Anda di halaman 1dari 8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian
Stomatitis Aftosa Rekuren atau SAR, dikenal dengan istilah sariawan bagi masyarakat
umum yang merupakan lesi paling umum terjadi dan mempengaruhi rongga mulut dengan
suatu kondisi patologis yang ditandai dengan berulangnya suatu erosi atau ulser pada mukosa
mulut. Stomatitis Aftosa Rekuren biasanya muncul dengan pseudomembran berwarna abu-
abu putih yang dikelilingi oleh lingkaran eritematosa yang tipis. Lesi ini umumnya dapat
ditemukan pada permukaan mukosa yang tidak berkeratin seperti mukosa bukal, labial, serta
permukaan ventral atau lateral pada lidah. Maka dari itu, keterlibatan SAR pada mukosa
berkeratin seperti pada langit-langit mulut dan gingiva lebih jarang terjadi.
Stomatitis Aftosa Rekuren secara professional telah diakui secara medis selama ribuan
tahun pada penderita dengan kondisi tubuh yang sehat. Stomatitis Aftosa Rekuren yang
merupakan lesi paling umum terjadi pada mukosa mulut dan sering ditemukan pada populasi
manusia. Istilah aphtae berasal dari kata Yunani yang berarti “ulserasi” atau “terasa terbakar”
dan dianggap pertama kali digunakan oleh filsuf Hippocrates untuk menggambarkan rasa
sakit yang dikaitkan dengan kelainan umum yang terjadi dalam rongga mulut yang memiliki
kemungkinan terjadinya SAR.
Prevalensi penyakit ini mempengaruhi sekitar 5-20% pada populasi umum dari seluruh
populasi dunia dan tingkat kekambuhan dalam waktu 3 bulan setinggi 50%.13 Berdasarkan
data laporan kasus prevalensi SAR pada populasidunia bervariasi antara 0,9 dan 78% pada
kelompok berbeda yang diperiksa. Di Amerika Serikat berdasarkan survey pada Third
National Health and Nutrition Examination pada tahun 1988-1994 sebanyak 0,89% pada
orang dewasa dan 1,64% pada anak-anak. Lalu di Iran, pada tahun 2005 melaporkan dengan
prevalensinya yang diperoleh yaitu sebanyak 25,2%, selanjutnya di Jordan pada tahun 2008
sebanyak 70%, dengan diikuti oleh India pada tahun 2010-2012 sebanyak 21,7% dan China
pada tahun 2013-2017 dengan prevalensi 27,17%. Di Indonesia sendiri data epidemiologi
terkait kasus SAR belum ada jumlah angka yang pasti. Namun menurut Pusat Data dan
Informasi Kementrian Kesehatan RI dalam laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun
2018, lesi ulserasi mulut masih menjadi salah satu masalah gigi dan mulut di Indonesia salah
satunya sariawan (SAR) itu sendiri.
Prevalensi SAR ditemukan pada angka yang paling banyak terjadi terdapat di kelompok
wanita sebanyak 57,2% dibandingkan pada kelompok pria yang hanya sebanyak 48,3%.
Prevalensi tinggi pada wanita disebabkan karena pengaruh hormon serta dalam beberapa
fakta yang dijelaskan wanita lebih banyak mencari perhatian medis dibandingkan pria.
Demikian pula insiden terjadinya SAR pada populasi umum diperkirakan sekitar 25% saat
masa remaja atau bahkan masa kanak-kanak serta berdasarkan kelompok umur dengan onset
yang cukup sering yaitu memuncak pada usia 10-19 tahun dan cenderung berkurang tingkat
keparahannya seiring bertambahnya usia.
2. Etiopatogenesis
Etiologi dan patogenesis SAR sebenarnya belum dapat ditentukan secara pasti dan
sampai saat ini masih belum sepenuhnya dapat dipahami secara jelas meskipun insidensi dari
lesi ini tergolong cukup tinggi meskipun hubungan antara SAR dan beberapa faktor dapat
memicu timbulnya SAR di dalam rongga mulut. Faktor yang dapat menyebabkan terjadinya
SAR yaitu trauma yang menyebabkan luka mekanis, genetik, perubahan hormonal,
emosional, alergimakanan, infeksi virus dan bakteri. Banyak faktor berbeda pula yang terjadi
seperti imunologi, hormonal, serta serangkaian penyakit sistematik seperti HIV, penyakit
Crohn, penyakit celiac, dan defisiensi nutrisi yang terlibat dalam etiologi SAR. Terkait
defisiensi nutrisi diantaranya yaitu penurunan kadar zat besi, vitamin B3, B12, vitamin C dan
asam folat. Selain faktor predisposisi yang telah disebutkan diatas, pada beberapa penelitian
lain juga telah menemukan adanya peran pada beberapa spesies bakteri di lesi SAR yang
terlibat salah satunya Helicobacter pylori dan Streptococcus sebagai latar belakang terjadinya
lesi SAR meskipun keberadaan bakteri ini tidak membuktikan bahwa adanya infeksi yang
mendorong perkembangan lesi SAR. Namun, sayangnya masih belum ada penjelasan yang
jelas dan pasti terkait bagaimana semua faktor tersebut benar-benar terlibat dalam
etiopatogenesis SAR sehingga masih banyak perdebatan yang kompleks terkait hal ini.
Beberapa penelitian telah menemukan fakta bahwa perubahan yang signifikan pada
keadaan imunologis individu memegang peranan yang sangat penting dari patogenesis SAR.
Penelitian pada tingkat faktor genetik menemukan hiperaktivitas dari sistem imun yang
merupakan respon dari tubuh dan dapat memiliki kemungkinan berkaitan dengan
ketidakmampuan kekebalan imunitas tubuh sebagai pemicu perkembangan terjadinya SAR.
3. Tanda dan Gejala
Stomatitis Aftosa Rekuren pada umumnya muncul sebagai ulser bulat dengan sensasi
rasa nyeri, gatal atau rasa terbakar dengan memiliki inti pseudomembran yang dikelilingi
oleh tepi eritematosa. Sensasi terbakar yang timbul sekitar 2 hingga 48 jam sebelum
munculnya ulser. Sensasi nyeri yang timbul di lokasi ulser dan disaat fase penyembuhan
terjadi yang dimana secara bertahap berkurang dengan seiring berjalannya waktu.
Lesi SAR secara klinis terlihat sebagai lesi berbentuk kecil, bulat, terkadang timbul
sensasi nyeri tersendiri dan berulang dengan tepi berbatas tegas (haloeritema) serta area inti
berwarna kuning atau keabu-abuan yang merupakan hasil dari suatu formasi lapisan fibrin,
sebuah protein yang berperan dalam penggumpalan darah. SAR dapat terjadi mulai dari masa
kanak-kanak, remaja hingga dewasa. Terkadang kambuhnya lesi ini terjadi dalam kurun
waktu 3- 6 kali dalam satu tahun atau selama beberapa tahun.
Stomatitis Aftosa Rekuren yang merupakan sebuah lesi dengan karakteristik khas yaitu
sakit dan perih bila disentuh selama 3-4 hari pertama. Rasa ketidaknyamanan nyeri tersebut
berangsur-angsur berkurang dan terasa membaik dalam 10-14 hari, disertai tanpa adanya
jaringan parut. Setelah 6-24 jam, ulser tersebut membentuk sebuah titik merah kecil dengan
diameter 3-9 mm, dikelilingi oleh klim merah yang dimana suatu gambaran tersebut adalah
suatu area peradangan pada lokasi timbulnya SAR.
Stomatitis Aftosa Rekuren berdasarkan ukuran dan bentuknya dapat diklasifikasikan
menjadi 3 kategori, yaitu Stomatitis Aftosa Minor, Mayor, dan Herpetiformis.
a. Stomatitis
Aftosa Minor Stomatitis Aftosa Minor merupakan salah satu jenis SAR yang
paling sering ditemukan dan paling sering terjadi sekitar 70%-85% dari semua jenis SAR
yang ada. Gambaran klinis yang dimiliki Stomatitis Aftosa Minor ialah ditandai dengan
adanya ulser berbentuk lingkaran atau bulat oval memanjang dengan dasar lingkaran
berbentuk kawah yang ditutupi oleh pseudomembran berwarna abu-abu putih dan
dikelilingi klim merah. Lesi SAR tipe ini bervariasi satu hingga lima yang berdiameter
kurang dari 1 cm. Biasanya SAR tipe ini dapat sembuh sendiri dan menghilang dalam
kurun waktu 10-14 hari tanpa meninggalkan suatu jaringan parut atau bekas luka. Pada
gambar 1, terlihat suatu lesi SAR tipe Minor yang terdapat pada mukosa bibir atas.
b. Stomatitis
Aftosa Mayor Stomatitis Aftosa Mayor merupakan jenis SAR yang kurang umum
dibandingkan tipe Minor sebanyak 7%-20% kasus dari seluruh jenis SAR. Gambaran
klinis dari Stomatitis Aftosa Mayor ialah memiliki ukuran diameter lebih dari 1 cm, dan
biasanya dapat dikaitkan dengan sulit menelan (disfagia) yang berlangsung selama
berbulan-bulan. Stomatitis Aftosa Mayor dapat bertahan selama lebih dari enam minggu
serta meninggalkan suatu jaringan parut atau bekas luka. Pada Gambar 2, terlihat lesi
SAR tipe Mayor yang terletak pada mukosa bibir bawah.
c. Stomatitis Aftosa Herpetiformis
Stomatitis Aftosa Herpetiformis merupakan suatu jenis SAR yang bisa dibilang
jarang terjadi dan muncul sebanyak 5%-10% kasus dari seluruh jenis SAR. Gambaran
klinis berupa ulser kecil yang dalam dan sangat sakit yang terjadi secara berulang kali.
Lesi SAR tipe ini berukuran diameter yang sangat kecil kurang lebih 0,1-0,2 cm dalam
jumlah banyak lebih dari 100 ulser sekaligus. Ulser yang terdapat dalam jumlah banyak
ini yang pada nantinya akan bergabung menjadi suatu ulser yang lebih besar dengan
bentuk kontur yang tidak beraturan. Jenis ini memiliki perjalanan klinis dalam kurun
waktu 7- 14 hari tanpa meninggalkan jaringan parut atau bekas luka. Terlepas dari nama
tersebut, Herpes Simplex Virus (HSV) tidak termasuk dalam lesi ini. Pada gambar 3,
terlihat lesi SAR tipe Herpetiformis yang terletak pada mukosa bukal dan palatum lunak
Tempat predileksi dari SAR itu sendiri dapat terjadi pada berbagai macam tempat
di dalam rongga mulut khususnya kebanyakan muncul pada mukosa yang tidak
berkeratin. Dalam beberapa penelitian ditemukan tempat yang paling umum terjadi pada
masing-masing jenis SAR.
a. Stomatitis Aftosa Minor
Lesi SAR jenis ini seringkali ditemukan dalam rongga mulut pada mukosa bagian
bibir atas ataupun bawah, ventral lidah, dan tepi lateral lidah.
b. Stomatitis Aftosa Mayor Lesi
SAR jenis ini seringkali ditemukan dalam rongga mulut pada mukosa bagian bibir
bawah, dasar mulut, lidah, bahkan pada area vestibulum.
c. Stomatitis Aftosa Herpetiformis
Lesi SAR jenis ini seringkali ditemukan dalam rongga mulut pada bagian mukosa
bukal, mukosa bibir bawah dan palatum lunak.
4. Penatalaksana SAR
Terapi untuk lesi SAR ditentukan dengan anamnesis dan analisis yang tepat terhadap lesi
SAR tersebut, dari segala aspek penentuan keparahan gejala yang dirasakan pasien, frekuensi
terjadinya, ukuran lesi, dan jumlah lesi yang terjadi dalam satu waktu. Stomatitis Aftosa
Rekuren merupakan selflimiting disease yang berarti akan hilang sendiri tanpa diberikan
obat. Biasanya untuk penanganan lesi ini tidak terlalu memuaskan karena tidak adanya
tatalaksana yang tepat dan efektif. 27 Dalam pengobatannya pun bervariasi tergantung dari
faktor pemicunya. Prinsip dasar pengobatan dalam lingkup dunia medis biasanya lesi ini
diobati apabila hanya bersifat simptomatik saja, yaitu dengan mengurangi rasa sakit dan
untuk mengurangi reaksi peradangan yang muncul akibat terjadinya kondisi dolor, tumor,
calor, rubor dan functiolasea. 28 Pengobatan dengan mengurangi proses peradangan, rasa
sakit, rasa nyeri, dan rasa tidak nyaman pada daerah yang terkena pastinya akan
mempercepat proses penyembuhannya.
Beberapa faktor predisposisi yang berperan harus ditelusuri dan dieliminasi secara teliti
agar tidak memperparah gejala dan kondisi ulsernya. Tujuan dari beberapa pengobatannya
ialah mengurangi rasa sakit yang menyebabkan ketidaknyamanan secara individual dan
mencegahnya tidak kambuh kembali. Ada banyak upaya dalam tatalaksana untuk lesi SAR
ini mulai dari terapi preventif, terapi secara medikasi yang memerlukan resep dokter apabila
ada gejala simptomatik, lalu pengobatan secara herbal dan obat yang bisa dibeli bebas di
pasaran.
Pada terapi preventif biasanya dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan faktor
predisposisi yang ada sehingga mencegah timbulnya lesi yang baru, dengan memberikan
vitamin, makan sayur dan buah-buahan yang cukup, mengurangi makanan yang
menyebabkan alergi.
Namun, untuk pasien SAR yang mengalami frekuensi terjadinya sangat sering atau parah,
pengobatan immunosupresif sistemik mungkin diperlukan, seperti pentoxifylline,
thalidomide, antibiotik, dan analgesik yang sangat berperan terutama dalam meningkatkan
penyembuhan SAR dengan kondisi yang sudah parah. Perawatan secara konvensional yang
melibatkan penggunaan obat topikal atau sistemik untuk meredakan gejala nyeri yang parah
dan mencegah timbulnya lesi SAR baru. Salah satu obat yang sering digunakan adalah
vitamin C, obat kumur seperti chlorhexidine gluconate 0,2%, obat kumur antibiotika (larutan
tetrasiklin 2%), salep dengan kandungan asam hialuronat (AH), dan steroid topikal. Obat
topikal itu sendiri meliputi, seperti kortikosteroid dan agen anti-inflamasi lainnya termasuk
benzydamine, amlexanox, aphteal, dan triclosan yang disediakan untuk gejala ringan dalam
bentuk obat kumur, pasta, atau gel. Adapun jika timbul rasa sakit yang sangat mengganggu,
dapat menggunakan lignocaine spraytopical sebagai analgesi yang diberikan secara langsung
pada lesi agar pasien dapat makan dengan nyaman. Biasanya dapat juga menggunakan
kortikosteroid berbentuk salep (triamnicolone acetonide dalam oralbase) dan berbentuk krim
(triamnicolone krim). Kortikosteroid berbentuk salep dinyatakan kurang efektif bila
dibandingkan dengan krim karena keterlibatan efek samping yang dihasilkan dari
kortikosteroidnya akan terhambat dalam gumpalan salepnya. Perlu diberikan suatu
pengarahan kepada penderita agar mengeringkan lesinya tersebut terlebih dahulu sebelum
obat dioleskan. Namun kortikosteroid pastinya memiliki beberapa kontra indikasi salah
satunya terhadap penyakit hipertensi. Maka dari itu, 0,1% triamnicolone (oralbase) cocok
diberikan pada kebanyakan penderita. Obat kumur tentunya sebaik mungkin diberikan secara
berkala dan hanya untuk jangka pendek. Oleh karena itu, penggunaan obat-obatan ini dalam
jangka panjang atau berulang seoptimal mungkin harus dihindari karena menyebabkan
adanya infeksi jamur atau resistensi obat bahkan menyebabkan komplikasi yang
membahayakan jiwa.
Banyak dokter yang sedang melakukan banyak upaya untuk menerapkan pengobatan
baru untuk SAR dengan meminimalisir efek samping yang dihasilkan salah satunya
penggunaan klinis terapi laser. Terapi laser diterapkan bertujuan untuk mengobati SAR
karena efek menguntungkan yang dihasilkan termasuk menghilangkan rasa sakit secara
langsung, mempercepat penyembuhan luka, mengurangi masa penyembuhan dan bisa
menjadi anti-inflamasi. Akan tetapi, penelitian dan uji klinis terkait ini masih terbatas
dilakukan dikarenakan salah satunya dari aspek keamanan perawatan secara klinis masih
diperdebatkan.
Dalam penyembuhan SAR dalam pengobatan secara herbal juga dapat diperoleh di
pasaran seperti jeruk, air kelapa, jambu, lidah buaya, dan madu yang dikenal oleh sebagian
besar masyarakat awan mampu menyembuhkan sariawan (SAR). Obat-obatan herbal alami
sebagai suatu pilihan alternatif dalam pengobatan SAR telah banyak digunakan di banyak
negara selama beberapa dekade. Banyak studi klinis yang menyetujui bahwa manfaat yang
dikeluarkan dari bahan alami sangat menguntungkan bagi penderita sariawan (SAR) dengan
mengurangi ketidaknyamanan yang dirasakan dan cepatnya durasi penyembuhan pada ulser.
Dengan demikian, ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa terapi pengobatan herbal
khususnya yang paling umum ialah secara topikal merupakan suatu pilihan alternatif yang
cukup efektif dan aman dengan sedikit efek samping yang dihasilkan untuk saat ini. Namun,
beberapa penelitian juga masih mengungkapkan bahwa masih adanya bukti lemah yang
berkaitan mengenai kemanjuran dan keamanan dari pengaplikasian obat-obatan herbal alami
ini.
Sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan di Departemen Ilmu Penyakit Mulut,
Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Trisakti menunjukkan bahwa terdapat jenis obat
topikal lain yang disebut plester sariawan. Obat ini mengangkat konsep proteksi penuh pada
lesi (full covering agent) yang memungkinkan pemicu terjadinya kesembuhan lesi. Plester
sariawan ini terdiri dari bahan multiselulosa kering (seperti kertas) yang mengandung
kalsium dan elemen fosfor yang akan berubah menjadi gel (hidrogel) jika berkontak dengan
saliva. Plester sariawan ditemukan keefektifannya dalam mengurangi rasa sakit dan ukuran
lesi pada hari ke-4 sama seperti pasta yang mengandung kortikosteroid. Penggunaannya di
bidang kedokteran gigi dalam hal mengatasi keluhan rasa sakit hingga keefektivitas
penyembuhannya belum banyak diteliti sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut supaya
dapat menjadi salah satu alternatif lainnya dalam pemilihan obat Stomatitis Aftosa yang
bersifat simptomatik yang dapat dibeli bebas di pasaran oleh masyarakat umum.
Daftar Pustaka
Akerzoul N (2018) low laser therapy as an effective treatment of recurrent aphtous ulcer : A
clinical case reporting two locations. Pan afr Med J.
Tarakaji, B (2015) Guidline For the Diagnosis and Treatment of Recurrent aphtous stomatitis
for Dental Practitioners. J Int Oral Heal
Edgar, N. R (2017) Recurrent aphtous stomatitis : A Review. The Jurnal of Clinical and
Aesthetic Dermatology. J Clin Aesthet Dermatol
C.R (2019) Esentials of Recurrent aphtous Stomatitis. Biomed Reports.
Kementrian Kesehatan RI. Pusat Data dan Infromasi Kementrian Kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai