PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peresepan antibiotik di Indonesia yang cukup tinggi dan kurang bijak akan
meningkatkan kejadian resistensi. Khusus untuk kawasan Asia Tenggara penggunaan
antibiotik sangat tinggi bahkan lebih dari 80% di banyak provinsi di Indonesia (Kemenkes,
2011).
Intensitas penggunaan antibiotik yang relatif tinggi menimbulkan berbagai
permasalahan dan merupakan ancaman global bagi kesehatan terutama resistensi
bakteri terhadap antibiotik. Selain berdampak pada morbiditas dan mortalitas, juga
memberi dampak negatif terhadap ekonomi dan sosial yang sangat tinggi (Kemenkes RI,
2011).
Suatu konsekuensi yang tidak dapat dihindari dari penggunaan antibiotik adalah
timbulnya mikroorganisme yang resisten. Penggunaan antibiotik yang berlebihan dan
tidak tepat dapat menyebabkan peningkatan munculnya bakteri patogen yang resisten
terhadap berbagai obat antibiotik (Katzung, 2012).
Obat anti bakteri ini merupakan golongan obat keras yang pemakaiaannya harus
dibawah pengawasan dokter. Hal ini untuk menghindari penggunaan obat yang tidak
tepat, misalnya dalam pemilihan antibiotik, dosis, lama penggunaan serta waktu yang
tidak tepat akan menyebabkan resistensi antibiotika dimana antibiotika kehilangan
kemampuannya untuk secara efektif mengendalikan atau membasmi pertumbuhan
bakteri; dengan kata lain mengalami “resistensi” dan terus berkembangbiak meskipun
telah diberikan dalam jumlah yang cukup dalam pengobatan (BPOM RI, 2011).
Penggunaan antibiotika untuk swamedikasi menjadi masalah kesehatan yang
cukup penting saat ini. Hal tersebut disebabkan karena banyak kasus antibiotika
digunakan secara tidak rasional seperti pada kasus infeksi non bakterial atau tidak
diminum sampai habis (Chinnasami et al., 2016). Penggunaan antibiotika secara tidak
rasional berhubungan langsung dengan kemungkinan terjadinya resistensi.
Meningkatnya resistensi antibiotika menyebabkan semakin sempitnya jenis antibiotika
yang dapat digunakan. Masalah resistensi bakteri banyak terjadi di negara-negara
berkembang di seluruh dunia termasuk Indonesia. Resistensi bakteri menjadi suatu
masalah kesehatan yang sangat besar bagi suatu negara bahkan seluruh dunia karena
menyebabkan peningkatan angka kematian (WHO, 2014).
Menurut Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, sejumlah 103.850 (35,2%) dari
294.959 rumah tangga di Indonesia menyimpan obat untuk swamedikasi. Dari 35,2%
rumah tangga yang menyimpan obat, proporsi rumah tangga yang menyimpan antibiotika
dalah 27,8%. Data Riset Kesehatan Dasar juga menyebutkan bahwa 86,1% rumah
tangga tersebut menyimpan antibiotika yang diperoleh tanpa resep dokter (Kemenkes,
2013). Adanya antibiotika untuk swamedikasi menunjukan penggunaan obat yang tidak
rasional (Akinyandenu & Akinyandenu, 2014).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Shari & Sharif (2013) terhadap 177 mahasiswa
farmasi di salah satu perguruan tinggi di Uni Emirat Arab menunjukkan bahwa terdapat
88 mahasiswa yang memperoleh antibiotik tanpa resep dokter untuk melakukan
swamedikasi. Pada penelitian tersebut juga disebutkan bahwa antibiotik yang paling
banyak digunakan untuk swamedikasi tanpa konsultasi ke dokter adalah Amoxicillin-
Asam Klavulanat (48,9%), selanjutnya Amoxicillin (27%), dan Penisillin (10,1%).
Penyalahgunaan antibiotika meliputi penghentian obat secara tiba-tiba, dosis yang tidak
tepat, mengkonsumsi sisa antibiotika (dalam bentuk suspensi), penggunaan antibiotika
dengan jangka waktu yang tidak tepat. Alasan menggunakan antibiotika untuk
swamedikasi antara lain adalah karena penggunaan antibiotika sebelumnya yang sudah
terbukti berkhasiat menyembuhkan, menghemat waktu dan uang untuk pergi ke dokter,
serta adanya kecenderungan dari dokter untuk selalu meresepkan antibiotika yang sama
(Oyetunde et al., 2010).
Kesalahpahaman dalam penggunaan antibiotik berpotensi dapat menyebabkan
pengobatan menjadi tidak tepat, dimana orang-orang percaya antibiotik sebagai “obat
yang luar biasa” atau “obat kuat” yang mampu mencegah dan menyembuhkan setiap
gejala maupun penyakit. Pengetahuan dan keyakinan merupakan faktor yang
berhubungan dapat mempengaruhi perilaku penggunaan antibiotik tiap individu.
Pengetahuan dengan sendirinya tidak cukup untuk mengubah perilaku, tetapi berperan
penting dalam membentuk keyakinan dan sikap. Konsekuensi dalam menggunakan
antibotik dengan pengetahuan yang kurang berpotensi mengarah kepada
kesalahpahaman mengenai penggunaan tersebut. Mengingat bahwa penggunaan
antibiotik yang tidak tepat pada masyarakat terus menjadi masalah pada negara - negara
maju maka diberlakukan pemberian informasi pengetahuan dan keyakinan tentang
antibiotik. Akan tetapi, pemberian informasi serupa masih cukup langka, terutama di
Indonesia (Widayati, 2012).
Penggunaan antibiotik yang tidak rasional akan menimbulkan dampak negatif,
seperti terjadi kekebalan bakteri terhadap beberapa antibiotik, meningkatnya efek
samping obat dan bahkan kematian. Penggunaan antibiotik dikatakan tepat bila efek
terapi mencapai maksimal sementara efek toksis yang berhubungan dengan obat
menjadi minimum, serta perkembangan antibiotik resisten seminimal mungkin. Pemilihan
antibiotik harus disesuaikan dengan pola resistensi lokal, disamping juga memperhatikan
riwayat antibiotik yang digunakan oleh pasien. Hal ini juga mengurangi kemungkinan
resistensi terhadap lebih dari satu antibiotik.
Berdasarkan latar belakang tersebut, Peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
dengan tujuan mengetahui Hubungan tingkat pengetahuan dan sikap terhadap
penggunaan antibiotik pada Mahasiswa Farmasi Universitas Muhammadiyah Kudus
Tahun 2019
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, peneliti merumuskan masalah
“Apakah Ada Hubungan Antara Tingkat pengetahuan dan Sikap terhadap Penggunaan
Antibiotik Pada Mahasiswa Farmasi Universitas Muhammadiyah Kudus Tahun 2019”
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan dan sikap terhadap penggunaan
antibiotik pada mahasiswa farmasi Universitas Muhammadiyah Kudus Tahun 2019
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan pada mahasiswa farmasi Universitas
Muhammadiyah Kudus Tahun 2019
b. Untuk mengetahui sikap pada mahasiswa farmasi Universitas Muhammadiyah
Kudus Tahun 2019
c. Untuk mengetahui penggunaan antibiotik pada mahasiswa farmasi Universitas
Muhammadiyah Kudus Tahun 2019
d. Untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan dan sikap terhadap
penggunaan antibiotik pada mahasiswa Unversitas Muhammadiyah Kudus Tahun
2019
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
Diharapkan setelah diketahui tentang tingkat pengetahuan dan sikap terhadap
penggunaan antibiotik dapat dijadikan masukan untuk memberikan penyuluhan
tentang penggunaan obat yang benar ( bekerja sama dengan dinas kesehatan
daerah).
2. Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai bahan referensi dan masukan bagi peneliti selanjutnya, agar dapat
berbeda.
3. Bagi Peneliti
Kudus Tahun 2019 ” belum pernah diteliti sebelumnya. Berikut ini beberapa penelitian
Masalah yang dikaji adalah mengenai Hubungan Tingkat pengetahuan dan Sikap
TINJAUAN PUSTAKA
A. Antibiotik
1. Pengertian Antibiotik
Antibiotik adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri, yang
toksisitasnya pada manusia relatif kecil (Tjay dan Raharja, 2010). Antibiotik pertama
kali ditemukan oleh Paul Ehlrrich pada tahun 1910, sampai saat ini masih menjadi
obat pilihan dalam penanganan kasus-kasus pada penyakit infeksi (Utami, 2012).
disebabkan oleh bakteri. Sebagai salah satu jenis obat umum, antibiotika banyak
Pemberian antibiotika pada kondisi yang bukan disebabkan oleh bakteri banyak
ditemukan dari praktek sehari-hari, baik di puskesmas, rumah sakit, maupun praktek
frekuensi dan lama pemberian menjadi penyebab tidak kuatnya pengaruh infeksi
2. Penggunaan Antibiotik
WHO memperkirakan bahwa lebih dari separuh dari seluruh obat didunia diresepkan,
diberikan dan dijual dengan cara yang tidak tepat dan separuh dari pasien
menggunakan obat secara tidak tepat (Menkes RI, 2011). Penyalahgunaan antibiotik
pada dasarnya dipengaruhi oleh pengetahuan, sikap, komunikasi yang efektif antara
dokter dan pasien, tingkat ekonomi, karakteristik dari sistem kesehatan suatu negara,
dan peraturan lingkungan. Jika dilihat dari faktor pasien, hal yang mendasari
keluaran obat baru lebih baik dibandingkan obat keluaran lama. Di negara-negara
berkembang antibiotik dibeli dalam dosis tunggal dan penghentian dilakukan jika
pasien merasa lebih baik atas penyakit yang dideritanya. Pengobatan sendiri dengan
prevalensi yang tinggi terhadap pengobatan sendiri dengan antibiotik (WHO, 2011).
1) Tepat Diagnosis
Penggunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk diagnosis yang tepat.
Jika diagnosis tidak ditegakkan dengan benar, maka pemilihan obat akan
terpaksa mengacu pada diagnosis yang keliru tersebut. Akibatnya obat yang
hanya dianjurkan untuk pasien yang memberi gejala adanya infeksi bakteri.
3) Tepat Pemilihan Obat
ditegakkan dengan benar. Dengan demikian, obat yang dipilih harus yang
4) Tepat Dosis
Dosis, cara dan lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap efek
terapi obat. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat yang
dengan rentang terapi yang sempit, akan sangat beresiko timbulnya efek
samping. Sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak akan menjamin tercapainya
5) Tepat Cara
pula antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu, karena akan membentuk
efektivitasnya.
agar mudah ditaati oleh pasien. Makin sering frekuensi pemberian obat per
hari (misalnya 4 kali sehari), semakin rendah tingkat ketaatan minum obat.
Obat yang harus diminum 3 x sehari harus diartikan bahwa obat tersebut
Tuberkulosis dan Kusta, lama pemberian paling singkat adalah 6 bulan. Lama
obat yang terlalu singkat atau terlalu lama dari yang seharusnya akan
diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi, karena itu
muka merah setelah pemberian atropin bukan alergi, tetapi efek samping
tidak boleh dilakukan pada anak kurang dari 12 tahun, karena menimbulkan
9) Obat yang diberikan harus efektif dan aman dengan mutu terjamin, serta
Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat penting
upaya tindak lanjut yang diperlukan, misalnya jika pasien tidak sembuh atau
3. Golongan Antibiotik
a. Penisilin
Penisilin pertama kali diisolasi dari jamur Penicillium pada tahun 1949. Obat
ini efektif melawan beragam bakteri termasuk sebagian besar organisme gram
bakteri (pembentukan penisilinase), membuat obat ini tidak berguna untuk banyak
strain bakteri. Meskipun demikian, penisilin tetap merupakan obat terpilih yang
tidak mahal dan ditoleransi baik untuk beberapa infeksi (Olson, 1995). Menurut
untuk mengobati infeksi tertentu seperti infeksi kulit, infeksi dada dan infeksi
kelompok yaitu:
organisma gram positif, kokus gram negatif, bakteri anaerob yang tidak
laktamase.
dan kokus.
terhadap organisma gram negatif, tetapi kelompok ini sering rentan terhadap
beta- laktamase.
b. Sefalosporin
efektif melawan infeksi yang ditularkan melalui kulit pada pasien pasien
operasi. Misalnya sefazolin, sefadrosil, sefaleksin, dan sefalotin (Olson,
1995).
2) Generasi kedua memiliki paparan gram negatif yang lebih luas termasuk
3) Generasi ketiga adalah sangat aktif terhadap gram negatif dan obat-obat ini
4) Generasi keempat adalah cefepime. Obat ini lebih kebal terhadap hidrolisis
Obat ini sangat aktif terhadap haemophilus dan Neisseria (Katzung, 2012).
c. Makrolida
aktif melawan organisme gram positif) serta dapat digunakan sebagai obat
alternatif pada pasien yang sensitif penisilin, terutama pada infeksi yang
tetapi makrolida tidak efektif pada meningitis karena tidak menembus sistem saraf
pusat dengan adekuat (Neal, 2006). Yang termasuk kelompok antibiotik makrolida
1995).
d. Flurokuinolon
ini juga aktif mengobati diare yang disebabkan oleh shigella, salmonella, E.coli,
e. Tetrasiklin
memperlihatkan spektrum antibakteri luas yang meliputi kuman gram positif dan
negatif, aerobik dan anaerobik. Tetrasiklin merupakan obat yang sangat efektif
riketsia (Setiabudy dkk, 2009). Tetrasiklin menembus plasenta dan juga diekskresi
melalui ASI dan dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan tulang dan gigi
pada anak akibat ikatan tetrasiklin dengan kalsium. Tetrasiklin diekskresi melalui
f. Aminoglikosida
tobramisin, dan amikasin. Seperti penisilin, golongan ini aktif terhadap kedua
bakteri gram negatif dan gram positif. Aminoglikosida merupakan senyawa yang
terdiri dari 2 atau lebih gugus gula amino yang terikat lewat ikatan glikosidik pada
menghambat sintesis asam folat bakteri yang akhirnya berujung kepada tidak
terbentuknya basa purin dan DNA pada bakteri. Kombinasi dari trimetoprim dan
h. Kloramfenikol
mikroba. Kloramfenikol bersifat bakteriostatik dan memiliki spektrum luas dan aktif
terhadap masing – masing bakteri gram positif dan negatif baik yang aerob
pada kasus infeksi yang belum diketahui jenis bakteri penyebabnya. Pemberian
dan kondisi klinis pasien serta data penunjang lainnya. Antibiotika empiris
diberikan secara oral pada infeksi ringan. Sedangkan pada infeksi sedang sampai
empiris diindikasikan untuk bakteri tertentu yang sering menjadi penyebab infeksi
yaitu:
1. Dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotika data epidemiologi dan pola
3. Ketersediaan antibiotika.
terinfeksi.
5. Untuk infeksi berat yang diduga disebabkan oleh polimikroba dapat digunakan
pada kasus infeksi yang sudah dketahui jenis bakteri penyebab dan pola
mikrobiologis dan kondisi klinis pasien. Pemberian antibiotika secara oral untuk
terapi definitif menjadi pilihan pertama untuk terapi infeksi ringan. Pada infeksi
5. Mekanisme Antibiotik
6. Resistensi Antibiotik
dari 2494 individu di masyarakat, 43% Escherichia coli resisten terhadap berbagai
Secara garis besar bakteri dapat menjadi resistensi terhadap suatu antibiotik
melalui 3 mekanisme :
Pada kuman gram negatif molekul antimikro yang kecil dan polar dapat
menembus dinding luar dan masuk ke dalam sel melalui lubang-lubang kecil yang
disebut porin. Bila porin menghilang atau mengalami mutasi maka masuknya
b. Inaktivasi Obat
afinitasnya menurun terhadap metisilin dan antibiotik beta laktam yang lain
(Setiabudy, 2009).
kotrimoksazol.
Contohnya, pada pasien yang tidak mengkonsumsi antibiotik yang telah diresepkan
adalah:
berikut:
a. Reaksi Alergi
Dapat ditimbulkan oleh semua antibiotik dengan melibatkan sistem imun tubuh
hospes; terjadinya tidak bergantung pada besarnya dosis obat. Manifestasi gejala
dan derajat beratnya reaksi dapat bervariasi. Orang yang pernah mengalami
reaksi alergi, umpamanya oleh penisilin, tidak selalu mengalami reaksi itu
kembali ketika diberikan obat yang sama. Sebaliknya orang tanpa riwayat alergi
b. Reaksi Idiosinkrasi
terhadap pemberian antibiotik tertentu. Sebagai contoh, 10% pria berkulit hitam
akan mengalami anemia hemolitik berat bila mendapat primakuin. Ini di sebabkan
c. Reaksi Toksik
Antibiotik umumnya bersifat toksik-selektif, tetapi sifat ini relatif. Efek toksik
pada hospes ditimbulkan oleh semua jenis antibiotik. Yang mungkin dapat
dianggap relatif tidak toksik sampai kini ialah golongan penisilin. Contohnya
samping faktor jenis obat, berbagai faktor dalam tubuh dapat turut menentukan
terjadinya reaksi toksik ; antara lain fungsi organ/ sistem tertentu sehubungan
Pada tubuh hospes baik yang sehat maupun yang menderita infeksi, terdapat
1. Pengertian Pengetahuan
2012). Dalam pengertian lain, pengetahuan adalah hasil ‘tahu’, dan ini terjadi setelah
perasa dan peraba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata
a. Tahu (Know)
kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari
atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, ‘tahu’ merupakan tingkat
pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu
b. Memahami (Comprehension)
secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat
c. Aplikasi (Application)
dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi ini dapat diartikan
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau objek ke dalam
masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari
e. Sintesis (Synthesis)
Dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru
f. Evaluasi (Evaluation)
2. Faktor Pengetahuan
a. Pendidikan
didalam dan diluar sekolah (baik formal maupun nonformal), berlangsung seumur
hidup. Pendidikan adalah sebuah proses pengubahan sikap dan tata laku
seseorang atau kelompok dan juga usaha mendewasakan manusia melalui upaya
b. Pengalaman
c. Usia
Usia mempengaruhi daya tangkap dan pola pikir seseorang, semakin bertambah
usia seseorang akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya.
Pada usia madya individu akan lebih berperan aktif dalam masyarakat dan dalam
kehidupan sosial, serta lebih banyak melakukan persiapan demi suksesnya upaya
d. Pekerjaan
Seseorang yang bekerja disektor formal memiliki akses yang lebih baik
e. Fasilitas
menyatakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subyek penelitian atau
yang berhubungan dengan kesehatan, antara lain teori Lawrence Green (Green,
behaviour causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau dibentuk dari 3
faktor, yaitu :
Peresepan antibiotik di Indonesia yang cukup tinggi dan kurang bijak akan
penggunaan antibiotik sangat tinggi bahkan lebih dari 80% di banyak provinsi di
yang terkena diare akut, selain mendapatkan oralit juga antibiotik yang tidak
semestinya diberikan. Pada penyakit pneumonia sekitar 50-70% yang secara tepat
diterapi dengan antibiotik dan 60% penderita ISPA mengkonsumsi antibiotik yang
Mada Yogyakarta diperoleh data dari 150 total responden, sebanyak 119 (79%)
analisis lebih lanjut. Dapat diketahui bahwa sebanyak 82% (dari 119 responden)
karena bakteri. Namun demikian, lebih dari setengah responden (59%) mempunyai
jawaban yang salah terkait dengan pengetahuan bahwa antibiotik diindikasikan untuk
penyakit infeksi karena virus. Lebih lanjut, hampir tiga-perempat responden (73%)
C. Sikap
1. Pengertian Sikap
dalam merespon sesuatu/objek. Sikap juga sebagai ekspresi dari nilai-nilai atau
pandangan hidup yang dimiliki oleh seseorang. Sikap dapat dibentuk sehingga terjadi
pengetahuan dan sikap dengan penggunaan antibiotik tanpa resep dokter diperoleh
data dari 152 responden yang memiliki sikap positif sebanyak 112 responden (73,3%)
1. Pengetahuan Penggunaan
Antibiotik
2. Sikap
2.1
Kerangka Teori :
WHO (2011), Kemenkes RI 2011, Depdikbud 2013, Sastroasmoro, 2013
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Variabel Penelitian
Variabel penelitian adalah ciri atau ukuran yang melekat pada objek penelitian baik
bersifat fisik (nyata) maupun psikis (tidak nyata) (Putra, 2012). Variabel adalah segala
sesuatu yang akan menjadi objek pengamatan penelitian, faktor-faktor yang berperan
dalam peristiwa/gejala yang akan diteliti ditentukan oleh landasan teorinya dan ditegaskan
oleh hipotesis penelitiannya (Putra, 2012). Pada penelitian ini terdapat dua variable yaitu:
sebab perubahan atau timbulnya variable terikat (Putra, 2012). Variabel independen
akibat karena adanya variabel bebas (Putra, 2012). Variabel dependen (terikat) dalam
B. Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap masalah yang masih bersifat praduga
2019.
2019.
Penggunaan Antibiotik
Tingkat pada Mahasiswa
Pengetahuan Farmasi Universitas
Sikap Muhammadiyah
Kudus Tahun 2019
D. Rancangan Penelitian
1. Jenis Penelitian
Pada penelitian ini akan mengkorelasi tingkat pengetahuan dan sikap dengan
Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional, yaitu data yang
dikumpulkan sesaat atau diperoleh saat itu juga. Cara ini dilakukan dengan melakukan
berguna untuk mengamati atau mengatur dan mencatat kejadian yang sedang diteliti
pada sebuah lembar observasi yang berisikan variable - variabel penelitian dan
dan hasilnya berupa data dalam bentuk bilangan (numerik). Menurut Hidayat (2009)
a. Data Primer
Data primer merupakan data yang diperoleh dari sumber pertama, atau
dengan kata lain data yang pengumpulannya dilakukan sendiri oleh peneliti
secara langsung seperti hasil wawancara dan hasil pengisian angket atau
Data primer dari penelitian ini didapatkan secara langsung dengan cara
Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari sumber kedua. Data
yang dikumpulkan oleh orang atau lembaga lain, dengan kata lain bukan data
Muhammadiyah Kudus.
4. Populasi Penelitian
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek / subyek yang
mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang telah ditetapkan oleh peneliti
Muhammadiyah Kudus Tahun 2019, dengan jumlah mahasiswa pada tahun ajaran
a. Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
populasi. Bila populasi besar dan penelitian tidak mungkin mempelajari semua
yang ada pada populasi, misalnya karenaketerbatasan dana, tenaga dan waktu,
maka peneliti dapat mengunakan sampel yang diambil dari populasi itu
(Sugiyono, 2010).
untuk skala kecil (< 10.000) dapat menggunakan rumus sebagai berikut:
𝑁
𝑛=
1 + 𝑁(0,052 )
78
=
1+78 (0,052 )
78
=
1+78 (0,0025)
78
=
1+0,195
78
=
1,195
dengan ukuran sampel yang akan dijadikan sumber data sebenarnya dengan
(Putra, 2012).
Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini yaitu secara non
probability sampling berupa random sampling yaitu suatu teknik penetapan sampel
dengan cara memilih sampel secara acak dari populasi yang ada (Sugiyono,
2012).
1) Kriteria Inkulsi
Kriteria inklusi merupakan kriteria atau ciri – ciri yang perlu dipenuhi
tidak memenuhi kriteria inklusi dari studi karena sebagai sebab (Nursalam,
membatasi ruang lingkup atau pengertian variabel-variabel yang diamati atau diteliti,
definisi operasional ini juga bermanfaat untuk mengarahkan kepada pengukuran atau
a. Instrumen Penelitian
2010).
2011).
Alat atau instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah modifikasi dari
Dalam penelitian ini menggunakan instrumen berupa kuesioner yang dibuat oleh
tidak tahu : 0
Data demografi berupa, nama responden (inisial), jenis kelamin, usia, kelas
dan alamat.
Tingkatan pengetahuan responden yang meliputi pengetahuan umum
antibiotik
responden.
dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang
jawaban salah diberi skor 1 dan jawaban tidak tahu diberi skor 0 dengan
dikategorikan :
Penilaian Sikap
tidak setuju diberi nilai 1 dan pertanyaan setuju diberi nilai 0. Skala
dalam penelitian, terlebih dahulu diuji validitas dan reliabilitasnya. Uji ini dilakukan
pada minimal 20 orang yang tidak termasuk responden tetapi memiliki karakteristik
Uji Validitas
tertentu. Uji validitas sebaiknya dilakukan pada setiap butir pertanyaan di uji
validitasnya. Hasil r hitung kita bandingkan dengan r tabel, jika r tabel < r
Uji Realibilitas
pengukur (kuesioner) dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Hal ini berarti
menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran itu tetap konsisten atau tetap
asas ajeg bila dilakukan pengkuran terhadap gejala yang sama, dengan
menggunakan alat ukur yang sama. Bila hasilnya (angka korelasinya) sama
atau lebih dari angka kritis pada derajat kemaknaan : p 0,05, maka alat ukur
nilai cronbach’s Alpha. Jika nilai Cronbach’s Alpha lebih besar dan
a) Editing, yaitu data yang sudah terkumpul diperiksa kembali untuk memastikan
pengkodean. Data yang diedit kemudian diubah dalam bentuk angka yaitu dengan
c) Processing, setelah semua kuisioner terisi penuh dan benar, serta sudah melewati
pengkodean, maka langkah selanjutnya adalah memproses data agar data yang
memastikan apakah data bersih dari kesalahan dan siap dianalisis. Proses
Pengolahan dan analisis statistik dari data yang diperoleh dilakukan secara
Servis Solution (SPSS). Analisis data dilakukan secara analisa univariat dan analisis
bivariat
a) Analisis Univariat
b) Analisis Bivariat
dilakukan dengan menggunakan uji Chi-square, dimana syarat uji tersebut telah
terpenuhi di dalam data penelitian. Derajat kepercayaan dalam penelitian ini yang
digunakan adalah 95% dengan α sebesar 5%. Sehingga bisa diasumsikan jika p
value ≤ 0,05 dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara variabel yang
diteliti. Sedangkan jika p value ≥ 0,05 berarti hasil perhitungan statistik tidak
bermakna atau tidak terdapat hubungan yang signifikan antara variabel yang
diteliti.