Anda di halaman 1dari 71

BAB 1

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Hipertensi masih menjadi masalah kesehatan di beberapa Negara maju dan

Negara berkembang. Timbulnya hipertensi berkaitan dengan adanya

pergeseran gaya hidup yang cenderung tidak sehat pada masyarakat.

Istilah The Sillent Killer “Pembunuh diam-diam” kerap disematkan pada

penyakit ini karena kemunculannya yang sering kali tidak disadari dan

tidak memiliki gejala spesifik. Penyakit ini juga dapat memicu timbulnya

masalah kesehatan lainnya, bahkan kematian (Nur, Yanita. 2017 : 2).

Hipertensi merupakan penyakit yang berhubungan dengan tekanan darah

manusia. Tekanan darah itu sendiri didefinisikan sebagai tekanan yang

terjadi di dalam pembuluh arteri manusia ketika darah dipompa oleh

jantung ke seluruh anggota tubuh. Alat ukur tekanan darah disebut tensi

darah. Angka yang ditunjukkan oleh alat ukur ini biasanya dua kategori

yaitu angka (tekanan) sistolik dan diastolic. Misalnya seorang yang

memiliki tekanan darah 120/80 mmHg, berarti angka 120 menunjukkan

tekanan darah pada pembuluh arteri ketika jantung berkonstraksi (systole).

Sedangkan angka 80 menunjukkan tekanan darah ketika jantung sedang

berelaksasi (diastolic) (Ridwad, Muhamad. 2017: 1).

1
2

Berdasarkan data WHO (World Health Organization), diketahui bahwa

penderita hipertensi meningkat dari 940 juta jiwa pada tahun 2019 menjadi

972 juta jiwa pada tahun 2020, angka ini meningkat menjadi 27,2% di

tahun 2021 dan diperkirakan jumlah kasus hipertensi akan terus meningkat

pada tahun 2025 menjadi 1,5 miliar atau sekitar 29% dari total penduduk

seluruh dunia, kenaikan kasus hipertensi banyak terjadi khususnya di

negara berkembang seperti di Indonesia sekitar 80% (WHO, 2021).

Berdasarkan data Riskesdas (2018) prevelensi penyakit hipertensi

berdasarkan hasil pengukuran sebesar 34,1% tertinggi di Kalimantan

Selatan (44,1%), sedangkan terendah di Papua sebesar (22,2%). Estimasi

jumlah kasus hipertensi di Indonesia sebesar 63.309.620 orang. Sedangkan

angka kasus hipertensi di provinsi Jambi termasuk 10 dalam penyakit

terbanyak, berdasarkan data badan pusat statistic provinsi Jambi pada

tahun 2019 ditetapkan penderita hipertensi sebanyak 111.991 kasus, pada

tahun 2020 sebanyak 85.096 kasus sedangkan pada tahun 2021 didapatkan

data hipertensi sebanyak 120.956 kasus (Dinkes Jambi, 2021).

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Kerinci penyakit

hipertensi masuk dalam daftar 10 penyakit terbesar di Kabupaten Kerinci.

Tahun 2019 terdapat 4.896 kasus, meningkat pada tahun 2020 menjadi

4.244 kasus sedangkan pada tahun 2021 terdapat 6.318 kasus (Dinkes

Kabupaten Kerinci, 2021).


3

Berdasarkan data yang didapatkan dari Puskesmas Hiang, jumlah pasien

yang terkena Hipertensi terhitung dari tahun 2019 hingga 2021 diketahui

pada tahun 2019 didapatkan jumlah pasien hipertensi berada di peringkat

kelima yaitu sebanyak 123 kasus, dan pada tahun 2020 pasien dengan

masalah hipertensi mengalami peningkatan dan berada diperingkat

keempat yaitu sebanyak 231 kasus, pada tahun 2021 pasien dengan

masalah hipertensi terus mengalami peningkatan dan menduduki peringkat

ketiga dengan jumlah sebanyak 254 kasus (Puskesmas Hiang, 2022).

Hipertensi sering terjadi pada lansia dikarenakan ada beberapa perubahan

fungsi tubuh yang berhubungan dengan lansia dan salah satunya terjadi

pada sistem kardiovaskuler. Perubahan terjadi pada sistem kardiovaskuler

ini disebabkan oleh penurunan elastisitas arteri dan kekakuan pada aorta.

Hal ini menyebabkan terjadinya pengapuran dan penyempitan di

sepanjang pembuluh darah. Terjadinya penyempitan dan pengapuran pada

pembuluh darah ini memacu daya kerja jantung untuk memompa darah

lebih cepat dan kuat dalam usaha memenuhi darah dan nutrisi keseluruh

tubuh. Daya kerja jantung yang semakin kuat ini yang menyebabkan

terjadinya peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolic atau hipertensi

(Padila, 2013).

Tinggi atau rendahnya kejadian hipertensi di suatu daerah, tidak

membedakan peluang terjadinya komplikasi dari hipertensi. Komplikasi


4

yang timbul akibat tidak tertanganinya hipertensi meliputi infark

miokardium, stroke, gagal ginjal dan enselofalopati (Ardiansyah, 2012).

Dengan tingginya angka kejadian penyakit hipertensi dan berbagai macam

masalah yang dapat ditimbulkan salah satunya dapat dipicu oleh tingkat

kecemasan atau ansietas. Kecemasan (anxiety) adalah kondisi emosi

dengan timbulnya rasa tidak nyaman pada diri seseorang, dan merupakan

pengalaman yang samar-samar disertai dengan perasaan yang tidak

berdaya serta tidak menentu yang disebabkan oleh suatu hal yang belum

jelas (Annisa & Ifdil, 2016). Penderita gangguan kecemasan seringkali

mengalami kondisi ini dimana ia mengalami ketakutan dan kekhawatiran

terus-menerus. Kondisi kecemasan yang seperti inilah yang dapat

melumpuhkan penderitanya untuk beraktifitas (Andrews, 2018).

Untuk mengatasi penurunan tingkat kecemasan pada pasien hipertensi

dapat dilakukan dengan terapi farmakologi yang biasanya diberikan

dengan obat-obatan, selain terapi farmakologi penurunan tingkat

kecemasan juga dapat dilakukan dengan teknik non farmakologi yaitu

dengan memberikan tindakan keperawatan terapi relaksasi otot progresif

(Saputro, 2013).

Progressive muscle relaxation (PMR) adalah terapi relaksasi dengan

gerakan mengencangkan dan melemaskan otot-otot pada satu bagian tubuh

pada satu waktu untuk memberikan perasaan relaksasi secara fisik. PMR
5

merupakan teknik manajemen stress dan ansietas telah digunakan pada

berbagai tatanan dan populasi yang telah dibuktikan menjadi terapi yang

efektif untuk digunakan perawat dalam memberikan asuhan keperawatan

ansietas. PMR telah menunjukkan manfaat dalam mengurangi ansietas

yang akan mempengaruhi berbagai gejala fisiologis dan psikologis karena

kondisi medis (Conrad & Roth, 2007).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh (Eyet Hidayat, 2017) yaitu

Pengaruh Terapi Relaksasi Otot Progresif Terhadap Penurunan Tingkat

Kecemasan Pada Penderita Hipertensi diperoleh hasil data pada kelompok

sebelum diberikan latihan terapi relaksasi otot progresif menunjukkan

seluruh responden mengalami kecemasan berat. Setelah diberikan latihan

relaksasi otot progresif sebanyak tiga kali didapatkan data tidak ada

responden yang mengalami kecemasan berat, 16 responden mengalami

penurunan tingkat kecemasan menjadi cemas sedang, dan 23 orang

responden dengan cemas ringan.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh (Sri Endriyani, 2019) yaitu

Pengaruh Teknik Relaksasi Progresif Terhadap Penurunan Tingkat

Kecemasan Pada Pasien Hipertensi diperoleh hasil yaitu terjadi penurunan

tingkat kecemasan pada pasien hipertensi setelah diberikan latihan terapi

relaksasi otot progresif dimana responden sebelum diberikan terapi

mengalami kecemasan sedang, setelah dilakukan terapi relaksasi otot


6

progresif tingkat kecemasan responden mengalami penurunan menjadi

cemas ringan.

Berdasarkan hasil survey awal yang dilakukan pada hari kamis tanggal 03

Februari 2022 jam 9.20 wib di wilayah kerja Puskesmas Hiang, penulis

melakukan wawancara kepada beberapa perawat di Puskesmas Hiang,

mereka mengatakan hipertensi termasuk dalam 10 penyakit terbanyak

khususnya wanita dan pada umumnya penderita hipertensi yang datang ke

puskesmas mengalami sakit kepala di bagian belakang, jantung berdebar-

debar, pusing, dan merasa cemas dengan penyakit yang di derita, dimana

masalah ini biasanya diatasi dengan tindakan pemberian terapi Obat

seperti Amlodipin 5 mg dan obat anti kecemasan Benzodiazepine, obat ini

digunakan untuk jangka pendek, dan tidak dianjurkan untuk jangka

panjang karena pengobatan ini menyebabkan toleransi dan

ketergantunngan. Untuk tindakan non-farmakologi biasanya perawat akan

memberikan Pendidikan Kesehatan dan terapi relaksasi kepada pasien.

Sedangkan hasil wawancara penulis dengan 8 orang penderita hipertensi. 6

dari 8 penderita hipertensi mengalami kecemasan grade sedang yang di

ukur menggunakan Skala HARS dengan memberikan pertanyaan yang

terdiri dari 14 kelompok gejala. Selama ini pasien yang mengalami

kecemasan hanya menggunakan obat anti kecemasan untuk menstabilkan

rasa cemas yang di derita. Pasien belum pernah melakukan terapi non
7

farmakologi seperti terapi relaksasi otot progresif untuk mengatasi tingkat

kecemasan di alami.

Berdasarkan data dan hasil survei peneliti tertarik untuk mengetahui dan

meneliti lebih banyak mengenai “ Pengaruh Teknik Relaksasi Progresif

Terhadap Tingkat Kecemasan Pada Pasien Hipertensi Di Wilayah

Kerja Puskesmas Hiang Tahun 2022”.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas maka penulis

tertarik untuk melakukan pemberian tindakan yaitu tentang bagaimana

“Pengaruh Teknik Relaksasi Progresif Terhadap Tingkat Kecemasan Pada

Pasien Hipertensi Di Wilayah Kerja Puskesmas Hiang Tahun 2022?”

