Anda di halaman 1dari 32

EVALUSI RASIONALITAS PENGUNAAN

OBAT ANTIHIPERTENSI PASIEN RAWAT JALAN


DI RUMAH SAKIT X JAKARTA UTARA PERIODE JANUARI-MARET
2022

PROPOSAL

Disusun Oleh :

Nova Angjelia Siagian


19334733

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS FARMASI
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAl
JAKARTA
OKTOBER 2022
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Hipertensi merupakan penyakit kardiovaskular yang umum terjadi dimana
didiagnosis dengan adanya kenaikan tekanan darah ≥140/90 mmHg. Terjadinya
hipertensi biasanya disebabkan oleh kombinasi beberapa faktor (multifaktorial).
Berdasarkan bukti epidemiologis disebutkan bahwa faktor genetis, stres,
psikologis, pola hidup dan pola makan yang terkait dengan peningkatan asupan
garam dan penurunan asupan kalium dapat berkontribusi dalam terjadinya
hipertensi (Katzung, 2018).

Berdasarkan data WHO (World Health Organization), bahwa penderita


hipertensi akan terus menerus terjadi peningkatan berdasarkan penambahan
jumlah penduduk di tahun 2025 dan diprediksi sekitar 29% penduduk dunia
terkena hipertensi. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan bahwa
peningkatan hipertensi lebih tinggi terjadi pada negara ekonomi berkembang
dengan jumlah sekitar 40% sedangkan negara maju lebih rendah yaitu 35%.
Negara Afrika mencapai posisi teratas penderita hipertensi dengan jumlah 40%,
kawasan Amerika sebesar 35%, dan kawasan Asia penyakit hipertensi telah
membunuh sebanyak 1,5 juta orang di setiap tahunnya. Sedangkan kawasan
Indonesia sebesar 32% dari total jumlah penduduk yang ada (Tarigan dkk, 2018).
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2018) prevalensi hipertensi di
Indonesia sebesar 34,1%. Ini mengalami peningkatan dibandingkan prevalensi
hipertensi pada Riskesdas Tahun 2013 sebesar 25,8%. Diperkirakan hanya 1/3
kasus hipertensi di Indonesia yang terdiagnosis, sisanya tidak terdiagnosi.
Prevalensi hipertensi berdasarkan hasil pengukuran pada penduduk usia 18 tahun
sebesar 34,1%, tertinggi di Kalimantan Selatan (44.1%), sedangkan terendah di
Papua sebesar (22,2%). Hipertensi terjadi pada kelompok umur 31-44 tahun
(31,6%), umur 45-54 tahun (45,3%), umur 55-64 tahun (55,2%) (Kemenkes,
2018).
Hasil penelitian dari Morika (2016) bahwa risiko terjadinya komplikasi
semakin tinggi pada kelompok umur 45-54 tahun akan mempunyai resiko 5,972
kali dibandingkan dengan kelompok umur 15-24 tahun, meningkat lagi pada
kelompok umur 55-64 tahun dengan resiko 9,577 kali dibandingkan dengan
kelompok umur 15-24 tahun dan kelompok umur 65-74 tahun mempunyai resiko
14,931 kali dibandingkan dengan kelompok umur 15-24 tahun sebagai kelompok
umur pembanding dan akan meningkat sebesar 17,289 pada kelompok umur
diatas 75 tahun (Kemenkes R1,2019).
Penggunaan obat rasional adalah bentuk upaya dari world Health
Organization (WHO) melatarbelakangi keadaan bahwa sebanyak lebih dari 50%
obat dari seluruh dunia diresepkan, diracik, ataupun dijual tidak rasional atau
dengan kata lain tidak sesuai dan pasien tidak menggunakan obat tersebut secara
tepat. Peresepan yang baik akan meningkatkan penggunaan obat secara rasional
sehingga pasien menerima obat yang sesuai dengan kebutuhan klinisnya, dalam
dosis yang tepat untuk jangka waktu yang cukup dengan biaya yang rendah
(WHO, 2004). Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No. 129/Menkes/SK/II/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal
Rumah Sakit penulisan resep seluruhnya harus mengacu pada formularium
dengan standar 100%. Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit merupakan tolak
ukur dari pelayanan kesehatan di rumah sakit (Krisnadewi dkk,2014).
Seiring dengan meningkatnya kasus penderita hipertensi maka penggunaan
obat yang rasional oleh pasien hipertensi adalah salah satu hal penting dalam
tercapainya kualitas kesehatan. Penggunaan obat rasional adalah saat pasien
menerima pengobatan sesuai dengan kebutuhan klinis, dalam dosis sesuai yang
dibutuhkan setiap individu, jangka waktu yang sesuai dan dengan biaya terendah
untuk pasien. Evaluasi penggunaan obat antihipertensi tujuannya untuk
memastikan penggunaan obat tersebut rasional, digunakan dengan tepat, aman
dan efektif pada penderita hipertensi. Penggunaan obat rasional sangatlah penting
untuk meningkatkan keberhasilan terapi. Bila dari penggunaan obat tidak rasional
maka dapat menyebabkan penderita hipertensi semakin parah dan komplikasi
yang menyertai (Laura dkk, 2020).
Semakin meningkatnya prevalensi hipertensi dari tahun ketahun di karenakan
jumlah penduduk yang bertambah, aktivitas fisik yang kurang dan pola hidup
yang tidak sehat. Pola hidup yang tidak sehat tersebut antara lain adalah diet yang
tidak sehat misalnya tinggi gula, lemak dan garam, dan kurang mengonsumsi
makanan berserat. Selain itu adalah penggunaan tembakau dan alkohol (Sri dan
Herlina, 2016)
Jumlah kasus penderita hipertensi semakin tinggi maka jumlah penggunaan
pada obat antihipertensi akan semakin meningkat, sehingga kemungkinan
ketidakrasionalan penggunaan obat antihipertensi juga semakin tinggi. Pada
penelitian yang dilakukan Ekaningtyas (2021) evaluasi ketepatan penggunaan
obat antihipertensi yang dilakukan terhadap 133 rekam medik pasien hipertensi
di Puskesmas Kolongan, diperoleh hasil tepat dosis 100%, tepat indikasi sebesar
100%, tepat pasien sebesar 100%, tepat obat sebesar 84,21% dan tepat dosis
sebesar 85,71%. Pada penelitian yang dilakukan Kristuyowati (2020) jenis terapi
yang banyak digunakan adalah obat tunggal sebanyak 149 pasien (66,52%).
Golongan obat antihipertensi yang banyak digunakan adalah CCB (amlodipin)
(32,10%). Evaluasi tepat indikasi menunjukkan bahwa terdapat sebanyak 224
resep tepat indikasi (100%), 224 resep tepat pasien (100%), 158 resep tepat obat
(70,54%), 217 resep tepat dosis ( 96,87%). Rasionalitas peresepan obat rasional
terdapat sebanyak 151 resep rasional (67,41%).
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, peneliti ingin melakukan penelitian
terkait dengan kerasionalan penggunaan obat antihipertensi di Rumah Sakit X
Jakarta Utara. Dalam hal ini peneliti melihat sisi tepat pasien, tepat indikasi,
tepat obat, dan tepat dosis untuk menjamin efek pengobatan yang sesuai.

1.2. Rumusan Masalah


Bagaimana penggunaan obat antihipertensi di Rumah Sakit X Jakarta Utara pada
pasien hipertensi rawat jalan berdasarkan kategori tepat pasien, tepat obat, dan
tepat dosis?
1.3. Tujuan Penelitian
Mengedukasi bagaimana penggunaan obat antihipertensi pada pasien hipertensi
rawat jalan di Rumah Sakit X Jakarta Utara berdasarkan kategori tepat pasien,
tepat indikasi, tepat obat dan tepat dosis

1.4. Manfaat Penelitian


a. Bagi Pihak Rumah Sakit
Sebagai bahan evaluasi dalam penyusunan dan kebijakan di Rumah Sakit X
Jakarta Utara dalam penggunaan obat hipertensi
b. Bagi Peneliti
Menambah wawasan ilmu pengetahuan Kesehatan, khususnya dalam tata cara
penggunaan obat antihipertensi
c. Bagi Peneliti Lain
Sebagai sumber rujukan atau data dasar untuk penelitian selanjutnya
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Hipertensi
2.1.1. Definisi
Hipertensi merupakan suatu keabnormalan tekanan darah di arteri dimana
terjadi peningkatan tekanan darah hingga mencapai angka 140/90 mmHg atau
lebih (Katzung, 2018). Berdasarkan penyebab terjadinya, hipertensi dibedakan
menjadi 2 macam yaitu hipertensi primer dan hipertensi sekunder. Pada kasus
hipertensi primer tidak diketahui secara spesifik faktor penyebabnya, namun
ditengarahi faktor genetis dan faktor lingkungan yang menyebabkan terjadinya
hipertensi primer. Sedangkan pada kasus hipertensi sekunder diketahui
penyebab terjadinya adalah karena penyakit ginjal, penyempitan pembuluh
darah arteri, penyakit cushing, dan aldosteronisme (Katzung, 2018).
2.1.2. Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, hipertensi terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu:
2.1.2.1. Hipertensi esensial
Ada banyak kasus hipertensi yang terjadi saat ini dan kebanyakan
pasien hipertensi mengalami hipertensi esensial atau hipertensi primer,
dimana ada 90% dari semua kasus yang tidak diketahui penyebabnya.
Terdapat penyebab dari hipertensi yaitu kelainan ginjal atau hormonal,
tapi hanya ada sekitar 5-10% dari semua kasus. Pada komponen
genetik, untuk wanita lebih banyak mengalami hipertensi primer
daripada pria dan lebih banyak penduduk kota mengalami hipertensi
primer daripada orang pedesaan. Tidak hanya itu, penyebabnya juga
bisa terjadi akibat stress psikologis kronis, terlepas dari hal yang
berhubungan dengan pekerjaan atau kepribadiaan misalnya, frustasi
yang dapat menginduksi hipertensi (Kemenkes RI, 2019).
2.1.2.2. Hipertensi Sekunder
Terdiri dari 5-10% pasien yang mengalami hipertensi sekunder dan
penyebab spesifiknya yaitu apnea tidur, penyakit ginjal kronis,
aldosteronism primer, penyakit renovaskular, terapi kortikosteroid
jangka panjang dan sindrom cushing, feokromositoma, koarktasio
aorta, dan penyakit tiroid atau paratiroid. Hipertensi sekunder yang
harus diperhatikan pada pasien lansia yaitu 50 tahun, dan sebelumnya
terkontrol dengan baik menjadi refrakter terhadap pengobatan (SJ &
Papadakis, 2019). Hipertensi renal yaitu salah satu bentuk dari
hipertensi sekunder yang paling umum. Penyebabnya dari hipertensi
renal yaitu iskemik ginjal yang mengakibatkan pelepasan renin di
ginjal. Akibatnya, terjadi perubahan dari angiotensinogen membentuk
angiotensin I. Angiotensin Converting Enzym (ACE) mengubah
angiotensin I menjadi angiotensin II. Angiotensin II menyebabkan
vasokontriksi (Kenaikan TPR) dan pelepasan aldosteron. Aldosteron
akan mengakibatkan retensi natrium dan meningkatnya curah jantung.
Hipertensi hormonal memiliki beberapa penyebab yaitu sindrom
adrenogenital, Cushing’s syndrome, primary hyperaldosteronism,
Pheochromocytoma, atau kontrasepsi.
1) Sindrom adrenogenital terebentuknya kortisol pada daerah korteks
adrenal dihambat. Akibatnya, mengalami retensi natrium yang akan
meningkatkan volume cairan ekstra sel dan tingginya curah jantung.
2) Kasus Cushing’s syndrome, terjadinya pelepasan ACTH yang tidak
cukup akibat (neurogenik atau tumor hipofisa) atau tumor yang
terdapat di korteks adrenal otonom mengakibatkan glukokortikoid
dalam darah meningkat. Sehingga, menyebabkan tingginya efek dari
katekolamin (peningkatan curah jantung) dan peningkatan kerja dari
mineralokortiokid penyebab dari meningkatnya kortisol (retensi
natrium) sehingga menyebabkan hipertensi.
3) Primary hyperaldosteronism atau sindrom con penyebab dari tumor
korteks adrenal yang melepaskan aldosteron dengan jumlah yang
banyak tanpa adanya pengaturan.
4) Pheoxhromocytoma merupakan tumor yang terdapat pada medula
adrenal mampu menghasilkan katekolamin (epinefrin dan
norepinefrin) yang mengakibatkan peningkatan curah jantung dan
tahanan perifer total.
5) Kontrasepsi oral ketika terjadi peningkatan curah jantung akibat
retensi natrium. Hipertensi neurogenik penyebabnya yaitu ensefalitis,
udema serebral, perdarahan serebral, serta tumor otak yang
merangsang pusat sistem saraf simpatik pada otak, dan menyebabkan
tekanan darah meningkat. Terdapat sindroma jantung hiperkinetik
yang mengakibatkan hipertensi dan abnormalitas stimulasi pusat kerja
dari jantung (Kemenkes RI, 2019). Menurut Joint National Committee
(JNC 8) pengklasifikasian hipertensi dibagi sebagai berikut (James,
dkk, 2014)
Tabel 2.1. Klasifikasi Hipertensi

Klasifikasi Tekanan darah Tekanan darah


sistolik diastolik
Normal < 120 dan Dan < 80
Prehipertensi 120-139 atau Atau 80-89
Hipertensi Derajat 1 140-159 atau Atau 90-99
Hipertensi Derajat 2 ≥ 160 atau Atau ≥ 100

Tabel 2.2. Klasifikasi Tekanan Darah Target


Population Tekanan Darah Target
(sistolik/diastolic)
<60 tahun < 140/90 mmHg
>60 tahun < 150/90 mmHg
Chronic Kidney Disease(CKD) <140/90 mmHg
Diabetes < 140/90 mmHg
2.1.3. Patofisiologi
Berbagai faktor yang dapat mengontrol tekanan darah berkontribusi
mengembangkan hipertensi primer. Terdapat dua faktor utama meliputi
masalah hormonal (hormonnatriuretik, mekanisme renin angiotensin
aldosteron sistem (RAAS) atau gangguan elektrolit natrium, klorida, dan
kalium. Hormon natriuretik menyebabkan peningkatan konsentrasi natrium di
dalam sel yang mengakibatkan peningkatan tekanan darah. RAAS mengatur
natrium, kalium, dan volume darah akan mengatur tekanan darah di arteri
yaitu pembuluh darah yang akan membawa darah menjauh dari
jantung).Terdapat dua hormon yang terlibat dalam RAAS termasuk
angiotensin II dan aldosteron. Angiotensin II akan mengakibatkan proses
penyempitan pada pembuluh darah, membentuk meningkatkan pelepasan
bahan kimia yang akan meningkatkan tekanan darah, dan meningkatkan
produksi aldosteron. Kejadian proses penyempitan yang terjadi di pembuluh
darah dapat meningkatkan tekanan darah dan juga akan memberikan tekanan
pada jantung. Aldosteron menyebabkan natrium dan air akan tertinggal di
dalam darah dan hal tersebut akan mengakibatkan peningkatan volume darah
menjadi lebih besar yang akan meningkatkan tekanan pada jantung dan
meningkatkan tekanan darah. Tekanan darah arteri merupakan tekanan yang
terjadi di pembuluh darah dan khususnya letaknya berada pada dinding arteri.
Tekanan darah tinggi atau tekanan darah arteri memiliki dua diantaranya
yaitu tekanan darah sistolik (SBP) dan tekanan darah diastolik (DBP).
Dimana tekanan darah sistolik merupakan nilai yang mencapai puncak atau
tertinggi yang di saat jantung berkontraksi dan tekanan darah diastolik
merupakan keadaan yang terjadi pada saat jantung dalam keadaan istirahat
atau tekanan rendah sehingga ruang jantung terisi dengan darah (Kayce Bell,
dkk., 2018)
2.1.4. Gejala
Saat ini hipertensi memiliki terkenal dengan sebutan “silent killer” yang
sudah tidak asing lagi dengan hal tersebut karena gejala yang ada tidak
diketahui pasti bagi penderita itu sendiri dan kebanyakan orang yang terkena
hipertensi tidak menyadari ketika mengalaminya itulah mengapa hipertensi
mendapat sebutan silent killer. Bahkan, ketika tekanan darah sangat tinggi,
kebanyakan orang tidak memiliki tanda ataupun gejalanya. Beberapa orang
mungkin merasa memiliki gejala yaitu sakit kepala, muntah, pusing, dan
mimisan. Gejala seperti ini biasanya tidak terjadi ketika tingkat tekanan darah
sudah mencapai pada tahap yang parah atau mengancam jiwa. Satu-satunya
cara yang dilakukan untuk mengetahui apakah seseorang tersebut memang
terkena hipertensi harus berobat ke dokter atau professional perawatan
kesehatan guna mengukur tekanan darah (Kayce Bell, dkk, 2018).
2.1.5. Faktor Risiko
Menurut Nuraini (2015) faktor risiko hipertensi terdiri atas:
2.1.5.1.Umur
Umur berpengaruh terhadap hipertensi. Diketahui bahwa memasuki
usia tua atau semakin bertambahnya umur, maka tidak menutup
kemungkian akan terjadi risiko bagi penderita hipertensi akan lebih
besar. Berdasarkan hasil data dari Riskesdes 2007 kelompok umur
>55 tahun memiliki prevalensi mencapai >55%. Pada usia lanjut,
ditemukan terjadinya kenaikan pada tekanan darah sistolik. Hal
tersebut merupakan salah satu penyebab dari perubahan struktur yang
terdapat pada pembuluh darah yang membesar.
2.1.5.2.Jenis Kelamin
Pada prevalensi terkait hipertensi pada pria sama dengan wanita.
Tetapi, wanita terlindungi terhadap penyakit kardiovaskular sebelum
menopause yaitu penyakit jantung koroner. Pada wanita belum
terkena menopause maka akan terlindungi oleh hormon estrogen yang
memiliki fungsi untuk meningkatkan kadar HDL (High Density
Lipoprotein). Kadar HDL yang tinggi akan melindungi terjadinya
proses aterosklerosis.
2.1.5.3.Genetik
Riwayat keluarga atau keturunan genetik memiliki faktor risiko
terhadap penyakit hipertensi. Apabila dalam keluarga atau orang tua
merupakan penderita hipertensi maka, risikonya akan lebih besar yaitu
dua kali lebih besar terkena hipertensi daripada orang yang tidak
mempunyai riwayat hipertensi dalam keluarganya dan ditemukan ada
sekitar 70-80% penderita hipertensi esensial yang memiliki keluarga
dengan riwayat hipertensi.
2.1.5.4.Kebiasaan Merokok
Rokok memiliki zat kimia yang sifatnya beracun seperti nikotin dan
karbon monoksida bila dihisap melalui rokok akan masuk ke dalam
sirkulasi darah dan menyebabkan lapisan endotel pembuluh darah
arteri rusak, zat tersebut mengakibatkan terjadinya artereosklerosis
dan hipertensi. Merokok dapat meningkatkan denyut jantung.
Akibatnya, kebutuhan oksigen pada otot jantung meningkat. Penderita
hipertensi yang memiliki kebiasaan merokok akan lebih berbahaya
karena peningkatan risiko kerusakan pembuluh arteri sangat besar.
2.1.5.5.Pola Asupan garam dalam diet
Terjadi penumpukan cairan dalam tubuh akibat garam yang menarik
cairan di luar sel agar tidak di keluarkan, sehingga terjadi peningkatan
volume dan tekanan darah. Terdapat kasus sekitar 60% hipertensi
primer (esensial) mengakibatkan turunnya tekanan darah yang
menghalangi asupan garam. Ketika masyarakat mengkonsumsi asupan
garam sebanyak 3 gram atau kurang, sehingga tekanan darah menjadi
rendah. Sedangkan masyarakat yang mengkonsumsi garam 7-8 gram
tekanan darah lebih tinggi.
2.1.5.6.Stress
Stress merupakan salah satu faktor penyebab hipertensi yaitu mampu
meningkatkan tekanan darah sewaktu. Prosesnya pada saat stress
maka yang terjadi hormon adrenalin meningkat dan terjadi
pemompaan pada jantung lebih cepat sehingga tekanan darah akan
naik
2.1.5.7.Obesitas
Obesitas atau kelebihan berat badan termasuk salah satu faktor risiko
yang mengakibatkan tekanan darah pada kebanyakan kelompok etnik
untuk semua umur. Menurut Nasional Institutes for Health USA,
prevalensi tekanan darah tinggi terhadap orang IMD (Indeks Massa
Tubuh) yang memiliki indeks massa tubuh mencapai >30 (obesitas)
yaitu untuk pria 38% dan untuk wanita 32%. Jika dibandingkan
dengan prevalensi untuk wanita 17% dan pria 18% yang memiliki
IMT <25 (status gizi normal berdasarkan standar internasional)
2.1.5.8.Komplikasi
Hipertensi dapat menyebabkan perubahan padastruktural dan
fungsional pembuluh darah dan jantung. Hipertensi merupakan faktor
risiko utama untuk penyakit jantung, gagal jantung kongestif, stroke,
gangguan penglihatan, dan penyakit ginjal. Terkait timbulnya
peningkatan tekanan darah mampu terjadinya risiko komplikasi sangat
besar dan itu sangat tidak diharapkan bagi penderita hipertensi.
Beberapa penyakit penyerta yang menimbulkan terjadinya hipertensi
Menurut (Nuraini, 2015) yaitu:
A. Otak
Terjadinya stroke akibat adanya kerusakan pada otak yang
diakibatkan oleh hipertensi. Stroke mucul akibat adanya perdarahan,
tingginya tekanan intra kranial atau akibat dari terlepasnya embolus
dari pembuluh non otak. Stroke dapat terjadi bagi penderita hipertensi
kronik jika arteri-arteri yang berperan untuk mendarahi otak
mengalami hipertropi atau penebalan. Akibatnya, aliran darah yang
akan ke daerah-daerah untuk diperdarahinya berkurang.
B. Kardiovaskular
Pada kardiovaskular untuk infark miokard terjadi jika arteri koroner
menjadi arterosklerosis atau membentuk trombus yang akan
menghalangi aliran darah melalui pembuluh darah, sehingga tidak
mendapatkan suplai yang cukup pada miokardium. Kebutuhan
oksigen miokardium tidak terpenuhi mengakibatkan terjadinya
iskemia jantung, dan akhirnya menjadi infark
C. Ginjal
Terjadinya penyakit gagal ginjal kronik akibat kerusakan progresif
karena tekanan tinggi oleh kapiler-kapiler ginjal dan glomerulus.
Glomerulus yang rusak menyebabkan darah akan mengalir ke unit
fungsional ginjal, akibatnya nefron terganggu dan menjadi hipoksia
serta kematian ginjal.
D. Retinopati
Hipertensi menyebabkan kerusakan pembuluh darah pada retina.
Semakin tinggi tekanan darah dan hipertensi berlangsung lama, maka
akan berat pula kerusakan yang timbul. Tekanan darah tinggi
sehingga menyebabkan kelainan pada retina adalah iskemik optik
neuropati atau kerusakan saraf mata yang disebabkan aliran darah
yang tidak lancar, oklusif arteri dan vena retina terjadi karena
terjadinya penyumbatan aliran darah di arteri dan vena retina.
Penderita retinopati hipertensi yang umumnya tidak terlihat gejala
yang ditimbulkan, pada akhirnya dapat menjadi kebutaan untuk
stadium akhir.
2.1.6. Penatalaksanaan Hipertensi
2.1.6.1. Terapi Farmakologi
Telah dilakukan berbagai uji klinis dengan hasil yang menunjukkan bahwa
farmakoterapi antihipertensi dapat mengurangi risiko komplikasi mengenai
hipertensi misalnya, terjadi peningkan pada angka morbiditas dan mortalitas.
Penurunan tekanan darah 20/10 mmHg mampu menurunkan risiko
kardiovaskular hingga 50%. Namun, hingga saat ini sekitar 50% penderita
hipertensi mendapatkan pengobatan (Unger et al., 2020).
1. Penghambat enzim konversi angiostensin (ACEI)
ACEi merupakan terapi lini pertama untuk pasien penderita hipertensi.
ALLHAT menunjukkan bahwa pada gagal jantung dan stroke lebih sedikit
digunakan penggunaan obat chlortalidone kombinasi lisinopril. Namun,
dari hasil studi telah menunjukkan hasil yang sama, jika tidak lebih baik,
maka digunakan ACEi kombinasi hidroklorotiazid. Terdapat kemungkinan
jika thiazid yang berbeda mempunyai tingkat kemampuan dalam
mengurangi penderita kardiovaskular. ACEi memiliki fungsi untuk
memblokir degradasi bradikinin dan akan merangsang sintesis vasodilatasi
lainnya seperi prostaglandin E2 dan postaklisin. ACEi mampu
menurunkan tekanan darah dengan aktivitas renin plasma yang normal dan
terlihat bahwa bradikinin dan produksi jaringan ACE sangat utama dalam
patogenesis hipertensi. ACEi bekerja terhadap peningkatan bradikinin
akan meningkatkan efek dari penurunan tekanan darah, tetapi ACEi juga
memiliki efek samping dari batuk kering. ACEi efektif dalam mencegah
ataupun menurunkan hipertrovi ventrikel kiri dengan cara mengurangi
stimulasi yang terjadi secara langsung pada angiotensin II di sel miokard
(Dipiro et al., 2015)
2. Angiotensin Receptor Blokers
Pada angiotensin II dihasilkan dua jalur enzimatik yaitu, RAAS yang
melibatkan ACE dan jalur alternatif. ACEi hanya menghambat efek
angiotensin II yang diproduksi melalui RAAS, sedangkan ARB
menghambat angiotensin II dari semua jalur. Terapi penghambatan
angiotensin reseptor II secara langsung akan memblokir reseptor AT1
yang memediasi efek yang diketahui angiotensin II pada manusia seperti,
vasokontriksi, pelepasan aldosteron, aktivasi simpatis, pelepasan hormon
antidiuretik, dan penyempitan arteriol eferen glomerulus. ARB tidak
menghalangi reseptor AT2. Sehingga akan memberi efek yang
menguntungkan dari stimulasi reseptor AT2 tetap utuh ketika penggunaan
ARB. Berbeda dengan ACEi, ARB tidak menghalangi pemecahan
bradikinin. Oleh karena itu, ARB memiliki beberapa keuntungan dari
bradikinin, seperti vasodilatasi, regresi hipertrofi miosit dan fibrosis, dan
peningkatan kadar aktivator plasminogen jaringan. ARB termasuk dalam
pilihan terapi lini pertama pada kebanyakan kasus hipertensi. Terkait
terapi ARB secara tidak langsung dibandingkan dengan ACEi dalam
penanganan hipertensi. Pada penurunan kasus kardiovaskular dari terapi
ARB serupa dengan ACEi pada terapi hipertensi. Tidak hanya itu,
kombinasi ACEi dengan ARB tidak menimbulkan kardiovaskular yang
lain atau tambahan tetapi dihubungkan dengan risiko efek samping yang
sangat tinggi (disfungsi ginjal, hipotensi). Oleh karena itu, disarankan
dalam penanganan hipertensi menggunakan terapi ACEi dengan ARB
(Dipiro et al., 2015).
3. Kalsium Kanal Bloker
Kalsium kanal bloker adalah kelompok obat yang penting dalam
pengobatan hipertensi. Hipertensi yang disebabkan oleh tingginya
resistensi pembuluh darah perifer merupakan dasar penggunaannya agen
tersebut. Akibat dari kontraksi otot polos vaskuler bergantung pada
konsentrasi bebas Ca2+ intraseluler, penghambatan pergerakan
transmembran Ca2+ melalui saluran Ca2+ yang peka terhadap tegangan
mampu menurunkan jumlah total Ca2+ dan mencapai situs intraseluler.
Pada dasarnya, semua agen CCB menurunkan tekanan darah dengan
mengendurkan otot polos arteriol dan menurunkan resistensi pembuluh
darah perifer (Yaksh et al., 2018)
4. Diuretik
Diuretik thiazid merupakan agen antihipertensi yang paling efektif secara
konsisten dalam uji klinis. Agen ini awalnya menurunkan tekanan darah
dengan menurunkan volumeplasma. Hanya saja selama terapi jangka
panjang, efek hemodinamik utamanya yaitu pengurangan resistensi
pembuluh darah perifer. Sebagian besar agen ini jika dosis yang digunakan
lebih rendah maka, efek antihipertensi dari agen ini tercapai dari yang
digunakan sebelumnya. Biasanya, 12,5 mg hidroklorotiazid atau setara,
tetapi efek biokimia dan metaboliknya terkait dengan dosis. Pada uji klinis
chlorthalidone mempunyai keunggulan kontrol yang lebih baik terhadap
tekanan darah selama 24 jam daripada hidrokolorotiazid. Thiazid dapat
digunakan pada dosis yang lebih tinggi jika kalium plasma berada di atas
4,5 mmol/L. Diuretik loop seperti furosemid mengakibatkan elektrolit dan
volume penipisan lebih mudah daripada thiazid. Akibat efek samping ini,
maka diuretik loop harus disediakan dan digunakan untuk pasien dengan
disfungsi ginjal (kreatinin serum lebih besar dari 2,5 mg/dl [208,3
mcmol/L]; perkiraan laju filtrasi glomerulus (GFR) kurang dari 30
ml/menit) maka, hal ini lebih efektif daripada thiazid. Sehubung ACE
inhibitor dan β bloker, kemampuan dari diuretik lebih kuat jika diberikan
kepada orang berkulit hitam, orang tua, obesitas, dan subkelompok lain
dengan meningkatnya volume plasma atau aktivitas renin plasma rendah
atau keduanya. Agen ini relatif lebih efektif bagi perokok dibandingkan
bukan perokok. Pemberian thiazid dalam jangka panjang mampu
mengurangi hilangnya kandungan mineral tulang pada wanita usia lanjut
yang memiliki risiko besar terkena osteoporosis (SJ & Papadakis, 2019).
5. Beta Bloker
β bloker telah digunakan dalam beberapa uji coba pada hipertensi. Namun,
dalam sebagian besar dalam uji coba tersebut, tiazid merupakan agen lini
pertama dengan penyekat β ditambahkan dalam menurunkan tekanan
darah. Tetapi pasien hipertensi tetapi tanpa indikasi yang meyakinkan,
agen lini pertama yang digunakan seperti, ACEi, ARB, CCB, thiazid yang
digunakan untuk agen lini pertama sebelum penyekat β. Dalam hal ini,
terkait rekomendasi yang didasarkan dari meta-analisis untuk
menyarankan penggunaan terapi β-bloker mungkin tidak mengurangi
kardiovaskular dan agen lain ini saat digunakan untuk obat awal dalam
mengobati pasien hipertensi dan tanpa indikasi kuat pada penyekat β. Pada
penyekat β digunakan dalam agen lini pertama untuk mengobati indikasi
tertentu, seperti, pasca MI, penyakit arteri koroner (Dipiro et al., 2015).
6. Aldosterone Receptor Antagonis
Spironolakton dan eplerenon memiliki sifat natriuretik dalam keadaan
penahan natrium, seperti gagal jantung dan sirosis. Tetapi sangat lemah
dalam menurunkan hipertensi. Pentingnya aldosteron yang semakin
dibutuhkan dalam hipertensi yang efektif untuk menurunkan tekanan darah
pada pasien hipertensi terlepas dari tingkat renin dan efektif diberikan
pada kulit hitam. Aldosteron memainkan peran pada kerusakan organ,
termasuk perkembangan ventrikel dan vaskular hipertrofi dan fibrosis
ginjal. Spironolakton dapat mengakibatkan nyeri payudara dan
ginekomastia pada pria melalui aktivitas di reseptor progesteron,
sedangkan efek yang tidak terlihat spesifik dari eplerenon.Namun, kedua
obat tersebut memiliki masalah terkait hiperkalemia, terutama pada pasien
penyakit ginjal kronis (SJ & Papadakis, 2019)
7. Alpha Bloker
Prazosin, terazosin, dan doxazosin termasuk dalam golongan Alpha Bloker
dengan cara memblokir resptor alpha postsinaps, mengendurkan otot
polos, dan mengurangi tekanan darah dengan menurunkan pembuluh
darah perifer. Agen ini efektif untuk terapi obat tunggal pada beberapa
individu, tetapi takifilaksis dapat muncul selama terapi jangka panjang dan
efek samping realtif umum (SJ & Papadakis, 2019).

Tabel 2.2. Dosis Obat Antihipertensi (Johnson, dkk., 2015)

Golongan Obat Dosis Dalam Sehari Target dosis Frekuensi


Antihipertensi (mg) RCTs pemberian obat
Reviewed (mg) dalam sehari

ACE inhibitors
Captopril 50 150- 2
200
Enalapril 5 20 1-2
Lisinopril 10 40 1
Angiotensin receptor (ARBs)
blockers
Eprosartan 400 600- 1-2
800
Candesartan 4 12-32 1
Losartan 50 100 1-2
Valsartan 40-80 160- 1
320
Irbesartan 75 300 1
-Blockers
Atenolol 25-50 100 1
Metoprolol 50 100- 1-2
200
Calcium channel blockers
Alodipin 2-5 10 1
Diltiazem extended 120-180 360 1
release
Nitrendipin 10 20 1-2
Thiazide-type diuretics
Bendroflumethiazide 5 10 1
Chlorthalidone 12.5 12.5- 1
25
Hydrochlorothiazide 12.5-25 25- 1-2
100
Indapamide 1.25 1.25- 1
2.5
Tabel 2.2 . Mekanisme kerja dan efek samping obat antihipertensi(JAMA,2014)

Golongan Mekanisme Kerja Obat Efek


samping
Diuretik Mengurangi penyerapan kalium oleh ginjal
Thiazide diuretics Menghambat kontransporter natrium dan Hipokalemia, hiponatremia,
klorida dalam tubulus terbelit distal hipomagnesemia, hiperurisemia,
ginjal; lebih efektif dalam control fotosensitifitas, dan efek metabolik
tekanan darah daripada diuretic loop termasuk dislipidemia dan gangguan
toleransi glukosa

Loop Diuretik Bekerja pada loop (lengkung) henle yang Hipokalemia, tetapi lebih sedikit efek
ada dalam ginjal. Tujuan utama diuretic samping metabolik lainnya
loop ialah mengurangi penyerapan kalium,
klorida, serta natrium sehingga produksi
urin jadi meningkat
Diuretik hemat kalium Menghambat saluran natrium epitel di Hiperkalemia
tubulus distal ginjal

Renin-Angiotensin Meredam refleksi gelombang


System Blockers arteri, meningkatkan
distensibilitas aorta, dan
venodilatasi
Angiotensin converting enzyme Memblokir konversi angiotensin I menjadi Batuk, hiperkalemia, peningkatan
(ACE) inhibitors angiotensi II kreatinin,
angioedema, dan toksisitas janin
Angiotensin II receptor Memblokir pengikatan angiotensin II ke Mirip dengan ACE inhibitor, kecuali tidak
type I blockers (ARB) reseptor angiotensin tipe 1 ada batuk
Penghambat renin Memblokir konversi angiotensinogen Mirip dengan ARB; diare pada dosis tinggi
menjadi angiotensin I
Calcium Channel Blockers Menghambat plasma tipe-tegangan tipe-L
saluran membran
Dihydropyridine Vasodilation Edema dependen, hiperplasia gingiva
Diltiazem Vasodilation and AV nodal blockade Bradikardia
Verapamil Vasodilation and AV nodal blockade Bradikardia, konstipasi

Beta Blockers Menghambat reseptor adrenergik Mengurangi toleransi olahraga, depresi,


dan
bronkospasme
Nonselective beta blockers Menghambat reseptor beta 1 dan 2 Lebih banyak bronkospasme
Selective beta blockers Memblokir reseptor beta 1 Lebih sedikit bronkospasme
Combined alpha and beta Memblokir reseptor beta and alpha
blockers
Aldosterone Blocker Memblokir reseptor aldosterone
Spironolactone Efek pemblokiran androgen,
termasuk menstruasi tidak
teratur, ginekomastia, dan
impoten
Eplerenone Kurang kuat, tetapi lebih sedikit efek
samping terkait pemblokiran androgen
Direct Vasodilators Relaksan otot polos Edema perifer
Alpha-1 Blockers Vasodilatation hipotensi postural
Central Adrenergic Agonists Menghambat tonus adrenergik sentral Mengantuk, kelelahan, dan mulut kering
Gambar 2.1. Algoritme Manajemen Hipertensi Berdasarkan JNC 8 (James dkk,
2014)

Dewasa ≥ 18 tahun dengan hipertensi

Terapkan intervensi gaya hidup (Lanjutkan


sepanjang pengobatan)

Tetapkan target tekanan darah dan mulai obat penurun tekanan darah
berdasarkan usia, diabetes, dan penyakit ginjal kronis (PGK)

Populasi umum (tidak diabetes/CKD) Diabetes/CKD

Umur ≥ 60 tahun Umur < 60 tahun Semua umur Diabetes Semua umur
present Dengan CKD present with or
No CKD without diabetes

Target Tekanan Darah SBP < Target Tekanan Darah SBP Target Tekanan Darah SBP < Target Tekanan Darah SBP
150 mm Hg DBP < 90 mm Hg < 150 mm Hg DBP < 90 150 mm Hg DBP < 90 mm Hg < 150 mm Hg DBP < 90
mm Hg mm Hg

Nonblack Black Semua ras

Memulai diuretik tipe thiazide atau Memulai diuretik tipe thiazide Memulai ACEI atau ARB, sendiri atau
ACEI atau ARB atau CCB, sendiri atau atau CCB, sendiri atau dalam dalam kombinasi dengan golongan
dalam kombinasi kombinasi obat lain

Pilih strategi perawatan obat


Maksimalkan pengobatan pertama sebelum menambahkan obat kedua atau
Tambahkan obat kedua sebelum mencapai dosis maksimal obat pertama
Mulai dengan 2 kelas pengobatan secara terpisah atau sebagia kombinasi dosis tetap

Yes
Mencapat target tekanan darah?
NO
Perkuat pengobatan dan kepatuhan gaya hidup
Untuk strategi A dan B, tambahkan
Nodan titrasi diuretik tipe thiazide atau ACEI atau ARB atau
CCB (gunakan kelas pengobatan yang sebelumnya tidak dipilih dan hindari penggunaan
kombinasi ACEI dan ARB). Untuk strategi C, titrasi dosis obat awal hingga maksimum

Mencapai target tekanan darah? Yes


NO

Perkuat pengobatan dan kepatuhan gaya hidup. Tambahkan dan titrasi diuretik tipe tiazid atau
ACEI atau ARB atau CCB (gunakan golongan obat yang sebelumnya tidak dipilih dan hindari
penggunaan kombinasi ACEI dan ARB).

Mencapai target tekanan darah?


Yes
NO
Perkuat pengobatan dan kepatuhan gaya hidup Tambahkan kelas obat tambahan
(misalnya, B-blocker, antagonis aldosteron, atau lainnya) Dan/atau rujuk ke dokter
yang ahli dalam manajemen hipertensi

Lanjutkan perawatan
No
Mencapai target tekanan darah??? Yes dan pemantauan saat
ini
8. Kombinasi Obat Antihipertensi
Tujuan utama pengobatan hipertensi adalah untuk mencapai dan
mempertahankan target TD. Jika target TD tidak tercapai dalam waktu satu bulan
pengobatan, maka dapat dilakukan peningkatan dosis obat awal atau dengan
menambahkan obat kedua dari salah satu kelas (diuretik thiazide, CCB , ACEI ,
atau ARB ) (Johnson, dkk., 2015)

Gambar 2.2. Algoritma Penatalaksanaan Hipertensi Esensial, Terapi Awal dan Kombinasi
((James, dkk, 2014)

Umur > 55 thn


Umur
atau orang kulit hitam atau Afrika
< 55 thn atau Karibia pada semua umur

Langkah 1 C1
A

Langkah 2 A + C1

A+C+D
Langkah 3

Resistant hypertension
Langkah 4 A + C + D + pertimbangkan pemberian diuretic lebih lanjut
atau -blocker atau -blocker
Pertimbangkan untuk mencari saran dari ahlinya

Keterangan :

A = ACE inhibitor atau angiotensin II receptor blocker (ARB)

C = Calcium Channel Blocker (CCB)

D = Thiazide-like diuretic
Kombinasi dua obat dosis rendah direkomendasikan untuk kondisi TD
>20/10 mmHg di atas target dan tidak terkontrol dengan monoterapi. Secara
fisiologis konsep kombinasi 2 obat (dual therapy) cukup logis, karena respon
terhadap obat tunggal sering dibatasi oleh mekanisme counter aktivasi. Sebagai
contoh kehilangan air dan sodium oleh thiazide akan dikompensasi oleh RAAS
sehingga akan membatasi efektivitas thiazide dalam menurunkan tensi.
Kombinasi 2 golongan obat dosis rendah yang direkomendasikan adalah
penghambat RAAS+diuretic dan penghambat RAAS+CCB. Penting harus diingat
jangan menggunakan kombinasi ACEI dan ARB pada 1 pasien yang sama. Jika
target TD tidak bisa dicapai menggunakan 2 macam obat antihipertensi dalam
rekomendasi di atas atau karena kontra indikasi atau dibutuhkan lebih dari 3 obat
untuk mencapai target TD, obat antihipertensi dari kelas lain dapat digunakan.
Rujukan ke spesialis hipertensi dapat diindikasikan untuk pasien yang target TD
tidak dapat dicapai dengan menggunakan strategi di atas atau untuk pengelolaan
pasien yang kompleks yang memerlukan tambahan konsultasi (Johnson, dkk,
2015). Guideline JNC VIII merekomendasikan kombinasi ACE-inhibitor atau
ARB dengan CCB dan atau thiazid. Konsep ini sama dengan guideline UK. yang
pertama merekomendasikan kombinasi ACE-inhibitor atau ARB dengan CCB
(A+C).

2.1.7. Terapi Non Farmakologis


Terapi non farmakologis untuk pengobatan hipertensi yang diberikan kepada
pasien dengan tekanan darah tinggi. Hal ini dapat menambahkan efek obat
antihipertensi pada peningkatan tekanan darah awal yang lebih jelas (yaksh
dkk, 2018).
1) Penurunan berat badan untuk orang yang obesitas atau kelebihan berat
badan sedang.
2) Memberikan batasan terhadap konsumsi natrium menurunkan tekanan
darah pada beberapa pasien.
3)Membatasi asupan alkohol ke tingkat sedang (konsumsi harian < 20g pada
Wanita, <40g pada pria) mampu menurunkan tekanan darah
4) Peningkatan aktivitas fisik dapat meningkatkan pengendalian hipertensi
5) Pembedahan bariatrik pada pasien yang memiliki berat badan berlebih
dapat membuat tekanan darah menjadi normal dan meningkatkan harapan
hidup.
2.1.8. Rasionalitas Penggunaan Antihipertensi
Menurut World Health Organization (WHO) bahwa masyarakat sering
melakukan pengobatan sendiri. Dalam penggunaan obat rasional
persyaratannya harus menerima obat tersebut sesuai kebutuhan pasien dosis
yang memenuhi persyaratan bagi individu dalam periode waktu yang cukup
dan harga yang murah untuk pasien dan masyarakat (Kemenkes RI, 2011).
1. Tepat diagnosis
Tepat diagnosis yaitu penggunaan obat yang tepat indikasi. Apabila tidak
menegakkan diagnosa dengan benar dan tepat, maka pemilihan obat akan
keliru karena mengacu pada diagnosa. Akibanya, obat yang diberikan tidak
sesuai dengan indikasi dan tidak memberikan efek terapi yang diinginkan
2. Tepat Pasien
Ketepatan pasien dalam pemilihan obat harus sesuai dengan keadaan pasien
secara individu sehingga tidak menimbulkan kontraindikasi.
3. Tepat Pemilihan Obat
Dalam menentukan pemilihan obat terlebih dahulu tegakkan diagnosa yang
tepat dan benar sebagai terapi yang akan digunakan sehingga ketepatan obat
harus dinilai berdasarkan kesesuaian obat dengan mempertimbangkan
diagnosa yang telah ditegakkan.
4. Tepat Indikasi
Tepat indikasi dinyatakan bahwa setiap obat mempunyai terapi yang spesifik
sehingga, dalam pemberian obat harus sesuai dengan indikasi pasien dan
dilihat dari kondisi pasien, perlu atau tidak diberikan obat tersebut.
5. Tepat dosis dan cara pemberian
Evaluasi ketepatan dosis dan cara pemberian obat sangat berpengaruh
terhadap efek terapi obat. Apabila pemberian dosis yang berlebihan akan
sangat berisiko, karena menimbulkan efek samping yang tidak diharapkan.
Sebaliknya, ketika pemberian dosis yang terlalu kecil maka, akan untuk
tercapainya efek terapi yang diinginkan sangat kecil. Maka dari itu, untuk
tepat doisis dan cara pemberian harus lebih diperhatikan untuk
meminimalkan efek samping berlebih dan efek terapi yang dinginkan bisa
tercapai dengan maksimal.
6. Tepat Interval waktu pemberian
Pada waktu pemberian obat terkait pemberian obat yang semakin sering
seperti 4 kali dalam sehari, mengakibatkan tingkat ketaatan meminum obat
semakin menurun dan cara pemberian obat harusnya dibuat sesederahan dan
praktis agar pasien lebih taat dalam hal interval waktu pemberian obat,
misalnya 3 kali dalam sehari artinya diminum dengan interval tiap 8 jam.
7. Waspada terhadap efek samping
Dalam pemberian obat memiliki potensi terjadinya efek samping, dimana hal
yang tidak diinginkan yang muncul saat pemberian obat dengan dosis terapi.
8. Tepat informasi
Dalam penggunaan obat, tepat informasi sangat penting untuk mendapatkan
hasil terapi yang diinginkan, jika informasi yang diberikan kepada pasien
tidak benar atau kurang tepat maka, terapi yang diinginkan tidak sesuai
9. Tepat tindak lanjut
Dalam penggunaan obat, tepat informasi sangat penting untuk mendapatkan
hasil terapi yang diinginkan, jika informasi yang diberikan kepada pasien
tidak benar atau kurang tepat maka, terapi yang diinginkan tidak sesuai
10. Tepat Penyerahan Obat
Saat pasien membawa resep ke apotek atau di puskesmas, baik apoteker,
asisten apoteker memberikan obat kepada pasien sesuai yang tertulis dalam
resep. Dalam hal pemberian dan penyerahan obat harus tepat untuk
menghindari keselahan yang tidak diinginkan dan mendapatkan obat sesuai
keinginan dan proses penyerahannya juga harus diikuti pemberian informasi
dari petugas kesehatan kepada pasien
11. Pasien harus patuh pada perintah dalam pengobatan yang diinginkan
Beberapa tingkah pasien dalam hal ketidaktaatan dalam mengkonsumsi obat,
terjadi saat keadaan berikut:
a. Terdapat jenis dan jumlah obat yang diberikan terlalu banyak
b. Dalam hal interval waktu, pemberian obat dalam perhari dilakukan
terlalu sering
c. Tidak adanya informasi yang diberikan kepada penderita terhadap obat
dalam jangka Panjang
d. Timbulnya beberapa efek samping tanpa pemberian informasi atau
penjelasan terlebih dahulu
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Rancangan Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif
merupakan penelitian yang hasilnya berupa gambaran atau keadaan secara
sistematik dan akurat (Siswanto dkk, 2015). Dalam pengumpulan data dilakukan
secara retrospektif yaitu pengumpulan data yang telah lampau melalui lembaran
rekam medis resep dari penderita hipertensi bulan Januari-Maret tahun 2022
3.2. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari – Mei 2023 di Rumah Sakit X
Jakarta Utara
3.3 Populasi dan Sampel
3.3.1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian yang akan diteliti. Populasi
dalam penelitian ini adalah seluruh rekam medis pasien hipertensi di instalasi
rawat jalan Rumah Sakit X Jakarta Utara. Rekam medis yang dipilih yaitu
rekam medis yang sesuai dengan kriteria inklusi. Kriteria inklusi pada
penelitian ini adalah:

A) Rekam medis pasien yang terdiagnosa utama hipertensi di instalasi rawat


jalan Rumah Sakit X Jakarta Utara pada bulan Januari – Maret 2022
dengan atau tanpa peyakit penyerta
B) Rekam medis pasien yang terdiagnosa utama hipertensi pada bulan
Januari – Maret 2022 yang lengkap dan terbaca

3.3.2. Sampel Penelitian


Sampel adalah bagian dari populasi. Sampel dalam penelitian ini adalah
seluruh populasi yang memenuhi kriteria inklusi. Metode pengambilan
sampel yang digunakan pada penelitian ini yaitu proportional stratified
random sampling yaitu pengambilan sampel dimana populasi dikelompokkan
dalam strata tertentu, kemudian sampel diambil secara random dengan
proporsi yang seimbang sesuai dengan posisinya dalam populasi. Keuntungan
menggunakan metode ini yaitu pelaksanaannya mudah dan adanya stratifikasi
yang dapat meningkatkan presisi sampel terhadap populasi. Namun
kelemahannya yaitu harus membagi sampel secara terpisah dan berbeda tiap
kelompok sehingga dibutuhkan ketelitian dan waktu yang cukup lama
(Suharsaputra, 2012). Estimasi besarnya sampel ditentukan menggunakan
rumus Slovin yaitu: (Dahlan, 2008)

n=
1+𝑁 𝑒2

Keterangan:

n: Jumlah Sampel

N: Jumlah Populasi yang diketahui

𝑒2 : Nilai Kesalahan yang dapat ditolerir

3.5. Jenis Variable


Variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang, obyek,
organisasi, atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh
peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2016).
Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel independen (variabel bebas)
dan variabel dependen (variabel terikat).
a. Variabel bebas (Independen)
Variabel bebas berupa penggunaan obat antihipertensi pada pasien di Rumah
Sakit X Jakarta Utara pada bulan Januari – Maret 2022
b. Variabel terkait (Dependen)
Variabel terkait berupa kesesuaian penggunaan obat antihipertensi secara
rasional pada pasien di Rumah Sakit X Jakarta Utara bulan Januari – Maret
2022
3.6. Definisi operasional
a. Evaluasi rasionalitas adalah evaluasi yang bertujuan untuk mengevaluasi
serta menjamin penggunaan obat terkait keamanan serta efikasi yang sesuai
dengan kondisi klinis pasien.
b. Hipertensi adalah kondisi patologis dimana tekanan darah meningkat >
140/90 mmHg secara persisten.
c. Tepat indikasi adalah pemberian obat sesuai dengan indikasi yang tepat
sesuai dengan diagnosis yang ditegakkan.
d. Tepat pasien adalah ketepatan pemilihan obat yang didasarkan pada kondisi
klinis pasien diantaranya yaitu penyakit komplikasi, alergi, ataupun
kontraindikasi lainnya yang disesuaikan dengan literatur yang digunakan
dalam penelitan Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hipertensi tahun 2006.
e. Tepat obat adalah ketepatan untuk menentukan golongan terapi baik tunggal
maupun kombinasi yang didasarkan pada klasifikasi hipertensi serta usia
pasien dan disesuaikan dengan literatur yang digunakan dalam penelitian
yaitu American Society of Hypertension (ASH) tahun 2013.
f. Tepat dosis adalah jumlah dosis yang diberikan tidak lebih dan tidak kurang
dan tepat frekuensi pemberiannya, serta sesuai dengan literatur yang
digunakan dalam penelitian Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hipertensi
tahun 2006.
g. Rekam medik lengkap adalah berkas yang berisikan tentang data demografi,
diagnosis, dan pengobatan pasien.

3.7. Alat dan Bahan Penelitian


a. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah
a. Alat Tulis
b. Laptop
b. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
a. Form Pengambilan Data
b. Form Rekapitulasi Data
c. Rekam Medis
3.8. Tahapan Penelitian
1. Meminta izin pada ketua jurusan farmasi ISTN untuk melakukan penelitian di
Rumah Sakit X Jakarta Utara
2. Menemui Bagian Penunjang Rumah Sakit X Jakarta Utara untuk meminta
izin melakukan penelitian dengan membawa surat rekomendasi dari jurusan
farmasi ISTN
3. Meminta izin ke Bagian Instalasi Farmasi untuk dapat mengakses rekam
medis pasien hipertensi di Rumah Sakit X Jakarta Utara
4. Menyerahkan surat izin kepada Kepala Bagian Rekam Medis Rumah Sakit X
Jakarta Utara
5. Mengumpulkan data rekam medis pasien hipertensi dari bagian rekam medis
di Rumah Sakit X Jakarta Utara
6. Analisis data serta menyajikannya dalam bentuk uraian, grafik, serta
prosentase. Grafik tersebut akan dibuat menggunakan Microsoft Excel 2007
3.9. Bagan Alur Penelitian

Persiapan (permohonan izin penelitian)

Mengumpulkan data mengenai pasien hipertensi di RS Mitra


Keluarga Kelapa Gading

Identifikasi kriteria sampel


Pencatatan data pada rekam medis pasien yang sesuai
dengan kriteria inklusi

Evaluasi rasionalitas penggunaan obat antihipertensi


sesuai literatur

Pengolahan data

Penyajian data

Gambar 4.1 Bagan alur penelitian


4.0. Kerangka Teori

Etiologi:
Hipertensi
1. Hipertensi primer
2. Hipertensi sekunder

Terapi Farmakologis
Terapi Non Farmakologis Diet,
ACEI, diuretik, CCB, β-Blocker, ARB, α-1 Blocker, Agonis
mengurangi asupan garam,
α-2 Sentral, Vasodilator Arteri Langsung
olahraga, mengurangi konsumsi
alkohol, berhenti merokok

Tidak Rasional
Rasional

Kualitatif (Kemenkes, Kuantitatif (Florensia,


2011) 2016)

Tepat Tepat Tepat Tepat Tepat Tepat Tepat Tepat


Waspada
indikasi pasien obat dosis diagnosis informasi harga cara dan
efek
samping lama
obat pemberia
n

Keterangan:
Yang dilakukan

Yang tidak dilakukan


DAFTAR PUSTAKA
DiPiro J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L. and DiPiro C. V., 2015,
Pharmacotherapy Handbook, Ninth Edit., McGraw-Hill Education
Companies, Inggris.
Ekaningtyas, A., Wiyono, W., & Mpila, D. (2021). Evaluasi Penggunaan Obat
Antihipertensi Pada Pasien Hipertensi Di Puskesmas Kolongan Kabupaten
Minahasa Utara. Pharmacon, 10(November), 1215–1221
Friendman LS. Liver, Biliary Tract & Pancreas Disorders. 2010. In: McPhee SJ,
Papadakis MA, eds. Current Medical Diagnosis & Treatment. 49th ed.
McGraw-Hill Medical Publishing.
JAMA. Special Communication 2014 Evidence – Based Guideline For the
Management of High Blood Pressure in Adults Report from the Panel
Members Appointed to the Eight Joint National Committee (JNC 8). JAMA,
2014, 311(5).507-520.
James PA. Oparil S, Cushman WC, Dennison-Himmerlfarb C, Handler J, dkk. 2014.
Evidence-based guideline for the management of high blood pressure in
adults: report form the panel members appointed to the Eight Joint National
Committee (JNC 8). JAMA 2014:311(5):507-20.
JNC VII. 2003. The seventh report of the Joint National Committee on prevention,
detection, evaluation, and treatment of high blood pressure. Hypertension, 42:
1206-52.
Johnson RJ, Feehally J, Floege J. 2015. Comprehensive Clinical Nephrology. 5th
edition. Elseiver Saunders; Philadelpia
Katzung B G. 2018. Basic Clinical Pharmacology. 14th Ed. North America : Mc
Graw Education. P. 2-8, 642-643
kayce Bell, June Twiggs, B. R. O. (2018) ‘Hypertension : The Silent Killer : Updated
JNC-8 Guideline Recommendations’.
Kemenkes RI, 2011, Modul Penggunaan Obat Rasional, Bina Pelayanan
Kefarmasian, Jakarta.
Kemenkes RI, 2019, Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2018.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Infodatin hipertensi si pembunuh senyap.
Kemenkes RI. 2019; 1-10.
Kementrian Kesehatan RI. Hasil Riset Kesehatan. Kementrian Kesehat RI.
2018;53(9):1689–99.
Krisnadewi, AK., Subagio, PB., Wiratmo. (2014). Evaluasi Standar Pelayanan
Minimal Instalasi Farmasi RSUD Waluyo Jati Kraksaan Sebelum dan
Sesudah Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. e –
Journal Pustaka Kesehatan, Vol 2, No 1, 192-198
Kristiyowati, A. D. (2020). Evaluasi Penggunaan Obat Antihipertensi Pada Pasien
Hipertensi Dewasa Di Klinik Pelayanan Kesehatan Masyarakat (KPKM)
Buaran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Edu Masda Journal, 4(2), 177.
https://doi.org/10.52118/edumasda.v4i2.108
Laura A., Darmayanti A. danHasni D., 2020, EvaluasiPenggunaanObatAntihipertens
i Di PuskesmasIkur Koto Kota Padang Periode 2018, Human Care Journal,
5(2), 570.
Morika, H. D., & Yurnike, M. W. (2016). Hubungan Terapi Farmakologi Dan
Konsumsi Garam Dalam Pencapaian Target Tekanan Darah Pada Lansia
Penderita Hipertensi Di Puskesmas Lubuk Buaya Padang. Jurnal Kesehatan
Medika Saintika, 7(2), 11–24.
Nuraini, B. 2015, Februari. Risk Factor of hypertension. J majority, 4(5), 1-10. Perry
& Potter. 2009. Dasar dasar ilmiah dalam praktek keperawatan. Jakarta: EGC
Pulungan R, Chan A, Fransiska E. Evaluasi Penggunaan Obat Rasional di Puskesmas
Kabupaten Serdang Bedagai.2019. J Dunia Farm. 3(3):144–52.
Sri & Herlina (2016). Hubungan Gangguan Mental Emosional dengan Hipertensi
pada Penduduk Indonesia. 137–144.Jakarta: Media litbangkes
Tarigan Ar, Zulhaida Lubis, Syarifah. Pengaruh Pengetahuan, Sikap Dan Dukungan
Keluarga Terhadap Diet Hipertensi Di Desa Hulu Kecamatan Pancur Batu
Tahun 2016. Jurnal Kesehatan. 2018;11(1):9–17.
Unger, T., Borghi, C., Charchar, F., Khan, N. A., et. al. 2020 International Society of
Hypertension Global Hypertension Practice Guidelines. American Heart
Association Journals. 2020; 1334-1353.
Yaksh T, Wallace M. Opioids, analgesia and, pain management. In: Brunton LL,
Dandan RH, Knollmann BC, eds. Goodman and Gilman’s The
pharmacological basis of therapeutics. 13th Ed. New York: McGraw Hill;
2018. p. 355-85

Anda mungkin juga menyukai