Anda di halaman 1dari 66

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hipertensi merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas di berbagai

kalangan. Hipertensi juga merupakan faktor risiko dari penyakit jantung iskemik

dan stroke yang termasuk lima posisi tertinggi dalam penyebab kematian

terbanyak di dunia (Benjamin et al., 2017). Kriteria hipertensi yang digunakan

merujuk pada kriteria diagnosis Joint National Committee On Prevention

Detection, Evolation and Treatment of High Blood Pressure (JNC VIII)

mempublikasikan nilai tekanan darah dikatakan dalam keadaan normal bila hasil

tekanan darah sistolik 120 mmHg sedangkan untuk hasil diastolik didapatkan

hasil 80 mmHg dan untuk tekanan darah yang dianggap hipertensi ialah ketika

hasil dari siastolik > 140 mmHg dengan hasil diastolik > 90 mmHg (Corwin,

2009). Hipertensi sering tidak menimbulkan gejala sehingga sering disebut

sebagai silent killer, sedangkan tekanan darah yang terus menerus tinggi dalam

jangka waktu lama dapat menimbulkan komplikasi yakni arteriosclerosis,

aneurisma, gagal jantung, gagal ginjal, dan retinopati. Oleh karena itu, penyakit

hipertensi perlu dideteksi sejak dini dengan melakukan pemeriksaan tekanan

darah secara berkala (kontrol tekanan darah) (Depkes RI, 2012).

1
Menurut Word Health Organizing (WHO) dan The International Society of

Hypertension (ISH), terdapat 600 juta penderita hipertensi di seluruh dunia

dimana

2
3

3 juta diantaranya meninggal dunia setiap tahunnya. Berdasarkan data yang

dikeluarkan oleh Word Health Organizing (WHO) diperkirakan pada tahun 2025

terjadi kenaikan kasus hipertensi mencapai angka 80% dimana pada tahun 2000

673 juta kasus menjadi 1,5 milyar kasus pada tahun 2025, dimana peningkatan ini

akan banyak terjadi di negara-negara yang sedang berkembang termasuk

Indonesia (Hazwan & Pinatih, 2017). Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar

(Riskesdas) Indonesia tahun 2018, penderita hipertensi yang berhasil terdiagnosis

oleh dokter di Indonesia hanya sebesar 8,4%. Data tersebut menunjukkan bahwa

sebagian besar penderita hipertensi di masyarakat (sekitar 64,2%) tidak

terdiagnosis oleh dokter. Hal ini menandakan bahwa sebagian besar kasus

hipertensi di masyarakat belum terdiagnosis dan terjangkau pelayanan kesehatan.

(Riskesdas, 2018). Provinsi Bali merupakan salah satu provinsi yang angka

kejadian hipertensinya mengalami peningkatatan tiap tahunnya (Kemenkes

RI,2013). Pola 10 penyakit terbanyak pada pasien di puskesmas provinsi Bali

menunjukkan bahwa hipertensi menduduki peringkat ke-3 setelah nasofaringitis

akut dan faringitis akut dengan jumlah kasus 9.278 kasus (Dinkes, 2018).

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Denpasar dilaporkan bahwa jumlah

kasus hipertensi tertinggi terjadi di puskesmas II Denpasar Barat dengan jumlah

kasus sebanyak 19.346 kasus (Dinkes, 2018)

Meningkatnya prevalensi dipengaruhi oleh kebiasaan masyarakat yang tidak

patuh dalam menjalankan pengobatan hipertensi. Kepatuhan merupakan tingkat

perilaku pasien terhadap instruksi atau petunjuk yang diberikan dalam bentuk
4

terapi, pengobatan atau melakukan kontrol ulang ke pelayanan kesehatan.

Sedangkan kepatuhan pada pasien hipertensi merupakan tingkat perilaku pasien

yang mengikuti semua intruksi atau petunjuk yang diberikan baik itu dalam

bentuk terapi farmakologi, seperti minum obat antihipertensi, maupun terapi non

farmakologi (Stanley, 2007). Kepatuhan pengobatan hipertensi penting dilakukan

untuk mencegah terjadinya kekambuhan terhadap pasien hipertensi dikarenakan

penyakit ini tidak dapat disembuhkan dan perlu dilakukan pengontrolan dengan

melakukan pengobatan secara teratur seumur hidup (Ariyani et al, 2018). Hal ini

sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Smantummkul (2014) yang

menyatakan bahwa kepatuhan dalam menjalankan pengobatan hipertensi dapat

mempengaruhi pengontrolan tekanan darah sehingga mencegah terjadinya

komplikasi. Menurut penelitian Su Jin Cho (2014), didapatkan hasil yang

mempengaruhi tingkat ketidakpatuhan dalam mengkonsumsi obat hipertensi yaitu

usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan pekerjaan. Adapun persentase yang

didapat pada ketidakpatuhan pengobatan hipertensi dengan usia <45 tahun

sebesar 22,4%, sedangkan jenis kelamin pada perempuan lebih tinggi

dibandingkan laki-laki sebesar 13,8% serta pasien dengan tingkat pendidikan

rendah sebesar 16,8% dan yang tidak memiliki pekerjaan tetap sebesar 16,1%

dimana menjadi salah satu faktor yang turut mempengaruhi ketidakpatuhan

pengobatan hipertensi.

Kuesioner merupakan salah satu bentuk metode pengukuran kepatuhan secara

tidak langsung serta dapat digunakan sebagai alat untuk menilai kepatuhan
5

seseorang. Keuntungan dari penggunaan metode kuesioner yaitu biaya yang

dikeluarkan rendah dan juga tidak memakan waktu yang banyak. Eight-Item

Morisky Medication Adherence Scale (MMAS-8) merupakan salah satu cara

pengukuran ketaatan self-report and healthcare professional assessment yang

berisi pertanyaan mengenai kebiasaan mengkonsumsi obat, termasuk perilaku

lupa mengkonsumsi obat, sehingga ketaatan dapat diidentifikasi dengan jelas (Tan

et al., 2014). MMAS-8 memiliki sensitivitas sebesar 93% dan spesifikasi 53%

dibandingkan dengan MMAS-4 yang hanya memiliki sensitivitas sebesar 81%

dan spesifikasi sebesar 44% (Tan et al., 2014 ; Morisky et al., 2008).

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 tahun

2014, Pusat Kesehatan Masyarakat atau Puskesmas adalah fasilitas pelayanan

kesehatan yang menyelenggarkan upaya kesehatan masyarakat dan upaya

kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya

promotive dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang

setinggi-tingginya di wilayah kerjanya. Penelitian ini dilakukan di Puskesmas II

Denpasar Barat karena merupakan salah satu puskesmas pada peringkat pertama

dengan prevalensi hipertensi lebih tinggi dibandingkan dengan puskesmas lainnya

dengan jumlah kasus sebanyak 19.346 kasus dan persentase kasus sebanyak

14,2% (Dinkes, 2018).

Berdasarkan latar belakang diatas maka perlu dilakukan penelitian mengenai

gambaran dan faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan terapi obat hipertensi

di Puskesmas II Denpasar Barat.


6

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan

penelitian yaitu :

1. Bagaimanakah gambaran kepatuhan terapi obat hipertensi di Puskesmas II

Denpasar Barat ?

2. Apa sajakah faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan terapi obat

hipertensi di Puskesmas II Denpasar Barat ?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini dapat dibagi

menjadi dua yaitu :

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian diatas adalah untuk mengkaji gambaran

kepatuhan terapi obat hipertensi di Puskesmas II Denpasar Barat.

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian diatas adalah untuk mengkaji faktor-faktor

yang mempengaruhi ketidakpatuhan terapi obat hipertensi di Puskesmas II

Denpasar Barat
7

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian diatas diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut :

1.4.1 Manfaat Bagi Mahasiswa

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah dan

menambah wawasan mengenai gambaran kepatuhan terapi obat hipertensi

beserta faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan terapi obat

hipertensi.

1.4.2 Manfaat Bagi Institusi

Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai landasan-landasan

bagi peneliti berikutnya mengenai kepatuhan terapi dan faktor-faktor yang

mempengaruhi ketidakpatuhan terapi obat hipertensi.

1.4.3 Manfaat Bagi Puskesmas

Hasil penelitian diharapkan dapat membantu tenaga kesehatan untuk

meningkatkan kepatuhan pasien dalam mengonsumsi obat hipertensi serta

sebagai pedoman dalam mengatasi ketidakpatuhan terhadap terapi hipertensi.


8
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hipertensi

2.1.1 Pengertian Hipertensi

Hipertensi dikenal secara luas sebagai penyakit kardiovaskuler, dimana

salah satu faktor risiko utama dari gagal jantung. Selain mengakibatkan gagal

jantung, hipertensi dapat berakibat terjadinya gagal ginjal mauun penyakit

serebrovaskular. Sehingga definisi hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah

peningkatan tekanan darah sistolik ≥140 mmHg dan tekanan darah diastolik

≥90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam

keadaan cukup istirahat/tenang.

Menurut Joint National Committee on Prevention Detection, Evaluation,

and Treatment of High Blood Pressure VIII/ JNC 8 2014, hipertensi adalah

suatu keadaan dimana tekanan darah sistolik ≥140 mmHg dan tekanan

diastolik ≥90 mmHg. Peningkatan tekanan darah yang berlangsung dalam

jangka waktu lama (persisten) dapat menimbulkan kerusakan ginjal (gagal

ginjal), jantung (penyakit jantung coroner) dan otak (menyebabkan stroke)

bila tidak dideteksi secara dini dan mendapat pengobatan yang memadai.

2.1.2 Klasifikasi Hipertensi

2.1.2.1 Klasifikasi menurut Joint National Committee (JNC)

Klasifikasi tekanan darah menurut Joint National Committee (JNC) untuk

pasien dewasa (umur ≥18 tahun). Klasifikasi tekanan darah mencakup 4 kategori,

9
10

dengan nilai norma pada tekanan darah sistolik (TDS) <120 mmHg dan tekanan

darah diastolik (TDD) <80 mmHg. Pre-hipertensi tidak dianggap sebagai

kategori penyakit tetapi mengidentifikasi pasien-pasien yang tekanan darahnya

cenderung meningkat ke klasifikasi hipertensi dimasa yang akan datang. Ada dua

tingkat (stage) hipertensi, dan semua pasien pada kategori ini harus diterapi obat.

Tabel 2.1.2.1 Klasifikasi Pengukuran Tekanan Darah menurut JNC-VIII 2014

Tekanan Darah Sistolik Tekanan Darah Diastolik


Klasifikasi Tekanan Darah
(mmHg) (mmHg)
Berusia <60 tahun < 140 90
Berusia > 60 tahun < 150 90
Hipertensi dengan penyakit
< 140 90
ginjal kronis
Hipertensi dengan diabetes
< 140 90
mellitus

2.1.2.2 Klasifikasi menurut World Health Organization (WHO)

WHO dan International Society of Hypertension Working Group

(ISHWG) telah mengelompokkan hipertensi dalam klasifikasi optimal,

normal, normal-tinggi, hipertensi ringan, hipertensi sedang, dan hipertensi

berat (Sani, 2008).


11

Tabel 2.1.2.2 Klasifikasi Pengukuran Tekanan Darah menurut WHO

Tekanan Darah Tekanan Darah Diastolik


Klasifikasi Tekanan Darah
Sistolik (mmHg) (mmHg)
Normal < 120 < 80
Normal-Tinggi <130 < 85
130 – 139 85 – 89
Tingkat 1 (Hipertensi Ringan) 140 – 159 90 – 99
Sub-group : perbatasan 140 – 149 90 – 94
Tingkat 2 (Hipertensi Sedang) 160 – 179 100 – 109
Tingkat 3 (Hipertensi Berat) ≥ 180 ≥ 110
Hipertensi Sistol Terisolasi ≥ 140 < 90
Sub-group : perbatasan 140 – 149 <90

2.1.2.3 Klasifikasi menurut Chinese Hypertension Society (CHS)

Menurut Chinese Hypertension Society (CHS) pembacaan tekanan darah

<120/80 mmHg termasuk normal dan kisaran 120/80 hingga 139/89 mmHg

termasuk normal tinggi (Shimamoto, 2006).

Tabel 2.1.2.3 Klasifikasi Pengukuran Tekanan Darah menurut CHS

Klasifikasi Tekanan Tekanan Darah Tekanan Darah Diastolik


Darah Sistolik (mmHg) (mmHg)
Normal < 120 < 80
Normal-Tinggi 120 – 129 80 – 84
130 – 139 85 – 89
Tingkat 1 140 – 159 90 – 99
Tingkat 2 160 – 179 100 – 109
Tingkat 3 ≥ 180 ≥ 110
Hipertensi Sistol ≥ 140 < 90
12

Terisolasi
2.1.2.4 Klasifikasi menurut European Society of Hypertension (ESH)

Klasifikasi yang dibuat oleh ESH yaitu dimana tekanan darah sistol dan

distol pasien berada pada kategori yang berbeda, maka resiko kardiovaskuler,

keputusan pengobatan, dan perkiraan afektivitas pengobatan difokuskan pada

kategori dengan nilai lebih. Hipertensi sistol terisolasi harus dikategorikan

berdasarkan pada hipertensi sistol-distol (tingkat 1, 2 dan 3). Namun tekanan

diastol yang rendah (60-70 mmHg) harus dipertimbangkan sebagai resiko

tambahan. Nilai batas untuk tekanan darah tinggi dan kebutuhan untuk

memulai pengobatan adalah fleksibel tergantung pada resiko kardiovaskuler

total (Mancia G, 2007).

Tabel 2.1.2.4 Klasifikasi Pengukuran Tekanan Darah menurut ESH

Tekanan Darah Tekanan Darah


Klasifikasi Tekanan Darah
Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Optimal < 120 dan < 80
Normal 120 – 129 dan/atau 80 – 84
Normal-Tinggi 130 – 139 dan/atau 85 – 89
Hipertensi Tahap 1 140 – 159 dan/atau 90 – 99
Hipertensi Tahap 2 160 – 179 dan/atau 100 – 109
Hipertensi Tahap 3 ≥ 180 dan/atau ≥ 110
Hipertensi Sistol Terisolasi ≥ 140 dan < 90

2.1.2.5 Klasifikasi menurut International Society on Hypertension in Blcks

(ISHIB)
13

Klasifikasi yang dibuat oleh ISHIB dimana tekanan darah sistol dan

diastole pasien termasuk ke dalam dua kategori yang berbeda, maka

klasifikasi yang dipilih adalah berdasarkan kategori yang lebih tinggi dan

diagnosa hipertensi pada dasarnya adalah rata-rata dari dua kali atau lebih

pengukuran yang diambil pada setiap kunjungan. Hipertensi sistol terisolasi

dikelompokkan pada hipertensi tingkat 1 sampai 3 berdasarkan tekanan darah

sistol (≥ 140 mmHg) dan diastole ( < 90 mmHg). Peningkatan tekanan darah

yang melebihi target bersifat kritis karena setiap peningkatan tekanan darah

menyebabkan resiko kejadian kardiovaskuler (Douglas JG, 2003).

Tabel 2.1.2.5 Klasifikasi Pengukuran Tekanan Darah menurut ISHIB

Tekanan Darah Tekanan Darah


Klasifikasi Tekanan Darah
Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Optimal < 120 dan < 80
Normal < 130 dan/atau < 85
Normal-Tinggi 130 – 139 dan/atau 85 – 89
Hipertensi Tahap 1 140 – 159 dan/atau 90 – 99
Hipertensi Tahap 2 160 – 179 dan/atau 100 – 109
Hipertensi Tahap 3 ≥ 180 dan/atau ≥ 110
Hipertensi Sistol Terisolasi ≥ 140 dan < 90

2.1.3 Patofisiologi Hipertensi

2.1.3.1 Tekanan Darah Arteri

Tekanan darah arteri merupakan tekanan pada dinding arteri yang

dinyatakan dalam. Ada 2 bentuk tekanan darah yaitu tekanan darah sistolik

(Systolic Blood Pressure) dan diastolik (Diastolic Blood Pressure). Tekanan


14

darah sistolik dicapai setelah kontraksi jantung dan merupakan puncak nilai

sistolik. Tekanan darah diastolic dicapai setelah kontraksi ketika mengisi

ruang-ruang jantung. Perbedaan antara tekanan darah sistolik dengan tekanan

darah diastolic disebut dengan tekanan nadi dan merupakan ukuran

ketegangan dinding arteri. Oleh karena itu, tekanan darah arteri adalah

tekanan darah rata-rata sepanjang siklus kontraksi jantung. Hal ini kadang-

kadang digunakan secara klinis untuk mewakili keseluruhan tekanan darah

arteri, terutama untuk kasus hipertensi yang darurat. Selama siklus jantung,

dua pertiga dari waktu yang dihabiskan di diastole dan sepertiga di sistol. Jadi,

rata-rata tekanan darah arteri dapat diperkirakan menggunakan persamaan

sebagai berikut :

Rata-rata Tekanan Darah Arteri = (Systolic Blood Pressure x 1/3) +


(Diastolic Blood Pressure x 2/3)

Tekanan darah arteri merupakan hemodinamik yang dihasilkan oleh

interaksi antara aliran darah dan resistensi terhadap aliran darah. Secara

matematis didefinisikan sebagai produk dari curah jantung dan jumlah resiste

perifer dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut :

Tekanan Darah = Curah Jantung x Resisten Perifer Total

Curah jantung merupakan penentu utama dari tekanan darah sistolik,

sedangkan jumlah resisten perifer sangat menentukan tekanan darah diastolik

Pada dasarnya, curah jantung memiliki fungsi pada volume stroke, denyut
15

jantung dan kapasitas vena. Tabel 2.3.1 berisikan penyebab fisiologi

meningkatnya curah jantung dan resistensi perifer total yang akan berkolerasi

sehingga berpotensi pada mekanisme pathogenesis. Pada kondisi fisiologis

normal, tekanan darah arteri berfluktuasi sepanjang hari (Dipiro et al, 2008).

Tabel 2.3.1.1 Pengaruh Peningkatan Curah Jantung dan Peningkatan

Resistensi Perifer Pada Tekanan Darah

Tekanan darah merupakan produk hasil dari curah jantung dan resisten perifer.

Tekanan darah tinggi dapat dihasilkan dari peningkatan curah jantung dan atau

peningkatan total dari resisten perifer.

Peningkatan curah jantung Peningkatan curah jantung

 Peningkatan volume cairan karena

kelebihan asupan natrium atau

retensi natrium pada ginjal

(berkurangnya jumlah nefron atau

penurunan filtrasi glomerulus)

Penyempitan vena :

 Kelebihan stimulasi Renin

Angiotensin Aldosterone System

(RAAS)

 Overaktifnya sistem saraf simpatis

Peningkatan resisten perifer Penyempitan pembuluh darah :


16

 Stimulasi berlebih dari Renin

Angiotensin Aldosterone System

 Overaktifnya sistem saraf simpatis

 Perubahan genetik dari membrane sel

 Faktor endotel yang diturunkan

Struktur hipertrofi vaskuler

 Stimulasi berlebih dari Renin

Angiotensin Aldosterone System

 Overaktifnya sistem saraf simpatis

 Perubahan genetik dari membrane sel

 Faktor endotel yang diturnkan

 Hiperinsulinemia akibat obesitas atau

sindrom metabolik.

2.1.3.2 Mekanisme Humoral

Beberapa kelainan humoral mungkin terlibat dalam pengembangan dari

hipertensi esensial. Kelainan ini melibatkan Renin Angiotensin Aldosterone

System, hormon natriuretik, dan hiperinsulinemia.

a. Renin Angiotensin Aldosterone System (RAAS)

RAAS merupakan kompleks sistem endogen yang terlibat dengan

sebagian besar komponen-komponen dari tekanan darah areri. RAAS


17

mengatur kadar natrium, kalium, dan keseimbangan cairan. Secara

signifikan sistem ini mempengaruhi tonus pembuluh darah dan

aktivitas sistem saraf simpatik dan merupakan contributor paling

berpengaruh terhadap pengaturan homeostatis dari tekanan darah.

Renin adalah enzim yang disimpan dalam sel juxtaglomerular,

yang terletak di arteriol aferen ginjal. Pelepasan enzim renin

dimodulasi oleh beberapa faktor yaitu faktor intrarenal (misalnya

tekanan ginjal perfusi, katekolamin, angiotensin II}, dan faktor

extrarenal (misalnya, natrium, klorida, dan kalium). Sel

juxtaglomerular berfungsi sebagai perangkat baroreseptor –sensing.

Penurunan tekanan darah arteri ginjal dan aliran darah ginjal

dirasakan oleh sel-sel ini dan merangsang sekresi renin.

Juxtaglomerular juga termasuk sekelompok sel tubulus distal khusus

yang secara kolektif disebut sebagai macula densa. Penurunan

natrium dan klorida dikirim ke tubulus distal sehingga merangsang

pelepasan renin. Katekolamin meningkatkan pelepasan renin dengan

langsung merangsang saraf simpatik pada arteriol aferen yang

mengaktifkan sel juxtaglomerular. Penurunan serum kalium dan

kalium intraseluler terdeteksi oleh sel-sel juxtaglomerular sehingga

mensekresikan renin. Renin mengkatalisis konversi angiotensinogen

menjadi angiotensin dalam darah. Angiotensin I kemudian dikonversi

menjadi Angiotensin II oleh Angiotensin Converting Enzyme (ACE).


18

Setelah mengikat reseptor tertentu ( diklasifikasikan sebagai AT1 dan

AT2), angiotensin II akan memberikan efek biologis di beberapa

jaringan. Reseptor AT1 terletak diotak, ginjal, miokardium, pembuluh

darah perifer, dan kelenjar adrenal. Reseptor ini memediasi sebagian

respon yang penting untuk kardiovaskular dan fungsi ginjal. Reseptor

AT2 terletak di jaringan adrenal medulla, uterus, dan otak. Stimulasi

reseptor AT2 tidak mempengaruhi regulasi tekanan darah.

Beredarnya angiotensin II dapat meningkatkan tekanan darah

melalui pressor dan efek volume. Efek pressor termasuk

vasokonstriksi langsung, stimulasi pelepasan katekolamin dari

medulla adrenal, dan memediasi peningkatan aktivitas sistem saraf

simpatik. Angiotensin II juga merangsang sintesis aldosterone dari

korteks adrenal. Hal ini menyebabkan natrium dan reabsorpsi air yang

dapat meningkatkan volume plasma. Resistensi perifer total, dan

akhirnya menyebabkan tekanan darah. Aldosteron juga memiliki

peran dalam merusak penyakit kardiovaskular lainnya (gagal jantung,

infark miokard) dan penyakit ginjal dengan cara remodeling jaringan

yang mengarah kepada fibrosis miokard dan disfungsi vascular.

Setiap gangguan dalam tubuh yang menyebabkan aktivasi RAAS

dapat menyebabkan hipertensi kronis.

Jantung dan otak memiliki RAAS lokal. Di dalam jantung

angiotensin II juga dihasilkan oleh enzim kedua, angiotensin I


19

konvertase. Enzim ini tidak terhalang oleh ACE inhibitor. Aktivasi

dari RAAS miokard meningkatkan konraktilitas jantung dan

merangsang hipertrofi jantung. Di dalam otak, angiotensin II

diproduksi dan dirilis oleh hipotalamus dan hormone pituitary, dan

meningkatkan aliran simpatis dari medulla oblongata.

Jaringan perifer lokal dapat menghasilkan angiotensin biologis

aktif peptide, yang dapat meningkatkan resistensi pembuluh darah

pada hipertensi. Angiotensin peptide pada kenyataannya dapat

meningkatkan resistensi vascular dalam plasma rendah dalam bentuk

hipertensi renin. Komponen dari jaringan RAAS mungkin juga

bertanggungjawab pada kelainan hipertrofi jangka panjang, dilihat

dengan hipertensi ( hipertrofi ventrikel kiri, pembuluh darah,

hipertrofi otot polos, dan hipertrofi glomerulus) (Dipiro et al, 2008).


20

Gambar 2.1.3.2 Representing Renin Angiotensin Aldosteron

System

b. Hormon Natriuretik

Hormon natriuretik menghambat natrium dan kalium adenosine

trifosfatase sehingga mengganggu transportasi natrium di dalam

membrane sel. Hal ini menyebabkan penurunan kemampuan ginjal

untuk menghilangkan natrium sehingga menyebabkan peningkatan

volume darah. Secara teoritis peningkatan konsentrasi sirkulasi

hormone natriuretik dapat meningkatkan ekskresi natrium dan air.

Namun, hormone ini juga diduga memblok transport aktif natrium

untuk keluar dari sel otot polos arteriol. Peningkatan konsentrasi

natrium intraseluler pada akhirnya akan meningkatkan tonus

pembuluh darah dan tekanan darah (Dipiro et al, 2008).

c. Hiperinsulinemia

Menurut Grundy et al, 2005 peningkatan kadar insulin dapat

menyebabkan hipertensi karena peningkatan retensi natrium pada

ginjal dan aktivitas sistem saraf simpatik ditingkatkan. Selain itu,

fungsi insulin menyerupai hormone pertumbuhan yaitu menginduksi

hipertrofi otot polos pada pembuluh darah. Insulin juga dapat

meningkatkan tekanan darah dengan cara meningkatkan kadar

kalsium di intraseluler yang menyebabkan peningkatan resistensi

pembuluh darah.
21

2.1.3.3 Regulasi Neuronal

Sistem saraf pusat dan autonom dapat terlibat dalam regulasi tekanan

darah arteri. Sejumlah reseptor baik yang meningkatkan atau menghambat

pelepasan norepinefrin terletak di presinaptik pada permukaan simpatik

terminal. Reseptor presinaptik α dan ß berperan dalam umpan balik negative

dan positif terhadap vesikel yang mengandung norepinephrine yang terletak di

akhir saraf. Stimulasi reseptor α presinaptik (α2) memberikan efek

penghambatan pembentukan norepinefrin. Stimulasi reseptor ß presinaptik

mefasilitasi pembentukan norepinefrin.

Serat saraf simpatik yang terletak di permukaan efektor sel innervate

reseptor α dan ß. Stimulasi postsynaptic reseptor α (α1) pada arteriol dan

venula merupakan hasil vasokonstriksi. Ada dua jenis postsynaptic reseptor ß

yaitu ß1 dan ß2. Kedua jenis reseptor ini ada pada semua jaringan yang

dipersarafi oleh sistem saraf simpatik.namun, pada beberapa jaringan reseptor

ß1 lebih dominan dan pada jaringan lainnya reseptor ß2 lebih dominan.

Stimulasi reseptor ß1 di jantung yaitu meningkatkan denyut jantung dan

kontraktilitas, sedangkan stimulasi reseptor ß2 pada arteriol dan venula yang

menyebabkan vasodilatasi.

Sistem refleks baroreseptor yang paling utama adalah mekanisme umpan

balik negative yang mengontrol aktivitas simpatik. Baroreseptor yang ujung


22

sarafnya berada di dinding arteri besar, terutama di arteri karotis dan arkus

aorta. Perubahan tekanan arteri akan dengan cepat mengaktifkan baroreseptor

yang kemudian mengirimkan impuls ke otak melalui saraf kranial dan saraf

vagus. Dalam sistem refleks ini, penurunan tekanan darah arteri merangsang

baroreseptor sehingga menyebabkan vasokonstriksi dan peningkatan denyut

jantung dan kekuatan kontraksi jantung. Mekanisme refleks baroreseptor ini

kurang responsif terhadap perubahan tekanan darah pada orang tua dan orang-

orang dengan diabetes.

Stimulasi daerah-daerah tertentu dalam sistem saraf pusat (nucleus tractus

solitarus, inti vagal, pusat vasomotor, dan daerah postrema) baik

meningkatkan maupun menurunkan tekanan darah. Sebagai contoh

rangsangan α2 adrenergik dalam sistem saraf pusat menurunkan tekanan

darah melalui efek penghambatan pada pusat vasomotor. Namun angiotensin

II meningkatkan aliran simpatis dari pusat vasomotor dengan meningkatkan

tekanan darah.

Tujuan dari mekanisme saraf adalah mengatur tekanan darah dan

mempertahankan homeostatis. Gangguan patologis di salah satu dari empat

komponen utama yaitu serabut saraf otonom, reseptor adrenergic,

baroreseptor, dan sistem saraf pusat dapat menyebabkan keadaan kronis

peningkatan tekanan darah. Sistem ini secara fisiologis saling terkait. Bila

terdapat kegagalan fungsi pada salah satu komponen dapat mengubah fungsi
23

normal pada komponen lainnya sehingga kelainan kumulatif tersebut dapat

berkembang menjadi hipertensi esensial (Dipiro et al, 2008).

2.1.3.4 Komponen Autoregulator Peripheral

Kelainan pada sistem autoregulator ginjal atau jaringan dapat

menyebabkan hipertensi. Ada kemungkinan kelainan ginjal pada ekskresi

natrium akan menyebabkan hipertensi yang kemudian akan menyebabkan

pengulangan proses jaringan autoregulator yang menghasilkan peningkatan

tekana darah arteri. Biasanya ginjal mempertahankan tekanan darah normal

melalui tekanan volume dengan mekanisme adaptif. Ketika tekanan darah

menurun, ginjal akan merespon dengan meningkatkan retensi natrium dan air.

Perubahan ini menyebabkan ekspansi volume plasma yang akan

meningkatkan tekanan darah. Sebaliknya, ketika tekanan darah meningkat di

atas normal, ekskresi natrium dan air pada ginjal akan meningkat untuk

mengurangi volume plasma dan curah jantung. Akhirnya akan

mempertahankan kondisi homeostatis tekanan darah.

Proses lokal autoregulator yaitu mempertahankan oksigenasi pada

jaringan sehingga tetap memadai. Ketika pemintaan oksigen pada jaringan

menurun, maka arteriol lokal relatif masih terjadi vasokonstriksi. Namun,

peningkatan permintaan metabolik memicu vasodilatasi arteriol yang

menurunkan resistensi pembuluh darah perifer dan meningkatkan aliran darah

serta mengirim oksigen melalui autoregulasi.


24

Kerusakan instrinsik dalam mekanisme adaptif ginjal dapat menyebabkan

ekspansi volume plasma dan peningkatan aliran darah ke jaringan perifer,

bahkan ketika tekanan darah dalam keadaan normal. Proses autoregulator

jaringan lokal pada vasokonstriksikemudian akan diaktifkan untuk

mengimbangi peningkatan aliran darah. Efek ini akan menghasilkan

peningkatan resistensi pembuluh darah perifer dan jika berkelanjutan akan

dapat mengakibatkan penebalan dinding arteriol. Komponen patofisiologi ini

menyebabkan peningkatan resistensi perifer total yang pada umumnya

mendasari pada kasus hipertensi esensial (Dipiro et al, 2008).

2.1.3.5 Mekanisme Peredaran Darah Endothelial

Pembuluh darah endothelium dan otot polos memainkan peranan penting

dalam mengatur pembuluh darah dan tekanan darah. Fungsi-fungsi

pengaturannya dimediasi melalui zat vasoaktif yang disintesis oleh sel

endotel. Kekurangan dari sintesis lokal zat vasodilatasi (prostasiklin dan

bradikinin) adalah kelebihan zat vasokonstriksi (angiotensin II dan

endothelin) yang berkonstribusi pada hipertensi, aterosklerosis dan penyakit

kardiovaskular lainnya.

Nitric oxide diproduksi di endothelium, melemaskan pembuluh darah

epitel dan merupakan vasodilator yang sangat ampuh. Sistem nitric oxide

merupakan regulator penting dari tekanan darah arteri. Pasien dengan

hipertensi mungkin memiliki kerusakan instrinsik dalam nitric oxide yang

mengakibatkan tidak memadainya vasodilatasi (Dipiro et al, 2008).


25

2.1.3.6 Elektrolit dan Senyawa Kimia Lainnya

Epidemiologi dan data klinis dikaitkan dengan asupan natrium yang

berlebih dengan hipertensi. Studi berbasis populasi menunjukkan bahwa

tingginya diet garam berhubungan dengan tingginya prevalensi stroke dan

hipertensi. Sebaliknya, rendahnya diet garam berhubungan dengan rendahnya

prevalensi hipertensi. Studi klinis secara konsisten menunjukkan pembatan

diet natrium menurunkan tekanan darah pada banyak pasien dengan

peningkatan tekanan darah (tetapi tidak semua). Mekanisme yang tepat

dimana kelebihan natrium menyebabkan hiperteni belum diketahui. Namun,

mungkin berhubungan dengan peningkatan sirkulasi hormone natriuretik,

yang akan menghambat transportasi natrium intraseluler yang menyebabkan

peningkatan reaktivitas vascular dan peningkatan tekanan darah.

Perubahan homeostatis kalsium juga mungkin memainkan peran penting

dalam pathogenesis hipertensi. Kurangnya kadar kalsium dapat mengganggu

keseimbangan antara intraseluler dan ekstraseluler kalsium, sehingga

konsentrasi kalsium intraseluler meningkat. Ketidakseimbangan ini dapat

mengubah fungsi otot polos pembuluh darah oleh peningkatan resistensi

pembuluh darah perifer. Beberapa studi menunjukkan bahwa suplemen

kalsium dapat mengurangi tekanan darah pada pasien dengan hipertensi

(Dipiro et al, 2008).

2.1.4 Jenis – Jenis Hipertensi


26

Menurut Herbert Benson, dkk, berdasarkan etiologinya hipertensi

dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Hipertensi esensial (hipertensi primer atau idiopatik) adalah hipertensi

yang tidak jelas penyebabnya, hal ini ditandai dengan terjadinya

peningkatan kerja jantung akibat penyempitan pembuluh darah tepi. Lebih

dari 90% kasus hipertensi termasuk dalam kelompok ini. Penyebabnya

adalah multifaktor, terdiri dari faktor genetik, gaya hidup, dan lingkungan.

2. Hipertensi sekunder, merupakan hipertensi yang disebabkan oleh penyakit

sistemik lain yaitu, seperti renal arteri stenosis,hyperldosteronism,

hyperthyroidism, pheochromocytoma, gangguan hormon dan penyakit

sistemik lainnya. Prevalensinya hanya sekitar 5-10% dari seluruh

penderita hipertensi (Herbert Benson, dkk, 2012).

2.1.5 Diagnosis

Diagnosis yang akurat merupakan langkah awal dalam penatalaksanaan

hipertensi. Akurasi cara pengukuran tekanan darah dan alat ukur yang

digunakan, serta ketepatan waktu pengukuran. Pengukuran tekanan darah

dianjurkan dengan melakukannya pada posisi duduk setelah beristirahat 5

menit dan 30 menit bebas rokok dan coffein (Puspita, 2016).

2.1.6 Komplikasi

Hipertensi merupakan faktor resiko utama penyakit serebrovaskular

(stroke, transientischemic attack), penyakit arteri koroner (infark miokard,

angina, gagal ginjal, dementia dan atrial fiblilasi). Tekanan darah tinggi dalam
27

jangka waktu lama akan merusak endothel arteri dan memperceat

atherosclerosis. Komplikasi dari hipertensi termasuk rusaknya organ seperti

jantung, mata, ginjal, otak dan pembuluh darah besar (Tjokoprawirjo, 2015).

Mortalitas dan morbiditas akan meningkatkan apabila penderita hipertensi

mempunyai faktor-faktor resiko kardiovaskular lain. Bila penderita hipertensi

memiliki faktor-faktor resiko kardiovaskular lain maka akan meningkatkan

mortalitas dan morbiditas akibat gangguan kardiovaskularnya tersebut.

Berdasarkan studi Framingham, pasien dengan hipertensi memiliki resiko

bermakna untuk penyakit jantung koroner, stroke, penyakit arteri perifer dan

gagal jantung (Munchid, 2006).

2.1.7 Faktor – Faktor Penyebab Hipertensi

Adapun faktor-faktor penyebab hipertensi adalah sebagai berikut :

2.1.7.1 Jenis Penyakit

1. Obesitas

Obesitas (>25% di atas berat badan ideal) merupakan suatu keadaan

massa tubuh yang meningkat disebabkan oleh jaringan lemak yang

jumlahnya berlebihan. Orang yang memiliki berat badan yang berlebih,

tubuhnya bekerja keras untuk membakar kalori berlebih yang masuk ke

dalam tubuh. Pembakaran kalori ini memerlukan suplai oksigen yang

cukup di dalam darah, semakin banyak kalori yang dibakar semakin

banyak pasokan oksigen dalam darah. Banyaknya pasokan darah


28

menyebabkan jantung bekerja lebih keras sehingga beresiko tinggi pada

tekanan darah orang obesitas.

2. Dislipidemia

Kolesterol merupakan faktor penting dalam terjadinya aterosklerosis,

yang kemudian mengakibatkan peningkatan tahanan perifer pembuluh

darah sehingga tekanan darah meningkat.

3. Psikososial dan Stres

Stress atau ketegangan jiwa (rasa tertekan, murung, marah, dendam,

rasa takut, rasa bersalah) dapat merangsang kelenjar anak ginjal

melepaskan hormone adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat

serta kuat, sehingga tekanan darah meningkat.

4. Usia dan Jenis Kelamin

Umumnya laki-laki berusia 35 sampai 50 tahun lebih rentan terkena

hipertensi dibandingkan dengan wanita. Hal ini disebabkan karena laki-

laki lebih banyak faktor pendorong seperti stress, kelelahan, dan faktor

makanan yang tidak terkontrol sedangkan pada wanita memiliki hormone

estrogen dimana hormone ini memiliki peranan penting dalam

pengontrolan tekanan darah. Tetapi pada wanita pasca menopause

memiliki resiko tinggi untuk mengalami hipertensi dikarenakan hormone

estrogen menurun.
29

2.1.7.2 Gaya Hidup

1. Konsumsi Garam Tinggi

Mengkonsumsi garam yang berlebih dapat meningkatkan tekanan

darah dikarenakan pada saat garam masuk ke dalam darah , garam dapat

menahan air sehingga meningkatkan volume darah. Meningkatnya

volume darah dapat mengakibatkan meningkatnya tekanan pada dinding

pembuluh darah sehingga kerja dari jantung untuk memompa darah

semakin meningkat.

2. Konsumsi Alkohol

Pengaruh alkohol terhadap kenaikan tekanan darah telah dibuktikan

dengan adanya peningkatan kadar kortisol, peningkatan sel darah merah

dan peningkatan kekentalan darah yang berperan dalam menaikkan

tekanan darah.

3. Aktivitas Fisik

Olahraga yang teratur dapat membantu menurunkan tekanan darah dan

bermanfaat bagi penderita hipertensi ringan. Dengan melakukan olahraga

yang teratur tekanan darah dapat menurun, meskipun berat badan belum

menurun.

4. Merokok
30

Zat – zat kimia beracun seperti nikotin dan karbon monoksida yang

dihisap melalui rokok yang masuk melalui aliran darah dapat

mengakibatkan tekanan darah tinggi. Merokok akan meningkatkan denyut

jantung, sehingga kebutuhan oksigen otot-otot jantung bertambah.

2.1.8 Penatalaksanaan Terapi

2.1.8.1 Tujuan Terapi

Tujuan terapi dari penatalaksanaan hipertensi adalah:


a. Mencapai penurunan maksimum pada risiko total jangka panjang dari
penyakit kardiovaskular.
b. Regulasi tekanan darah yang sesuai target:
 <140/90 mmHg pada pasien dengan hipertensi saja tanpa diabetes atau
penyakit ginjal.
 <130/80 mmHg pada pasien hipertensi disertai diabetes dan atau
penyakit ginjal dan jantung.
Secara umum terapi pada penderita hipertensi dibagi menjadi dua yaitu

terapi non farmakologi dan terapi farmakologi. Untuk pasien yang masih

dalam pre hipertensi, masih dapat menggunakan terapi non farmakologi saja.

Tetapi untuk penderita hipertensi baik hipertensi stage 1 ke atas, harus

menggunakan terapi farmakologi. Pemilihan obat tergantung tinggi nya

tekanan darah dan adanya indikasi khusus pada penderita. Terapi non

farmakologi dan terapi farmakologi harus mendukung satu sama lain demi

tercapainya target terapi pasien (Dipiro et al, 2008).

2.1.8.2 Terapi Non Farmakologi


31

Pada dasarnya, terapi non farmakologi pada penderita hipertensi adalah

modifikasi gaya hidup/lifestyle. Berikut adalah modifikasi gaya hidup yang

disarankan beserta perkiraan penurunan target tekanan darah (Dipiro et al,

2008). Beberapa modifikasi life style yang perlu dilakukan, diantaranya :

a. Rokok

Merokok dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah secara akut

dan heart rate dan bertahan selama lebih dari 15 menit setelah merokok

satu batang rokok. Mekanismenya adalah adanya stimulasi pada sistem

saraf simpatetik sehingga terjadi peningkatan kathekolamin plasma, selain

itu merokok dapat menyebabkan pembuluh darah arteri menjadi kaku dan

keras akibatnya tekanan darah meningkat. Berhenti merokok adalah suatu

tindakan preventif yang paling efektif pada penyakit-penyakit

kardiovaskular, termasuk pada infark miokard.

b. Penurunan Berat Badan

Beberapa studi observasional memaparkan adanya hubungan antara

berat badan dan tekanan darah. Pada suatu penelitian secara meta-analysis,

penurunan rata-rata tekanan sistolik dan diastolik yang berhubungan

dengan rata-rata penurunan berat badan 5,1 kg adalah 4,4 dan 3,6 mmHg.

Peningkatan intake kalium dan diet DASH (diet yang kaya buah-

buahan, sayuran dan produk rendah lemak) juga memiliki efek

menurunkan tekanan darah.

c. Konsumsi Alkohol
32

Mekanisme alkohol dalam meningkatkan tekanan darah masih belum

jelas, tetapi ada kaitannya dengan aktivitas saraf simpatik dan terdapat

peran dari perubahan konsentrasi kortisol dan kalsium dalam sel.

Orang yang mengkonsumsi alkohol sebanyak 5 kali atau lebih per hari

dapat menyebabkan tekanan darah orang tersebut naik setelah terjadi

acute alcohol withdrawal. Pria hipertensi yang mengkonsumsi alkohol

sebaiknya disarankan untuk membatasi konsumsi alkohol tidak lebih dari

20-30 g etanol per hari, sedangkan pada wanita yang hipertensi

konsumsinya tidak lebih dari 10-20 g etanol per hari.

d. Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik yang sedikit merupakan predictor yang kuat terhadap

tekanan darah dan faktor risiko kardiovaskular lainnya. Manfaat aktivitas

fisik yaitu mengurangi berat badan, lemak tubuh, lingkar pinggang,

meningkatkan sensitivitas insulin, dan HDL dan menurunan tekanan darah

istirahat terutama pada pasien hipertensi. Pasien hipertensi sangat

disarankan melakukan aktivitas fisik intensif seperti 30-45 menit/ hari.

Jenis aktivitas fisik yang dilakukan yaitu berjalan, jogging, berenang.

e. Diet rendah garam

Peningkatan konsumsi natrium akan diikuti dengan kenaikan tekanan

darah, sebaliknya peningkatan konsumsi kalium justru akan menurunkan


33

tekanan darah. Pembatasan konsumsi garam efektif untuk menurunkan

tekanan darah. Sebuah studi RCT pada pasien hipertensi menunjukkan

bahwa dengan menurunkan intake garam sebanyak 4,7-5,8 g NaCl per hari

dapat menurunkan tekanan darah dengan rata-rata penurunan 4-6 mmHg.

Kelebihan intake garam dapat menyebabkan resistant hypertension.

Konsumsi garam yang direkomendasikan adalah kurang dari 5 g / hari

NaCl.

2.1.8.3 Terapi Farmakologi

Secara umum, terapi farmakologi pada hipertensi dimulai bila pada pasien

hipertensi derajat 1 yang tidak mengalami penurunan tekanan darah setelah

lebih dari 6 bulan menjalani pola hidup sehat dan pada pasien dengan

hipertensi derajat ≥ 2. Selain itu adapun penggolongan obat antihipertensi

secara umum oleh National Heart Foundation of Australia, 2016 yaitu :

1. Diuretik

Obat-obat ini mempertinggi pengeluaran garam dan air, sehingga

volume darah dan tekanan darah menurun (Dipiro, 2008). Golongan

obat-obat diuretik antara lain :

a. Diuretik Tiazid

Golongan ini bekerja dengan menghambat transport bersama

(symport) NaCl di tubulus ginjal sehingga meningkatkan ekskresi

Na+ dan Cl-. Contoh obat diuretik tiazid yaitu HCT

(hidroklortiazid)
34

b. Diuretik Kuat (Loop Diuretic)

Golongan diuretik kuat bekerja di ansa hene asenden bagian

epitel tebal dengan cara menghambat kotransport Na+, K+, Cl- dan

menghambat resorbsi air dan elektrolit. Contoh obat diuretik kuat

yaitu furosemide, torsemide.

c. Diuretik Hemat Kalium

Diuretik hemat kalium merupakan golongan diuretik lemah

yang biasanya digunakan kombinasi dengan diuretik lainnya untuk

menghemat ekskresi kalium. Contoh obat diuretik hemat kalium

yaitu amiloride dan triamterene.

d. Penghambat Karbonanhidrat

Azetazolamida bekerja dengan menghambat enzim karbon

anhydrase di tubuli proksimal menyebabkan berkurangnya

pertukaran antara Na+ dengan ion H+ sehingga akan meningkatkan

ekskresi Na+, K+, bikarbonat dan air.

2. Penghambat Angiotensin Converting Enzim (ACE Inhibitor)

ACE Inhibitor menghambat perubahan Angiotensin I menjadi

Angiotensin II sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi

aldosterone. Selain itu degradasi bradikinin juga dihambat sehingga

kadar bradikinin dalam darah meningkat dan berperan dalam efek


35

vasodilatasi ACE Inhibitor. Vasodilatasi secara langsung akan

menurunkan tekanan darah, sedangkan berkurangnya aldosteron akan

menyebabkan ekskresi air dan natrium serta retensi kalium. Obat yang

termasuk golongan ini antara lain : captopril, enapril, imidopril.

Ramipril, trandopril, quinapril, periodopril, lisinopril, fosinopril,

benazepril.

3. Antagonis Reseptor Angiotensin (ARB)

Reseptor angil terdiri dari dua kelompok besar yaitu reseptor

AT1 dan AT2. Reseptor memperantai semua efek fisiologis angil

terutama yang berperan dalam homeostatis kardiovaskular reseptor

AT2 terdapat di medulla adrepal dan juga di SSP. Losartan

merupakan prototipe obat golongan ARB yang bekerja selektif pada

reseptor AT2. Pemberian obat ini akan menghambat semua angil,

seperti vasokontriksi, sekresi aldosteron, rangsangan saraf simpatis,

efek sentral (sekresi vasopressin, rangsangan haus), stimulasi jantung,

efek renal serta efek jangka Panjang berupa hipertrofi otot polos

pembuluh darah miokard.

4. Calsium Channel Blocker (CCB)

Calsium Channel Blocker (CCB) bekerja dengan mengurangi

kalsium masuk ke otot polos, yang menyebabkan vasodilatasi koroner

dan perifer serta menurunkan BP. CCB terdiri dari dua golongan yaitu

dihydropyridine (nifedipine, amlodipine, felodipine) dan


36

nondihydropyridine (verapamil dan diltiazem) secara langsung

memblokir atrioventricular (AV), menurunkan detak jantung dan

menurunkan kontraksi jantung, namun masih memiliki

efekvasodilatasi. Efek samping tergantung ada jenis CCB, umumnya

dapat menimbulkan kemerahan, edema perifer, takikardia, bradikardia

atau blok jantung dan sembelit (Koda-Kimble et al, 2012).

5. Penghambat Adrenergik

Obat penghambat adrenergic menurut tempat kerjanya dibagi menjadi

5 kelas, yaitu :

a. Penghambat Adrenoreseptor Beta (β-Blocker)

Mekanisme kerja dari beta blocker adalah penghambatan

reseptor β. Hal ini menyebabkan antara lain penurunan frekuensi

denyut jantung dan kontraktilitas miokard sehingga menurunkan

curah jantung, serta dapat hambatan sekresi renin di sel

glomerular ginjal sehingga berakibat penurunan produksi

angiotensin II. Contoh obatnya yaitu atenolol, asebutalol,

bisoprolol, metoprolol (Tjay & Raharja, 2007).

b. Penghambat Adrenoreseptor Alpha (α1-Blocker)

Mekanisme kerja alpha blocker yairu dengan menghambat

reseptor α1 sehingga menyebabkan vasodilatasi di arteriol dan

venula serta menurunkan resisten perifer. Contoh obat ini adalah


37

prazosin, terazosin, bunazosin, doksazosin (Tjay & Raharja,

2007).

c. Adrenolitik Sentral

Obat golongan ini yabg sering digunakan yaitu metildopa dan

klonidin. Metildopa merupakan prodrugs yang dalam SSP

menggantikan kedudukan DOPA dalam sintesis katekolamin

dengan hasil akhir α-metilnorepinefrin. Diduga efek antihipertensi

disebabkan karena stimulasi reseptor α2 disentral sehingga

mengurangi sinyal simpatis ke perifer. Penggunaan metildopa

merupakan antihipertensi tahap kedua. Obat ini terbukti efektif

bila dikombinasi dengan diuretik.

d. Penghambat Saraf Adrenergik

Obat golongan ini yaitu reserpine, guanetidin, guanadrenel.

Reserpine merupakan obat pertama yang diketahui dapat

menghambat sistem saraf pada manusia, obat golongan ini,

bekerja dengan mengurangi jumlah serotonin, katekolamin,

norepinefrin. Reserpine menyebabkan retensi natrium dan cairan

dengan signifikan sehingga penggunaannya perlu dikombinasikan

dengan diuretik.

e. Penghambat Ganglion

Trimetafan merupakan salah satunya penghambat ganglion

yang digunakan di klinik. Obat ini mempunyai kerja yang cepat


38

dan singkat serta digunakan untuk menurunkan tekanan darah

dengan segera. Efek samping yang terjadi seperti pada hipotensi

ileus paralitik, paralisis kandung kemih, mulut kering, penglihatan

kabur.

6. Antagonis Aldosteron

Antagonis aldosterone merupakan golongan obat diuretik hemat

kalium yang bekerja dengan memblokade reseptor aldosterone,

menghambat reabsorbsi natrium dan retensi air dan mencegah

vasokontriksi. Salah satu contoh obat golongan ini yaitu

spironolakton.

7. Penghambat Renin

Aliskiren merupakan pilihan pertama yang digunakan sebagai

penghambat renin sebagai terapi alternative hipertensi. Aliskiren

bekerja dengan menghambat pemecahan angiotensinogen menjadi

angiotensin I sehingga tidak menghasilkan angiotensin II melalui

RAAS, tidak mempengaruhi bradykinin dan tidak meningkatkan

konsentrasi angiotensin II dalam sirkulasi sehingga dapat menurunkan

tekanan darah.
39

Gambar 2.1.6.2 Rekomendasi Terapi Farmakologi Hipertensi

(sumber : Koda Kimble et al, 2013)

2.2 Kepatuhan

2.2.1 Pengertian Kepatuhan

Kepatuhan berasal dari kata dasar “patuh” yang berarti disiplin dan taat.

Kepatuhan adalah suatu tingkat dimana perilaku individu (misalnya dalam

kaitan dengan mengikuti pengobatan, mengikuti instruksi diet atau membuat

perubahan gaya hidup) sesuai atau tepat dengan anjuran dokter. Kepatuhan

juga didefiniskan sebagai tingkatan dimana individu mengikuti instruksi yang

diberikan untuk mendukung pengobatan terhadap penyakitnya. Tingkat

kepatuhan untuk setiap pasien biasanya digambarkan sebagai persentase


40

jumlah obat yang diminum setiap harinya dan waktu minum obat dalam

jangka waktu tertentu (Osterberg & Terrence, 2005). Kepatuhan minum obat

dapat dipengaruhi oleh faktor demografi, faktor pasien, faktor terapi dan

hubungan pasien dengan tenaga kesehatan. Salah satu indikator dari

kepatuhan pasien minum obat antihipertensi adalah pengendalian tekanan

darah (Anhony J, 2011).

Kepatuhan (compliance atau adherence) mengambarkan sejauh mana

pasien berperilaku untuk melaksanakan aturan dalam pengobatan dan perilaku

yang disarankan oleh tenaga kesehatan (Sutanto, 2010).

1. Kepatuhan Konsumsi Obat Antihipertensi

Penderita dengan obat antihipertensi kemungkinan besar akan

terus mengkonsumsi selama hidup, karena penggunaan obat

antihipertensi dibutuhkan untuk mengendalikan tekanan darah

sehingga komplikasi dapat dikurangi dan dihindari. Penderita yang

patuh berobat adalah yang menyelesaikan pengobatan secara teratur

dan lengkap tanpa terputus selama minimal 6 bulan sampai dengan 9

bulan (Depkes RI, 2006).

2. Kepatuhan Pemeriksaan Rutin

Pemeriksaan rutin merupakan suatu kegiatan atau aktivitas

penderita hipertensi untuk melakukan perawatan, pengendalian dan

pengobatan, baik dapat diamati secara langsung maupun tidak dapat

diamati oleh pihak luar. Pemeriksaan rutin merupakan salah satu


41

manajemen hipertensi yang perlu dilakukan untuk pengelolaan

hipertensi. Pemeriksaan rutin hipertensi sebaiknya dilakukan minimal

sebulan sekali, guna tetap menjaga atau mengontrol tekanan darah

agar tetap dalam keadaan normal (Purwanto, 2006).

2.2.2 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan

1. Jenis Kelamin

Perbedaan jenis kelamin yang ditentukan secara biologis, yang secara

fisik melekat pada masing-masing jenis kelamin, laki-laki dan perempuan

(Rostyaningsih, 2013). Dalam menjaga kesehatan, biasanya kaum

perempuan lebih memperhatikan kesehatannya dibandingkan dengan laki-

laki (Notoatmodjo, 2010). Sampai dengan umur 55 tahun, laki-laki lebih

banyak menderita hipertensi dibanding perempuan. Dari umur 55 sampai

74 tahun, sedikit lebih banyak perempuan dibanding laki-laki yang

menderita hipertensi. Penelitian yang dilakukan oleh Alphonce (2012)

menunjukkan jenis kelamin berhubungan dengan tingkat kepatuhan

pengobatan hipertensi (p=0,044).

2. Usia

Semakin banyak permasalahan yang dialaminya terutama terkait

kondisi kesehatan hal ini disebabkan terjadinya kemunduran fungsi

seluruh tubuh secara progresif. Seseorang yang mengalami pertambahan

usia mulai dari dewasa awal, dewasa pertengahan, dan dewasa akhir akan

mengalami frustasi atau penolakan terhadap penyakitnya sehingga akan


42

mengalami sikap tidak patuh terhadap anjuran dokter maupun obat/terapi

yang diberikan oleh dokter.

3. Tingkat Pendidikan Terakhir

Tingkat pendidikan terakhir mempengaruhi kepatuhan minum obat

dimana berhubungan erat dengan seberapa pengetahuan seseorang

mengenai kepatuhan minum obat. Semakin rendah pendidikan seseorang

maka kesadaran dalam mengkonsumsi obat akan menurun/tidak patuh.

4. Tingkat Pengetahuan Tentang Hipertensi

Menurut hasil penelitian Ekarini (2011) menunjukkan bahwa

pengetahuan berhubungan dengan tingkat kepatuhan pengobatan penderita

hipertensi (p=0,002). Semakin baik pengetahuan seseorang, maka

kesadaran untuk berobat ke pelayanan kesehatan juga semakin baik.

5. Status Pekerjaan

Seseorang yang bekerja cenderung memiliki sedikit waktu untuk

mengunjungi fasilitas kesehatan (Notoadmodjo, 2007). Menurut penelitian

yang dilakukan oleh Su-Jin Cho (2014) pekerjaan memiliki hubungan

yang signifikan dengan kepatuhan pasien hipertensi dalam menjalani

pengobatan (p=0,006). Dimana pasien yang bekerja cenderung tidak patuh

dalam menjalani pengobatan dibanding dengan mereka yang tidak bekerja.

6. Lama Menderita Hipertensi


43

Tingkat kepatuhan penderita hipertensi di Indonesia untuk berobat dan

control cukup rendah. Semakin lama seseorang menderita hipertensi

maka tingkat kepatuhannya makin rendah, hal ini disebabkan penderita

akan merasa bosan untuk berobat (Ketut Gama et al, 2014). Semakin

lama seseorang menderita hipertensi maka cenderung untuk tidak patuh

karena merasa jenuh menjalani pengobatan atau meminum obat

sedangkan tingkat kesembuhan yang telah dicapai tidak sesuai dengan

yang diharapkan.

2.2.3 Cara Mengukur Kepatuhan

Terdapat dua metode yang bisa digunakan untuk mengukur kepatuhan, yaitu :

1. Metode langsung

Pengukuran kepatuhan dengan metode langsung dapat dilakukan

dengan observasi pengobatan secara langsung, mengukur konsentrasi obat

dan metabolitnya dalam darah atau urin serta mengukur biologic marker

yang ditambahkan pada formulasi obat. Kelemahan metode ini adalah

biayanya yang mahal, memberatkan tenaga kesehatan dan rentan terhadap

penolakan pasien (Osterberg & Terrence, 2005).

2. Metode tidak langsung

Metode tidak langsung dapat dilakukan dengan menanyakan pasien

tentang cara menggunakan obat, menilai respon klinik, melakukan

perhitungan obat (pill count), menilai angka refilling prescription,

mengumpulkan kuesioner pasien, menggunakan electronic medication


44

monitor, menilai kepatuhan pasien anak dengan menanyakan kepada

orang tua (Osterberg & Terrence, 2005).

Terdapat kelebihan dan kekurangan masing-masung dari kedua metode

pengukuran tersebut. Berikut tabel yang menyajikan kelebihan dan

kekurangan tiap metode :

Tabel 2.2.3 Kelebihan dan Kekurangan pada Metode Langsung dan

Metode Tidak Langsung

Pengukuran Keuntungan Kekurangan


Metode Langsung
Pasien dapat
Observasi terapi secara menyembunyikan pil
Paling akurat
langsung dalam mulut kemudian
membuangnya
Variasi metabolisme dapat
Pengukuran kadar obat
memberikan penafsiran
atau metabolit dalam Objektif
yang salah terhadap
darah
kepatuhan, mahal
Objektif : dalam uji
Memerlukan pengujian
Pengukuran penanda klinik dapat juga
kuantitatif yang mahal dan
biologis dalam darah digunakan untuk
pengumpulan cairan tubuh
mengukur placebo
Metode Tidak Langsung
Rentan terhadap kesalahan
Sederhana, tidak mahal,
dengan kenaikkan waktu
metode yang paling
Kuesioner antara kunjungan, hasilnya
berguna dalam
mudah terdistorsi oleh
penentuan klinis
pasien
Menghitung pil Objektif, mudah Data mudah diubah oleh
45

dilakukan pasien
Mahal, memerlukan
Monitor obat secara Tepat, hasilnya mudah
kunjungan kembali dan
elektronik diukur
pengambilan data
Pengukuran penanda Biasanya mudah untuk Penanda dapat tidak
fisiologis dilakukan mengenali penyebab lain
Membantu
Buku harian pasien memperbaiki ingatan Mudah diubah oleh pasien
yang lemah
Jika pasien anak-anak,
kuesioner untuk orang tua Sederhana, objektif Rentan terhadap distorsi
atau yang merawatnya

2.2.4 Kuisioner Morisky Medication Adherence Scale 8 Item (MMAS-8)

Salah satu metode pengukuran kepatuhan secara tidak langsung adalah

dengan menggunakan kuesioner. Metode ini dinilai cukup sederhana dan

murah dalam pelaksanaannya. Morisky 8-items merupakan salah satu model

kuesioner yang telah tervalidasi. Morisky et al. mengembangkan MMAS

untuk mengetahui kepatuhan pasien berupa kuesioner. MMAS pertama kali

diaplikasikan untuk mengetahui compliance pada pasien hipertensi pada pre

dan post interview. Morisky et al. mempublikasikan versi terbaru pada tahun

2008 yaitu MMAS-8 dengan reliabilitas yang lebih tinggi yaitu 0,83 serta

sensitivitas dan spesifitas yang lebih tinggi. Morisky, secara khusus membuat

skala untuk mengukur kepatuhan dalam mengkonsumsi obat yang dinamakan

Morisky Medication Adherence Scale (MMAS), dengan delapan item yang

berisi pernyataan-pernyataan yang menunjukkan frekuensi kelupaan dalam


46

minum obat, kesengajaan berhenti minum obat tanpa sepengetahuan dokter,

kemampuan untuk mengendalikan dirinya untuk tetap minum obat (Morisky

& Muntner, 2009).

Modifikasi kuesioner Morisky saat ini dapat digunakan untuk pengukuran

kepatuhan pengobatan penyakit yang memerlukan terapi jangka Panjang.

Pengukuran skor Morisky scale 8-items untuk pertanyaan 1 sampai 8, jika

jawaban “ya” bernilai 1, sedangkan untuk pertanyaan nomor 8 jika menjawab

tidak pernah/jarang (tidak sekalipun dalam satu minggu) bernilai 0 dan bila

responden menjawa sekali-kali (satu/dua kali dalam seminggu), kadang-

kadang (tiga/empat kali dalam seminggu), biasanya (lima/enam kali dalam

seminggu) dan setiap saat bernilai 1. Pasien dengan total skor lebih dari dua

dikatakan kepatuhan rendah, jika skor 1 atau 2 dikatakan kepatuhan sedang

dan jika skor 0 dikatakan responden memiliki kepatuhan yang tinggi (Morisky

et al, 2008)
BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir

Hipertensi adalah suatu keadaan dimana adanya peningkatan tekanan

darah sistolik ≥140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥90 mmHg (JNC,

2014). Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Word Health Organizing

(WHO) memperkirakan bahwa pada tahun 2025 terjadi kenaikan kasus

hipertensi mencapai angka 80% dimana pada tahun 2000 dari 673 juta kasus

menjadi 1,5 milyar kasus pada tahun 2025, dimana peningkatan ini akan

banyak terjadi di negara-negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia

(Hazwan & Pinatih, 2017).

Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia tahun 2018,

penderita hipertensi yang berhasil terdiagnosis oleh dokter di Indonesia hanya

sebesar 8,4%. Data tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar penderita

hipertensi di masyarakat (sekitar 64,2%) tidak terdiagnosis oleh

dokter.dimana prevalensi kejadian kasus hipertensi di kota Denpasar banyak

terjadi di Puskesmas II Denpasar Barat dengan jumlah kasus sebanyak 19.346

kasus.

Kepatuhan pengobatan hipertensi penting dilakukan untuk mencegah

terjadinya kekambuhan terhadap pasien hipertensi dikarenakan penyakit ini

tidak dapat disembuhkan dan perlu dilakukan pengontrolan dengan

melakukan pengobatan secara teratur seumur hidup (Ariyani et al, 2018).

47
Menurut penelitian Su Jin Cho (2014), didapatkan hasil yang mempengaruhi

tingkat

48
49

ketidakpatuhan dalam mengkonsumsi obat hipertensi yaitu usia, jenis

kelamin, tingkat pendidikan, dan pekerjaan. Adapun persentase yang didapat

pada ketidakpatuhan pengobatan hipertensi dengan usia <45 tahun sebesar

22,4%, sedangkan jenis kelamin pada perempuan lebih tinggi dibandingkan

laki-laki sebesar 13,8% serta pasien dengan tingkat pendidikan rendah sebesar

16,8% dan yang tidak memiliki pekerjaan tetap sebesar 16,1% dimana

menjadi salah satu faktor yang turut mempengaruhi ketidakpatuhan

pengobatan hipertensi.

Pengukuran kepatuhan dilakukan dengan menggunakan kuesioner

MMAS-8 berisi pernyataan-pernyataan yang menunjukkan pertanyaan

mengenai kebiasaan mengkonsumsi obat, termasuk perilaku lupa

mengkonsumsi obat, sehingga ketaatan dapat diidentifikasi dengan jelas (Tan

et al., 2014). MMAS-8 memiliki sensitivitas sebesar 93% dan spesifikasi 53%

dibandingkan dengan MMAS-4 yang hanya memiliki sensitivitas sebesar 81%

dan spesifikasi sebesar 44% (Tan et al., 2014 ; Morisky et al., 2008).

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75

tahun 2014, Pusat Kesehatan Masyarakat atau Puskesmas adalah fasilitas

pelayanan kesehatan yang menyelenggarkan upaya kesehatan masyarakat dan

upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan

upaya promotive dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat

yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya. Puskesmas II Denpasar Barat

merupakan salah satu puskesmas pada peringkat pertama dengan prevalensi


50

hipertensi lebih tinggi dibandingkan dengan puskesmas lainnya dengan

jumlah kasus sebanyak 19.346 kasus dan persentase kasus sebanyak 14,2%

(Dinkes, 2018).

3.2 Konsep Penelitian

HIPERTENSI

TERAPI FARMAKOLOGI TERAPI NON FARMAKOLOGI

Faktor – Faktor Yang

Mempengaruhi :

 Usia

 Jenis Kelamin

 Pendidikan

 Pekerjaan

 Tingkat Pengetahuan
KEPATUHAN MINUM OBAT

KETERANGAN :

DITELITI :

TIDAK DITELITI :

Gambar 3.2 Kerangka Konsep Penelitian


BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan

rancangan penelitian cross sectional. Peneliti menggunakan rancangan cross

sectional karena dalam penelitian ini observasi atau pengukuran variabel

dilakukan dalam satu waktu yang sudah ditentukan oleh peneliti serta dapat

menggambarkan faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan antara

kepatuhan minum obat dengan tekanan darah pasien. Penelitian ini hanya

dilakukan dengan penyebaran kuesioner yaitu menggunakan kuesioner

MMAS-8. Hasil dari penelitian ini akan dianalisis data menggunakan

univariat untuk mengetahui gambaran kepatuhan terapi obat hipertensi beserta

faktor-faktor yang mempengaruhi di wilayah kerja Puskesmas II Denpasar

Barat dengan menggunakan program SPSS.

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Pemilihan lokasi didasarkan pada data yang paling banyak menderita

penyakit hipertensi di Denpasar. Lokasi penelitian ini akan dilaksanakan di

Puskesmas II Denpasar Barat. Waktu penelitian dilakukan pada bulan

Februari 2020-Maret 2020.

51
52

4.3 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini termasuk farmasi klinis, khususnya pada

identifikasi kepatuhan minum obat. Penelitian ini mengambil tema

“Gambaran Kepatuhan Terapi Obat Hipertensi dan Fakto-Faktor yang

Mempengaruhi di Puskesmas II Denpasar Barat”.

4.4 Penentuan Sumber Data

4.4.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien hipertensi yang

telah melakukan pengobatan pada bulan Februari-Maret 2020 di Puskesmas

II Denpasar II Barat.

4.4.2 Sampel

Sampel pada penelitian ini adalah seluruh pasien hipertensi di

Puskesmas II Denpasar Barat periode Februari-Maret 2020 yang memenuhi

kriteria yang telah ditentukan dalam penelitian.

4.4.3 Kriteria Inklusi

a. Pasien hipertensi (25 – 65 tahun)

b. Pasien dengan latar belakang pendidikan minimal SD

c. Pasien yang sudah pernah berobat di Puskesmas

d. Pasien tidak memiliki komplikasi dengan penyakit kronis seperti gagal

jantung, gagal ginjal, stroke, kanker, diabetes mellitus.

e. Pasien menerima obat antihipertensi tunggal dan kombinasi


53

f. Pasien bersedia menjadi responden penelitian

g. Pasien berada ditempat pada saat pengambilan data

4.4.4 Kriteria Eksklusi

a. Pasien yang memiliki gangguan pendengaran

b. Pasien yang buta huruf

4.4.5 Perhitungan Sampel Penelitian

Penentuan besar sampel dalam penelitian ini ditentukan dengan

menggunakan rumus slovin (Siswanto, 2016) :

N
n= 2
1+ N (d)

Keterangan :

n = jumlah sampel

N = jumlah populasi

d = presisi (ditetapkan 10% dengan tingkat kepercayaan 90%)

Hasil perhitungan yang didapat adalah sebagai berikut :

2.743
n=
1+2.743(0,1)2

n=96,48

Jadi, jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 97 sampel.


54

4.4.6 Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel dengan menggunakan teknik purposive

sampling. Teknik purposive sampling adalah salah satu teknik sampling

non random sampling dimana peneliti menentukan pengambilan sampel

dengan cara menetapkan tipe-tipe khusus yang sesuai dengan tujuan

penelitian sehingga diharapkan dapat menjawab permasalahan penelitian.

4.5 Variabel Penelitian

4.5.1 Variabel Bebas

Variabel bebas pada penelitian ini adalah faktor-faktor yang berhubungan

dengan kepatuhan minum obat pada penderita hipertensi meliputi usia,

jenis kelamin, tingkat pendidikan, status pekerjaan dan tingkat pengetahuan

tentang hipertensi.

4.5.2 Variabel Terikat

Variabel terikat pada penelitian ini adalah tingkat kepatuhan minum obat

pada penderita hipertensi dalam menjalani pengobatan di Puskesmas II

Denpasar Barat.
55

4.5.3 Definisi Operasional

Tabel 4.5.4 Definisi Operasional

Definisi Jenis Cara


No. Variabel Indikator Skala
Operasional Variabel Pengukuran
Usia merupakan
tingkat hidup Kriteria usia
Variabel
1. Usia yang dihitung dari antara 25 – 65 Kuesioner Nominal
bebas
lahir sampai tahun.
sampel diambil.
Keadaan fisik
pasien yang
Jenis dibedakan dari Variabel a. Laki-laki
2. Kuesioner Nominal
Kelamin system bebas b. Perempuan
reproduksi/seksua
l
Tingkat
Tingkat pendidikan
pendidikan akhir antara lain :
Tingkat Variabel
3. pasien a. SD Kuesioner Ordinal
Pendidikan bebas
berdasarkan data b. SMP
yang diberikan. c. SMA/SM
d. Diploma/S1
a. Tidak
bekerja
b. Petani/
Pekerjaan pasien
Status Variabel pedagang
4. berdasarkan data Kuesioner Nominal
Pekerjaan bebas c. Swasta
yang diberikan
d. PNS
e. Polri/TNI
Lain – lain.
56

Pengetahuan
pasien terhadap a. Rendah
Tingkat hipertensi (<60%)
Pengetahuan meliputi : Variabel b. Sedang
5. Kuesioner Ordinal
Tentang pengertian, tanda bebas (60-75%)
Hipertensi dan gejala, c. Tinggi
penyebab dan (>75%)
penatalaksanaan.
Untuk tingkat
kepatuhan
menggunakan
modifikasi
morisky
adherence
Kepatuhan
scale yang
minum obat
terdiri dari 8
adalah ketaatan
Kepatuhan Variabel pertanyaan
6. pasien Kuesioner Ordinal
Minum Obat terikat dengan
mengkonsumsi
kategori
obat sesuai yang
sebagai
dianjurkan
berikut:
a. Rendah, skor
>2
b. Sedang, skor
1-2
Tinggi, skor =0

4.6 Instrumen Penelitian


57

Instrument penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

dengan menggunakan kuesioner data diri responden dan kuesioner

kepatuhan penggunaan obat MMAS-8. Kuesioner kepatuhan MMAS-8

dalam penelitian ini tidak dilakukan validasi dikarenakan sudah tervalidasi.

Kuesioner kepatuhan minum obat menggunakan kuesioner yang diadopsi

dari Kuesioner MMAS 8 yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa

Indonesia dan telah dilakukan uji validitas dan reliabilitas dengan nilai r

tabel 0,355 dan nilai Alpha Croncbach 0,729. Kuesioner pengetahuan

tentang hipertensi diadopsi dari Puspita 2016 yang terdiri dari 10

pertanyaan seputaran penyakit hipertensi yang berisi materi tentang

penyakit hipertensi seperti definisi, gejala dan tanda, tatalaksana terapi.

Tujuan kuesioner yaitu untuk mengetahui informasi mengenai gambaran

kepatuhan terapi dan faktor-faktor yang mempengaruhi di Puskesmas II

Denpasar Barat.

4.7 Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian ini dilaksanakan 3 tahap, yaitu :

4.7.1 Tahap Persiapan

Pada tahap persiapan, terdapat beberapa hal yang harus dilakukan. Hal –

hal tersebut, meliputi :

1. Menentukan tema penelitian

2. Menentukan permasalahan yang akan diteliti


58

3. Melakukan survei pendahuluan ke lokasi penelitian

Dalam hal ini dilakukan pembuatan dan penyerahan surat

permohonan izin dari Universitas Bali Internasional kepada Kepala

Dinas Kesehatan Kota Denpasar tentang pelaksanaan studi

pendahuluan data hipertensi di Dinas Kesehatan Kota Denpasar dan di

seluruh Puskesmas se-Kota Denpasar.

4. Menentukan lokasi penelitian

5. Menyusun proposal penelitian

6. Menetapkan jadwal kegiatan penelitian

4.7.2 Tahap Pelaksanaan

Tahap pelaksanaan penelitian meliputi :

1. Menjelaskan kepada responden tentang penelitian dan memberikan

konten informasi jika pasien setuju untuk berpartisipasi.

2. Pengambilan data mengenai kepatuhan minum obat hipertensi, usia,

jenis kelamin, tingkat pendidikan terakhir dan status pekerjaan.

3. Memberikan kuesioner kepada responden untuk diisi.

4. Mendokumentasikan kegiatan penelitian dalam bentuk foto.

4.7.3 Tahap Analisa Hasil Penelitian

Pada tahap Analisa hasil penelitian, dilakukan pengolahan data hasil

penelitian dan mencermati apabila terdapat kesalahan dalam data yang

diperoleh pada tahap pelaksanaan penelitian, sehingga data yang salah

dapat dievaluasi dengan baik.


59

Gambar 4.7.3 Skema Alur Penelitian

Menentukan Topik

Identifikasi Masalah

Studi Literatur

Perumusan Masalah

Metode Penelitian

Penyebaran Kuesioner

Pengumpulan Data

Analisis Data

Hasil dalam bentuk tabel/diagram


60

4.8 Analisa Data

4.8.1 Pengolahan Data

Hal – hal yang perlu diperhatikan dalam pengolahan data, yaitu :

1. Melakukan pemeriksaan data setelah kuesioner diisi oleh responden.

a. Apakah semua pertanyaan dalam kuesioner sudah dijawab oleh

responden. Jika ada pertanyaan yang masih belum dijawab, maka

diklarifikasi kembali dengan responden.

b. Tulisan yang sulit dibaca, akan segera diklarifikasi kembali dengan

responden agar tidak mempersulit saat pengolahan data.

2. Memasukkan data secara komputerisasi ke program Microsoft Excel

untuk selanjutnya dilakukan analisis data menggunakan SPSS 24.0 for

windows.

4.8.2 Teknik Analisis Data

Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah uji normalitas

dan analisis univariat.

1. Uji normalitas

Uji normalitas adalah uji yang dilakukan untuk melihat apakah data

memiliki distribusi normal atau tidak. Uji normalitas dalam penelitian

ini akan dianalisis menggunakan uji Kolmogorov-Sminov dengan

tingkat signifikansi 0,05. Data dikatakan terdistribusi secara normal

apabila hasil uji Kolmogorov-Sminov (p)>0,05, sebaliknya jika

(p)<0,05 maka data tidak terdistribusi secara normal.


61

2. Analisis Univariat

Tujuan analisis univariat adalah untuk menjelaskan dan

mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian. Pada

umumnya, analisis ini menghasilkan distribusi, frekuensi dan persentase

dari tiap variabel. Data hasil penelitian dideskripsikan dalam bentuk

tabel, grafik maupun narasi untuk mengevaluasi besarnya proporsi dari

masing-masing variabel yang diteliti (Notoatmodjo, 2010).


DAFTAR PUSTAKA

Alphonce. 2012. Factors Affecting Treatment Compliance among Hypertension

Patients in Three District Hospital – Dar Es Salaam. Universitas Muhimbili.

5(3), pp.225-231. Available at : http://ijcp/or.id.

Ariyani, H., Hartanto, D., Lestari, A., 2018. Adherence of Hypertensive Patients After

Giving Pill Card in Hospital X Banjarmasin. Fakultas Farmasi Universitas

Muhammadiyah Banjarmasin. Vol.1. (2)

Balitbangkes Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013 (Riskesdas 2013).

Kemenkes RI. Jakarta

Benjamin EJ, Blaha MJ, Chiuve SE, Cushman M, Das SR, Deo R, et al. 2017. Heart

Disease And Stroke Statistics 2017 Update: a report from the American Heart

Association. Vol. 135.

Cho, Su-Jin, Jinhyun Kim. 2014. Factors Associated With Nonadherence to

Antihypertensive Medication. Vol 16, Hal 461-467.

Corwin. 2009. Hipertensi. Jakarta: EGC

Departemen Kesehatan RI. 2013. Pedoman Teknis Penemuan dan Tatalaksana

Penyakit Hipertensi. Jakarta: Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular.

Dinas Kesehatan. 2018. Laporan Tahunan Dinas Kesehatan Kota Denpasar.

Denpasar.

62
Dipiro JT, Talbert RL, Yee GC, Matzke GR, Wells BG, Posey LM. Pharmacotherapy

a pathophysiologic approach 7th edition. New York:McGraw-Hill; 2008.p.589-

606.

63
64

Douglas JG, Bakris GL, Epstien M, et al. 2003. Management of High BP in African

Americans: Consensus Statements of Hypertention in African Americans

Working Group of The International Society on Hypertention in Blacks. Arch

Intern Med 163:525 – 241

Ekarini, Diya. 2011. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Kepatuhan

Klien Hipertensi dalam Menjalani Pengobatan di Puskesmas Gondangrejo

Karanganyar. Skripsi.

Gama, I Ketut, I Wayan Sarmidi, IGA Harini. 2014. Faktor Penyebab

Ketidakpatuhan Kontrol Penderita Hipertensi. Available at :

http://www.poltekkes-denpasar.ac.id

Grundy, SM. Cleeman, JI. Daniels, SR., et al. Diagnosis and Management of the

Metabolic Syndrome. An American Heart Association/National Heart, Lung,

and Blood Institute Scientific Statement. Executive summary. Circulation

2005;112(17):2735-2752

Hazwan, A., Pinatih, G.N.I., 2017. Gambaran Karakteristik Penderita Hipertensi

dan Tingkat Kepatuhan Minum Obat di Wilayah Kerja Puskesmas Kintamani I.

intisari Sains Medis 5. Vol 8, (2): 130-134

Herbert Benson, dkk. 2012. Menurunkan Tekanan Darah. Jakarta : Gramedia

JNC (Joint National Committee), 8th. 2014. The Seventh Report of The Joint National

Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood

Pressure. Amerika: National High Blood Pressure Education Program


65

Koda-kimble MA, Young LD, Kradjan WA, Guglielmo BJ, editors. Applied

therapeutics: the clinical use of drugs 9th edition. Philadelphia: Lippincott

Williams & Wilkins; 2009.

Mancia G, De Backer G, Anna B. 2007. Guidelines for The Management of Arterial

Hypertension. European Heart Journal 28, 1462 – 1536

Morisky., Donald E, Ang., Alfonso, Krousel-Wood, J. Ward., Harry. 2008.

Predictive Validity of a Medication Adherence Measure in an Outpatient

Setting. The Journal of Clinical Hypertension (ISSN 1524-6175). Vol. 10 No. 5

Munchid Abdul. 2006. Buku Saku Hipertensi, Pharmaceutical Care untuk Penyakit

Hipertensi. Depkes RI Ditjen Bina Farmasi Komunitas dan Klinik. Jakarta

Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta.

Jakarta

Osterberg, L & Terrence Blachke. 2005. Adherence to Medication. The New England

Journal of Medicine, p.487-497

Purwanto, H. 2006. Pengantar Perilaku Manusia untuk Perawat. Jakarta: EGC

Puspita E, 2016. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Penderita

Hipertensi dalam Menjalani Pengobatan. Skripsi. Universitas Negeri Semarang

Sani. 2008. Klasifikasi Penderita Hipertensi. Jakarta : Hal. 26 – 28

Shimamoto. 2006. Chinese Hypertension Society. New York : Delmar Publisher Inc

Smantummkul, Chayanee. 2014. Tingkat Kepatuhan Penggunaan Obat

Antihipertensi pada Pasien Hipertensi di Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit X.

Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah : Surakarta


66

Stanley, M. 2007. Buku Ajar Keperawatan Gerontik (Gerontoligical Nursing : A

Health Promotion/Protection Approach). Jakarta: EGC

Sutanto. 2010. Penyakit Modern Hipertensi, Stroke, Jantung, Kolesterol, dan

Diabetes. Yogyakarta: CV Andi

Tan, X., Patel, J., and Chang, J. 2014. Review of The Four Item Morisky Medication

Adherence Scale (MMAS-4) and Eight Item Morisky Medication Adherence

Scale (MMAS-8). Inov Pharm 5 (3): 165

Tjokorprawiro A, Setiawan PB, Soegiarto G. 2015. Buku Ajar Penyakit Dalam.

Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Rumah Sakit Pendidikan Dr.

Soetomo Surabaya: Airlangga University Press

Anda mungkin juga menyukai