Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hipertensi adalah penyakit kronis yang berlangsung lama (berbilang bulan atau

tahun), seringkali disebut sebagai pembunuh gelap (silent killer), karena termasuk

penyakit yang mematikan, tanpa disertai dengan gejala-gejalanya lebih dahulu

sebagai peringatan-peringatan. (Lailatushifah, 2012). Hipertensi membuka

peluang 12 kali lebih besar bagi penderitanya untuk menderita stroke dan 6 kali

lebih besar untuk serangan jantung, serta 5 kali lebih besar kemungkinan

meninggal karena gagal jantung (congestive heart failure). (IKAPI, 2014).

Hipertensi masih merupakan tantangan besar di Indonesia. Betapa tidak,

hipertensi merupakan kondisi yang sering ditemukan pada pelayanan kesehatan

primer. Hal itu merupakan masalah kesehatan dengan prevalensi yang tinggi,

yaitu sebesar 25,8%. Berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah, prevalensi

hipertensi pada pendududk umur 18 tahun ke atas tahun 2007 di Indoensia adalah

sebesar 31,7%. Menurut provinsi, prevalensi hipertensi tertinggi di Kalimantan

Selatan (39,6%) dan terendah di Papua Barat (20,1%). (RI, 2013)

Sedangkan jika dibandingkan dengan tahun 2013 terjadi penurunan dari 5,9%

dari (31,7 % menjadi 25,8 %). Penurunan bisa bermacam-macam mulai dari alat

pengukur tensi yang berbeda sampai ada kemungkinan masyarakat sudah mulai

berobat ke fasilitas kesehatan. Prevalensi hipertensi berdasarkan wawancara

terjadi peningkatan dari 7,6% tahun 2007 menjadi 9,5 % tahun 2013. Prevalensi

hipertensi di Indonesia berdasarkan hasil pengukuran pada umur ≥18 tahun

`1
2

sebesar 25,8 %. Cakupan nakes hanya 36,8 %, sebagian besar (63,2%) kasus

hipertensi di masyarakat tidak terdiagnosis. (RI, 2013)

Salah satu program pemerintahan yaitu suatu sistem pelayanan kesehatan dan

pendekatan proaktif yang dilaksanakan secara terintergrasi yang melibatkan

Peserta, Fasilitas Kesehatan dan BPJS Kesehatan dalam rangka pemeliharaan

kesehatan bagi peserta BPJS Kesehatan yang menderita penyakit kronis untuk

mencapai kualitas hidup yang optimal dengan biaya pelayanan kesehatan yang

efektif dan efisien yang disebut Prolanis (Program Pengelolaan Penyakit Kronis).

Sasaran dari program prolanis ini adalah seluruh peserta BPJS Kesehatan

penyandang penyakit kronis (Diabetes Melitus Tipe 2 dan Hipertensi). (Sosial,

2014).

Menurut salah satu petugas Puskesmas, “program prolanis ini sudah berjalan

lebih dari 1 tahun”. Program ini diadakan diseluruh Puskesmas di Kota Kediri.

Adapun beberapa aktifitas prolanis yaitu konsultasi medis peserta prolanis,

edukasi kelompok peserta prolanis, reminder melalui SMS Gateway, Home visit.

(Sosial, 2014).

Peneliti telah melakukan Analisa data pasien prolanis Puskesmas di Kota

wilayah Utara pada Bulan Januari sampai Maret tahun 2022. Kegiatan yang

dilakukan sebelum aktifitas Prolanis adalah mengukur tekanan darah, setelah

kegiatan ada cek Gula darah, Asam urat dan yang terakhir pendidikan kesehatan

di puskesmas kota wilayah utara untuk kelompok prolanis telah dilakukan

klasifikasi penderita Diabetes melitus Tipe 2 dan Hipertensi.

Pengobatan hipertensi adalah pengobatan jangka panjang bahkan kemungkinan

seumur hidup, dibagi menjadi 2 jenis yaitu pengobatan non obat (non
3

farmakologis) dan pengobatan dengan obat-obatan (farmakologis). Selain cara

pengobatan non obat (non farmakologis), penatalaksanaan dengan obat

merupakan hal yang utama. Masalah psikologis yaitu pemakaian obat jangka

panjang membuat pasien penyakit kronis mengalami rasa tertekan. Hal ini

dikarenakan pasien diwajibkan untuk mengonsumsi obat setiap hari dan adanya

efek samping yang ditimbulkan obat. (Lailatushifah, 2012). Menurut salah satu

petugas Puskesmas, “selain dari 4 aktifitas prolanis, minum obat seumur hidup

bagi penderita hipertensi penting untuk mencegah komplikasi.”.

Kepatuhan digunakan untuk menggambarkan perilaku pasien dalam minum

obat secara benar tentang dosis, frekuensi dan waktunya. Kepatuhan minum obat

pada pengobatan hipertensi sangat penting karena dengan minum obat

antihipertensi secara teratur, dapat mengontrol tekanan darah penderita hipertensi

sehingga dalam jangka panjang, risiko kerusakan organ-organ penting tubuh,

seperti jantung, ginjal, dan otak dapat dikurangi. (Mahdiana, 2010).

Menurut Panitia Medik Farmasi dan Terapi RSUD Dr. Soetomo – FK Unair

(1994) cara untuk mendeteksi tingkat kepatuhan bisa dilakukan dengan 2 cara

yaitu yang pertama dengan cara tidak langsung seperti wawancara, menghitung

sisa dosis, meneliti catatan peresepan kembali dan untuk cara yang kedua dengan

cara langsung seperti memantau kadar obat dalam darah, memantau kadar

metabolik obat atau senyawa palacak dalam urin. Ada cara lain yaitu dengan

menggunakan skala MMAS-8 (Morisky Medication Adherence Scale) yang terdiri

tiga aspek yaitu frekuensi kelupaan dalam mengonsumsi obat, kesengajaan

berhenti mengonsumsi obat tanpa diketahui tim medis, kemampuan

mengendalikan diri untuk tetap mengonsumsi obat.


4

Berdasarkan data yang diperoleh peneliti pada tanggal 18 November 2016 dari

Dinas Kesehatan Kota Blitar jumlah penderita Hipertensi di Kota Blitar pada

tahun 2015 sejumlah 17.036 jiwa yang didapat dari 3 Kecamatan Se-Kota Blitar

dengan rincian jumlah penderita Hipertensi di Puskesmas Kepanjen Kidul 758

jiwa, Puskesmas Sanamwetan 6.974 jiwa dan Puskesmas Sukorejo 9.304 jiwa.

Pada bulan Januari sampai Juni 2016 jumlah pederita Hipertensi di Kota Blitar

sejumlah 7.980 dengan rincian jumlah penderita di Puskesmas Kepanjen Kidul

sejumlah 320 jiwa, Puskesmas Sanamwetann sejumlah 3.044 jiwa dan Puskesmas

Sukorejo sejumlah 4619 jiwa. Peneliti menyimpulkan bahwa angka terbanyak

penderita Hipertensi di Kota Blitar adalah di Puskesmas Sukorejo dengan diikuti

kegiatan Klub Prolanis yang sudah terprogram. Jumlah penderita Hipertensi yang

memiliki asuransi kesehatan juga mengikuti kegiatan aktifitas rutin setiap bulan

sebanyak 31 orang.

Pada hasil studi pendahuluan yang peneliti lakukan di UPTD Puskesmas

Kecamatan Sukorejo Kota Blitar tepatnya di Klub Prolanis pada tanggal 19

November 2016 dengan mewancarai salah satu petugas Puskesmas, “penderita

Hipertensi di klub Prolanis kadang-kadang tidak minum obat setiap hari karena

bosan, kebanyakan beranggapan minum obat dapat meracuni, tensi rendah tidak

minum obat dan berpindah dari obat farmakologis ke obat herbal”. Peneliti juga

mendapatkan hasil 3 dari 5 atau sekitar 60% penderita Hipertensi mengatakan

patuh dalam minum obat dikarenakan mereka mengetahui bahwa obat Hipertensi

tidak boleh putus dan harus diminum seumur hidup. Sedangkan 2 penderita lainya

mengatakan bosan, capek dengan minum obat secara terus menerus, minum obat
5

ketika tensinya tinggi dan tidak mengetahui kalau obat Hipertensi itu harus

diminum setiap hari.

Berdasarkan fenomena diatas peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul

“Kepatuhan Minum Obat Penderita Hipertensi Berdasarkan Skala MMAS-8 (Morisky

Medication Adherence Scale) Di Klub Prolanis UPTD Puskesmas Kecamatan Sukorejo”.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimanakah Kepatuhan Minum Obat Penderita Hipertensi Berdasarkan

Skala MMAS-8 (Morisky Medication Adherence Scale) Di Klub Prolanis UPTD

Puskesmas Kecamatan Sukorejo?.

1.3 Tujuan Penelitian

Menggambarkan Kepatuhan Minum Obat Penderita Hipertensi Berdasarkan

Skala MMAS-8 (Morisky Medication Adherence Scale) Di Klub Prolanis UPTD

Puskesmas Kecamatan Sukorejo.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi tempat penelitian

Hasil Penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar pada perawat atau

Petugas Kesehatan lain dalam mengontrol kepatuhan minum obat

penderita Hipertensi serta untuk mencegah terjadinya komplikasi akibat

Hipertensi.

1.4.2 Bagi isntitusi pendidikan


6

Penelitian dapat digunakan sebagai perkembangan ilmu pengetahuan

dan pendidikan di bidang kesehatan dan dapat digunakan untuk penelitian

lebih lanjut berkaitan dengan topik permasalahan yang sama.

1.4.3 Bagi Penderita Hipertensi

Dapat meningkatkan kepatuhan dan kesadaran akan pentingnya

minum obat bagi Penderita Hipetensi di Klub Prolanis.

Anda mungkin juga menyukai