3. Tujuan Penulisan

a. Tujuan Umum

Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan yang hendak dicapai ini

adalah untuk mengetahui adanya “Pengaruh Teknik Relaksasi

Progresif Terhadap Tingkat Kecemasan Pada Pasien Hipertensi Di

Wilayah Kerja Puskesmas Hiang Tahun 2022”


8

b. Tujuan Khusus

1. Diketahui Rata-Rata “Tingkat Kecemasan Pada Pasien Hipertensi

Sebelum Dilakukan Teknik Relaksasi Progresif Di Wilayah Kerja

Puskesmas Hiang Tahun 2022”.

2. Diketahui Rata-Rata “Tingkat Kecemasan Pada Pasien Hipertensi

Setelah Dilakukan Teknik Relaksasi Progresif Di Wilayah Kerja

Puskesmas Hiang Tahun 2022”.

3. Diketahui “Pengaruh Teknik Relaksasi Progresif Terhadap Tingkat

Kecemasan Pada Pasien Hipertensi Di Wilayah Kerja Puskesmas

Hiang Tahun 2022”.

4. Manfaat Penulisan

a. Bagi Perawat

Untuk menambah pengetahuan dan keterampilan dalam upaya

meningkatkan kualitas asuhan keperawatan pada pasien dengan

hipertensi Di Wilayah Kerja Puskesmas Hiang dengan baik dan

cepat sehingga masalah pasien dapat teratasi.

b. Bagi Institusi Pendidikan

Sebagai bahan masukan dan informasi bagi Akademi Keperawatan

Bina Insani Sakti Sungai Penuh Juga untuk menambah ilmu dan

teknologi terapan bidang keperawatan dalam mengetahui Pengaruh

Teknik Relaksasi Progresif Terhadap Tingkat Kecemasan Pada

Pasien Hipertensi Di Wilayah Kerja Puskesmas Hiang Tahun 2022.


9

c. Bagi Wilayah Kerja Puskesmas Hiang

Membudayakan pada keluarga Pengaruh Teknik Relaksasi

Progresif Terhadap Tingkat Kecemasan sebagai upaya untuk

menurunkan kecemasan Pada Pasien Hipertensi Di Wilayah Kerja

Puskesmas Hiang Tahun 2022.


BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

A. Konsep Dasar Teoritis Hipertensi

1. Anatomi dan Fisiologi Kardiovaskuler

a. Anatomi Sistem Kardiovaskular

Gambar 2.1 Anatomi Jantung

10
Sumber Devi (2017 : 43)

11
11

Sistem Kardiovaskular merupakan organ sirkulasi darah yang

terdiri dari jantung, komponen darah dan pembuluh darah yang

berfungsi memberikan dan mengalirkan suplai oksigen dan nutrisi.

Menurut Devi (2017 : 43-60), fisiologi sistem kardivaskuler yaitu :

1) Jantung

Jantung terbentuk seperti piramida terbalik dengan apeks

(superiore-posterior : C-II)) berada di bawah dan basis

(anterior-inferior : ICS-V) berada diatas. Pada basis jantung

terdapat aorta, batang nadi paru, pembuluh balik atas dan

bawah. Jantung sebagai pusat sistem kardiovaskular terletak di

sebelah rongga dada (chavum thorax) sebelah kiri yang

terlindungi oleh costae tepatnya pada mediastinum. Berat

jantung pada orang dewasa sekitar 250-350 gram. Otot jantung

terdiri dari 3 lapis yaitu :

a) Luar/pericardium

Berfungsi sebagai pelindung jantung atau merupakan

kantong pembungkus jantung yang terletak di mediastinum

minus dan di belakang korpus sternum dan rawan iga. II-IV

yang terdiri dari 2 lapisan fibrosa dan serosa yaitu lapisan

parietal dan viseral.

b) Tengah/miokardium

Lapisan otot jantung yang menerima darah dari arteri

kronaria.
12

c) Dalam/endokardium

Dinding dalam atrium yang di liputi oleh membran yang

mengilat yang terdiri dari jaringan endotel atau selaput

lendir endokardium kecuali aurikula dan bagian depan

sinus vena kava.

Jantung terdiri dari 4 ruangan yaitu :

a) Atrium dekstra : terdiri dari rongga utama dan aurikula

di luar, bagian dalamnya membentuk suatu rigi atau

krista terminalis.

b) Ventrikel dekstra : berhubungan dengan atrium kanan

melalui osteum atrioventrikel dekstrum dan dengan

traktus pulmonalis melalui osteum pulmonalis.

c) Atrium sinistra : Terdiri dari rongga utama dan

aurikula.

d) Ventrikel sinistra : berhubungan dengan atrium sinistra

melalui osteum atrioventrikuler sinistra dan dengan

aorta melalui osteum aorta.

2) Pembuluh darah

Pembuluh darah adalah prasarana jalan bagi aliran darah ke

seluruh tubuh. Pembuluh darah terdiri atas arteri dan vena.

Arteri berhubungan langsung dengan vena pada bagian kapiler

dan venula yang di hubungkan oleh bagian endotheliumnya.

Arteri dan vena terletak bersebelahan. Dinding arteri lebih tebal

daripada dinding vena. Dinding arteri dan vena mempunyai


13

tiga lapisan yaitu lapisan bagian dalam yang terdiri dari

endothelium, lapisan tengah terdiri dari otot polos dengan serat

elastis dan lapisan luar yang terdiri atas jaringan ikat di tambah

dengan serat elastis. Cabang terkecil dari arteri dan vena

disebut kapiler.

2. Definisi

Hipertensi atau penyakit tekanan darah tinggi adalah suatu keadaan

kronis yang ditandai dengan meningkatnya tekanan darah pada dinding

pembuluh darah arteri (Nur, Yanita 2017: 2).

Hipertensi merupakan penyakit yang berhubungan dengan tekanan

darah manusia. Tekanan darah itu sendiri didefinisikan sebagai

tekanan yang terjadi di dalam pembuluh arteri manusia ketika darah di

pompa oleh jatung keseluruh anggota tubuh. Angka yang ditunjukkan

ada dua kategori yaitu angka sistolik dan diastolic (Ridwan, Muhamad.

2017: 1).

Penyakit darah tinggi merupakan suatu gangguan pada pembuluh

darah dan jantung yang mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang

dibawa oleh darah terhambat sampai kejaringan tubuh yang

membutuhkannya (Pudiastuti, 2015: 14).


14

3. Klasifikasi

Tabel 2.1
Klasifikasi Hipertensi

Klasifikasi Tekanan Tekanan Sistolik dan Diastolik


Darah (mmHg)

Normal Sistol<120 dan Diastol < 80

Prehipertensi Sistole 120-139 dan Diastole


80-89

Hipertensi Stadium 1 Sistole 140-159 dan Diastole


90-99

Hipertensi Stadium 2 Sistole >160 dan Diastole


>100

Sumber Pudiastuti (2015 : 18)

4. Etiologi

Menurut Udjianti (2010 : 107), etiologi yang pasti dari hipertensi

belum diketahui. Namun, sejumlah interaksi beberapa energi

homeostatik saling terkait. Efek awal diperkirakan pada mekanisme

pengaturan cairan tubuh dan tekanan oleh ginjal. Faktor hereditas

berperan penting bila mana ketidakmampuan genetik dalam mengolah

kadar natrium normal. Kelebihan intake natrium dalam diet dapat

meningkatkan volume cairan dan curah jantung. Pembuluh darah

memberikan reaksi atas peningkatan aliran darah melalui kontraksi

atau peningkatan tahanan perifer. Tekanan darah tinggi adalah hasil

awal dari peningkatan curah jantung yang kemudian dipertahankan

pada tingkat yang lebih tinggi sebagai suatu timbal balik peningkatan

tahanan perifer.
15

Etiologi hipertensi sekunder umumnya diketahui. Berikut ini beberapa

kondisi yang menjadi penyebab terjadinya hipertensi sekunder :

a. Penggunaan kontrasepsi hormonal (estrogen)

Oral kontrasepsi yang berisi estrogen dapat menyebabkan

hipertensi melalui mekanisme Renin-aldosteron-mediated volume

expansion. Dengan penghentian oral kontrasepsi, tekanan darah

normal kembali setelah beberapa bulan.

b. Penyakit parenkim dan vaskuller ginjal

Merupakan penyebab utama hipertensi sekunder. Hipertensi

renovaskuler berhubungan dengan penyempitan satu atau lebih

arteri besar yang secara langsung membawa darah ke ginjal.

Sekitar 90% lesi arteri renal pada klien dengan hipertensi

disebabkan oleh ateroklerosis atau fibrous diplasia (pertumbuhan

abnormal jaringan fibrous). Penyakit parenkim ginjal terkait

dengan infeksi, inflamasi dan perubahan struktur, serta fungsi

ginjal.

c. Gangguan Endokrin

Disfungsi medula adrenal atau korteks adrenal dapat menyebabkan

hipertensi sekunder. Adrenal-mediatedhypertension disebabkan

kelebihan primer aldosteron, kortisol dan katekolamin.

d. Neorogenik : Tumor otak, encephalitis, dan gangguan psikiatrik.


16

e. Kehamilan

Terjadinya perubahan hormon estrogen pada tubuh, yang

menyebabkan munculnya plak pada pembuluh darah sehingga

menghambat sirkulasi darah dan memicu tekanan darah tinggi.

f. Merokok

Nikotin dalam rokok merangsang pelepasan katekolamin.

Peningkatan katekolamin menyebabkan iritabilitas miokardial,

peningkatan denyut jantung, dan menyebabkan vasokontriksi, yang

mana pada akhirnya meningkatkan tekanan darah.

Hipertensi Esensial (primer) tidak memiliki kelainan dasar patologis

yang jelas. Hipertensi ini lebih dipengaruhi oleh faktor genetik dan

lingkungan. Sebaliknya, hipertensi yang disebabkan oleh kondisi

tertentu atau komplikasi dari penyakit lain termasuk dalam jenis

hipertensi sekunder. Tekanan darah tinggi jenis ini Seringkali muncul

secara tiba-tiba dan dapat menjadi lebih parah dibandingkan hipertensi

esensial (primer). Berbagai kondisi yang dapat melatar belakangi

hipertensi sekunder antara lain sleep opnea, masalah tiroid, masalah

ginjal, hingga konsumsi obat-obatan tertentu seperti pil KB,

dekongestan, dan obat-obatan ilegal.

