Anda di halaman 1dari 30

TUGAS

“MENGIDENTIFIKASI LATAR BELAKANG PENELITIAN, PERNYATAAN


GAP, MASALAH PENELITIAN, PERTANYAAN DAN TUJUAN PENELITIAN
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas topik ke-2 mata kuliah Metodologi Penelitian
Dosen Pembimbing : Hema Malini, S.Kp, MN, PhD

DISUSUN OLEH

Miftahul Rahmi 2211316024

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
Latihan:

Identifikasi mana yang merupakan masalah atau tren isu yang diangkat sebagai latarbelakang
penelitian, pernyataan gap dan masalah penelitian, kemudian Buatlah pertanyaan penelitian dan
tujuan penelitian

Latihan 1

I. Hipertensi menyebabkan sekitar 7,5 juta kematian atau menyebabkan sekitar 12,8 juta
kematian secara total. Hal ini menyebabkan masalah kesehatan global yang dapat
menyebabkan kematian dini di seluruh dunia. WHO memperkirakan 26,4% atau 973 juta
orang menderita tekanan darah tinggi. 973 juta orang menderita tekanan darah tinggi, 333
juta tinggal di negara maju, dan 640 sisanya tinggal di negara berkembang, termasuk
lndonesia (WHO, 201).
II. Berdasarkan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2018) kasus penyakit hipertensi
adalah salah satu penyakit tertinggi di Indonesia yang mencapai 34,1% kemudian terjadi
peningkatan sebesar 8,3% dari tahun 2013 hingga tahun 2018 dan sebagian besar kasus
hipertensi masih banyak belum terdeteksi di masyarakat. Pada tahun 2018 Provinsi yang
tertinggi mengalami gangguan hipertensi ini yaitu Kalimantan Selatan dengan angka
44,1% yang berada di posisi pertama, kemudian diikuti Sulawesi Barat dengan persentase
34,1%, dan pada Provinsi Sumatera Barat berada urutan ke 22 dengan prevalensi
hipertensi yang mencapai angka 22,97%.
III. Prevalensi hipertensi di Provinsi Sumatera Barat mencapai 22,97%. Data dari Dinas
Kesehatan Provinsi Sumatera Barat tahun 2020 hipertensi merupakan salah satu penyakit
terbanyak yang di derita oleh masyarakat dengan jumlah penderita 156.870 orang.
Terjadinya peningkatan angka kejadian hipertensi tertinggi di Puskesmas Air Tawar pada
tahun 2019 terdapat 1586 penderita hipertensi dan pada tahun 2020 angka kejadian
hipertensi di Puskesmas Air Tawar menjadi yang tertinggi dengan total penderita
sebanyak 2209 dengan urutan pertama, kemudian pada urutan kedua pada Puskesmas
Lubuk Kilangan sebanyak 1621, dan urutan yang ketiga pada Puskesmas Andalas
sebanyak 1483 (Dinas Kesehatan Kota Padang, 2020).
IV. Menurut Gunawan (2001) dalam prasetyorini dan prawesti (2012) salah satu penyebab
peningkatan tekanan darah pada pasien hipertensi adalah stress. Stress merupakan suatu
tekanan fisik maupun psikis yang tidak menyenangkan, stress dapat merangsang kelenjar
anak ginjal melepaskan hormon adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat dan
kuat sehingga tekanan darah akan meningkat, serta dapat menyebabkan penyakit jantung,
strok, hingga kematian. Dalam studi yang di lakukan (Delavera et al. 2021) menunjukan
hasil bahwa responden yang mengalami stress mempunyai peluang untuk hipertensi
1,103 kali dibanding responden yang tidak memiliki stress, hal ini sejalan dengan
penlitian (Lu et al. 2019) yang menyatakan individu dengan stress tinggi 61% lebih
mungkin mengalami peningkatan tekanan darah.
V. Stress dapat diatasi dengan terapi farmakologis dan terapi non farmakologis. Terapi
farmakologis penanganan stress berupa obat anti depresan dan anti cemas golongan
benzodiazepam seperti alprazolam, yang dalam penerapannya menyebabkan
ketergantungan yang cukup besar. Terapi non farmakologis merupakan upaya untuk
mengatasi stress dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain dengan cara
berolahraga, relaksasi mental (rekreasi), bercerita pada orang lain, memperdalam ibadah
dan agama dan satu diantaranya adalah dengan latihan releksasi terapi relaksasi nafas
dalam pada terapi ini membantu individu untuk melakukan relaksasi pernafasan, dengan
fokus menyeluruh pada tubuh yang bertujuan untuk mengembangkan konsentrasi
sekaligus fleksibilitas perhatian secara bersamaan (Candra, 2012).
VI. Terapi relaksasi nafas dalam dapat menurunkan tekanan darah dan tanpa adanya efek
samping atau kontra indikasi seperti pada terapi dengan menggunakan obat
penatalaksanaan non-farmakologis terapi relaksasi nafas dalam untuk menurunkan stress
dan tekanan darah penderita hipertensi karena terapi relaksasi nafas bisa dilakukan secara
mandiri, lebih gampang dilakukan dari pada terapi non-farmakologi lainnya, tidak
membutuhkan waktu lama untuk terapi dan mampu mengurangi dampak buruk dari terapi
farmakologis bagi penderita hipertensi (Anggraini 2020).
VII. Terapi non farmakologis terapi relaksasi nafas dalam merupakan cara yang dapat
dilakukan untuk manajemen stress sekaligus dapat penurunan tekanan darah. Terapi
relaksasi nafas dalam merupakan suatu teknik nafas lambat (menahan inspirasi secara
maksimal) dan bagaimana menghembuskan nafas secara perlahan. Teknik terapi relaksasi
nafas dalam merupakan salah satu terapi relaksasi yang mampu membuat tubuh menjadi
lebih tenang dan harmonis, serta mampu memberdayakan tubuhnya untuk mengatasi
gangguan yang menyerangnya (Gabb et al. 2016).
VIII. Terapi relaksasi nafas dalam dapat mempertahankan aktivitas saraf parasimpatis dan
mengurangi aktivitas saraf simpatis (Komori, 2018). Menurut Triyanto (2014) relaksasi
pernafasan memberi respon melawan Massdiscarge (pelepasan implus secara masal)
pada respon stress dari sistem saraf simpatis kondisi ini dapat menurunkan tahanan
perifer (Triyanto 2014). Sebagaimana menurut Hartono (2016) yang menyatakan dengan
adanya terapi relaksasi nafas dalam dapat mengurangi stress terjadi melalui kerja
transmiter yang ada di otak dengan cara menghambat dan memutus rangsangan penyebab
stress, relaksasi juga dapat merangsang munculnya zat kimia yang mirip dengan beta
blocker di saraf tepi yang dapat menutup simpul-simpul saraf (simpatis) hal ini berguna
untuk mengurangi ketegangan dan menurunkan tekanan darah (Hartono 2016).
IX. Pengamatan dan studi pendahuluan dilapangan didapatkan masih ada pasien hipertensi
yang belum bisa mengontrol stress dengan baik, dengan tingkat stress sedang , hasil yang
didapatkan empat dari Iima orang menderita hipertensi tidak tahu cara menggunakan
terapi relaksasi nafas .
X. Berdasarkan data yang didapatkan diatas, maka peneliti tertarik untuk melihat Pengaruh
terapi terapi relaksasi nafas dalam terhadap stress dan tekanan darah penderita hipertensi
di Puskesmas?

Jawaban :

1. Masalah atau trend isu yang diangkat sebagai latarbelakang penelitian adalah

Paragraf I
Hipertensi menyebabkan sekitar 7,5 juta kematian atau menyebabkan sekitar 12,8 juta
kematian secara total. Hal ini menyebabkan masalah kesehatan global yang dapat
menyebabkan kematian dini di seluruh dunia. WHO memperkirakan 26,4% atau 973 juta
orang menderita tekanan darah tinggi. 973 juta orang menderita tekanan darah tinggi, 333
juta tinggal di negara maju, dan 640 sisanya tinggal di negara berkembang, termasuk
lndonesia (WHO, 201).

2. Data penunjang

Paragraf II dan III merupakan sumber data penunjang (Riskesdas dan Dinas Kesehatan)
Berdasarkan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2018) kasus penyakit hipertensi
adalah salah satu penyakit tertinggi di Indonesia yang mencapai 34,1% kemudian terjadi
peningkatan sebesar 8,3% dari tahun 2013 hingga tahun 2018 dan sebagian besar kasus
hipertensi masih banyak belum terdeteksi di masyarakat. Pada tahun 2018 Provinsi yang
tertinggi mengalami gangguan hipertensi ini yaitu Kalimantan Selatan dengan angka
44,1% yang berada di posisi pertama, kemudian diikuti Sulawesi Barat dengan persentase
34,1%, dan pada Provinsi Sumatera Barat berada urutan ke 22 dengan prevalensi
hipertensi yang mencapai angka 22,97%.

Prevalensi hipertensi di Provinsi Sumatera Barat mencapai 22,97%. Data dari Dinas
Kesehatan Provinsi Sumatera Barat tahun 2020 hipertensi merupakan salah satu penyakit
terbanyak yang di derita oleh masyarakat dengan jumlah penderita 156.870 orang.
Terjadinya peningkatan angka kejadian hipertensi tertinggi di Puskesmas Air Tawar pada
tahun 2019 terdapat 1586 penderita hipertensi dan pada tahun 2020 angka kejadian
hipertensi di Puskesmas Air Tawar menjadi yang tertinggi dengan total penderita
sebanyak 2209 dengan urutan pertama, kemudian pada urutan kedua pada Puskesmas
Lubuk Kilangan sebanyak 1621, dan urutan yang ketiga pada Puskesmas Andalas
sebanyak 1483 (Dinas Kesehatan Kota Padang, 2020).

Paragraf IV dan VIII merupakan data penunjang menurut jurnal


Menurut Gunawan (2001) dalam prasetyorini dan prawesti (2012) salah satu penyebab
peningkatan tekanan darah pada pasien hipertensi adalah stress. Stress merupakan suatu
tekanan fisik maupun psikis yang tidak menyenangkan, stress dapat merangsang kelenjar
anak ginjal melepaskan hormon adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat dan
kuat sehingga tekanan darah akan meningkat, serta dapat menyebabkan penyakit jantung,
strok, hingga kematian. Dalam studi yang di lakukan (Delavera et al. 2021) menunjukan
hasil bahwa responden yang mengalami stress mempunyai peluang untuk hipertensi
1,103 kali dibanding responden yang tidak memiliki stress, hal ini sejalan dengan
penlitian (Lu et al. 2019) yang menyatakan individu dengan stress tinggi 61% lebih
mungkin mengalami peningkatan tekanan darah.

Terapi relaksasi nafas dalam dapat mempertahankan aktivitas saraf parasimpatis dan
mengurangi aktivitas saraf simpatis (Komori, 2018). Menurut Triyanto (2014) relaksasi
pernafasan memberi respon melawan Massdiscarge (pelepasan implus secara masal)
pada respon stress dari sistem saraf simpatis kondisi ini dapat menurunkan tahanan
perifer (Triyanto 2014). Sebagaimana menurut Hartono (2016) yang menyatakan dengan
adanya terapi relaksasi nafas dalam dapat mengurangi stress terjadi melalui kerja
transmiter yang ada di otak dengan cara menghambat dan memutus rangsangan penyebab
stress, relaksasi juga dapat merangsang munculnya zat kimia yang mirip dengan beta
blocker di saraf tepi yang dapat menutup simpul-simpul saraf (simpatis) hal ini berguna
untuk mengurangi ketegangan dan menurunkan tekanan darah (Hartono 2016).

Paragraf V,VI dan VII merupakan data penunjang menurut buku


Stress dapat diatasi dengan terapi farmakologis dan terapi non farmakologis. Terapi
farmakologis penanganan stress berupa obat anti depresan dan anti cemas golongan
benzodiazepam seperti alprazolam, yang dalam penerapannya menyebabkan
ketergantungan yang cukup besar. Terapi non farmakologis merupakan upaya untuk
mengatasi stress dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain dengan cara
berolahraga, relaksasi mental (rekreasi), bercerita pada orang lain, memperdalam ibadah
dan agama dan satu diantaranya adalah dengan latihan releksasi terapi relaksasi nafas
dalam pada terapi ini membantu individu untuk melakukan relaksasi pernafasan, dengan
fokus menyeluruh pada tubuh yang bertujuan untuk mengembangkan konsentrasi
sekaligus fleksibilitas perhatian secara bersamaan (Candra, 2012).

Terapi relaksasi nafas dalam dapat menurunkan tekanan darah dan tanpa adanya efek
samping atau kontra indikasi seperti pada terapi dengan menggunakan obat
penatalaksanaan non-farmakologis terapi relaksasi nafas dalam untuk menurunkan stress
dan tekanan darah penderita hipertensi karena terapi relaksasi nafas bisa dilakukan secara
mandiri, lebih gampang dilakukan dari pada terapi non-farmakologi lainnya, tidak
membutuhkan waktu lama untuk terapi dan mampu mengurangi dampak buruk dari terapi
farmakologis bagi penderita hipertensi (Anggraini 2020).

Terapi non farmakologis terapi relaksasi nafas dalam merupakan cara yang dapat
dilakukan untuk manajemen stress sekaligus dapat penurunan tekanan darah. Terapi
relaksasi nafas dalam merupakan suatu teknik nafas lambat (menahan inspirasi secara
maksimal) dan bagaimana menghembuskan nafas secara perlahan. Teknik terapi relaksasi
nafas dalam merupakan salah satu terapi relaksasi yang mampu membuat tubuh menjadi
lebih tenang dan harmonis, serta mampu memberdayakan tubuhnya untuk mengatasi
gangguan yang menyerangnya (Gabb et al. 2016).

3. Pernyataan

Paragraf IX
Pengamatan dan studi pendahuluan dilapangan didapatkan masih ada pasien hipertensi
yang belum bisa mengontrol stress dengan baik, dengan tingkat stress sedang , hasil yang
didapatkan empat dari Iima orang menderita hipertensi tidak tahu cara menggunakan
terapi relaksasi nafas .

4. Masalah penelitian

Paragraf X
Pengaruh terapi relaksasi nafas dalam terhadap stress dan tekanan darah pada penderita
hipertensi
5. Pertanyaan penelitian
Apakah ada pengaruh terapi relaksasi nafas dalam terhadap stress dan tekanan darah pada
penderita hipertensi ?

6. Tujuan penelitian
Menginvestigasi pengaruh terapi relaksasi nafas dalam terhadap stress dan tekanan darah
pada penderita hipertensi

Latihan 2:

I. Dalam sepuluh tahun terakhir, terjadi peningkatan kasus diabetes melitus, disinyalir 1
dalam 10 orang didunia menderita diabetes mellitus. Data International Diabetes
Federation (IDF) menunjukkan tahun 2021 menunjukkan bahwa Indonesia menempati
urutan ke-5 negara penderita diabetes terbanyak di dunia dengan 19,47 juta orang dewasa
(20 – 79 tahun) hidup dengan diabetes. Menurut hasil riset Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan (Litbangkes) tahun 2019, Provinsi Sumatera Barat berada pada
urutan ke-23 penderita diabetes di Indonesia dengan prevalensi 1,6% (Infodatin, 2020).
II. Diabetes menjadi masalah kesehatan yang serius dan apabila tidak segera ditangani
dengan baik dapat menyebabkan tidak terkendalinya kadar gula darah dan berisiko
timbulnya berbagai komplikasi hingga dapat berakhir dengan kecacatan dan kematian
(WHO, 2020). Kondisi ini dapat dicegah dengan penatalaksanaan diabetes yang dikenal
dengan empat pilar yaitu edukasi, terapi nutrisi medis (diet), aktivitas fisik, dan
pemberian farmakologi. Diet pada penderita diabetes menjadi dasar utama dari
penatalaksanaan diabetes bersamaan dengan melakukan aktivitas fisik. Penatalaksanaan
diet diabetes dilakukan dengan mengatur dan menerapkan prinsip 3J yaitu jadwal,
jumlah, dan jenis konsumsi makanan (Perkeni, 2020).
III. Keberhasilan tujuan pengendalian diabetes dengan penatalaksanaan diet ditentukan oleh
kepatuhan penderita dalam menjalaninya (Soegondo, 2018). Berdasarkan hasil studi
menunjukkan bahwa kepatuhan diet memiliki pengaruh sebesar 14,4% - 41,2% terhadap
perubahan kadar gula darah, dimana penderita diabetes yang patuh diet (63%) memiliki
kadar gula darah yang lebih baik dibandingkan penderita diabetes yang tidak patuh diet
(37%) (Salma et al., 2019; Aulia et al., 2021). Hasil studi lain juga menunjukkan bahwa
penderita diabetes yang tidak patuh diet berisiko sebesar 10,5 kali - 44,7 kali terhadap
kadar gula darah yang tidak terkendali. (Syarifah & Bachron, 2019; Nursihhah & Wijaya,
2021).
IV. Diet pada penderita diabetes menjadi kepatuhan jangka panjang dan salah satu aspek
yang menimbulkan tantangan dalam penatalaksanaan diabetes (Smeltzer & Bare, 2004
dalam Adnyani et al., 2015). Hasil studi oleh Nursihhah & Wijaya, (2021) di Kota Bekasi
menunjukkan bahwa sebagian besar penderita diabetes (69,2%) tidak patuh dalam
menjalani diet. Hasil penelitian oleh Mirda, (2019) di Puskesmas Andalas menunjukkan
bahwa ketidakpatuhan diet (41,8%) disebabkan karena penderita diabetes merasa tidak
bisa menahan lapar sehingga merasa sulit dalam mengatur jumlah konsumsi makanan,
tidak menggunakan gula khusus diabetes dalam makanan/ minuman yang dikonsumsi,
serta kesibukan menyebabkan penderita diabetes tidak dapat mengikuti jadwal makan
yang telah dianjurkan.
V. Kepatuhan penderita diabetes dalam menjalani diet dipengaruhi oleh beberapa faktor
yaitu pengetahuan, dukungan sosial keluarga, dukungan tenaga kesehatan, dan keyakinan
yang terdiri dari efikasi diri dan lokus kontrol kesehatan (Niven, 2012; Federick et al.,
2002). Lokus kontrol kesehatan menjadi faktor psikologis yang dapat mempengaruhi
perilaku dalam mengambil tindakan untuk kesehatan, sehingga juga dapat mempengaruhi
kepatuhan individu (Theofilou & Saborit, 2012). Lokus kontrol kesehatan adalah
keyakinan bahwa status kesehatan individu karena adanya kontrol dari dirinya sendiri
maupun adanya nasib/takdir serta kontrol dari dokter. Berdasarkan hasil studi terdahulu
menunjukkan bahwa lokus kontrol kesehatan memiliki pengaruh 17,5% - 25% terhadap
kepatuhan diet pada penderita diabetes (Aflakseir & ZarrinPour, 2013; Farah & Durrani,
2016).
VI. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa ketiga dimensi lokus
kontrol kesehatan memiliki hubungan bermakna terhadap kepatuhan diet diabetes (p <
0,05) (Adnyani et al., 2015; Farah & Durrani, 2016, Kusnanto et al., 2019; Adhanty et al.,
2021). Hasil yang berbeda ditemukan pada penelitian Aflakseir & ZarrinPour, (2013)
dimana hanya dua dari tiga dimensi lokus kontrol kesehatan yang berhubungan bermakna
dengan kepatuhan diet diabetes yaitu dimensi kesempatan dan dimensi orang lain (p
<0,05), sedangkan dimensi internal tidak bermakna dengan kepatuhan diet diabetes (p >
0,05). Perbedaan hasil penelitian tersebut disebabkan karena adanya perbedaan demografi
yang dapat mempengaruhi perilaku pada penderita diabetes (Aflakseir & ZarrinPour,
2013).
VII. Menurut Theofilou & Saborit, (2012) individu dengan lokus kontrol kesehatan yang
tinggi dapat memiliki kepatuhan yang baik karena individu cenderung berusaha untuk
meningkatkan status kesehatannya, namun individu dengan lokus kontrol kesehatan yang
tinggi juga ditemukan memiliki kepatuhan yang rendah karena individu memiliki
kebebasan dalam menentukan status kesehatannya (Niven, 2012). Kondisi ini dapat
dilihat dari beberapa penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan hasil hubungan lokus kontrol kesehatan dengan kepatuhan diet pada penderita
diabetes.
VIII. Berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai
dimensi internal, dan dimensi orang lain, semakin patuh penderita diabetes dalam
menjalani diet, dimana penderita diabetes meyakini bahwa dengan patuh diet dan
mengikuti anjuran dari fasilitas kesehatan terhadap penatalaksanaan diet dapat
meningkatkan status kesehatannya (Aflakseir & ZarrinPour, 2013; Farah & Durrani,
2016; Adhanty et al., 2021). Namun, hasil yang berbeda ditemukan pada penelitian
Adnyani et al., (2015) bahwa penderita diabetes dengan dimensi orang lain cenderung
tidak patuh dalam menjalani diet, dimana penderita diabetes selalu bergantung dengan
tenaga kesehatan namun malas mengikuti anjuran yang diberikan untuk mencapai status
kesehatannya.
IX. Pada dimensi kesempatan dari penelitian terdahulu menunjukkan bahwa semakin tinggi
nilai dimensi kesempatan, maka semakin tidak patuh penderita dalam menjalani diet
diabetes, dimana penderita diabetes meyakini bahwa kondisi dirinya tidak akan berubah
walaupun sudah mengikuti anjuran diet apabila sudah takdirnya memiliki kesehatan yang
dialaminya (Aflakseir & ZarrinPour, 2013; Farah & Durrani, 2016; Adhanty et al., 2021).
Hasil yang berbeda ditemukan pada penelitian oleh Kusnanto et al., (2019) yang
menunjukkan bahwa penderita diabetes dengan dimensi lokus kontrol kesehatan
kesempatan yang tinggi bersifat lebih patuh dalam menjalani diet, dimana penderita
diabetes dapat menjalani diet dengan baik karena meyakini takdir, nasib, keberuntungan
mempunyai pengaruh besar dalam kesehatannya.
X. Studi pendahuluan yang dilakukan peneliti, data Dinas Kesehatan Kota Padang (DKKP),
tahun 2020 menyebutkan bahwa tiga puskesmas dengan penderita diabetes terbanyak
yang tersebar berdasarkan demografi wilayah Kota Padang yang dibagi atas tiga bagian
adalah Puskesmas Andalas sebanyak 1.017 orang, Puskesmas Nanggalo sebanyak 433
orang, Puskesmas Lubuk Kilangan sebanyak 457 orang di Padang bagian selatan. Hasil
wawancara pada 5 dari 10 pasien diabetes tipe 2 yang diwawancara belum patuh dalam
menjalani diet, dimana penderita diabetes tidak bisa menahan lapar dan mayoritas
penderita diabetes yang masih sering mengkonsumsi makanan/minuman yang manis
belum menggunakan gula khusus diabetes. Hasil wawancara juga menyebutkan bahwa
masih terdapat penderita diabetes yang tidak patuh diet, kondisi ini disebabkan karena
penderita diabetes merasa bosan dan jenuh dalam mengikuti diet yang dianjurkan.
XI. Berdasarkan pemaparan di atas, menunjukkan bahwa kepatuhan diet pada penderita
diabetes dan lokus kontrol kesehatan masih perlu dieksplorasi leboh lanjut. Selanjutnya,
beberapa hasil penelitian masih belum terlihat dengan jelas faktor yang mempengaruhi
kepatuhan diet dari segi psikologis, karena lokus kontrol kesehatan dapat mempengaruhi
perilaku penderita diabetes terhadap kepatuhan dalam menjalani diet. Oleh karena itu,
peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan lokus kontrol kesehatan
dengan kepatuhan diet pada pasien diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas Kota Padang.

Jawaban :

1. Masalah atau trend isu yang diangkat sebagai latarbelakang penelitian adalah

Paragraf I
Dalam sepuluh tahun terakhir, terjadi peningkatan kasus diabetes melitus, disinyalir 1
dalam 10 orang didunia menderita diabetes mellitus. Data International Diabetes
Federation (IDF) menunjukkan tahun 2021 menunjukkan bahwa Indonesia menempati
urutan ke-5 negara penderita diabetes terbanyak di dunia dengan 19,47 juta orang dewasa
(20 – 79 tahun) hidup dengan diabetes. Menurut hasil riset Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan (Litbangkes) tahun 2019, Provinsi Sumatera Barat berada pada
urutan ke-23 penderita diabetes di Indonesia dengan prevalensi 1,6% (Infodatin, 2020).

2. Data penunjang

Paragraf II,III,IV,X,VI,VII,VIII,IX,X merupakan data penunjang menurut buku, jurnal


dan organisasi
Diabetes menjadi masalah kesehatan yang serius dan apabila tidak segera ditangani
dengan baik dapat menyebabkan tidak terkendalinya kadar gula darah dan berisiko
timbulnya berbagai komplikasi hingga dapat berakhir dengan kecacatan dan kematian
(WHO, 2020). Kondisi ini dapat dicegah dengan penatalaksanaan diabetes yang dikenal
dengan empat pilar yaitu edukasi, terapi nutrisi medis (diet), aktivitas fisik, dan
pemberian farmakologi. Diet pada penderita diabetes menjadi dasar utama dari
penatalaksanaan diabetes bersamaan dengan melakukan aktivitas fisik. Penatalaksanaan
diet diabetes dilakukan dengan mengatur dan menerapkan prinsip 3J yaitu jadwal,
jumlah, dan jenis konsumsi makanan (Perkeni, 2020).

Keberhasilan tujuan pengendalian diabetes dengan penatalaksanaan diet ditentukan oleh


kepatuhan penderita dalam menjalaninya (Soegondo, 2018). Berdasarkan hasil studi
menunjukkan bahwa kepatuhan diet memiliki pengaruh sebesar 14,4% - 41,2% terhadap
perubahan kadar gula darah, dimana penderita diabetes yang patuh diet (63%) memiliki
kadar gula darah yang lebih baik dibandingkan penderita diabetes yang tidak patuh diet
(37%) (Salma et al., 2019; Aulia et al., 2021). Hasil studi lain juga menunjukkan bahwa
penderita diabetes yang tidak patuh diet berisiko sebesar 10,5 kali - 44,7 kali terhadap
kadar gula darah yang tidak terkendali. (Syarifah & Bachron, 2019; Nursihhah & Wijaya,
2021).

Diet pada penderita diabetes menjadi kepatuhan jangka panjang dan salah satu aspek
yang menimbulkan tantangan dalam penatalaksanaan diabetes (Smeltzer & Bare, 2004
dalam Adnyani et al., 2015). Hasil studi oleh Nursihhah & Wijaya, (2021) di Kota Bekasi
menunjukkan bahwa sebagian besar penderita diabetes (69,2%) tidak patuh dalam
menjalani diet. Hasil penelitian oleh Mirda, (2019) di Puskesmas Andalas menunjukkan
bahwa ketidakpatuhan diet (41,8%) disebabkan karena penderita diabetes merasa tidak
bisa menahan lapar sehingga merasa sulit dalam mengatur jumlah konsumsi makanan,
tidak menggunakan gula khusus diabetes dalam makanan/ minuman yang dikonsumsi,
serta kesibukan menyebabkan penderita diabetes tidak dapat mengikuti jadwal makan
yang telah dianjurkan.

Kepatuhan penderita diabetes dalam menjalani diet dipengaruhi oleh beberapa faktor
yaitu pengetahuan, dukungan sosial keluarga, dukungan tenaga kesehatan, dan keyakinan
yang terdiri dari efikasi diri dan lokus kontrol kesehatan (Niven, 2012; Federick et al.,
2002). Lokus kontrol kesehatan menjadi faktor psikologis yang dapat mempengaruhi
perilaku dalam mengambil tindakan untuk kesehatan, sehingga juga dapat mempengaruhi
kepatuhan individu (Theofilou & Saborit, 2012). Lokus kontrol kesehatan adalah
keyakinan bahwa status kesehatan individu karena adanya kontrol dari dirinya sendiri
maupun adanya nasib/takdir serta kontrol dari dokter. Berdasarkan hasil studi terdahulu
menunjukkan bahwa lokus kontrol kesehatan memiliki pengaruh 17,5% - 25% terhadap
kepatuhan diet pada penderita diabetes (Aflakseir & ZarrinPour, 2013; Farah & Durrani,
2016).

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa ketiga dimensi lokus


kontrol kesehatan memiliki hubungan bermakna terhadap kepatuhan diet diabetes (p <
0,05) (Adnyani et al., 2015; Farah & Durrani, 2016, Kusnanto et al., 2019; Adhanty et al.,
2021). Hasil yang berbeda ditemukan pada penelitian Aflakseir & ZarrinPour, (2013)
dimana hanya dua dari tiga dimensi lokus kontrol kesehatan yang berhubungan bermakna
dengan kepatuhan diet diabetes yaitu dimensi kesempatan dan dimensi orang lain (p
<0,05), sedangkan dimensi internal tidak bermakna dengan kepatuhan diet diabetes (p >
0,05). Perbedaan hasil penelitian tersebut disebabkan karena adanya perbedaan demografi
yang dapat mempengaruhi perilaku pada penderita diabetes (Aflakseir & ZarrinPour,
2013).

Menurut Theofilou & Saborit, (2012) individu dengan lokus kontrol kesehatan yang
tinggi dapat memiliki kepatuhan yang baik karena individu cenderung berusaha untuk
meningkatkan status kesehatannya, namun individu dengan lokus kontrol kesehatan yang
tinggi juga ditemukan memiliki kepatuhan yang rendah karena individu memiliki
kebebasan dalam menentukan status kesehatannya (Niven, 2012). Kondisi ini dapat
dilihat dari beberapa penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan hasil hubungan lokus kontrol kesehatan dengan kepatuhan diet pada penderita
diabetes.

Berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai


dimensi internal, dan dimensi orang lain, semakin patuh penderita diabetes dalam
menjalani diet, dimana penderita diabetes meyakini bahwa dengan patuh diet dan
mengikuti anjuran dari fasilitas kesehatan terhadap penatalaksanaan diet dapat
meningkatkan status kesehatannya (Aflakseir & ZarrinPour, 2013; Farah & Durrani,
2016; Adhanty et al., 2021). Namun, hasil yang berbeda ditemukan pada penelitian
Adnyani et al., (2015) bahwa penderita diabetes dengan dimensi orang lain cenderung
tidak patuh dalam menjalani diet, dimana penderita diabetes selalu bergantung dengan
tenaga kesehatan namun malas mengikuti anjuran yang diberikan untuk mencapai status
kesehatannya.

Pada dimensi kesempatan dari penelitian terdahulu menunjukkan bahwa semakin tinggi
nilai dimensi kesempatan, maka semakin tidak patuh penderita dalam menjalani diet
diabetes, dimana penderita diabetes meyakini bahwa kondisi dirinya tidak akan berubah
walaupun sudah mengikuti anjuran diet apabila sudah takdirnya memiliki kesehatan yang
dialaminya (Aflakseir & ZarrinPour, 2013; Farah & Durrani, 2016; Adhanty et al., 2021).
Hasil yang berbeda ditemukan pada penelitian oleh Kusnanto et al., (2019) yang
menunjukkan bahwa penderita diabetes dengan dimensi lokus kontrol kesehatan
kesempatan yang tinggi bersifat lebih patuh dalam menjalani diet, dimana penderita
diabetes dapat menjalani diet dengan baik karena meyakini takdir, nasib, keberuntungan
mempunyai pengaruh besar dalam kesehatannya.

Studi pendahuluan yang dilakukan peneliti, data Dinas Kesehatan Kota Padang (DKKP),
tahun 2020 menyebutkan bahwa tiga puskesmas dengan penderita diabetes terbanyak
yang tersebar berdasarkan demografi wilayah Kota Padang yang dibagi atas tiga bagian
adalah Puskesmas Andalas sebanyak 1.017 orang, Puskesmas Nanggalo sebanyak 433
orang, Puskesmas Lubuk Kilangan sebanyak 457 orang di Padang bagian selatan. Hasil
wawancara pada 5 dari 10 pasien diabetes tipe 2 yang diwawancara belum patuh dalam
menjalani diet, dimana penderita diabetes tidak bisa menahan lapar dan mayoritas
penderita diabetes yang masih sering mengkonsumsi makanan/minuman yang manis
belum menggunakan gula khusus diabetes. Hasil wawancara juga menyebutkan bahwa
masih terdapat penderita diabetes yang tidak patuh diet, kondisi ini disebabkan karena
penderita diabetes merasa bosan dan jenuh dalam mengikuti diet yang dianjurkan.

3. GAP/Kesenjangan
Paragraf III, VI, VII, VIII, IX, X
Keberhasilan tujuan pengendalian diabetes dengan penatalaksanaan diet ditentukan oleh
kepatuhan penderita dalam menjalaninya (Soegondo, 2018). Berdasarkan hasil studi
menunjukkan bahwa kepatuhan diet memiliki pengaruh sebesar 14,4% - 41,2% terhadap
perubahan kadar gula darah, dimana penderita diabetes yang patuh diet (63%) memiliki
kadar gula darah yang lebih baik dibandingkan penderita diabetes yang tidak patuh diet
(37%) (Salma et al., 2019; Aulia et al., 2021). Hasil studi lain juga menunjukkan bahwa
penderita diabetes yang tidak patuh diet berisiko sebesar 10,5 kali - 44,7 kali terhadap
kadar gula darah yang tidak terkendali. (Syarifah & Bachron, 2019; Nursihhah & Wijaya,
2021).

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa ketiga dimensi lokus


kontrol kesehatan memiliki hubungan bermakna terhadap kepatuhan diet diabetes (p <
0,05) (Adnyani et al., 2015; Farah & Durrani, 2016, Kusnanto et al., 2019; Adhanty et al.,
2021). Hasil yang berbeda ditemukan pada penelitian Aflakseir & ZarrinPour, (2013)
dimana hanya dua dari tiga dimensi lokus kontrol kesehatan yang berhubungan bermakna
dengan kepatuhan diet diabetes yaitu dimensi kesempatan dan dimensi orang lain (p
<0,05), sedangkan dimensi internal tidak bermakna dengan kepatuhan diet diabetes (p >
0,05). Perbedaan hasil penelitian tersebut disebabkan karena adanya perbedaan demografi
yang dapat mempengaruhi perilaku pada penderita diabetes (Aflakseir & ZarrinPour,
2013).

Menurut Theofilou & Saborit, (2012) individu dengan lokus kontrol kesehatan yang
tinggi dapat memiliki kepatuhan yang baik karena individu cenderung berusaha untuk
meningkatkan status kesehatannya, namun individu dengan lokus kontrol kesehatan yang
tinggi juga ditemukan memiliki kepatuhan yang rendah karena individu memiliki
kebebasan dalam menentukan status kesehatannya (Niven, 2012). Kondisi ini dapat
dilihat dari beberapa penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan hasil hubungan lokus kontrol kesehatan dengan kepatuhan diet pada penderita
diabetes.

Berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai


dimensi internal, dan dimensi orang lain, semakin patuh penderita diabetes dalam
menjalani diet, dimana penderita diabetes meyakini bahwa dengan patuh diet dan
mengikuti anjuran dari fasilitas kesehatan terhadap penatalaksanaan diet dapat
meningkatkan status kesehatannya (Aflakseir & ZarrinPour, 2013; Farah & Durrani,
2016; Adhanty et al., 2021). Namun, hasil yang berbeda ditemukan pada penelitian
Adnyani et al., (2015) bahwa penderita diabetes dengan dimensi orang lain cenderung
tidak patuh dalam menjalani diet, dimana penderita diabetes selalu bergantung dengan
tenaga kesehatan namun malas mengikuti anjuran yang diberikan untuk mencapai status
kesehatannya.

Pada dimensi kesempatan dari penelitian terdahulu menunjukkan bahwa semakin tinggi
nilai dimensi kesempatan, maka semakin tidak patuh penderita dalam menjalani diet
diabetes, dimana penderita diabetes meyakini bahwa kondisi dirinya tidak akan berubah
walaupun sudah mengikuti anjuran diet apabila sudah takdirnya memiliki kesehatan yang
dialaminya (Aflakseir & ZarrinPour, 2013; Farah & Durrani, 2016; Adhanty et al., 2021).
Hasil yang berbeda ditemukan pada penelitian oleh Kusnanto et al., (2019) yang
menunjukkan bahwa penderita diabetes dengan dimensi lokus kontrol kesehatan
kesempatan yang tinggi bersifat lebih patuh dalam menjalani diet, dimana penderita
diabetes dapat menjalani diet dengan baik karena meyakini takdir, nasib, keberuntungan
mempunyai pengaruh besar dalam kesehatannya.

Studi pendahuluan yang dilakukan peneliti, data Dinas Kesehatan Kota Padang (DKKP),
tahun 2020 menyebutkan bahwa tiga puskesmas dengan penderita diabetes terbanyak
yang tersebar berdasarkan demografi wilayah Kota Padang yang dibagi atas tiga bagian
adalah Puskesmas Andalas sebanyak 1.017 orang, Puskesmas Nanggalo sebanyak 433
orang, Puskesmas Lubuk Kilangan sebanyak 457 orang di Padang bagian selatan. Hasil
wawancara pada 5 dari 10 pasien diabetes tipe 2 yang diwawancara belum patuh dalam
menjalani diet, dimana penderita diabetes tidak bisa menahan lapar dan mayoritas
penderita diabetes yang masih sering mengkonsumsi makanan/minuman yang manis
belum menggunakan gula khusus diabetes. Hasil wawancara juga menyebutkan bahwa
masih terdapat penderita diabetes yang tidak patuh diet, kondisi ini disebabkan karena
penderita diabetes merasa bosan dan jenuh dalam mengikuti diet yang dianjurkan

4. Pernyataan

Paragraf XI
Berdasarkan pemaparan di atas, menunjukkan bahwa kepatuhan diet pada penderita
diabetes dan lokus kontrol kesehatan masih perlu dieksplorasi leboh lanjut. Selanjutnya,
beberapa hasil penelitian masih belum terlihat dengan jelas faktor yang mempengaruhi
kepatuhan diet dari segi psikologis, karena lokus kontrol kesehatan dapat mempengaruhi
perilaku penderita diabetes terhadap kepatuhan dalam menjalani diet.

5. Masalah penelitian

Paragraf XI
Hubungan lokus control kesehatan dengan kepatuhan diet pada pasien diabetes melitus
tipe 2 di Puskesmas Kota Padang

6. Pertanyaan penelitian
Apakah ada hubungan lokus control kesehatan dengan kepatuhan diet pada pasien
diabetes melitus tipe 2?

7. Tujuan peneltian
Menginvestigasi hubungan lokus control kesehatan dengan kepatuhan diet pada pasien
diabetes melitus tipe 2

Latihan 3:
I. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah memperkirakan bahwa diabetes dianggap
sebagai yang ketujuh penyebab kematian, dan diketahui bahwa diabetes mellitus (DM)
meningkat pesat di seluruh dunia (WHO, 2021). Secara global, diabetes adalah salah satu
penyakit kronis utama. Sekitar 415 juta orang dewasa berusia 20-79 tahun hidup dengan
diabetes. Sekitar tiga perempat dari mereka tinggal di negara berpenghasilan rendah dan
menengah. Penelitian dari berbagai negara memprediksi populasi orang dengan diabetes
akan terus meningkat. Pada tahun 2040, prevalensi diabetes diperkirakan meningkat
menjadi 642 juta secara global dan terjadi di daerah yang berpenghasilan rendah hingga
menengah. Peningkatan terjadi karena adanya perubahan gaya hidup, urbanisasi dan
industrialisasi (Gan, 2013).
II. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilaksanakan pada tahun 2018 melakukan
pengumpulan data penderita Diabetes Mellitus pada penduduk berumur >15 tahun. Hasil
Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa prevalensi diabetes melitus menurut hasil
pemeriksaan gula darah meningkat dari 6,9% pada 2013 menjadi 8,5%. Angka ini
menunjukkan bahwa baru sekitar 25% penderita diabetes yang mengetahui bahwa dirinya
menderita diabetes (Kementrian kesehatan republik indonesia, 2020). Sehingga bisa
disimpulkan bahwa masih banyak masyarakat yang tidak tahu bahwa dia menderita
diabetes mellitus. Sejalan dengan penelitian dari (Alqahtani et al., 2020) bahwa mayoritas
masyarakat tidak pernah memeriksa kadar glukosa darah mereka karena kurangnya
pengetahuan tentang diabetes itu sendiri.
III. Prevalensi penyandang DM di Sumatera Barat pada tahun 2018 yang di diagnosis
menderita DM adalah 1,3 % yaitu perkiraan jumlahnya sebanyak 44,561 jiwa.
Berdasarkan laporan dari Rakerkesda Sumatera Barat pada tahun 2018 Kota Payakumbuh
berada pada peringkat ke 6 dengan prevalensi 2,1 % per Kabupaten atau Kota di
Sumatera Barat (Riskesdas, 2018).
IV. Berdasarkan profil Dinas Kesehatan Kota Payakumbuh, angka kejadian Diabetes Mellitus
pada tahun 2017 berjumlah 1364 orang. Sedangkan tahun 2018 berjumlah 1297 orang
dan tahun 2019 berjumlah 2119 orang. Data profil kesehatan Payakumbuh, Diabetes
Mellitus peringkat ke 4 penyakit dengan kunjungan terbanyak di puskesmas se-kota
Payakumbuh tahun 2019. Hasil laporan tahunan Dinas Kesehatan Kota Payakumbuh
tahun 2019 bahwa Puskesmas Ibuh berada pada urutan pertama jumlah penderita
Diabetes Melitus terbanyak dari delapan puskesmas yang tersebar di Kota Payakumbuh
yaitu sebanyak 465 kasus. Hasil laporan Puskesmas Ibuh didapatkan bahwa pasien DM
semakin tahun semakin bertambah dan juga keadaan pasiennya semakin buruk dari tahun
ke tahun.Pasien yang kontrol di puskesmas diketahui ada yang menderita diabetes dengan
komplikasi yaitu ulkus diabetikum langsung diberikan rujukan ke rumah sakit
(Kementrian Kesehatan, 2020).
V. Berdasarkan hasil penelitian pada tahun 2021, pasien Diabetes Mellitus di wilayah kerja
Puskesmas Ibuh Kota Payakumbuh hanya sebagian pasien yang mempunyai kualitas
hidup sedang dengan manajemen diri sedang (Zhahara,2021). Peneliti tersebut
mendapatkan bahwa selama pandemi COVID-19, kualitas hidup yang masih rendah
adalah dari aspek sosial dimana pasien merasa terisolir dan tidak bisa bertemu dengan
temannya, juga dari aspek psikologis pasien mengalami kesulitan dalam berkonsentrasi,
dan dari aspek fisik pasien tidak memiliki kecukupan energi untuk melakukan aktivitas.
Dari segi manajemen diri, aspek diet masih sebagian dari total pasien yang memiliki
kepatuhan diet yang baik.
VI. Gambaran kualitas hidup penderita Diabetes Mellitus di wilayah kerja Puskesmas Ibuh di
era COVID-19 pada tahun 2020 didapatkan dalam rentang sedang. Sejalan dengan
penelitian Umam et al., (2020) mendapatkan bahwa bahwa penderita Diabetes Mellitus di
Puskesmas Wanaraja Kabupaten Garut sebagian besar memiliki kualitas hidup yang
sedang sebanyak 58 orang (63,7%). Berdasarkan penelitian yang dilakukan, aspek fisik
didapatkan hasilnya berada pada kategori sedang karena mengalami penurunan kekuatan
fungsi untuk beraktivitas, juga dari aspek psikologis, pasien memiliki pikiran buruk
tentang dirinya dan dari aspek sosial pasien merasa kesepian dan stress sehingga
diperlukan dukungan dalam memberikan rasa aman kepada pasien. Disisi lain, hasil
penelitian yang dilakukan oleh Irawan, (2021) didapatkan bahwa penderita Diabetes
Mellitus di Puskesmas Babakan Sari Kota Bandung sebagian besar memiliki kualitas
hidup yang buruk yaitu 56 penderita (50,9%) dari total 110 penderita dengan manajemen
diri yang buruk yaitu pada bagian diet, pasien masih lebih dari setengah yang buruk
dalam kepatuhan dietnya.
VII. Kepatuhan diet dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu faktor predisposisi seperti
karakteristik individu dan psikososial, faktor penguat seperti dukungan keluarga atau
tenaga kesehatan dan faktor penyebab seperti rendahnya pelayanan fasilitas kesehatan
(Parajuli et al., 2014). Kendala utama pada penangan Diabetes Mellitus adalah kejenuhan
pasien dalam mengikuti terapi diet yang sangat diperlukan dalam mencapai keberhasilan.
VIII. Ketidakpatuhan diet dapat membahayakan status kesehatan penderita. Kepatuhan pasien
diabetes mellitus dalam melaksanakan diet merupakan salah satu hal terpenting dalam
pengendalian diabetes mellitus. Kepatuhan diet adalah faktor penting dalam menjalankan
diet sehingga kadar glukosa dalam darah dapat terkontrol (Legi et al., 2018).
IX. Berdasarkan dari hasil penelitian Nurhidayah, (2019) mendapatkan hasil bahwa di
Martapura setengah pasien Diabetes Mellitus memiliki kualitas hidup yang buruk dengan
manajemen diri yang buruk pada aspek diet yaitu patuh 11 orang responden dan tidak
patuh 26 responden. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Hayati (2020) yang mendapatkan hasil bahwa dari 46 responden kategori tidak patuh
sebanyak 24 responden (60%) dan kategori yang patuh sebesar 22 responden (55%). Ini
membuktikan masih banyaknya penderita DM yang tidak patuh dalam melaksanakan
diet. Kepatuhan diet disebabkan oleh beberapa faktor seperti dukungan keluarga,
pengetahuan tentang diet, sikap pasif terhadap perintah petugas kesehatan, persepsi
negatif tentang diet, dan rendahnya status sosial ekonomi. (Ubaidillah & Dipanusa,
2019).
X. Status sosial ekonomi berpengaruh terhadap kesehatan seseorang. Status sosial ekonomi
yang rendah dikaitkan dengan tingkat kematian yang tinggi. Status sosial ekonomi baik
dinilai oleh pendapatan, pendidikan, atau pekerjaan terkait dengan berbagai masalah
kesehatan. Umumnya seseorang dengan status sosial ekonominya rendah memiliki
kesadaran perawatan yang kurang, hal ini dikarenakan minimnya pengetahuan pada
orang tersebut. Kesadaran perawatan diri yang buruk dalam mengontrol kadar gula darah
pada orang dengan status sosial ekonomi rendah akan berimbas pada peningkatan risiko
komplikasi penyakit (Sari, 2017). Hasil penelitian Prawirasatra (2017) menyatakan
ada hubungan antara status ekonomi dengan kepatuhan pasien dalam menjalankan 4 pilar
pengelolaan diabetes mellitus.
XI. Dilihat dari sudut tingkat sosial ekonominya, Kota Payakumbuh dari tiga tahun terakhir
mengalami penurunan. Penurunan tersebut dipengaruhi oleh menurunnya produksi di
seluruh lapangan usaha karena dampak dari pandemi COVID-19 yang mempengaruhi
aktivitas ekonomi masyarakat. Dampak dari wabah/pandemi COVID-19, pada tahun
2020 hanya ada 6 kategori/Lapangan Usaha yang mengalami pertumbuhan yang positif
sedangkan kategori/lapangan usaha lainnya mengalami kontraksi/ (pertumbuhan negatif).
Umumnya penduduk Kelurahan Ibuh bekerja sebagai pedagang dan bertani. Dampak ini
membuat pendapatan masyarakat Payakumbuh termasuk Kelurahan Ibuh mengalami
penurunan dan berpengaruh kepada kualitas hidup masyarakatnya seperti lebih memilih
memenuhi kebutuhannya daripada berobat ke pelayanan kesehatan (Badan Pusat Statistik
Kota Payakumbuh, 2020). Kesulitan ekonomi dapat membahayakan kesehatan dan
hubungan keluarga, serta membuatnya lebih sulit untuk membayar pengeluaran rumah
tangga, dari tagihan listrik ke biaya medis (Munir & Munir, 2020).
XII. Berdasarkan studi pendahuluan yang telah peneliti lakukan di Dinas Kesehatan Kota
Payakumbuh, diperoleh bahwa pada tahun 2021 terdapat 1421 orang menderita diabetes
mellitus di Kota Payakumbuh. Puskesmas dengan pasien diabetes mellitus terbanyak
pada tahun 2021 yaitu Puskesmas ibuh dengan jumlah 222 orang. Data pengunjung
Puskesmas ibuh dengan Diabetes Mellitus dari Januari sampai April 2022 mengalami
peningkatan sebesar 35% dari tahun sebelumnya. Dari wawancara kepada 10 responden
penderita diabetes mellitus di Puskesmas, didapatkan bahwa tujuh pasien memiliki
kepatuhan diet yang buruk. Lima pasien mengatakan jarang membatasi jumlah makanan
yang dikonsumsi dan mengatakan sering makan malam. Dua pasien mengatakan
menyukai makan dalam porsi besar dan memakan pantangan yang telah dilarang petugas
puskesmas. Sementara itu tiga pasien mengatakan sudah patuh melaksanakan diet yang
telah dianjurkan petugas kesehatan. Berdasarkan faktor diatas bahwa masih ditemukan
kualitas hidup yang kurang baik pada penderita Diabetes Mellitus dan ini diasumsikan
ada hubungan dengan keadaan sosial ekonomi dan kepatuhan diet. maka peneliti ingin
menginvestigasi lebih lanjut apakah ada hubungan antara kepatuhan diet dan sosial
ekonomi dengan kualitas hidup pasien Diabetes Mellitus di wilayah kerja Puskesmas
Ibuh Kota Payakumbuh.

Jawaban :
1. Masalah atau trend isu yang diangkat sebagai latarbelakang penelitian

Paragraf I, II, III, IV


Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah memperkirakan bahwa diabetes dianggap
sebagai yang ketujuh penyebab kematian, dan diketahui bahwa diabetes mellitus (DM)
meningkat pesat di seluruh dunia (WHO, 2021). Secara global, diabetes adalah salah satu
penyakit kronis utama. Sekitar 415 juta orang dewasa berusia 20-79 tahun hidup dengan
diabetes. Sekitar tiga perempat dari mereka tinggal di negara berpenghasilan rendah dan
menengah. Penelitian dari berbagai negara memprediksi populasi orang dengan diabetes
akan terus meningkat. Pada tahun 2040, prevalensi diabetes diperkirakan meningkat
menjadi 642 juta secara global dan terjadi di daerah yang berpenghasilan rendah hingga
menengah. Peningkatan terjadi karena adanya perubahan gaya hidup, urbanisasi dan
industrialisasi (Gan, 2013).

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilaksanakan pada tahun 2018 melakukan
pengumpulan data penderita Diabetes Mellitus pada penduduk berumur >15 tahun. Hasil
Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa prevalensi diabetes melitus menurut hasil
pemeriksaan gula darah meningkat dari 6,9% pada 2013 menjadi 8,5%. Angka ini
menunjukkan bahwa baru sekitar 25% penderita diabetes yang mengetahui bahwa dirinya
menderita diabetes (Kementrian kesehatan republik indonesia, 2020). Sehingga bisa
disimpulkan bahwa masih banyak masyarakat yang tidak tahu bahwa dia menderita
diabetes mellitus. Sejalan dengan penelitian dari (Alqahtani et al., 2020) bahwa mayoritas
masyarakat tidak pernah memeriksa kadar glukosa darah mereka karena kurangnya
pengetahuan tentang diabetes itu sendiri.

Prevalensi penyandang DM di Sumatera Barat pada tahun 2018 yang di diagnosis


menderita DM adalah 1,3 % yaitu perkiraan jumlahnya sebanyak 44,561 jiwa.
Berdasarkan laporan dari Rakerkesda Sumatera Barat pada tahun 2018 Kota Payakumbuh
berada pada peringkat ke 6 dengan prevalensi 2,1 % per Kabupaten atau Kota di
Sumatera Barat (Riskesdas, 2018).

Berdasarkan profil Dinas Kesehatan Kota Payakumbuh, angka kejadian Diabetes Mellitus
pada tahun 2017 berjumlah 1364 orang. Sedangkan tahun 2018 berjumlah 1297 orang
dan tahun 2019 berjumlah 2119 orang. Data profil kesehatan Payakumbuh, Diabetes
Mellitus peringkat ke 4 penyakit dengan kunjungan terbanyak di puskesmas se-kota
Payakumbuh tahun 2019. Hasil laporan tahunan Dinas Kesehatan Kota Payakumbuh
tahun 2019 bahwa Puskesmas Ibuh berada pada urutan pertama jumlah penderita
Diabetes Melitus terbanyak dari delapan puskesmas yang tersebar di Kota Payakumbuh
yaitu sebanyak 465 kasus. Hasil laporan Puskesmas Ibuh didapatkan bahwa pasien DM
semakin tahun semakin bertambah dan juga keadaan pasiennya semakin buruk dari tahun
ke tahun.Pasien yang kontrol di puskesmas diketahui ada yang menderita diabetes dengan
komplikasi yaitu ulkus diabetikum langsung diberikan rujukan ke rumah sakit
(Kementrian Kesehatan, 2020).

2. Data penunjang

Paragraf II,III,IV,V,VI,VII,VIII,IX,X,XI
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilaksanakan pada tahun 2018 melakukan
pengumpulan data penderita Diabetes Mellitus pada penduduk berumur >15 tahun. Hasil
Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa prevalensi diabetes melitus menurut hasil
pemeriksaan gula darah meningkat dari 6,9% pada 2013 menjadi 8,5%. Angka ini
menunjukkan bahwa baru sekitar 25% penderita diabetes yang mengetahui bahwa dirinya
menderita diabetes (Kementrian kesehatan republik indonesia, 2020). Sehingga bisa
disimpulkan bahwa masih banyak masyarakat yang tidak tahu bahwa dia menderita
diabetes mellitus. Sejalan dengan penelitian dari (Alqahtani et al., 2020) bahwa mayoritas
masyarakat tidak pernah memeriksa kadar glukosa darah mereka karena kurangnya
pengetahuan tentang diabetes itu sendiri.

Prevalensi penyandang DM di Sumatera Barat pada tahun 2018 yang di diagnosis


menderita DM adalah 1,3 % yaitu perkiraan jumlahnya sebanyak 44,561 jiwa.
Berdasarkan laporan dari Rakerkesda Sumatera Barat pada tahun 2018 Kota Payakumbuh
berada pada peringkat ke 6 dengan prevalensi 2,1 % per Kabupaten atau Kota di
Sumatera Barat (Riskesdas, 2018).

Berdasarkan profil Dinas Kesehatan Kota Payakumbuh, angka kejadian Diabetes Mellitus
pada tahun 2017 berjumlah 1364 orang. Sedangkan tahun 2018 berjumlah 1297 orang
dan tahun 2019 berjumlah 2119 orang. Data profil kesehatan Payakumbuh, Diabetes
Mellitus peringkat ke 4 penyakit dengan kunjungan terbanyak di puskesmas se-kota
Payakumbuh tahun 2019. Hasil laporan tahunan Dinas Kesehatan Kota Payakumbuh
tahun 2019 bahwa Puskesmas Ibuh berada pada urutan pertama jumlah penderita
Diabetes Melitus terbanyak dari delapan puskesmas yang tersebar di Kota Payakumbuh
yaitu sebanyak 465 kasus. Hasil laporan Puskesmas Ibuh didapatkan bahwa pasien DM
semakin tahun semakin bertambah dan juga keadaan pasiennya semakin buruk dari tahun
ke tahun.Pasien yang kontrol di puskesmas diketahui ada yang menderita diabetes dengan
komplikasi yaitu ulkus diabetikum langsung diberikan rujukan ke rumah sakit
(Kementrian Kesehatan, 2020).

Berdasarkan hasil penelitian pada tahun 2021, pasien Diabetes Mellitus di wilayah kerja
Puskesmas Ibuh Kota Payakumbuh hanya sebagian pasien yang mempunyai kualitas
hidup sedang dengan manajemen diri sedang (Zhahara,2021). Peneliti tersebut
mendapatkan bahwa selama pandemi COVID-19, kualitas hidup yang masih rendah
adalah dari aspek sosial dimana pasien merasa terisolir dan tidak bisa bertemu dengan
temannya, juga dari aspek psikologis pasien mengalami kesulitan dalam berkonsentrasi,
dan dari aspek fisik pasien tidak memiliki kecukupan energi untuk melakukan aktivitas.
Dari segi manajemen diri, aspek diet masih sebagian dari total pasien yang memiliki
kepatuhan diet yang baik.

Gambaran kualitas hidup penderita Diabetes Mellitus di wilayah kerja Puskesmas Ibuh di
era COVID-19 pada tahun 2020 didapatkan dalam rentang sedang. Sejalan dengan
penelitian Umam et al., (2020) mendapatkan bahwa bahwa penderita Diabetes Mellitus di
Puskesmas Wanaraja Kabupaten Garut sebagian besar memiliki kualitas hidup yang
sedang sebanyak 58 orang (63,7%). Berdasarkan penelitian yang dilakukan, aspek fisik
didapatkan hasilnya berada pada kategori sedang karena mengalami penurunan kekuatan
fungsi untuk beraktivitas, juga dari aspek psikologis, pasien memiliki pikiran buruk
tentang dirinya dan dari aspek sosial pasien merasa kesepian dan stress sehingga
diperlukan dukungan dalam memberikan rasa aman kepada pasien. Disisi lain, hasil
penelitian yang dilakukan oleh Irawan, (2021) didapatkan bahwa penderita Diabetes
Mellitus di Puskesmas Babakan Sari Kota Bandung sebagian besar memiliki kualitas
hidup yang buruk yaitu 56 penderita (50,9%) dari total 110 penderita dengan manajemen
diri yang buruk yaitu pada bagian diet, pasien masih lebih dari setengah yang buruk
dalam kepatuhan dietnya.

Kepatuhan diet dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu faktor predisposisi seperti
karakteristik individu dan psikososial, faktor penguat seperti dukungan keluarga atau
tenaga kesehatan dan faktor penyebab seperti rendahnya pelayanan fasilitas kesehatan
(Parajuli et al., 2014). Kendala utama pada penangan Diabetes Mellitus adalah kejenuhan
pasien dalam mengikuti terapi diet yang sangat diperlukan dalam mencapai keberhasilan.
Ketidakpatuhan diet dapat membahayakan status kesehatan penderita. Kepatuhan pasien
diabetes mellitus dalam melaksanakan diet merupakan salah satu hal terpenting dalam
pengendalian diabetes mellitus. Kepatuhan diet adalah faktor penting dalam menjalankan
diet sehingga kadar glukosa dalam darah dapat terkontrol (Legi et al., 2018).

Berdasarkan dari hasil penelitian Nurhidayah, (2019) mendapatkan hasil bahwa di


Martapura setengah pasien Diabetes Mellitus memiliki kualitas hidup yang buruk dengan
manajemen diri yang buruk pada aspek diet yaitu patuh 11 orang responden dan tidak
patuh 26 responden. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Hayati (2020) yang mendapatkan hasil bahwa dari 46 responden kategori tidak patuh
sebanyak 24 responden (60%) dan kategori yang patuh sebesar 22 responden (55%). Ini
membuktikan masih banyaknya penderita DM yang tidak patuh dalam melaksanakan
diet. Kepatuhan diet disebabkan oleh beberapa faktor seperti dukungan keluarga,
pengetahuan tentang diet, sikap pasif terhadap perintah petugas kesehatan, persepsi
negatif tentang diet, dan rendahnya status sosial ekonomi. (Ubaidillah & Dipanusa,
2019).

Status sosial ekonomi berpengaruh terhadap kesehatan seseorang. Status sosial ekonomi
yang rendah dikaitkan dengan tingkat kematian yang tinggi. Status sosial ekonomi baik
dinilai oleh pendapatan, pendidikan, atau pekerjaan terkait dengan berbagai masalah
kesehatan. Umumnya seseorang dengan status sosial ekonominya rendah memiliki
kesadaran perawatan yang kurang, hal ini dikarenakan minimnya pengetahuan pada
orang tersebut. Kesadaran perawatan diri yang buruk dalam mengontrol kadar gula darah
pada orang dengan status sosial ekonomi rendah akan berimbas pada peningkatan risiko
komplikasi penyakit (Sari, 2017). Hasil penelitian Prawirasatra (2017) menyatakan
ada hubungan antara status ekonomi dengan kepatuhan pasien dalam menjalankan 4 pilar
pengelolaan diabetes mellitus.

Dilihat dari sudut tingkat sosial ekonominya, Kota Payakumbuh dari tiga tahun terakhir
mengalami penurunan. Penurunan tersebut dipengaruhi oleh menurunnya produksi di
seluruh lapangan usaha karena dampak dari pandemi COVID-19 yang mempengaruhi
aktivitas ekonomi masyarakat. Dampak dari wabah/pandemi COVID-19, pada tahun
2020 hanya ada 6 kategori/Lapangan Usaha yang mengalami pertumbuhan yang positif
sedangkan kategori/lapangan usaha lainnya mengalami kontraksi/ (pertumbuhan negatif).
Umumnya penduduk Kelurahan Ibuh bekerja sebagai pedagang dan bertani. Dampak ini
membuat pendapatan masyarakat Payakumbuh termasuk Kelurahan Ibuh mengalami
penurunan dan berpengaruh kepada kualitas hidup masyarakatnya seperti lebih memilih
memenuhi kebutuhannya daripada berobat ke pelayanan kesehatan (Badan Pusat Statistik
Kota Payakumbuh, 2020). Kesulitan ekonomi dapat membahayakan kesehatan dan
hubungan keluarga, serta membuatnya lebih sulit untuk membayar pengeluaran rumah
tangga, dari tagihan listrik ke biaya medis (Munir & Munir, 2020).

Berdasarkan studi pendahuluan yang telah peneliti lakukan di Dinas Kesehatan Kota
Payakumbuh, diperoleh bahwa pada tahun 2021 terdapat 1421 orang menderita diabetes
mellitus di Kota Payakumbuh. Puskesmas dengan pasien diabetes mellitus terbanyak
pada tahun 2021 yaitu Puskesmas ibuh dengan jumlah 222 orang. Data pengunjung
Puskesmas ibuh dengan Diabetes Mellitus dari Januari sampai April 2022 mengalami
peningkatan sebesar 35% dari tahun sebelumnya. Dari wawancara kepada 10 responden
penderita diabetes mellitus di Puskesmas, didapatkan bahwa tujuh pasien memiliki
kepatuhan diet yang buruk. Lima pasien mengatakan jarang membatasi jumlah makanan
yang dikonsumsi dan mengatakan sering makan malam. Dua pasien mengatakan
menyukai makan dalam porsi besar dan memakan pantangan yang telah dilarang petugas
puskesmas. Sementara itu tiga pasien mengatakan sudah patuh melaksanakan diet yang
telah dianjurkan petugas kesehatan.

3. GAP/Kesenjangan

Paragraf VI, IX, XI, XII


Gambaran kualitas hidup penderita Diabetes Mellitus di wilayah kerja Puskesmas Ibuh di
era COVID-19 pada tahun 2020 didapatkan dalam rentang sedang. Sejalan dengan
penelitian Umam et al., (2020) mendapatkan bahwa bahwa penderita Diabetes Mellitus di
Puskesmas Wanaraja Kabupaten Garut sebagian besar memiliki kualitas hidup yang
sedang sebanyak 58 orang (63,7%). Berdasarkan penelitian yang dilakukan, aspek fisik
didapatkan hasilnya berada pada kategori sedang karena mengalami penurunan kekuatan
fungsi untuk beraktivitas, juga dari aspek psikologis, pasien memiliki pikiran buruk
tentang dirinya dan dari aspek sosial pasien merasa kesepian dan stress sehingga
diperlukan dukungan dalam memberikan rasa aman kepada pasien. Disisi lain, hasil
penelitian yang dilakukan oleh Irawan, (2021) didapatkan bahwa penderita Diabetes
Mellitus di Puskesmas Babakan Sari Kota Bandung sebagian besar memiliki kualitas
hidup yang buruk yaitu 56 penderita (50,9%) dari total 110 penderita dengan manajemen
diri yang buruk yaitu pada bagian diet, pasien masih lebih dari setengah yang buruk
dalam kepatuhan dietnya.

Berdasarkan dari hasil penelitian Nurhidayah, (2019) mendapatkan hasil bahwa di


Martapura setengah pasien Diabetes Mellitus memiliki kualitas hidup yang buruk dengan
manajemen diri yang buruk pada aspek diet yaitu patuh 11 orang responden dan tidak
patuh 26 responden. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Hayati (2020) yang mendapatkan hasil bahwa dari 46 responden kategori tidak patuh
sebanyak 24 responden (60%) dan kategori yang patuh sebesar 22 responden (55%). Ini
membuktikan masih banyaknya penderita DM yang tidak patuh dalam melaksanakan
diet. Kepatuhan diet disebabkan oleh beberapa faktor seperti dukungan keluarga,
pengetahuan tentang diet, sikap pasif terhadap perintah petugas kesehatan, persepsi
negatif tentang diet, dan rendahnya status sosial ekonomi. (Ubaidillah & Dipanusa,
2019).

Dilihat dari sudut tingkat sosial ekonominya, Kota Payakumbuh dari tiga tahun terakhir
mengalami penurunan. Penurunan tersebut dipengaruhi oleh menurunnya produksi di
seluruh lapangan usaha karena dampak dari pandemi COVID-19 yang mempengaruhi
aktivitas ekonomi masyarakat. Dampak dari wabah/pandemi COVID-19, pada tahun
2020 hanya ada 6 kategori/Lapangan Usaha yang mengalami pertumbuhan yang positif
sedangkan kategori/lapangan usaha lainnya mengalami kontraksi/ (pertumbuhan negatif).
Umumnya penduduk Kelurahan Ibuh bekerja sebagai pedagang dan bertani. Dampak ini
membuat pendapatan masyarakat Payakumbuh termasuk Kelurahan Ibuh mengalami
penurunan dan berpengaruh kepada kualitas hidup masyarakatnya seperti lebih memilih
memenuhi kebutuhannya daripada berobat ke pelayanan kesehatan (Badan Pusat Statistik
Kota Payakumbuh, 2020). Kesulitan ekonomi dapat membahayakan kesehatan dan
hubungan keluarga, serta membuatnya lebih sulit untuk membayar pengeluaran rumah
tangga, dari tagihan listrik ke biaya medis (Munir & Munir, 2020).

Berdasarkan studi pendahuluan yang telah peneliti lakukan di Dinas Kesehatan Kota
Payakumbuh, diperoleh bahwa pada tahun 2021 terdapat 1421 orang menderita diabetes
mellitus di Kota Payakumbuh. Puskesmas dengan pasien diabetes mellitus terbanyak
pada tahun 2021 yaitu Puskesmas ibuh dengan jumlah 222 orang. Data pengunjung
Puskesmas ibuh dengan Diabetes Mellitus dari Januari sampai April 2022 mengalami
peningkatan sebesar 35% dari tahun sebelumnya. Dari wawancara kepada 10 responden
penderita diabetes mellitus di Puskesmas, didapatkan bahwa tujuh pasien memiliki
kepatuhan diet yang buruk. Lima pasien mengatakan jarang membatasi jumlah makanan
yang dikonsumsi dan mengatakan sering makan malam. Dua pasien mengatakan
menyukai makan dalam porsi besar dan memakan pantangan yang telah dilarang petugas
puskesmas. Sementara itu tiga pasien mengatakan sudah patuh melaksanakan diet yang
telah dianjurkan petugas kesehatan.

4. Pernyataan

Paragraf XII
Berdasarkan faktor diatas bahwa masih ditemukan kualitas hidup yang kurang baik pada
penderita Diabetes Mellitus dan ini diasumsikan ada hubungan dengan keadaan sosial
ekonomi dan kepatuhan diet.

5. Masalah penelitian

Paragraf XII
Hubungan antara kepatuhan diet dan sosial ekonomi dengan kualitas hidup pasien
Diabetes Mellitus

6. Pertanyaan penelitian
Apakah ada hubungan antara kepatuhan diet dan sosial ekonomi dengan kualitas hidup
pasien Diabetes Melitus?

7. Tujuan penelitian
Menginvestigasi hubungan antara kepatuhan diet dan sosial ekonomi dengan kualitas
hidup pasien Diabetes Melitus

Latihan 4:

I. Berdasarkan estimasi dari GLOBOCAN, International Agency for Research on


Cancer (IARC), pada tahun 2020 kanker payudara menjadi kasus kanker tertinggi di
dunia dengan angka kejadian 2.261.429 kasus baru pada tahun 2020. Lima tahun
terakhir tercatat ada 7.790.717 kasus kanker payudara di dunia. Kanker payudara
menjadi urutan pertama penyebab kematian di dunia, dengan angka kematian
684.996 kasus pada tahun 2020.
II. Pada tahun 2020, Indonesia merupakan urutan kedelapan kasus kanker payudara di
dunia, dengan 213.546 kasus baru tahun 2020, dan Indonesia juga urutan kedelapan
untuk kematian akibat kanker payudara di dunia dengan 109.813 kematian tahun
2020. Pada 5 tahun terakhir, ada 556.448 wanita Indonesia menderita kanker
payudara hingga tahun 2020. Lima tahun terakhir, Indonesia merupakan urutan
kelima di dunia dengan kejadian kanker payudara pada usia 10-24 tahun dengan
11.481 kasus. Tahun 2020, 4.354 kejadian kanker payudara di Indonesia pada umur
10-24 tahun, ini menunjukkan angka kejadian kanker payudara pada remaja putri di
Indonesia cukup tinggi (GLOBOCAN, 2020).
III. International Agency for Research on Cancer (IARC) memperkirakan bahwa jumlah
kasus kanker payudara akan bertambah setiap tahunnya. Kasus kanker payudara pada
tahun 2020 berjumlah 2.261.419 kasus, tahun 2025 jumlah kasus kanker payudara
diperkirakan naik menjadi 2.467.243 kasus (naik 9.1%). Tahun 2030 jumlah kasus
kanker payudara diperkirakan naik menjadi 2.666.412 kasus (naik 17.9%). Tahun
2040 jumlah kasus kanker payudara diperkirakan 3.025.471 kasus (naik 33.8%).
Apabila tidak ada penanganan khusus seperti deteksi dini pada perempuan yang
merupakan populasi berisiko tinggi, maka pertambahan kasus baru kanker payudara
setiap tahunnya akan semakin meningkat (GLOBOCAN, 2020).
IV. Di Sumatera Barat jumlah penderita kanker payudara terus meningkat dari tahun ke
tahun, yaitu pada tahun 2017 ada 303 kasus, tahun 2018 ada 422 kasus, dan tahun
2019 ada 479 kasus. Kanker payudara merupakan kasus kanker tertinggi yang terjadi
pada perempuan di Sumatera Barat (Dinkes Sumatera Barat, 2020). Berdasarkan data
dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia sudah melakukan upaya preventif dalam mendeteksi dini kanker payudara
dan kanker leher rahim seperti screening melalui metoda Inspeksi Visual Asam
Asetat (IVA), papsmear, dan Pemeriksaan Payudara Klinis (Sadanis). Sumatera
Barat merupakan urutan kedua pada cakupan perempuan yang mendapat screening
terbanyak di Indonesia setelah Kepulauan Bangka Belitung sebesar 18,89%.
(Kementrian Kesehatan RI, 2019).
V. Kanker payudara memerlukan waktu yang cukup panjang untuk berkembang dalam
tubuh penderitanya dengan berbagai macam faktor risiko. Umumnya kanker
payudara disadari oleh penderita ketika sudah berada pada stadium lanjut. Hal ini
menjadi alasan mengapa deteksi dini kanker payudara sangat penting dan kesadaran
perempuan sejak usia remaja terhadap deteksi dini kanker payudara juga sangat
penting (Krisdianto, 2019).
VI. Kurangnya kesadaran dan pengetahuan mengenai deteksi dini kanker payudara
menjadi salah satu penyebab tingginya angka kematian akibat kanker payudara.
Umumnya jika sudah mengalami keluhan berat penderita baru mempunyai kesadaran
untuk melakukan pemeriksaan ke rumah sakit, yang tidak jarang kondisi penderita
sudah sampai pada stadium lanjut. Sehingga jika penyakit telah sampai pada stadium
lanjut maka akan sulit untuk disembuhkan (Mustika et al., 2016). Rutin melakukan
SADARI dan dapat mendeteksi kanker sejak stadium dini dan menerapkan terapi
secara tepat maka tingkat kesembuhan pada penderita kanker payudara cukup tinggi
yaitu sekitar 80 – 90% (Peraturan Menteri Kesehatan No. 34 [PMK NO. 34], 2015).
Riset Penyakit Tidak Menular (PTM) pada tahun 2016 menyatakan bahwa kesadaran
dan perilaku masyarakat dalam deteksi dini kanker payudara masih sangat rendah.
Hasil riset menunjukkan 53,7% masyarakat tidak pernah melakukan SADARI, dan
95,6% masyarakat tidak pernah melakukan SADANIS (Kementrian Kesehatan RI,
2017).
VII. Hasil penelitian Moh et al. (2020) di Myanmar menunjukkan pengetahuan dan
kemampuan SADARI yang rendah menjadi hambatan untuk melakukan praktik
SADARI. Penelitian Paulsamy et al. (2021) di Arab Saudi menunjukkan
pengetahuan 77% mahasiswi berada pada tingkat kurang, 61% mahasiswi memiliki
nilai yang buruk dalam praktik SADARI. Pengetahuan yang kurang menyebabkan
kurangnya praktik SADARI, dan dibutuhkan pendidikan kesehatan untuk
mengurangi morbiditas dan kematian terkait kanker payudara. Hasil penelitian
Matthew & Rani (2021), menunjukkan adanya hubungan pengetahuan dengan
tindakan SADARI pada wanita di India. Adanya kesenjangan informasi terkait
deteksi dini dan kanker payudara sehingga dibutuhkan pendidikan kesehatan untuk
meningkatkan pengetahuan tentang kanker payudara dan SADARI. Hasil penelitian
Mihret et al. (2021) di Ethiopia menunjukkan siswa dengan pengetahuan SADARI
yang baik 12,02 kali lebih mungkin untuk melakukan praktik SADARI yang lebih
baik dari pada yang berpengetahuan buruk. Oleh karena itu, perlu dilakukan
intervensi untuk meningkatkan pengetahuan remaja putri mengenai praktik
SADARI.
VIII. Penemuan dini dimulai dengan peningkatan kesadaran masyarakat tentang perubahan
bentuk atau adanya kelainan di payudara sendiri, dengan cara memasyarakatkan
program SADARI bagi semua perempuan dimulai sejak usia subur, sebab 85%
kelainan di payudara justru pertama kali dikenali oleh penderita bila tidak dilakukan
skrining massal (Peraturan Menteri Kesehatan No. 34 [PMK NO. 34], 2015).
Rendahnya sebaran informasi dan kewaspadaan masyarakat tentang kanker payudara
menyebabkan tingkat pengetahuan remaja putri tentang pentingnya melakukan
pemeriksaan payudara sendiri (SADARI). Minat remaja putri untuk mencari
informasi mengenai kanker payudara, cara untuk mencegah dan mendeteksi dini
kanker payudara dengan cara SADARI juga masih rendah. Sebagian remaja putri
juga merasa malas bahkan malu untuk melakukan SADARI yang artinya perasaan ini
menimbulkan dampak berupa kurangnya kesadaran dan pengetahuan remaja putri
mengenai kanker payudara dan SADARI (Pratama & susanti, 2021). Oleh karena itu,
penting diberikan pendidikan kesehatan tentang SADARI terhadap remaja putri di
Indonesia sebagai deteksi dini kanker payudara, yang berguna untuk mengurangi
angka kasus kanker payudara, dan menurunkan angka kematian akibat kanker
payudara.
IX. Pendidikan kesehatan yang baik, yaitu dengan menggunakan media dan metode yang
menarik dan mudah dipahami oleh audiens, sehingga pesan yang disampaikan
diserap dengan baik dalam bentuk perubahan perilaku dan keterampilan (Nurmala et
al., 2020). Metode yang paling efektif dalam pendidikan SADARI adalah dengan
memberikan bahan bacaan berupa booklet dan melakukan simulasi atau demonstrasi
dengan informasi yang diserap sebanyak 90%. Memberikan media booklet dapat
membantu komunikasi dan menarik perhatian remaja dalam memberikan pendidikan.
Menggunakan kombinasi metode demonstrasi dan media booklet akan memberikan
ingatan, kewaspadaan dan perhatian terhadap SADARI dalam jangka panjang dan
dapat digunakan dimanapun (Al-Oseely et al., 2021). Penggunaan panca indera
secara verbal dan visual bersamaan meningkatkan pemahaman peserta menjadi 6 kali
dan setelah 3 jam pemberian pendidikan kesehatan, informasi yang masih diingat
sebanyak 85% (Kementrian Kesehatan RI, 2016b). Sehingga metode demonstrasi
merupakan metode yang tepat dalam memberikan pendidikan kesehatan untuk
meningkatkan kemampuan SADARI. Sejalan dengan tujuan penelitian ini, untuk
meningkatkan kemampuan diperlukan penyuluhan dengan metode demonstrasi
dalam melakukan suatu tindakan dengan pendidik menjelaskan secara verbal,
memperlihatkan proses secara visual, memberikan kesempatan bertanya dan
berdiskusi kemudian meminta peserta didik melakukan tindakan tersebut akan
membantu mempertahankan memori peserta (Asniar et al., 2020).
X. Berdasarkan hasil penelitian Hartutik & Pradani (2020), menunjukkan bahwa metode
demonstrasi lebih baik digunakan dibandingkan dengan media video dimana nilai
rata-rata keterampilan praktik SADARI siswi dengan metode demonstrasi meningkat
dari 10,90 menjadi 24,50. Praktik SADARI lebih cocok diajarkan dengan metode
demonstrasi dari pada media video. Hasil penelitian Saputra et al. (2021), juga
menunjukkan bahwa metode yang paling efektif dalam meningkatkan pengetahuan
dan praktik SADARI adalah metode demonstrasi dengan meningkatkan praktik
sebesar 92,7%. Penelitian AM et al. (2021) di Nigeria menunjukkan bahwa metode
demonstrasi memberikan dampak yang lebih besar dalam meningkatkan pengetahuan
dan praktik SADARI siswi. Pemberian intervensi berbasis pendidikan kesehatan
dengan metode demonstrasi memberikan perubahan positif dalam praktik
pemeriksaan SADARI di Korea Selatan (Jun, 2021). Penelitian Kissal & Kartal,
(2019), menunjukkan persentase siswa yang melakukan SADARI sebelum dan
sesudah diberi pendidikan dari 14,6% meningkat menjadi 45,8%. Penelitian tersebut
mengalami keterbatasan karena jumlah sampel yang kecil dan tidak dapat
digeneralisasikan untuk semua siswa. Hal ini menjadi peluang bagi peneliti sendiri
untuk memperbesar jumlah sampel nantinya agar dapat digeneralisasikan untuk
semua siswa.
XI. Kabupaten Tanah Datar berada di urutan kelima di Sumatera Barat dalam temuan
kasus kanker payudara pada tahun 2017 dengan 27 kasus baru dengan pemeriksaan
klinis. Walaupun bukan kasus yang tertinggi, namun jumlah kasus tersebut berisiko
semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pada studi pendahuluan yang dilakukan
peneliti, dalam 2 tahun terakhir Dinas Kesehatan Kabupaten Tanah Datar tidak
melakukan pendataan terhadap kasus kanker payudara dikarenakan fokus pendataan
dipusatkan pada pengendalian pandemi Covid-19. Hal ini membuat perhatian dan
fokus pemerintah serta masyarakat terhadap deteksi dini kanker payudara semakin
menurun. Berdasarkan keterangan dari pihak Dinas Kesehatan Kabupaten Tanah
Datar, belum pernah ada penelitian yang dilakukan mengenai deteksi dini kanker
payudara dengan SADARI di Kabupaten Tanah Datar. Pihak Dinas Kesehatan juga
mengatakan bahwa dalam 2 tahun terakhir tidak dilakukan penyuluhan terhadap
remaja putri mengenai deteksi dini kanker payudara akibat pandemic Covid-19 dan
hal ini berisiko meningkatkan kasus kanker payudara dari tahun ke tahun di
Kabupaten Tanah Datar.
XII. Hasil wawancara peneliti dengan pihak puskesmas, Kecamatan Pariangan termasuk
salah satu kecamatan yang tidak melakukan pendataan terhadap kanker payudara.
Hasil wawancara peneliti, pihak Puskesmas Kecamatan Pariangan mengatakan
bahwa puskesmas tidak melakukan penyuluhan mengenai deteksi dini kanker
payudara berupa SADARI di wilayah Kecamatan Pariangan. Sementara fenomena
yang peneliti temukan, cukup banyak penderita kanker payudara di wilayah tersebut
dibuktikan dengan hasil wawancara peneliti terhadap masing-masing Wali Nagari di
Kecamatan Pariangan. Kecamatan Pariangan terdiri dari 6 Nagari, dan peneliti
melakukan studi pendahuluan ke tiap Nagari dengan melakukan wawancara terhadap
masing-masing Wali Nagari. Dari hasil wawancara tersebut didapatkan hasil Wali
Nagari Tabek Mengatakan terdapat 5 orang penderita kanker payudara di wilayah
tersebut. Wali Nagari Pariangan mengatakan terdapat 6 orang penderita kanker
payudara dan 2 orang remaja putri yang mengalami adanya benjolan pada payudara.
Wali Nagari Sawah Tangah mengatakan terdapat 1 orang penderita kanker payudara
di wilayah tersebut. Wali Nagari Sungai Simabur mengatakan terdapat 3 orang
penderita kanker payudara di wilayah tersebut. Wali Nagari Sungai Jambu
mengatakan terdapat 1 orang penderita kanker payudara di wilayah tersebut. Wali
Nagari Batu Basa mengatakan terdapat 3 orang penderita kanker payudara di wilayah
tersebut. Dari hasil wawancara tersebut, maka disimpulkan terdapat 19 orang
penderita kanker payudara di wilayah Kecamatan Pariangan. Umumnya remaja putri
di Kecamatan Pariangan belum pernah mendapatkan pendidikan kesehatan mengenai
SADARI, dan memiliki pengetahuan serta keterampilan yang rendah mengenai
SADARI. Remaja putri di wilayah tersebut umumnya bersekolah di SMAN 1
Pariangan. Keadaan ini menjadi peluang untuk melakukan penelitian di SMAN 1
Pariangan mengenai keterampilan SADARI pada remaja putri.
XIII. Peneliti juga melakukan wawancara terhadap 13 siswi di SMAN 1 Pariangan dan
ditemukan 1 siswi mengatakan punya keluarga yang menderita kanker payudara.
Sebanyak 7 orang siswi mengatakan hanya mengetahui pengertian kanker payudara
dan tidak tahu faktor risiko, pencegahan dan penanganan kanker payudara. Sebanyak
9 orang siswi mengatakan tidak tahu apa itu SADARI dan 4 siswi mengatakan tahu
bahwa SADARI itu adalah pemeriksaan payudara sendiri. Sebanyak 10 orang
mengatakan tidak mengetahui manfaat dari melakukan tindakan SADARI, dan 3
siswi mengatakan tahu manfaat SADARI. Sebanyak 12 siswi mengatakan tidak
mengetahui tata cara melakukan SADARI, dan 12 orang siswi mengatakan tidak
pernah melakukan SADARI, 13 siswi mengatakan tidak mengetahui kapan waktu
yang baik untuk melakukan tindakan SADARI.
XIV. Dari hasil studi pendahuluan, maka peneliti menyimpulkan sebagian besar siswi di
SMAN 1 Pariangan memiliki pengetahuan dan kesadaran yang rendah mengenai
deteksi dini kanker payudara dan praktik SADARI. Sehingga diperlukan adanya
upaya untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan siswi di SMAN 1
Pariangan sebagai mendeteksi dini kanker payudara dan menekan pertambahan
jumlah kasus kanker payudara, dan kematian akibat kanker payudara.
XV. Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai
pengaruh pendidikan kesehatan terhadap peningkatan pengetahuan dan kemampuan
melakukan pemeriksaan payudara sendiri (SADARI) sebagai deteksi dini kanker
payudara pada siswi SMAN 1 Pariangan dengan booklet dan metode demonstrasi.

Jawaban:

1. Masalah atau trend isu yang diangkat sebagai latarbelakang penelitian

Paragraf I,II,III,IV
Berdasarkan estimasi dari GLOBOCAN, International Agency for Research on Cancer
(IARC), pada tahun 2020 kanker payudara menjadi kasus kanker tertinggi di dunia
dengan angka kejadian 2.261.429 kasus baru pada tahun 2020. Lima tahun terakhir
tercatat ada 7.790.717 kasus kanker payudara di dunia. Kanker payudara menjadi urutan
pertama penyebab kematian di dunia, dengan angka kematian 684.996 kasus pada tahun
2020.

Pada tahun 2020, Indonesia merupakan urutan kedelapan kasus kanker payudara di dunia,
dengan 213.546 kasus baru tahun 2020, dan Indonesia juga urutan kedelapan untuk
kematian akibat kanker payudara di dunia dengan 109.813 kematian tahun 2020. Pada 5
tahun terakhir, ada 556.448 wanita Indonesia menderita kanker payudara hingga tahun
2020. Lima tahun terakhir, Indonesia merupakan urutan kelima di dunia dengan kejadian
kanker payudara pada usia 10-24 tahun dengan 11.481 kasus. Tahun 2020, 4.354 kejadian
kanker payudara di Indonesia pada umur 10-24 tahun, ini menunjukkan angka kejadian
kanker payudara pada remaja putri di Indonesia cukup tinggi (GLOBOCAN, 2020).

International Agency for Research on Cancer (IARC) memperkirakan bahwa jumlah


kasus kanker payudara akan bertambah setiap tahunnya. Kasus kanker payudara pada
tahun 2020 berjumlah 2.261.419 kasus, tahun 2025 jumlah kasus kanker payudara
diperkirakan naik menjadi 2.467.243 kasus (naik 9.1%). Tahun 2030 jumlah kasus kanker
payudara diperkirakan naik menjadi 2.666.412 kasus (naik 17.9%). Tahun 2040 jumlah
kasus kanker payudara diperkirakan 3.025.471 kasus (naik 33.8%). Apabila tidak ada
penanganan khusus seperti deteksi dini pada perempuan yang merupakan populasi
berisiko tinggi, maka pertambahan kasus baru kanker payudara setiap tahunnya akan
semakin meningkat (GLOBOCAN, 2020).

Di Sumatera Barat jumlah penderita kanker payudara terus meningkat dari tahun ke
tahun, yaitu pada tahun 2017 ada 303 kasus, tahun 2018 ada 422 kasus, dan tahun 2019
ada 479 kasus. Kanker payudara merupakan kasus kanker tertinggi yang terjadi pada
perempuan di Sumatera Barat (Dinkes Sumatera Barat, 2020). Berdasarkan data dari
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
sudah melakukan upaya preventif dalam mendeteksi dini kanker payudara dan kanker
leher rahim seperti screening melalui metoda Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA),
papsmear, dan Pemeriksaan Payudara Klinis (Sadanis). Sumatera Barat merupakan
urutan kedua pada cakupan perempuan yang mendapat screening terbanyak di Indonesia
setelah Kepulauan Bangka Belitung sebesar 18,89%. (Kementrian Kesehatan RI, 2019).

2. Data penunjang
Paragraf III,IV,V merupakan data penunjang menurut jurnal, buku dan organisasi
International Agency for Research on Cancer (IARC) memperkirakan bahwa jumlah
kasus kanker payudara akan bertambah setiap tahunnya. Kasus kanker payudara pada
tahun 2020 berjumlah 2.261.419 kasus, tahun 2025 jumlah kasus kanker payudara
diperkirakan naik menjadi 2.467.243 kasus (naik 9.1%). Tahun 2030 jumlah kasus kanker
payudara diperkirakan naik menjadi 2.666.412 kasus (naik 17.9%). Tahun 2040 jumlah
kasus kanker payudara diperkirakan 3.025.471 kasus (naik 33.8%). Apabila tidak ada
penanganan khusus seperti deteksi dini pada perempuan yang merupakan populasi
berisiko tinggi, maka pertambahan kasus baru kanker payudara setiap tahunnya akan
semakin meningkat (GLOBOCAN, 2020).

Di Sumatera Barat jumlah penderita kanker payudara terus meningkat dari tahun ke
tahun, yaitu pada tahun 2017 ada 303 kasus, tahun 2018 ada 422 kasus, dan tahun 2019
ada 479 kasus. Kanker payudara merupakan kasus kanker tertinggi yang terjadi pada
perempuan di Sumatera Barat (Dinkes Sumatera Barat, 2020). Berdasarkan data dari
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
sudah melakukan upaya preventif dalam mendeteksi dini kanker payudara dan kanker
leher rahim seperti screening melalui metoda Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA),
papsmear, dan Pemeriksaan Payudara Klinis (Sadanis). Sumatera Barat merupakan
urutan kedua pada cakupan perempuan yang mendapat screening terbanyak di Indonesia
setelah Kepulauan Bangka Belitung sebesar 18,89%. (Kementrian Kesehatan RI, 2019).

Kanker payudara memerlukan waktu yang cukup panjang untuk berkembang dalam
tubuh penderitanya dengan berbagai macam faktor risiko. Umumnya kanker payudara
disadari oleh penderita ketika sudah berada pada stadium lanjut. Hal ini menjadi alasan
mengapa deteksi dini kanker payudara sangat penting dan kesadaran perempuan sejak
usia remaja terhadap deteksi dini kanker payudara juga sangat penting (Krisdianto, 2019).

3. GAP/Kesenjangan

Paragraf VI,VII,VIII,IX,X,XI,XII,XIII
Kurangnya kesadaran dan pengetahuan mengenai deteksi dini kanker payudara menjadi
salah satu penyebab tingginya angka kematian akibat kanker payudara. Umumnya jika
sudah mengalami keluhan berat penderita baru mempunyai kesadaran untuk melakukan
pemeriksaan ke rumah sakit, yang tidak jarang kondisi penderita sudah sampai pada
stadium lanjut. Sehingga jika penyakit telah sampai pada stadium lanjut maka akan sulit
untuk disembuhkan (Mustika et al., 2016). Rutin melakukan SADARI dan dapat
mendeteksi kanker sejak stadium dini dan menerapkan terapi secara tepat maka tingkat
kesembuhan pada penderita kanker payudara cukup tinggi yaitu sekitar 80 – 90%
(Peraturan Menteri Kesehatan No. 34 [PMK NO. 34], 2015). Riset Penyakit Tidak
Menular (PTM) pada tahun 2016 menyatakan bahwa kesadaran dan perilaku masyarakat
dalam deteksi dini kanker payudara masih sangat rendah. Hasil riset menunjukkan 53,7%
masyarakat tidak pernah melakukan SADARI, dan 95,6% masyarakat tidak pernah
melakukan SADANIS (Kementrian Kesehatan RI, 2017).
Hasil penelitian Moh et al. (2020) di Myanmar menunjukkan pengetahuan dan
kemampuan SADARI yang rendah menjadi hambatan untuk melakukan praktik
SADARI. Penelitian Paulsamy et al. (2021) di Arab Saudi menunjukkan pengetahuan
77% mahasiswi berada pada tingkat kurang, 61% mahasiswi memiliki nilai yang buruk
dalam praktik SADARI. Pengetahuan yang kurang menyebabkan kurangnya praktik
SADARI, dan dibutuhkan pendidikan kesehatan untuk mengurangi morbiditas dan
kematian terkait kanker payudara. Hasil penelitian Matthew & Rani (2021), menunjukkan
adanya hubungan pengetahuan dengan tindakan SADARI pada wanita di India. Adanya
kesenjangan informasi terkait deteksi dini dan kanker payudara sehingga dibutuhkan
pendidikan kesehatan untuk meningkatkan pengetahuan tentang kanker payudara dan
SADARI. Hasil penelitian Mihret et al. (2021) di Ethiopia menunjukkan siswa dengan
pengetahuan SADARI yang baik 12,02 kali lebih mungkin untuk melakukan praktik
SADARI yang lebih baik dari pada yang berpengetahuan buruk. Oleh karena itu, perlu
dilakukan intervensi untuk meningkatkan pengetahuan remaja putri mengenai praktik
SADARI.

Penemuan dini dimulai dengan peningkatan kesadaran masyarakat tentang perubahan


bentuk atau adanya kelainan di payudara sendiri, dengan cara memasyarakatkan program
SADARI bagi semua perempuan dimulai sejak usia subur, sebab 85% kelainan di
payudara justru pertama kali dikenali oleh penderita bila tidak dilakukan skrining massal
(Peraturan Menteri Kesehatan No. 34 [PMK NO. 34], 2015). Rendahnya sebaran
informasi dan kewaspadaan masyarakat tentang kanker payudara menyebabkan tingkat
pengetahuan remaja putri tentang pentingnya melakukan pemeriksaan payudara sendiri
(SADARI). Minat remaja putri untuk mencari informasi mengenai kanker payudara, cara
untuk mencegah dan mendeteksi dini kanker payudara dengan cara SADARI juga masih
rendah. Sebagian remaja putri juga merasa malas bahkan malu untuk melakukan
SADARI yang artinya perasaan ini menimbulkan dampak berupa kurangnya kesadaran
dan pengetahuan remaja putri mengenai kanker payudara dan SADARI (Pratama &
susanti, 2021). Oleh karena itu, penting diberikan pendidikan kesehatan tentang SADARI
terhadap remaja putri di Indonesia sebagai deteksi dini kanker payudara, yang berguna
untuk mengurangi angka kasus kanker payudara, dan menurunkan angka kematian akibat
kanker payudara.

Pendidikan kesehatan yang baik, yaitu dengan menggunakan media dan metode yang
menarik dan mudah dipahami oleh audiens, sehingga pesan yang disampaikan diserap
dengan baik dalam bentuk perubahan perilaku dan keterampilan (Nurmala et al., 2020).
Metode yang paling efektif dalam pendidikan SADARI adalah dengan memberikan
bahan bacaan berupa booklet dan melakukan simulasi atau demonstrasi dengan informasi
yang diserap sebanyak 90%. Memberikan media booklet dapat membantu komunikasi
dan menarik perhatian remaja dalam memberikan pendidikan. Menggunakan kombinasi
metode demonstrasi dan media booklet akan memberikan ingatan, kewaspadaan dan
perhatian terhadap SADARI dalam jangka panjang dan dapat digunakan dimanapun (Al-
Oseely et al., 2021). Penggunaan panca indera secara verbal dan visual bersamaan
meningkatkan pemahaman peserta menjadi 6 kali dan setelah 3 jam pemberian
pendidikan kesehatan, informasi yang masih diingat sebanyak 85% (Kementrian
Kesehatan RI, 2016b). Sehingga metode demonstrasi merupakan metode yang tepat
dalam memberikan pendidikan kesehatan untuk meningkatkan kemampuan SADARI.
Sejalan dengan tujuan penelitian ini, untuk meningkatkan kemampuan diperlukan
penyuluhan dengan metode demonstrasi dalam melakukan suatu tindakan dengan
pendidik menjelaskan secara verbal, memperlihatkan proses secara visual, memberikan
kesempatan bertanya dan berdiskusi kemudian meminta peserta didik melakukan
tindakan tersebut akan membantu mempertahankan memori peserta (Asniar et al., 2020).

Berdasarkan hasil penelitian Hartutik & Pradani (2020), menunjukkan bahwa metode
demonstrasi lebih baik digunakan dibandingkan dengan media video dimana nilai rata-
rata keterampilan praktik SADARI siswi dengan metode demonstrasi meningkat dari
10,90 menjadi 24,50. Praktik SADARI lebih cocok diajarkan dengan metode demonstrasi
dari pada media video. Hasil penelitian Saputra et al. (2021), juga menunjukkan bahwa
metode yang paling efektif dalam meningkatkan pengetahuan dan praktik SADARI
adalah metode demonstrasi dengan meningkatkan praktik sebesar 92,7%. Penelitian AM
et al. (2021) di Nigeria menunjukkan bahwa metode demonstrasi memberikan dampak
yang lebih besar dalam meningkatkan pengetahuan dan praktik SADARI siswi.
Pemberian intervensi berbasis pendidikan kesehatan dengan metode demonstrasi
memberikan perubahan positif dalam praktik pemeriksaan SADARI di Korea Selatan
(Jun, 2021). Penelitian Kissal & Kartal, (2019), menunjukkan persentase siswa yang
melakukan SADARI sebelum dan sesudah diberi pendidikan dari 14,6% meningkat
menjadi 45,8%. Penelitian tersebut mengalami keterbatasan karena jumlah sampel yang
kecil dan tidak dapat digeneralisasikan untuk semua siswa. Hal ini menjadi peluang bagi
peneliti sendiri untuk memperbesar jumlah sampel nantinya agar dapat digeneralisasikan
untuk semua siswa.

Kabupaten Tanah Datar berada di urutan kelima di Sumatera Barat dalam temuan kasus
kanker payudara pada tahun 2017 dengan 27 kasus baru dengan pemeriksaan klinis.
Walaupun bukan kasus yang tertinggi, namun jumlah kasus tersebut berisiko semakin
meningkat dari tahun ke tahun. Pada studi pendahuluan yang dilakukan peneliti, dalam 2
tahun terakhir Dinas Kesehatan Kabupaten Tanah Datar tidak melakukan pendataan
terhadap kasus kanker payudara dikarenakan fokus pendataan dipusatkan pada
pengendalian pandemi Covid-19. Hal ini membuat perhatian dan fokus pemerintah serta
masyarakat terhadap deteksi dini kanker payudara semakin menurun. Berdasarkan
keterangan dari pihak Dinas Kesehatan Kabupaten Tanah Datar, belum pernah ada
penelitian yang dilakukan mengenai deteksi dini kanker payudara dengan SADARI di
Kabupaten Tanah Datar. Pihak Dinas Kesehatan juga mengatakan bahwa dalam 2 tahun
terakhir tidak dilakukan penyuluhan terhadap remaja putri mengenai deteksi dini kanker
payudara akibat pandemic Covid-19 dan hal ini berisiko meningkatkan kasus kanker
payudara dari tahun ke tahun di Kabupaten Tanah Datar.

Hasil wawancara peneliti dengan pihak puskesmas, Kecamatan Pariangan termasuk salah
satu kecamatan yang tidak melakukan pendataan terhadap kanker payudara. Hasil
wawancara peneliti, pihak Puskesmas Kecamatan Pariangan mengatakan bahwa
puskesmas tidak melakukan penyuluhan mengenai deteksi dini kanker payudara berupa
SADARI di wilayah Kecamatan Pariangan. Sementara fenomena yang peneliti temukan,
cukup banyak penderita kanker payudara di wilayah tersebut dibuktikan dengan hasil
wawancara peneliti terhadap masing-masing Wali Nagari di Kecamatan Pariangan.
Kecamatan Pariangan terdiri dari 6 Nagari, dan peneliti melakukan studi pendahuluan ke
tiap Nagari dengan melakukan wawancara terhadap masing-masing Wali Nagari. Dari
hasil wawancara tersebut didapatkan hasil Wali Nagari Tabek Mengatakan terdapat 5
orang penderita kanker payudara di wilayah tersebut. Wali Nagari Pariangan mengatakan
terdapat 6 orang penderita kanker payudara dan 2 orang remaja putri yang mengalami
adanya benjolan pada payudara. Wali Nagari Sawah Tangah mengatakan terdapat 1 orang
penderita kanker payudara di wilayah tersebut. Wali Nagari Sungai Simabur mengatakan
terdapat 3 orang penderita kanker payudara di wilayah tersebut. Wali Nagari Sungai
Jambu mengatakan terdapat 1 orang penderita kanker payudara di wilayah tersebut. Wali
Nagari Batu Basa mengatakan terdapat 3 orang penderita kanker payudara di wilayah
tersebut. Dari hasil wawancara tersebut, maka disimpulkan terdapat 19 orang penderita
kanker payudara di wilayah Kecamatan Pariangan. Umumnya remaja putri di Kecamatan
Pariangan belum pernah mendapatkan pendidikan kesehatan mengenai SADARI, dan
memiliki pengetahuan serta keterampilan yang rendah mengenai SADARI. Remaja putri
di wilayah tersebut umumnya bersekolah di SMAN 1 Pariangan. Keadaan ini menjadi
peluang untuk melakukan penelitian di SMAN 1 Pariangan mengenai keterampilan
SADARI pada remaja putri.

Peneliti juga melakukan wawancara terhadap 13 siswi di SMAN 1 Pariangan dan


ditemukan 1 siswi mengatakan punya keluarga yang menderita kanker payudara.
Sebanyak 7 orang siswi mengatakan hanya mengetahui pengertian kanker payudara dan
tidak tahu faktor risiko, pencegahan dan penanganan kanker payudara. Sebanyak 9 orang
siswi mengatakan tidak tahu apa itu SADARI dan 4 siswi mengatakan tahu bahwa
SADARI itu adalah pemeriksaan payudara sendiri. Sebanyak 10 orang mengatakan tidak
mengetahui manfaat dari melakukan tindakan SADARI, dan 3 siswi mengatakan tahu
manfaat SADARI. Sebanyak 12 siswi mengatakan tidak mengetahui tata cara melakukan
SADARI, dan 12 orang siswi mengatakan tidak pernah melakukan SADARI, 13 siswi
mengatakan tidak mengetahui kapan waktu yang baik untuk melakukan tindakan
SADARI.

4. Pernyataan

Paragraf XIV
Dari hasil studi pendahuluan, maka peneliti menyimpulkan sebagian besar siswi di
SMAN 1 Pariangan memiliki pengetahuan dan kesadaran yang rendah mengenai deteksi
dini kanker payudara dan praktik SADARI. Sehingga diperlukan adanya upaya untuk
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan siswi di SMAN 1 Pariangan sebagai
mendeteksi dini kanker payudara dan menekan pertambahan jumlah kasus kanker
payudara, dan kematian akibat kanker payudara.

5. Masalah penelitian

Paragraf X
Pengaruh pendidikan kesehatan terhadap peningkatan pengetahuan dan kemampuan
melakukan pemeriksaan payudara sendiri (SADARI) sebagai deteksi dini kanker
payudara pada siswi SMAN 1 Pariangan dengan booklet dan metode demonstrasi.

6. Pertanyaan penelitian
Apakah ada pengaruh pendidikan kesehatan terhadap peningkatan pengetahuan dan
kemampuan melakukan pemeriksaan payudara sendiri (SADARI) sebagai deteksi dini
kanker payudara dengan booklet dan metode demonstrasi?

7. Tujuan penelitian
Menginvestigasi pengaruh pendidikan kesehatan terhadap peningkatan pengetahuan dan
kemampuan melakukan pemeriksaan payudara sendiri (SADARI) sebagai deteksi dini
kanker payudara dengan booklet dan metode demonstrasi

Anda mungkin juga menyukai