Anda di halaman 1dari 33

HUBUNGAN PERAN APOTEKER DENGAN PERILAKU

SWAMEDIKASI PASIEN HIPERTENSI DI APOTEK


VINA FARMA 2 PATI

PROPOSAL SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat mencapai
Gelar Sarjana Farmasi (S.1)

PROGRAM STUDI S-1 FARMASI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KUDUS
2022
BAB I

1
2

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit degeneratif telah menjadi penyebab kematian terbesar di dunia
hingga saat ini. Menurut laporan Wordh Health Organization (WHO), kematian
diseluruh dunia diperkirakan terus meningkat yang disebabkan oleh penyakit
degeneratif. Di negara berkembang dan negara miskin akan terjadi
peningkatan terbesar. Diprediksikan jumlah total tahun 2030 pertahun akan
ada 52 juta jiwa kematian dari 38 juta jiwa pada tahun ini atau naik 14 juta
jiwa. akibat penyakit degeneratif dari populasi gobal lebih dari dua per tiga
(70%) akan meninggal (Kemenkes, 2020). Salah satu penyakit degeneratif
dengan tingkat morbiditas dan mortalitas paling tinggi adalah hipertensi.
Hipertensi menjadi salah satu penyakit tidak menular yang perlu diwaspadai
yang ditandai dengan peningkatan darah diatas normal secara persisten
(Bustan, 2018).
Hipertensi saat ini semakin meningkat jumlahnya, sebagaimana laporan
WHO angka kejadian hipertensi di dunia mencapai 10% dari seluruh
penduduk dunia (WHO, 2021).Di Amerika populasi dewasa yang menderita
hipertensi antara 20%-25%.Dari populasi ini 90%-95% menderita hipertensi
primer. Data statistik terbaru menyatakan bahwa 24,7% penduduk Asia
tenggara dan 23,3% penduduk Indonesia mengalami hipertensi. Hasil laporan
Riskesdas menunjukkan bahwa data penderita hipertensi di Indonesia
berdasarkan diagnosa dokter mengalami penurunan yaitu 8.8%. Penderita
hipertensi berdasarkan diagnosa dokter dibedakan pasien rawat inap
sebanyak 34.5% sedangkan pasien di poliklinik sebanyak 65.5% (Kemenkes,
2021). Prevalensi hipertensi di Jawa Tengah sebesar 26,4% dengan jumlah
544.771 penderita dengan hipertensi esensial (Dinkes Jateng, 2021). Menurut
Dinas Kesehatan Kabupaten Pati tahun 2021, hipertensi menempati urutan ke
3 setelah artritis dan diabetes yaitu sebanyak 54.131 kasus (7,12%).
Hipertensi terjadi karena peningkatan curah jantung, sehingga jantung
berdenyut lebih cepat yang akan meningkatkan volume sekuncup dengan
cara vasokonstriksi organ perifer sehingga aliran darah balik lebih banyak
(Smeltzer & Bare, 2018). Kondisi ini bila terjadi secara terus-menerus
menyebabkan hipertrofi otot jantung sehingga kontraksi jantung terganggu
yang berakibat pada kondisi infark miokard dan gagal jantung. Komplikasi
3

pada organ tubuh antara lain gagal ginjal, stroke, ensefalopati dan kejang
yang menyebabkan kematian. Gejala yang sering muncul adalah pusing (nyeri
kepala), palpitasi, fatigue, kaku kuduk dan lemah (Bustan, 2018). Hipertensi
tidak menunjukkan gejala awal (silent killer), sehingga langkah preventif
adalah melakukan pengontrolan tekanan darah secara rutin.Tekanan darah
umumnya diukur dengan alat yang disebut sphygmomanometer atau alat
digital.Tekanan darah normal adalah dibawah 120/80, tekanan darah antara
120/80 dan 139/89 disebut prahipertensi, tekanan darah 140/90 atau
diatasnya dianggap hipertensi (Kemenkes, 2018).
Kemenkes (2018) menyatakan bahwa tingginya prevalensi hipertensi
disebabkan kebiasaan yang tidak sehat, masyarakat saat ini cenderung
mengikuti pola konsumsi makanan siap saji yang mengandung bahan
pengawet, bahan pemanis dan zat kimia lainnya. Penderita hipertensi rata-
rata juga mempunyai riwayat pola makan yang tidak sehat. Menurut Sustrani
(2018), berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi dua golongan,
yaitu hipertensi esensial (hipertensi primer) yang tidak diketahui penyebabnya
(hipertensi idiopatik). Sudoyo (2020) menjelaskan bahwa faktor risiko
hipertensi dibagi menjadi dua yaitu faktor risiko yang dapat dihindari dan
faktor risiko yang tidak dapat dihindari. Faktor risiko hipertensi yang dapat
dihindari yaitu obesitas (kegemukan), pola makan (garam berlebihan, tinggi
kolesterol), merokok dan minum kopi, alkohol, stress dan ketegangan jiwa dan
kurang olahraga, sedangkan faktor risiko yang tidak dapat dihindari yaitu
genetik, umur, jenis dan ras atau suku (Bangun, 2020).
Hipertensi harus segera ditangani, karena komplikasinya dapat
membahayakan penderita seperti stroke, serangan jantung dan aneurisma
arterial penyebab utama gagal jantung kronis. Upaya yang bisa dilakukan
adalah pemberian terapi pengobatan secara tepat (Smeltzer & Bare, 2018).
Pengobatan harus dilakukan secara tepat, akan tetapi didapatkan sebanyak
50-70% pasien yang tidak patuh terhadap obat antihipertensi yang
diresepkan. Kepatuhan pengobatan jangka panjang penyakit kronis di Negara
Maju seperti Amerika, Eropa sebesar 50%, sementara di negara berkembang
seperti India, Thailand dan Indonesia lebih rendah yaitu 20-30% (WHO, 2017).
Pengobatan yang kurang tepat pada pasien hipertensi berpotensi menjadi
penghalang tercapainya tekanan darah dan dapat pula dihubungkan dengan
4

peningkatan biaya pengobatan, komplikasi dan kejadian DRPs (Drug Related


Problems) (Kemenkes, 2017).
Faktor utama penyebab DRP yang diidentifikasi antara lain kurangnya
pengetahuan pasien dengan obat-obatan yang dikonsumsi, kurang patuhnya
penggunaan obat, efektifitas obat yang kurang maksimal, dan kebutuhan akan
kontrol atau pemantauan tambahan. DRP ini dikaitkan dengan kontrol tekanan
darah yang buruk (Farha, 2015). Penelitian yang dilakukan Gumi dkk. (2018)
di Indonesia menunjukkan bahwa dari 35 pasien penderita hipertensi, terdapat
31 pasien yang secara nyata mengalami DRP. Pelaksanaan pelayanan
farmasi klinis untuk semua pasien dengan hipertensi sangat diperlukan
terutama untuk mengurangi angka kejadian DRP (Purnama, 2020). Upaya-
upaya telah dilakukan, termasuk pemberian informasi dan edukasi kepada
pasien agar pengobatan dilakukan secara tepat (Cugelman dkk, 2016).
Penderita hipertensi di masyarakat sebagian melakukan pengobatan sendiri
dengan membeli obat di Apotek (Siregar, 2021).
Penggunaan obat bebas dan obat bebas terbatas dalam pengobatan
sendiri (swamedikasi) harus mengikuti prinsip penggunaan obat secara
umum, yaitu penggunaan obat secara aman dan rasional (BPOM, 2020).
Pada penelitian Hilda (2020) disebutkan bahwa obat yang digunakan pada
swamedikasi hipertensi, yakni amlodipin sebanyak 80%, kaptopril sebanyak
7%, HCT sebanyak 2%, dan obat bahan alam sebanyak 11%. Responden
yang telah tepat aturan pakai sebanyak 100%. Sebanyak 2 responden
melaporkan adanya efek samping. Penelitian Ayu (2021) mendapatkan bahwa
peran apoteker pada pengobatan penderita hipertensi dilakukan dengan
konseling, penyesuaian obat dan pendidikan kepada pasien. Hasil yang
diperoleh adalah terkendalinya tekanan darah pasien, berkurangnya faktor
risiko, kepatuhan berobat yang meningkat dan peningkatan kualitas hidup
pasien.
Upaya masyarakat untuk mengobati dirinya sendiri dikenal dengan
istilah swamedikasi. Obatobatan yang digunakan untuk penanganan
pengobatan sendiri ini terbatas pada obat-obat golongan bebas dan obat
golongan bebas terbatas saja (Rikomah, 2016). Pada pelaksanaannya
swamedikasi dapat menjadi sumber terjadinya kesalahan pengobatan
(medication error) karena keterbatasan pengetahuan masyarakat akan obat
dan penggunaannya (Kemenkes, 2017).
5

Hasil survei pendahuluan di Apotik Vina Farma2 Pati didapatkan data


penderita hipertensi cukup tinggi, yaitu pada 3 bulan terakhir (September-
November 2022) mencapai 96 pasien (dengan rata-rata 1 bulan 32 orang).
Selama ini pasien menggunakan obat tanpa resep. Hasil wawancara kepada
10 orang didapatkan semuanya melakukan swamedikasi. Berdasarkan alasan
ini peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul hubungan peran
apoteker dengan perilaku swamedikasi pasien hipertensi di Apotek Vina
Farma 2 Pati.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas diambil rumusan masalah yaitu:
“Bagaimana hubungan peran apoteker dengan perilaku swamedikasi pasien
hipertensi di Apotek Vina Farma 2 Pati?”

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan peran apoteker dengan perilaku swamedikasi
pasien hipertensi di Apotek Vina Farma 2 Pati.

2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui peran apoteker pada pasien hipertensi di Apotek Vina
Farma 2 Pati.
b. Mengetahui perilaku swamedikasi pasien hipertensi di Apotek Vina
Farma 2 Pati.
c. Mengetahui hubungan peran apoteker dengan perilaku swamedikasi
pasien hipertensi di Apotek Vina Farma 2 Pati.

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini dapat menambah pengalaman penelitian dalam
penelitian tentang hubungan peran apoteker dengan perilaku swamedikasi
pasien hipertensi di Apotek Vina Farma 2 Pati.
2. Bagi Instansi Pendidikan
6

Penelitian ini akan menambah referensi dan informasi bagi


mahasiswa khususnya tentang hubungan peran apoteker dengan perilaku
swamedikasi pasien hipertensi di Apotek Vina Farma 2 Pati.
3. Bagi Masyarakat
Sebagai bahan masukan dan informasi bagi masyarakat yang
berkaitan dengan perilaku swamedikasi pasien hipertensi sehingga dapat
melakukan intervensi secara tepat dapat dijadikan masukan untuk
memberikan penyuluhan tentang penggunaan obat yang benar (bekerja
sama dengan dinas kesehatan daerah).
4. Bagi Profesi Apoteker
Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi tentang peran
apoteker dan perilaku swamedikasi pasien hipertensi.

E. Ruang Lingkup
1. Ruang Lingkup Ilmu
Ruang lingkup materi dalam penelitian ini adalah tentang hubungan peran
apoteker dengan perilaku swamedikasi pasien hipertensi di Apotek Vina
Farma 2 Pati.
2. Ruang Lingkup Tempat
Penelitian ini dilakukan di Apotek Vina Farma 2 Pati.
3. Ruang Lingkup Waktu
Penelitian ini dilakukan sejak pembuatan proposal pada Bulan September
2022-April 2023.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Peran Apoteker
1. Peran Apoteker Menurut WHO
Untuk bisa efektif sebagai anggota tim kesehatan, apoteker butuh
ketrampilan dan sikap untuk melakukan fungsi-fungsi yang berbeda-
beda. Konsep the seven-star pharmacist diperkenalkan oleh WHO dan
diambil oleh FIP pada tahun 2000 sebagai kebijaksanaan tentang
praktek pendidikan farmasi yang baik (Good Pharmacy Education
Practice ) (Daris, 2006). Adapun peran farmasis yang di gariskan oleh
WHO yang dikenal dengan istilah “ seven stars pharmacist” meliputi
(Firmansyah, 2009):
a. Pemberi Pelayanan
Dalam memberikan pelayanan mereka harus memandang pekerjaan
mereka sebagai bagian dan terintegrasi dengan sistem pelayanan
kesehatan dan profesi lainnya. Pelayanannya harus dengan mutu
yang tinggi.
b. Pembuat Keputusan
Penggunaan sumber daya yang tepat , bermanfaat , aman dan tepat
guna seperti SDM, obat-obatan, bahan kimia, perlengkapan,
prosedur dan pelayanan harus merupakan dasar kerja dari apoteker.
Pada tingkat lokal dan nasional apoteker memainkan peran dalam
penyusunan kebijaksanaan obat-obatan. Pencapaian tujuan ini
memerlukan kemampuan untuk mengevaluasi, menyintesa informasi
dan data serta memutuskan kegiatan yang paling tepat.
c. Komunikator
Apoteker adalah merupakan posisi ideal untuk mendukung hubungan
antara dokter dan pasien untuk memberikan informasi kesehatan dan
obat-obatan pada masyarakat. Dia harus memiliki ilmu pengetahuan
dan rasa percaya diri dalam berintegrasi dengan profesi lain dan
masyarakat. Komunikasi dapat dilakukan secara verbal (langsung),
non verbal, mendengarkan, dan kemampuan menulis.
d. Manajer
Apoteker harus dapat mengelola sumber daya (SDM, fisik dan
keuangan), dan informasi secara efektif. Mereka juga harus senang
dipimpin oleh orang lainnya, apakah pegawai atau pimpinan tim
kesehatan. Lebih-lebih lagi teknologi informasi akan merupakan
tantangan ketika apoteker melaksanakan tanggung jawab yang lebih
besar untuk bertukar informasi tentang obat dan produk yang
berhubungan dengan obat serta kualitasnya.
e. Pembelajar jangka panjang
Tidak mungkin memperoleh semua ilmu pengetahuan di sekolah
farmasi dan masih dibutuhkan pengalaman seorang apoteker dalam
karir yang lama. Konsep-konsep, prinsip-prinsip, komitmen untuk
pembelajaran jangka panjang harus dimulai disamping yang
diperoleh di sekolah dan selama bekerja. Apoteker harus belajar
bagaimana menjaga ilmu pengetahuan dan ketrampilan mereka
tetap up to date.
f. Pengajar
Apoteker mempunyai tanggung jawab untuk membantu pendidikan
dan pelatihan generasi berikutnya dan masyarakat. Sumbangan
sebagai guru tidak hanya membagi ilmu pengetahuan pada yang
lainnya, tapi juga memberi peluang pada praktisi lainnya untuk
memperoleh pengetahuan dan menyesuaikan ketrampilan yang telah
dimilikinya.
g. Pemimpin
Dalam situasi pelayanan multi disiplin atau dalam wilayah dimana
pemberi pelayanan kesehatan lainnya ada dalam jumlah yang sedikit,
apoteker diberi tanggung jawab untuk menjadi pemimpin dalan
semua hal yang menyangkut kesejahteraan pasien dan masyarakat.
Kepemimpinan apoteker melibatkan rasa empati dan kemampuan
membuat keputusan , berkomunikasi dan memimpin secara efektif.
Seseorang apoteker yang memegang peranan sebagai pemimpin
harus mempunyai visi dan kemampuan memimpin.
2. Peran Apoteker Menurut Peraturan yang Berlaku di Indonesia
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2014,
dalam melakukan Pelayanan Kefarmasian seorang Apoteker harus
menjalankan peran yaitu :
a. Pemberi layanan
Apoteker sebagai pemberi pelayanan harus berinteraksi dengan
pasien.Apoteker harus mengintegrasikan pelayanannya pada sistem
pelayanan kesehatan secara berkesinambungan.
b. Pengambil keputusan
Apoteker harus mempunyai kemampuan dalam mengambil
keputusan dengan menggunakan seluruh sumber daya yang ada
secara efektif dan efisien.
c. Komunikator
Apoteker harus mampu berkomunikasi dengan pasien maupun
profesi kesehatan lainnya sehubungan dengan terapi pasien.Oleh
karena itu harus mempunyai kemampuan berkomunikasi yang baik.
d. Pemimpin
Apoteker diharapkan memiliki kemampuan untuk menjadi
pemimpin.Kepemimpinan yang diharapkan meliputi keberanian
mengambil keputusan yang empati dan efektif, serta kemampuan
mengkomunikasikan dan mengelola hasil keputusan.
e. Pengelola
Apoteker harus mampu mengelola sumber daya manusia, fisik,
anggaran dan informasi secara efektif. Apoteker harus mengikuti
kemajuan teknologi informasi dan bersedia berbagi informasi tentang
obat dan halhal lain yang berhubungan dengan obat.
f. Pembelajar seumur hidup
Apoteker harus terus meningkatkan pengetahuan, sikap dan
keterampillan profesi melalui pendidikan berkelanjutan (Continuing
Professional Development/CPD)
g. Peneliti
Apoteker harus selalu menerapkan prinsip/kaidah ilmiah dalam
mengumpulkan informasi sediaan farmasi dan pelayanan
kefarmasian dan memanfaatkannya dalam pengembangan dan
pelaksanaan pelayanan kefarmasiaan.
B. Apotek
Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik
kefarmasian oleh apoteker (Menkes RI, 2014). Apotek memiliki tugas dan
fungsi sebagai :
a. Tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan
sumpah jabatan
b. Sarana farmasi untuk melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk,
pencampuran, dan penyerahan obat atau bahan obat.
c. Sarana penyaluran perbekalan farmasi dalam menyebarkan obat-obatan
yang diperlukan masyarakat secara luas dan merata.
1. Pelayanan Kefarmasian di Apotek
Pelayanan kefarmasian di apotek meliputi dua kegiatan, yaitu
kegiatan yang bersifat manajerial berupa pengelolaan sediaan farmasi,
alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dan pelayanan farmasi
klinik.Kegiatan tersebut harus didukung oleh sumber daya manusia,
sarana dan prasarana (Menkes RI, 2014).
a. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehaatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai
Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis
pakai dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku meliputi perencanaan, pengadaan, penerimaan,
penyimpanan, pemusnahan, pengendalian, pencatatan dan
pelaporan (Menkes RI, 2014).
1) Perencanaan
Dalam membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai perlu diperhatikan pola
penyakit, pola konsumsi, budaya dan kemampuan masyarakat.
2) Pengadaan
Untuk menjamin kualitas pelayanan kefarmasian maka
pengadaan sediaan farmasi harus melalui jalur resmi sesuai
ketentuan peraturan perundang- undangan.
3) Penerimaan
Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian
jenis spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang
tertera dalam surat pesanan dengan kondisi fisik yang diterima.
4) Penyimpanan
a) Obat/bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari
pabrik. Dalam hal pengecualian atau darurat dimana isi
dipindahkan pada wadah lain, maka harus dicegah terjadinya
kontaminasi dan harus ditulis informasi yang jelas pada
wadah baru. Wadah sekurang-kurangnya memuat nama obat,
nomor batch dan tanggal kadaluwarsa.
b) Semua obat/bahan obat harus disimpan pada kondisi yang
sesuai sehingga terjamin keamanan dan stabilitasnya.
c) Sistem penyimpanan dilakukan dengan memperhatikan
bentuk sediaan dan kelas terapi obat serta disusun secara
alfabetis.
d) Pengeluaran obat memakai system FEFO (First expire first
out) dan FIFO (First In First Out).
5) Pemusnahan
a) Obat kadaluwarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai
dengan jenis dan bentuk sediaan. Pemusnahan obat
kadaluwarsa atau rusak yang mengandung narkotika dan
psikotropika dilakukan oleh apoteker dan disaksikan oleh
dinas kesehatan kabupaten/kota. Pemusnahan obat selain
narkotika dan psikotropika dilakukan oleh apoteker dan
disaksikan oleh tenaga kefarmasian lain yang memiliki surat
izin praktik atau surat izin kerja. Pemusnahan dibuktikan
dengan berita acara pemusnahan menggunakan formulir satu
sebagaimana terlampir.
b) Resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu 5 (lima)
tahun dapat dimusnahkan. Pemusnahan resep dilakukan oleh
apoteker disaksikan sekurang-kurangnya petugas lain di
apotek dengan cara dibakar atau pemusnahan lain yang
dibuktikan dengan berita acara pemusnahan resep
menggunakan formulir 2 sebagaimana terlampir dan
selanjutnya dilaporkan kepada dinas kesehatan
kabupaten/kota.
6) Pengendalian
Pengendalian dilakukan untuk mempertahankan jenis dan jumlah
persediaan sesuai kebutuhan pelayanan, melalui pengaturan
sistem pesanan atau pengadaan, penyimpanan dan pengeluaran.
Hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya kelebihan,
kekurangan, kekosongan, kerusakan, kadaluwarsa, kehilangan
serta pengembalian pesanan. Pengendalian persediaan
dilakukan menggunakan kartu stok baik dengan cara manual atau
elektronik. Kartu stok sekurang-kurangnya memuat nama obat,
tanggal kadaluwarsa, jumlah pemasukan, jumlah pengeluaran
dan sisa persediaan.
7) Pencatatan dan Pelaporan
Pencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan
sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai
meliputi pengadaan (surat pesanan, faktur), penyimpanan (kartu
stock), penyerahan (nota atau struk penjualan) dan pencatatan
lainnya disesuaikan dengan kebutuhan.
Pelaporan terdiri dari pelaporan internal dan eksternal.
pelaporan internal merupakan pelaporan yang digunakan untuk
kebutuhan manajemen apotek, meliputi keuangan, barang dan
laporan lainnya.
Pelaporan eksternal merupakan pelaporan yang dibuat
untuk memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan meliputi pelaporan narkotika
(menggunakan formulir 3 sebagaimana terlampir), psikotropika
(menggunakan formulir 4 sebagaimana terlampir) dan pelaporan
lainnya.

b. Pelayanan Farmasi Klinik


Pelayanan farmasi klinik di apotek merupakan bagian dari
pelayanan kefarmasian yang langsung dan bertanggung jawab
kepada pasien berkaitan dengan sediaan farmasi, alat kesehatan,
dan bahan medis habis pakai dengan maksud mencapai hasil yang
pasti untuk meningkatkan kualitas hidup pasien(Menkes RI, 2014).
Pelayanan farmasi klinik meliputi:
1) Pengkajian Resep
Kegiatan pengkajian resep meliputi administrasi, kesesuaian
farmasetik dan pertimbangan klinis.
a) Kajian administratif meliputi:
• Nama pasien, umur, jenis kelamin dan berat badan
• Nama Dokter, nomor Surat Izin Praktik (SIP), alamat,
nomor telepon dan paraf.
• Tanggal penulisan resep
b) Kajian kesesuaian farmasetik meliputi:
• Bentuk dan kekuatan sediaan
• Stabilitas
• Kompatibilitas (ketercampuran obat)

c) Pertimbangan klinis meliputi:

• Ketepatan indikasi dan dosis obat

• Aturan, cara dan lama penggunaan obat

• Duplikasi dan/atau polifarmasi

• Reaksi obat yang tidak diinginkan (alergi, efek samping


obat, manifestasi klinis lain)

• Kontra indikasi dan interaksi

• Jika ditemukan adanya ketidaksesuaian dari hasil


pengkajian maka Apoteker harus menghubungi dokter
penulis resep.
2) Dispensing
Dispensing terdiri dari penyiapan, penyerahan dan
pelayanan informasi obat. Apoteker menyiapkan obat sesuai
dengan permintaan resep, melakukan peracikan obat bila
diperlukan, memberikan etiket, memasukkan obat ke dalam
wadah yang tepat dan terpisah untuk obat yang berbeda untuk
menjaga mutu obat dan menghindari penggunaan yang salah.
Apoteker di Apotek juga dapat melayani obat non resep atau
pelayanan swamedikasi. Apoteker harus memberikan edukasi
kepada pasien yang memerlukan obat non resep untuk penyakit
ringan dengan memilihkan obat bebas atau bebas terbatas yang
sesuai (Menkes RI, 2014).
3) Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Pelayanan Informasi obat merupakan kegiatan yang
dilakukan oleh Apoteker dalam pelayanan informasi mengenai
obat yang tidak memihak, dievaluasi dengan kritis dan dengan
bukti terbaik dalam segala aspek penggunaan obat kepada
profesi kesehatan lain, pasien atau masyarakat.Informasi
mengenai obat termasuk obat resep, obat bebas dan herbal.
Informasi meliputi dosis, bentuk sediaan, formulasi khusus,
rute dan metoda pelayanan, farmakokinetik, farmakologi,
terapeutik dan alternatif, efikasi, keamanan penggunaan pada
ibu hamil dan menyusui, efek samping, interaksi, stabilitas,
ketersediaan, harga, sifat fisika atau kimia dari obat dan lain-lain.
Kegiatan pelayanan informasi obat di Apotek meliputi:
a) Menjawab pertanyaan baik lisan maupun tulisan.
b) membuat dan menyebarkan buletin/brosur/leaflet,
pemberdayaan masyarakat (penyuluhan).
c) memberikan informasi dan edukasi kepada pasien.
d) memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada
mahasiswa farmasi yang sedang praktik profesi.
e) melakukan penelitian penggunaan obat.
f) membuat atau menyampaikan makalah dalam forum ilmiah.
g) melakukan program jaminan mutu.
Pelayanan informasi obat harus didokumentasikan untuk
membantu penelusuran kembali dalam waktu yang relatif
singkat dengan menggunakan formulir sesuai format yang telah
ditetapkan (Menkes RI, 2014).
4) Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat
yang merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis
normal yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis,
diagnosis dan terapi atau memodifikasi fungsi fisiologis.
Kegiatan:
a) Mengidentifikasi obat dan pasien yang mempunyai resiko
tinggi mengalami efek samping obat.
b) Mengisi formulir Monitoring Efek Samping Obat (MESO).
c) Melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat
Nasional
C. Konseling
Konseling merupakan proses interaktif antara Apoteker dengan
pasien/keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran
dan kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku dalam penggunaan obat
dan menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien. Untuk mengawali
konseling, apoteker menggunakan three prime questions. Apabila tingkat
kepatuhan pasien dinilai rendah, perlu dilanjutkan dengan metode Health
Belief Model. Apoteker harus melakukan verifikasi bahwa pasien atau
keluarga pasien sudah memahami obat yang digunakan. Kriteria
pasien/keluarga pasien yang perlu diberi konseling (Menkes RI, 2014):
1. Pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi hati dan/atau
ginjal, ibu hamil dan menyusui).
2. Pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (misalnya: TB,
DM, AIDS, epilepsi).
3. Pasien yang menggunakan obat dengan instruksi khusus (penggunaan
kortikosteroid dengan tappering down/off).
4. Pasien yang menggunakan obat dengan indeks terapi sempit (digoksin,
fenitoin, teofilin).
5. Pasien dengan polifarmasi, pasien menerima beberapa obat untuk
indikasi penyakit yang sama. Dalam kelompok ini juga termasuk
pelayanan lebih dari satu obat untuk penyakit yang diketahui dapat
disembuhkan dengan satu jenis obat.
6. Pasien dengan tingkat kepatuhan rendah.
Tahap kegiatan konseling:
1. Membuka komunikasi antara apoteker dengan pasien
2. Menilai pemahaman pasien tentang penggunaan obat melalui Three
Prime Questions, yaitu:
a) Apa yang disampaikan dokter tentang obat Anda?
b) Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang cara pemakaian obat
Anda?
c) Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang hasil yang diharapkan
setelah Anda menerima terapi obat tersebut?
3. Menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan kepada
pasien untuk mengeksplorasi masalah penggunaan obat.
4. Memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan masalah
penggunaan obat.
5. Melakukan verifikasi akhir untuk memastikan pemahaman pasien.
Apoteker mendokumentasikan konseling dengan meminta tanda tangan
pasien sebagai bukti bahwa pasien memahami informasi yang diberikan
dalam konseling dengan menggunakan formulir sesuai ketetapan
peraturan.
Langkah-langkah dalam proses pendidikan dan konseling pasien akan
bervariasi sesuai dengan kebijakan sistem kesehatan dan prosedur,
lingkungan, dan pengaturan praktek. Umumnya, langkah-langkah berikut
yang sesuai untuk pasien yang menerima obat baru atau yang kembali
untuk kopi resep (ASHP,1997).
1. Jalin hubungan penuh perhatian dengan pasien. Perkenalkan diri Anda
sebagai seorang apoteker, menjelaskan tujuan yang diharapkan dari
sesi, dan mendapatkan persetujuan pasien untuk berpartisipasi.
Tentukan bahasa lisan utama pasien.
2. Menilai pengetahuan pasien tentang masalah yang berkaitan dengan
kesehatan dan obat-obatan, fisik dan kemampuan mental untuk
menggunakan obat secara tepat, dan sikap terhadap masalah
kesehatan dan obat-obatan. Ajukan pertanyaan terbuka tentang tujuan
setiap obat dan meminta pasien untuk menggambarkan atau
menunjukkan bagaimana ia akan menggunakan obat. Pasien dengan
kopi resep harus diminta untuk menjelaskan atau menunjukkan
bagaimana mereka telah menggunakan obat-obatan mereka. Mereka
juga harus diminta untuk menggambarkan masalah, keprihatinan, atau
ketidak pastian yang mereka alami dengan obat mereka.
3. Memberikan informasi secara lisan dan menggunakan alat bantu visual
atau demonstrasi untuk mengisi kesenjangan pasien dalam
pengetahuan dan pemahaman. Buka wadah obat pasien untuk
menunjukkan warna, ukuran, bentuk, dan tanda-tanda pada tablet oral.
Untuk cairan oral dan suntikan, tunjukkan pasien tanda dosis pada alat
ukur. Menunjukkan perakitan dan penggunaan perangkat administrasi
seperti inhaler hidung dan oral. Sebagai pelengkap untuk komunikasi
lisan tatap muka, sediakan handout untuk membantu pasien
mengingat informasi tertulis. Jika pasien mengalami masalah dengan
obat-nya, kumpulkan data yang sesuai dan nilai masalahnya.
Kemudian menyesuaikan rejimen farmakoterapi yang sesuai dengan
protokol atau resep.
4. Verifikasi pengetahuan dan pemahaman pasien tentang penggunaan
obat- obatan. Mintalah pasien untuk menggambarkan atau
menunjukkan bagaimana mereka akan menggunakan obat-obatan dan
mengidentifikasi efek obatnya. Amati kemampuan penggunaan obat
pasien dan ketelitian dan sikap pasien terhadap kepatuhan mengikuti
rejimen farmakoterapi dan pemantauan rencana.
Poin ini berlaku untuk obat yang diresepkan dan obat yang tidak
diresepkan. Apoteker harus member nasihat kepada pasien dalam
pemilihan yang tepat dari obat yang tidak diresepkan (ASHP, 1997).
Isi tambahan mungkin tepat ketika apoteker memiliki wewenang
tanggung jawab dalam pengelolaan penyakit kolaboratif untuk kategori
pasien tertentu. Tergantung pada manajemen penyakit atau rencana
perawatan klinis pasien, berikut dapat meliputi:
1. Keadaan penyakit: apakah akut atau kronis dan yang pencegahan,
penularan, perkembangan, dan kekambuhan.
2. Efek diperkirakan dari penyakit pada kehidupan sehari-hari pasien
yang normal
3. Pengenalan dan pengawasan komplikasi penyakit.
Apoteker harus mendokumentasikan pendidikan dan konseling pada
catatan medis tetap pasien sesuai dengan rencana perawatan pasien,
kebijakan dan prosedur sistem kesehatan, dan undang-undang negara
bagian dan federal yang berlaku. Ketika apoteker tidak memiliki akses
kecatatan medis pasien, pendidikan dan konseling dapat didokumentasikan
dalam profil pasiendi apotek itu, pada formulir pesanan obat atau resep,
atau catatan konseling yang dirancang khusus (ASHP,1997).
Apoteker harus mencatat konseling yang ditawarkan, diterima,
disediakan, atau ditolak dantingkat persepsi apoteker terhadap
pemahaman pasien. Sebagaimana mestinya, isi harus didokumentasikan
(misalnya, penyuluhan tentang interaksi obat- makanan). Semua
dokumentasi harus dijaga untuk menghormati kerahasiaan dan privasi
pasien dan untuk mematuhi hukum negara bagian dan federal yang
berlaku (ASHP,1997).
D. Hipertensi
Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang
beragam. Hipertensi, kenaikan tekanan darah diastolik atau sistolik,
ditemukan dalam dua tipe: hipertensi esensial (Primer), yang paling sering
terjadi, dan hipertensi sekunder, yang disebabkan oleh penyakit renal atau
penyebab lain yang dapat diidentifikasi. Hipertensi malignan adalah bentuk
hipertensi yang berat, fulminan, dan sering dijumpai pada kedua tipe
hipertensi tersebut. Hipertensi merupakan penyebab utama stroke, penyakit
jantung, dan gagal ginjal (Kowalak Jennifer P, 2011).
Hipertensi esensial biasanya dimulai secara berangsur-angsur tanpa
keluhan dan gejala sebagai penyakit benigna yang secara perlahan-lahan
berlanjut menjadi keadaan yang malignan. Jika tidak diobati, kasus-kasus
yang ringan sekalipun dapat menimbulkan komplikasi berat dan kematian.
Penanganan hipertensi yang dikelola dengan cermat, yang meliputi
modifikasi gaya hidup serta pemakaian obat-obatan akan mempengaruhi
prognosis. Apabila tidak ditangani, hipertensi memiliki angka mortalitas yang
tinggi. Kenaikan tekanan darah yang berat (krisis hipertensi) dapat berakibat
kematian (Kowalak Jennifer P, 2011).
Kurang dari 10% penderita hipertensi merupakan sekunder dari
penyakit komorbid atau pbat-obatan tertentu yang dapat meningkatkan
tekanan darah. Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit
ginjal kronis atau renovaskular adalah penyebab sekunder yang paling
sering. Obat-obat tertentu, baik secara langsung ataupun tidak, dapat
menyebabkana hipertensi atau memperberat hipertensi dengan menaikkan
tekanan darah. Apabila penyebab sekunder dapat diidentifikasi, maka
dengan menghentikan obat yang bersangkutan atau mengobati/mengoreksi
kondisi komorbid yang menyertainya sudah merupakan tahap pertama
dalam penanganan hipertensi sekunder (Depkes RI, 2006).
The Seventh Joint National Committee mengklasifikasikan tekanan
darah pada orang dewasa seperti yang tertera pada tabel 2.1 (Sukandar Elin
Yulinah et al, 2009)

Tabel 2.1 Klasifikasi Tekanan Darah Orang Dewasa


Klasifikasi Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal < 120 < 80
Prehipertensi 120 – 139 80 -89
Tahap 1 hipertensi 140 – 159 90 – 99
Tahap 2 hipertensi ≥160 ≥ 100
Sumber : Data Primer
Dalam sebuah survey yang dilakukan pada tahun 2020, hipertensi
didapatkan pada 28% populasi dewasa di Amerika. Berdasarkan studi
Framingham mengenai tekanan darah di kalangan paruh baya dan lanjut
usia, sekitar 90% individu ras caucasia di Amerika akan mengalami
hipertensi pada masa hidup nya. Prevalensi hipertensi tersebut bervariasi
dengan umur, ras, pendidikan, dan banyak variabel lainnya (Katzung
Bertram G, 2016).
1. Penatalaksanaan Hipertensi
Tujuan umum pengobatan hipertensi adalah penurunan mortalitas dan
morbiditas yang berhubungan dengan hipertensi. Mortalitas dan
morbiditas ini berrhubungan dengan kerusakan organ target.
Misal:kejadian kardiovaskular atau serebrovaskular, gagal jantung, dan
penyakit ginjal. Mengurangi resiko merupakan tujuan utama terapi
hipertensi, dan pilihan obat dipengaruhi secara bermakna oleh bukti
yang menunjukkan pengurangan resiko (Depkes RI, 2016).
The Eight Joint National Committee memberikan 9 rekomendasi
terbaru terkait dengan target tekanan darah dan golongan obat
hipertensi yang direkomendasikan. Rekomendasi yang diusulkan adalah
sebagai berikut (JNC, 2013):
Rekomendasi 1
Pada populasi umum yang berumur ≥ 60 tahun, terapi farmakologi
dimulai ketika tekanan darah sistolik ≥ 150 mmHg dan diastolik ≥ 90
mmHg. Target terapi adalah menurunkan tekanan darah sistolik menjadi
< 150 mmHg dan diastolik menjadi < 90 mmHg. (Rekomendasi kuat,
tingkat rekomendasi A).
Pada populasi umum yang berumur ≥ 60 tahun, bila terapi
farmakologi menghasilkan penurunan tekanan darah sitolik yang lebih
rendah dari target (misalnya < 140 mmHg) dan pasien dapat
mentoleransi dengan baik, tanpa efek samping terhadap kesehatan dan
kualitas hidup, maka terapi tersebut tidak perlu disesuaikan lagi (Opini
ahli, tingkat rekomendasi E).
Rekomendasi 2
Pada populasi umum berumur < 60 tahun, terapi farmakologi
dimulai ketika tekanan darah diastoliknya ≥ 90 mmHg. Target penurunan
tekanan darahnya adalah < 90 mmHg. (Untuk umur 30 – 59 tahun,
rekomendasi kuat, tingkat rekomendasi A) (Untuk umur 18 – 29 tahun,
opini ahli, tingkat rekomendasi E).
Rekomendasi 3
Pada populasi umum berumur < 60 tahun, terapi farmakologi
dimulai ketika tekanan darah sistoliknya ≥ 140 mmHg. Target terapi
adalah menurunkan tekanan darah sistolik menjadi < 140 mmHg (Opini
ahli, rekomendasi E).
Rekomendasi 4
Pada populasi berumur ≥ 18 tahun yang menderita penyakit ginjal
kronik, terapi farmakologi dimulai ketika tekanan darah sistoliknya ≥ 140
mmHg atau tekanan darah diastoliknya ≥ 90 mmHg. Target terapi
adalah menurunkan tekanan darah sistolik menjadi < 140 mmHg dan
diastolik < 90 mmHg. (Opini ahli, tingkat rekomendasi E).
Rekomendasi 5
Pada populasi berumur ≥ 18 tahun yang menderita diabetes,
terapi farmakologi dimulai ketika tekanan darah sistoliknya ≥ 140 mmHg
atau diatoliknya ≥ 90 mmHg. Target terapi adalah menurunkan tekanan
darah sistolik menjadi < 140 mmHg dan diastolik < 90 mmHg. (Opini
ahli, tingkat rekomendasi E)
Rekomendasi 6
Pada populasi umum yang bukan ras berkulit hitam, termasuk
yang menderita diabetes, terapi antihipertensi awal hendaknya termasuk
diuretika tipe tiazida, penghambat saluran kalsium, penghambat enzim
ACE, atau penghambat reseptor angiotensin. (Rekomendasi sedang,
tingkat rekomendasi B).
Rekomendasi 7
Pada populasi umum ras berkulit hitam, termasuk yang
menderita diabetes, terapi antihipertensi awal hendaknya termasuk
diuretika tipe tiazida atau penghambat saluran kalsium. (Untuk populasi
kulit hitam secara umum: rekomendasi sedang, tingkat rekomendasi B)
(Untuk ras kulit hitam dengan diabetes: rekomendasi lemah, tingkat
rekomendasi C)
Rekomendasi 8
Pada populasi berumur ≥ tahun dengan penyakit ginjal kronik,
terapi antihipertensi awal atau tambahan hendaknya temasuk
penghambat enzim ACE atau penghambat reseptor angiotensin untuk
memperbaiki fungsi ginjal. Hal ini berlaku bagi semua pasien penderita
penyakit ginjal kronik tanpa melihat ras atau status diabetes.
(Rekomendasi sedang, tingkat rekomendasi B).
Rekomendasi 9
Tujuan utama tatalaksana hipertensi adalah untuk mencapai dan
menjaga target tekanan darah. Bila target tekanan darah tidak tercapai
dalam waktu sebulan terapi, naikkan dosis obat awal atau tambahkan
obat kedua dari kelompok obat hipertensi pada rekomendasi 6 (diuretika
tipe tiazida, penghambat saluran kalsium, penghambat enzim ACE, dan
penghambat reseptor angiotensin). Penilaian terhadap tekanan darah
hendaknya tetap dilakukan, sesuaikan regimen terapi sampai target
tekanan darah tercapai. Bila target tekanan darah tidak tercapai dengan
terapi oleh 2 jenis obat, tambahkan obat ketiga dari kelompok obat yang
tersedia. Jangan menggunakan obat golongan penghambat ACE dan
penghambat reseptor angiotensin bersama-sama pada satu pasien.
Bila target tekanan darah tidak tercapai dengan obat-obat
antihipertensi yang tersedia pada rekomendasi 6 oleh karena kontra
indikasi atau kebutuhan untuk menggunakan lebih dari 3 macam obat,
maka obat antihipertensi dari kelompok yang lain dapat digunakan.
Pertimbangkan untuk merujuk pasien ke spesialis hipertensi.
2. Penyusunan Rencana Pelayanan Kefarmasian
Penyusunan rencana pelayanan kefarmasian dapat berupa (Depkes RI,
2016):
a. Menentukan tujuan terapi
Untuk penyakit hipertensi tujuan terapi adalah
1) Mencegah atau memperlambat komplikasi dari hipertensi
dengan membantu pasien mematuhi regimen obatnya untuk
memelihara tekanan darah < 140/90 mmHg atau < 130/80
mmHg untuk pasien hipertensi dengan diabetes dan gangguan
ginjal.
2) Pasien mengerti pentingnya adherence dengan terapi obatnya
b. Mengidentifikasi kondisi medis yang memerlukan terapi obat
c. Memecahkan masalah terapi obat : tujuan, alternatif, dan
intervensi
d. Mencegah masalah terapi obat
Dalam rencana pelayanan kefarmasian, apoteker memberikan
saran tentang pemilihan obat, penggantian atau obat alternatif,
perubahan dosis, regimen obat (jadwal, rute, dan lama pemberian).
Rekomendasi apoteker dalam pemilihan obat untuk pasien dengan
Hipertensi (Depkes RI, 2006):
a. Sarankan terapi antihipertensi untuk pasien-pasien pada klasifikasi
tahap 1 hipertensi (TDS 140-159 mmHg) dan tahap 2 hipertensi
(TDS ≥ 160 mmHg)
b. Sangat disarankan terapi antihipertensi pada pasien-pasien dengan
kerusakan target organ atau dengan faktor resiko kardiovaskular
lainnya bila TDS > 140 mmHg atau TDD ≥ 90 mmHg.
c. Bila appropriate, sarankan pilihan awal untuk terapi antihipertensi.
Pilihan awal untuk dewasa tanpa indikasi khusus:
1) Diuretik golongan tiazid (untuk kebanyakan pasien)
2) Penghambat beta
3) Penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI),
4) Antagonis kalsium (long-acting)
5) Penyekat reseptor angiotensin
6) Rekomendasikan terapi kombinasi apabila cuma ada respon
parsial dengan standar dosis monoterapi. Kombinasi yang
efektif melibatkan diuretik tiazid atau antagonis kalsium
dengan ACEI, ARB atau penyekat beta.
7) Untuk isolated systolic hypertension pada pasien-pasien
dengan TDS>160 mmHg terapi awal dengan diuretik tiazid
d. Sarankan terapi dislipidemi dengan statin untuk semua pasien
dengan hipertensi dan 3 atau lebih faktor resiko kardiovaskular, atau
pada pasien dengan penyakit aterosklerosis atau penyakit arteri
perifer.
e. Skrining semua pasien hipertensi untuk interaksi obat yang
bermakna (dengan obat, nutrien, dll).
3. Peran dan Peluang Apoteker
Selain melakukan asuhan kefarmasian seperti yang diuraikan
diatas, dalam membantu penatalaksanaan hipertensi selain berinteraksi
dengan pasien, apoteker berinteraksi dengan profesi kesehatan lainnya
terutama dokter. Apoteker dapat menjadi perantara antara pasien dan
dokter. Kebanyakan pasien terutama kalau sudah kenal baik dengan
apotekernya selalu membeli obat di apotik yang sama. Selain dokter,
apoteker adalah anggota tim kesehatan yang mempunyai akses kepada
informasi tentang semua obat yang di konsumsi pasien. Seringnya
dokter tidak menyadari terapi atau obat-obat lain yang diresepkan oleh
dokter lain kepada pasien. Dokter dan Apoteker dapat bekerja sama
sehingga target yang diinginkan dokter tercapai (Depkes RI, 2016).
Apoteker dapat membantu dokter dalam (Depkes RI, 2016):
a. Memberi edukasi ke pasien mengenai hipertensi,
b. Memonitor respon pasien di farmasi komunitas
c. Menyokong adherence terhadap terapi obat dan non-obat
d. Mendeteksi dan mengurangi reaksi efek samping, dan merujuk
pasien ke dokter bila diperlukan.
Mendiskusikan dengan pasien keuntungan terapi hipertensi
sama pentingnya dengan mendiskusikan mengenai efek sampingnya.
Apabila pasien mengerti keuntungan yang potensial dari penggunaan
obat untuk hipertensi, pasien akan lebih cendrung untuk mematuhi
terapinya. Sewaktu diskusi untuk efek samping obat, Apoteker harus
membicarakan bagaimana mencegah atau menangani efek-efek
samping bila muncul agar pasien tetap meneruskan terapi obatnya
(Depkes RI, 2006).
Beberapa studi di Amerika telah menunjukkan kalau Apoteker
yang bekerja di klinik hipertensi atau dengan kolaborasi dengan dokter
sanggup memperbaiki penanganan pasien dengan hipertensi. Terapi
nonfarmakologi memerlukan perhatian yang cukup besar oleh profesi
kesehatan agar berhasil. Terapi nonfarmakologi memerlukan perubahan
sikap, dorongan dan nasihat yang terus menerus. Dengan membantu
pasien bagaimana melibatkan perubahan/modifikasi kedalam gaya
hidupnya dapat membantu pasien mencapai tujuan ini. Misalnya
Apoteker dapat mendiskusikan mengenai olahraga, menurunkan berat
badan, dan berhenti merokok (Depkes RI, 2006).
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Variabel Penelitian
Variabel penelitian adalah ciri atau ukuran yang melekat pada objek
penelitian baik bersifat fisik (nyata) maupun psikis (tidak nyata). Variabel
adalah segala sesuatu yang akan menjadi objek pengamatan penelitian,
faktor-faktor yang berperan dalam peristiwa/gejala yang akan diteliti
ditentukan oleh landasan teorinya dan ditegaskan oleh hipotesis
(27)
penelitiannya . Pada penelitian ini terdapat dua variable yaitu:
1. Variabel Bebas
Variabel ini merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang
menjadi sebab perubahan atau timbulnya variable terikat. Variabel
independen (bebas) dalam penelitian ini yaitu Perilaku Swamedikasi
Pasien Hipertensi Apotek Vina Farma 2 Pati.
2. Variabel Terikat
Variabel dependen merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang
menjadi akibat karena adanya variabel beba. Variabel dependen (terikat)
dalam penelitian ini yaitu peran apoteker apotek vina farma 2 pati.

B. Hipotesa Penelitian
Hipotesis digunakan untuk mengetahui kebenaran dari dugaan
sementara. Hipotesis pada dasarnya diartikan sebagai jawaban sementara
terhadap rumusan masalah penelitian. Adapun Hipotesis Penelitian ini
adalah :

1. Hipotesis Nihil atau Nol (HO)


Hipotesis nol adalah pernyataan tidak adanya perbedaan antara
parameter dengan statistik (data sempel).
HO : Tidak terdapat hubungan antara peran apoteker dengan perilaku
swamedikasi di apotek vina farma 2 pati.
2. Hipotesis Kerja atau Alternatife (Ha)
Menurut Notoadmodjo (2016), Hipotesis Alternative atau Kerja yang
menyatakan ada perbedaan dua variabel dan 2 kelompok yaitu antara
parameter dan statistik.
Ha : Terdapat hubungan antara peran apoteker dengan perilaku
swamedikasi di apotek vina farma 2 pati.

C. Kerangka Konsep Penelitian

Variabel Bebas Variabel Terikat

Perilaku Swamedikasi Pasien Peran Apoteker Apotek Vina


Farma 2 Pati.
Hipertensi Apotek Vina Farma 2
Pati.

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

D. Rancangan Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain observasional deskriptif, yaitu
penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran atau deskripsi
tentang suatu keadaan secara objektif.
Pada penelitian ini, akan dilakukan olah data terhadap variabel
yang diteliti untuk mendapatkan peran apoteker dengan perilaku
swamedikasi pasien hipertensi di apotek vina farma 2 pati.
2. Pendekatan Waktu Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional,
yaitu data yang dikumpulkan sesaat atau diperoleh saat itu juga. Cara ini
dilakukan dengan melakukan survei, wawancara, atau dengan
menyebarkan kuesioner kepada responden penelitian
Dalam penelitian ini peneliti ingin mengambil data antara variabel
independent (Perilaku Swamedikasi Pasien Hipertensi Apotek Vina Farma
2 Pati) dengan variabel dependen (peran apoteker apotek vina farma 2
pati).
3. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan
observasi yang berguna untuk mengamati atau mengatur dan mencatat
kejadian yang sedang diteliti pada sebuah lembar observasi yang
berisikan variable - variabel penelitian dan menggunakan survey dengan
menggunakan wawancara dan kuesioner untuk mendapatkan data
berupa responden sampel penelitian(29).
Pengumpulan data dilakukan secara kuantitatif, yaitu
menggunakan kuesioner dan hasilnya berupa data dalam bentuk bilangan
(numerik). Menurut(29) pengumpulan data adalah proses pengumpulan
karakteristik responden yang diperlukan dalam suatu penelitian. Data
yang dikumpulkan meliputi :
a. Data Primer
Data primer merupakan data yang diperoleh dari sumber
pertama, atau dengan kata lain data yang pengumpulannya dilakukan
sendiri oleh peneliti secara langsung seperti hasil wawancara dan
hasil pengisian angket atau kuesioner.
Data primer dari penelitian ini didapatkan secara langsung
dengan cara mengisi angket (kuesioner) yang diberikan pada pasien
hipertensi apotek vina farma 2 pati.
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari sumber
kedua. Data yang dikumpulkan oleh orang atau lembaga lain, dengan
kata lain bukan data yang dikumpulkan sendiri oleh peneliti.
Data sekunder dari penelitian ini didapatkan dari
pendokumentasian yang telah dilakukan oleh pihak apotek vina farma
2 pati.
4. Populasi penelitian
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek /
subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang telah
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya.
Populasi dalam penelitian ini adalah pasien hipertensi yang
melakukan swamedikasi di apotek vina farma 2 pati.
5. Prosedur Sampel dan Sampel Penelitian
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki
oleh populasi. Bila populasi besar dan penelitian tidak mungkin
mempelajari semua yang ada pada populasi, misalnya
karenaketerbatasan dana, tenaga dan waktu, maka peneliti dapat
mengunakan sampel yang diambil dari populasi itu.
Penentuan jumlah sampel dapat dilakukan dengan cara
perhitungan statistik yaitu dengan menggunakan rumus Lemeshow.
Rumus Lemeshow digunakan untuk menentukan ukuran sampel dari

populasi yang belum diketahui jumlahnya. Sampel dalam Penelitian ini


dihitung dengan Rumus Lemeshow sebagai berikut :
(Zα 2) xpxQ
n=
(d 2)

Keterangan:
n : Besar Sampel
Zα2 : Deviasi baku alfa
P : Proporsi kategori
Q : 1-P
d : Presisi
Berdasarkan rumus diatas, nilai yang harus di cari dari
kepustakaan adalah nilai p (prevalensi), sedangkan nilai yang di tetapkan
oleh peneliti adalah Zα dan nilai d. Peneliti mendapatkan bahwa belum
ada penelitian sejenis yang di lakukan di Apotek Vina Farma 2 Pati. Oleh
karena belum ada penelitian sebelumnya, maka ditetapkan p sebesar 50
% berdasarkan hukum Lemeshow. Untuk nilai yang di tetapkan peneliti
menetapkan alfa sebesar 5% sehingga nilai Zα²=1,96, dengan nilai presisi
(d) sebesar 10%. Dengan demikian, besar sampel yang diperlukan
adalah:
n=¿ ¿

= 96,04 di bulatkan menjadi 96


Maka besarnya sampel pada penelitian ini sebanyak 96 responden.
6. Teknik Pengambilan Sampel
Teknik sampling adalah cara menentukan sampel yang jumlahnya
sesuai dengan ukuran sampel yang akan dijadikan sumber data
sebenarnya dengan memperhatiakn sifat-sifat penyebaran populasi yang
diperoleh sampel yang representative.
Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini yaitu secara
non probability sampling yaitu teknik yang tidak memberi peluang atau
kesempatan yang sama bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk
dipilih menjadi sampel
Teknik non probability sampling yang digunakan dalam pengambilan
sampel pada penelitian ini menggunkan teknik purposive sampling yaitu
teknik penentuan sampel dengan pertimbangan atau kriteria tertentu yang
harus dipenuhi oleh sampel yang digunakan dalam penelitian Adapun
kriteria inklusi sampling dalam penelitian ini adalah:
a. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi merupakan kriteria atau ciri – ciri yang perlu dipenuhi
oleh setiap anggota populasi yang dapat diambil sebagai sampel(33).
Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah:
1) Berusia 17-60 tahun
2) Pernah menggunakan obat antibiotic
3) Bersedia menjadi responden

b. Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi adalah menghilangkan/mengeluarkan subyek yang
tidak memenuhi kriteria inklusi dari studi karena sebagai sebab(33).
Pada penelitian ini kriteria eksklusi adalah:
1) Masyarakat yang berlatar belakang pendidikan kesehatan
2) Masyarakat yang tidak dapat membaca dan menulis
3) Masyarakat yang tidak bersedia menjadi responden
7. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah memperoleh data tentang status sesuatu
dibandingkan dengan standar atau ukuran yang telah ditentukan(33).
Instrument penelitian yaitu suatu alat yang digunakan untuk mengukur
fenomena alam maupun social yang diamati (variabel penelitian)(34).
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah check list dan
kuesioner, check list adalah suatu daftar yang mencakup faktor-faktor
yang ingin diselidiki, sedangkan kuesioner adalah seperangkat
pertanyaan atau pernyataan tertulis yang ditujukan kepada responden
untuk dijawabnya(34
8. Teknik pengolahan dan Analisa Data
Dalam suatu penelitian, pengolahan data merupakan salah satu
langkah yang penting(33). Data yang telah dikumpulkan masih dalam
bentuk data mentah (raw data) harus diolah sedemikian rupa sehingga
menjadi informasi yang akhirnya dapat digunakan untuk menjawab tujuan
penelitian(33). Menurut(33), pengolahan data terdiri dari 5 tahap, yaitu:
1) Editing (pemeriksaan Data)
Editing merupakan kegiatan untuk pengecekan dan perbaikan isi
lembar cheklist dan kuesioner yang sudah di isi lengkap, jelas,
jawaban dari responden, relevan antara jawaban dengan pertanyaan
dan konsisten. Sehingga apabila terdapat ketidak sesuaian dapat
dilengkapi oleh peneliti.
2) Coding (Pemeriksaan Kode)
Coding merupakan kegiatan mengubah data berbentuk huruf
menjadi data berbentuk angka/bilangan yang berguna untuk
mempermudah pada saat analisis data dan mempercepat pada saat
entry data. Tujuannya adalah mempermudah pada saat analisis data
dan juga pada saat memasukkan data.
3) Scoring (penilaian)
Kegiatan melakukan scoring terhadap jawaban dari kuesioner.
Pemberian skore atau nilai pada jawaban pertanyaan yang telah
diterapkan.
4) Processing (Memasukkan Data)
Setelah merubah data menjadi angka, selanjutnya data dari kuesioner
dimasukkan ke dalam program komputer. Program komputer yang
digunakan adalah SPSS for window.
5) Cleaning (Pembersihan Data)
Cleaning merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah
dimasukkan, untuk melihat kemungkinan adanya kesalahan kode,
ketidak lengkapan, kemudian dilakukan pembetulan atau koreksi.
6) Analisis Data
Data yang telah diolah tidak akan ada maknanya tanpa dianalisis.
Tujuan dari analisis data untuk memperoleh gambaran dari hasil
penelitian yang telah dirumuskan dalam tujuan penelitian,
membuktikan hipotesis-hipotesis penelitian yang telah dirumuskan,
dan memperoleh kesimpulan secara umum(33). Pada penelitian ini, data
yang sudah diperoleh kemudian dianalisis dengan Analisa nyata yang
digunakan adalah analisa univariat dan analisa bivariat.
a) Analisa Univariat
Menurut(33) analisa univariat adalah analisa yang dilakukan
pada tiap variabel. Analisa ini menghasilkan data numerik dan
kategorik berupa distribusi frekuensi atau prosentase. Data yang
telah dikumpulkan akan dianalisa dengan cara analisa univariat,
dengan pengkategorian variabel dalam penelitian ditentukan
berdasarkan nilai interval.

b) Analisa Bivariat
Analisa yang dilakukan untuk melihat hubungan atau pengaruh dua
variabel. Analisa bivariat ini digunakan untuk mengetahui hubungan
atau pengaruh variabel bebas dengan variabel terikat. Dalam
penelitian ini analisa bivariat yang digunakan untuk mengetahui
peran apoteker dengan perilaku swamedikasi pasien hipertensi di
apotek vina farma 2 pati menggunakan tabel silang yang dikenal
dengan baris kali kolom (B x K) dengan derajat kebebasan (df) yang
sesuai dengan tingkat kemaknaan (α) 0,05. Skor diperoleh dengan
menggunakan metode statistik Chi-Square test (x2), dengan
menggunakan software komputer. Hasil yang diperoleh
diinterpretasikan untuk menolak dan menerima hipotesis adalah:
jika p-value< 0,05 maka Ho ditolak, dan jika p-value ≥ 0,05 maka Ho
diterima.

E. Etika Penelitian

Dalam melaksanakan penelitian ini, penelitian menekankan masalah


etika meliputi:
1. Informed consent ( Lembar Persetujuan)
Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dan
responden peneliti dengan memberikan lembar persetujuan. Tujuan
informed consent adalah agar subjek mengerti maksud dan tujuan
penelitian, mengetahui dampaknya. Jika subjek bersedia maka mereka
harus menandatangani lembar persetujuan, jika responden tidak bersedia
maka peneliti harus menghormati hak pasien.
2. Anonymity (tanpa nama)
Masalah etika penelitian merupakan masalah yang memberikan
jaminan dalam penggunaan subjek penelitian dengan cara tidak
memberikan atau tidak mencantumkan nama responden pada lembar alat
ukur dan hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan data.
3. Confidentiality (kerahasiaan)
Masalah etika penelitian ini dengan maksud memberikan jaminan
kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah
lainnya. Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya
pleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada
hasil riset.

F. Jadwal Penelitian
(Terlampir)
DAFTAR PUSTAKA

Adelina.2009. PenerapanStandar Pelayanan Kefarmasian di Apotek di Kota


Medan Tahun 2008.S kripsi Sarjana Pada Fakultas Farmasi USU
Medan.

ASHP.1997. Guidelines on Pharmacist-Conducted Patient


Education and Counseling. American Society of
Health-System Pharmacist, Inc.

Aslam, Mohammed.,et al. 2003. Farmasi Klinis. Jakarta : PT Elex Media


Komputindo.

Davey, Patrick. 2005. At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga

Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian dan Alat


Kesehatan. 2002. Pedoman Teknis Pengadaan Obat Publik dan
Perbekalan Kesehatan Untuk Pelayanan Kesehatan Dasar (PKD).
Jakarta.

Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian dan Alat


Kesehatan. 2006. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Hipertensi.
Jakarta.

Kessler, D. A. 1992. A Challenge for American Pharmacist. Am Pharm.


NS32(1):33- 36

Kwando Rendy. R. 2014. Pemetaan Peran Apoteker dalam Pelayanan


Kefarmasian Terkait Frekuensi Kehadiran Apoteker di Apotek di
Surabaya Timur. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.3
No.1 2014.

Leksono, Bram Setyo. 2011. Profil Pelayanan Kefarmasian Tanpa Resep di


Apotek Wilayah Surabaya Dengan Kasus Diare Pada Lanjut Usia.
Skripsi Sarjana pada Fakultas Farmasi UNAIR Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai