Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Peresepan antibiotik di Indonesia yang cukup tinggi dan kurang bijak akan
meningkatkan kejadian resistensi. Khusus untuk kawasan Asia Tenggara penggunaan
antibiotik sangat tinggi bahkan lebih dari 80% di banyak provinsi di Indonesia (Kemenkes,
2011).
Intensitas penggunaan antibiotik yang relatif tinggi menimbulkan berbagai
permasalahan dan merupakan ancaman global bagi kesehatan terutama resistensi
bakteri terhadap antibiotik. Selain berdampak pada morbiditas dan mortalitas, juga
memberi dampak negatif terhadap ekonomi dan sosial yang sangat tinggi (Kemenkes RI,
2011).
Suatu konsekuensi yang tidak dapat dihindari dari penggunaan antibiotik adalah
timbulnya mikroorganisme yang resisten. Penggunaan antibiotik yang berlebihan dan
tidak tepat dapat menyebabkan peningkatan munculnya bakteri patogen yang resisten
terhadap berbagai obat antibiotik (Katzung, 2012).
Obat anti bakteri ini merupakan golongan obat keras yang pemakaiaannya harus
dibawah pengawasan dokter. Hal ini untuk menghindari penggunaan obat yang tidak
tepat, misalnya dalam pemilihan antibiotik, dosis, lama penggunaan serta waktu yang
tidak tepat akan menyebabkan resistensi antibiotika dimana antibiotika kehilangan
kemampuannya untuk secara efektif mengendalikan atau membasmi pertumbuhan
bakteri; dengan kata lain mengalami “resistensi” dan terus berkembangbiak meskipun
telah diberikan dalam jumlah yang cukup dalam pengobatan (BPOM RI, 2011).
Penggunaan antibiotika untuk swamedikasi menjadi masalah kesehatan yang
cukup penting saat ini. Hal tersebut disebabkan karena banyak kasus antibiotika
digunakan secara tidak rasional seperti pada kasus infeksi non bakterial atau tidak
diminum sampai habis (Chinnasami et al., 2016). Penggunaan antibiotika secara tidak
rasional berhubungan langsung dengan kemungkinan terjadinya resistensi.
Meningkatnya resistensi antibiotika menyebabkan semakin sempitnya jenis antibiotika
yang dapat digunakan. Masalah resistensi bakteri banyak terjadi di negara-negara
berkembang di seluruh dunia termasuk Indonesia. Resistensi bakteri menjadi suatu
masalah kesehatan yang sangat besar bagi suatu negara bahkan seluruh dunia karena
menyebabkan peningkatan angka kematian (WHO, 2014).
Menurut Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, sejumlah 103.850 (35,2%) dari
294.959 rumah tangga di Indonesia menyimpan obat untuk swamedikasi. Dari 35,2%
rumah tangga yang menyimpan obat, proporsi rumah tangga yang menyimpan antibiotika
dalah 27,8%. Data Riset Kesehatan Dasar juga menyebutkan bahwa 86,1% rumah
tangga tersebut menyimpan antibiotika yang diperoleh tanpa resep dokter (Kemenkes,
2013). Adanya antibiotika untuk swamedikasi menunjukan penggunaan obat yang tidak
rasional (Akinyandenu & Akinyandenu, 2014).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Shari & Sharif (2013) terhadap 177 mahasiswa
farmasi di salah satu perguruan tinggi di Uni Emirat Arab menunjukkan bahwa terdapat
88 mahasiswa yang memperoleh antibiotik tanpa resep dokter untuk melakukan
swamedikasi. Pada penelitian tersebut juga disebutkan bahwa antibiotik yang paling
banyak digunakan untuk swamedikasi tanpa konsultasi ke dokter adalah Amoxicillin-
Asam Klavulanat (48,9%), selanjutnya Amoxicillin (27%), dan Penisillin (10,1%).
Penyalahgunaan antibiotika meliputi penghentian obat secara tiba-tiba, dosis yang tidak
tepat, mengkonsumsi sisa antibiotika (dalam bentuk suspensi), penggunaan antibiotika
dengan jangka waktu yang tidak tepat. Alasan menggunakan antibiotika untuk
swamedikasi antara lain adalah karena penggunaan antibiotika sebelumnya yang sudah
terbukti berkhasiat menyembuhkan, menghemat waktu dan uang untuk pergi ke dokter,
serta adanya kecenderungan dari dokter untuk selalu meresepkan antibiotika yang sama
(Oyetunde et al., 2010).
Kesalahpahaman dalam penggunaan antibiotik berpotensi dapat menyebabkan
pengobatan menjadi tidak tepat, dimana orang-orang percaya antibiotik sebagai “obat
yang luar biasa” atau “obat kuat” yang mampu mencegah dan menyembuhkan setiap
gejala maupun penyakit. Pengetahuan dan keyakinan merupakan faktor yang
berhubungan dapat mempengaruhi perilaku penggunaan antibiotik tiap individu.
Pengetahuan dengan sendirinya tidak cukup untuk mengubah perilaku, tetapi berperan
penting dalam membentuk keyakinan dan sikap. Konsekuensi dalam menggunakan
antibotik dengan pengetahuan yang kurang berpotensi mengarah kepada
kesalahpahaman mengenai penggunaan tersebut. Mengingat bahwa penggunaan
antibiotik yang tidak tepat pada masyarakat terus menjadi masalah pada negara - negara
maju maka diberlakukan pemberian informasi pengetahuan dan keyakinan tentang
antibiotik. Akan tetapi, pemberian informasi serupa masih cukup langka, terutama di
Indonesia (Widayati, 2012).
Penggunaan antibiotik yang tidak rasional akan menimbulkan dampak negatif,
seperti terjadi kekebalan bakteri terhadap beberapa antibiotik, meningkatnya efek
samping obat dan bahkan kematian. Penggunaan antibiotik dikatakan tepat bila efek
terapi mencapai maksimal sementara efek toksis yang berhubungan dengan obat
menjadi minimum, serta perkembangan antibiotik resisten seminimal mungkin. Pemilihan
antibiotik harus disesuaikan dengan pola resistensi lokal, disamping juga memperhatikan
riwayat antibiotik yang digunakan oleh pasien. Hal ini juga mengurangi kemungkinan
resistensi terhadap lebih dari satu antibiotik.
Berdasarkan latar belakang tersebut, Peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
dengan tujuan mengetahui Hubungan tingkat pengetahuan dan sikap terhadap
penggunaan antibiotik pada Mahasiswa Farmasi Universitas Muhammadiyah Kudus
Tahun 2019
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, peneliti merumuskan masalah
“Apakah Ada Hubungan Antara Tingkat pengetahuan dan Sikap terhadap Penggunaan
Antibiotik Pada Mahasiswa Farmasi Universitas Muhammadiyah Kudus Tahun 2019”

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan dan sikap terhadap penggunaan
antibiotik pada mahasiswa farmasi Universitas Muhammadiyah Kudus Tahun 2019
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan pada mahasiswa farmasi Universitas
Muhammadiyah Kudus Tahun 2019
b. Untuk mengetahui sikap pada mahasiswa farmasi Universitas Muhammadiyah
Kudus Tahun 2019
c. Untuk mengetahui penggunaan antibiotik pada mahasiswa farmasi Universitas
Muhammadiyah Kudus Tahun 2019
d. Untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan dan sikap terhadap
penggunaan antibiotik pada mahasiswa Unversitas Muhammadiyah Kudus Tahun
2019

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
Diharapkan setelah diketahui tentang tingkat pengetahuan dan sikap terhadap
penggunaan antibiotik dapat dijadikan masukan untuk memberikan penyuluhan
tentang penggunaan obat yang benar ( bekerja sama dengan dinas kesehatan
daerah).
2. Bagi Institusi Pendidikan

Sebagai bahan referensi dan masukan bagi peneliti selanjutnya, agar dapat

dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian dengan variabel yang

berbeda.

3. Bagi Peneliti

Mengaplikasikan ilmu yang diperoleh di bangku perkuliahan dan pengalaman

nyata dalam melakukan penelitian.


E. Keaslian Penelitian

Penelitian dengan judul “Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Sikap terhadap

Penggunaan Antibiotik pada Mahasiswa Farmasi tingkat I Universitas Muhammadiyah

Kudus Tahun 2019 ” belum pernah diteliti sebelumnya. Berikut ini beberapa penelitian

terdahulu yang terkait dengan penelitian ini:

Nama Judul Penelitian Design Perbedaan

Siti Aminah Penilaian Metode penelitian  Tempat


Hasibuan Pengetahuan, menggunakan penelitian di
(2019) Persepsi Dan skala. Padang Lawas
Kepercayaan pada tahun
Masyarakat Di 2019 dengan
Kecamatan Sosa 395 responden.
Terhadap  Responden
Penggunaan penelitian yaitu
Antibiotik masyarakat.
Rahmawati Pengetahuan Dan Metode penelitian  Tempat
(2017) Sikap Masyarakat menggunakan penelitian di
Terhadap Antibiotik kualitatif Aceh barat
Di Puskesmas Kota pada tahun
Jantho Kecamatan 2017 dengan
Kota Jantho 100 responden.
Kabupaten Aceh  Responden
Besar penelitian yaitu
masyarakat.
Aldila Hubungan Tingkat Metode Penelitian  Tempat
Purwandani Pengetahuan dan adalah penelitian di
(2019) Sikap Terhadap pengumpulan Universitas
Mahasiswa Farmasi data dengan Muhammadiyah
tingkat I Universitas menggunakan Kudus pada
Muhammadiyah Skala tahun 2019
Kudus dengan 65
responden.
 Responden
penelitian yaitu
mahasiswa.
F. Ruang Lingkup

1. Ruang Lingkup Waktu Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2019.

2. Ruang Lingkup Tempat penelitian ini adalah di Uiversitas Muhammadiyah Kudus.

3. Ruang Lingkup Materi

Masalah yang dikaji adalah mengenai Hubungan Tingkat pengetahuan dan Sikap

terhadap Penggunaan Antibiotik pada Mahasiswa Farmasi Universitas

Muhammadiyah Kudus Tahun 2019.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Antibiotik

1. Pengertian Antibiotik

Antibiotik adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri, yang

mempunyai efek mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman, sedangkan

toksisitasnya pada manusia relatif kecil (Tjay dan Raharja, 2010). Antibiotik pertama

kali ditemukan oleh Paul Ehlrrich pada tahun 1910, sampai saat ini masih menjadi

obat pilihan dalam penanganan kasus-kasus pada penyakit infeksi (Utami, 2012).

Antibiotika adalah obat untuk mencegah dan mengobati infeksi yang

disebabkan oleh bakteri. Sebagai salah satu jenis obat umum, antibiotika banyak

beredar di masyarakat (Kemenkes, 2016).

Obat-obat antibiotika ditujukan untuk mengobati penyakit-penyakit infeksi.

Pemberian antibiotika pada kondisi yang bukan disebabkan oleh bakteri banyak

ditemukan dari praktek sehari-hari, baik di puskesmas, rumah sakit, maupun praktek

swasta. Ketidaktepatan pemilihan antibiotika hingga indikasi dosis, cara pemberian,

frekuensi dan lama pemberian menjadi penyebab tidak kuatnya pengaruh infeksi

dengan antibiotika (Depkes RI, 2011).

2. Penggunaan Antibiotik

WHO memperkirakan bahwa lebih dari separuh dari seluruh obat didunia diresepkan,

diberikan dan dijual dengan cara yang tidak tepat dan separuh dari pasien

menggunakan obat secara tidak tepat (Menkes RI, 2011). Penyalahgunaan antibiotik

pada dasarnya dipengaruhi oleh pengetahuan, sikap, komunikasi yang efektif antara

dokter dan pasien, tingkat ekonomi, karakteristik dari sistem kesehatan suatu negara,

dan peraturan lingkungan. Jika dilihat dari faktor pasien, hal yang mendasari

terjadinya penyalahgunaan antibiotik dikarekan banyak pasien percaya bahwa

keluaran obat baru lebih baik dibandingkan obat keluaran lama. Di negara-negara
berkembang antibiotik dibeli dalam dosis tunggal dan penghentian dilakukan jika

pasien merasa lebih baik atas penyakit yang dideritanya. Pengobatan sendiri dengan

antibiotik, tidak hanya terjadi di negara-negara sedang berkembang, tetapi juga di

negara-negara maju. Selebihnya di negara-negara Eropa masih ditemukan

prevalensi yang tinggi terhadap pengobatan sendiri dengan antibiotik (WHO, 2011).

Penerapan penggunaan antibiotik secara rasional oleh tenaga kesehatan

dapat dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut:

a. Meningkatkan pemahaman tenaga kesehatan terhadap penggunaan antibiotik

yang bijak dan rasional.

b. Meningkatkan ketersediaan dan mutu fasilitas penunjang dengan penguatan pada

laboratorium hematologi, imunologi, dan mikrobiologi atau laboratorium lain yang

berkaitan dengan penyakit infeksi.

c. Menjamin ketersediaan tenaga kesehatan yang kompeten di bidang infeksi.

d. Mengembangkan sistem penanganan penyakit infeksi.

e. Memantau penggunaan antibiotik secara intensif dan berkesinambungan.

f. Menetapkan kebijakan dan pedoman penggunaan antibiotik secara lebih rinci di

tingkat nasional, rumah sakit, fasilitas pelayanan kesehatan lainnya dan

masyarakat (Kemenkes, 2011).

Penggunaan obat dikatakan rasional jika memenuhi kriteria:

1) Tepat Diagnosis

Penggunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk diagnosis yang tepat.

Jika diagnosis tidak ditegakkan dengan benar, maka pemilihan obat akan

terpaksa mengacu pada diagnosis yang keliru tersebut. Akibatnya obat yang

diberikan juga tidak akan sesuai dengan indikasi yang seharusnya.

2) Tepat Indikasi Penyakit

Setiap obat memiliki spektrum terapi yang spesifik. Antibiotik, misalnya

diindikasikan untuk infeksi bakteri. Dengan demikian, pemberian obat ini

hanya dianjurkan untuk pasien yang memberi gejala adanya infeksi bakteri.
3) Tepat Pemilihan Obat

Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis

ditegakkan dengan benar. Dengan demikian, obat yang dipilih harus yang

memiliki efek terapi sesuai dengan spektrum penyakit.

4) Tepat Dosis

Dosis, cara dan lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap efek

terapi obat. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat yang

dengan rentang terapi yang sempit, akan sangat beresiko timbulnya efek

samping. Sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak akan menjamin tercapainya

kadar terapi yang diharapkan.

5) Tepat Cara

Pemberian Obat Antasida seharusnya dikunyah dulu baru ditelan. Demikian

pula antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu, karena akan membentuk

ikatan, sehingga menjadi tidak dapat diabsorpsi dan menurunkan

efektivitasnya.

6) Tepat Interval Waktu Pemberian

Cara pemberian obat hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan praktis,

agar mudah ditaati oleh pasien. Makin sering frekuensi pemberian obat per

hari (misalnya 4 kali sehari), semakin rendah tingkat ketaatan minum obat.

Obat yang harus diminum 3 x sehari harus diartikan bahwa obat tersebut

harus diminum dengan interval setiap 8 jam.

7) Tepat lama pemberian

Lama pemberian obat harus tepat sesuai penyakitnya masing-masing. Untuk

Tuberkulosis dan Kusta, lama pemberian paling singkat adalah 6 bulan. Lama

pemberian kloramfenikol pada demam tifoid adalah 10-14 hari. Pemberian

obat yang terlalu singkat atau terlalu lama dari yang seharusnya akan

berpengaruh terhadap hasil pengobatan.

8) Waspada terhadap efek samping


Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak

diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi, karena itu

muka merah setelah pemberian atropin bukan alergi, tetapi efek samping

sehubungan vasodilatasi pembuluh darah di wajah. Pemberian tetrasiklin

tidak boleh dilakukan pada anak kurang dari 12 tahun, karena menimbulkan

kelainan pada gigi dan tulang yang sedang tumbuh.

9) Obat yang diberikan harus efektif dan aman dengan mutu terjamin, serta

tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau.

10) Tepat informasi

Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat penting

dalam menunjang keberhasilan terapi.

11) Tepat tindak lanjut (follow-up)

Pada saat memutuskan pemberian terapi, harus sudah dipertimbangkan

upaya tindak lanjut yang diperlukan, misalnya jika pasien tidak sembuh atau

mengalami efek samping.

12) Tepat penyerahan obat (dispensing)

Penggunaan obat rasional melibatkan juga dispenser sebagai penyerah

obat dan pasien sendiri sebagai konsumen (Kemenkes RI, 2011).

3. Golongan Antibiotik

Ada beberapa golongan besar antibiotika, yaitu:

a. Penisilin

Penisilin pertama kali diisolasi dari jamur Penicillium pada tahun 1949. Obat

ini efektif melawan beragam bakteri termasuk sebagian besar organisme gram

positif. Penggunaan penisilin yang berlebihan menyebabkan timbulnya resistensi

bakteri (pembentukan penisilinase), membuat obat ini tidak berguna untuk banyak

strain bakteri. Meskipun demikian, penisilin tetap merupakan obat terpilih yang

tidak mahal dan ditoleransi baik untuk beberapa infeksi (Olson, 1995). Menurut

Natinal Health Service, penisilin merupakan antibiotika yang pertama kali


ditemukan oleh Alexander Fleming pada tahun, 1928 dan paling sering digunakan

untuk mengobati infeksi tertentu seperti infeksi kulit, infeksi dada dan infeksi

saluran kemih. Antara antibiotika, penisilin merupakan antibiotika yang penting

karena kurang toksik, perkembangan bakteri terhadap resistensinya sedikit.

Menurut Katzung, (2012) penisilin dapat diklasifikasikan kepada beberapa

kelompok yaitu:

1) Penisilin (misalnya penisilin G) mempunyai aktivitas terbesar terhadap

organisma gram positif, kokus gram negatif, bakteri anaerob yang tidak

memproduksi beta-laktamase,dan mempunyai sedikit aktivitas terhadap

gram-negatif batang. Kelompok ini rentan terhadap hidrolisis oleh beta

laktamase.

2) Penisilin antistafilokokus (misalnya, nafcilin) ini resisten terhadap beta

laktamase dari stafilokokus dan aktif terhadap stafilokokus dan streptokokus,

tetapi tidak aktif terhadap enterokokus, bakteri anaerob,gram negatif batang

dan kokus.

3) Penisilin dengan spektrum luas (ampisilin, penisilin antipseudomonas)

mempunyai spektrum antibakteri penisilin dan memiliki aktivitas yang tinggi

terhadap organisma gram negatif, tetapi kelompok ini sering rentan terhadap

beta- laktamase.

b. Sefalosporin

Sefalosporin sama dengan penisilin, tetapi lebih stabil terhadap banyak

bakteria beta-laktamase sehingga mempunyai spektrum aktivitas yang lebih luas.

Sefalosporin tidak aktif terhadap enterokokus dan Listeria monocytogenes.

Sefalosporin diklasifikasikan ke dalam empat generasi yaitu:

1) Generasi pertama sangat aktif terhadap organisme gram positif, termasuk

pneumokokus, stafilokokus, dan streptokokus (Katzung, 2012). Kelompok ini

efektif melawan infeksi yang ditularkan melalui kulit pada pasien pasien
operasi. Misalnya sefazolin, sefadrosil, sefaleksin, dan sefalotin (Olson,

1995).

2) Generasi kedua memiliki paparan gram negatif yang lebih luas termasuk

sefaklor, sefamandol, sefoksitin, sefotetan. Kelompok ini merupakan

golongan heterogeneous yang mempunyai perbedaan-perbedaan individual

dalam aktivitas, farmakokinetika, dan toksisitas (Katzung, 2012).

3) Generasi ketiga adalah sangat aktif terhadap gram negatif dan obat-obat ini

mampu melintasi blood-brain barrier. Generasi ini aktif terhadap citrobacter,

Serratia marcescens, dan providencia. Misalnya, sefoperazon, sefotaksim,

seftazidim, seftizoksim, dan seftriakson (Katzung, 2012).

4) Generasi keempat adalah cefepime. Obat ini lebih kebal terhadap hidrolisis

oleh beta- lactamase kromosomal dan mempunyai aktivitas yang baik

terhadap P aeruginosa, Enterobacteriaceae, S aureus, dan S pneumonia.

Obat ini sangat aktif terhadap haemophilus dan Neisseria (Katzung, 2012).

c. Makrolida

Makrolida biasanya diberikan secara oral, dan memiliki spektrum

antimikroba yang sama dengan benzilpenisilin (yaitu spektrum sempit, terutama

aktif melawan organisme gram positif) serta dapat digunakan sebagai obat

alternatif pada pasien yang sensitif penisilin, terutama pada infeksi yang

disebabkan oleh streptokokus, stafilokokus, pneumokokus, dan klosridium. Akan

tetapi makrolida tidak efektif pada meningitis karena tidak menembus sistem saraf

pusat dengan adekuat (Neal, 2006). Yang termasuk kelompok antibiotik makrolida

adalah erythromycin, clarithromycin, azithromycin dan troleandomycin. Yang

paling sering diresepkan agen antimikroba makrolida adalah eritromisin (Mosby,

1995).

d. Flurokuinolon

Golongan fluorokuinolon termasuk di dalamnya asam nalidixat,

siprofloxasin, norfloxasin, ofloxasin, levofloxasin, dan lain–lain. Golongan


fluorokuinolon aktif terhadap bakteri gram negatif. Golongan fluorokuinolon efektif

mengobati infeksi saluran kemih yang disebabkan oleh pseudomonas. Golongan

ini juga aktif mengobati diare yang disebabkan oleh shigella, salmonella, E.coli,

dan Campilobacter (Katzung, 2012).

e. Tetrasiklin

Golongan tetrasiklin menghambat sintesis protein bakteri pada ribosomnya.

Tetrasiklin termasuk antibiotik yang terutama bersifat bakteriostatik. Hanya

mikroba yang cepat membelah yang dipengaruhi obat ini. Tetrasiklin

memperlihatkan spektrum antibakteri luas yang meliputi kuman gram positif dan

negatif, aerobik dan anaerobik. Tetrasiklin merupakan obat yang sangat efektif

untuk infeksi Mycoplasma pneumonia, Chlamydia trachomatis, dan berbagai

riketsia (Setiabudy dkk, 2009). Tetrasiklin menembus plasenta dan juga diekskresi

melalui ASI dan dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan tulang dan gigi

pada anak akibat ikatan tetrasiklin dengan kalsium. Tetrasiklin diekskresi melalui

urin dan cairan empedu (Katzung, 2012).

f. Aminoglikosida

Aminoglikosida merupakan salah satu antibiotika yang tertua. Sejak tahun

1944, antibiotika streptomisin merupakan produk dari bakterium Streptomyces

griseus. Selain itu, terdapat juga antibiotika seperti neomisin, gentamisin,

tobramisin, dan amikasin. Seperti penisilin, golongan ini aktif terhadap kedua

bakteri gram negatif dan gram positif. Aminoglikosida merupakan senyawa yang

terdiri dari 2 atau lebih gugus gula amino yang terikat lewat ikatan glikosidik pada

inti heksosa (Hauser, 1996).

g. Golongan Sulfonamida dan Trimetoprim

Sulfonamida dan trimetoprim merupakan obat yang mekanisme kerjanya

menghambat sintesis asam folat bakteri yang akhirnya berujung kepada tidak

terbentuknya basa purin dan DNA pada bakteri. Kombinasi dari trimetoprim dan

sulfametoxazole merupakan pengobatan yang sangat efektif terhadap pneumonia


akibat P.jiroveci, sigellosis, infeksi salmonela sistemik, infeksi saluran kemih,

prostatitis, dan beberapa infeksi mikobakterium non tuberkulosis (Katzung, 2012).

h. Kloramfenikol

Kloramfenikol merupakan inhibitor yang poten terhadap sintesis protein

mikroba. Kloramfenikol bersifat bakteriostatik dan memiliki spektrum luas dan aktif

terhadap masing – masing bakteri gram positif dan negatif baik yang aerob

maupun anaerob (Katzung, 2012).

4. Prinsip Penggunaan Antibiotika Untuk Terapi Empiris dan Definitif

a. Antibiotik untuk terapi empiris

Penggunaan antibiotik untuk terapi empiris yaitu penggunaan antibiotika

pada kasus infeksi yang belum diketahui jenis bakteri penyebabnya. Pemberian

antibiotika empiris ditujukan untuk penghambatan pertumbuhan bakteri yang

diduga menjadi penyebab infeksi sebelum diperoleh hasil pemeriksaan

mikrobiologi. Lama pemberian antibiotika empiris diberikan dalam jangka waktu

48-72 jam. Selanjutnya harus dilakukan evaluasi berdasarkan data mikrobiologis

dan kondisi klinis pasien serta data penunjang lainnya. Antibiotika empiris

diberikan secara oral pada infeksi ringan. Sedangkan pada infeksi sedang sampai

berat dapat dipertimbangkan menggunakan antibiotika secara parenteral. Terapi

empiris diindikasikan untuk bakteri tertentu yang sering menjadi penyebab infeksi

yaitu:

1. Dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotika data epidemiologi dan pola

resistensi bakteri yang tersedia dikomunikasi atau di rumah sakit setempat.

2. Kondisi klinis pasien.

3. Ketersediaan antibiotika.

4. Kemampuan antibiotika untuk menembus kedalam jaringan/organ yang

terinfeksi.

5. Untuk infeksi berat yang diduga disebabkan oleh polimikroba dapat digunakan

antibiotika kombinasi (Depkes RI, 2011).


b. Antibiotik untuk terapi definitif

Penggunaan antibiotika pada terapi definitif yaitu penggunaan antibiotika

pada kasus infeksi yang sudah dketahui jenis bakteri penyebab dan pola

resistensinya. Antibiotika terapi definitif ditujukan untuk penghambat pertumbuhan

bakteri yang menjadi penyebab infeksi, berdasarkan hasil pemeriksaan

mikrobiologi. Lama pemberian antibiotika definitif berdasarkan pada efikasi klinis

untuk penghambatan pertumbuhan bakteri sesuai dengan diagnosis awal yang

telah dikonfirmasikan. Selanjutnya harus dilakukan evaluasi berdasarkan data

mikrobiologis dan kondisi klinis pasien. Pemberian antibiotika secara oral untuk

terapi definitif menjadi pilihan pertama untuk terapi infeksi ringan. Pada infeksi

sedang sampai berat pemberian antibiotika secara parenteral dapat

dipertimbangkan (Depkes RI, 2011).

5. Mekanisme Antibiotik

Antibiotik bisa diklasifikasikan berdasarkan mekanisme kerjanya, yaitu:

a. Menghambat sintesis atau merusak dinding sel bakteri. Contohnya betalaktam

(penisilin, sefalosporin, monobaktam, karbapenem, inhibitor betalaktamase),

basitrasin, dan vankomisin.

b. Merusak membran sel. Contohnya polimiksin, ketokonazol.

c. Memodifikasi atau menghambat sintesis protein. Contohnya aminoglikosid,

kloramfenikol, tetrasiklin, makrolida (eritromisin, azitromisin, klaritromisin),

klindamisin, mupirosin, dan spektinomisin.

d. Menghambat enzim-enzim esensial dalam metabolisme folat. Contohnya

trimetoprim dan sulfonamid.

e. Mempengaruhi sintesis atau metabolisme asam nukleat. Contohnya kuinolon,

nitrofurantoin, rifampin (Setiabudy, 2009).

6. Resistensi Antibiotik

Resistensi antibiotik adalah kemampuan bakteri untuk menetralisir dan

melemahkan daya kerja antibiotik (Kemenkes, 2011).


Hasil penelitian Antimicrobial Resistant in Indonesia (AMRINStudy) terbukti

dari 2494 individu di masyarakat, 43% Escherichia coli resisten terhadap berbagai

jenis antibiotik antara lain:ampisilin (34%), kotrimoksazol (29%) dan kloramfenikol

(25%).Hasil penelitian 781 pasien yang dirawat di rumah sakitdidapatkan 81%

Escherichia coli resisten terhadap berbagai jenisantibiotik, yaitu ampisilin (73%),

kotrimoksazol (56%),kloramfenikol (43%), siprofloksasin (22%), dan gentamisin

(18%) (Kemenkes RI, 2011).

Secara garis besar bakteri dapat menjadi resistensi terhadap suatu antibiotik

melalui 3 mekanisme :

a. Obat tidak dapat mencapai tempat kerjanya didalam sel mikroba.

Pada kuman gram negatif molekul antimikro yang kecil dan polar dapat

menembus dinding luar dan masuk ke dalam sel melalui lubang-lubang kecil yang

disebut porin. Bila porin menghilang atau mengalami mutasi maka masuknya

antimikroba ini akan terhambat.

b. Inaktivasi Obat

Mekanisme ini sering mengakibatkan terjadinya resistensi terhadap

golongan aminoglikosida dan beta laktam karena mikroba mampu membuat

enzim yang merusak kedua golongan antimikroba tersebut.

c. Mikroba mengubah tempat ikatan (binding site) antimikroba.

Mekanisme ini terlihat pada S. aureus yang resisten terhadap metisilin

(MRSA). Kuman ini mengubah Penicillin Binding Proteinnya (PBP) sehingga

afinitasnya menurun terhadap metisilin dan antibiotik beta laktam yang lain

(Setiabudy, 2009).

Resistensi antibiotik dapat terjadi karena beberapa faktor dibawah ini:

1) Penggunaan antibiotik yang sering.

Terlepas dari penggunaanya rasional atau tidak, antibiotik yang sering

digunakan biasanya akan berkurang efektivitasnya. Karena itu, penggunaan

antibiotik yang irasional harus dikurangi sedapat mungkin.


2) Penggunaan antibiotik yang irasional.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa penggunaan antibiotik yang

irasional terutama di rumah sakit merupakan faktor penting yang memudahkan

berkembangnya resistensi kuman.

3) Penggunaan antibiotik baru yang berlebihan.

Beberapa contoh antibiotik yang relatif cepat kehilangan efektivitasnya

setelah dipasarkan karena masalah reistensi ialah siprofloksasin dan

kotrimoksazol.

4) Penggunaan antibiotik untuk jangka waktu lama.

Pemberian antibiotik dalam waktu yang lama akan memberikan kesempatan

bertumbuhnya kuman yang lebih resisten (Setiabudy, 2009).

7. Penyebab Resistensi Antibiotik

Menurut WHO (2012), ketidaktepatan serta ketidakrasionalan penggunaan

antibiotik merupakan penyebab paling utama menyebarnya mikroorganisme resisten.

Contohnya, pada pasien yang tidak mengkonsumsi antibiotik yang telah diresepkan

oleh dokternya, atau ketika kualitas antibiotik yang diberikan buruk.

Adapun faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan adanya resistensi antibiotik

adalah:

a. Kelemahan atau ketiadaan system monitoring dan surveilans

b. Ketidak mampuan system untuk mengontrol kualitas suplai obat

c. Ketidak tepatan serta ketidakrasionalan penggunaan obat

d. Buruknya pengontrolan pencegahan infeksi penyakti

e. Kesalahan diagnosis dan pengobatan yang diberikan

8. Efek Samping Antibiotik

Menurut Setiabudy (2009) efek samping antibiotik dapat terjadi sebagai

berikut:

a. Reaksi Alergi
Dapat ditimbulkan oleh semua antibiotik dengan melibatkan sistem imun tubuh

hospes; terjadinya tidak bergantung pada besarnya dosis obat. Manifestasi gejala

dan derajat beratnya reaksi dapat bervariasi. Orang yang pernah mengalami

reaksi alergi, umpamanya oleh penisilin, tidak selalu mengalami reaksi itu

kembali ketika diberikan obat yang sama. Sebaliknya orang tanpa riwayat alergi

dapat mengalami reaksi alergi pada penggunaan ulang penisilin.

b. Reaksi Idiosinkrasi

Gejala ini merupakan reaksi abnormal yang diturunkan secara genetik

terhadap pemberian antibiotik tertentu. Sebagai contoh, 10% pria berkulit hitam

akan mengalami anemia hemolitik berat bila mendapat primakuin. Ini di sebabkan

mereka kekurangan enzim G6PD.

c. Reaksi Toksik

Antibiotik umumnya bersifat toksik-selektif, tetapi sifat ini relatif. Efek toksik

pada hospes ditimbulkan oleh semua jenis antibiotik. Yang mungkin dapat

dianggap relatif tidak toksik sampai kini ialah golongan penisilin. Contohnya

golongan aminoglikosida pada umumnya bersifat toksik terutama terhadap N.VIII,

golongan tetrasiklin cukup terkenal dalam mengganggu pertumbuhan jaringan

tulang, termasuk gigi, akibat deposisi kompleks tetrasiklin kalsium ortofosfat. Di

samping faktor jenis obat, berbagai faktor dalam tubuh dapat turut menentukan

terjadinya reaksi toksik ; antara lain fungsi organ/ sistem tertentu sehubungan

dengan biotransformasi dan ekskresi obat.

d. Perubahan biologik dan metabolik pada hoespes

Pada tubuh hospes baik yang sehat maupun yang menderita infeksi, terdapat

populasi mikroflora normal. Dengan keseimbangan ekologik, populasi mikroflora

tersebut biasanya tidak menunjukkan sifat pathogen. Misalnya pada penggunaan

antibiotik, terutama yang berspektrum luas, dapat mengganggu keseimbangan

ekologik mikroflora sehingga jenis mikroba yang meningkat jumlah populasinya

dapat menjadi pathogen.


B. Pengetahuan

1. Pengertian Pengetahuan

Pengetahuan (knowledge) adalah hasil dari tau dari manusia (Notoatmojo,

2012). Dalam pengertian lain, pengetahuan adalah hasil ‘tahu’, dan ini terjadi setelah

orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi

melalui pancaindra manusia, yakni: indra penglihatan, pendengaran, penciuman,

perasa dan peraba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata

dan telinga (Sastroasmoro, 2013).

Ada 6 tingkatan pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif yaitu :

a. Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai pengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya,yang termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat

kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari

atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, ‘tahu’ merupakan tingkat

pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu

apa yang dipelajarinya, antara lain: menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan,

menyatakan, dan sebagainya.

b. Memahami (Comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar

tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut

secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat

menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya

terhadap objek yang dipelajari.

c. Aplikasi (Application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah

dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi ini dapat diartikan

aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya

dalam konteks atau situasi yang lain.


d. Analisis (Analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau objek ke dalam

komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan

masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari

penggunaan kata-kata kerja: dapat menggambarkan (membuat bagan),

membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.

e. Sintesis (Synthesis)

Sintesis menunjukkan pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

Dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru

dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya, dapat menyusun, merencanakan,

meringkaskan, dan dapat menyesuaikan terhadap suatu teori atau rumusan –

rumusan yang telah ada.

f. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau

penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan

suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang

telah ada (Notoatmojo, 2003).

2. Faktor Pengetahuan

Menurut Notoatmojo (2003), pengetahuan seseorang dapat dipengaruhi oleh

beberapa faktor, yaitu:

a. Pendidikan

Pendidikan adalah usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan

didalam dan diluar sekolah (baik formal maupun nonformal), berlangsung seumur

hidup. Pendidikan adalah sebuah proses pengubahan sikap dan tata laku

seseorang atau kelompok dan juga usaha mendewasakan manusia melalui upaya

pengajaran dan pelatihan. Pendidikan mempengaruhi proses belajar, makin tinggi

pendidikan seseorang semakin mudah orang tersebut menerima informasi baik


dari orang lain maupun dari media massa. Semakin banyak informasi yang masuk

semakin banyak pula pengetahuan yang didapat.

b. Pengalaman

Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara untuk memperolah

kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang kembali pengetahuan yang

diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi pada masa lalu.

Pengalaman belajar dalam bekerja yang dikembangkan akan memberikan

pengetahuan dan keterampilan profesional serta dapat mengembangkan

kemampuan mengambil keputusan.

c. Usia

Usia mempengaruhi daya tangkap dan pola pikir seseorang, semakin bertambah

usia seseorang akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya.

Pada usia madya individu akan lebih berperan aktif dalam masyarakat dan dalam

kehidupan sosial, serta lebih banyak melakukan persiapan demi suksesnya upaya

menyesuaikan diri menuju usia tua.

d. Pekerjaan

Seseorang yang bekerja disektor formal memiliki akses yang lebih baik

terhadap berbagai informasi.

e. Fasilitas

Fasilitas-fasilitas sebagai sumber informasi yang dapat mempengaruhi

pengetahuan seseorang, misalnya radio, televisi, majalah, koran, dan buku-buku.

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang

menyatakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subyek penelitian atau

responden (Notoatmojo, 2012).

Beberapa teori lain yang telah dicoba untuk mengungkapkan determinan

perilaku dari analisis faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku, khususnya perilaku

yang berhubungan dengan kesehatan, antara lain teori Lawrence Green (Green,

dalam Notoatmodjo, 2003) mencoba menganalisa perilaku manusia dari tingkat


kesehatan. Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi perilaku (non

behaviour causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau dibentuk dari 3

faktor, yaitu :

1) Faktor-faktor pengaruh (predisposing factor) yang terwujud dalam pengetahuan,

sikap, kepercayaan, keyakinan, dan nilai–nilai.

2) Faktor-faktor pendukung (enabling factor) yang terwujud dalam lingkungan fisik,

tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan.

3) Faktor–faktor penguat (reinforcing factor) yang terwujud dalam sikap dan

perilaku petugas kesehatan.

3. Pengetahuan Tentang Antibiotik

Peresepan antibiotik di Indonesia yang cukup tinggi dan kurang bijak akan

meningkatkan kejadian resistensi. Khusus untuk kawasan Asia Tenggara

penggunaan antibiotik sangat tinggi bahkan lebih dari 80% di banyak provinsi di

Indonesia. Beberapa fakta di negara berkembang menunjukkan 40% anak-anak

yang terkena diare akut, selain mendapatkan oralit juga antibiotik yang tidak

semestinya diberikan. Pada penyakit pneumonia sekitar 50-70% yang secara tepat

diterapi dengan antibiotik dan 60% penderita ISPA mengkonsumsi antibiotik yang

tidak tepat (Kemenkes, 2011).

Pada penelitian yang dilakukan oleh (Rizqy, 2013) dimana pengetahuan

mengenai antibiotik di kalangan mahasiswa ilmu-ilmu kesehatan Universitas Gadjah

Mada Yogyakarta diperoleh data dari 150 total responden, sebanyak 119 (79%)

responden mengenal antibiotika sehingga responden inilah yang menjawab

pertanyaan – pertanyaan terkait aspek pengetahuan tentang antibiotika. Sebanyak

31 (21%) responden yang tidak mengenal antibiotika tidak diikutsertakan dalam

analisis lebih lanjut. Dapat diketahui bahwa sebanyak 82% (dari 119 responden)

mempunyai jawaban benar mengenai indikasi antibiotika untuk penyakit infeksi

karena bakteri. Namun demikian, lebih dari setengah responden (59%) mempunyai

jawaban yang salah terkait dengan pengetahuan bahwa antibiotik diindikasikan untuk
penyakit infeksi karena virus. Lebih lanjut, hampir tiga-perempat responden (73%)

mempunyai pemahaman keliru mengenai penggunaan antibiotika yang digunakan

segera pada saat demam.

C. Sikap

1. Pengertian Sikap

Sikap bermula dari perasaan yang terikat dengan kecenderungan seseorang

dalam merespon sesuatu/objek. Sikap juga sebagai ekspresi dari nilai-nilai atau

pandangan hidup yang dimiliki oleh seseorang. Sikap dapat dibentuk sehingga terjadi

perilaku atau tindakan yang diinginkan (Depdikbud, 2013).

Menurut Notoatmodjo (2012), pengukuran sikap dapat dilakukan secara

langsung maupun tidak langsung. Pengukuran sikap dapat dilakukan dengan

mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang stimulus atau objek yang bersangkutan.

Misalnya, bagaimana pendapat responden tentang manfaat imunisasi. Pertanyaan-

pertanyaan langsung juga dapat dilakukan dengan cara memberikan pendapat

dengan mengunakan kata “setuju” atau “tidak setuju” terhadap peryataan-pernyataan

dengan objek tertentu yaitu mengunakan skalaLikert.

2. Sikap Dalam Penggunaan Antibiotik

Penelitian yang dilakukan oleh Yarza (2015), tentang hubungan tingkat

pengetahuan dan sikap dengan penggunaan antibiotik tanpa resep dokter diperoleh

data dari 152 responden yang memiliki sikap positif sebanyak 112 responden (73,3%)

dan responden yang bersikap negatif sebanyak 40 responden (26,3%).


D. Kerangka Teori

Faktor yang mempengaruhi

penyalahgunaan pemberian antibiotic

1. Pengetahuan Penggunaan
Antibiotik
2. Sikap

3. Komunikasi yang efektif

antara dokter dan pasien


 Tepat diagnosis
4. Tingkat ekonomi
 Tepat indikasi Penyakit
5. Karakteristik dari system  Tepat dosis
 Tepat cara
kesehatan suatu negara  Tepat interval waktu
pemberian
6. Peraturan lingkungan
 Wapada terhadap efek
samping
 Obat yang diberikan harus
efektif
 Tepat informasi
 Tepat tindaklanjut
 Tepat penyerahan obat

2.1
Kerangka Teori :
WHO (2011), Kemenkes RI 2011, Depdikbud 2013, Sastroasmoro, 2013
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Variabel Penelitian

Variabel penelitian adalah ciri atau ukuran yang melekat pada objek penelitian baik

bersifat fisik (nyata) maupun psikis (tidak nyata) (Putra, 2012). Variabel adalah segala

sesuatu yang akan menjadi objek pengamatan penelitian, faktor-faktor yang berperan

dalam peristiwa/gejala yang akan diteliti ditentukan oleh landasan teorinya dan ditegaskan

oleh hipotesis penelitiannya (Putra, 2012). Pada penelitian ini terdapat dua variable yaitu:

1. Variabel Independen (Bebas)

Variabel ini merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi

sebab perubahan atau timbulnya variable terikat (Putra, 2012). Variabel independen

(bebas) dalam penelitian ini yaitu tingkat pengetahuan dan sikap.

2. Variabel Dependen (Terikat)

Variabel dependen merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi

akibat karena adanya variabel bebas (Putra, 2012). Variabel dependen (terikat) dalam

penelitian ini yaitu penggunaan antibiotik.

B. Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap masalah yang masih bersifat praduga

karena masih harus dibuktikan kebenarannya (Wikipedia, 2014). Hipotesis dalam

penelitian ini adalah :

1. Hipotesa alternative (Ha)

Terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan dan sikap dengan penggunaan

antibiotik pada mahasiswa tingkat I farmasi Universitas Muhammadiyah Kudus tahun

2019.

2. Hipotesa nol (H0)


Tidak terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan dan sikap dengan penggunaan

antibiotik pada mahasiswa tingkat I farmasi Universitas Muhammadiyah Kudus tahun

2019.

C. Kerangka Konsep Penelitian

Variabel Independen Variabel Dependen

Penggunaan Antibiotik
 Tingkat pada Mahasiswa
Pengetahuan Farmasi Universitas
 Sikap Muhammadiyah
Kudus Tahun 2019

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian

D. Rancangan Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif korelatif. Menurut

Notoatmodjo (2010) deskriptif korelatif merupakan penelitian atau penelaah hubungan

antara dua variabel pada suatu situasi atau sekelompok subyek.

Pada penelitian ini akan mengkorelasi tingkat pengetahuan dan sikap dengan

penggunaan antibiotik pada mahasiswa tingkat I farmasi Universitas Muhammadiyah

Kudus tahun 2019.

2. Pendekatan Waktu Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional, yaitu data yang

dikumpulkan sesaat atau diperoleh saat itu juga. Cara ini dilakukan dengan melakukan

survei, wawancara, atau dengan menyebarkan kuesioner kepada responden

penelitian (Putra, 2012).


Dalam penelitian ini peneliti ingin mengambil data antara variabel independent

(tingkat pengetahuan dan sikap) dengan variabel dependen (penggunaan antibiotik)

yang dilakukan di Universitas Muhammadiyah Kudus Tahun 2019.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan observasi yang

berguna untuk mengamati atau mengatur dan mencatat kejadian yang sedang diteliti

pada sebuah lembar observasi yang berisikan variable - variabel penelitian dan

menggunakan survey dengan menggunakan wawancara dan kuesioner untuk

mendapatkan data berupa responden sampel penelitian (Azwar, 2012)

Pengumpulan data dilakukan secara kuantitatif, yaitu menggunakan kuesioner

dan hasilnya berupa data dalam bentuk bilangan (numerik). Menurut Hidayat (2009)

pengumpulan data adalah proses pengumpulan karakteristik responden yang

diperlukan dalam suatu penelitian. Data yang dikumpulkan meliputi :

a. Data Primer

Data primer merupakan data yang diperoleh dari sumber pertama, atau

dengan kata lain data yang pengumpulannya dilakukan sendiri oleh peneliti

secara langsung seperti hasil wawancara dan hasil pengisian angket atau

kuesioner (Widoyoko, 2012).

Data primer dari penelitian ini didapatkan secara langsung dengan cara

mengisi angket (kuesioner) yang diberikan pada mahasiswa farmasi tingkat I

Universitas Muhammadiyah Kudus tahun 2019.


b. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari sumber kedua. Data

yang dikumpulkan oleh orang atau lembaga lain, dengan kata lain bukan data

yang dikumpulkan sendiri oleh peneliti (Widoyoko, 2012).

Data sekunder dari penelitian ini didapatkan dari pendokumentasian yang

telah dilakukan oleh bagian kajur farmasi Universitas Muhammadiyah Kudus

tahun 2019 berupa absensi Mahasiswa Tingkat I Farmasi Universitas

Muhammadiyah Kudus.

4. Populasi Penelitian

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek / subyek yang

mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang telah ditetapkan oleh peneliti

untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Saryono, 2010).

Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa tingkat I farmasi Universitas

Muhammadiyah Kudus Tahun 2019, dengan jumlah mahasiswa pada tahun ajaran

2019 yaitu sebanyak 78 siswa.

5. Prosedur Sampel dan Sampel Penelitian

a. Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh

populasi. Bila populasi besar dan penelitian tidak mungkin mempelajari semua

yang ada pada populasi, misalnya karenaketerbatasan dana, tenaga dan waktu,

maka peneliti dapat mengunakan sampel yang diambil dari populasi itu

(Sugiyono, 2010).

Menurut Notoatmodjo (2010), dalam menentukan besar sampel untuk skala

untuk skala kecil (< 10.000) dapat menggunakan rumus sebagai berikut:

𝑁
𝑛=
1 + 𝑁(0,052 )
78
=
1+78 (0,052 )
78
=
1+78 (0,0025)

78
=
1+0,195

78
=
1,195

= 65,271 di bulatkan menjadi 65

Maka besarnya sampel pada penelitian ini sebanyak 65 responden.

b. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik sampling adalah cara menentukan sampel yang jumlahnya sesuai

dengan ukuran sampel yang akan dijadikan sumber data sebenarnya dengan

memperhatiakn sifat-sifat penyebaran populasi yang diperoleh sampel yang

representative (Setiawan & Saryono, 2010).

Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah sampel acak

stratifikasi. Cara ini dilakukan jika populasi mempunyai karakteristik heterogen

(Putra, 2012).

Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini yaitu secara non

probability sampling berupa random sampling yaitu suatu teknik penetapan sampel

dengan cara memilih sampel secara acak dari populasi yang ada (Sugiyono,

2012).

Adapun kriteria inklusi sampling dalam penelitian ini adalah:

1) Kriteria Inkulsi

Kriteria inklusi merupakan kriteria atau ciri – ciri yang perlu dipenuhi

oleh setiap anggota populasi yang dapat diambil sebagai sampel

(Notoatmodjo, 2010). Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah:

a) Mahasiswa tingkat I Farmasi baik perempuan dan laki – laki di Universitas

Muhammadiyah Kudus Tahun 2019.

b) Mahasiswa yang bersedia menjadi responden.


2) Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi adalah menghilangkan/mengeluarkan subyek yang

tidak memenuhi kriteria inklusi dari studi karena sebagai sebab (Nursalam,

2008). Pada penelitian ini kriteria eksklusi adalah:

a) Mahasiswa yang sakit pada saat dilakukan penelitian

b) Mahasiswa yang tidak bersedia menjadi responden

6. Definisi Operasional Variabel dan Skala Pengukur

Definisi Operasional Variabel adalah batasan yang digunakan untuk

membatasi ruang lingkup atau pengertian variabel-variabel yang diamati atau diteliti,

definisi operasional ini juga bermanfaat untuk mengarahkan kepada pengukuran atau

pengamatan terhadap variabel-variabel yang bersangkutan serta pengembangan

instrumen alat ukur (Notoatmodjo S., 2010).

Definisi Operasional Variabel


Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Operasional Pengukuran

Tingkat Pengetahuan Kuesioner 1. Tingkat pengetahuan Nominal


pengetahua responden kurang : jika menjawab
n mengenai antibiotik benar <56% dari
pertanyaan dengan nilai
skor < 18.
2. Tingkat pengetahuan
Sedang : jika menjawab
benar 56%-75% dari
pertanyaan dengan nilai
skor 18-24.
3. Tingkat pengetahuan
Baik : jika menjawab
benar 76%-100% dari
pertanyaan dengan nilai
skor 25-32.
Sikap Respon tertutup dari Kuesioner 1. Kurang : bila menjawab Nominal
responden tidak setuju 1 - 2
pernyataan.
2. Cukup : bila menjawab
tidak setuju 3 - 4
pernyataan.
3. Baik : bila menjawab
tidak setuju 5
pernyataan.
Penggunaan Penggunaan Kuesioner Pola penggunaan Nominal
Antibiotik antibiotik responden
7. Instrumen Penelitian dan cara penelitian data penelitian

a. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah memperoleh data tentang status sesuatu

dibandingkan dengan standar atau ukuran yang telah ditentukan (Notoadmodjo,

2010).

Instrument penelitian yaitu suatu alat yang digunakan untuk mengukur

fenomena alam maupun social yang diamati (variabel penelitian) (Sulistyaningsih,

2011).

Alat atau instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah modifikasi dari

instrumen (kuesioner) yang digunakan pada penelitian sebelumnya (Yanti, 2013).

Dalam penelitian ini menggunakan instrumen berupa kuesioner yang dibuat oleh

peneliti, adapun uraian dari kuesioner adalah sebagai berikut:

1. Instrumen A digunakan mengetahui identitas nomor responden, nama

responden, kelas, jenis kelamin, umur.

2. Instrumen B digunakan untuk mengetahui tingkat pengetahuan terdiri dari 16

item pertanyaan dengan alternative jawaban, benar : 2, salah : 1 dan jawaban

tidak tahu : 0

3. Instrumen penelitian C digunakan untuk mengetahui sikap, terdiri dari 5

pertanyaan dengan alternative jawaban, tidak setuju : 1 dan setuju : 0.

4. Instrumen penelitian D digunakan untuk mengetahui penggunaan antibiotik,

Pada setiap jawaban yang diperoleh dari responden dijumlahkan sebagai

data sehingga diperoleh gambaran penggunaan antibiotika.

b. Teknik Pengumpulan Data

Pengambilan data dilakukan dengan membagikan kuesioner kepada responden

Mahasiswa Tingkat I Farmasi Universitas Muhammadiyah Kudus. Kuesioner yang

digunakan dalam penelitian ini terdiri atas 4 bagian yaitu:

 Data demografi berupa, nama responden (inisial), jenis kelamin, usia, kelas

dan alamat.
 Tingkatan pengetahuan responden yang meliputi pengetahuan umum

mengenai pengertian antibiotik, indikasi, aturan minum, batas penggunaan

obat, efek samping, dan golongan antibiotik.

 Sikap responden yang meliputi sikap responden dalam menyingkapi

antibiotik

 Penggunaan antibiotik meliputi pola penggunaan antibiotik pada

responden.

c. Penilaian tingkat pengetahuan, sikap dan penggunaan antibiotik

 Penilaian Tingkat pengetahuan

Pengukuran pengetahuan menurut Arikunto (2012), dapat dilakukan

dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang

ingin diukur dengan objek penelitian atau responden. Pada penilaian

pengetahuan terdapat 16 (enam belas ) soal pertanyaan. Dengan

menggunakan skala likert di mana jawaban yang benar diberi skor 2,

jawaban salah diberi skor 1 dan jawaban tidak tahu diberi skor 0 dengan

jumlah total skor 32. skala pengukuran untuk pengetahuan dapat

dikategorikan :

a) Kategori baik yaitu menjawab benar 76%-100% dari pertanyaan

dengan nilai skor 25-32.

b) Kategori cukup yaitu menjawab benar 56%-75% dari pertanyaan

dengan nilai skor 18-24.

c) Kategori kurang yaitu menjawab benar <56% dari pertanyaan

dengan nilai skor < 18.

 Penilaian Sikap

Pada penilaian sikap terdapat 5 (lima) soal pertanyaan. Setiap pertanyaan

tidak setuju diberi nilai 1 dan pertanyaan setuju diberi nilai 0. Skala

pengukuran untuk sikap dapat dikategorikan :

a) Baik, bila menjawab tidak setuju 5 pernyataan.


b) Cukup, bila menjawab tidak setuju 3 - 4 pernyataan.

c) Kurang, bila menjawab tidak setuju 1 - 2 pernyataan.

 Penilaian Penggunaan Antibiotik

Pada setiap jawaban yang diperoleh dari responden dijumlahkan sebagai

data sehingga diperoleh gambaran penggunaan antibiotika.

d. Validitas dan Reliabilitas Kuesioner

Sebelum kuesioner digunakan untuk pengambilan data yang sebenarnya di

dalam penelitian, terlebih dahulu diuji validitas dan reliabilitasnya. Uji ini dilakukan

pada minimal 20 orang yang tidak termasuk responden tetapi memiliki karakteristik

yang sama dengan responden di lokasi penelitian (Notoatmojo, 2012).

 Uji Validitas

Uji validitas digunakan untuk mengetahui kelayakan butir-butir dalam

suatu daftar pertanyaan dalam mendefinisikan suatu variabel. Daftar

pertanyaan ini pada umumnya mendukung suatu kelompok variabel

tertentu. Uji validitas sebaiknya dilakukan pada setiap butir pertanyaan di uji

validitasnya. Hasil r hitung kita bandingkan dengan r tabel, jika r tabel < r

hitung maka kuesioner valid (Sujarweni, 2015).

 Uji Realibilitas

Uji reliabilitas merupakan indeks yang menunjukkan sejauh mana alat

pengukur (kuesioner) dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Hal ini berarti

menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran itu tetap konsisten atau tetap

asas ajeg bila dilakukan pengkuran terhadap gejala yang sama, dengan

menggunakan alat ukur yang sama. Bila hasilnya (angka korelasinya) sama

atau lebih dari angka kritis pada derajat kemaknaan : p 0,05, maka alat ukur

kuisioner tersebut reliabel (Notoatmojo, 2012).

Peneliti menggunakan uji reliabilitas instrumen dengan menghitung

nilai cronbach’s Alpha. Jika nilai Cronbach’s Alpha lebih besar dan

mendekati 1 maka kuesioner dapat dinyatakan reliabel (Trihendari, 2011).


8. Teknik Pengolahan data dan analisa

a) Editing, yaitu data yang sudah terkumpul diperiksa kembali untuk memastikan

kelengkapan, kesesuaian, dan kejelasan.

b) Coding (pengkodean data), setelah dilakukan pengeditan kemudian dilakukan

pengkodean. Data yang diedit kemudian diubah dalam bentuk angka yaitu dengan

cara memberikan kode pada setiap variabel.

c) Processing, setelah semua kuisioner terisi penuh dan benar, serta sudah melewati

pengkodean, maka langkah selanjutnya adalah memproses data agar data yang

sudah dientri dapat dianalisis. Pemprosesan data dilakukan dengan cara

mengentry data dari kuisioner ke paket program komputer.

d) Cleaning data, setelah data dimasukkan kemudian diperiksa kembali untuk

memastikan apakah data bersih dari kesalahan dan siap dianalisis. Proses

pembersihan data dilakukan dengan pengecekan kembali data yang sudah

dientry ke program komputer (Hastono, 2006).

Pengolahan dan analisis statistik dari data yang diperoleh dilakukan secara

komputerisasi dengan menggunakan alat bantu program Statistical Product and

Servis Solution (SPSS). Analisis data dilakukan secara analisa univariat dan analisis

bivariat

a) Analisis Univariat

Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan

karakteristik setiap variabel penelitian (Notoadmodjo, 2012). Dimana analisis

univariat dengan statistik deskriptif digunakan untuk mendapatkan gambaran

distribusi frekuensi karakteristik responden, tingkat pengetahuan, tingkat

keyakinan dan penggunaan antibiotik.

b) Analisis Bivariat

Analisa bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan

atau berkorelasi (Notoatmojo, 2012). Dalam penelitian ini analisa bivariat

dilakukan dengan menggunakan uji Chi-square, dimana syarat uji tersebut telah
terpenuhi di dalam data penelitian. Derajat kepercayaan dalam penelitian ini yang

digunakan adalah 95% dengan α sebesar 5%. Sehingga bisa diasumsikan jika p

value ≤ 0,05 dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara variabel yang

diteliti. Sedangkan jika p value ≥ 0,05 berarti hasil perhitungan statistik tidak

bermakna atau tidak terdapat hubungan yang signifikan antara variabel yang

diteliti.

Anda mungkin juga menyukai