BAB I
PENDAHULAUN
A. Latar Belakang
Sistem pernafasan merupakan salah satu organ terpenting dari bagian tubuh manusia setelah
kardiovaskuler, sehingga bila terjadi gangguan sistem pernafasan akan mempengaruhi semua
organ yang lain yang akan mengganggu pada aktivitas manusia.
Seiring dengan kemajuan zaman, semakin banyaknya transportasi dan pola hidup yang kurang
baik dapat menjadi suatu masalah kesehatan jiwa, salah satunya yaitu gangguan sistem
pernafasan yang serius dan membahayakan jiwa, keadaan ini akan menimbulkan berbagai
penyakit primer yang mengenai sistem bronkopulmoner seperti hemoptisis masif, pneumotorak
ventil status asmatikus dan pneumotorak berat. Sedangkan gangguan fungsi paru yang
sekunder terhadap gangguan organ lain seperti keracunan obat yang menimbulkan depresi
pusat pernafasan. Di Amerika didapatkan 180.000 orang meninggal akibat gangguan fungsi
paru seperti trauma thorak, baik karena trauma thorak langsung maupun tidak langsung.
Trauma torak dapat mengakibatkan terjadinya robekan pada pleura dimana dengan adanya
robekan ini dapat menjadi celah masuknya udara ke dalam rongga tersebut sehingga menjadi
Pneumotoraks. Dari pneumotoraks ini dapat menjadi tension pneumotoraks jika tidak ditangani
dengan baik.
Tension Pneumotoraks merupakan medical emergency dimana akumulasi udara dalam rongga
pleura akan bertambah setiap kali bernapas. Peningkatan tekanan intratoraks mengakibatkan
bergesernya organ mediastinum secara masif ke arah berlawanan dari sisi paru yang mengalami
tekanan. (Alagaff, Hood, 2005)
Insidensi dari tension pneumotoraks di luar rumah sakit tidak mungkin dapat ditentukan. Revisi
oleh Department of Transportation (DOT) Emergency Medical Treatment (EMT) Paramedic
Curriculum menyarankan tindakan dekompresi jarum segera pada dada pasien yang
menunjukan tanda serta gejala yang non-spesifik. Sekitar 10-30% pasien yang dirujuk ke pusat
trauma tingkat 1 di Amerika Serikat menerima tindakan pra rumah sakit berupa dekompresi
jarum torakostomi, meskipun pada jumlah tersebut tidak semua pasien menderita kondisi
tension pneumotoraks.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari tension pneumothorak?
7. Apa saja pemeriksaan diagnostic yang dilakukan pada pasien tension pneumothorak?
C. Tujuan
TINJAUAN TEORI
A. Definisi
Tension pneumotoraks adalah bertambahnya udara dalam ruang pleura secara progresif,
biasanya karena laserasi paru-paru yang memungkinkan udara untuk masuk ke dalam rongga
pleura tetapi tidak dapat keluar atau tertahan didalam rongga pleura.
Tension Pneumotoraks merupakan medical emergency dimana akumulasi udara dalam rongga
pleura akan bertambah setiap kali bernapas. Peningkatan tekanan intratoraks mengakibatkan
bergesernya organ mediastinum secara masif ke arah berlawanan dari sisi paru yang mengalami
tekanan. (Alagaff, Hood, 2005)
Tension Pneumotoraks merupakan medical emergency dimana akumulasi udara dalam rongga
pleura akan bertambah setiap kali bernapas. Peningkatan tekanan intratoraks mengakibatkan
bergesernya organ mediastinum secara masif ke arah berlawanan dari sisi paru yang mengalami
tekanan (Manjoer, 2000).
B. Anatomi Fisiologi
Paru Kanan
Paru kanan sedikit lebih besar dari paru kiri,dan di bagi oleh fissure bliqua dan fissure
horisontalis menjadi tiga lobus. Lobus superior,lobus medius,dan lobus inferior. Fisura obliqua
berjalan dari pinggir inferior ke atas dan belakang menyilang permukaan medial dan costalis
sampai memotong pinggir posterior. Fissura horinzontal menyilang permukaan costalis dan
bertemu dengan fissure obliqua. Lobus medius merupakan lbus kecil berbentuk segitiga yang
di batasi oleh fissura horizontalis dan obliqua.
Paru kiri
Paru kiri di bagi oleh satu fissura (fissura obliqua) menjadi dua lobus. Lobus superior dan lobus
inferior.
1. Dinding Thorak
Dinding thorax terdiri atas kulit, fascia, saraf, otot, dan tulang. Kerangka dinding thorax
membentuk sangkar dada osteokartilaginous yang melindungi jantung, paru-paru, dan
beberapa organ rongga abdomen. Kerangka thorax terdiri dari vertebra thoracica dan discus
intervertebralis, costae dan cartilago costalis, serta sternum. Beberapa otot pernafasan yang
melekat pada dinding dada antara
lain:
2. Traktus Respiratorius
Traktus respiratorius dibedakan menjadi dua, yaitu traktus respiratorius bagian atas dan bagian
bawah. Traktus respiratorius bagian atas terdiri dari cavum nasi, nasofaring, hingga orofaring.
Sementara itu, traktus respiratorius bagian bawah terdiri atas laring, trachea, bronchus
(primarius, sekundus, dan tertius), bronchiolus, bronchiolus respiratorius, ductus alveolaris,
dan alveolus. Paru-paru kanan terdiri atas 3 lobus (superior, anterior, inferior), sementara paru-
paru kiri terdiri atas 2 lobus (superior dan inferior). Masing-masing paru diliputi oleh sebuah
kantung pleura yang terdiri dari dua selaput serosa yang disebut pleura, yaitu pleura parietalis
dan visceralis. Pleura visceralis meliputi paru-paru termasuk permukaannya dalam fisuran
sementara pleura parietalis melekat pada dinding thorax, mediastinum dan diafragma. Kavum
pleura merupakan ruang potensial antara kedua lapis pleura dan berisi sedikit cairan pleura
yang berfungsi melumasi permukaan pleura sehingga memungkinkan gesekan kedua lapisan
tersebut pada saat pernafasan.
Fisiologi
Bronchus,jaringan ikat paru,dan pleura viseralis menerima darah dari arteri bronchialis,yang
merupakan cabang dari aorta descendes. Vena bronchial mengalirkan darahnya ke vena.
Alveoli menerima darah teroksigenasi dari cabang-cabang terminal arteri pulmonalis. Darah
yang mengalami oksigenasi meninggalkan kapiler alveoli dan akhirnya bermuara ke dalam ke
dua vena pulmonalis. Dua vena pulmonalis meninggalkan radix pulmonalis masing-masing
paru untuk bermuara ke dalam atrium jantung.
2. Proses inspirasi jika tekanan paru lebih kecil dari tekanan atmosfer. Tekanan paru dapat lebih
kecil jika volumenya diperbesar. Membesarnya volume paru diakibatkan oleh pembesaran
rongga dada. Pembesaran rongga dada terjadi akibat 2 faktor, yaitu faktor thoracal dan
abdominal. Faktor thoracal (gerakan otot-otot pernafasan pada dinding dada) akan
memperbesar rongga dada ke arah transversal dan anterosuperior, sementara faktor abdominal
(kontraksi diafragma) akan memperbesar diameter vertikal rongga dada. Akibat membesarnya
rongga dada dan tekanan negatif pada kavum pleura, paru-paru menjadi terhisap sehingga
mengembang dan volumenya membesar, tekanan intrapulmoner pun menurun. Oleh karena itu,
udara yang kaya O2 akan bergerak dari lingkungan luar ke alveolus. Di alveolus, O2 akan
berdifusi masuk ke kapiler sementara CO2 akan berdifusi dari kapiler ke alveolus. Sebaliknya,
proses ekspirasi terjadi bila tekanan intrapulmonal lebih besar dari tekanan atmosfer. Kerja
otot-otot ekspirasi dan relaksasi diafragma akan mengakibatkan rongga dada kembali ke
ukuran semula sehingga tekanan pada kavum pleura menjadi lebih positif dan mendesak paru-
paru. Akibatnya, tekanan intrapulmoner akan meningkat sehingga udara yang kaya CO2 akan
keluar dari peru-paru ke atmosfer. (Martin.2000).
C. Etiologi
Etiologi Tension Pneumotoraks yang paling sering terjadi adalah karena iatrogenik atau
berhubungan dengan trauma yaitu, sebagai berikut:
Trauma benda tumpul atau tajam, meliputi gangguan salah satu pleura visceral atau parietal dan sering dengan
patah tulang rusuk (patah tulang rusuk tidak menjadi hal yang penting bagi terjadinya Tension Pneumotoraks)
Pemasangan kateter vena sentral (ke dalam pembuluh darah pusat), biasanya vena subclavia atau vena jugular
interna (salah arah kateter subklavia).
Ketidakberhasilan mengatasi pneumothoraks terbuka ke pneumothoraks sederhana di mana fungsi pembalut luka
sebagai 1-way katup.
D. Patofisiologi
Tension pneumotoraks terjadi ketika udara dalam rongga pleura memiliki tekanan yang lebih
tinggi daripada udara dalam paru sebelahnya.Udara memasuki rongga pleura dari tempat ruptur
pleura yang bekerja seperti katup satu arah. Udara dapat memasuki rongga pleura pada saat
inspirasi tetapi tidak bisa keluar lagi karena tempat ruptur tersebut akan menutup pada saat
ekspirasi.
Pada saat inspirasi akan terdapat lebih banyak udara lagi yang masuk dan tekanan udara mulai
melampaui tekanan barometrik.Peningkatan tekanan udara akan mendorong paru yang dalam
keadaan recoiling sehingga terjadi atelektasis kompresi.
Udara juga menekan mediastinum sehingga terjadi kompresi serta pergeseran jantung dan
pembuluh darah besar. Udara tidak bisa keluar dan tekanan yang semakin meningkat akibat
penumpukan udara ini menyebabkan kolaps paru.Ketika udara terus menumpuk dan tekanan
intrapleura terus meningkat, mediastinum akan tergeser dari sisi yang terkena dan aliran balik
vena menurun.Keadaan ini mendorong jantung, trakea, esofagus dan pembuluh darah besar
berpindah ke sisi yang sehat sehingga terjadi penekanan pada jantung serta paru ke sisi
kontralateral yang sehat (Sudoyo, 2009).
Dalam keadaan normal pleura parietal dan visceral seharusnya dapat dipertahankan tetap
berkontak karena ada gabungan antara tekanan intraprgleura yang negative dan tarikan kapiler
oleh sejumlah kecil cairan pleura. Ketika udara masuk ke ruang pleura factor-faktor ini akan
hilang dan paru di sisi cedera mulai kolaps, dan oksigenasi menjadi terganggu. Jika lebih
banyak udara yang memasuki ruang pleura pada saat inspirasi di bandingkan dengan yang
keluar pada saat ekspirasi akan tercipta efek bola katup dan tekanan pleura terus meningkat
sekalipun paru sudah kolaps total dan akhirnya tekanan ini menjadi demikian tinggi sehingga
mendiastinum terdorong ke sisi berlawanan dan paru sebelah juga terkompresi dan dapat
menyebabkan hipoksia yang berat dapat timbul dan ketika tekanan pleura meninggi dan kedua
paru tertekan, aliran darah yang melalui sirkulasi sentral akan menurun secara signifikan yang
mengakibatkan hipotensi arterial dan syok. (Kowalak, 2011).
Terputusnya kontuinitas
tulang dan jaringan
Trauma dada tertutup
Pathway
Sumber : Sole, Mary L.2012, Suyono, 2001
E. Manifestasi Klinis
1. Manifestasi awal : nyeri dada, dispnea, ansietas, takipnea, takikardi, hipersonor dinding dada
dan tidak ada suara napas pada sisi yang sakit.
2. Manifestasi lanjut : tingkat kesadaran menurun, trachea bergeser menuju ke sisi kontralateral,
hipotensi, pembesaran pembuluh darah leher/ vena jugularis (tidak ada jika pasien sangat
hipotensi) dan sianosis (Boshwick, 1997).
4. Terdapat kolaps dengan pulsus kecil dan hipotensi berat sebagai akibat gangguan pada jantung
dan terhalangnya aliran balik vena ke jantung.
6. Perkusi biasanya timpani, mungkin pula redup karena pengurangan getaran pada dinding
toraks .
7. Apabila pneumotoraks meluas, atau apabila yang terjadi adalah tension pneumothoraks dan
udara menumpuk di ruang pleura, jantung dan pembuluh darah besar dapat bergeser ke paru
yang sehat sehingga dada tampak asimetris(Corwin, 2009).
F. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosa tension pneumothorax merupakan diagnosa dari klinis, bukan dariradiologi. Tanda-
tanda klasik dari tension pneumotoraks adalah adanya distress nafas, takikardi, hiporensi,
adanya deviasi trakea, hilangnya suara nafas unilateral, distensi vena leher, dan bisa menjadi
sianosis pada manifestasi lanjutnya. Gelaja klinis dari tension pneumothorax ini mungkin mirip
dengan gejala klinis dari cardiac tamponade, tetapi angka kejadian tension pneumotorax ini
lebih besar dari cardiac tamponade. Selain itu untuk membedakannya juga bisa dilakukan
dengan mengetahui bahwa dari perkusi didapatkan adanya hiperresonansi pada bagian dada
ipsilateral.
1. Inspeksi :
a. Dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit (hiper ekspansi dinding dada)
2. Palpasi :
a. Pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat normal atau melebar
3. Perkusi :
b. Batas jantung terdorong ke arah toraks yang sehat, apabila tekanan intrapleura tinggi
4. Auskultasi :
1. Foto Röntgen
Gambaran radiologis yang tampak pada foto röntgen kasus pneumotoraks antara lain:
a. Bagian pneumotoraks akan tampak lusen, rata dan paru yang kolaps akan tampak garis yang
merupakan tepi paru. Kadang-kadang paru yang kolaps tidak membentuk garis, akan tetapi
berbentuk lobuler sesuai dengan lobus paru.
b. Paru yang mengalami kolaps hanya tampak seperti massa radio opaque yang berada di daerah
hilus. Keadaan ini menunjukkan kolaps paru yang luas sekali. Besar kolaps paru tidak selalu
berkaitan dengan berat ringan sesak napas yang dikeluhkan.
c. Jantung dan trakea mungkin terdorong ke sisi yang sehat, spatium intercostals melebar,
diafragma mendatar dan tertekan ke bawah. Apabila ada pendorongan jantung atau trakea ke
arah paru yang sehat, kemungkinan besar telah terjadi pneumotoraks ventil dengan tekanan
intra pleura yang tinggi.
Foto Rö pneumotoraks (PA), bagian yang ditunjukkan dengan anak panah merupakan bagian
paru yang kolaps
3. CT-scan thorax
CT-scan thoraks lebih spesifik untuk membedakan antara emfisema bullosa dengan
pneumotoraks, batas antara udara dengan cairan intra dan ekstrapulmoner dan untuk
membedakan antara pneumotoraks spontan primer dan sekunder.
4. USG
Pneumotoraks dapat juga didiagnosis oleh USG. Udara di rongga pleura ditampilkan pantulan
gelombang yang sangat tajam. Tidak seperti udara intrapulmoner, pantulan gelombang
tidak bergerak saat respirasi. Bagaimanapun juga, luas pneumotoraks ditentukan dengan
radiologis dada9.
Menggunakan Linear array transducer (Small parts/high frequency probe) dengan pasien
dalam posisi supinasi, scan dipermukaan anterior dinding dada menarik garis sagital
(longitudinal). Scan mulai dari anterior axillary line ke para sternal line
Dengan derajat tension pneumotoraks, tidak sulit untuk menilai bagaimana fungsi
kardiovaskuler dapat terganggu akibat tension, karena terdapat
adanya obstruksipada vena yang kembali ke jantung. Masif tension pneumotoraks memang
seharusnya sudah dapat dideteksi secara klinis dan, dalam menghadapi kolapshemodinamik,
telah tatalaksana dengan cara emergency thoracostomy - needleatau sebaliknya.
Adanya (chest tube) bukan berarti pasien tidak bisa berkembang menjadi
tensionpneumotoraks. Pasien di bawah ini memiliki ketegangan sisi kanan
meskipunadanya sebuah chest tube. Sangat mudah untuk menilai bagaimana hal ini dapat
terjadi pada gambar CT yang menunjukkan chest tube dalam fisura oblique. Chest tube disini
akan ditempatkan bagian belakang dada, sehingga akan di pertahankan tetap disana
ketika paru-paru didepannya menekan ke arah atas-belakang. Chest tube pada pasien trauma
terlentang harus ditempatkan secara posterior untuk menghindari komplikasi ini. Komplikasi
lain dari tension pneumothorax lainnya seperti haemothoraks masih akan di-drainase
asalkan paru-paru telah mengembang sepenuhnya.
CT scan juga menunjukkan mengapa tension pneumotoraks tidak terlihat pada X-ray dada
polos paru yang dikompresi belakang tetapi meluas keluar ke tepi dinding dada, sehingga
tanda-tanda paru-paru terlihat di seluruh bidang paru-paru. Namun ada pergeseran garis tengah
dibandingkan dengan film sebelumnya.
Tension pneumotoraks juga dapat bertahan jika ada cedera pada jalan napas besar,
mengakibatkan fistula bronkhopleura. Dalam hal ini sebuah tabung dada tidak dapat mengatasi
kebocoran udara utama. Dalam kasus ini thorakotomi biasanya ditunjukkan untuk
memperbaiki saluran udara dan paru-paru yang rusak.
G. Penatalaksanaan
1. Airway
Assessment:
Management:
a. Inspeksi orofaring secara cepat dan menyeleruh, lakukan chin-lift dan jaw thrust, hilangkan
benda yang menghalangi jalan napas.
2. Breathing
Assessment:
c. Palpasi thorak.
3. Circulation:
Assessment:
Management:
Penatalaksanaan lain:
1. Needle Thoracostomy
Prinsip terapi dari tension pneumothrax ini adalah menjaga jalan nafas agar tetap terbuka,
menjaga kualitas ventilasi, oksigenasi, menghilangkan penyebab traumanya dan
menghilangkan udara di ruang pleura, dan mengontrol ventilasi.
Keberhasilan dari terapi yang kita lakukan bisa dinilai dari hilangnya udara bebas pada ruang
interpleural dan pencegahan pada kekambuhan atau recurensi.
Pada kasus tension pneumotoraks, tidak ada pengobatan non-invasif yang dapat dilakukan
untuk menangani kondisi yang mengancam nyawa ini. Pneumotoraks adalah kondisi yang
mengancam jiwa yang membutuhkan penanganan segera. Jika diagnosis tension pneumotoraks
sudah dicurigai, jangan menunda penanganan meskipun diagnosis belum ditegakkan.
Pada kasus tension pneumotoraks, langsung hubungkan pernafasan pasien dengan 100%
oksigen. Lakukan dekompresi jarum tanpa ragu. Hal-hal tersebut seharusnya sudah dilakukan
sebelum pasien mencapai rumah sakit untuk pengobatan lebih lanjut. Setelah melakukan
dekompresi jarum, mulailah persiapan untuk melakukan torakostomi tube. Kemudian lakukan
penilaian ulang pada pasien, perhatikan ABCs (Airway, breathing, cirvulation) pasien.
Lakukan penilaian ulang foto toraks untuk menilai ekspansi paru, posisi dari torakostomi dan
untuk memperbaiki adanya deviasi mediastinum. Selanjutnya, pemeriksaan analisis gas darah
dapat dilakukan.
Dekompresi sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada kasus pneumothoraks yang luasnya
>15%. Pada intinya, tindakan ini bertujuan untuk mengurangi tekanan intra pleura dengan
membuat hubungan antara rongga pleura dengan udara luar dengan cara :
a. Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk rongga pleura, dengan demikian tekanan
udara yang positif di rongga pleura akan berubah menjadi negatif karena mengalir ke luar
melalui jarum tersebut.
Jarum ditusukkan ke dinding dada sampai ke dalam rongga pleura, kemudian infus set yang
telah dipotong pada pangkal saringan tetesan dimasukkan ke botol yang berisi air. Setelah klem
penyumbat dibuka, akan tampak gelembung udara yang keluar dari ujung infus set yang berada
di dalam botol.
2) Jarum abbocath
Jarum abbocath merupakan alat yang terdiri dari gabungan jarum dan kanula. Setelah jarum
ditusukkan pada posisi yang tetap di dinding toraks sampai menembus ke rongga pleura, jarum
dicabut dan kanula tetap ditinggal. Kanula ini kemudian dihubungkan dengan pipa plastik infus
set. Pipa infuse ini selanjutnya dimasukkan ke botol yang berisi air. Setelah klem penyumbat
dibuka, akan tampak gelembung udara yang keluar dari ujung infuse set yang berada di dalam
botol.
Water Seal Drainage (WSD) adalah Suatu sistem drainage yang menggunakan water seal untuk
mengalirkan udara atau cairan dari cavum pleura (rongga pleura)
Tujuan:
• Mengalirkan / drainage udara atau cairan dari rongga pleura untuk mempertahankan tekanan
negatif rongga tersebut
• Dalam keadaan normal rongga pleura memiliki tekanan negatif dan hanya terisi sedikit cairan
pleura / lubrican.
Tindakan bedah:
a. Dengan pembukaan dinding toraks melalui operasi, kemudian dicari lubang yang
menyebabkan pneumothoraks kemudian dijahit
b. Pada pembedahan, apabila ditemukan penebalan pleura yang menyebabkan paru tidak
bisa mengembang, maka dapat dilakukan dekortikasi.
c. Dilakukan reseksi bila terdapat bagian paru yang mengalami robekan atau terdapat fistel dari
paru yang rusak
d. Pleurodesis. Masing-masing lapisan pleura yang tebal dibuang, kemudian kedua pleura
dilekatkan satu sama lain.
H. Komplikasi
3. Henti jantung-paru
5. Kematian timbul cairan intra pleura, misalnya Pneumothoraks disertai efusi pleura : eksudat,
pus. Pneumothoraks disertai darah : hemathotoraks.
I. Prognosis
Hampir 50% mengalami kekambuhan setelah pemasangan tube torakostomi tapi kekambuhan
jarang terjadi pada pasien-pasien yang dilakukan torakotomi terbuka.
Pada klien dengan tension pneumotoraks yang ditangani dengan cukup baik, umumnya tidak
dijumpai komplikasi. Akan tetapi pada klien yang dengan penyakit mendasar seperti PPOK
harus lebih berhati-hati karena berbahaya dan mengancam nyawa. (Suyono, Slamet. 2001)
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Manifestasi awal : nyeri dada, dispnea, ansietas, takipnea, takikardi, hipersonor dinding dada
dan tidak ada suara napas pada sisi yang sakit.
2. Manifestasi lanjut : tingkat kesadaran menurun, trachea bergeser menuju ke sisi kontralateral,
hipotensi, pembesaran pembuluh darah leher/ vena jugularis (tidak ada jika pasien sangat
hipotensi) dan sianosis.
4. Terdapat kolaps dengan pulsus kecil dan hipotensi berat sebagai akibat gangguan pada
jantung dan terhalangnya aliran balik vena ke jantung.
6. Perkusi timpani
B. Diagnosis
C. Rencana Keperawatan
Aru W.Sudoyo,dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Ed V. Jakarta:
Interna Publishing.
Manson, J. Robert. 2010. Murray & Nadel’s Textbook of Respiratory Medicine, 5/e.
Saunders. Philadelphia.
Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dangan Gangguan System
Sudoyo, Aru W. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II Ed. IV. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia