Anda di halaman 1dari 15

Latihan:

Identifikasi mana yang merupakan masalah atau tren isu yang diangkat
sebagai latarbelakang penelitian, pernyataan gap dan masalah penelitian,
kemudian Buatlah pertanyaan penelitian dan tujuan penelitian

Latihan 1

I. Hipertensi menyebabkan sekitar 7,5 juta kematian atau menyebabkan sekitar 12,8 juta
kematian secara total. Hal ini menyebabkan masalah kesehatan global yang dapat
menyebabkan kematian dini di seluruh dunia. WHO memperkirakan 26,4% atau 973 juta
orang menderita tekanan darah tinggi. 973 juta orang menderita tekanan darah tinggi, 333
juta tinggal di negara maju, dan 640 sisanya tinggal di negara berkembang, termasuk
lndonesia (WHO, 201).
II. Berdasarkan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2018) kasus penyakit hipertensi
adalah salah satu penyakit tertinggi di Indonesia yang mencapai 34,1% kemudian terjadi
peningkatan sebesar 8,3% dari tahun 2013 hingga tahun 2018 dan sebagian besar kasus
hipertensi masih banyak belum terdeteksi di masyarakat. Pada tahun 2018 Provinsi yang
tertinggi mengalami gangguan hipertensi ini yaitu Kalimantan Selatan dengan angka
44,1% yang berada di posisi pertama, kemudian diikuti Sulawesi Barat dengan persentase
34,1%, dan pada Provinsi Sumatera Barat berada urutan ke 22 dengan prevalensi hipertensi
yang mencapai angka 22,97%.
III. Prevalensi hipertensi di Provinsi Sumatera Barat mencapai 22,97%. Data dari Dinas
Kesehatan Provinsi Sumatera Barat tahun 2020 hipertensi merupakan salah satu penyakit
terbanyak yang di derita oleh masyarakat dengan jumlah penderita 156.870 orang.
Terjadinya peningkatan angka kejadian hipertensi tertinggi di Puskesmas Air Tawar pada
tahun 2019 terdapat 1586 penderita hipertensi dan pada tahun 2020 angka kejadian
hipertensi di Puskesmas Air Tawar menjadi yang tertinggi dengan total penderita sebanyak
2209 dengan urutan pertama, kemudian pada urutan kedua pada Puskesmas Lubuk
Kilangan sebanyak 1621, dan urutan yang ketiga pada Puskesmas Andalas sebanyak 1483
(Dinas Kesehatan Kota Padang, 2020).
IV. Menurut Gunawan (2001) dalam prasetyorini dan prawesti (2012) salah satu penyebab
peningkatan tekanan darah pada pasien hipertensi adalah stress. Stress merupakan suatu
tekanan fisik maupun psikis yang tidak menyenangkan, stress dapat merangsang kelenjar
anak ginjal melepaskan hormon adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat dan
kuat sehingga tekanan darah akan meningkat, serta dapat menyebabkan penyakit jantung,
strok, hingga kematian. Dalam studi yang di lakukan (Delavera et al. 2021) menunjukan
hasil bahwa responden yang mengalami stress mempunyai peluang untuk hipertensi 1,103
kali dibanding responden yang tidak memiliki stress, hal ini sejalan dengan penlitian (Lu et
al. 2019) yang menyatakan individu dengan stress tinggi 61% lebih mungkin mengalami
peningkatan tekanan darah.
V. Stress dapat diatasi dengan terapi farmakologis dan terapi non farmakologis. Terapi
farmakologis penanganan stress berupa obat anti depresan dan anti cemas golongan
benzodiazepam seperti alprazolam, yang dalam penerapannya menyebabkan
ketergantungan yang cukup besar. Terapi non farmakologis merupakan upaya untuk
mengatasi stress dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain dengan cara
berolahraga, relaksasi mental (rekreasi), bercerita pada orang lain, memperdalam ibadah
dan agama dan satu diantaranya adalah dengan latihan releksasi terapi relaksasi nafas
dalam pada terapi ini membantu individu untuk melakukan relaksasi pernafasan, dengan
fokus menyeluruh pada tubuh yang bertujuan untuk mengembangkan konsentrasi sekaligus
fleksibilitas perhatian secara bersamaan (Candra, 2012).
VI. Terapi relaksasi nafas dalam dapat menurunkan tekanan darah dan tanpa adanya efek
samping atau kontra indikasi seperti pada terapi dengan menggunakan obat
penatalaksanaan non-farmakologis terapi relaksasi nafas dalam untuk menurunkan stress
dan tekanan darah penderita hipertensi karena terapi relaksasi nafas bisa dilakukan secara
mandiri, lebih gampang dilakukan dari pada terapi non-farmakologi lainnya, tidak
membutuhkan waktu lama untuk terapi dan mampu mengurangi dampak buruk dari terapi
farmakologis bagi penderita hipertensi (Anggraini 2020).
VII. Terapi non farmakologis terapi relaksasi nafas dalam merupakan cara yang dapat
dilakukan untuk manajemen stress sekaligus dapat penurunan tekanan darah. Terapi
relaksasi nafas dalam merupakan suatu teknik nafas lambat (menahan inspirasi secara
maksimal) dan bagaimana menghembuskan nafas secara perlahan. Teknik terapi relaksasi
nafas dalam merupakan salah satu terapi relaksasi yang mampu membuat tubuh menjadi
lebih tenang dan harmonis, serta mampu memberdayakan tubuhnya untuk mengatasi
gangguan yang menyerangnya (Gabb et al. 2016).
VIII. Terapi relaksasi nafas dalam dapat mempertahankan aktivitas saraf parasimpatis dan
mengurangi aktivitas saraf simpatis (Komori, 2018). Menurut Triyanto (2014) relaksasi
pernafasan memberi respon melawan Massdiscarge (pelepasan implus secara masal) pada
respon stress dari sistem saraf simpatis kondisi ini dapat menurunkan tahanan perifer
(Triyanto 2014). Sebagaimana menurut Hartono (2016) yang menyatakan dengan adanya
terapi relaksasi nafas dalam dapat mengurangi stress terjadi melalui kerja transmiter yang
ada di otak dengan cara menghambat dan memutus rangsangan penyebab stress, relaksasi
juga dapat merangsang munculnya zat kimia yang mirip dengan beta blocker di saraf tepi
yang dapat menutup simpul-simpul saraf (simpatis) hal ini berguna untuk mengurangi
ketegangan dan menurunkan tekanan darah (Hartono 2016).
IX. Pengamatan dan studi pendahuluan dilapangan didapatkan masih ada pasien hipertensi
yang belum bisa mengontrol stress dengan baik, dengan tingkat stress sedang , hasil yang
didapatkan empat dari Iima orang menderita hipertensi tidak tahu cara menggunakan terapi
relaksasi nafas .
X. Berdasarkan data yang didapatkan diatas, maka peneliti tertarik untuk melihat Pengaruh
terapi terapi relaksasi nafas dalam terhadap stress dan tekanan darah penderita hipertensi di
Puskesmas?

Latihan 2:

I. Dalam sepuluh tahun terakhir, terjadi peningkatan kasus diabetes mellitus, disinyalir 1
dalam 10 orang didunia menderita diabetes mellitus. Data International Diabetes
Federation (IDF) menunjukkan tahun 2021 menunjukkan bahwa Indonesia menempati
urutan ke-5 negara penderita diabetes terbanyak di dunia dengan 19,47 juta orang dewasa
(20 – 79 tahun) hidup dengan diabetes. Menurut hasil riset Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan (Litbangkes) tahun 2019, Provinsi Sumatera Barat berada pada
urutan ke-23 penderita diabetes di Indonesia dengan prevalensi 1,6% (Infodatin, 2020).
II. Diabetes menjadi masalah kesehatan yang serius dan apabila tidak segera ditangani dengan
baik dapat menyebabkan tidak terkendalinya kadar gula darah dan berisiko timbulnya
berbagai komplikasi hingga dapat berakhir dengan kecacatan dan kematian (WHO, 2020).
Kondisi ini dapat dicegah dengan penatalaksanaan diabetes yang dikenal dengan empat
pilar yaitu edukasi, terapi nutrisi medis (diet), aktivitas fisik, dan pemberian farmakologi.
Diet pada penderita diabetes menjadi dasar utama dari penatalaksanaan diabetes bersamaan
dengan melakukan aktivitas fisik. Penatalaksanaan diet diabetes dilakukan dengan
mengatur dan menerapkan prinsip 3J yaitu jadwal, jumlah, dan jenis konsumsi makanan
(Perkeni, 2020).
III. Keberhasilan tujuan pengendalian diabetes dengan penatalaksanaan diet ditentukan oleh
kepatuhan penderita dalam menjalaninya (Soegondo, 2018). Berdasarkan hasil studi
menunjukkan bahwa kepatuhan diet memiliki pengaruh sebesar 14,4% - 41,2% terhadap
perubahan kadar gula darah, dimana penderita diabetes yang patuh diet (63%) memiliki
kadar gula darah yang lebih baik dibandingkan penderita diabetes yang tidak patuh diet
(37%) (Salma et al., 2019; Aulia et al., 2021). Hasil studi lain juga menunjukkan bahwa
penderita diabetes yang tidak patuh diet berisiko sebesar 10,5 kali - 44,7 kali terhadap
kadar gula darah yang tidak terkendali. (Syarifah & Bachron, 2019; Nursihhah & Wijaya,
2021).
IV. Diet pada penderita diabetes menjadi kepatuhan jangka panjang dan salah satu aspek yang
menimbulkan tantangan dalam penatalaksanaan diabetes (Smeltzer & Bare, 2004 dalam
Adnyani et al., 2015). Hasil studi oleh Nursihhah & Wijaya, (2021) di Kota Bekasi
menunjukkan bahwa sebagian besar penderita diabetes (69,2%) tidak patuh dalam
menjalani diet. Hasil penelitian oleh Mirda, (2019) di Puskesmas Andalas menunjukkan
bahwa ketidakpatuhan diet (41,8%) disebabkan karena penderita diabetes merasa tidak
bisa menahan lapar sehingga merasa sulit dalam mengatur jumlah konsumsi makanan,
tidak menggunakan gula khusus diabetes dalam makanan/ minuman yang dikonsumsi,
serta kesibukan menyebabkan penderita diabetes tidak dapat mengikuti jadwal makan yang
telah dianjurkan.
V. Kepatuhan penderita diabetes dalam menjalani diet dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
pengetahuan, dukungan sosial keluarga, dukungan tenaga kesehatan, dan keyakinan yang
terdiri dari efikasi diri dan lokus kontrol kesehatan (Niven, 2012; Federick et al., 2002).
Lokus kontrol kesehatan menjadi faktor psikologis yang dapat mempengaruhi perilaku
dalam mengambil tindakan untuk kesehatan, sehingga juga dapat mempengaruhi
kepatuhan individu (Theofilou & Saborit, 2012). Lokus kontrol kesehatan adalah
keyakinan bahwa status kesehatan individu karena adanya kontrol dari dirinya sendiri
maupun adanya nasib/takdir serta kontrol dari dokter. Berdasarkan hasil studi terdahulu
menunjukkan bahwa lokus kontrol kesehatan memiliki pengaruh 17,5% - 25% terhadap
kepatuhan diet pada penderita diabetes (Aflakseir & ZarrinPour, 2013; Farah & Durrani,
2016).
VI. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa ketiga dimensi lokus
kontrol kesehatan memiliki hubungan bermakna terhadap kepatuhan diet diabetes (p <
0,05) (Adnyani et al., 2015; Farah & Durrani, 2016, Kusnanto et al., 2019; Adhanty et al.,
2021). Hasil yang berbeda ditemukan pada penelitian Aflakseir & ZarrinPour, (2013)
dimana hanya dua dari tiga dimensi lokus kontrol kesehatan yang berhubungan bermakna
dengan kepatuhan diet diabetes yaitu dimensi kesempatan dan dimensi orang lain (p
<0,05), sedangkan dimensi internal tidak bermakna dengan kepatuhan diet diabetes (p >
0,05). Perbedaan hasil penelitian tersebut disebabkan karena adanya perbedaan demografi
yang dapat mempengaruhi perilaku pada penderita diabetes (Aflakseir & ZarrinPour,
2013).
VII. Menurut Theofilou & Saborit, (2012) individu dengan lokus kontrol kesehatan yang tinggi
dapat memiliki kepatuhan yang baik karena individu cenderung berusaha untuk
meningkatkan status kesehatannya, namun individu dengan lokus kontrol kesehatan yang
tinggi juga ditemukan memiliki kepatuhan yang rendah karena individu memiliki
kebebasan dalam menentukan status kesehatannya (Niven, 2012). Kondisi ini dapat dilihat
dari beberapa penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan hasil
hubungan lokus kontrol kesehatan dengan kepatuhan diet pada penderita diabetes.
VIII. Berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai
dimensi internal, dan dimensi orang lain, semakin patuh penderita diabetes dalam
menjalani diet, dimana penderita diabetes meyakini bahwa dengan patuh diet dan
mengikuti anjuran dari fasilitas kesehatan terhadap penatalaksanaan diet dapat
meningkatkan status kesehatannya (Aflakseir & ZarrinPour, 2013; Farah & Durrani, 2016;
Adhanty et al., 2021). Namun, hasil yang berbeda ditemukan pada penelitian Adnyani et
al., (2015) bahwa penderita diabetes dengan dimensi orang lain cenderung tidak patuh
dalam menjalani diet, dimana penderita diabetes selalu bergantung dengan tenaga
kesehatan namun malas mengikuti anjuran yang diberikan untuk mencapai status
kesehatannya.
IX. Pada dimensi kesempatan dari penelitian terdahulu menunjukkan bahwa semakin tinggi
nilai dimensi kesempatan, maka semakin tidak patuh penderita dalam menjalani diet
diabetes, dimana penderita diabetes meyakini bahwa kondisi dirinya tidak akan berubah
walaupun sudah mengikuti anjuran diet apabila sudah takdirnya memiliki kesehatan yang
dialaminya (Aflakseir & ZarrinPour, 2013; Farah & Durrani, 2016; Adhanty et al., 2021).
Hasil yang berbeda ditemukan pada penelitian oleh Kusnanto et al., (2019) yang
menunjukkan bahwa penderita diabetes dengan dimensi lokus kontrol kesehatan
kesempatan yang tinggi bersifat lebih patuh dalam menjalani diet, dimana penderita
diabetes dapat menjalani diet dengan baik karena meyakini takdir, nasib, keberuntungan
mempunyai pengaruh besar dalam kesehatannya.
X. Studi pendahuluan yang dilakukan peneliti, data Dinas Kesehatan Kota Padang (DKKP),
tahun 2020 menyebutkan bahwa tiga puskesmas dengan penderita diabetes terbanyak yang
tersebar berdasarkan demografi wilayah Kota Padang yang dibagi atas tiga bagian adalah
Puskesmas Andalas sebanyak 1.017 orang, Puskesmas Nanggalo sebanyak 433 orang,
Puskesmas Lubuk Kilangan sebanyak 457 orang di Padang bagian selatan. Hasil
wawancara pada 5 dari 10 pasien diabetes tipe 2 yang diwawancara belum patuh dalam
menjalani diet, dimana penderita diabetes tidak bisa menahan lapar dan mayoritas
penderita diabetes yang masih sering mengkonsumsi makanan/minuman yang manis
belum menggunakan gula khusus diabetes. Hasil wawancara juga menyebutkan bahwa
masih terdapat penderita diabetes yang tidak patuh diet, kondisi ini disebabkan karena
penderita diabetes merasa bosan dan jenuh dalam mengikuti diet yang dianjurkan.
XI. Berdasarkan pemaparan di atas, menunjukkan bahwa kepatuhan diet pada penderita
diabetes dan lokus kontrol kesehatan masih perlu dieksplorasi leboh lanjut. Selanjutnya,
beberapa hasil penelitian masih belum terlihat dengan jelas faktor yang mempengaruhi
kepatuhan diet dari segi psikologis, karena lokus kontrol kesehatan dapat mempengaruhi
perilaku penderita diabetes terhadap kepatuhan dalam menjalani diet. Oleh karena itu,
peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan lokus kontrol kesehatan
dengan kepatuhan diet pada pasien diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas Kota Padang.

Latihan 3:

I. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah memperkirakan bahwa diabetes


dianggap sebagai yang ketujuh penyebab kematian, dan diketahui bahwa diabetes
mellitus (DM) meningkat pesat di seluruh dunia (WHO, 2021). Secara global,
diabetes adalah salah satu penyakit kronis utama. Sekitar 415 juta orang dewasa
berusia 20-79 tahun hidup dengan diabetes. Sekitar tiga perempat dari mereka
tinggal di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Penelitian dari berbagai
negara memprediksi populasi orang dengan diabetes akan terus meningkat. Pada
tahun 2040, prevalensi diabetes diperkirakan meningkat menjadi 642 juta secara
global dan terjadi di daerah yang berpenghasilan rendah hingga menengah.
Peningkatan terjadi karena adanya perubahan gaya hidup, urbanisasi dan
industrialisasi (Gan, 2013).
II. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilaksanakan pada tahun 2018 melakukan
pengumpulan data penderita Diabetes Mellitus pada penduduk berumur >15 tahun.
Hasil Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa prevalensi diabetes melitus menurut
hasil pemeriksaan gula darah meningkat dari 6,9% pada 2013 menjadi 8,5%.
Angka ini menunjukkan bahwa baru sekitar 25% penderita diabetes yang
mengetahui bahwa dirinya menderita diabetes (Kementrian kesehatan republik
indonesia, 2020). Sehingga bisa disimpulkan bahwa masih banyak masyarakat
yang tidak tahu bahwa dia menderita diabetes mellitus. Sejalan dengan penelitian
dari (Alqahtani et al., 2020) bahwa mayoritas masyarakat tidak pernah memeriksa
kadar glukosa darah mereka karena kurangnya pengetahuan tentang diabetes itu
sendiri.
III. Prevalensi penyandang DM di Sumatera Barat pada tahun 2018 yang di diagnosis
menderita DM adalah 1,3 % yaitu perkiraan jumlahnya sebanyak 44,561 jiwa.
Berdasarkan laporan dari Rakerkesda Sumatera Barat pada tahun 2018 Kota
Payakumbuh berada pada peringkat ke 6 dengan prevalensi 2,1 % per Kabupaten
atau Kota di Sumatera Barat (Riskesdas, 2018).
IV. Berdasarkan profil Dinas Kesehatan Kota Payakumbuh, angka kejadian Diabetes
Mellitus pada tahun 2017 berjumlah 1364 orang. Sedangkan tahun 2018 berjumlah
1297 orang dan tahun 2019 berjumlah 2119 orang. Data profil kesehatan
Payakumbuh, Diabetes Mellitus peringkat ke 4 penyakit dengan kunjungan
terbanyak di puskesmas se-kota Payakumbuh tahun 2019. Hasil laporan tahunan
Dinas Kesehatan Kota Payakumbuh tahun 2019 bahwa Puskesmas Ibuh berada
pada urutan pertama jumlah penderita Diabetes Melitus
terbanyak dari delapan puskesmas yang tersebar di Kota Payakumbuh yaitu
sebanyak 465 kasus. Hasil laporan Puskesmas Ibuh didapatkan bahwa pasien DM
semakin tahun semakin bertambah dan juga keadaan pasiennya semakin buruk dari
tahun ke tahun.Pasien yang kontrol di puskesmas diketahui ada yang menderita
diabetes dengan komplikasi yaitu ulkus diabetikum langsung diberikan rujukan ke
rumah sakit (Kementrian Kesehatan, 2020).
V. Berdasarkan hasil penelitian pada tahun 2021, pasien Diabetes Mellitus di wilayah
kerja Puskesmas Ibuh Kota Payakumbuh hanya sebagian pasien yang mempunyai
kualitas hidup sedang dengan manajemen diri sedang (Zhahara,2021). Peneliti
tersebut mendapatkan bahwa selama pandemi COVID-19, kualitas hidup yang
masih rendah adalah dari aspek sosial dimana pasien merasa terisolir dan tidak bisa
bertemu dengan temannya, juga dari aspek psikologis pasien mengalami kesulitan
dalam berkonsentrasi, dan dari aspek fisik pasien tidak memiliki kecukupan energi
untuk melakukan aktivitas. Dari segi manajemen diri, aspek diet masih sebagian
dari total pasien yang memiliki kepatuhan diet yang baik.
VI. Gambaran kualitas hidup penderita Diabetes Mellitus di wilayah kerja Puskesmas
Ibuh di era COVID-19 pada tahun 2020 didapatkan dalam rentang sedang. Sejalan
dengan penelitian Umam et al., (2020) mendapatkan bahwa bahwa penderita
Diabetes Mellitus di Puskesmas Wanaraja Kabupaten Garut sebagian besar
memiliki kualitas hidup yang sedang sebanyak 58 orang (63,7%). Berdasarkan
penelitian yang dilakukan, aspek fisik didapatkan hasilnya berada pada kategori
sedang karena mengalami penurunan kekuatan fungsi untuk beraktivitas, juga dari
aspek psikologis, pasien memiliki pikiran buruk tentang dirinya dan dari aspek
sosial pasien merasa kesepian dan stress sehingga diperlukan dukungan dalam
memberikan rasa aman kepada pasien. Disisi lain, hasil penelitian yang dilakukan
oleh Irawan, (2021) didapatkan bahwa penderita Diabetes Mellitus di Puskesmas
Babakan Sari Kota Bandung sebagian besar memiliki kualitas hidup yang buruk
yaitu 56 penderita (50,9%) dari total 110 penderita dengan manajemen diri yang
buruk yaitu pada bagian diet, pasien masih lebih dari setengah yang buruk dalam
kepatuhan dietnya.
VII. Kepatuhan diet dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu faktor predisposisi
seperti karakteristik individu dan psikososial, faktor penguat seperti dukungan
keluarga atau tenaga kesehatan dan faktor penyebab seperti rendahnya pelayanan
fasilitas kesehatan (Parajuli et al., 2014). Kendala utama pada penangan Diabetes
Mellitus adalah kejenuhan pasien dalam mengikuti terapi diet yang sangat
diperlukan dalam mencapai keberhasilan.
VIII. Ketidakpatuhan diet dapat membahayakan status kesehatan penderita. Kepatuhan
pasien diabetes mellitus dalam melaksanakan diet merupakan salah satu hal
terpenting dalam pengendalian diabetes mellitus. Kepatuhan diet adalah faktor
penting dalam menjalankan diet sehingga kadar glukosa dalam darah dapat
terkontrol (Legi et al., 2018).
IX. Berdasarkan dari hasil penelitian Nurhidayah, (2019) mendapatkan hasil bahwa di
Martapura setengah pasien Diabetes Mellitus memiliki kualitas hidup yang buruk
dengan manajemen diri yang buruk pada aspek diet yaitu patuh 11 orang responden
dan tidak patuh 26 responden. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Hayati (2020) yang mendapatkan hasil bahwa dari 46
responden kategori tidak patuh sebanyak 24 responden (60%) dan kategori yang
patuh sebesar 22 responden (55%). Ini membuktikan masih banyaknya penderita
DM yang tidak patuh dalam melaksanakan diet. Kepatuhan diet disebabkan oleh
beberapa faktor seperti dukungan keluarga, pengetahuan tentang diet, sikap pasif
terhadap perintah petugas kesehatan, persepsi negatif tentang diet, dan rendahnya
status sosial ekonomi. (Ubaidillah & Dipanusa, 2019).
X. Status sosial ekonomi berpengaruh terhadap kesehatan seseorang. Status sosial
ekonomi yang rendah dikaitkan dengan tingkat kematian yang tinggi. Status sosial
ekonomi baik dinilai oleh pendapatan, pendidikan, atau pekerjaan terkait dengan
berbagai masalah kesehatan. Umumnya seseorang dengan status sosial ekonominya
rendah memiliki kesadaran perawatan yang kurang, hal ini dikarenakan minimnya
pengetahuan pada orang tersebut. Kesadaran perawatan diri yang buruk dalam
mengontrol kadar gula darah pada orang dengan status sosial ekonomi rendah akan
berimbas pada peningkatan risiko komplikasi penyakit (Sari, 2017). Hasil
penelitian Prawirasatra (2017) menyatakan ada hubungan antara status ekonomi
dengan kepatuhan pasien dalam menjalankan 4 pilar pengelolaan diabetes mellitus.
XI. Dilihat dari sudut tingkat sosial ekonominya, Kota Payakumbuh dari tiga tahun
terakhir mengalami penurunan. Penurunan tersebut dipengaruhi oleh menurunnya
produksi di seluruh lapangan usaha karena dampak dari pandemi COVID-19 yang
mempengaruhi aktivitas ekonomi masyarakat. Dampak dari wabah/pandemi
COVID-19, pada tahun 2020 hanya ada 6 kategori/Lapangan Usaha yang
mengalami pertumbuhan yang positif sedangkan kategori/lapangan usaha lainnya
mengalami kontraksi/ (pertumbuhan negatif). Umumnya penduduk Kelurahan Ibuh
bekerja sebagai pedagang dan bertani. Dampak ini membuat pendapatan
masyarakat Payakumbuh termasuk Kelurahan Ibuh mengalami penurunan dan
berpengaruh kepada kualitas hidup masyarakatnya seperti lebih memilih memenuhi
kebutuhannya daripada berobat ke pelayanan kesehatan (Badan Pusat Statistik Kota
Payakumbuh, 2020). Kesulitan ekonomi dapat membahayakan kesehatan dan
hubungan keluarga, serta membuatnya lebih sulit untuk membayar pengeluaran
rumah tangga, dari tagihan listrik ke biaya medis (Munir & Munir, 2020).
XII. Berdasarkan studi pendahuluan yang telah peneliti lakukan di Dinas Kesehatan
Kota Payakumbuh, diperoleh bahwa pada tahun 2021 terdapat 1421 orang
menderita diabetes mellitus di Kota Payakumbuh. Puskesmas dengan pasien
diabetes mellitus terbanyak pada tahun 2021 yaitu Puskesmas ibuh dengan jumlah
222 orang. Data pengunjung Puskesmas ibuh dengan Diabetes Mellitus dari Januari
sampai April 2022 mengalami peningkatan sebesar 35% dari tahun sebelumnya.
Dari wawancara kepada 10 responden penderita diabetes mellitus di Puskesmas,
didapatkan bahwa tujuh pasien memiliki kepatuhan diet yang buruk. Lima pasien
mengatakan jarang membatasi jumlah makanan yang dikonsumsi dan mengatakan
sering makan malam. Dua pasien mengatakan menyukai makan dalam porsi besar
dan memakan pantangan yang telah dilarang petugas puskesmas. Sementara itu tiga
pasien mengatakan sudah patuh melaksanakan diet yang telah dianjurkan petugas
kesehatan. Berdasarkan faktor diatas bahwa masih ditemukan kualitas hidup yang
kurang baik pada penderita Diabetes Mellitus dan ini diasumsikan ada hubungan
dengan keadaan sosial ekonomi dan kepatuhan diet. maka peneliti ingin
menginvestigasi lebih lanjut apakah ada hubungan antara kepatuhan diet dan sosial
ekonomi dengan kualitas hidup pasien Diabetes Mellitus di wilayah kerja
Puskesmas Ibuh Kota Payakumbuh.

Latihan 4:

I. Berdasarkan estimasi dari GLOBOCAN, International Agency for Research


on Cancer (IARC), pada tahun 2020 kanker payudara menjadi kasus kanker
tertinggi di dunia dengan angka kejadian 2.261.429 kasus baru pada tahun
2020. Lima tahun terakhir tercatat ada 7.790.717 kasus kanker payudara di
dunia. Kanker payudara menjadi urutan pertama penyebab kematian di dunia,
dengan angka kematian 684.996 kasus pada tahun 2020.
II. Pada tahun 2020, Indonesia merupakan urutan kedelapan kasus kanker
payudara di dunia, dengan 213.546 kasus baru tahun 2020, dan Indonesia juga
urutan kedelapan untuk kematian akibat kanker payudara di dunia dengan
109.813 kematian tahun 2020. Pada 5 tahun terakhir, ada 556.448 wanita
Indonesia menderita kanker payudara hingga tahun 2020. Lima tahun terakhir,
Indonesia merupakan urutan kelima di dunia dengan kejadian kanker payudara
pada usia 10-24 tahun dengan 11.481 kasus. Tahun 2020, 4.354 kejadian
kanker payudara di Indonesia pada umur 10-24 tahun, ini menunjukkan angka
kejadian kanker payudara pada remaja putri di Indonesia cukup tinggi
(GLOBOCAN, 2020).
III. International Agency for Research on Cancer (IARC) memperkirakan bahwa
jumlah kasus kanker payudara akan bertambah setiap tahunnya. Kasus kanker
payudara pada tahun 2020 berjumlah 2.261.419 kasus, tahun 2025 jumlah
kasus kanker payudara diperkirakan naik menjadi 2.467.243 kasus (naik
9.1%). Tahun 2030 jumlah kasus kanker payudara diperkirakan naik menjadi
2.666.412 kasus (naik 17.9%). Tahun 2040 jumlah kasus kanker payudara
diperkirakan 3.025.471 kasus (naik 33.8%). Apabila tidak ada penanganan
khusus seperti deteksi dini pada perempuan yang merupakan populasi berisiko
tinggi, maka pertambahan kasus baru kanker payudara setiap tahunnya akan
semakin meningkat (GLOBOCAN, 2020).
IV. Di Sumatera Barat jumlah penderita kanker payudara terus meningkat dari
tahun ke tahun, yaitu pada tahun 2017 ada 303 kasus, tahun 2018 ada 422
kasus, dan tahun 2019 ada 479 kasus. Kanker payudara merupakan kasus
kanker tertinggi yang terjadi pada perempuan di Sumatera Barat (Dinkes
Sumatera Barat, 2020). Berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) 2018, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia sudah
melakukan upaya preventif dalam mendeteksi dini kanker payudara dan kanker
leher rahim seperti screening melalui metoda Inspeksi Visual Asam Asetat
(IVA), papsmear, dan Pemeriksaan Payudara Klinis (Sadanis). Sumatera Barat
merupakan urutan kedua pada cakupan perempuan yang mendapat screening
terbanyak di Indonesia setelah Kepulauan Bangka Belitung sebesar 18,89%.
(Kementrian Kesehatan RI, 2019).
V. Kanker payudara memerlukan waktu yang cukup panjang untuk berkembang
dalam tubuh penderitanya dengan berbagai macam faktor risiko. Umumnya
kanker payudara disadari oleh penderita ketika sudah berada pada stadium
lanjut. Hal ini menjadi alasan mengapa deteksi dini kanker payudara sangat
penting dan kesadaran perempuan sejak usia remaja terhadap deteksi dini
kanker payudara juga sangat penting (Krisdianto, 2019).
VI. Kurangnya kesadaran dan pengetahuan mengenai deteksi dini kanker payudara
menjadi salah satu penyebab tingginya angka kematian akibat kanker
payudara. Umumnya jika sudah mengalami keluhan berat penderita baru
mempunyai kesadaran untuk melakukan pemeriksaan ke rumah sakit, yang
tidak jarang kondisi penderita sudah sampai pada stadium lanjut. Sehingga jika
penyakit telah sampai pada stadium lanjut maka akan sulit untuk disembuhkan
(Mustika et al., 2016). Rutin melakukan SADARI dan dapat mendeteksi
kanker sejak stadium dini dan menerapkan terapi secara tepat maka tingkat
kesembuhan pada penderita kanker payudara cukup tinggi yaitu sekitar 80 –
90% (Peraturan Menteri Kesehatan No. 34 [PMK NO. 34], 2015). Riset
Penyakit Tidak Menular (PTM) pada tahun 2016 menyatakan bahwa kesadaran
dan perilaku masyarakat dalam deteksi dini kanker payudara masih sangat
rendah. Hasil riset menunjukkan 53,7% masyarakat tidak pernah melakukan
SADARI, dan 95,6% masyarakat tidak pernah melakukan SADANIS
(Kementrian Kesehatan RI, 2017).
VII. Hasil penelitian Moh et al. (2020) di Myanmar menunjukkan pengetahuan dan
kemampuan SADARI yang rendah menjadi hambatan untuk melakukan
praktik SADARI. Penelitian Paulsamy et al. (2021) di Arab Saudi
menunjukkan pengetahuan 77% mahasiswi berada pada tingkat kurang, 61%
mahasiswi memiliki nilai yang buruk dalam praktik SADARI. Pengetahuan
yang kurang menyebabkan kurangnya praktik SADARI, dan dibutuhkan
pendidikan kesehatan untuk mengurangi morbiditas dan kematian terkait
kanker payudara. Hasil penelitian Matthew & Rani (2021), menunjukkan
adanya hubungan pengetahuan dengan tindakan SADARI pada wanita di
India. Adanya kesenjangan informasi terkait deteksi dini dan kanker payudara
sehingga dibutuhkan pendidikan kesehatan untuk meningkatkan pengetahuan
tentang kanker payudara dan SADARI. Hasil penelitian Mihret et al. (2021) di
Ethiopia menunjukkan siswa dengan pengetahuan SADARI yang baik 12,02
kali lebih mungkin untuk melakukan praktik SADARI yang lebih baik dari
pada yang berpengetahuan buruk. Oleh karena itu, perlu dilakukan intervensi
untuk meningkatkan pengetahuan remaja putri mengenai praktik SADARI.
VIII. Penemuan dini dimulai dengan peningkatan kesadaran masyarakat tentang
perubahan bentuk atau adanya kelainan di payudara sendiri, dengan cara
memasyarakatkan program SADARI bagi semua perempuan dimulai sejak
usia subur, sebab 85% kelainan di payudara justru pertama kali dikenali oleh
penderita bila tidak dilakukan skrining massal (Peraturan Menteri Kesehatan
No. 34 [PMK NO. 34], 2015). Rendahnya sebaran informasi dan kewaspadaan
masyarakat tentang kanker payudara menyebabkan tingkat pengetahuan remaja
putri tentang pentingnya melakukan pemeriksaan payudara sendiri (SADARI).
Minat remaja putri untuk mencari informasi mengenai kanker payudara, cara
untuk mencegah dan mendeteksi dini kanker payudara dengan cara SADARI
juga masih rendah. Sebagian remaja putri juga merasa malas bahkan malu
untuk melakukan SADARI yang artinya perasaan ini menimbulkan dampak
berupa kurangnya kesadaran dan pengetahuan remaja putri mengenai kanker
payudara dan SADARI (Pratama & susanti, 2021). Oleh karena itu, penting
diberikan pendidikan kesehatan tentang SADARI terhadap remaja putri di
Indonesia sebagai deteksi dini kanker payudara, yang berguna untuk
mengurangi angka kasus kanker payudara, dan menurunkan angka kematian
akibat kanker payudara.
IX. Pendidikan kesehatan yang baik, yaitu dengan menggunakan media dan
metode yang menarik dan mudah dipahami oleh audiens, sehingga pesan yang
disampaikan diserap dengan baik dalam bentuk perubahan perilaku dan
keterampilan (Nurmala et al., 2020). Metode yang paling efektif dalam
pendidikan SADARI adalah dengan memberikan bahan bacaan berupa booklet
dan melakukan simulasi atau demonstrasi dengan informasi yang diserap
sebanyak 90%. Memberikan media booklet dapat membantu komunikasi dan
menarik perhatian remaja dalam memberikan pendidikan. Menggunakan
kombinasi metode demonstrasi dan media booklet akan memberikan ingatan,
kewaspadaan dan perhatian terhadap SADARI dalam jangka panjang dan
dapat digunakan dimanapun (Al-Oseely et al., 2021). Penggunaan panca indera
secara verbal dan visual bersamaan meningkatkan pemahaman peserta menjadi
6 kali dan setelah 3 jam pemberian pendidikan kesehatan, informasi yang
masih diingat sebanyak 85% (Kementrian Kesehatan RI, 2016b). Sehingga
metode demonstrasi merupakan metode yang tepat dalam memberikan
pendidikan kesehatan untuk meningkatkan kemampuan SADARI. Sejalan
dengan tujuan penelitian ini, untuk meningkatkan kemampuan diperlukan
penyuluhan dengan metode demonstrasi dalam melakukan suatu tindakan
dengan pendidik menjelaskan secara verbal, memperlihatkan proses secara
visual, memberikan kesempatan bertanya dan berdiskusi kemudian meminta
peserta didik melakukan tindakan tersebut akan membantu mempertahankan
memori peserta (Asniar et al., 2020).
X. Berdasarkan hasil penelitian Hartutik & Pradani (2020), menunjukkan bahwa
metode demonstrasi lebih baik digunakan dibandingkan dengan media video
dimana nilai rata-rata keterampilan praktik SADARI siswi dengan metode
demonstrasi meningkat dari 10,90 menjadi 24,50. Praktik SADARI lebih
cocok diajarkan dengan metode demonstrasi dari pada media video. Hasil
penelitian Saputra et al. (2021), juga menunjukkan bahwa metode yang paling
efektif dalam meningkatkan pengetahuan dan praktik SADARI adalah metode
demonstrasi dengan meningkatkan praktik sebesar 92,7%. Penelitian AM et al.
(2021) di Nigeria menunjukkan bahwa metode demonstrasi memberikan
dampak yang lebih besar dalam meningkatkan pengetahuan dan praktik
SADARI siswi. Pemberian intervensi berbasis pendidikan kesehatan dengan
metode demonstrasi memberikan perubahan positif dalam praktik pemeriksaan
SADARI di Korea Selatan (Jun, 2021). Penelitian Kissal & Kartal, (2019),
menunjukkan persentase siswa yang melakukan SADARI sebelum dan
sesudah diberi pendidikan dari 14,6% meningkat menjadi 45,8%. Penelitian
tersebut mengalami keterbatasan karena jumlah sampel yang kecil dan tidak
dapat digeneralisasikan untuk semua siswa. Hal ini menjadi peluang bagi
peneliti sendiri untuk memperbesar jumlah sampel nantinya agar dapat
digeneralisasikan untuk semua siswa.
XI. Kabupaten Tanah Datar berada di urutan kelima di Sumatera Barat dalam
temuan kasus kanker payudara pada tahun 2017 dengan 27 kasus baru dengan
pemeriksaan klinis. Walaupun bukan kasus yang tertinggi, namun jumlah
kasus tersebut berisiko semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pada studi
pendahuluan yang dilakukan peneliti, dalam 2 tahun terakhir Dinas Kesehatan
Kabupaten Tanah Datar tidak melakukan pendataan terhadap kasus kanker
payudara dikarenakan fokus pendataan dipusatkan pada pengendalian pandemi
Covid-19. Hal ini membuat perhatian dan fokus pemerintah serta masyarakat
terhadap deteksi dini kanker payudara semakin menurun. Berdasarkan
keterangan dari pihak Dinas Kesehatan Kabupaten Tanah Datar, belum pernah
ada penelitian yang dilakukan mengenai deteksi dini kanker payudara dengan
SADARI di Kabupaten Tanah Datar. Pihak Dinas Kesehatan juga mengatakan
bahwa dalam 2 tahun terakhir tidak dilakukan penyuluhan terhadap remaja
putri mengenai deteksi dini kanker payudara akibat pandemic Covid-19 dan
hal ini berisiko meningkatkan kasus kanker payudara dari tahun ke tahun di
Kabupaten Tanah Datar.
XII. Hasil wawancara peneliti dengan pihak puskesmas, Kecamatan Pariangan
termasuk salah satu kecamatan yang tidak melakukan pendataan terhadap
kanker payudara. Hasil wawancara peneliti, pihak Puskesmas Kecamatan
Pariangan mengatakan bahwa puskesmas tidak melakukan penyuluhan
mengenai deteksi dini kanker payudara berupa SADARI di wilayah
Kecamatan Pariangan. Sementara fenomena yang peneliti temukan, cukup
banyak penderita kanker payudara di wilayah tersebut dibuktikan dengan hasil
wawancara peneliti terhadap masing-masing Wali Nagari di Kecamatan
Pariangan. Kecamatan Pariangan terdiri dari 6 Nagari, dan peneliti melakukan
studi pendahuluan ke tiap Nagari dengan melakukan wawancara terhadap
masing-masing Wali Nagari. Dari hasil wawancara tersebut didapatkan hasil
Wali Nagari Tabek Mengatakan terdapat 5 orang penderita kanker payudara di
wilayah tersebut. Wali Nagari Pariangan mengatakan terdapat 6 orang
penderita kanker payudara dan 2 orang remaja putri yang mengalami adanya
benjolan pada payudara. Wali Nagari Sawah Tangah mengatakan terdapat 1
orang penderita kanker payudara di wilayah tersebut. Wali Nagari Sungai
Simabur mengatakan terdapat 3 orang penderita kanker payudara di wilayah
tersebut. Wali Nagari Sungai Jambu mengatakan terdapat 1 orang penderita
kanker payudara di wilayah tersebut. Wali Nagari Batu Basa mengatakan
terdapat 3 orang penderita kanker payudara di wilayah tersebut. Dari hasil
wawancara tersebut, maka disimpulkan terdapat 19 orang penderita kanker
payudara di wilayah Kecamatan Pariangan. Umumnya remaja putri di
Kecamatan Pariangan belum pernah mendapatkan pendidikan kesehatan
mengenai SADARI, dan memiliki pengetahuan serta keterampilan yang rendah
mengenai SADARI. Remaja putri di wilayah tersebut umumnya bersekolah di
SMAN 1 Pariangan. Keadaan ini menjadi peluang untuk melakukan penelitian
di SMAN 1 Pariangan mengenai keterampilan SADARI pada remaja putri.
XIII. Peneliti juga melakukan wawancara terhadap 13 siswi di SMAN 1 Pariangan
dan ditemukan 1 siswi mengatakan punya keluarga yang menderita kanker
payudara. Sebanyak 7 orang siswi mengatakan hanya mengetahui pengertian
kanker payudara dan tidak tahu faktor risiko, pencegahan dan penanganan
kanker payudara. Sebanyak 9 orang siswi mengatakan tidak tahu apa itu
SADARI dan 4 siswi mengatakan tahu bahwa SADARI itu adalah
pemeriksaan payudara sendiri. Sebanyak 10 orang mengatakan tidak
mengetahui manfaat dari melakukan tindakan SADARI, dan 3 siswi
mengatakan tahu manfaat SADARI. Sebanyak 12 siswi mengatakan tidak
mengetahui tata cara melakukan SADARI, dan 12 orang siswi mengatakan
tidak pernah melakukan SADARI, 13 siswi mengatakan tidak mengetahui
kapan waktu yang baik untuk melakukan tindakan SADARI.
XIV. Dari hasil studi pendahuluan, maka peneliti menyimpulkan sebagian besar
siswi di SMAN 1 Pariangan memiliki pengetahuan dan kesadaran yang rendah
mengenai deteksi dini kanker payudara dan praktik SADARI. Sehingga
diperlukan adanya upaya untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
siswi di SMAN 1 Pariangan sebagai mendeteksi dini kanker payudara dan
menekan pertambahan jumlah kasus kanker payudara, dan kematian akibat
kanker payudara.
XV. Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai pengaruh pendidikan kesehatan terhadap peningkatan pengetahuan
dan kemampuan melakukan pemeriksaan payudara sendiri (SADARI) sebagai
deteksi dini kanker payudara pada siswi SMAN 1 Pariangan dengan booklet
dan metode demonstrasi.
1
3

Anda mungkin juga menyukai