Identifikasi mana yang merupakan masalah atau tren isu yang diangkat
sebagai latarbelakang penelitian, pernyataan gap dan masalah penelitian,
kemudian Buatlah pertanyaan penelitian dan tujuan penelitian
Latihan 1
I. Hipertensi menyebabkan sekitar 7,5 juta kematian atau menyebabkan sekitar 12,8 juta
kematian secara total. Hal ini menyebabkan masalah kesehatan global yang dapat
menyebabkan kematian dini di seluruh dunia. WHO memperkirakan 26,4% atau 973 juta
orang menderita tekanan darah tinggi. 973 juta orang menderita tekanan darah tinggi, 333
juta tinggal di negara maju, dan 640 sisanya tinggal di negara berkembang, termasuk
lndonesia (WHO, 201).
II. Berdasarkan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2018) kasus penyakit hipertensi
adalah salah satu penyakit tertinggi di Indonesia yang mencapai 34,1% kemudian terjadi
peningkatan sebesar 8,3% dari tahun 2013 hingga tahun 2018 dan sebagian besar kasus
hipertensi masih banyak belum terdeteksi di masyarakat. Pada tahun 2018 Provinsi yang
tertinggi mengalami gangguan hipertensi ini yaitu Kalimantan Selatan dengan angka
44,1% yang berada di posisi pertama, kemudian diikuti Sulawesi Barat dengan persentase
34,1%, dan pada Provinsi Sumatera Barat berada urutan ke 22 dengan prevalensi hipertensi
yang mencapai angka 22,97%.
III. Prevalensi hipertensi di Provinsi Sumatera Barat mencapai 22,97%. Data dari Dinas
Kesehatan Provinsi Sumatera Barat tahun 2020 hipertensi merupakan salah satu penyakit
terbanyak yang di derita oleh masyarakat dengan jumlah penderita 156.870 orang.
Terjadinya peningkatan angka kejadian hipertensi tertinggi di Puskesmas Air Tawar pada
tahun 2019 terdapat 1586 penderita hipertensi dan pada tahun 2020 angka kejadian
hipertensi di Puskesmas Air Tawar menjadi yang tertinggi dengan total penderita sebanyak
2209 dengan urutan pertama, kemudian pada urutan kedua pada Puskesmas Lubuk
Kilangan sebanyak 1621, dan urutan yang ketiga pada Puskesmas Andalas sebanyak 1483
(Dinas Kesehatan Kota Padang, 2020).
IV. Menurut Gunawan (2001) dalam prasetyorini dan prawesti (2012) salah satu penyebab
peningkatan tekanan darah pada pasien hipertensi adalah stress. Stress merupakan suatu
tekanan fisik maupun psikis yang tidak menyenangkan, stress dapat merangsang kelenjar
anak ginjal melepaskan hormon adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat dan
kuat sehingga tekanan darah akan meningkat, serta dapat menyebabkan penyakit jantung,
strok, hingga kematian. Dalam studi yang di lakukan (Delavera et al. 2021) menunjukan
hasil bahwa responden yang mengalami stress mempunyai peluang untuk hipertensi 1,103
kali dibanding responden yang tidak memiliki stress, hal ini sejalan dengan penlitian (Lu et
al. 2019) yang menyatakan individu dengan stress tinggi 61% lebih mungkin mengalami
peningkatan tekanan darah.
V. Stress dapat diatasi dengan terapi farmakologis dan terapi non farmakologis. Terapi
farmakologis penanganan stress berupa obat anti depresan dan anti cemas golongan
benzodiazepam seperti alprazolam, yang dalam penerapannya menyebabkan
ketergantungan yang cukup besar. Terapi non farmakologis merupakan upaya untuk
mengatasi stress dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain dengan cara
berolahraga, relaksasi mental (rekreasi), bercerita pada orang lain, memperdalam ibadah
dan agama dan satu diantaranya adalah dengan latihan releksasi terapi relaksasi nafas
dalam pada terapi ini membantu individu untuk melakukan relaksasi pernafasan, dengan
fokus menyeluruh pada tubuh yang bertujuan untuk mengembangkan konsentrasi sekaligus
fleksibilitas perhatian secara bersamaan (Candra, 2012).
VI. Terapi relaksasi nafas dalam dapat menurunkan tekanan darah dan tanpa adanya efek
samping atau kontra indikasi seperti pada terapi dengan menggunakan obat
penatalaksanaan non-farmakologis terapi relaksasi nafas dalam untuk menurunkan stress
dan tekanan darah penderita hipertensi karena terapi relaksasi nafas bisa dilakukan secara
mandiri, lebih gampang dilakukan dari pada terapi non-farmakologi lainnya, tidak
membutuhkan waktu lama untuk terapi dan mampu mengurangi dampak buruk dari terapi
farmakologis bagi penderita hipertensi (Anggraini 2020).
VII. Terapi non farmakologis terapi relaksasi nafas dalam merupakan cara yang dapat
dilakukan untuk manajemen stress sekaligus dapat penurunan tekanan darah. Terapi
relaksasi nafas dalam merupakan suatu teknik nafas lambat (menahan inspirasi secara
maksimal) dan bagaimana menghembuskan nafas secara perlahan. Teknik terapi relaksasi
nafas dalam merupakan salah satu terapi relaksasi yang mampu membuat tubuh menjadi
lebih tenang dan harmonis, serta mampu memberdayakan tubuhnya untuk mengatasi
gangguan yang menyerangnya (Gabb et al. 2016).
VIII. Terapi relaksasi nafas dalam dapat mempertahankan aktivitas saraf parasimpatis dan
mengurangi aktivitas saraf simpatis (Komori, 2018). Menurut Triyanto (2014) relaksasi
pernafasan memberi respon melawan Massdiscarge (pelepasan implus secara masal) pada
respon stress dari sistem saraf simpatis kondisi ini dapat menurunkan tahanan perifer
(Triyanto 2014). Sebagaimana menurut Hartono (2016) yang menyatakan dengan adanya
terapi relaksasi nafas dalam dapat mengurangi stress terjadi melalui kerja transmiter yang
ada di otak dengan cara menghambat dan memutus rangsangan penyebab stress, relaksasi
juga dapat merangsang munculnya zat kimia yang mirip dengan beta blocker di saraf tepi
yang dapat menutup simpul-simpul saraf (simpatis) hal ini berguna untuk mengurangi
ketegangan dan menurunkan tekanan darah (Hartono 2016).
IX. Pengamatan dan studi pendahuluan dilapangan didapatkan masih ada pasien hipertensi
yang belum bisa mengontrol stress dengan baik, dengan tingkat stress sedang , hasil yang
didapatkan empat dari Iima orang menderita hipertensi tidak tahu cara menggunakan terapi
relaksasi nafas .
X. Berdasarkan data yang didapatkan diatas, maka peneliti tertarik untuk melihat Pengaruh
terapi terapi relaksasi nafas dalam terhadap stress dan tekanan darah penderita hipertensi di
Puskesmas?
Latihan 2:
I. Dalam sepuluh tahun terakhir, terjadi peningkatan kasus diabetes mellitus, disinyalir 1
dalam 10 orang didunia menderita diabetes mellitus. Data International Diabetes
Federation (IDF) menunjukkan tahun 2021 menunjukkan bahwa Indonesia menempati
urutan ke-5 negara penderita diabetes terbanyak di dunia dengan 19,47 juta orang dewasa
(20 – 79 tahun) hidup dengan diabetes. Menurut hasil riset Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan (Litbangkes) tahun 2019, Provinsi Sumatera Barat berada pada
urutan ke-23 penderita diabetes di Indonesia dengan prevalensi 1,6% (Infodatin, 2020).
II. Diabetes menjadi masalah kesehatan yang serius dan apabila tidak segera ditangani dengan
baik dapat menyebabkan tidak terkendalinya kadar gula darah dan berisiko timbulnya
berbagai komplikasi hingga dapat berakhir dengan kecacatan dan kematian (WHO, 2020).
Kondisi ini dapat dicegah dengan penatalaksanaan diabetes yang dikenal dengan empat
pilar yaitu edukasi, terapi nutrisi medis (diet), aktivitas fisik, dan pemberian farmakologi.
Diet pada penderita diabetes menjadi dasar utama dari penatalaksanaan diabetes bersamaan
dengan melakukan aktivitas fisik. Penatalaksanaan diet diabetes dilakukan dengan
mengatur dan menerapkan prinsip 3J yaitu jadwal, jumlah, dan jenis konsumsi makanan
(Perkeni, 2020).
III. Keberhasilan tujuan pengendalian diabetes dengan penatalaksanaan diet ditentukan oleh
kepatuhan penderita dalam menjalaninya (Soegondo, 2018). Berdasarkan hasil studi
menunjukkan bahwa kepatuhan diet memiliki pengaruh sebesar 14,4% - 41,2% terhadap
perubahan kadar gula darah, dimana penderita diabetes yang patuh diet (63%) memiliki
kadar gula darah yang lebih baik dibandingkan penderita diabetes yang tidak patuh diet
(37%) (Salma et al., 2019; Aulia et al., 2021). Hasil studi lain juga menunjukkan bahwa
penderita diabetes yang tidak patuh diet berisiko sebesar 10,5 kali - 44,7 kali terhadap
kadar gula darah yang tidak terkendali. (Syarifah & Bachron, 2019; Nursihhah & Wijaya,
2021).
IV. Diet pada penderita diabetes menjadi kepatuhan jangka panjang dan salah satu aspek yang
menimbulkan tantangan dalam penatalaksanaan diabetes (Smeltzer & Bare, 2004 dalam
Adnyani et al., 2015). Hasil studi oleh Nursihhah & Wijaya, (2021) di Kota Bekasi
menunjukkan bahwa sebagian besar penderita diabetes (69,2%) tidak patuh dalam
menjalani diet. Hasil penelitian oleh Mirda, (2019) di Puskesmas Andalas menunjukkan
bahwa ketidakpatuhan diet (41,8%) disebabkan karena penderita diabetes merasa tidak
bisa menahan lapar sehingga merasa sulit dalam mengatur jumlah konsumsi makanan,
tidak menggunakan gula khusus diabetes dalam makanan/ minuman yang dikonsumsi,
serta kesibukan menyebabkan penderita diabetes tidak dapat mengikuti jadwal makan yang
telah dianjurkan.
V. Kepatuhan penderita diabetes dalam menjalani diet dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
pengetahuan, dukungan sosial keluarga, dukungan tenaga kesehatan, dan keyakinan yang
terdiri dari efikasi diri dan lokus kontrol kesehatan (Niven, 2012; Federick et al., 2002).
Lokus kontrol kesehatan menjadi faktor psikologis yang dapat mempengaruhi perilaku
dalam mengambil tindakan untuk kesehatan, sehingga juga dapat mempengaruhi
kepatuhan individu (Theofilou & Saborit, 2012). Lokus kontrol kesehatan adalah
keyakinan bahwa status kesehatan individu karena adanya kontrol dari dirinya sendiri
maupun adanya nasib/takdir serta kontrol dari dokter. Berdasarkan hasil studi terdahulu
menunjukkan bahwa lokus kontrol kesehatan memiliki pengaruh 17,5% - 25% terhadap
kepatuhan diet pada penderita diabetes (Aflakseir & ZarrinPour, 2013; Farah & Durrani,
2016).
VI. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa ketiga dimensi lokus
kontrol kesehatan memiliki hubungan bermakna terhadap kepatuhan diet diabetes (p <
0,05) (Adnyani et al., 2015; Farah & Durrani, 2016, Kusnanto et al., 2019; Adhanty et al.,
2021). Hasil yang berbeda ditemukan pada penelitian Aflakseir & ZarrinPour, (2013)
dimana hanya dua dari tiga dimensi lokus kontrol kesehatan yang berhubungan bermakna
dengan kepatuhan diet diabetes yaitu dimensi kesempatan dan dimensi orang lain (p
<0,05), sedangkan dimensi internal tidak bermakna dengan kepatuhan diet diabetes (p >
0,05). Perbedaan hasil penelitian tersebut disebabkan karena adanya perbedaan demografi
yang dapat mempengaruhi perilaku pada penderita diabetes (Aflakseir & ZarrinPour,
2013).
VII. Menurut Theofilou & Saborit, (2012) individu dengan lokus kontrol kesehatan yang tinggi
dapat memiliki kepatuhan yang baik karena individu cenderung berusaha untuk
meningkatkan status kesehatannya, namun individu dengan lokus kontrol kesehatan yang
tinggi juga ditemukan memiliki kepatuhan yang rendah karena individu memiliki
kebebasan dalam menentukan status kesehatannya (Niven, 2012). Kondisi ini dapat dilihat
dari beberapa penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan hasil
hubungan lokus kontrol kesehatan dengan kepatuhan diet pada penderita diabetes.
VIII. Berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai
dimensi internal, dan dimensi orang lain, semakin patuh penderita diabetes dalam
menjalani diet, dimana penderita diabetes meyakini bahwa dengan patuh diet dan
mengikuti anjuran dari fasilitas kesehatan terhadap penatalaksanaan diet dapat
meningkatkan status kesehatannya (Aflakseir & ZarrinPour, 2013; Farah & Durrani, 2016;
Adhanty et al., 2021). Namun, hasil yang berbeda ditemukan pada penelitian Adnyani et
al., (2015) bahwa penderita diabetes dengan dimensi orang lain cenderung tidak patuh
dalam menjalani diet, dimana penderita diabetes selalu bergantung dengan tenaga
kesehatan namun malas mengikuti anjuran yang diberikan untuk mencapai status
kesehatannya.
IX. Pada dimensi kesempatan dari penelitian terdahulu menunjukkan bahwa semakin tinggi
nilai dimensi kesempatan, maka semakin tidak patuh penderita dalam menjalani diet
diabetes, dimana penderita diabetes meyakini bahwa kondisi dirinya tidak akan berubah
walaupun sudah mengikuti anjuran diet apabila sudah takdirnya memiliki kesehatan yang
dialaminya (Aflakseir & ZarrinPour, 2013; Farah & Durrani, 2016; Adhanty et al., 2021).
Hasil yang berbeda ditemukan pada penelitian oleh Kusnanto et al., (2019) yang
menunjukkan bahwa penderita diabetes dengan dimensi lokus kontrol kesehatan
kesempatan yang tinggi bersifat lebih patuh dalam menjalani diet, dimana penderita
diabetes dapat menjalani diet dengan baik karena meyakini takdir, nasib, keberuntungan
mempunyai pengaruh besar dalam kesehatannya.
X. Studi pendahuluan yang dilakukan peneliti, data Dinas Kesehatan Kota Padang (DKKP),
tahun 2020 menyebutkan bahwa tiga puskesmas dengan penderita diabetes terbanyak yang
tersebar berdasarkan demografi wilayah Kota Padang yang dibagi atas tiga bagian adalah
Puskesmas Andalas sebanyak 1.017 orang, Puskesmas Nanggalo sebanyak 433 orang,
Puskesmas Lubuk Kilangan sebanyak 457 orang di Padang bagian selatan. Hasil
wawancara pada 5 dari 10 pasien diabetes tipe 2 yang diwawancara belum patuh dalam
menjalani diet, dimana penderita diabetes tidak bisa menahan lapar dan mayoritas
penderita diabetes yang masih sering mengkonsumsi makanan/minuman yang manis
belum menggunakan gula khusus diabetes. Hasil wawancara juga menyebutkan bahwa
masih terdapat penderita diabetes yang tidak patuh diet, kondisi ini disebabkan karena
penderita diabetes merasa bosan dan jenuh dalam mengikuti diet yang dianjurkan.
XI. Berdasarkan pemaparan di atas, menunjukkan bahwa kepatuhan diet pada penderita
diabetes dan lokus kontrol kesehatan masih perlu dieksplorasi leboh lanjut. Selanjutnya,
beberapa hasil penelitian masih belum terlihat dengan jelas faktor yang mempengaruhi
kepatuhan diet dari segi psikologis, karena lokus kontrol kesehatan dapat mempengaruhi
perilaku penderita diabetes terhadap kepatuhan dalam menjalani diet. Oleh karena itu,
peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan lokus kontrol kesehatan
dengan kepatuhan diet pada pasien diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas Kota Padang.
Latihan 3:
Latihan 4: