurangan zat besi, vitamin B12, dan asam folat dapat menyebabkan atrofi epitel
oral. Epitel oral atrofi pada pasien dengan defisiensi hematin mungkin
menjelaskan mengapa beberapa pasien dengan defisiensi hematologis cenderung
mengalami SAR. Selain itu, terapi penggantian dengan hematinik untuk pasien
SAR dengan defisiensi hematinik yang sesuai dapat menghasilkan perbaikan
klinis yang signifikan atau setidaknya penurunan frekuensi dan keparahan ulkus
aphthous oral mereka. Kesimpulannya, SAR adalah penyakit multifaktorial
dengan salah satu etiologi yang diduga umum adalah ADB. Oleh karena itu
pemeriksaan hematologis rutin dapat dilakukan pada pasien SAR.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1. Fitriany J, Saputri AI. Anemia Defisiensi Besi. J Averrous 2018; 4(2): 1-2.
2. Nurdiana, Astari P. The Relationship between Recurrent Aphthous
Stomatitis and Iron Deficiency Anemia. In: Atlantis Press, ed.
International Dental Conference of Sumatera Utara, Medan, 2017: 200-3.
3. Camaschella, Carla. Iron-Deficiency Anemia. J Med 2015; 1833.
4. Thantawi A, Khairiati, Nova MM, Marlisa S, Bakar A. Stomatitis Aphtosa
Rekuren (SAR) Minor Multiple Pre Menstruasi. Odonto Dent J 2014; 1(2):
57-62.
5. Langlais R, Miller C, Nield-Gehrig J. Atlas Berwarna Lesi Mulut yang
Sering Ditemukan. Trans. Suta, T. Jakarta: Buku Kedokteran EGC, 2009:
63-70.
6. Setyowati D, Dewi L, Prihanti A. Insiden Recurrent Aphthous Stomatitis
dengan Riwayat Keluarga di Klinik Oral Medicine Rumah Sakit Gigi dan
Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember. In: Setywoati D, ed.
The 4th Dentistry Scientific Meeting Of Jember, Jember, 2017: 75-82.
7. Melky GJ, Pieter LS, Aurelia SRS. Gambaran Stomatitis Aftosa Rekuren
dan Stres pada Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B
Bitung. J e-Gigi 2015; 3(1): 100-6.
8. Permadi A, Widyastutik O. Faktor yang berhubungan dengan stomatitis
aftosa rekuren (SAR) pada mahasiswa di Pontianak. J Kesehatan
Masyarakat Khatulistiwa 2017; 4(3): 218-25.
9. Casiglia JM. Aphthous Stomatitis Clinical Presentation. 29 Oktober 2015.
icine.medscape.com/article/1075570-clhttp://emedinical#showall .15
Oktober 2019.
10. Tarakji B, Gazal G, Alaizari N. Guideline for the Diagnosis and Treatment
of Recurrent Aphthous Stomatitis for Dental Practitioners. J Int Oral
Health 2015; 7(5): 74-80.