5. Patofisiologi

Menurut Muttaqin (2009 : 114-116), pengaturan tekanan arteri

meliputi kontrol sistem persarafan yang kompleks dan hormonal yang

saling berhubungan satu sama lain dalam memengaruhi curah jantung


17

dan tahanan vaskular perifer. Hal lain yang ikut dalam pengaturan

tekanan darah adalah refleks beroreseptor dengan mekanisme berikut

ini, Curah jantung di tentukan oleh volume sekuncup dan frekuensi

jantung. Tahanan perifer di tentukan oleh diameter arteriol. Bila

diameternya menurun (vasokontriksi), tahanan perifer meningkat, bila

diameternya meningkat (vasodilitasi), tahanan perifer akan meuruun.

Pengaturan primer tekanan arteri di pengaruhi oleh baroreseptor pada

sinus karotikus dan arkus aorta yang akan menyampaikan impuls ke

pusat saraf simpatis di medula. Impuls tersebut akan menghambat

stimulus sistem saraf simpatis. Bila tekanan arteri meningkat, maka

ujung-ujung baroreseptor akan teregang. Sehingga bangkit dan

menghambat pusat simpatis. Hal ini akan menurunkan tegangan pusat

simpatis, akibatnya frekuensi jantung akan menurun, arteriol

mengalami dilatasi, dan tekanan arteri kembali ke level awal.

Selanjutnya akan dibahas mekanisme lain dengan efek yang lebih

lama. Renin diproduksi oleh ginjal ketika aliran darah ke ginjal

menurun. Akibatnya terbentuklah angiotensin I, yang akan berubah

menjadi angiotensin II. Angiotensin II meningkatkan tekanan darah

dengan mengakibatkan kontraksi langsung pada arteriol. Secara tidak

langsung juga merangsang pelepasan aldosteron, yang mengakibatkan

retensi natrium dan air dalam ginjal. Respons tersebut meningkatkan

volume cairan eksraseluler, yang pada fikirannya meningkatkan aliran

darah yang kembali ke jantung, sehingga meningkatkan volume


18

sekuncup dan curah jantung. Ginjal juga mempunyai mekanisme

intrinsik untuk meningkatkan retensi natrium dan cairan.Bila terdapat

gangguan menetap yang menyebabkan kontruksi arteriol, tahanan

perifer total dan tekanan arteri merata meningkat. Dalam menghadapai

gangguan menetap, curah jantung harus di tingkatkan untuk

mempertahankan keseimbangan sistem. Hal tersebut di perlukan untuk

mengatasi tahanan, sehingga oksigen dan nutrien ke sel dan

pembuangan produk sampah sel tetap terpelihara. Untuk

memungkinkan curah jantung, sistem saraf simpatis akan merangsang

jantung untuk berdenyut lebih cepat, juga meningkatkan volume

sekuncup dengan cara membuat vasokontriksi selektif pada organ

perifer, sehingga darah yang kembali ke jantung lebih banyak.

Dengan adanya hipertensi kronis, Beroreseptor akan terpasang dengan

level yang lebih tinggi, dan akan merespons meskipun level yang baru

tersebut sebenarnya normal. Pada mulanya, mekanisme tersebut

bersifat kompensasi. Namun, proses adaptif tersebut membuka jalan

dengan memberikan pembebanan pada jantung. Pada saat yang sama,

terjadilah perubahan degeneratif pada arteriol yang menanggung

tekanan tinggi terus-menerus.

Perubahan tersebut terjadi dalam organ seluruh tubuh. Termasuk

jantung, mungkin akibat berkurangnya pasokan darah ke

miokardiunm. Untuk memompa darah, jantung harus bekerja keras


19

untuk mengatasi tekanan balik muara aorta. Akibat beban kerja ini,

otot ventrikel kiri mengalami hipertrofi atau membesar. Terjadilah

dilatasi dan pembesaran jantung. Kedua perubahan struktural tersebut

bersifat adaptif, keduanya meningkatkan volume sekuncup jantung.

6. Manifestasi Klinis

Menurut Padila (2017 : 359), manifestasi klinis hipertensi adalah :

a. Tidak ada gejala

Tidak ada gejala yang spesifik yang dapat dihubungkan dengan

peningkatan tekanan darah, selain penentuan tekanan arteri oleh

dokter yang memeriksa. Hal ini berarti hipertensi arterial tidak

akan pernah terdiagnosa jika tekanan arteri tidak terukur.

b. Gejala yang lazim

Sering dikatakan bahwa gejala terlazim yang menyertai hipertensi

meliputi nyeri kepala kepala dan kelelahan. Dalam kenyataannya

ini merupakan gejala terlazim yang mengenai kebanyakan pasien

yang mencari pertolongan medis.

7. Komplikasi

Menurut Dewi dan Familia (2014 : 53), komplikasi hipertensi adalah:

a. Arteriosklerosis atau penyumbatan di pembuluh darah atau

terjadinya pergeseran pembuluh darah arteri karena tekanan yang

terlalu besar. Dikarenakan hipertensi yang tinggi, dinding arteri

lama-kelamaan akan kaku dan menebal. Akibatnya, aliran darah


20

menjadi tidak lancar. Selain itu, juga dibutuhkan tekanan yang

lebih kuat sebagai kompensasi atau imbalannya.

b. Aterosklerosis atau ateroklerosis adalah suatu keadaan arteri besar

dan kecil yang ditandai oleh endapan lemak, trombosit, makrofag,

dan leukosit di seluruh lapisan tunika intima dan akhirnya ke

tunika media.

c. Aneurisma adalah kelainan pembuluh darah di otak karena

lemahnya dinding pembuluh darah. Dinding pembuluh darah

tersebut tidak mampu menahan tekanan darah yang relatif tinggi.

Melalui proses sekian lama, Terjadilah penggelembungan atau

pelebaran yang disebut dilatasi. Gelembung yang awalnya kecil itu

dapat membesar seiring bertambahnya usia dan makin

melemahnya dinding pembuluh. Kondisi ini akan menjadi fatal jika

kemudian pecah.

d. Penyakit pada arteri koronaria. Arteri koronaria adalah pembuluh

darah utama yang memberikan pasokan darah pada otot jantung.

Apabila arteri ini mengalami gangguan, Misalnya plak, maka aliran

darah ke jantung akan terganggu sehingga organ-organ tubuh

kekurangan darah.

e. Ginjal, Hipertensi yang lambat/berat dapat menyebabkan

kerusakan ginjal sehingga fungsi ginjal menurun. Fungsi ginjal

yang menurun menyebabkan darah yang disaring menjadi

berkurang sehingga jumlah urin yang dihasilkan menurun dan zat-


21

zat yang seharusnya dibuang seperti urea menumpuk dalam

darah/plasma.

8. Pemeriksaan Diagnostik

Menurut Udjianti (2011 : 109-110), Pemeriksaan Diagnostik pada

hipertensi adalah :

a. Hitung darah lengkap (Complete Blood Cells Couni) meliputi

pemeriksaan hemoglobin, hematokrit untuk menilai viskositas dan

indikator faktor risiko seperti hiperkoagulabilitas, anemia.

b. Kimia darah

1) BUN, kreatinin : peningkatan kadar menandakan penurunan

perfusi atau faalrenal.

2) Serum glukosa : hiperglisemia (diabetes melitus adalah

presipitator hipertensi) akibat dari peningkatan kadar

katekolamin.

3) Kadar kolesterol atau trigliserida : peningkatan kadar

mengindikasikan predisposisi pembentukan plaque

atheromatus.

4) Kadar serum aldosteron.

5) Studi tiroid

c. Elektrolit : serum potasium atau kalium dan Serum kalsium bila

meningkat berkontribusi terhadap hipertensi.

d. Radiologi : IVP, BPH dan Rontgen Toraks.


22

e. EKG : menilai adanya hipertrofi miokard, pola strain, gangguan

konduksi atau distritmia.

9. Penatalaksanaan

Menurut Padila (2017 : 361-365), Penatalaksanaan pada hipertensi

adalah :

a. Terapi tanpa obat

Terapi tanpa obat digunakan sebagai tindakan untuk hipertensi

ringan dan sebagai tindakan suportif pada hipertensi sedang dan

berat. Terapi tanpa obat ini meliputi, diet, latihan fisik, edukasi

psikologis, dan pendidikan kesehatan (penyuluhan).

b. Terapi dengan obat

Tujuan pengobatan hipertensi tidak hanya menurunkan tekanan

darah saja tetapi juga mengurangi dan mencegah komplikasi akibat

hipertensi agar penderita dapat bertambah kuat. Pengobatan

hipertensi umumnya perlu dilakukan seumur hidup penderita.

Pengobatannya meliputi :

1) Step 1 : Obat pilihan pertama : diuretika, beta blocker, Ca

antagonis, ACE inhibitor

2) Step 2 : Alernatif yang bisa diberikan

3) Step 3 : Alternatif yang bisa ditempuh

4) Step 4 : Alternatif pemberian obatnya


23

c. Follow Up untuk mempertahankan terapi

Untuk mempertahankan terapi jangka panjang memerlukan

interaksi dan komunikasi yang baik antara pasien dan petugas

kesehatan (perawat, dokter) dengan cara pemberian pendidikan

kesehatan.

B. Konsep Ansietas (Kecemasan)

1. Definisi

Ansietas merupakan perasaan tidak tenang yang samar-samar karena

ketidaknyamanan atau rasa takut yang disertai suatu respons (penyebab

tidak spesifik atau tidak diketahui oleh individu) (Yusuf, Fitryasari &

Tristiana, 2019).

Menurut Stuart (2012) menyatakan bahwa ansietas adalah perasaan

tidak tenang yang samar-samar karena ketidaknyamanan atau

ketakutan yang disertai dengan ketidakpastian, ketidakberdayaan,

isolasi, dan ketidakamanan. Perasaan takut dan tidak menentu dapat

mendatangkan sinyal peringatan tentang bahaya yang akan datang dan

membuat individu untuk siap mengambil tindakan menghadapi

ancaman (Sutejo, 2019: 145).


24

2. Jenis-jenis Anxiety (Kecemasan)

a. Gangguan Kecemasan Umum

(Generalized Anxiety Disorder)

Seseorang yang menderita gangguan kecemasan umum bisa merasa

cemas atau khawatir secara berlebihan terhadap berbagai hal, mulai

dari pekerjaan, kesehatan, hingga hal-hal yang sederhana, seperti

berinteraksi dengan orang lain.

Selain munculnya rasa cemas yang mengganggu, penderita

gangguan kecemasan umum juga dapat merasa cepat lelah, tegang,

mual, sakit kepala, sulit berkonsentrasi, sesak, dan insomnia.

b. Fobia

Fobia merupakan jenis gangguan anxiety yang membuat

penderitanya memiliki rasa takut yang berlebihan dan cenderung

tidak rasional terhadap suatu benda, binatang, atau situasi tertentu

yang tidak menimbulkan rasa takut pada kebanyakan orang.

c. Gangguan Kecemasan Sosial

Penderita gangguan kecemasan sosial atau dikenal juga fobia sosial

memiliki kecemasan atau ketakutan yang luar biasa terhadap

lingkungan sosial atau situasi dimana mereka harus berinteraksi

dengan orang lain.

Penderita fobia ini selalu merasa diawasi dan dinilai oleh orang

lain, serta takut atau merasa malu secara berlebihan saat berada di

keramaian. Hal-hal tersebut membuat penderita selalu berusaha


25

menghindari situasi yang mengharuskan ia bertemu atau

berinteraksi dengan banyak orang.

d. PTSD (Post-Traumatic Stres Disorder)

Gangguan stress pascatrauma atau PTSD dapat muncul pada

seseorang yang pernah mengalami kejadian traumatis atau berada

di situasi berbahaya yang mengancam nyawa. Orang yang

menderita PTSD sering kali susah untuk melupakan pengalaman

traumatisnya, baik terlintas dalam benak atau saat bermimpi, yang

kemudian membuatnya merasa bersalah, terisolasi, dan sulit

bersosialisasi dengan orang lain. Terkadang orang yang memiliki

PTSD juga bisa mengalami insomnia dan bahkan depresi.

e. Gangguan panik

Anxiety dan serangan panik akibat gangguan ini dapat muncul

kapan saja dan terjadi secara tiba-tiba atau berulang. Ketika gejala

panik muncul, penderita gangguan panik biasanya dapat merasakan

sejumlah gejala lain, seperti berdebar-debar, berkeringat dingin,

pusing, sesak napas, serta tubuh gemetar dan terasa lemas.

f. Gangguan Obsesif Kompulsif (OCD)

Orang yang menderita gangguan OCD memiliki kecenderungan

untuk melakukan sesuatu secara berulang-ulang untuk meringankan

rasa cemas yang berasal dari pikirannya sendiri. Contohnya,

mencuci tangan harus sebanyak 7 kali karena ia berpikir tangannya

masih kotor.
26

Gangguan ini sulit dikendalikan, bersifat menetap, dan dapat

kambuh kapan saja sehingga membuat penderitanya terganggu

untuk melakukan aktivitas sehari-hari.

3. Faktor Predisposisi

Menurut Indra Ruswadi (2021 : 102), faktor predisposisi pada ansietas

adalah :

a. Faktor Biologis

Otak mengandung reseptor khusus, yaitu benzodiazepine, yang

bertugas dalam mengelola dan mengatur kecemasan. Selain itu ada

pula penghambat GABA dan juga endorfin yang berperan dalam

mengelola kecemasan. Kadang kecemasan menimbulkan berbagai

perubahan dan gangguan fisik. Bila kecemasan tidak ditangani

dengan baik, dapat menurunkan kapasitas seseorang untuk

mengatasi stressor.

b. Faktor Psikologis

1) Pandangan psikoanalitik

Kecemasan adalah konflik emosional yang terjadi antara 2

elemen kepribadian, yaitu: Id dan super-ego. Id mewakili

dorongan insting dan impuls primitive, sedangkan super-ego

mencerminkan hati nurani seseorang yang dikendalikan oleh

norma-norma budaya seseorang.

1. Pandangan Interpersonal

Kecemasan timbul dari perasaan takut terhadap penerimaan dan

penolakan interpersonal.
27

2. Pandangan Perilaku

Kecemasan merupakan produk frustasi, yaitu segala sesuatu

yang mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai

tujuan yang diinginkan.

c. Faktor Sosial Budaya

Kecemasan merupakan hal yang biasa ditemui dalam keluarga.

Faktor ekonomi, latar belakang pendidikan berpengaruh terhadap

terjadinya kecemasan.

4. Faktor Presipitasi

Menurut Indra Ruswadi (2021 : 103), faktor presipitasi pada ansietas

adalah :

a. Ancaman terhadap integritas seseorang, seperti: ketidak mampuan

atau penurunan fungsi fisiologis akibat sakit sehingga mengganggu

individu untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari.

b. Ancaman terhadap sistem diri seseorang. Ancaman ini akan

menimbulkan gangguan terhadap identitas diri, dan fungsi sosial

individu.

5. Tingkat Kecemasan
28

Menurut Stuart (2016), tingkat kecemasan atau ansietas dapat dibagi

menjadi :

a. Cemas Ringan

Cemas ringan terjadi saat ketegangan hidup seseorang. Selama

tahap ini seseorang waspada dan lapang persepsi meningkat.

Kemampuan seseorang untuk melihat, mendengar dan menangkap

lebih dari sebelumnya. Jenis kecemasan ringan dapat memotivasi

belajar dan menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas.

b. Cemas Sedang

Seseorang berfokus pada hal yang penting saja. Lapang persepsi

menyempit sehingga kurang melihat, mendengar dan menangkap.

Seseorang memblokir area tertentu tetapi masih mampu mengikuti

perintah jika diarahkan untuk melakukannya.

c. Cemas Berat

Cemas berat ditandai dengan penurunan yang signifikan di lapang

persepsi. Cenderung memfokuskan pada hal yang detail dan tidak

berpikir tentang hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk

mengurangi ansietas, dan banyak arahan yang dibutuhkan untuk

fokus pada area lain.

d. Panik

Panik dikaitkan dengan rasa takut dan teror, sebagian orang yang

mengalami kepanikan tidak dapat melakukan hal-hal bahkan


29

dengan arahan. Gejala panik adalah peningkatan aktifitas motorik,

penurunan kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain,

persepsi yang menyempit dan kehilangan pemikiran rasional.

Orang panik tidak mampu berkomunikasi atau berfungsi secara

efektif.

6. Cara Mengurangi/Menurunkan Kecemasan

a. Penatalaksanaan Farmakologi

Pengobatan untuk anti kecemasan terutama benzodiazepine, obat

ini digunakan untuk jangka pendek, dan tidak dianjurkan untuk

jangka panjang karena pengobatan ini menyebabkan tolenransi dan

ketergantungan. Obat anti kecemasan nonbenzodiazepine, seperti

buspiron (Busppar) dan berbagai antidepresan juga digunakan.

b. Penatalaksanaan Non Farmakologi

Banyak pilihan terapi non farmakologi yang merupakan tindakan

mandiri perawat dengan berbagai keuntungan diantaranya tidak

menimbulkan efek sampan, simple dan tidak berbiaya mahal.

Perawat dapat melakukan terapi-terapi seperti relaksasi, distraksi,

meditasi, imajinasi. Terapi relaksasi adalah teknik yang didasarkan

kepada keyakinan bahwa tubuh berespon pada ansietas yang

merangsang pikiran karena nyeri atau kondisi penyakitnya. Teknik

relaksasi dapat menurunkan ketegangan fisiologis. Terapi relaksasi

memiliki berbagai macam latihan yaitu latihan nafas dalam,

massage, relaksasi progresif, imajinasi, biofeedback, yoga,


30

meditasi, sentuhan terapeutik, terapi musik, serta humor dan tawa

(Berman & Snyder, 2010).

7. Alat Ukur Kecemasan

a. The State-Trait Inventory For Cognitive And Somatic Anxiety

(STICSA)

Alat ukur ini dikembangkan oleh Ree, Macleod, French dan Locke

(2001). STICSA adalah alat ukur yang didesain untuk mengkaji

gejala kognitif dan somatik dari tingkat kecemasan saat ini dan

secara umum. Terdiri dari 21 pertanyaan untuk mengetahui

bagaimana responden “rasakan sekarang, pada waktu sekarang,

kejadian sekarang yang ia pun tidak tau bagaimana ia

merasakannya”. Menggunakan skala Likert yang terdiri dari 4 poin

dimulai dari 1 dengan tidak ada gejala sampai 4 atau

banyak/sering.

b. Hospital Anxiety Depression Scale (HARD)

HARD dikembangkan oleh Zigmond dan Saith (1983) yang berisi

36 pertanyaan tentang kecemasan dan telah diuji kembali validitas

dan reliabilitasnya sebagai alat ukur kecemasan dan depresi oleh

Loannis Michopoulos (2007).

c. Zung Self Rating Anxiety Scale (ZSAS)

ZSAS dikembangkan oleh Wiliam W. K. Zung (1971) adalah

metode pengukuran tingkat kecemasan. Skala berfokus pada

kecemasan umum dan koping dalam mengatasi stress. Terdiri dari


31

20 pertanyaan dengan 15 pertanyaan tentang peningkatan

kecemasan dan 5 pertanyaan tentang penurunan kecemasan.

d. Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS)

HARS dibuat oleh M. Hamilton pada tahun 1959 yang terdiri atas

14 pertanyaan tentang suasana hati, ketegangan, ketakutan,

insomnia, konsentrasi, depresi, tonus otot, sensori somatik, gejala

kardiovaskuler, gejala sistem respirasi, gejala sistem

gastrointestinal, gejala sistem genitourinaria, gejala otonom dan

perilaku. Masing-masing kelompok dalam 14 kategori ini dibagi

menjadi beberapa item pertanyaan. Kategori yang dihasilkan

adalah cemas ringan, sedang dan berat.

Hamilton mengklasifikasikan kecemasan dalam lima tingkatan

berdasarkan gejala kecemasan yaitu:

0 = Tidak cemas (<14)

1 = Cemas ringan (14-20)

2 = Cemas sedang (21-27)

3 = Cemas berat (28-41)

4 = Panik (42-56)

Pudiastuti mengklasifikasikan tekanan darah menjadi empat

tingkatan yaitu:

Normal = Sistole <120 dan Diastole <80


32

Prehipertensi = Sistole 120-139 dan Diastole 80-89

Hipertensi Stadium 1 = Sistole 140-159 dan Diastole 90-99

Hipertensi Stadium 2 = Sistole >160 dan Diastole >100

e. Beck Anxiety Inventory (BAI)

BAI merupakan kuesioner self-report yang dirancang untuk

mengukur keparahan kecemasan dan membedakan antara

kecemasan dengan depresi. Terdiri dari 21 pertanyaan dan masing-

masing pertanyaan ada empat poin menggunakan skala likert

dengan skor terendah 0 dan tertinggi 63.

f. Geriatric Anxiety Inventory (GAI)

Terdiri dari 20 pertanyaan yang dirancang untuk mengukur gejala

kecemasan pada orang dewasa yang lebih tua/lansia. Menggunakan

format pilihan tanggapan setuju atau tidak setuju. Skor maksimal

20, dengan skor tertinggi menunjukkan tingkat kecemasan tinggi.

g. Worry Scale

Skala kecemasan yang dipakai untuk mengukur kekhawatiran

dibidang kesehatan (17 item), keuangan (5 item), kondisi siosial

(13 item), dengan skor berkisar antara 0-140 pada lansia (Mueller,

2014).

h. Geriatric Anxiety Scale (GAS)

Alat ukur yang dirancang untuk digunakan pada orang dewasa

yang lebih tua atau lansia. Dibuat berdasarkan berbagai gejala

kecemasan yang termasuk dalam manual diagnostik dan statistik

gangguan mental dan berbeda dari alat ukur kecemasan lain yang
33

tidak sepenuhnya membahas tentang gejala DSM yang lengkap.

Pada GAS terdiri dari 30 pertanyaan yang mengarah pada setiap

gejala yang dialami pada minggu lalu sampai saat sekarang.


33

C. Konsep Teknik Relaksasi Otot Progresif

1. Defenisi

Progressive muscle relaxation (PMR) adalah terapi relaksasi dengan

gerakan mengencangkan dan melemaskan otot-otot pada satu bagian

tubuh pada satu waktu untuk memberikan perasaan relaksasi secara

fisik. Gerakan mengencangkan dan melemaskan secara progresif

kelompok otot ini dilakukan secara berturut-turut. Pada saat tubuh dan

pikiran rileks, secara otomatis ketegangan yang seringkali membuat

otot-otot mengencang akan diabaikan (Conrad & Roth, 2007 : 171).

Teknik relaksasi otot progresif merupakan suatu terapi relaksasi yang

diberikan kepada pasien dengan menegangkan otot-otot tertentu

dengan mengombinasikan latihan nafas dalam dan serangkaian seri

kontraksi dan relaksasi otot tertentu (Ruswadi, Indra 2010: 111).

Teknik relaksasi otot progresif memusatkan perhatian pada suatu

aktivitas otot dengan mengidentifikasi otot yang tegang kemudian

menurunkan ketegangan dengan melakukan teknik relaksasi untuk

mendapatkan perasaan rileks (Herodes, 2010).

2. Manfaat Terapi Relaksasi Otot Progresif

Menurut Suratini (2013), manfaat dari terapi relaksasi otot progresif

adalah :
34

a. Menurunkan kecemasan dan meningkatkan kualitas hidup pasien

yang menjalani proses dialysis.

b. Mengurangi kecemasan yang berimplikasi pada mual dan muntah

pasien yang menjalani kemoterapi

c. Menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi primer.

3. Tujuan Terapi Relaksasi Otot Progresif

Menurut Herodes (2010), tujuan dari teknik ini adalah untuk:

a. Menurunkan ketegangan otot, kecemasan, nyeri leher dan

punggung, tekanan darah tinggi, frekuensi jantung, laju metabolic

b. Mengurangi disritmia jantung, kebutuhan oksigen

c. Meningkatkan gelombang alfa otak yang terjadi ketika klien sadar

dan tidak memfokuskan perhatian serta rileks

d. Meningkatkan rasa kebugaran, konsentrasi

e. Memperbaiki kemampuan untuk mengatasi stress

f. Mengatasi insomnia, depresi, kelelahan, iritabilitas, spasme otot,

fobia ringan, gagap ringan

g. Membangun emosi positif dari emosi negatif

4. Pelaksanaan Terapi Relaksasi Otot Progresif Untuk Mengatasi

Kecemasan

Menurut Jacobson (2014 : 175-186) Prosedur pelaksanaan Terapi

Relaksasi Otot Progresif prosedurnya sebagai berikut :

a. Tahap Prainteraksi
35

1) Menyiapkan alat dan lingkungan : Alat tulis, Format evaluasi

proses, Buku kerja, Tempat tidur atau kursi, Bantal, Format

dokumentasi perawat, Serta lingkungan yang tenang dan sunyi

2) Menempatkan alat di dekat klien dengan benar

b. Tahap Orientasi

1) Memberi salam dan menyapa klien

2) Menjelaskan tujuan, manfaat, dan posedur tindakan pada klien

3) Menanyakan persetujuan dan kesiapan klien

c. Tahap kerja

1) Minta klien untuk melepaskan aksesoris yang digunakan

seperti kacamata, jam, dan sepatu

2) Longgarkan ikatan dasi, ikat pinggang atau hal lain yang

sifatnya mengikat ketat

3) Posisikan tubuh klien pada tempat duduk atau tempat tidur

secara nyaman yaitu berbaring dengan mata tertutup anjurkan

klien menarik nafas dalam lalu hembuskan secara perlahan 3-5

kali

a) Gerakan 1: Gerakan pertama ditujukan untuk otot dahi dan

mata yang dilakukan dengan cara mengerutkan dahi dan alis

sekeras-kerasnya, memejamkan mata sekuat-kuatnya hingga

kulit terasa mengerut dan dirasakan ketegangan disekitar dahi,


36

alis dan mata. Lemaskan dahi, alis dan mata secara perlahan

hingga 10 detik lakukan kembali sekali lagi.

b) Gerakan 2: Gerakan kedua bertujuan untuk mengendurkan

ketegangan yang dialami oleh otot-otot pipi dengan cara

mengembungkan pipi sehingga terasa ketegangan di sekitar

otot-otot pipi. Lemaskan dengan cara meniup secara perlahan

hingga 10 detik lakukan kembali sekali lagi.


37

c) Gerakan 3: Gerakan ketiga ini dilakukan untuk mengendurkan

otot-otot sekitar mulut. Moncongkan bibir kedepan sekeras-

kerasnya hingga terasa tegang di mulut. Lemaskan mulut dan

bibir secara perlahan hingga 10 detik lakukan kembali sekali

lagi.

d) Gerakan 4: Gerakan keempat bertujuan untuk mengendurkan

ketegangan yang dialami oleh otot-otot rahang dan mulut

dengan cara mengatupkan mulut sambil menggigit gigi sekuat-

kuatnya sambil tarik lidah ke belakang sehingga terasa

ketegangan di sekitar otot-otot rahang. Lemaskan mulut secara

perlahan hingga 10 detik lakukan kembali sekali lagi.


38

e) Gerakan 5: Gerakan kelima ditujukan untuk otot-otot leher

belakang. Klien dipandu untuk menekankan kepala kearah

punggung sedemikian rupa sehingga terasa tegang pada otot

leher bagian belakang. Lemaskan leher secara perlahan hingga

10 detik lakukan kembali sekali lagi.

f) Gerakan 6: Gerakan keenam bertujuan untuk melatih otot

leher bagian depan. Gerakan ini dilakukan dengan cara tekuk

atau turunkan dagu hingga menyentuh dada, kemudian klien

diminta untuk membenamkan dagu ke dadanya sehingga dapat

merasakan ketegangan di daerah leher bagian depan.

Lemaskan dan angkat dagu secara perlahan hingga 10 detik

lakukan kembali sekali lagi.


39

g) Gerakan 7: Gerakan ketujuh ditujukan untuk melatih otot-otot

bahu. Relaksasi untuk mengendurkan bagian otot-otot bahu

dapat dilakukan dengan cara mengangkat kedua bahu kearah

telinga setinggi-tingginya. Lemaskan atau turunkan kedua

bahu secara perlahan hingga 10 detik lakukan kembali sekali

lagi. Fokus perhatian gerakan ini adalah kontras ketegangan

yang terjadi di bahu, pinggang atas dan leher.

h) Gerakan 8: Gerakan kedelapan ditujukan untuk melatih otot

tangan yang dilakukan dengan cara menggenggam tangan kiri

sambil membuat suatu kepalan. Selanjutnya klien diminta

membuat kepalan ini semakin kuat sambil merasakan sensasi

ketegangan yang terjadi. Pada saat kepalan dilepaskan, klien

dipandu untuk merasakan rileks selama 10 detik. Gerakan pada

tangan kiri dilakukan dua kali sehingga klien dapat

membedakan perdedaan antara ketegangan otot dan keadaan

rileks yang dialami. Prosedur serupa juga dilatihkan pada

tangan kanan.
40

i) Gerakan 9: Gerakan kesembilan adalah gerakan untuk melatih

otot tangan bagian belakang. Gerakan ini dilakukan dengan

cara menekuk kedua pergelangan tangan ke belakang secara

perlahan hingga otot-otot tangan bagian belakang dan lengan

bawah menegang, jari-jari menghadap ke langit-langit.

Lemaskan atau turunkan kedua tangan secara perlahan hingga

10 detik, lakukan kembali sekali lagi.

j) Gerakan 10: Gerakan kesepuluh adalah untuk melatih otot-

otot lengan atau biseps. Otot biseps adalah otot besar yang

terdapat di bagian atas pangkal lengan. Gerakan ini diawali

dengan menggenggam kedua tangan sehingga menjadi kepalan

kemudian membawa kedua kepalan ke pundak sehingga otot-


41

otot lengan bagian dalam menegang. Lemaskan atau turunkan

kedua tangan secara perlahan hingga 10 detik lakukan kembali

sekali lagi.

k) Gerakan 11: Gerakan sebelas bertujuan untuk melatih otot-

otot punggung. Gerakan ini dapat dilakukan dengan cara

mengangkat tubuh dari sandaran kursi, lalu busungkan dada

dan lengkungkan punggung ke belakang dan pertahankan

selama 10 detik. Lemaskan punggung hingga 10 detik lakukan

kembali sekali lagi pada saat rileks, letakkan tubuh kembali ke

kursi, sambil membiarkan otot-otot menjadi lemas.

l) Gerakan 12: Gerakan dua belas bertujuan untuk melatih otot-

otot perut. Gerakan ini dilakukan dengan cara menarik perut


42

kearah dalam atau mengempiskan sekuat-kuatnya. Tahan

selama 10 detik, lakukan kembali sekali lagi.

m) Gerakan 13: Gerakan tiga belas ditujukan untuk otot-otot

betis. Gerakan ini dilakukan dengan cara menarik kedua

telapak kaki kearah dalam sekuat-kuatnya dan kedua tangan

berusaha menggapai ibu jari hingga terasa tegang di kedua

betis selama 10 detik. Lemaskan kedua kaki secara perlahan

hingga 10 detik, lakukan kembali sekali lagi.

d. Tahap Terminasi

1) Evaluasi keadaan klien

2) Membereskan alat

3) Dokumentasi.
43

D. Kerangka Teori

Bagan 2.1
Kerangka Teori

Penatalaksanaan Non
Farmakologis:
1. Terapi Relaksasi Otot
Progresif Tingkat Kecemasan:
2. Latihan Nafas Dalam
1. Cemas Ringan
3. Massage (Pijat)
2. Cemas Sedang
4. Imajinasi
3. Cemas Berat
5. Biofeedback
4. Panik
6. Yoga
7. Meditasi
8. Sentuhan Terapeutik
9. Terapi Musik

Sumber, Ruswadi Indra (2021 : 97)


44

E. Kerangka Konsep

Kerangka konsep pada penelitian ini menggambarkan pengaruh pemberian

teknik relaksasi otot progresif terhadap penurunan tingkat kecemasan pada

pasien hipertensi. Variabel yang diteliti dalam penelitian ini meliputi

variabel bebas (Indevendent Variable) adalah teknik relaksasi otot

progresif dan variabel terikatnya (Devendent Variable) adalah penurunan

tingkat kecemasan pada pasien hipertensi. Kerangka konsep pada

penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

Bagan 2.2
Kerangka Konsep

Variabel Independent Variabel Dependent

Teknik Relaksasi Otot Tingkat Kecemasan


Progresif

F. Hipotesis
Ha : Ada pengaruh penurunan tingkat kecemasan pada pasien hipertensi

sebelum dan sesudah dilakukan terapi relaksasi otot progresif Di

Wilayah Kerja Puskesmas Hiang Tahun 2022.

Ho : Tidak ada pengaruh penurunan tingkat kecemasan pada pasien

hipertensi sebelum dan sesudah dilakukan terapi relaksasi otot

progresif Di Wilayah Kerja Puskesmas Hiang Tahun 2022.


45

G. Defenisi Operasional

Variabel Defenisi Cara Ukur Skala Alat Hasil


Operasional Ukur Ukur

Variable Pemberian Memberikan Ordinal Lembar Dilakukan


Independent: intervensi terapi teknik Observasi PMR 2 kali
terapi dengan relaksasi otot dalam sehari
Pemberian menggunakan progresif,
teknik =1
teknik yang
relaksasi relaksasi otot diberikan 2
otot Tidak
progresif kali dalam
progresif dilakukan
dimana PMR sehari
adalah teknik dilakukan PMR 2 kali
yang teratur dalam sehari
bermanfaat selama satu =0
untuk minggu
mengurangi dimana
stress dan setiap sesi
kecemasan di berlangsung
tubuh kita selama 10-
dengan cara 20 menit.
menegangkan
dan
mengendurkan
otot secara
perlahan-
lahan.
Dilakukan
pada klien
yang
mengalami
hipertensi
grade 2.

Variable Gangguan Observasi Ordinal Kuesione Cemas jika


Dependent: alam dan r mean/median
perasasan wawancara ≤
Tingkat yang ditandai
Kecemasan dengan Tidak Cemas
perasaan jika
ketakutan mean/median
yang >
mendalam.
Dilakukan
pada klien
dengan tingkat
46

kecemasan
sedang.
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Quasy-

Eksperiment yaitu mengetahui pengaruh teknik relaksasi otot progresif

terhadap tingkat kecemasan pasien Di Wilayah Kerja Puskesmas Hiang

Tahun 2022. Penelitian ini menggunakan pendekatan One Group Pretest

dan Posttest yaitu sebelum diberi teknik relaksasi otot progresif akan

diukur tingkat kecemasan, kemudian setelah diberikan teknik relaksasi

dilakukan pengukuran tingkat kecemasan kembali.

Rancangan ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Tabel 3.1

Rancangan Penelitian

Subjek Pretest Intervensi Posttest

K1 O¹ X O²

Keterangan:

K1 : Responden

O¹ : Pengukuran Kecemasan (pretest/sebelum)

O² : Pengukuran Kecemasan (posttest/setelah)

X : Terapi terhadap kelompok eksperimen yaitu dengan pemberian teknik


relaksasi otot progresif selama satu minggu.

47
48

B. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang akan diteliti dalam

penelitian subjek (misalnya manusia; klien) yang memenuhi kriteria

yang telah ditetapkan (Notoatmojo, 2010). Populasi dalam penelitian

ini adalah seluruh pra lansia yang menderita Hipertensi di Puskesmas

Hiang yang berjumlah 254 orang.

2. Sampel

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini

adalah non-probability sampling. Secara lebih spesifik, penelitian

menggunakan teknik purposive sampling, yaitu teknik penetapan

responden untuk dijadikan sampel berdasarkan kriteria-kriteria

tertentu.

Menurut Prihantin (2016) besar sampel dihitung dengan rumus

Federar, dengan perhitungan sebagai berikut :

Rumus :

(n-1) (t-1) ≥ 15

Keterangan :

n = Besar Sampel

t = Jumlah Perlakuan

( n-1 ) ( t-1) ≥ 15

( n-1 ) ( 1-1) ≥ 15
49

n ≥ 1 + 15

n ≥ 16

Sampel pada penelitian ini adalah sebanyak 16 orang dan seluruh

sampel diberikan intervensi. Dalam pemilihan sampel digunakan

kriteria inklusi, untuk menentukan jumlah sampel yang dapat

digunakan.

Kriteria inklusi dalam penelitian ini yaitu :

a. Bersedia menjadi responden

b. Memiliki jenis kelamin yang sama yaitu perempuan

c. Pra lansia usia 45 sampai dengan 59 tahun

d. Memiliki penyakit Hipertensi stadium 2 tanpa disertai penyakit

lain dengan kecemasan tingkat sedang yang diukur

menggunakan skala HARS.

Kriteria ekslusi dalam penelitian ini yaitu :

a. Penderita Hipertensi dengan komplikasi

b. Tidak bersedia menjadi responden

C. Tempat Penelitian

Tempat pelaksanaan penelitian ini dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas

Hiang Tahun 2022.

D. Waktu penelitian

Waktu penelitian ini dilakukan dari bulan Januari sampai bulan Agustus

2022.
50

E. Etika Penelitian

Menurut Dharma (2017 : 237), etika pelaksanaan penelitian terdiri dari :

1. Menghormati harkat dan Martabat Manusia (respect for human

dignity))

Penulis menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Subyek

memiliki hak asasi dan kebebasan untuk menentukan pilihan ikut atau

menolak penelitian (autonomy). Peneliti tidak melakukan paksaan,

partisipan juga berhak mendapatkan informasi yang terbuka dan

lengkap tentang pelaksanaan penelitian, resiko penelitian, keuntungan

yang mungkin didapat dan kerahasiaan informasi. Setelah

mendapatkan penjelasan yang lengkap dan mempertimbangkannya

dengan baik, responden kemudian menentukan apakah akan ikut atau

menolak sebagai sampel. Peneliti juga memberikan kebebasan kepada

responden untuk memberikan informasi ataupun tidak memberikan

informasi. Peneliti juga mempersiapkan formulir persetujuan untuk

menjadi responden (informed consent).

2. Menghormati Privasi dan Kerahasiaan Subjek (respect for privacy and

confidentiolity)

Manusia sebagai subjek penelitian memiliki privasi dan hak asasi

untuk mendapatkan kerahasiaan informasi. Peneliti merahasiakan

berbagai informasi yang menyangkut privasi tentang identitas

responden dan segala informasi tentang penyakit yang diderita

responden agar tidak diketahui oleh orang lain. Dengan demikian

segala informasi yang menyangkut identitas responden tidak terekspos


51

secara luas. Dan peneliti juga mencantumkan inisial terhadap nama

dari responden.

3. Menghormati keadilan dan inklusifitas (respect for justice

inclisiveness)

Prinsip keterbukaan dalam penelitian mengandung makna bahwa

penelitian dilakukan secara jujur, tepat, cermat, hati-hati dan dilakukan

secara profesional. Sedangkan prinsip keadilan mengandung makna

bahwa penelitian memberikan keuntungan dan beban secara merata

sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan subjek. Peneliti melakukan

tindakan yang akan dilakukan dengan sangat hati hati dan sungguh

sungguh agar responden dapat merasakan manfaat yang diharapkan

yaitu terjadi penurunan tekanan darah.

4. Memperhitungkan manfaat dan kerugian yang Ditimbulkan (balancing

harm and benefits)

Prinsip ini mengandung makna bahwa setiap penelitian harus

mempertimbangkan manfaat sebesar-besarnya bagi subjek penelitian

dan populasi dimana hasil penelitian akan diterapkan (beneficience).

Kemudian meminimalisirkan resiko / dampak yang merugikan bagi

responden (nonmaleficience). Sebelum melakukan tindakan peneliti

menjelaskan terlebih dahulu mengenai teknik relaksasi otot progresif

dan manfaat apa saja yang akan dirasakan responden setelah dilakukan

terapi.
52

F. Alat Pengumpulan Data

Menurut Dharma (2013: 180-190) dalam pengumpulan data pada studi

kasus, ada beberapa jenis metode meliputi:

1. Metode Observasi

Adalah kegiatan pengumpulan data melalui pengamatan langsung

terhadap aktivitas responden yang terencana, dilakukan secara aktif dan

sistemastis. Pada penelitian ini pengamatan dan observasi yang

dilakukan peneliti meliputi melihat, mendengar, dan mencatat keluhan

dan sejumlah aktivitas responden.

2. Metode Wawancara

Adalah metode pengumpulan data yang dilakukan dengan cara

berinteraksi, bertanya dan mendengarkan apa yang disampaikan secara

lisan oleh respon atau atau partisipan. Metode wawancara merupakan

pilihan yang tepat jika ingin mendapatkan data yang mendalam atau

ingin memperjelas terhadap sesuatu yang diamati dari responden.

Metode ini sering digunakan untuk mengetahui pendapat, pandangan,

pengalaman atau persepsi responden tentang suatu permasalahan.

Metode dalam pengumpulan data bukanlah percakapan biasa antara 2

orang atau lebih, tetapi suatu interaksi yang terencana dan memiliki

tujuan yang spesifik yaitu mendapatkan data sesuai tujuan penelitian.

Hal ini perlu dijelaskan kepada partisipan sehingga wawancara lebih

berfokus pada topik penelitian.

Pada penelitian ini akan dilakukan wawancara pada responden seperti

membina hubungan saling percaya dengan responden dan menanyakan


53

identitas serta keluhan yang dirasakan responden, riwayat kesehatan

responden dan sebagainya.

3. Metode Pengukuran

Adalah cara sistematis untuk menentukan jumlah, ukuran atau memberi

label pada objek-objek yang dimilikinya. Pengukuran merupakan

aplikasi dari suatu definisi operasional yang bertujuan mengkaji suatu

nilai dari variabel yang sedang di teliti. Hasil dari suatu pengukuran

adalah data penelitian yang didapat dari subjek. Cara melakukan

pengukuran pada responden dalam penelitian ini yang pertama

dilakukan adalah mengukur Tekanan Darah responden, setelah

mendapatkan hasil selanjutnya kita ukur tingkat kecemasan responden

menggunakan skala ukur HARS, setelah semua proses pengukuran

selesai tindakan terakhir peneliti akan menjelaskan dan mengajarkan

responden untuk melakukan terapi relaksasi otot progresif yang di

lakukan dua kali dalam sehari yang bertujuan untuk melemaskan otot-

otot dan mendapatkan perasaan rileks.

Menurut Hawari (2004), tingkat kecemasan dapat diukur dengan

menggunakan alat ukur (instrument) yang dikenal dengan nama

Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS) yang terdiri dari 14 kelompok

gejala, antara lain:

1. Perasaan cemas: firasat buruk, takut akan pikiran sendiri dan mudah

tersinggung.
54

2. Ketegangan: merasa tegang, gelisah, gemetar, mudah terganggu.

3. Ketakutan: takut terhadap gelap, orang asing, bila ditinggal sendiri.

4. Gangguan tidur: sukar untuk tidur, terbangun pada malam hari, tidur

tidak nyenyak.

5. Gangguan kecerdasan: sukar berkonsentrasi, daya ingat menurun.

6. Perasaan depresi (murung): hilangnya minat, sedih dan perasaan

berubah-ubah sepanjang hari.

7. Gejala somatik/fisik (otot): sakit dan nyeri otot, kaku, kedutan otot.

8. Gejala somatik/fisik (sensorik): telinga berdengung, penglihatan

kabur, muka merah atau pucat.

9. Gejala kardiovaskuler (jantung dan pembuluh darah): takikardi

(denyut jantung cepat), berdebar-debar, nyeri dada, denyut nadi

mengeras.

10. Gejala respiratori (pernafasan): rasa tertekan atau sempit didada,

sering menarik nafas, nafas pendek atau sesak.

11. Gejala gastrointestinal (percernaan): sulit menelan, perut melilit,

gangguan percernaan, nyeri sebelum dan sesudah makan, rasa

penuh dan kembung, mual, muntah.

12. Gejala urogenital (perkemihan dan kelamin): sering BAK, tidak bisa

menahan kencing, tidak datang bulan, darah haid sedikit, haid

sangat pendek, ejakulasi dini, ereksi hilang dan impotensi.

13. Gejala autonom: mulut kering, mudah berkeringat, kepala pusing,

kepala terasa berat.


55

G. Uji Validitas dan Reliabilitas

1. Validitas

Uji validitas adalah hasil penelitian yang valid bila terdapat kesamaan

antara data yang terkumpul dengan data yang sesungguhnya terjadi

pada objek yang diteliti (Sugiyono, 2014). Uji validitas dalam

penelitian ini akan dilaksanakan di Puskesmas Kumun.

2. Reliabilitas

Menurut Sugiyono (2014) menjelaskan bahwa hasil atau jawaban dari

instrument harus sama apabila pengukuran ditunjukkan pada orang

yang berbeda ataupun waktu yang berbeda. Uji Reliabilitas pada

penelitian ini akan dilaksanakan di Puskesmas Kumun.

H. Prosedur Pengumpulan Data

1. Data Primer

Data primer didapat dari pengumpulan data yang dilakukan secara

langsung dengan memberikan lembar observasi dan kuesioner ke

responden.

2. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari keluarga dan sumber lain yang

menunjang penelitian, seperti data dari Dinas Kesehatan dan

Puskesmas.
56

Prosedur pengumpulan data pada kegiatan penelitian yang dilakukan

meliputi dua tahap, yaitu:

1. Tahap Persiapan

Mempersiapkan sarana dan prasarana yang akan mendukung

kegiatan ini seperti izin penelitian, koordinasi dengan pihak

Puskesmas, mensosialisasikan penelitian kepada bagian PTM yaitu

petugas koordinator dan staf.

2. Tahap Pelaksanaan

a) Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan April 2022 dengan

pemberian teknik relaksasi otot progresif kepada lansia selama 1

minggu.

b) Peneliti mengumpulkan data tentang lansia yang mengalami

hipertensi dari catatan yang ada di puskesmas.

c) Melakukan seleksi terhadap calon sampel untuk memenuhi

kriteria inklusi dan ekslusi yang telah ditetapkan.

d) Peneliti menemui calon responden, kemudian memperkenalkan

diri, menjelaskan tujuan, manfaat dan prosedur penelitian.

e) Ibu yang bersedia menjadi responden menandatangani lembar

informed consent sebagai bukti kesediannya.

f) Peneliti menjelaskan tentang langkah-langkah teknik relaksasi

otot progresif kepada responden.

g) Pengkajian tekanan darah sebelum pelaksanaan penelitian pada

responden dengan mengukur tekanan darah pre test.


57

h) Mengukur hasil tekanan darah, dan memilih responden dengan

tingkat hasil tekanan darah tinggi yang sama sesuai dengan

jumlah penghitungan sampel yang telah ditentukan.

i) Setelah selesai di lakukan postest yaitu mengukur tekanan darah

maka responden diberikan latihan teknik relaksasi otot progresif

yang di lakukan selama 10 menit dilanjutkan dengan diskusi,

memberi kesempatan responden untuk bertanya dan menceritakan

perasaannya setelah melakukan latihan.

j) Peneliti memberikan jadwal untuk pertemuan selanjutnya.

Adapun aturan dalam dalam pelaksanaan pemberian teknik relaksasi otot

progresif adalah sebagai berikut:

a) Teknik relaksasi otot progresif diberikan dalam waktu 1 minggu

b) Disarankan untuk dilakukan setiap hari

I. Proses Pengolahan Data

Proses pengumpulan data melalui tahap-tahap sebagai berikut:

1. Menyunting Data (Editing)

Menilai kelengkapan kuesioner, apakah data sudah sudah diisi lengkap

oleh responden, dan relevan antara pertanyaan dan isi kuesioner.

2. Mengkode Data (Coding)

Pada tahap ini dilakukan pemberian kode setiap data yang telah

terkumpul pada setiap pertanyaan dalam kuesioner.

3. Memasukkan Data (Entry Data)


58

Memasukkan data dan mengolahnya dalam bentuk master table,

kemudian diolah dengan menggunakan program SPSS.

4. Tabulasi (Tabulating)

Tabulasi merupakan proses pengolahan data yang dilakukan dengan

cara memasukkan data kedalam tabel. Menyusun data dalam bentuk

tabel distribusi atau tabel frekuensi dan tabel salary atau cross

tabulating.

5. Membersihkan Data (Cleaning)

Peneliti melakukan pengecekan kembali data yang sudah di entri

apakah ada kesalahan atau tidak, kesalahan tersebut mungkin terjadi

saat kita mengentri ke komputer, jika ada kesalahan tersebut dapat kita

perbaiki kembali.

J. Analisa Data

Analisis data menggunakan analisis univariate dengan menggunakan table

distribusi dan frekuensi serta analisis bivariate menggunakan T test

independent, untuk mengetahui pengaruh pemberian teknik relaksasi

progresif terhadap penurunan kecemasan.

1. Analisa Univariat

Analisa univariat yaitu untuk menjelaskan atau mendeskripsikan

karakteristik setiap variabel penelitian. Bentuk analisis univariat

tergantung dari jenis datanya. Untuk data numerik digunakan nilai

mean atau rata-rata, median dan standar deveasi. Pada umumnya dalam

analisis ini hanya menghasilkan distribusi frekuensi responden


59

berdasarkan umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan sebagainya

(Notoatmojo, 2010).

Analisa univariat berfungsi untuk meringkas kumpulan data hasil

pengukuran sedemikian rupa sehingga kumpulan data tersebut berubah

menjadi informan yang berguna. Analisa ini dilakukan dengan

komputerisasi, dengan menggunakan analisa distribusi frekuensi untuk

melihat pengaruh teknik relaksasi otot progresif terhadap penurunan

kecemasan pada pasien hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas Hiang

Tahun 2022.

2. Analisa Bivariat

Untuk menguji hipotesis apakah ada hubungan variabel Pengaruh

Teknik Relaksasi Progresif Terhadap Tingkat Kecemasan Pada Pasien

Hipertensi Di Wilayah Puskesmas Hiang Tahun 2022.

Analisa terhadap dua variabel data untuk melihat hubungan variabel

(Independent dan Dependent). Tujuan analisis bivariat ini adalah untuk

melihat hubungan variabel dependent dan independent dengan

menggunakan uji T Test Independent dengan derajat kepercayaan 95%

(α=0,05) dengan p≤0,05 berarti ada pengaruh teknik relaksasi progresif

terhadap tingkat kecemasan pada pasien hipertensi. Pengambilan

keputusan terhadap uji analisis bivariat, menggunakan pertimbangan

syarat uji T, yaitu data wajib berdistribusi normal (Sopiyudin, 2016).


60

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Analisis Situasi

Penelitian dilakukan di Puskesmas Hiang yang merupakan salah satu pusat

pelayanan kesehatan yang terletak di Desa Koto Baru Hiang Kecamatan

Sitinjau Laut Kabupaten Kerinci. Secara keseluruhan wilayah kerja

Puskesmas Hiang mencapai 17 Desa, yang terdiri dari : Ambai Atas,

Ambai Bawah, Pendung Hilir, Pendung Tengah, Tanjung Mudo, Penawar

Tinggi, Muara Air Dua, Hiang Karya, Betung Kuning, Koto Baru Hiang,

Sebukar, Semerah, Pondok Beringin, Bunga Tanjung, Kayu Aro Ambai,

dan Dusun Baru Debai. Beriklim tropis yang tingkat kelembaban 24º C -

33º C, dengan luas wilayah 25 Km², jumlah penduduk pada tahun 2022

adalah 14.621 jiwa.

Adapun batas-batas wilayah kerja Puskesmas Hiang sebagai berikut :

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Koto Dumo Kecamatan Tanah

Kampung

2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Ujung Pasir Kecamatan

Danau Kerinci

3. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Cupak Kecamatan Danau

Kerinci

4. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Debai Kecamatan Kumun

Debai
61

B. Hasil Penelitian

Dari hasil penelitian yang dilakukan di Puskesmas Hiang tahun 2022,

mengenai Pengaruh Teknik Relaksasi Progresif Terhadap Tingkat

Kecemasan Pada Pasien Hipertensi di Puskesmas Hiang Kecematan

Sitinjau Laut, Kabupaten Kerinci di dapatkan responden sebanyak 16

orang dengan hasil sebagai berikut :

1. Analisa Univariat

Diketahui rata-rata tingkat kecemasan pada pasien hipertensi sebelum

dilakukan teknik relaksasi progresif di wilayah kerja puskesmas hiang

tahun 2022.

Tabel 4.1
Rata-Rata Tingkat Kecemasan Pada Pasien Hipertensi
Sebelum Dilakukan Teknik Relaksasi Progresif
Di Wilayah Kerja Puskesmas Hiang
Tahun 2022

Pre test Standar


Penkes N Mean Deviasi Std. Error
Mean
(SD)

Tidak Baik 16 10,19 1,424 0,356

Berdasarkan Tabel 4.1 diperoleh rata-rata tingkat kecemasan pada pasien

hipertensi sebelum (Pretest) dilakukan teknik relaksasi progresif adalah

10,19 dengan standar deviasi 1,424 dan dengan standard error mean

0,356.
62

Diketahui rata-rata tingkat kecemasan pada pasien hipertensi setelah

dilakukan teknik relaksasi progresif di wilayah kerja puskesmas hiang

tahun 2022

Tabel 4.2
Rata-Rata Tingkat Kecemasan Pada Pasien Hipertensi
Setelah Dilakukan Teknik Relaksasi Progresif
Di Wilayah Kerja Puskesmas Hiang
Tahun 2022

Post test Standar


Penkes N Mean Deviasi Std.Error
Mean
(SD)

Baik 16 6,94 0,929 0,232

Berdasarkan tabel 4.2 diperoleh rata-rata tingkat kecemasan pada

pasien hipertensi sesudah (Postest) dilakukan teknik relaksasi progresif

adalah 6,94 dengan standar deviassi 0,929 dan dengan standard error

mean 0,232.

2. Analisa Bivariat

Diketahui pengaruh teknik relaksasi progresif terhadap tingkat

kecemasan pada pasien hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas Hiang

Tahun 2022.
63

Tabel 4.3
Pengaruh Teknik Relaksasi Progresif Terhadap Tingkat
Kemasan Pada Pasien Hipertensi Di Wilayah
Kerja Puskesmas Hiang
Tahun 2022

Kecemasan N Mean Standar Deviasi P – Value


(SD)

Sebelum 16 10,19 1,424


0.000
Sesudah 16 6,94 0,929

Berdasarkan tabel 4.3 diperoleh hasil uji statistik dengan menggunakan

uji t test dependent didapatkan nilai p value = 0,000 (p≤0,05) ada

pengaruh penurunan tingkat kecemasan pada pasien hipertensi setelah

dilakukan terapi relaksasi progresif di Wilayah Kerja Puskesmas Hiang

Tahun 2022.
64

BAB V

PEMBAHASAN

A. Pembahasan Penelitian

1. Rata-Rata Tingkat Kecemasan Pada Pasien Hipertensi Sebelum

Dilakukan Teknik Relaksasi Progresif

Berdasarkan tabel 4.1 penelitian yang dilakukan terhadap tingkat

kecemasan pada pasien hipertensi didapatkan bahwa rata-rata tingkat

kecemasan pada pasien hipertensi pretest 10,19 dengan standar deviasi

1,424 dan standar error mean 0,356.

Sebelum diberikan teknik relaksasi progresif dilakukan pengukuran

tingkat kecemasan menggunakan skala HARS dengan memberikan

pertanyaan berbentuk kuesioner dan didapatkan hasil tingkat kecemasan

pasien berada di tingkat sedang, hal ini dikarenakan pasien merasa

penyakitnya akan menimbulkan dampak yang berkelanjutan dimana

penyakit hipertensi mengakibatkan terjadinya penyumbatan darah pada

otot jantung yang memicu terjadinya komplikasi.

Hal ini sesuai dengan teori Stuart (2012) menyatakan bahwa kecemasan

(anxiety) adalah perasaan tidak tenang yang samar-samar karena

ketidaknyamanan atau ketakutan yang disertai dengan ketidakpastian,

ketidakberdayaan, isolasi, dan ketidakamanan. Perasaan takut dan tidak

menentu dapat mendatangkan sinyal peringatan tentang bahaya yang


65

akan datang dan membuat individu untuk siap mengambil Tindakan

menghadapi ancaman.

2. Rata-Rata Tingkat Kecemasan Pada Pasien Hipertensi Setelah

Dilakukan Teknik Relaksasi Progresif

Berdasarkan tabel 4.2 penelitian yang dilakukan terhadap tingkat

kecemasan pada pasien hipertensi didapatkan bahwa rata-rata tingkat

kecemasan pada pasien hipertensi postest 6,94 dengan standar deviasi

0,929 dan dengan standard error mean 0,232.

Setelah dilakukan Teknik relaksasi progresif kecemasan yang dirasakan

oleh pasien mengalami penurunan, dimana pasien merasa lebih rileks

dan nyaman.

Hal ini sesuai dengan teori Heredos (2010) dimana teknik relaksasi otot

progresif memusatkan perhatian pada suatu aktivitas otot dengan

mengidentifikasi otot yang tegang kemudian menurunkan ketegangan

dengan melakukan teknik relaksasi untuk mendapatkan perasaan rileks.

3. Pengaruh Teknik Relaksasi Progresif Terhadap Tingkat Kecemasan

Pada Pasien Hipertensi

Berdasarkan tabel 4.3 menunjukkan hasil penelitian diperoleh adanya

Pengaruh Teknik Relaksasi Progresif Terhadap Penurunan Tingkat


66

Kecemasan Pada Pasien Hipertensi Di Wilayah Kerja Puskesmas Hiang

Tahun 2022.

B. Implikasi Penelitian

Hasil penelitian ini memiliki beberapa implikasi yang menjadi dasar bagi

perkembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan keperawatan. Penelitian

ini memberikan gambaran yang mendalam tentang pengaruh dari teknik

relaksasi progresif dimana dapat menurunkan tingkat kecemasan.

1. Bagi Pasien

Dampak yang terjadi pada responden sangat baik, responden tampak

sudah bisa beraktivitas tanpa adanya rasa cemas dan responden tampak

tenang dan nyaman setelah peneliti mengajarkan cara melakukan teknik

relaksasi progresif dalam mengatasi penurunan tingkat kecemasan yang

dirasakan oleh responden.

2. Bagi Perawat

Dampak terhadap tenaga kesehatan terutama perawat juga sangat baik,

tenaga kesehatan yang ada bisa melakukan penyuluhan tentang teknik

relaksasi progresif dalam mengatasi penurunan tingkat kecemasan pada

pasien hipertensi yang ada di Wilayah Kerja Puskesmas Hiang.

3. Bagi Institusi Pendidikan

Dampak terhadap institusi pendidikan juga baik, sehingga kompetensi

dari mahasiswa/i dari institusi pendidikan yang terkait dapat diakui oleh

masyarakat ataupun pihak puskesmas tempat peneliti melakukan

penelitian.
67

C. Keterbatasan Penelitian

Peneliti menyadari penuh bahwa karya tulis ilmiah ini masih jauh dari

kesempurnaan dan masih banyak terdapat kekurangan hal ini di sebabkan

oleh karena adanya keterbatasan seperti tidak sesuainya waktu penelitian

dengan tanggal yang telah di tentukan, tetapi dengan demikian penelitian

tetap bisa dilaksanakan sesuai target waktu peneliti.


68

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan tentang pengaruh teknik

relaksasi progresif terhadap tingkat kecemasan pada pasien hipertensi di

Wilayah Kerja Puskesmas Hiang Tahun 2022 dapat disimpulkan sebagai

berikut :

1. Rata-rata tingkat kecemasan pada pasien hipertensi sebelum dilakukan

teknik relaksasi progresif di wilayah kerja puskesmas hiang tahun 2022

adalah 10,19 dengan standar deviasi 1,424 dan standard error mean

0,356.

2. Rata-rata tingkat kecemasan pada pasien hipertensi setelah dilakukan

Teknik relaksasi progresif di wilayah kerja puskesmas hiang tahun 2022

adalah 6,94 dengan standar deviasi 0,929 dan standard error mean 0,232.

3. Terdapat pengaruh teknik relaksasi progresif terhadap tingkat kecemasan

pada pasien hipertensi di wilayah kerja puskesmas hiang tahun 2022

dengan nilai p value = 0,000 (p≤0,05).

B. Saran

1. Bagi Peneliti

Diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah pemahaman peneliti

mengenai Pengaruh Teknik Relaksasi Progresif Terhadap Tingkat


69

Kecemasan Pada Pasien Hipertensi dan konsep keperawatan sehingga

dapat dijadikan sumber ilmu dan wawasan oleh peneliti.

2. Bagi Institusi Pendidikan

Diharapkan dapat dijadikan bahan acuan bagi mahasiswa/i keperawatan

yang akan dan sedang praktek terutama keperawatan medikal bedah dan

keperawatan jiwa, sehingga dapat meningkatkan ilmu pengetahuan dan

sebagai bahan sumber penelitian berikutnya juga sebagai bahan

perbandingan bagi yang berkepentingan dan hal-hal lainnya.

3. Bagi Puskesmas Hiang

Diharapkan menjadi bahan masukan bagi perawat dalam meningkatkan

kualitas pemberian pelayanan Kesehatan berkaitan dengan masalah

keperawatan penyakit hipertensi.

Anda mungkin juga menyukai