Anda di halaman 1dari 64

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Hipertensi merupakan salah satu faktor penting sebagai pemicu penyakit

tidak menular seperti penyakit jantung, stroke, dan lain lain yang saat ini menjadi

momok penyebab kematian nomor wahid di dunia. Penyebab kematian tertinggi

di dunia adalah stroke dan Ischaemic Heart Disease. Dua penyakit penyebab

kematian teratas ini faktor penyebabnya adalah hipertensi. Hipertensi

dikategorikan sebagai the silent killer karena penderita tidak mengetahui dirinya

mengidap hipertensi atau tidak sebelum memeriksakan tekanan darahnya (Didik,

2015).

Hipertensi atau tekanan darah tinggi didefinisikan sebagai peningkatan

tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih

dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam

keadaan cukup istirahat/tenang. Peningkatan tekanan darah yang berlangsung

dalam jangka waktu lama (persisten) dapat menimbulkan kerusakan pada ginjal

(gagal ginjal), jantung (penyakit jantung koroner) dan otak (menyebabkan stroke)

bila tidak dideteksi secara dini dan mendapat pengobatan yang memadai

(Kemenkes RI, 2014).

Data World Health Organization (WHO) tahun 2011 menunjukkan satu

milyar orang di dunia menderita hipertensi, 2/3 diantaranya berada di negara

berkembang yang berpenghasilan rendah sampai sedang. Prevalensi hipertensi


2

akan terus meningkat tajam dan diprediksi pada tahun 2025 sebanyak 29% orang

dewasa di seluruh dunia terkena hipertensi. (Dirjen P2PTM Kemenkes RI, 2017).

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prevalensi hipertensi

seperti umur, pendidikan, pekerjaan, berat badan lebih dan obesitas. Prevalensi

hipertensi berdasarkan hasil pengukuran pada penduduk umur ≥18 tahun menurut

Riskesdas tahun 2018 adalah 34,1 %. Hasil ini lebih tinggi dari hasil pengukuran

Riskesdas tahun 2013 yang berjumlah 25,8% (Kemenkes RI, 2018).

Di Jawa Tengah penyakit hipertensi masih menempati proporsi terbesar

dari seluruh penyakit tidak menular dengan jumlah 57,10%, disusul urutan kedua

terbanyak adalah Diabetes Mellitus sebesar 20,57% dan ketiga penyakit jantung

sebesar 9,82%. Penyakit hipertensi berkaitan erat dengan faktor perilaku dan pola

hidup. Pengendalian hipertensi dilakukan dengan perubahan perilaku, antara lain

menghindari asap rokok, diet sehat, rajin aktifitas fisik, dan tidak mengkonsumsi

alkohol (Dinkes Prop. Jateng, 2018).

Penyakit hipertensi di Kabupaten Purbalingga menempati urutan pertama

dengan jumlah 21.465 kasus, disusul oleh Diabetes Mellitus sebanyak 9.441

kasus dan asma bronkial sebanyak 2.888 kasus. Sementara untuk UPTD

Puskesmas Rembang menempati urutan empat besar dari 22 Puskesmas di

Kabupaten Purbalingga dalam hal kasus hipertensi. Jumlah kasus hipertensi

tahun 2018 di wilayah kerja UPTD (Unit Pelaksana Teknis Dinas) Puskesmas

Rembang adalah sebesar 932 orang (29,57%) dari 3.152 orang usia ≥ 18 tahun

yang dilakukan pengukuran tekanan darah (Dinkes Kab. Purbalingga, 2019).


3

Data sementara dari laporan 10 besar penyakit UPTD (Unit Pelaksana

Teknis Dinas) Puskesmas Rembang Kabupaten Purbalingga yang diperoleh dari

Sistem Informasi Manajemen Puskesmas (Simpus) periode Januari-Oktober

2019, kasus hipertensi menempati urutan pertama sebanyak 2.286 pasien atau

9,33 % dari seluruh kunjungan puskesmas (Puskesmas Rembang, 2019).

Maria dan Pikir (Pikir et al., 2015) menyatakan bahwa pada setiap jenis

hipertensi dapat timbul krisis hipertensi diantaranya hipertensi urgensi dan

hipertensi emergensi, dimana tekanan darah diastole sangat meningkat sampai

120-130 mmHg yang merupakan suatu kegawatan medik dan memerlukan

pengelolaan yang cepat dan tepat untuk menyelamatkan jiwa penderita. Dari

jurnal penanganan terbaru tentang hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi

yang ditulis oleh Mako et al., (2018) hipertensi urgensi merupakan peningkatan

tekanan darah yang parah yaitu > 180/120 mmHg tetepi tanpa adanya tanda-

tanda kerusakan organ target akut. Tekanan darah harus diturunkan secara

progresif dalam waktu 24-48 jam dengan menggunakan obat oral antihipertensi

dan sangat dianjurkan untuk pengawasan rawat jalan. Penurunan tekanan darah

harus bertahap karena tidak ada konfirmasi manfaat dari penurunan tekanan

darah yang cepat pada pasien tanpa gejala kerusakan organ target akut. Selain itu

penurunan tekanan darah yang cepat dapat menghasilkan kerusakan organ seperti

iskemik otak dan miokard. Dari kesimpulan hasil penelitian yang dilakukan oleh

Yogarajah et al., (2015) salah satu komplikasi dari hipertensi urgensi yaitu

Hematoma Iliopsoas adalah entitas klinis yang jarang yang bisa timbul sebagai

nyeri pinggul dan bisa berakibat fatal jika tidak didiagnosis tepat waktu. Tekanan
4

darah tinggi bisa menjadi faktor risiko meskipun sejauh ini tidak dilaporkan

dalam literatur.

Maria dan Pikir (Pikir et al., 2015) angka kejadiannya krisis hipertensi di

negara maju berkisar 2-7% dari seluruh populasi hipertensi dan di Amerika

kurang lebih 1% sedangakan di Indonesia masih belum ada laporan tentang

angka kejadian ini. Pratiwi (2019) hipertensi urgensi terjadi pada 1 miliar

populasi dunia dan berperan terhadap 7,1 juta kematian di dunia setiap tahunnya.

Frekuensi kasus hipertensi urgensi sebesar 76% lebih tinggi dibandingkan

dengan kasus hipertensi emergensi sebesar 24%. Dari kasus hipertensi yang ada

di UPTD (Unit Pelaksana Teknis Dinas) Puskesmas Rembang periode Januari-

Oktober 2018, terdapat 58 kasus hipertensi urgensi yang tercatat di ruang gawat

darurat atau lebih dari 2% dari seluruh kasus hipertensi dan merupakan pasien

dengan riwayat kunjungan yang tidak rutin dan pengobatan tidak terkontrol

(Puskesmas Rembang, 2019).

Gupta dan Pikir (Pikir et al., 2015) dalam berbagai macam hal, sering

ditemukan kondisi bahwa penderita hipertensi tidak dapat memiliki kehidupan

seperti orang lain yang normal. Hal ini sebenarnya dilakukan agar tekanan darah

dapat berada dalam kondisi normal. Penatalaksanaan hipertensi secara

komprehensif akan meurunkan kejadian kardiovaskular. Tata laksana pada

penderita hipertensi meliputi manajemen farmakologi dan non-farmakologi.

Manajemen farmakologi dilakukan dengan memberikan obat anti hipertensi,

sedangkan manajemen non-farmakologis atau modifikasi gaya hidup meliputi

membatasi asupan garam, modifikasi diet/nutrisi, penurunan berat badan,olah


5

raga rutin dan berhenti merokok. Hidayat (2016) individu dengan penyakit

hipertensi disarankan untuk melaksanakan self-management sebagai salah satu

manajemen penyakit dalam kehidupan sehari-hari. Self management sebagai

intervensi secara sistematik pada penyakit kronis adalah dengan mengontrol

keadaan diri dan mampu membuat keputusan dalam perencanaan pengobatan.

Pikir et al (2015) Semua pasien hipertensi harus melakukan perubahan pola

hidup. Pasien hipertensi dengan risiko kardiovaskular tinggi harus diobati lebih

agresif dibandingkan dengan mereka yang memiliki risiko kardiovaskular

rendah. Manajemen yang tepat terhadap hipertensi berat sangat penting untuk

mencegah kerusakan dari target organ.

Penelitian yang dilakukan oleh Lestari dan Isnaini (2018) tentang self

management hipertensi menunjukkan bahwa ada pengaruh positif yang sangat

signifikan antara self management dengan tekanan darah (sistolik dan diastolik).

Hasil penelitian di Malaysia oleh Wei et al., (2017) menunjukkan bahwa

konsumsi obat dianggap sebagai faktor paling penting dalam mengendalikan

hipertensi dibandingkan dengan modifikasi gaya hidup atau diet. Penelitian lain

yang dilakukan Nengrum dan Wahyudi (2019) menunjukkan bahwa ada

pengaruh yang signifikan dari penerapan Chronic Condition Self-Management

(CCSM) terhadap kepatuhan pengobatan dan diharapkan perawat dapat

menggunakan CCSM sebagai suatu program promosi kesehatan untuk

meningkatkan kepatuhan pengobatan pada pasien hipertensi kronis. Penelitian

lain tentang pengaruh self management terhadap hipertensi juga dilakukan oleh

Cahyani (2019) dimana self management hipertensi pada pasien prolanis


6

terbanyak masih dalam kategori sedang. Begitu pula Penelitian yang dilakukan

oleh Hidayat (2016) menyatakan bahwa sebagian besar responden hipertensi

mempunyai self care management yang sedang pada 5 komponen self

management.

Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian tentang “Self Management Pada Pasien Hipertensi Urgensi di UPTD

(Unit Pelaksana Teknis Dinas) Puskesmas Rembang Kabupaten Purbalingga”.

B. RUMUSAN MASALAH

Hipertensi urgensi merupakan hipertensi berat yaitu tekanan darah >

180/120 mmHg, merupakan komplikasi yang sering dari penderita dengan

hipertensi yang memerlukan penanganan segera dan dibutuhkan manajemen

farmakologi maupun non farmakologi yang tepat terhadap penyakitnya. Self

management terhadap hipertensi sebagai intervensi secara sistematik pada

penyakit kronis merupakan hal yang sangat penting. Rumusan masalah yang

diangkat berdasarkan latar belakang diatas adalah : “Bagaimanakah gambaran

self management pada pasien hipertensi urgensi di UPTD (Unit Pelaksana Teknis

Dinas) Puskesmas Rembang Kabupaten Purbalingga?”


7

C. TUJUAN PENELITIAN

1. Tujuan Umum

Mengetahui gambaran self management pada pasien hipertensi urgensi di

UPTD (Unit Pelaksana Teknis Dinas) Puskesmas Rembang Kabupaten

Purbalingga.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui gambaran karakteristik pasien hipertensi urgensi di UPTD

(Unit Pelaksana Teknis Dinas) Puskesmas Rembang Purbalingga yang

meliputi data demografi yaitu umur, jenis kelamin, pendidikan,

pekerjaan, pendapatan perbulan dan ada tidaknya anggota keluarga.

Serta data terkait kesehatan yaitu lama diagnosis, riwayat merokok,

konsumsi alkohol, penyakit penyerta, IMT, dan konsumsi obat

hipertensi.

b. Mengetahui gambaran integrasi diri pasien hipertensi urgensi di UPTD

(Unit Pelaksana Teknis Dinas) Puskesmas Rembang Kabupaten

Purbalingga.

c. Mengetahui gambaran regulasi diri pasien hipertensi urgensi di UPTD

(Unit Pelaksana Teknis Dinas) Puskesmas Rembang Kabupaten

Purbalingga.

d. Mengetahui gambaran interaksi pasien dengan tenaga kesehatan dan

lainnya pada pasien hipertensi urgensi di UPTD (Unit Pelaksana Teknis

Dinas) Puskesmas Rembang Kabupaten Purbalingga.


8

e. Mengetahui gambaran pemantauan tekanan darah pada pasien hipertensi

urgensi di UPTD (Unit Pelaksana Teknis Dinas) Puskesmas Rembang

Kabupaten Purbalingga.

f. Mengetahui gambaran kepatuhan terhadap aturan yang dianjurkan pada

pasien hipertensi urgensi di UPTD (Unit Pelaksana Teknis Dinas)

Puskesmas Rembang Kabupaten Purbalingga.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Teoritis

Sebagai sarana penerapan ilmu yang telah didapatkan selama mengikuti

perkuliahan, menambah pengetahuan, pengalaman, wawasan dan

keterampilan dalam menangani masalah kesehatan.

2. Manfaat praktis

a. Bagi Peneliti

Menambah wawasan peneliti sebagai pembelajaran dan pengembangan

kompetensi diri.

b. Bagi UPTD (Unit Pelaksana Teknis Dinas) Puskesmas Rembang

Penelitian ini dapat memberikan gambaran self management gaya hidup

penderita dalam mengendalikan hipertensi, sehingga kader-kader serta

tenaga kesehatan dapat melakukan promosi maupun pendidikan kesehatan

yang tepat dan cepat untuk meminimalisir terjadinya komplikasi akibat

dari penyakit hipertensi.


9

c. Bagi Pelayan Kesehatan

Menambah informasi gambaran self management penderita hipertensi

urgensi bagi tim pelayanan kesehatan interprofesional yaitu dokter,

perawat, ahli gizi, apoteker dalam memberikan edukasi kepada penderita

seperti kepatuhan terapi obat, motivasi, manajemen diri serta untuk

meningkatkan kepuasan pasien dan menurunkan biaya perawatan

kesehatan

d. Bagi Peneliti Selanjutnya

Penelitian ini bisa sebagai referensi dan acuan untuk penelitian hipertensi

selanjutnya.

e. Bagi Responden

Hasil penelitian dapat menjadi masukan dan informasi bagi responden

dalam upaya meningkatkan self management terhadap penyakit hipertensi.

E. KEASLIAN PENELITIAN

Tabel 1.1 Keaslian Penelitian

Nama Judul Penelitian Tahun Metode dan Hasil Persamaan dan


Penelitian Perbedaan
Inda Galuh Pengaruh Self 2018 Deskriptif analitik, Persamaan :
Lestari dan Management Terhadap pendekatan cross deskriptif,
Nur Isnaini Tekanan Darah Lansia sectional. Responden kuesioner.
Yang Mengalami sebagian besar Perbedaan : metode
Hipertensi mempunyai self non experimental,
management yang sedang, tahun dan lokasi
yaitu sebanyak 21 orang penelitian.
(58,3%) dalam arti ada
pengaruh positif yang
sangat signifikan antara
self management dengan
tekanan darah (sistolik
dan diastolik).
Yuni Eka Gambaran Self 2019 Deskriptif analitik, Persamaan :
Cahyani Management Penderita pendekatan cross deskriptif,
10

Hipertensi di sectional. Self kuesioner, tahun


Puskesmas Grogol management hipertensi penelitian.
Kabupaten Sukoharjo terbanyak dalam kategori Perbedaan : metode
cukup, responden yang non experimental
mengikuti kegiatan dan lokasi
Prolanis di Puskesmas penelitian.
Grogol Kabupaten
Sukoharjo telah
melaksanakan dan
menerapkan self
management dalam
memonitoring penyakit
hipertensinya.
Lilis Sulistiya Pengaruh Penerapan 2019 Quasi-experimental Persamaan :
Nengrum dan Chronic Condition dengan pretest dan deskriptif,
Angga Setya Self-Management posttest one group kuesioner, tahun
Wahyudi (CCSM) Terhadap discussion. Ada pengaruh penelitian.
Kepatuhan Pengobatan yang signifikan dari Perbedaan : metode
Pasien Hipertensi penerapan Chronic non experimental
Peserta Prolanis BPJS Condition Self- dan lokasi
di Malang Jawa Timur Management (CCSM) penelitian.
terhadap kepatuhan
pengobatan dengan p
value 0,000 (p<0,05).
Tan Mei Wei Self- management 2017 Surveycross-sectional, Persamaan :
approaches among Dari semua penghuni deskriptif
hypertensive resident hipertensi, 90,5% (n = Perbedaan : metode
in nursing homes in 181) tahu bahwa non experimental,
Malaysia menurunkan tekanan tahun dan lokasi
darah mereka bisa penelitian
meningkatkan kesehatan
mereka.
Sebagian besar penduduk
sangat percaya bahwa
minum obat antihipertensi
adalah penting
untuk menjaga tekanan
darah tinggi mereka
terkendali (n = 162, 81%).
Ihda Gambaran Self Care 2016 Deskriptif kuantitatif, Persamaan :
Rohadatul Management Klien pendekatan survey. Self deskriptif, non
‘Aisyah Hipertensi di care management klien experimental
Hidayat Kelurahan Pudak hipertensi dalam kategori Perbedaan : tahun
Payung Semarang cukup sebanyak 73,2%. dan lokasi
Kelima komponen juga penelitian
menunjukkan kategori
cukup, yaitu 78,6% pada
integrasi diri, 66,1% pada
regulasi diri, 62,5% pada
interaksi dengan tenaga
kesehatan dan lainnya,
58,9% pada pemantauan
tekanan darah, dan 79,5%
pada kepatuhan terhadap
aturan yang dianjurkan.
11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. TINJAUAN TEORI

1. Hipertensi

a. Definisi Hipertensi

Tekanan darah merupakan gaya yang diberikan darah terhadap

dinding pembuluh darah dan ditimbulkan oleh desakan darah terhadap

dinding arteri ketika darah tersebut dipompa dari jantung ke jaringan.

Besar tekanan bervariasi tergantung pada pembuluh darah dan denyut

jantung. Tekanan darah paling tinggi terjadi ketika ventrikel berkontraksi

(tekanan sistolik) dan paling rendah ketika ventrikel berelaksasi (tekanan

diastolik). Pada keadaan hipertensi, tekanan darah meningkat yang

ditimbulkan karena darah dipompakan melalui pembuluh darah dengan

kekuatan berlebih (WHO, 2011).

Hipertensi atau tekanan darah tinggi, merupakan suatu gangguan

dimana tekanan darah sistolik dan diastolik seseorang meningkat secara

intermitten dan menetap pada arteri. Hipertensi ditandai dengan

peningkatan tekanan darah sistolik di atas 140 mmHg dan tekanan darah

diastolik di atas 90 mmHg, dimana pada kondisi normal tekanan darah

sistolik berkisar pada 120-140 mmHg dan tekanan diastolik berkisar pada

70-90 mmHg (Cheng and Bina, 2015).


12

Identifikasi awal maupun penegakan diagnosa hipertensi menjadi

sangat penting karena berkaitan pemberian terapi dini pada hipertensi

krisis, baik hipertensi emergency maupun hipertensi urgensi khususnya,

maupun diagnose hipertensi secara umum. Hal ini dimaksudkan sebagai

upaya pencegahan terjadinya kerusakan target organ serta mencegah

komplikasi lebih lanjut dari hipertensi (Pikir et al., 2015)

b. Klasifikasi Hipertensi

Klasifikasi hipertensi sesuai dengan JNC-VII (The Eight Joint

National Comitee) on prevention, Detection, Evaluation and Treatment of

High Blood Pressure, antara lain:

Tabel 2.1. Klasifikasi Hipertensi menurut JNC-VII

Klasifikasi Tekanan Darah Tekanan Darah Sistol Tekanan Darah Diastol


(mmHg) (mmHg)

Normal < 120 < 80


Pre hipertensi 120-139 80-89
Hipertensi Stage I 140-159 90-99
Hipertensi Stage II 160 atau > 160 100 atau >100
Dikutip dari Pikir et al., 2015. Hipertensi Manajemen Komprehensif. Airlangga University
Press. Surabaya.

Tabel 2.2. Klasifikasi Hipertensi menurut ESH/ESC guideline

Klasifikasi Tekanan Tekanan Darah Tekanan Darah


Darah Sistol (mmHg) Diastol (mmHg)

Optimal <120 dan < 80


Normal 120-129 dan/atau 80-84
Normal tinggi 130-139 dan/atau 85-89
Hipertensi grade 1 140-159 dan/atau 90-99
Hipertensi grade 2 160-179 dan/atau 100-109
Hipertensi grade 3 ≥180 dan/atau ≥110
Hipertensi sistol terisolasi ≥140 dan <90

Dikutip dari Definitions and classification of office blood pressure levels (mmHg) :ESH and
ESC guidelines
13

c. Tipe Hipertensi

Kaplan dan Pikir (Pikir et al., 2015) menyatakan bahwa hipertensi

dibagi menjadi dua jenis berdasarkan dari penyebabnya, yaitu:

1) Hipertensi esensial (primer)

Hipertensi esensial atau hipertensi primer merupakan

hipertensi yang penyebabnya tidak jelas dan masih kurang begitu

dipahami. Berbagai faktor diduga terlibat di dalamnya termasuk

adanya peningkatan aktivitas saraf simpatis dan peningkatan aktivitas

angiotensin II. Penyebabnya adalah multifaktor, diantaranya yaitu

faktor genetik dan lingkungan. Hipertensi cenderung lebih sering

pada kulit hitam dan pada riwayat keluarga dengan hipertensi.

Sedangkan yang termasuk faktor lingkungan adalah pola diet,

kebiasaan merokok, emosi, obesitas, dan penerapan pola hidup yang

kurang baik.

2) Hipertensi sekunder

Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang penyebabnya

diketahui. Penyebab yang dimaksud diantaranya yaitu penyakit ginjal

primer terutama dengan kelainan glomerulus atau gangguan

pembuluh darah diginjal, kontrasepsi oral, aldosteronisme primer,

penyakit renovascular terjadi terutama pada pasien dengan

aterosklerosis, kelainan hormonal, gangguan endokrin.


14

d. Faktor Risiko Hipertensi

Faktor risiko hipertensi dibagi menjadi faktor yang tidak dapat

dimodifikasi dan faktor yang dapat dimodifikasi (Pikir et al., 2015). Faktor-

faktor tersebut diantaranya :

1) Faktor yang tidak dapat dimodifikasi

Beberapa faktor risiko hipertensi yang tidak dapat dimodifikasi

diantaranya:

a) Genetik

Genetik merupakan faktor predisposisi yang membuat seseorang

lebih rentan terhadap hipertensi karena gen yang diturunkan dari

orang tua. Pada kelompok kulit hitam terdapat hubungan dengan

nilai natrium intraselular dan terjadi penurunan rasio kalium dan

natrium. Seseorang dengan orang tua yang memiliki hipertensi

berisiko 15-35% lebih besar terkena hipertensi dibandingkan

dengan seseorang yang tidak memiliki keluarga dengan riwayat

hipertensi.

b) Usia

Tekanan darah sistolik meningkat progresif sesuai usia dan orang

lanjut usia dengan hipertensi merupakan risiko besar untuk penyakit

kardiovaskular. Kejadian tersebut disebabkan karena pengaruh

degenerasi yang terjadi pada seorang lansia. Bertambahnya usia

seseorang menyebabkan terjadinya penurunan elastisitas pembuluh


15

darah yang berperan terhadap peningkatan tekanan perifer total

yang berpengaruh terhadap peningkatan tekanan darah.

c) Jenis Kelamin

Tingkat kejadian hipertensi berkaitan dengan jenis kelamin laki-laki

dan usia. Namun pada usia tua, risiko hipertensi meningkat tajam

pada perempuan dibandingkan laki-laki. Hormon seks berkontribusi

terhadap perbedaan gender dalam kontrol tekanan darah. 55%

perempuan hipertensi berusia lebih dari 40 tahun.

2) Faktor yang dapat dimodifikasi

Beberapa faktor risiko hipertensi yang dapat dimodifikasi diantaranya

adalah :

a) Obesitas

Obesitas merupakan factor risiko sangat penting untuk hipertensi.

Individu dengan obesitas mempunyai risiko lebih tinggi signifikan

terjadinya hipertensi. Body Mass Index (BMI) >24,4 kg/m

dihubungkan dengan peningkatan penyakit kardiovaskuler.

Penurunan berat badan menurunkan tekanan darah dan memberikan

efek menguntungkan pada faktor risiko terkait, seperti resistensi

insulin, diabetes mellitus, hyperlipidemia, dan hipertropi ventrikel

kiri.

b) Stres

Stres merupakan stimuli intrinsic atau ekstrinsik menyebabkan

gangguan fisiologi dan psikologi dan dapat membahayakan


16

kesehatan. Stres meningkatkan resistan vascular perifer, cardiac

output, dan aktifitas sistem saraf simpatis. Stres dalam jangka waktu

yang lama dapat mengakibatkan terjadinya hipertensi. Stres terjadi

melalui aktifitas saraf simpatis (saraf yang bekerja pada saat

beraktifitas). Peningkatan aktifitas saraf simpatis mengakibatkan

meningkatnya tekanan darah secara intermitten karena merangsang

kelenjar adrenal sehingga melepaskan hormon adrenal dan memacu

jantung berdenyut lebih cepat serta lebih kuat yang menyebabkan

meningkatnya tekanan darah.

c) Diet garam (Natrium)

Konsumsi tinggi natrium merupakan salah satu faktor penyebab

dalam hipertensi esensial. Pasien dengan tekanan darah normal

tinggi sebaiknya konsumsi tidak lebih dari 100 mmol garam

perhari. Asupan garam dapat menyebabkan rigiditas otot polos

vascular, oleh karena itu asupan garam berlebihan dapat

menyebabkan hipertensi.

d) Dislipidemia

Dislipidemia adalah satu predictor kuat dari penyakit

kardiovaskular. Diet seseorang erat kaitannya terhadap kejadian

penyakit hipertensi. Diet dan pemilihan makanan yang tidak sehat

dapat mempengaruhi tekanan darah, karena dalam beberapa

makanan ada yang memiliki pengaruh terhadap tekanan darah

seperti mengkonsumsi lemak dan kolesterol yang berlebih dapat


17

berpengaruh terhadap kekentalan darah dan dapat berpengaruh pada

tekanan darah seseorang.

e) Rokok dan alkohol

Rokok menghasilkan nikotin dan karbon monoksida, suatu

vasokonstriktor poten menyebabkan hipertensi. Merokok

menyebabkan aktivasi simpatetik, stress oksidatif dan efek

vasopresor akut yang dihubungkan dengan peningkatan marker

inflamasi, yang akan mengakibatkan disfungsi endotel, cidera

pembuluh darah, dan meningkatnya kekakuan pembuluh darah.

Kejadian hipertensi selalu tinggi pada orang yang minum lebih dari

40 mg etanol per hari. Konsumsi alkohol akan meningkatkan risiko

hipertensi, namun mekanismenya belum jelas. Terjadinya hipertensi

lebih tinggi pada peminum alkohol berat akibat dari aktivasi

simpatetik.

f) Latihan Fisik

Aktivitas fisik menurunkan risiko terjadinya hipertensi dan

diabetes. Mekanismenya melibatkan perubahan berat badan dan

toleransi glukosa dan juga faktor lain. Latihan fisik dapat

menurunkan tahanan perifer, norepinefrin plasma, aktivitas renin

plasma dan tekanan darah.


18

g) Pengetahuan/ pendidikan

Hipertensi berhubungan terbalik dengan tingkat edukasi. Banyak

orang dengan hipertensi tidak terkontrol karena tidak menyadari

dan mengetahui akan penyakitnya.

e. Manifestasi Klinis Hipertensi

Corwin dan Hidayat (Hidayat et al, 2016) menyatakan hasil

pemeriksaan fisik pada klien dengan hipertensi kebanyakan tidak ditemukan

manifestasi klinis apapun selain tekanan darah yang tinggi. Manifestasi

klinis dirasakan oleh klien setelah mengalami hipertensi dalam waktu yang

lama. Hal itu disebabkan karena adanya kerusakan vaskuler dengan

manifestasi yang khas sesuai dengan sistem organ yang bersangkutan.

Manifestasi klinis yang dirasakan atau muncul pada klien diantaranya

pusing, pusing seperti berputar, sakit kepala sebagian atau menyeluruh yang

terkadang disertai mual dan muntah, penglihatan kabur akibat kerusakan

pada retina, edema, pembengkakan akibat peningkatan tekanan pembuluh

kapiler, penyempitan pembuluh darah, terjadinya perdarahan pada organ

tertentu seperti otak sehingga dapat mengakibatkan stroke, dan pada kasus

yang berat dapat terjadi pula edema pupil.

f. Patofisiologi

Mekanisme patofisiologi hipertensi meliputi mekanisme retensi

sodium oleh renal, mekanisme hormonal melalui system RAA, mekanisme

neural yaitu peningkatan aktivitas system saraf simpatis dan mekanisme

vaskuler yaitu disfungsi endotel (Pikir et al., 2015)


19

Pada sistem saraf dan endokrin terjadi peningkatan aktivitas sistem

saraf dan jumlah hormon yang disekresikan. Aktivitas sistem saraf simpatis

meningkat pada hipertensi. Penyebab aktivasi sistem saraf simpatis masih

belum jelas. Selain itu, peningkatan mineralokortikoid atau aldosteron serta

kortisol yang disekresikan oleh kelenjar adrenal juga dapat meningkatkan

tekanan arteri dengan mengaktivasi reseptor mineralo kortikoid. Aktivasi

sistem renin angiotensin juga berperan dalam terjadinya hipertensi. Aktivitas

renin plasma dan konsentrasi angiotensin II plasma meningkat pada

hipertensi. Pada keadaan resistensi insulin juga dapat terjadi gangguan

kapasitas hiperinsulinemia postpandrial dengan menekan lipolisis yang

menyebabkan pelepasan asam lemak bebas lebih banyak. Pelepasan asam

lemak bebas ini menyebabkan terjadinya disfungsi endotel hingga pada

akhirnya menyebabkan hipertensi.

Pada sistem kardiovaskular terjadi gangguan fungsi endotel yang

dapat menyebabkan hipertensi. Endotel vaskular berperan dalam regulasi

resistensi vaskular. Aktivasi nitrit oksida yang berasal dari endotel berperan

dalam relaksasi vaskular. Disfungsi endotel vaskular menyebabkan

konstriksi pembuluh darah sehingga resistensi perifer meningkat.

Pada sistem urinaria, mekanisme sistem renal terkait dengan retensi

sodium renal dan gangguan tekanan natriuresis dapat mengakibatkan

terjadinya hipertensi. Peningkatan reabsorbsi sodium tubular terkait dengan

peningkatan aliran ke ginjal. Hal ini menyebabkan peningkatan tekanan

darah.
20

g. Komplikasi

Hipertensi apabila dibiarkan dalam waktu yang lama dapat

menyebabkan perubahan pada arteri, yang serupa dengan perubahan akibat

penuaan. Perubahan ini mencakup kerusakan endotel dan arteriosklerosis.

Arterosklerosis yaitu suatu penebalan dan peningkatan kandungan jaringan

ikat dinding arteri yang menurunkan komplians arteri. Perubahan pada

struktur pembuluh darah yang dikombinasi dengan peningkatan tekanan

arterial akan memacu aterosklerosis, penyakit jantung koroner, hipertrofi

ventrikel kiri, dan kerusakan ginjal (Aaronson and Ward, 2010). Corwin dan

Hidayat (Hidayat et al, 2016) beberapa komplikasi yang timbul akibat

hipertensi diantaranya :

1) Penyakit Jantung Koroner

Penyakit ini sering dialami penderita hipertensi sebagai akibat terjadinya

pengapuran pada dinding pembuluh darah jantung. Penyempitan lubang

pembuluh darah jantung menyebabkan berkurangnya aliran darah pada

beberapa bagian otot jantung. Hal ini menyebabkan rasa nyeri di dada

dan dapat berakibat terjadinya gangguan pada otot jantung, bahkan

dapat menyebabkan timbulnya serangan jantung.

2) Gagal Jantung

Tekanan darah yang tinggi memaksa otot jantung bekerja lebih berat

untuk memompa darah. Kondisi tersebut membuat otot jantung menebal

dan meregang sehingga daya pompa otot jantung menurun. Apabila

kondisi tersebut berlangsung dalam waktu yang lama, dapat


21

menyebabkan terjadinya kegagalan kerja jantung. Tanda-tanda

terjadinya komplikasi gagal jantung yaitu sesak napas, napas pendek

(putus-putus), dan terjadinya pembengkakan tungkai bawah serta kaki.

3) Stroke

Stroke dapat terjadi akibat adanya perdarahan yang disebabkan oleh

tekanan tinggi di otak, atau akibat embolus yang terlepas dari pembuluh

selain otak karena adanya tekanan tinggi. Stroke dapat terjadi apabila

arteri yang memperdarahi otak mengalami penebalan dan hipertrofi

sehingga aliran darah ke otak berkurang dan terjadi aneurisma. Stroke

pada beberapa kasus juga terjadi akibat adanya kerusakan dinding

pembuluh darah atau bahkan pecahnya pembuluh darah pada otak.

4) Infark Miokard

Infark miokard dapat terjadi apabila arteri koroner mengalami

aterosklerosis atau terbentuknya trombus yang menghambat aliran darah

sehingga tidak dapat menyuplai cukup oksigen ke miokardium.

Kebutuhan oksigen yang tidak mencukupi pada miokardium dapat

menyebabkan jantung mengalami iskemia dan kemudian mengalami

infark.

5) Gagal Ginjal

Gagal ginjal dapat terjadi karena adanya kerusakan progresif akibat

tekanan tinggi pada pembuluh kapiler glomerulus ginjal. Rusaknya

glomerulus dapat menyebabkan aliran darah ke neufron terganggu dan

dapat menyebabkan terjadinya hipoksia dan akhirnya kematian pada


22

neufron. Rusaknya glomerulus juga dapat menyebabkan protein keluar

melalui urin sehingga osmolaritas plasma darah berkurang dan

menyebabkan edema.

6) Ensefalopati (Kerusakan Otak)

Ensefalopati biasanya ditemukan pada hipertensi maligna. Tekanan

darah yang sangat tinggi menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan

pembuluh kapiler dan mendorong cairan ke ruang interstisial di seluruh

susunan saraf pusat. Kemudian neuron-neuron disekitarnya menjadi

kolaps sehingga menyebabkan koma serta kematian.

h. Penatalaksanaan

Tujuan melakukan penatalaksanaan hipertensi adalah untuk

menormalkan tekanan darah dan menurunkan faktor risiko dalam

mengendalikan angka kesakitan dan kematian akibat hipertensi dengan

melakukan pengontrolan tekanan darah dan mengendalikan faktor resiko

(Black and Hawks, 2014). Penatalaksanaan hipertensi dilakukan secara

farmakologis dan non farmakologis, yaitu:

1) Penatalaksanaan Farmakologis

Menurut Corwin dan Hidayat (Hidayat et al, 2016) terdapat lima obat

yang apabila dikonsumsi salah satunya dapat membantu dalam

mengontrol tekanan darah klien, yaitu diuretik tiazid, penghambat

adrenergik, penghambat angiotensin converting enzyme (ACEI),

calcium channel blocker (CCB), dan angiotensin receptor blocker

(ARB), yaitu :
23

a) Diuretik

Diuretik bekerja dengan meningkatkan ekskresi garam dan air di

tubulus ginjal, sehingga terjadi penurunan curah jantung karena

terdapat penurunan volume plasma dan volume cairan ekstraselular.

b) Penghambat adrenergik

Penghambat adrenergik adalah sekelompok obat yang terdiri dari

alfa-blocker dan beta-blocker. Beta-blocker bekerja pada reseptor

beta di jantung untuk menurunkan denyut jantung dengan

menurunkan curah jantung dan kontraktilitas otot jantung. Alfa-

blocker bekerja menurunkan aliran balik vena tetapi tidak

menyebabkan takikardia. Curah jantung tetap atau meningkat dan

volume plasma biasanya tidak berubah. Efek antihipertensi alfa-

blocker didasarkan pada vasodilatasi arteriol perifer. Penggunaan

alfa-blocker yang lama sebelum tidur efektif untuk mencegah

peningkatan tekanan darah di pagi hari.

c) ACE inhibitor

Obat ini menghambat konversi angiotensin I menjadi angiotensin II

sehingga mengganggu Renin Angiotensin Aldosteron (RAA).

Aktivitas renin plasma meningkat, kadar angiotensin II dan

aldosteron menurun, volume cairan menurun, dan terjadi

vasodilatasi.
24

d) Calcium Channel Blocker (CCB)

CCB menurunkan kontraksi otot polos jantung atau arteri dengan

mengintervensi influks kalsium yang dibutuhkan untuk kontraksi.

Sebagian CCB bersifat lebih spesifik untuk saluran kalsium otot

jantung dan sebagian yang lain lebih spesifik untuk saluran kalsium

otot polos vaskular.

e) Angiotensin Receptor Blocker (ARB)

ARB bekerja seperti ACE inhibitor yaitu mengganggu sistem RAA.

ARB menghambat ikatan angiotensin II pada salah satu

reseptornya.

Pedoman tatalaksana hipertensi yang dikeluarkan oleh JNC 8 di

tahun 2013 dengan 9 rekomendasi terkait target tekanan darah dan

golongan agen antihipertensi. Rekomendasi 1 hingga 5

merekomendasikan target tekanan darah yang harus dicapai penderita

hipertensi sesuai usia dan penyakit komorbiditas yang dimiliki.

Rekomendasi 6 hingga 9 merekomendasikan agen antihipertensi yang

dapat digunakan sesuai usia, ras, dan penyakit komorbiditas yang

dimiliki (James et al., 2014). Berikut ini adalah rekomendasi target

tekanan darah yang disarankan oleh JNC VIII:

a) Rekomendasi 1 pada populasi umum yang berusia lebih dari atau

sama dengan 60 tahun menyarankan agar terapi farmakologis

dimulai untuk menurunkan tekanan darah hingga mencapai target

sistolik <150 mmHg dan diastolik <90 mmHg.


25

b) Rekomendasi 2 dan 3 pada populasi umum yang berusia kurang

dari 60 tahun menyarankan agar terapi farmakologis dimulai untuk

mencapai target diastolik <90 mmHg dan sistolik <140 mmHg.

c) Rekomendasi 4 dan 5 pada populasi berusia ≥18 tahun dengan gagal

ginjal kronis atau diabetes menyarankan agar terapi farmakologis

dimulai untuk mencapai target sistolik <140 mmHg dan diastolik

<90mmHg.

d) Rekomendasi 6 pada populasi berkulit tidak hitam, termasuk

populasi dengan diabetes, menyarankan agar terapi antihipertensi

dimulai dengan diuretik jenis tiazid, calcium channel blocker

(CCB), angiotensin-converting enzyme inhibitor (ACEI), atau

angiotensin receptor blocker (ARB).

e) Rekomendasi 7 pada populasi berkulit hitam, termasuk populasi

dengan diabetes, menyarankan agar terapi antihipertensi dimulai

dengan diuretik jenis tiazid atau CCB.

f) Rekomendasi 8 pada populasi berusia ≥ 18 tahun dengan gagal

ginjal ginjal kronis menyarankan agar terapi antihipertensi dimulai

dengan ACEI atau ARB.

g) Rekomendasi 9, terapi hipertensi bertujuan untuk mencapai dan

menjaga target tekanan darah. Jika target tekanan darah tidak

tercapai dalam satu bulan, dosis obat pertama ditingkatkan atau obat

kedua dari berbagai kelas antihipertensi pada rekomendasi 6


26

ditambahkan. Jika target tekanan darah tidak tercapai kembali, obat

ketiga perlu ditambahkan dan dititrasi (James et al., 2014).

2) Penatalaksanaan Non Farmakologis

Modifikasi gaya hidup mengacu pada JNC VII diantaranya (Muhadi,

2016) :

a) Penurunan berat badan

Penurunan berat badan dapat menurankan tekanan darah sistolik 5-

20 mmHg/penurunan 10 kg. Rekomendasi ukuran pinggang <94 cm

untuk pria dan <80 cm untuk wanita, indeks massa tubuh <25 kg/m.

Rekomendasi penurunan berat badan meliputi nasihat mengurangi

asupan kalori dan juga meningkatkan aktivitas ñsik.

b) Pembatasan konsumsi alkohol

Pembatasan konsumsi alkohol dapat menurunkan tekanan darah

sistolik 2-4 mmHg. Maksimum 2 minuman standar/hari: 1 oz atau

30 ml ethanol misalnya bir 24 oz, wine 10 oz atau 3 oz 80-proof

whiskey untuk pria dan 1 minuman standar/hari untuk wanita.

c) Kurangi asupan garam

Garam yang terlalu banyak dalam diet dapat menyebabkan tubuh

mempertahankan cairan, sehingga menyebabkan peningkatan

tekanan darah. Pembatasan asupan garam dalam diet dapat

membantu menurunkan tekanan darah sebanyak 2-8 mmHg.

Konsumsi sodium chloride ≤6 g/hari (100 mmol sodium/hari).


27

Rekomendasikan makanan rendah garam sebagai bagian pola

makan sehat.

d) Pola diet sehat

Adopsi pola makan DASH (Dietary Approaches to Stop

Hypertension) dapat menurunkan tekanan darah sistolik 8-14

mmHg. Lebih banyak makan buah, sayur-sayuran dan produk susu

rendah lemak dengan kandungan lemak jenuh dan total lebih

sedikit, kaya potassium dan calcium.

Tabel 2.3 Beberapa Makanan Spesifik Rekomendasi DASH

Bahan makanan Porsi per hari Kandungan Sumber


Gizi
Padi 7-8 Serat Roti, tepung terigu,
gandum, kue kering,
jagung tanpa garam
Sayur mayor 4-5 Serat, Kalium, Tomat, kentang,
Magnesium wortel, kacang
hijau,buncis

Buah 4-5 Serat, Kalium, Pisang, anggur, jeruk,


Magnesium melon, buah persik,
kismis

Rendah lemak/ 2-3 Protein, Skim atau susu rendah


bebas kalsium lemak(1%),frozen
Hasil susu ≤2 yogurt

Daging, unggas, 4-5 Protein, Daging tanpa lemak,


ikan magnesium unggas tanpa kulitnya

Kacang 2-3 Protein, serat, Almon, kacang tanah,


magnesium kenari

Lemak, minyak, 5/minggu Tidak ada Margarin, minyak


sayur seperti olive,
gula corn,canola, gula,
jelly, hard candy, fruit
punch
Dikutip dari Pikir et al., 2015. Hipertensi Manajemen Komprehensif. Airlangga
University Press. Surabaya.
28

e) Berhenti merokok

Berhenti merokok sangat penting untuk dilakukan oleh klien

hipertensi, karena dapat mengurangi efek jangka panjang hipertensi.

Bahan kimia dalam tembakau dapat merusak lapisan dinding arteri,

sehingga dapat menyebabkan arteri menyempit dan meningkatkan

tekanan darah. Asap rokok diketahui juga dapat menurunkan aliran

darah ke berbagai organ dan dapat meningkatkan kerja jantung.

f) Olahraga/aktivitas fisik yang teratur

Melakukan olahraga atau latihan fisik secara teratur dapat

membantu menurunkan tekanan darah tinggi. Lakukan aktivitas

fisik intensitas sedang pada kebanyakan atau setiap hari pada 1

minggu (total harian dapat diakumulasikan misalnya 3 sesi x10

menit). Aktivitas ini diperkirakan dapat menurunkan tekanan darah

4-9 mmHg.

2. Hipertensi Urgensi

a. Definisi Hipertensi Urgensi

Krisis hipertensi menunjukkan kondisi klinis berat di mana terjadi

peningkatan tekanan darah yang dapat mengarah pada kerusakan organ vital.

Krisis hipertensi dibagi menjadi hipertensi emergensi dan urgensi

berdasarkan adanya kerusakan organ vital. Pada hipertensi emergensi terjadi

kerusakan organ target, sedangkan pada hipertensi urgensi tidak terjadi

kerusakan organ target (Pratiwi, 2019).


29

Menurut Roesma dan Setiati (Setiati et al., 2014), hipertensi

mendesak (urgency hypertension) merupakan kondisi dimana tekanan darah

yang sangat tinggi tetapi tidak disertai kelainan/kerusakan organ target yang

progresif sehingga penurunan tekanan darah dapat dilaksanakan lebih lambat

(dalam hitungan jam sampai hari).

Menurut Kaplan dan Pikir (Pikir et al, 2015) hipertensi urgensi

adalah hipertensi berat (yang didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik

>180 mmHg dan atau tekanan diastolik diatas 120 mmHg) pada pasien yang

tanpa gejala/asimtomatik serta tanpa bukti adanya kerusakan target organ.

Sedangkan hipertensi darurat (emergency hypertension) adalah kondisi

dimana selain tekanan darah yang sangat tinggi, terdapat kelainan/kerusakan

target organ yang bersifat progresif, sehingga tekanan darah harus

diturunkan dengan segera (dalam menit sampai jam) agar dapat

mencegah/membatasi kerusakan target organ yang terjadi.

Tabel 2.4 Kriteria Diagnosis Krisis Hipertensi ( Pikir et al., 2015)

Krisis Hipertensi Kriteria Diagnosis Tata Laksana


Hipertensi urgensi. Tekanan darah sistolik >180 Menurunkan TD dalam
mmHg atau diastolik >120 waktu 24-72 jam sampai
mmHg tanpa kerusakan beberapa hari dengan
organ target pemberian obat oral;
Menurunkan tekanan darah
diastol sampai 100 mmHg

Hipertensi Tekanan darah sistolik >180 Menurunkan TD segera; Obat


emergensi. mmHg atau diastolik >120 sediaan IV; Pengawasan
mmHg; Kerusakan organ intensif.
target.

Hipertensi urgensi merupakan salah satu penyebab tingginya

mortalitas dan morbiditas kasus hipertensi. Hipertensi urgensi terjadi pada 1


30

miliar populasi dunia dan berperan terhadap 7,1 juta kematian di dunia setiap

tahunnya. Frekuensi kasus hipertensi urgensi sebesar 76%, lebih tinggi

dibandingkan dengan kasus hipertensi emergensi sebesar 24% (Pratiwi,

2019).

b. Etiologi Hipertensi Urgensi

Mathew dan Pikir (Pikir et al., 2015) penyebab paling umum dari

krisis hipertensi adalah hipertensi kronis, kurangnya kepatuhan penderita,

withdrawal syndrome terhadap terapi hipertensi. Penyebab sekunder dari

hipertensi yang dapat menyebabkan terjadinya krisis hipertensi meliputi

penyakit parenkim ginjal, penyakit renovaskular, infark ginjal, kehamilan

(preeklamsia), kelainan endokrin dan system saraf pusat.

c. Patofisiologi

Krisis hipertensi terjadi karena peningkatan secara mendadak

resistensi vascular sistemik yang berhubungan dengan vasokonsriktor

humoral. Peningkatan tekanan darah yang mendadak ini akan menyebabkan

jejas endotel dan nekrosis fibrinoid arteriol, yang kemudian berdampak

kerusakan vaskuler, deposisi platelet, fibrin dan kerusakan fungsi

autoregulasi (Rilantono, 2018).

d. Pengobatan Hipertensi Urgensi

Maria dan Pikir (Pikir et al., 2015) menyatakan hipertensi urgensi

dapat diterapi dengan menggunakan regimen obat oral dan kontrol tekanan

darah secara bertahap lebih dari 12-72 jam untuk menurunkan tekanan darah

sampai 160/100 mmHg dalam waktu jam sampai hari dengan obat
31

antihipertensi oral dengan waktu paruh panjang yang dimulai dengan dosis

rendah. Captopril juga merupakan first line agent di dalam terapi hipertensi

urgensi, akan tetapi digunakan dengan pengawasan dan nifedipin sublingual

tidak direkomendasikan untuk semua tipe dari krisis hipertensi.

Pengobatan hipertensi urgensi banyak dipakai obat-obatan

sebagaimana tercantum dalam tabel 2.4 berikut ini :

Tabel 2.5 Obat yang dipakai pada terapi hipertensi urgensi (Gomez
dan Pikir (Pikir et al., 2010)

Obat Dosis awal


Calcium antagonist long acting
(dihidropyridines)
Amlodipin 5-10 mg
Lacidipin 4 mg
Betablocker
Bisoprolol 2.5-5 mg
Carvedilol 12.5-25 mg
Atenolol 25-50 mg
Diuretics
Furosemid 20-40 mg
Torasemide 5-10 mg
ACE-1
Captropil 12.5-25 mg
Enalapril 5-20 mg
Angiotensin II receptor antagonis
Losartan 50 mg
Irbesartan 75-150 mg
Candesartan 8-16 mg
Alpha blockers
Doxazosin 1-4 mg

e. Kepatuhan Konsumsi Antihipertensi

Ketidakpatuhan pengobatan didefinisikan sebagai suatu proses di

mana pasien tidak mengikuti anjuran pengobatan, baik akibat keputusan

rasional pasien atau ketidaksengajaan (Hugtenburg et al., 2013).

Ketidakpatuhan terhadap pengobatan sering kali dihubungkan dengan hasil

pengobatan yang buruk, peningkatan angka rawat inap, dan peningkatan


32

biaya sistem pelayanan kesehatan untuk penyakit kronis, seperti hipertensi,

diabetes, dan gagal ginjal (Tang et al., 2017). Ketidakpatuhan konsumsi

antihipertensi berperan dalam kontrol hipertensi yang buruk (Hyman and

Pavlik, 2015).

Terdapat lima dimensi saling berkaitan yang mempengaruhi

kepatuhan pengobatan, yaitu (Pratiwi, 2019) :

1) Faktor sosial dan ekonomi, faktor sosial dan ekonomi dapat dilihat

berdasarkan tingkat pendidikan, angka buta huruf, kemiskinan,

pengangguran, biaya transportasi dan pengobatan.

2) Faktor terkait sistem dan tim pelayanan kesehatan, faktor ini turut

mempengaruhi kepatuhan pengobatan. Hubungan antara pasien dan

penyedia layanan kesehatan yang baik dapat meningkatkan kepatuhan,

tetapi terdapat faktor-faktor lain yang memberikan efek buruk terhadap

tingkat kepatuhan, seperti sistem distribusi pengobatan yang rendah,

beban kerja penyedia layanan kesehatan yang tinggi, dan konsultasi

singkat.

3) Faktor terkait kondisi pasien,faktor ini terkait kondisi beratnya gejala,

tingkat disabilitas, laju progresi penyakit, dan ketersediaan pengobatan.

4) Faktor terapi, juga mempengaruhi tingkat kepatuhan pengobatan.

Faktor-faktor tersebut di antaranya adalah kompleksitas regimen

pengobatan, durasi pengobatan, kegagalan pengobatan sebelumnya,

perubahan pengobatan, efek samping dan ketersediaan pengobatan.


33

5) Faktor terkait pasien, seperti pengetahuan, sikap, kepercayaan, persepsi

dan ekspektasi pasien juga mempengaruhi tingkat kepatuhan pengobatan.

3. Self Management Hipertensi

Pradana dalam Pikir et al. (2015) seorang dokter harus melakukan suatu

tindakan triase yang tepat untuk mendapatkan tujuan terapi baik jangka pendek

maupun jangka panjang pada penderita dengan peningkatan tekanan darah.

Tujuan terapi hipertensi adalah untuk mencegah komplikasi, menurunkan

kejadian kardiovaskular, serebrovaskular dan renovaskular, dengan kata lain

bertujuan untuk menurunkan efek tekanan darah tinggi terhadap kerusakan target

organ. Semua pasien hipertensi harus melakukan perubahan pola hidup, seperti

berolah raga teratur, menurunkan berat badan bagi yang kelebihan berat badan,

berhenti merokok, mengurangi asupan garam, dan lain-lain.

Akhter dan Hidayat (Hidayat et al, 2016) Self management pada

hipertensi merupakan salah satu bentuk usaha positif klien. Self management

hipertensi bertujuan untuk mengoptimalkan kesehatan, mengontrol dan

memanajemen tanda dan gejala yang muncul, mencegah terjadinya komplikasi,

meminimalisir gangguan yang ditimbulkan pada fungsi tubuh, emosi, dan

hubungan interpersonal dengan orang lain yang dapat mengganggu kehidupan

klien. Self management sebagai intervensi secara sistematik pada penyakit kronis,

adalah dengan mengontrol keadaan diri dan mampu membuat keputusan dalam

perencanaan pengobatan.

Selanjutnya Akhter dan Hidayat (Hidayat et al, 2016) dalam

penelitiannya mengungkapkan bahwa self management klien hipertensi dapat


34

dilakukan dengan menerapkan 5 komponen self management pada klien diabetes

yang disesuaikan dengan perawatan diri pada klien hipertensi, yaitu integrasi diri,

regulasi diri, interaksi dengan tenaga kesehatan dan lainnya, pemantauan tekanan

darah, dan kepatuhan terhadap aturan yang dianjurkan. Hal tersebut dikarenakan

hipertensi dan diabetes merupakan penyakit kronis yang membutuhkan

pengontrolan pada darah.

a. Integrasi diri mengacu pada kemampuan pasien untuk peduli terhadap

kesehatan dengan menerapkan perilaku hidup sehat dalam kehidupan sehari-

hari mereka seperti diet yang tepat, olahraga, dan kontrol berat badan. Pasien

dengan hipertensi harus mampu:

1) Mengelola porsi dan pilihan makanan ketika makan.

2) Makan lebih banyak buah, sayuran, biji-bijian, dan kacang-kacangan.

3) Mengurangi konsumsi lemak jenuh.

4) Mempertimbangkan efek pada tekanan darah ketika membuat pilihan

makanan untuk dikonsumsi.

5) Menghindari minum alkohol.

6) Mengkonsumsi makanan rendah garam atau menggunakan sedikit garam

ketika membumbui masakan.

7) Mengurangi berat badan secara efektif.

8) Latihan/olahraga untuk mengontrol tekanan darah dan berat badan

dengan berjalan kaki, jogging, atau bersepeda selama 30-60 menit per

hari.

9) Berhenti merokok.
35

10) Mengontrol stres dengan mendengarkan musik, istirahat, dan berbicara

dengan anggota keluarga.

b. Regulasi diri mencerminkan perilaku mereka melalui pemantauan tanda dan

gejala yang dirasakan oleh tubuh, penyebab timbulnya tanda dan gejala yang

dirasakan, serta tindakan yang dilakukan. Perilaku regulasi diri meliputi :

1) Mengetahui penyebab berubahnya tekanan darah.

2) Mengenali tanda-tanda dan gejala tekanan darah tinggi dan rendah.

3) Bertindak dalam menanggapi gejala.

4) Membuat keputusan berdasarkan pengalaman.

5) Mengetahui situasi yang dapat mempengaruhi tekanan darah.

6) Membandingkan perbedaan antara tingkat tekanan darah.

c. Interaksi dengan tenaga kesehatan dan lainnya didasarkan pada konsep yang

menyatakan bahwa kesehatan (dalam kasus hipertensi tekanan darah yang

terkontrol dengan baik) dapat tercapai karena adanya kolaborasi antara klien

dengan tenaga kesehatan dan individu lain seperti keluarga, teman, dan

tetangga. Perilaku yang mencerminkan interaksi dengan tenaga kesehatan

dan lainnya adalah sebagai berikut :

1) Nyaman ketika mendiskusikan rencana pengobatan dengan penyedia

layanan kesehatan.

2) Nyaman ketika menyarankan perubahan rencana perawatan kepada

penyedia layanan kesehatan.

3) Nyaman ketika bertanya kepada penyedia layanan kesehatan terkait hal

yang tidak dipahami.


36

4) Berkolaborasi dengan penyedia layanan kesehatan untuk

mengidentifikasi alasan berubahnya tingkat tekanan darah.

5) Meminta orang lain untuk membantu dalam mengontrol tekanan darah.

6) Nyaman ketika bertanya pada orang lain terkait teknik manajemen yang

dilakukan untuk menurunkan tekanan darah tinggi.

d. Pemantauan tekanan darah dilakukan untuk mendeteksi tingkat tekanan

darah sehingga klien dapat menyesuaikan tindakan yang akan dilakukan

dalam self management. Perilaku pemantauan tekanan darah meliputi :

1) Memeriksa tekanan darah saat merasa sakit.

2) Memeriksa tekanan darah ketika mengalami gejala tekanan darah rendah.

3) Memeriksa tekanan darah untuk membantu membuat keputusan

hipertensi perawatan diri.

e. Kepatuhan terhadap aturan yang dianjurkan mengacu pada kepatuhan pasien

terhadap konsumsi obat anti-hipertensi dan kunjungan klinik. Komponen ini

juga melibatkan konsumsi obat sesuai dosis yang telah ditentukan, waktu

yang ditentukan untuk minum obat, dan kunjungan klinik rutin setiap 1-3

bulan.

National Heart, Lung and Blood Institute from United States Department

of Health and Human Services melalui the seven Report of the Joint National

Commitee merekomendasikan beberapa perubahan gaya hidup dalam upaya

mengontrol tekanan darah seperti: penurunan berat badan, perubahan pola

makan, menghindari konsumsi alkohol, olahraga secara teratur, berhenti

merokok, dan penggunaan terapi dengan obat-obatan. Self management pada


37

penderita hipertensi menurut McCulloch terdiri dari monitoring tekanan darah,

mengurangi rokok, diet, manajemen berat badan, dan mengurangi konsumsi

alkohol (Saraswati, 2015). Sedangkan menurut Canadian Hypertension

Education Program, pelaksanaan pencegahan dan pengobatan pada hipertensi

dengan aktif melakukan kegiatan fisik (olahraga), menurunkan atau

mengendalikan berat badan, konsumsi alkohol, diet, mengurangi stres, dan

berhenti merokok.
38

B. KERANGKA TEORI
Faktor Risiko
1. Tidak dapat diubah
a. Genetik
b. Usia
c. Jenis kelamin
2. Dapat diubah
a. Obesitas
b. Stres
c. Diet garam
d. Dislipidemia
e. Rokok dan alcohol
f. Latihan fisik
g. Pengetahuan

Type Klasifikasi
HIPERTENSI Pre hipertensi
1. Primer
2. Sekunder Hipertensi Stage I
Hipertensi Stage II
KrisisHipertensi
1. Hipertensi Urgensi
2. Hipertensi Emergensi

Komplikasi
1. Jantung koroner
2. Gagal jantung
3. Stroke
4. Infark Miokard
5. Gagal ginjal
6. Ensefalopati

Self Management Hipertensi


1. Integrasi diri
Penatalaksanaan 2. Regulasi diri
Hipertensi Kepatuhan konsumsi
3. Interaksi dengan tenaga kesehatan
1. Farmakologi antihipertensi
dan lainnya
2. Non Farmakologi 4. Pemantauan tekanan darah
5. Patuh terhadap aturan yang
dianjurkan

Gambar 2.1 Kerangka Teori Penelitian (modifikasi teori Hidayat, 2016; Black and
Hawks, 2014; Pikir, 2015; Akhter, 2010).
39

C. KERANGKA KONSEP

Self Management Hipertensi


1. Integrasi diri
2. Regulasi diri
3. Interaksi dengan tenaga
kesehatan dan lainnya
4. Pemantauan tekanan darah
5. Patuh terhadap aturan yang
dianjurkan

Diteliti

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian

D. HIPOTESIS

Hipotesis adalah jawaban sementara dari suatu penelitian (Notoatmodjo,

2018). Berdasarkan tujuan dari penelitian ini, hipotesis yang diambil adalah self

managementpada pasien hipertensi urgensi yang terdiri dari integrasi diri, regulasi

diri, interaksi dengan tenaga kesehatan, pemantauan tekanan darah dan kepatuhan

terhadap aturan yang dianjurkan dalam level rendah, sedang atau tinggi.
40

BAB III

METODE PENELITIAN

A. JENIS DAN RANCANGAN PENELITIAN

Penelitian ini disajikan secara deskriptif dengan jenis kuantitatif, yang

bertujuan untuk menggambarkan suatu keadaan atau fenomena yang terdapat

pada daerah tertentu pada situasi sekarang berdasarkan data yang ada,

kemudian dianalisis dan diinterpretasikan. Rancangan dalam penelitian ini

menggunakan non eksperimental design dengan pendekatan survey, yaitu

penelitian yang dilakukan tanpa melakukan intervensi terhadap subjek, tetapi

dengan menyebarkan kuesioner pada subjek dalam teknik pengumpulan

datanya (Notoatmodjo, 2010).

B. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN

1. Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di wilayah kerja UPTD Puskesmas

Rembang Kabupaten Purbalingga.

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Nopember 2019 – Juli 2020.

3. Waktu pengambilan data

Pengambilan data akan dilaksanakan pada bulan Maret 2020.


41

C. POPULASI DAN SAMPEL

1. Populasi

Populasi adalah seluruh objek penelitian (Notoatmodjo, 2010).

Populasi dalam penelitian ini adalah pasien yang datang ke UPTD

Puskesmas Rembang Kabupaten Purbalingga setelah pemeriksaan

terdiagnosa hipertensi urgensi dan mendapatkan pengawasan selama

kurang lebih 1 jam di Ruang Gawat Darurat (RGD) dari bulan Januari

sampai dengan bulan Oktober 2019 sebanyak 58 orang.

2. Sampel

Sampel adalah sebagian populasi yang diambil untuk diteliti dan

dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2010). Menurut

Arikunto (2010), jika populasinya kurang dari 100 orang maka jumlah

sampelnya diambil secara keseluruhan. Tetapi jika populasinya lebih dari

100 orang maka diambil 10-15% atau 20-25% dari jumlah populasi. Pada

penelitian ini, jumlah populasi kurang dari 100 orang sehingga diambil

secara total sampling sebanyak 58 orang.

Sampel dalam penelitian ini memiliki kriteria sebagai berikut :

a. Kriteria inklusi

Kriteria inklusi adalah karakteristik sampel yang dapat

dimasukan atau layak untuk diteliti. Kriteria inklusi dalam

penelitian ini, adalah:


42

1) Pasien yang mempunyai tekanan darah sistolik lebih dari 180

mmHg atau pasien yang mempunyai tekanan darah diastolik

lebih dari 120

2) Pasien yang terdiagnosa hipertensi urgensi di UPTD

Puskesmas Rembang dan menetap di wilayah kerja UPTD

Puskesmas Rembang.

3) Pasien yang terdiagnosa hipertensi urgensi dan bersedia

menjadi responden.

b. Kriteria eksklusi

Kriteria eksklusi adalah karakteristik sampel yang tidak bisa

dimasukkan atau tidak layak untuk diteliti. Kriteria eksklusi dalam

penelitian ini, adalah:

1) Pasien dalam kondisi tidak stabil

2) Pasien mempunyai gangguan kognitif

D. VARIABEL PENELITIAN

Variabel adalah ukuran atau ciri yang dimiliki oleh anggota-anggota

suatu kelompok yang berbeda dengan yang dimiliki oleh kelompok lain

(Notoatmodjo, 2010). Variabel dalam penelitian ini adalah self management

pada pasien hipertensi urgensi.


43

E. DEFINISI OPERASIONAL

Definisi operasional adalah uraian tentang batasan variabel yang

dimaksud atau tentang apa yang diukur oleh variabel yang bersangkutan

(Notoatmodjo, 2010). Definisi operasional dalam penelitian ini tercantum

dalam tabel 3.1 berikut :

Tabel 3.1 Definisi Operasional

No. Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Kategori Skala

1. Self Kemampuan pasien Modifikasi kuesioner Pengkategorian Ordinal


Management hipertensi untuk The Diabetes Self data dibagi
mengarahkan Management menjadi 3 level,
periakunya dan Instrument. yaitu rendah,
melakukan Hypertension Self sedang, dan
penatalaksanaan Management tinggi.
hipertensi meliputi Behavior
modifikasi pola diet, Questionnaire Rendah jika
pengendalian berat (HSMBQ)pada jumlah skor 1,00-
badan, kuesioner B yang 2,00
aktifitas/olahraga terdiri dari 40 item
teratur, manajemen pertanyaan dengan Sedang jika
stress, berhenti menggunakan skala jumlah skor 2.01-
merokok, membatasi Likert dari rentang 1 3,00
konsumsi alkohol, (tidak pernah)
kontrol rutin, dan sampai dengan 4 Tinggi jika
minum obat anti (selalu). jumlah skor
hipertensi. 3,01-4

2. Usia Lama hidup klien Kuesioner A Menurut Depkes Ordinal


hipertensi dihitung RI tahun 2009
dalam tahun Dewasa awal
(26-35 tahun)

Dewasa akhir
(36-45 tahun)

Lansia awal (46-


55 tahun)

Lansia akhir (56-


65 tahun)

Manula (>65
tahun)

3. Pendidikan Status pendidikan Kuesioner A Tidak sekolah Nominal


formal terakhir yang
didapatkan oleh klien SD
hipertensi
44

SMP

SMA/SMK

Perguruan Tinggi

4. Jenis kelamin Perbedaan gender Kuesioner A Laki-laki Nominal


yang dilihat dari segi Perempuan
fisik dan biologis klien
hipertensi

5. Pekerjaan Kegiatan yang Kuesioner A Tidak bekerja Nominal


dilakukan secara aktif Petani
dalam memenuhi Pedagang
kebutuhan hidup Pegawai swasta
PNS

6. Pendapatan Jumlah pendapatan Kuesioner A Menurut data Ordinal


per bulan secara ekonomi yang BPS, kategori
didapat oleh pendapatan
responden selama satu penduduk :
bulan < 1.500.000

1.500.000 -
2.500.000

2.500.000 -
3.500.000

> 3.500.000

7. Anggota Ada tidaknya anggota Kuesioner A Tidak ada Nominal


keluarga keluarga yang tinggal Ada
bersama responden di
rumah

8. Lama Lamanya waktu sejak Kuesioner A 3-12 bulan Ordinal


diagnosis responden didiagnosa
hipertensi oleh tenaga 1-5 tahun
kesehatan
> 5 tahun

9. Riwayat Keterangan perilaku Kuesioner A Tidak pernah Ordinal


merokok merokok
Pernah, sudah
berhenti

Masih merokok

10. Konsumsi Keterangan kebiasaan Kuesioner A Tidak pernah Ordinal


45

alkohol konsumsi alkohol


2-4x/bulan
2-3x/minggu
> 4x/minggu
Setiap hari

11. Penyakit Adatidaknya penyakit Kuesioner A Tidak ada Nominal


penyerta lain pada klien
hipertensi seperti
diabetes militus, Ada
penyakit ginjal, dan
penyakit lain

12. IMT Indeks Massa Tubuh Kuesioner A Sangat kurus Ordinal


dipakai untuk menilai (IMT < 17)
kelebihan berat badan
dan obesitas klien Kurus (IMT 17 –
hipertensi yang 18,5)
dihitung menggunakan
berat dan tinggi badan Normal (IMT
klien 18,5 – 25)

Gemuk (IMT >


25 – 27)

Obesitas (IMT >


27)

13. Konsumsi Cara pasien Kuesioner A Ya Nominal


obat mengkonsumsi obat Tidak
hipertensi rutin/ tidak
rutin

F. INSTRUMEN PENELITIAN

Instrumen penelitian adalah alat bantu yang dipilih dan digunakan

oleh peneliti dalam melakukan kegiatannya untuk mengumpulkan data agar

kegiatan tersebut menjadi sistematis dan dipermudah olehnya (Arikunto,

2010). Alat yang digunakan dalam penelitian ini berupa spigmomanometer

dan stetoskop untuk mengukur tekanan darah responden, timbangan berat

badan yang digunakan untuk mengukur berat badan responden, meteran


46

pengukur tinggi badan yang digunakan untuk mengukur tinggi badan

responden serta kuesioner sebagai alat pengumpul data. Kuesioner adalah

daftar pertanyaan yang diberikan kepada orang lain yang bersedia

memberikan respon sesuai dengan permintaan pengguna (Arikunto, 2010).

Kuesioner A berisi data karakteristik responden untuk mengetahui

usia, tingkat pendidikan, pekerjaan, jenis kelamin, pendapatan, dan anggota

keluarga yang dimiliki responden. Kuesioner A juga berisi pertanyaan tentang

lamanya waktu didiagnosis hipertensi, riwayat merokok, kebiasaan konsumsi

alkohol, penyakit penyerta yang dialami oleh responden, konsumsi obat

hipertensi, berat badan, tinggi badan, dan tekanan darah responden.

Kuesioner B yang digunakan untuk penelitian ini adalah kuesioner

Hypertension Self Management Behavior Quetionnaire (HSMBQ) yang

dimodifikasi dari Diabetes Self Management Instrument yang dikembangkan

oleh Lin et all dalam penelitiannya pada tahun 2008. Kuesioner HSMBQ

telah dialih bahasakan menjadi bahasa Indonesia dengan metode back

translate oleh dosen jurusan Ilmu Keperawatan Universitas Diponegoro, Asih

Nurakhir, S.Pd, M.Pd dengan pendidikan beliau S1 dan S2 Bahasa Inggris

pada tahun 2016. Kuesioner HSMBQ memiliki 40 item pertanyaan favorable

yang membahas berbagai aspek managemen diri untuk penyakit. Kisi kisi

kuesioner tercantum dalam tabel berikut ini:

Tabel 3.2 Kisi-kisi Kuesioner


Jumlah Nomor
No. Variabel
Pertanyaan Pertanyaan
1. Integrasi diri 13 1-13
2. Regulasi diri 9 14-22
3. Interaksi dengan tenaga kesehatan 9 23-31
4. Pemantauan tekanan darah 4 32-35
47

5. Kepatuhan terhadap aturan yang dianjurkan 5 36-40

Responden diminta untuk mengisi setiap item pertanyaan yang

disesuaikan dengan praktik manajemen diri dalam kehidupan sehari hari.

Setiap item mempunyai skala 4 poin mulai dari skor 1 (tidak pernah) hingga 4

(selalu).

Tabel 3.3 Penilaian Skor

No. Perilaku Skor


1. Tidak pernah 1
2. Jarang 2
3. Kadang kadang 3
4. Selalu 4

Skor self management dibagi menjadi 3 level kategori yaitu rendah,

sedang dan tinggi. Skor 1,00-2,00 berarti self management dalam kategori

rendah, skor 2,01-3,00 berarti self management dalam kategori sedang, dan

skor 3,01-4,00 berarti self management dalam kategori tinggi.

Tabel 3.4 Kategori Aspek Self Management

No. Kategori Jumlah skor


1. Rendah 1,00-2,00
2. Sedang 2,01-3,00
3. Tinggi 3.01-4,00

Pengujian kuesioner dalam penelitian ini sudah dilakukan oleh peneliti

sebelumnya, yaitu :
48

1. Uji Validitas

Validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur itu

benar-benar mengukur apa yang diukur (Notoatmodjo, 2018). Untuk

mengetahui apakah kuesioner yang disusun mampu mengukur apa yang

akan diukur, perlu diuji dengan uji korelasi antara skors (nilai) tiap-tiap

item (pertanyaan) dengan skors total kuesioner. Jika semua pertanyaan

mempunyai korelasi yang bermakna (construct validity), maka semua

pertanyaan tersebut sesuai dengan konsep yang diukur. Nargis Akhter

(2010) menyusun instrumen Hypertension Self Management Behavior

Quetionnaire dan telah melakukan uji validitas serta uji reliabilitas

terhadap instrumen Hypertension Self Management Behavior

Quetionnaire di Bangladesh untuk penelitiannya yang berjudul “Self

Management Among Patients with Hypertension in Bangladesh”. Uji

validitas dalam penelitian ini telah diuji oleh tiga (3) orang ahli di bidang

instrumen penelitian yang bekerja pada Universitas Prince of Songkla di

Thailand, yaitu Prof. Dr. Wongchan, Prof. Dr. Wandee Suttharangsee dan

Md. Nurul Anwar Ph.D. Hasil uji validitas menunjukkan internal

consistency dengan nilai 0,91.

Selain itu uji construct validity kuesioner HSMBQ juga pernah

dilakukan oleh Hidayat (2016). Uji validitas pada penelitian ini dilakukan

di Kelurahan Srondol dengan jumlah 30 responden dengan kriteria

responden sesuai dengan kriteria inklusi yang telah ditentukan oleh

peneliti. Analisis faktor uji validitas menggunakan Pearson Product


49

Moment. Hasil uji validitas menunjukkan bahwa setiap item pernyataan

memiliki nilai r hitung antara 0,375 – 0,781 dan tidak terdapat pernyataan

yang tidak valid.

2. Uji Reliabilitas

Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu

alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Hal ini berarti

menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran itu tetap konsisten bila

dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama,

dengan menggunakan alat ukur yang sama (Notoatmodjo, 2018). Dalam

penelitian yang dilakukan oleh Akhter (2010) didapatkan nilai

Cronbach’s Alpha sebesar 0,95 > 0,60 dan dinyatakan reliabel. Hasil uji

reliabilitas juga dilakukan oleh Hidayat (2016) menunjukkan bahwa

semua peryataan valid pada kuesioner Hypertension Self Management

Behavior Quetionnaire adalah reliabel dengan nilai reliabilitas 0,949.

G. JENIS DAN TEKNIK PENGUMPULAN DATA

1. Jenis Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer

yaitu data yang dikumpulkan oleh peneliti sendiri atau dirinya sendiri,

dan merupakan data yang belum pernah dikumpulkan sebelumnya baik

dengan cara tertentu atau pada periode waktu tertentu. Data primer dalam

penelitian ini yaitu data yang diperoleh dari kuesioner dan didukung oleh

data sekunder yang diperoleh dari register dan rekam medis pasien.
50

Kuesioner sebagai data primer dalam penelitian ini diisi langsung oleh

responden.

2. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan memberikan kuesioner

kepada responden untuk diisi secara obyektif. Peneliti juga melakukan

observasi kepada responden terkait data pada kuesioner yang harus diisi

oleh peneliti, yaitu tekanan darah, berat badan, tinggi badan dan IMT.

Setelah pengisian kuesioner oleh responden, peneliti meneliti ulang

kuesioner apakah semua pertanyaan sudah diisi oleh responden atau

belum.

3. Cara Pengumpulan Data/Prosedur Kerja Penelitian

Prosedur kerja penelitian dilakukan melalui beberapa tahapan,

yaitu :

a. Persiapan

1) Pengambilan data dimulai dengan mengajukan ijin kepada

Universitas Harapan Bangsa Fakultas Kesehatan Program Studi

Keperawatan untuk melakukan penelitian.

2) Ijin yang diberikan oleh universitas diteruskan peneliti kepada

Kantor KESBANGLINMASPOL dan BAPPEDA Kabupaten

Purbalingga.

3) Peneliti meneruskan ijin yang diberikan oleh Kantor

KESBANGLINMASPOL dan BAPPEDA tersebut kepada


51

Dinas Kesehatan Kabupaten Purbalingga dan Puskesmas

Rembang Kabupaten Purbalingga.

b. Pelaksanaan

1) Setelah memperoleh ijin dari Kepala Puskesmas Rembang,

peneliti berkoordinasi dengan penanggung jawab program

Penyakit Tidak Menular (PTM) Puskesmas Rembang untuk

menentukan responden dengan diagnosa hipertensi urgensi yang

akan diteliti.

2) Peneliti menjelaskan maksud dan tujuan penelitian kepada

responden.

3) Peneliti memberikan lembar persetujuan menjadi responden

kepada responden.

4) Setelah bersedia menjadi responden, peneliti menjelaskan

tentang kuesioner dan memberikan kuesioner kepada responden

untuk diisi.

5) Selama pengisian kuesioner, responden diberi kesempatan untuk

bertanya pada peneliti bila ada pertanyaan yang tidak dipahami.

6) Peneliti melakukan pengecekan kembali setelah pengisian

kuesioner selesai oleh responden, apakah ada pertanyaan yang

belum terjawab oleh responden.

7) Setelah selesai pengambilan data peneliti memberikan

pendidikan kesehatan terkait dengan Self Management

hipertensi.
52

8) Data yang diperoleh dari kuesioner kemudian dikumpulkan

untuk dianalisa oleh peneliti.

H. ANALISIS DATA

1. Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan dengan urutan sebagai berikut

(Notoatmodjo, 2010) :

a. Editing

Editing merupakan proses memeriksa data yang telah

dikumpulkan baik berupa daftar pertanyaan, kartu atau buku register.

Yang dilakukan pada kegiatan memeriksa data adalah menjumlah dan

melakukan koreksi. Menjumlah adalah menghitung banyaknya

lembaran daftar pertanyaan yang telah diisi untuk mengetahui apakah

sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan. Bila terdapat kekurangan

maka dapat segera dicari sebabnya lalu diatasi. Sebaliknya, bila

terdapat jumlah berlebih yang mungkin terjadi karena pencatatan

ganda atau pencatatan subjek studi yang tidak termasuk dalam sampel

maka dapat segera diketahui dan diambil tindakan.

Yang termasuk dalam proses koreksi adalah proses

membenarkan atau menyelesaikan hal-hal yang salah atau kurang

jelas. Untuk menyelesaikan masalah tersebut dapat ditanyakan

kembali kepada responden, tetapi bila cara tersebut tidak dapat


53

dilakukan maka penyelesaian dilakukan oleh peneliti, apakah dibuang

atau diganti dengan yang lain.

b. Scoring

Scoring dalam penelitian ini adalah kegiatan pemberian skor

pada kuesioner jawaban responden yang terdapat dalam kuesioner

untuk dapat melaukan kegiatan penilaian kategori terhadap hasil

jawaban kuesioner responden. Kegiatan scoring dalam penelitian ini

meliputi:

1) Integrasi diri

a) Tidak pernah nilai 1

b) Jarang nilai 2

c) Kadang kadang nilai 3

d) Selalu nilai 4

2) Regulasi diri

a) Tidak pernah nilai 1

b) Jarang nilai 2

c) Kadang kadang nilai 3

d) Selalu nilai 4

3) Interaksi dengan tenaga kesehatan dan lainnya

a) Tidak pernah nilai 1

b) Jarang nilai 2

c) Kadang kadang nilai 3

d) Selalu nilai 4
54

4) Pemantauan tekanan darah

a) Tidak pernah nilai 1

b) Jarang nilai 2

c) Kadang kadang nilai 3

d) Selalu nilai 4

5) Kepatuhan terhadap aturan yang dianjurkan

a) Tidak pernah nilai 1

b) Jarang nilai 2

c) Kadang kadang nilai 3

d) Selalu nilai 4

c. Coding

Coding merupakan klasifiksi jawaban atau data menurut

kategorinya masing-masing. Setiap kategori diberi kode yang berbeda

pula. Langkah pemberian kode pada atribut dan variabel ini

mempermudah dalam analisis data. Pemberian kode harus dilakukan

dengan seteliti mungkin karena mudah menimbulkan kesalahan

dalam pemberian kode atau dalam memasukkan data. Dalam

penelitian ini coding yang digunakan adalah :

1) Kuesioner A (karakteristik responden)

a) Usia

Rentang usia dewasa awal (26-35 tahun) diberi kode 1,

rentang usia dewasa (36-45 tahun) diberi kode 2, rentang usia

lansia awal (46-55 tahun) diberi kode 3, rentang usia lansia


55

(56-65 tahun) diberi kode 4, dan rentang usia manula

(> 65 tahun) diberi kode 5.

b) Pendidikan

Pendidikan ‘tidak sekolah’ diberi kode 1, pendidikan ‘SD’

diberi kode 2, pendidikan ‘SMP’ diberi kode 3, pendidikan

‘SMA/SMK’ diberi kode 4, dan pendidikan ‘Perguruan

Tinggi’ diberi kode 5.

c) Jenis kelamin

Jenis kelamin ‘laki-laki’ diberi kode 1, dan jenis kelamin

‘perempuan’ diberi kode 2.

d) Pekerjaan

Pekerjaan ‘tidak bekerja’ diberi kode 0, pekerjaan ‘petani’

diberi kode 1, pekerjaan ‘pedagang’ diberi kode 2, pekerjaan

‘pegawai swasta’ diberi kode 3, dan pekerjaan ‘PNS’ diberi

kode 4.

e) Pendapatan per bulan

Pendapatan per bulan < Rp. 1.500.000,00 diberi kode 1,

pendapatan per bulan Rp. 1.500.000,00 – Rp. 2.500.000,00

diberi kode 2, pendapatan per bulan Rp. 2.500.000,00 – Rp.

3.500.000,00 diberi kode 3, dan pendapatan per bulan > Rp.

3.500.000,00 diberi kode 4.


56

f) Anggota keluarga

Jawaban “Tidak ada” diberi kode 0, jawaban ” Ada” diberi

kode 1.

g) Lamanya diagnosis

Lamanya diagnosis 3-12 bulan diberi kode 1, lamanya

diagnosis 1-5 tahun diberi kode 2, dan lamanya diagnosis >5

tahun diberi kode 3.

h) Riwayat merokok

‘Tidak pernah’ merokok diberi kode 0, ‘pernah merokok

namun sudah berhenti’ diberi kode 1, dan ‘masih merokok’

diberi kode 2.

i) Konsumsi alkohol

Tidak pernah mengkonsumsi alkohol diberi kode 0, konsumsi

alkohol 2-4x/bulan diberi kode 1, konsumsi alkohol

2-3x/minggu diberi kode 2, konsumsi alkohol > 4x/minggu

diberi kode 3, dan konsumsi alkohol setiap hari diberi kode 4.

j) Penyakit penyerta

Jawaban ‘tidak ada’ diberi kode 0, dan jawaban ‘ada’ diberi

kode 1.

k) Indeks Massa Tubuh (IMT)

Rentang IMT sangat kurus (<17) diberi kode 1, rentang IMT

kurus (17-18,5) diberi kode 2, rentang IMT normal


57

(>18,5-25) diberi kode 3, rentang IMT gemuk (>25-27)

diberi kode 4, dan rentang IMT obesitas (>27) diberi kode5.

l) Konsumsi obat-obatan

Jawaban ‘Ya’ diberi kode 1, dan jawaban ‘Tidak’ diberi

kode 2.

2) Kuesioner B (self management)

Pengkodingan pada self management dan kelima komponen

sama. Nilai yang terkategori ‘rendah’ diberi kode 1, ‘sedang’

diberi kode 2, dan ‘tinggi’ diberi kode 3.

d. Tabulasi data (Tabulating)

Penyusunan data (tabulasi) merupakan pengorganisasian data

sedemikian rupa agar dengan mudah dapat dijumlah, disusun, dan

ditata untuk disajikan dan dianalisis. Tabulasi dilakukan dengan

menyajikan data ke dalam bentuk tabel sesuai dengan tujuan

penelitian.

e. Memasukan data / Entri Data (Processing )

Data, yakni jawaban-jawaban dari masing-masing responden

yang dalam bentuk “kode” ( angka atau huruf ) dimasukkan kedalam

program atau “software” computer. Software computer ini bermacam-

macam, masing-masing mempunyai kelebihan atau kekurangannya.

Salah satu paket program yang paling sering digunakan untuk “entri

data” penelitian melalui pengelolaan berbasis komputer. Dalam proses

ini juga dituntut ketelitian dari orang yang melakukan “data entri” ini.
58

Apabila tidak maka akan terjadi bias, meskipun hanya memasukan

data saja (Notoadmodjo, 2012).

f. Penghapusan data (Cleaning)

Apabila dari semua data dari setiap sumber data atau

responden selesai dimasukan, perlu dicek kembali untuk melihat

kemungkinan-kemungkinan adanya kesalahan-kesalahan kode,

ketidaklengkapan, dan sebagainya, kemudian dilakukan pembetulan

atau koreksi. Proses ini disebut penghapusan data (Data Cleaning).

2. Analisa Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini dengan

menggunakan analisis univariat. Analisis univariat bertujuan untuk

menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian.

Bentuk analisis univariat tergantung dari jenis datanya (Notoatmodjo,

2010). Data demografi dan data terkait kesehatan menggunakan statistik

deskriptif begitu juga dengan gambaran self management. Analisis data

disajikan dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi dan persentase

menggunakan rumus analisis univariat sebagai berikut :

X
P= ×100 %
n

Keterangan :

P : Persentase

X : Jumlah responden yang dinilai

n : Jumlah seluruh responden


59

I. ETIKA PENELITIAN

Etika dalam penyusunan laporan meliputi :

1. Informed Consent ( lembar persetujuan menjadi responden)

Lembar persetujuan yang diberikan kepada subjek yang akan

dikaji. Jika responden bersedia, maka mereka harus menandatangani

lembar persetujuan. Jika responden tersebut menolak untuk dikaji, maka

penulis harus menghormati hak pasien (Hidayat, 2010). Pada penelitian

ini responden yang bersedia untuk dijadikan subyek penelitian

menandatangani form yang sudah disediakan.

2. Anonymity (tanpa nama)

Untuk menjaga kerahasiaan responden, penulis tidak

mencantumkan nama pada lembar pengumpulan data, hanya menuliskan

inisial pada lembar pengumpulan data atau hasil yang akan disajikan

(Hidayat, 2010). Pada penelitian ini nama responden diganti dengan

nama inisial.

3. Confidentiality (kerahasiaan)

Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaan oleh

penulis, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil

asuhan (Hidayat, 2010). Pada penelitian ini seluruh data yang sudah

terkumpul disimpan dan dijaga kerahasiaannya oleh peneliti.

4. EthicalClearance(ijin etika)

Ethical clearance adalah pernyataan, bahwa rencana kegiatan

penelitian yang tergambar dalam protokol, telah dilakukan kajian dan


60

telah memenuhi kaidah etik sehingga layak dilaksanakan. Seluruh

penelitian/riset yang menggunakan manusia sebagai subyek penelitian

harus mendapatkan ethical clearance, baik penelitian yang melakukan

pengambilan spesimen maupun tidak (Hidayat, 2010).


DAFTAR PUSTAKA

Aaronson, P.I. & Ward, J.P. 2010. At a glance : Sistem Kardiovaskular. Erlangga.
Jakarta.

Akhter, N. 2010. Self Management Among Patients With Hypertension in


Bangladesh. Tesis. Songkla University.

Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Edisi Revisi.


Rineka Cipta. Jakarta.

Black, J.M. & Hawks, J.H. 2014. Medical Surgical Nursing Clinical Management
For Positive Outcomes. Singapore: Elsevier.

Canadian Hypertension Education Program 2012. The 2012 canadian


hypertension education program recommendations. Canada:
Hypertension Canada.

Cahyani, Y.E. 2019. Gambaran Self Management Penderita Hipertensi di


Puskesmas Grogol Kabupaten Sukoharjo. Electronic Theses and
Dissertations. Universitas Muhamadiyah Surakarta.

Cheng and Bina, J. 2015. Genetics of hypertension. USA: Morgan & Claypool
Life Sciences.

Didik B. 2015. Hipertensi: The Silent Killer. Pusat Data dan Informasi
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Tersedia dalam
http://pusdatin.kemkes.go.id. Diakses tanggal 12 Februari 2020.

Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah. 2018. Profil Kesehatan Provinsi Jawa
Tengah Tahun 2018. Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah. Semarang.

Dinas Kesehatan Kabupaten Purbalingga. 2018. Profil Kesehatan Kabupaten


Purbalingga Tahun 2018. Dinas Kesehatan Kabupaten Purbalingga.
Purbalingga.

Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular


(P2PTM). 2017. Hari Hipertensi Sedunia. Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia. Tersedia dalam http://p2ptm.kemkes.go.id/kegiatan-
p2ptm/subdit-penyakit-jantung-dan-pembuluh-darah/hari-hipertensi-
sedunia. Diakses tanggal 12 Februari 2020.
ESH and ESC Guidelines. 2013. ESH/ESC Guidelines for the management of
arterial hypertension. Tersedia dalam
http://academic.oup.com.eurheartj/article-abstract/34/28/2159/451304.
Diakses tanggal 28 februari 2020

Hidayat, A.A. 2010. Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisa Data.
Salemba Medika. Jakarta.

Hidayat, I.R. 2016. Gambaran Self Care Management Klien Hipertensi di


Kelurahan Pudak Payung Semarang. Diponegoro University Institusional
Repository. Semarang.

Hugtenburg, J.G., Timmers, L, Elders, P.J.M., Vervloet, M, Van Dijk L. 2013.


Definitions, variants, and causes of nonadherence with medication: A
challenge for tailored interventions. Tersedia dalam
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23874088. Diakses tanggal 12
Februari 2020.

Hyman, D.J. and Pavlik, V. 2015. Medication adherence and resistant


hypertension.Tersedia dalam https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/
25209307. Diakses tanggal 12 Februari 2020.

James, P.A., Oparil, S., Carter, B.L, Cushman, W.C., Dennison-Himmelfarb C.,
Handler ,J., . 2014. Evidence-based guideline for the management of high
blood pressure in adults: report from the panel members appointed to the
eighth Joint National Committee (JNC 8). Tersedia dalam
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24352797. Diakses tanggal 12
Februari 2020.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Hipertensi. Pusat Data dan


Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Tersedia dalam
http://pusdatin.kemkes.go.id. Diakses tanggal 12 Februari 2020.

Lestari, I.G. dan Isnaini, N. 2018.Pengaruh Self Management Terhadap Tekanan


Darah Lansia Yang Mengalami Hipertensi. Indonesian Journal For
Health Sciences. ISSN 2549-2721.Vol 2 No1.

Mako K, Ureche, C., Jeremias, Z. 2018. An Updated Review Of Hypertensive


Emergencies and Urgencies. Journal of Cardiovascular Emergencies.
Tersedia dalam http://scholar.google.com/citations. Diakses tanggal 12
Februari 2020.
Muhadi. 2016. JNC 8: Evidence-based Guideline Penanganan Pasien Hipertensi
Dewasa. Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Nengrum, L.S. dan Wahyudi, A.S. 2019. Pengaruh Penerapan Chronic Condition
Self-Management (CCSM) Terhadap Kepatuhan Pengobatan Pasien
Hipertensi Peserta Prolanis BPJS di Malang Jawa Timur. Borneo Journal
of Laboratory Technology.

Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta.


Jakarta.

Notoatmodjo, Soekidjo. 2018. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta.


Jakarta.

Pikir, B.S., Aminudin, M., Subagjo, A., Dharmadjati, B.B., Suryawan, I.G., Eko,
J.N. 2015. Hipertensi Manajemen Komprehensif. Airlangga University
Press. Surabaya.

Pratiwi, MD. 2019. Hubungan Antara Ketidakpatuhan Konsumsi Antihipertensi


dengan Kejadian Hipertensi Urgensi Pada Pasien Hipertensi Puskesmas
Kedaton Bandar Lampung Periode Oktober- November 2018. Skripsi.
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.

Puskesmas Rembang. 2018. Profil Kesehatan Puskesmas Rembang Tahun 2018.


Purbalingga

Puskesmas Rembang. 2018. Sistem Informasi Manajemen Puskesmas (Simpus)


Purbalingga.

Riset Kesehatan Dasar. 2018. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,


Departemen Kesehatan. Republik Indonesia. Jakarta.

Saraswati, R. 2015. Pengaruh Program Edukasi Berbasis Komunitas Terhadap


Self Management Lansia Hipertensi di Puskesmas Gombong 2 Kebumen.
Padjajaran Nursing Journal.

Tang, K.L., Quan, H., Rabi, D.M. 2018. Measuring Medication Adherence in
Patients with Incident Hypertension : A Retrospective Cohort Study.
Tersedia dalam https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/28193217.
Diakses tanggal 12 Februari 2020.
The Eight Report of The Joint National Committee on Prevention, Detection,
Evalution, and Treatmen of High Blood Pressure. 2017. Tersedia dalam
http://www.nigjcardiol.org/article.asp?issn=0189-7969;year=2017;
volume=14;issue=1;spage=15;epage=18;aulast=Ukpabi. Diakses
tanggal 12 Februari 2020.

The Sevent Report of The Joint National Committee on Prevention, Detection,


Evalution, and Treatmen of High Blood Pressure. Tersedia dalam
https://www.nhlbi.nih.gov/files/docs/guidelines/jnc7full.pdf. Diakses
tanggal 12 Februari 2020.

Wei, T.M. 2017. Self-Management Approaches Among Hypertensive Resident in


Nursing Homes in Malaysia. Tersedia dalam
https://europepmc.org/abstract/med/29527274. Diakses tanggal 12
Februari 2020.

WHO. 2011. Regional Office for South-East Asia. Department of Sustainable


Development and Healthy Environments. Non Communicable Disease :
Hypertension.

Yogajarah, M, Sivasambu, B, Jaffe, E.A. 2015. Spontaneus Iliopsoas Haematoma


: A Complication of Hypertensive Urgency. Tersedia dalam
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25721829. Diakses tanggal 12
Februari 2020.

Anda mungkin juga menyukai