DI SUSUN OLEH :
1. FATIMAH NUR’INAYAH_N21021098
2. FATIMAH SURYANI_N21021095
3. KRISTI SUKARSI AMANTA_N21021101
4. FITRAH INAYA_N21021093
5. ANA RISTA_N21021090
6. NURFADILAH_N21021094
UNIVERSITAS TADULAKO
2023/2024
BAB 1
PENDAHULUAN
Hipertensi adalah penyakit yang tidak menular sering dikenal dengan tekanan
darah tinggi dengan kondisi pembuluh darah mengalami peningkatan secara persisten di
atas normal 130/90 mmHg (AHA, 2017). Berdasarkan data Kementrian kesehatan pada
tahun 2018 hipertensi menjadi penyakit tidak menular peringkat pertama yang
didiagnosis di berbagai fasilitas kesehatan hingga mencapai 185.857 kasus. Hipertensi
sering terjadi di negara yang telah berkembang termasuk Indonesia (Manuntung, 2018).
Prevalensi hipertensi di Indonesia cukup tinggi, menurut data Kementrian
Kesehatan tahun 2018 di Indonesia terjadi peningkatan jumlah penderita darah tinggi
pada tahun 2013 sebanyak 26,5% meningkat di tahun 2018 sebanyak 34,1%
(Kementerian Kesehatan RI, 2018). Pada tahun 2016, prevalensi penderita hipertensi di
sulawesi tengah juga cukup tinggi mencapai 2,46% dengan banyak kasus hipertensi yang
telah diperiksa sebanyak 8.029.245 penderita, kasus hipertensi tersebut tersebar pada 26
Kabupaten/ kota termasuk salah satunya Kabupaten kota palu sebanyak 3,24% (Dinas
Kesehatan Provinsi Sulawesi tengah, 2023). Prevalensi penderita hipertensi di seluruh
rumah sakit Kabupaten kota palu mencakup kelompok umur ≥ 18 tahun sebanyak
118.917 penderita (Profil Kesehatan Kab.kota palu, 2023). Hal tersebut menunjukkan
tingginya prevalensi penyakit hipertensi.
Peningkatan tekanan darah secara terus- menerus berlangsung lama dan tidak
dikendalikan atau ditangani sejak dini bersiko menyebabkan dampak lebih berat dari
hipertensi seperti: penyakit jantung koroner, terjadinya strok karena adanya penyumbatan
pada pembuluh darah, dan gagal ginjal (Yulanda, Lisiswanti, 2017). Perawatan untuk
mengontrol tekanan darah penderita hipertensi pada dasarnya dapat dilaksanakan dengan
cara farmakologis serta nonfarmakologis.
Penatalaksaan hipertensi secara farmakologis lebih efektif dalam menurunkan
tekanan darah apabila diimbangi dengan penatalaksanaan nonfarmakologis (Hidayat,
2010). Penatalaksanaan yang termasuk kedalam terapi nonfarmakologi yakni dengan cara
modifikasi gaya hidup diantaranya diet hipertensi, melakukan aktivitas fisik, manajemen
stres, kepatuhan penderita mengontrol tekanan darah secara teratur (Setyowati &
Wahyuni, 2019). Manurung & Wibowo (2016) menyatakan penatalaksanaan terapi
nonfarmakologi dengan modifikasi gaya hidup harus dilaksanakan oleh penderita
hipertensi sebelum menggunakan terapi farmakologi atau sebelum mengonsumsi obat-
obatan.
Mordiana, Weta (2014) yang meneliti tentang gaya hidup menyatakan hasil
penderita hipertensi mematuhi minum obat sebesar 87,8%, patuh terhadap diet sebesar
68,8%, dan yang aktif beraktivitas fisik olahraga sebesar 53,7%. Didukung oleh
penelitian Fadilah (2017) menyatakan hasil gaya hidup penderita hipertensi kategori pola
makan dalam kategori baik sebesar 82,9%, pola istirahat dalam kategori baik 64,3%, pola
merokok baik 94,3%, sedangkan didapatkan pola aktivitas fisik yang buruk sebesar
51,4%. Dapat disimpulkan manajemen nonfarmakologi yang masih belum terselenggara
dengan baik yaitu aktivitas fisik.
Aktivitas fisik dapat dilakukan dengan memperhatikan beberapa hal yakni terkait
durasi, frekuensi, serta intensitas aktivitas fisik.
Adapun intensitas merupakan takaran keras atau ringan suatu aktivitas atau latihan yang
dilakukan (Andriyati, Hendarsih, 2011). JNC 7 (The Seventh Report of The Join
National) menganjurkan tingkat aktivitas fisik sebagai modifikasi gaya hidup pada
penderita hipertensi yakni aktivitas fisik yang dilakukan secara teratur dengan intensitas
sedang. Hal ini diketahui akan membantu mengurangi tekanan darah sebesar 4-9 mmHg,
aktivitas fisik intensitas sedang tersebut setara dengan durasi aktivitas fisik 30-60
menit/hari atau minimalnya dalam 3 hari/minggu (Muhadi, 2016). World Health
Organization (WHO, 2009) menyatakan aktivitas fisik dilakukan cukup dengan aktivitas
fisik yang rutin dan dilakukan secara teratur minimal dalam 30 menit dengan aktivitas
fisik sedang atau setidaknya dalam 20 menit selama 5 hari/ minggu. Jenis aktivitas fisik
yang secara spesifik untuk penderita hipertensi yakni aktivitas rutin dan terkontrol
(Herdianto, 2014).
Turege, Kinasih, & Dyah (2019) menyatakan bahwa manusia seringkali merasa
malas melakukan aktivitas fisik karena dipengaruhi oleh kemajuan teknologi ke arah
modern pada saat ini sehingga merasa telah dipermudahkan oleh berbagai fasilitas
modern yang sudah tersedia dan dampaknya berpengaruh juga terhadap gaya hidup
manusia. Kurangnya aktivitas fisik sangat berdampak buruk baik bagi kesehatan dan
kualitas hidup manusia.
Alves et al., (2016) menyatakan ketidakaktifan melakukan aktivitas fisik adalah
faktor risiko utama keempat untuk penyakit tidak menular, bertanggung jawab 12,2% dari
beban global infarktus miokardia akut, 6% kematian, meningkatkan risiko diabetes,
penumpukan lemak visceral, kolestrol darah tinggi, disertai dengan peradangan pembuluh
darah derajat rendah yang berhubungan dengan resistensi insulin dan aterosklorosis yang
mengarah pada perkembangan penyakit arteri koroner. Dampak kurang aktivitas fisik
akan meningkatkan risiko kelebihan pada berat badan atau obesitas dan risiko terjadinya
hipertensi atau kekambuhan (Aryzki, Ayuchecaria, & Sari, 2019).
Kurang aktivitas fisik pada penderita hipertensi dapat menyebabkan selalu tinggi
tekanan darah, jika dalam rentang waktu yang lama dapat berisiko mengakibatkan
rusaknya sel saraf sehingga terjadinya kelumpuhan pada organ karena adanya pecah
pembuluh darah otak (Arlianti, Muhaimin, & Anwar, 2019). Dampak lain kurangnya
aktivitas fisik/tidak adanya aktivitas fisik pada penderita hipertensi akan berisiko
mengalami komplikasi berbagai penyakit kronis (strok, gagal jantung, gagal ginjal)
(Afiah, Yusran, & Sety, 2018). Selain itu menurut penelitian Vestabilivy & Rukayah
(2014) menyatakan terdapat hubungan yang sangat signifikan antara kualitas hidup
dengan aktivitas fisik secara teratur, pada penelitian menjelaskan bahwa orang dengan
hipertensi yang kurang aktivitas fisik diketahui berisiko 5,236 kali memiliki tingkat
kualitas hidup kurang baik dibandingkan dengan penderita yang melakukan aktivitas fisik
secara teratur.
Berdasarkan data Profil Kesehatan Kabupaten sulawesi tengah (2023)
menunjukkan bahwa dari seluruh puskesmas di Kabupaten sulawesi tengah , Rs Madani
Mamboro termasuk salah satu Rs yang masuk dalam urutan tertinggi ke- 12 dengan
jumlah penderita hipertensi sebanyak 763 lakilaki dan 1722 penderita perempuan dengan
jumlah total penderita hipertensi sebanyak 2485 penderita. Data tersebut menunjukkan
tingginya angka penderita hipertensi di wilayah kerja Rs Madani Mamboro . Rumah sakit
merupakan pusat pelayanan kesehatan masyarakat yang menduduki tingkat pertama dan
memiliki peranan penting dalam membantu pembangunan kesehatan nasional (Kemenkes
RI, 2023).
Berdasarkan kajian literatur di atas mengenai pentingnya aktivitas fisik untuk
pengelolaan dan pencegahan tekanan darah tinggi, untuk itu peneliti tertarik melakukan
penelitian dengan judul Gambaran Aktivitas Fisik Pasien Hipertensi di Wilayah RSUD
MADANI
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis membuat rumusan masalah
yaitu Bagaimana cara mengurangi terjadinya hipertensi pada pasien ?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan umum
1. Mengidentifikasi terjadinya hipertensi di RS Madani Mamboro
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan teori
1. Tinjauan Umum Tentang Hipertensi
a. Definisi Hipertensi
Hipertensi disebut juga sebagai penyakit tekanan darah tinggi dimana pada
kondisi ini pembuluh darah mengalami gangguan yang mengakibatkan suplai
oksigen dan nutrisi juga terganggu. Hipertensi diketahui sebagai penyakit
penyebab kematian nomor 1 di dunia dan diperkirakan penderita hipertensi akan
terus mengalami peningkatan seiring jumlah penduduk yang meningkat (C &
Meriyani, n.d., 2020). Dalam definisi lain, hipertensi adalah salah satu penyakit
dengan kejadian paling banyak dalam praktik kedokteran primer (Joint &
Committee, 2016). Menurut (Adam, 2019), hipertensi merupakan peningkatan
abnormal dari tekanan darah pada pembuluh darah arteri secara terus menerus
lebih dari 1 periode. Tekanan darah dianggap normal jika masih dalam batasannya
yaitu 140/90 mmHg.
b. Klasifikasi Hipertensi
1. Hipertensi diastolic, dimana tekanan diastolic meningkat lebih dari nilai normal.
Hipertensi diastolic terjadi pada anak-anak dan dewasa muda. Hipertensi jenis
ini terjadi apabila pembuluh darah kecil menyempit secara tidak normal yang
berakibat memperbesar tekanan terhadap aliran darah yang melaluinya dan
meningkatkan tekanan darah diastoliknya. Tekanan diastolic berkaitan dengan
tekanan arteri ketika jantung berada pada kondisi relaksasi.
2. Hipertensi sistolik, dimana tekanan sistolik meningkat lebih dari nilai normal.
Peningkatan tekanan sistolik tanpa diiringi peningkatan tekanan distolik dan
umumnya ditemukan pada usia lanjut. Tekanan sistolik berkaitan dengan
tingginya tekanan darah pada arteri apabila jantung berkontraksi. Tekanan ini
merupakan tekanan maksimal dalam arteri dan tercermin pada hasil pembacaan
tekanan darah sebagai tekanan atas yang nilainya lebih besar.
c. Manifestasi Klinis
d. Patofisiologi
Hipertensi secara umum didefinisikan sebagai peningkatan
tekanan darah yang dapat berakibat pada timbulnya penyakit sertaan lainnya.
Hipertensi ditandai dengan tekanan darah yang melebihi 140/90mmHg.
Hipertensi terjadi karena adanya proses penebalan dinding pembuluh darah
dan hilangnya elastisitas dinding arteri. 13 Keadaan ini dapat mempercepat
jantung dalam memompa darah guna mengatasi resitensi perifer yang lebih
tinggi dan semakin tinggi. Dari seluruh penderita hipertensi, 95%
penderitanya memiliki kemungkinan mewariskan atau keturunannya memiliki
risiko menderita hipertensi dikemudian waktu, sedangkan 5% lainnya
menjadi penyebab penyakit seperti stroke, kardiovaskular, atau gangguan
ginjal. Organ-organ penting yang mempengaruhi dan terlibat dalam
meningkatnya hipertensi antara lain:
4. Inflamasi
Hasil inflamasi yang kuat dalam pembentukan kembali vaskular yang
selanjutnya berubah menjadi hipertensi yang disebabkan oleh pengaktifan
dan prokreasi dari sel otot polos, sel endotelial dan fibroblas. Sitokin
mediator inflamasi, semokin, dan PGE2 15 merupakan bagian-bagian
yang terlibat sebagai tanda adanya hipertensi sebagaimana meningkatkan
tekanan darah dengan cara menebalkan dinding pembuluh darah.
5. Insulin Sensitif Berdasarkan perubahan nutrisi dan mikro vaskular
relaksasi, fungsi dari hormon insulin juga akan terganggu sebagai akibat
dari tidak tercukupinya suplay glukosa pada jaringan dan bepengaruh
terhadap berkurangnya jumlah oksida nitrat endotel, inflamasi dan stress
oksidatif terjadi pada pasien obesitas dan diabetes (Ammara Batool dkk,
2018)
e. Faktor-faktor Hipertensi
Hipertensi dapat disebabkan oleh faktor yang tidak dapat dimodifikasi dan
faktor yang dapat dimodifikasi. Faktor penyebab hipertensi yang tidak dapat
dimodifikasi yaitu diantaranya :
1. Usia
Usia merupakan faktor penyebab hipertensi dengan prevalensi tertinggi yaitu
rentang usia 30-40 tahun.
2. Jenis kelamin
Prevalensi terjadinya hipertensi pria sama dengan wanita. Namun wanita
masih cukup aman hingga usia sebelum menopause. Karena setelah
menopause, wanita rentan terkena penyakit kardiovaskuler, hipertensi salah
satunya. Wanita yang belum menopause terlindungi oleh hormone estrogen
yang berperan 8 meningkatkan kadar HDL yang merupakan factor pelindung
dalam mencegah terjadinya proses aterosklerosis.
3. Genetik
Hipertensi rentan terjadi pada seseorang yang memiliki anggota keluarga
dengan riwayat darah tinggi. Hal ini berkaitan dengan adanya peningkatan
kadar sodium intraseluler dan rendahnya rasio antara potassium terhadap
sodium individu dengan orang tua dengan hipertensi mempunyai risiko dua
kali lebih besar untuk menderita hipertensi daripada orang yang tidak
mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi.
1. Obesitas
Berat badan yang mengalami peningkatan pada anak-anak ataupun usia
pertengahan dapat meningkatkan risiko seseorang terkena penyakit
hipertensi
2. Merokok
Zat kimia dalam rokok bisa membuat pembuluh darah menyempit, yang
berdampak pada meningkatnya tekanan dalam pembuluh darah dan
jantung
3. Stress
Stress daoat meningkatkan tekanan darah dalam waktu yang relatif
singkat, tetapi memiliki kemungkinan tidak menyebabkan tekanan darah
meningkat dalam kurun waktu yang lama.
4. Asupan garam
Mengonsumsi garam berefek samping terhadap tekanan darah. Penderita
hipertensi yang disebabkan karena k eturunan merupakan seseorang
dengan kemampuan lebih rendah dalam mengeluarkan garam dari
tubuhnya.
5. Aktivitas fisik
olahraga atau beraktivitas yang terlalu berat dihubungkan dengan
pengelolaan hipertensi karena olahraga isotonik dan teratur dapat
menurunkan tekanan darah (Made, 2017)
f. diagnosis hipertensi
g. Penatalaksanaan hipertensi
pada dasarnya dapat dilakukan melalui 2 cara yaitu secara farmakologi dan
nonfarmakologi. penatalaksanaan secara farmakologi seperti diketahui
menggunakan obat-obatan yang diperoleh melalui resep dokter. Sedangkan
penatalaksanaan secara nonfarmakologi dapat dilakukan melalui 17 berbagai
metode diantaranya modifikasi gaya hidup sehat. Modifikasi gaya hidup
dapat dilakukan dengan membatasi konsumsi garam menjadi 6gr / hari,
menurunkan berat badan, menghindari minuman berkafein, rokok, dan
minuman beralkohol. Olahraga secara rutin dan tidur yang berkualitas dengan
6-8 jam tidur per hari dapat membantu mengurangi stress.
h. Komplikasi Hipertensi
3. Gangguan Jantung
Gangguan jantung atau yang dikenal dengan infark miokard terjadi ketika
arteri koroner mengalami arteriosklerosis. Akibat dari ini adalah suplay
oksigen ke jantung terhambat sehingga kebutuhan oksigen tidak terpenuhi
dengan baik sehingga menyebabkan terjadinya iskemia jantung
4. Stroke
Stroke terjadi ketika otak mengalami kerusakan yang ditimbulkan dari
perdarahan, tekanan intra karnial yang meninggi, atau akibat embolus
yang terlepas dari pembuluh darah non otak yang terpajan pada hipertensi
kronik apabila 12 arteri-arteri yang mengalirkan suplai darah ke otak
mengalami hipertropi atau penebalan (Nuraini, 2015)
Pengertian Aktifitas Fisik Menurut (WHO, 2017) Aktifitas fisik merupakan suatu
gerakan tubuh yang dihasilkan otot rangka dan membutuhkan energi, termasuk
aktivitas yang dilakukan saat bekerja, bermain, melakukan pekerjaan rumah
tangga, bepergian dan kegiatan rekreasi. Aktifitas fisik berbeda dengan olahraga
karena olahraga merupakan suatu kegiatan fisik yang direncanakan, terstruktur,
berulang dan bertujuan memperbaiki atau mempertahankan satu atau lebih
komponen kebugaran fisik seseorang. (Kusumo, 2020). Terdapat perbedaan antara
aktivitas fisik, kebugaran fisik serta latihan. Aktivitas fisik merupakan konsep
yang lebih luas dari latihan yang didefinisikan sebagai semua pergerakan sebagai
hasil dari kontraksi otot rangka yang menggunakan energi. Aktivitas fisik
mencakup gerakan-gerakan dari kegiatan bebas, terstruktur, kegiatan olahraga,
dan kegiatan sehari-hari. Sementara itu, kebugaran fisik merupakan suatu atribut
dari hasil yang telah dicapai terkait dengan kondisi fisik seseorang. Lain halnya,
latihan merupakan aktivitas yang terencana, terstruktur, dan berulang-ulang
dengan tujuan mencapai suatu kebugaran fisik (Caspersen, Carl J PhD et al.,
1985).
2. Aktivitas fisik sedang Saat melakukan aktivitas fisik sedang tubuh sedikit
berkeringat, denyut jantung dan frekuensi nafas menjadi lebih cepat. Energi
yang dikeluarkan: 3,5 – 7 Kcal/menit Contoh: Berjalan cepat (kecepatan 5
km/jam) pada permukaan rata di dalam atau di luar rumah, di kelas, ke tempat
kerja atau ke toko dan jalan santai dan jalan sewaktu istirahat kerja,
Memindahkan perabot ringan, berkebun, menanam pohon dan mencuci mobil
dll.
3. Aktifitas fisik ringan Kegiatan yang hanya memerlukan sedikit tenaga dan
biasanya tidak menyebabkan perubahan dalam pernapasan. Energi yang
dikeluarkan <3,5 kcal/menit. Contoh aktivitas fisik ringan:
Berjalan santai di rumah, Duduk bekerja di depan komputer, membaca,
menulis, menyetir dan mengoperasikan mesin dengan posisi duduk atau
berdiri. Berdiri melakukan pekerjaan rumah tangga ringan seperti
mencuci piring, setrika, memasak, menyapu, mengepel lantai dan
menjahit. Latihan peregangan dan pemanasan dengan gerakan lambat.
a. Faktor Biologis
1) Usia
Semakin bertambahnya usia, maka semakin berkurang aktivitasfisik yang
dapat dilakukan.
2) Jenis Kelamin
Laki-laki lebih aktif dalam beraktivitas fisik daripada Perempuan
b. Faktor Demografis
1) Status Sosial Ekonomi
Seseorang dengan status sosial ekonomi yang tinggi lebih aktif daripada
yang memiliki status sosial ekonomi yang rendah. Sekitar 10% perbedaan
diantara keduanya.
2) Ras
Golongan kulit putih cenderung aktif daripada etnis lain
3) Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan yang rendah mempengaruhi tingkat rendahnya aktivitas
fisik.
c. Faktor Sosial
Partisipasi aktivitas fisik dipengaruhi oleh faktor pendukung sosial dan orang
orang terdekat seperti:
1) Teman
2) Guru
3) Ahli kesehatan
4) Pelatih olahraga profesional atau instruktur
d. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan yang mampu memberikan efek yang positif
dalam aktivitas fisik, diantaranya:
1) Akses untuk program dan fasilitas tersedia seperti,
lapangan,taman bermain dan area untuk aktivitas fisik
2) Adanya area berjalan dan jalan bersepeda
3) Adanya waktu untuk bermain di tempat terbuka
4) Perbedaan struktur bangunan yang secara tidak langsung mempengaruhi
kebiasaan aktivitas fisik di perkotaan dan pedesaan.
Tekanan darah sistolik secara fisiologis akan meningkat setelah usia lebih dari 45 tahun
sampai mencapai usia 70 tahun. Hal tersebut dikarenakan adanya perubahan pada tunika
media. Terjadi peningkatan kolagen dan penipisan serta kalsifikasi serat elastin yang
menyebabkan kekakuan pembuluh darah. Perubahan tersebut dapat meningkatkan
resistensi terhadap aliran darah dari jantung, sehingga ventrikel kiri dipaksa untuk bekerja
lebih keras. Selain itu, baroreseptor di arteri besar menjadi kurang efektif dalam
mengontrol tekanan darah. Secara keseluruhan, perubahan tersebut akan menyebabkan
kekakuan pembuluh darah menjadi meningkat sehingga terjadi peningkatan pada tekanan
darah sistolik (Miller dan Hunter, 2012). Sedangkan peningkatan tekanan darah diastolik
terjadi pada usia 50 dan 60 tahun kemudian menetap atau cenderung menurun
(Khomarun et al., 2013). Hal tersebut dipengaruhi oleh kekakuan arteri yang membuat
pembuluh darah arteri memiliki kemampuan terbatas saat ekspansi sehingga arteri gagal
menyangga secara efektif tekanan yang diberikan jantung dan menghasilkan peningkatan
tekanan darah sistole. Di sisi lain, arteri sulit untuk melakukan recoil selama diastole
sehingga tekanan darah diastole akan lebih rendah (Lionakis, 2012).
f. kerangka konsep
kerangka konsep adalah suatu hubungan atau kaitan antara konsep satu
terhadap konsep yang lainnya dari masalah yang ingin di teliti. Kerangka konsep gunanya
untuk menghubungkan atau menjelaskan secara panjjang lebar tentang suatu topik yang
akan di bahas. Kerangka konsep di harapkan akan memberikan gambaran dan
mengarahkan asumsi mengenai fariabel-fariabel yang akan di teliti (satiawan dan
prasetyo, 2015).
g. Hipotesis
Hipotesis adalah hasil yang diharapkan atau hasil yang diantisipasi dari sebuah
penelitian (Swarjana, 2015). Hipotesis penelitian ada dua jenis, yaitu hipotesis alternatif
(Ha) dan hipotesis nol (Ho). Hipotesa alternatif (Ha) merupakan hipotesis yang
menyatakan ada hubungan antara variabel yang satu dengan variabel yang lainnya
(Masturoh & Anggita, 2018). Hipotesis berdasarkan kerangka konsep yang telah dibuat,
jenis hipotesis dalam penelitian ini adalah hipotesis alternatif.
Diagnosis hipertensi ditegakkan jika terdapat peningkatan tekanan darah dari ambang
normalnya. Hipertensi umumnya didefinisikan sebagai tekanan sistolik (SBP) di atas 130
mmHg atau tekanan darah diastolik (DBP) di atas 80 mmHg pada pasien dewasa.
Pengukuran tekanan darah oleh petugas kesehatan sebaiknya dilakukan berulang pada 2-3
kunjungan dengan interval 1-4 minggu. Selain itu, apabila memungkinkan dapat
dilakukan pengukutan out of office, seperti pengukuran dengan teknik ambulatori, yang
dapat membantu mengeksklusi white coat hypertension.