Anda di halaman 1dari 21

PENGARUH DISTRES PSIKOLOGIS (DEPRESI, KECEMASAN, DAN STRES)

TERHADAP KEPATUHAN MINUM OBAT PADA PASIEN HIPERTENSI

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan masalah kesehatan yang

sering kali ditemukan di masyarakat. Pengobatan hipertensi biasanya melibatkan

pemberian obat-obatan yang harus diminum secara teratur dan konsisten. Menurut

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2018, prevalensi pasien hipertensi

di Indonesia mencapai 34,1%, dimana 13,3% diantaranya tidak minum obat sama

sekali dan 32,3 persen tidak rutin minum obat (Kemenkes RI, 2018). Hipertensi

menjadi salah satu penyebab kematian tertinggi di Indonesia akibat penderita

hipertensi yang tidak patuh dalam menjalani pengobatan rutin (Pratiwi &

Perwitasari, 2017). Banyak penderita hipertensi yang merasa bahwa dirinya sehat,

padahal kenyataannya kondisi tersebut sangatlah berbahaya dan dapat

menyebabkan kematian mendadak (Harahap et al., 2019). Pasien hipertensi

seharusnya minum obat secara teratur untuk menjaga tekanan darah agar tetap

stabil dan mencegah terjadinya komplikasi yang muncul. Namun, seringkali

pasien hipertensi kurang patuh dalam mengonsumsi obat meskipun telah

diresepkan oleh dokter, sehingga menimbulkan masalah serius dalam pengelolaan

hipertensi (Harahap et al., 2019).

Hipertensi menjadi masalah yang serius karena menduduki peringkat

ketiga dari penyebab kematian di dunia (Imanda et al., 2021). Menurut Win et al.

(2021), hipertensi dapat menyebabkan berbagai komplikasi, seperti stroke,

penyakit jantung koroner, dan kerusakan pada organ ginjal. Sedangkan menurut
Azizah (2022), masalah ketidakpatuhan minum obat pada pasien hipertensi

menyebabkan berbagai resiko seperti munculnya komplikasi kardiovaskular. Jika

pasien tidak patuh dalam mengonsumsi obat, maka risiko untuk terkena

komplikasi tersebut akan semakin tinggi. Berdasarkan penelitian Sevilla-Cazes et

al. (2018) ketidakpatuhan minum obat juga dapat memperburuk kondisi pasien,

yaitu menambah beban perawatan dalam jangka waktu yang lama. Pasien dengan

hipertensi perlu memahami bahwa mengonsumsi obat secara teratur dan tepat

waktu dapat membantu mengurangi risiko komplikasi.

Dalam penelitian Win et al. (2021) menjelaskan bahwa terdapat beberapa

faktor yang dapat memengaruhi kepatuhan pasien hipertensi dalam mengonsumsi

obat, di antaranya, faktor sosio-demografi, faktor terkait dengan pasien itu sendiri,

faktor yang berkaitan dengan pengobatan yang diberikan, faktor penyakit

hipertensi itu sendiri, dan faktor pelayanan kesehatan yang diterima. Sedangkan

menurut penelitian Imanda et al. (2021), faktor yang memengaruhi ketidakpatuhan

pada pasien hipertensi dalam mengonsumsi obat, yaitu tingkat pendidikan, durasi

menderita hipertensi, adanya komplikasi penyakit lain atau mengonsumsi obat

lain, dukungan petugas kesehatan, lupa atau penurunan perhatian, dan stres.

Alvarez et al. (2021) menunjukkan hasil penelitiannya bahwa pasien hipertensi

yang memiliki tingkat stres yang tinggi cenderung memiliki tingkat kepatuhan

dalam mengonsumsi obat yang lebih rendah.

Penelitian (Fathoni and Listiyandini 2021) pada penelitian

“Kebersyukuran, Kesepian, dan Distress Psikologis Pada Mahasiswa di Masa

Pandemi Covid-19” menjelaskan bahwa Dalam upaya menangani masalah

ketidakpatuhan dalam minum obat pada pasien hipertensi, perlu dilakukan

penelitian untuk mengetahui apakah tingkat distres psikologis (depresi,


kecemasan, stres) dapat mempengaruhi kepatuhan minum obat pada pasien

hipertensi. Distres psikologis dapat menjadi faktor yang signifikan dalam

menentukan sejauh mana seorang pasien mematuhi pengobatan yang diresepkan

oleh dokter mereka. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang

bermanfaat untuk mencari solusi bagi pasien hipertensi yang mengalami distres

psikologis, sehingga dapat menciptakan pola hidup yang sehat dengan minum

obat secara rutin sesuai dengan anjuran dokter. Dengan demikian, risiko terkena

komplikasi hipertensi dapat diminimalkan.

Distres psikologis, seperti depresi, kecemasan, dan stres, seringkali tidak

terlihat secara langsung, namun dapat memiliki dampak yang signifikan pada

perilaku pasien, termasuk kepatuhan dalam mengonsumsi obat. Depresi, misalnya,

dapat menyebabkan kehilangan minat atau motivasi untuk menjaga kesehatan diri,

termasuk dalam minum obat secara teratur. Kecemasan juga dapat memengaruhi

kemampuan seseorang untuk berkonsentrasi atau membuat keputusan yang tepat,

termasuk dalam hal menjaga konsistensi minum obat. Sedangkan stres, baik itu

dari faktor-faktor eksternal maupun internal, dapat mengganggu pola tidur,

meningkatkan tekanan darah, dan mengurangi kapasitas seseorang untuk

mengelola tugas sehari-hari dengan baik, termasuk menjaga konsistensi minum


(Dharma, Yuliadi, and Setyowati 2020)
obat .

Penelitian yang dilakukan oleh Fitri et al. (2018) yang berjudul

“Kepatuhan Minum Obat pada Pasien Tuberkulosis Paru” berjenis penelitian

survei analitik yang bertujuan untuk menggali bagaimana dan mengapa fenomena

kesehatan terjadi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang

berpengaruh terhadap kepatuhan minum obat pada pasien tuberkulosis paru di

Wilayah kerja Puskesmas Sadabuan Kota Padangsidimpuan pada tahun 2017.


Berdasarkan hasil dan pembahasan yang tercantum, terdapat pengaruh dari

pengetahuan, dukungan keluarga, pendidikan, pekerjaan, dan sikap terhadap

kepatuhan minum obat pada pasien tuberkulosis paru di Wilayah kerja Puskesmas

Sadabuan Kota Padangsidimpuan. Variabel yang memiliki pengaruh paling

dominan terhadap kepatuhan minum obat pada pasien tuberkulosis paru di

Wilayah kerja Puskesmas Sadabuan Kota Padangsidimpuan adalah variabel

pengetahuan. Penilaian tingkat kepatuhan pasien menggunakan metode MMAS

(Modified Morisky Adherence Scale). Terdapat persamaan dari penelitian Fitri et

al. dengan yang akan dilakukan, yaitu mengevaluasi faktor yang memengaruhi

kepatuhan minum obat pada pasien. Adapun perbedaannya ada pada subjek

penelitian, dimana penelitian yang akan dilakukan memfokuskan pada pasien

hipertensi, sementara penelitian Fitri et al. memfokuskan pada pasien tuberkulosis

paru.

Selain itu, terdapat penelitian yang dilakukan oleh Purnawinadi dan

Lintang pada tahun 2020 dengan judul “Hubungan Dukungan Keluarga dengan

Kepatuhan Minum Obat Pasien Hipertensi” mengkaji hubungan antara dukungan

keluarga dengan kepatuhan minum obat pada pasien hipertensi di Puskesmas

Airmadidi Kabupaten Minahasa Utara. Penelitian ini menunjukkan bahwa

dukungan keluarga dan kepatuhan minum obat pasien hipertensi memiliki

hubungan yang lemah namun signifikan dengan arah yang negatif, yaitu semakin

tinggi dukungan keluarga, maka semakin tidak patuh mengonsumsi obat.

Penelitian ini juga memiliki nilai penting dalam meningkatkan pengetahuan dan

motivasi pasien hipertensi, termasuk keluarga, mengenai pentingnya dukungan

keluarga dalam meningkatkan kepatuhan minum obat. Kuesioner penelitian yang

digunakan yaitu dukungan keluarga dan kepatuhan minum obat pasien hipertensi
yang diadaptasi dari penelitian yang dilakukan oleh Puspita (2016). Penelitian

Purnawinadi dan Lintang memiliki persamaan dengan penelitian yang akan

dilakukan, yaitu pada topik permasalahannya (kepatuhan minum obat) dan subjek

penelitiannya. Sementara itu, penelitian Purnawinadi dan Lintang memiliki

perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan, yaitu pada fokus variabel

bebasnya, dimana penelitian Purnawinadi dan Lintang membahas mengenai

dukungan keluarga.

Ada pula penelitian yang dilakukan oleh Nurani et al. (2022) berjudul

“Tingkat Stress Mempengaruhi Kepatuhan Minum Obat Orang dengan HIV/AIDS

di Rumah Singgah Peka” mengkaji tentang faktor yang memiliki hubungan

dengan kepatuhan minum obat orang dengan HIV/AIDS (ODHA), khususnya

tingkat stres. Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa tingkat stres

berhubungan dengan kepatuhan minum obat pada pasien ODHA di Rumah

Singgah Peka Bogor. Pasien ODHA yang tingkat stres normal akan memiliki

kepatuhan minum obat yang positif, begitupun sebaliknya. Oleh karena itu,

diperlukan intervensi untuk mengurangi tingkat stres pada pasien ODHA dalam

meningkatkan kepatuhan minum obat. Intervensi yang dapat dilakukan antara lain

program konseling atau relaksasi yang diberikan secara berkala pada pasien

ODHA yang mendapatkan obat-obatan ARV. Penelitian ini memberikan

kontribusi dalam mengetahui faktor yang mempengaruhi kepatuhan minum obat

ODHA dan memberikan implikasi untuk meningkatkan kepatuhan minum obat

ODHA melalui intervensi yang tepat. Persamaan dari penelitian Nurani et al.

dengan penelitian yang akan dilakukan ada pada korelasi antara kedua variabel,

yaitu hubungan tingkat stress dengan kepatuhan minum obat. Namun, kedua

penelitian memiliki perbedaan pada subjek, dimana penelitian Nurani et al.


menggunakan subjek pasien HIV/AIDS (ODHA), sedangkan penelitian yang akan

dilakukan menggunakan subjek pasien hipertensi.

Dalam upaya menangani masalah ketidakpatuhan dalam minum obat,

perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui apakah tingkat stres dapat

mempengaruhi kepatuhan minum obat pada pasien hipertensi. Penelitian ini

diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat untuk mencari solusi

masalah pasien hipertensi yang mengalami stres, sehingga dapat menciptakan pola

hidup yang sehat dengan minum obat secara rutin sesuai dengan anjuran dokter.

Dengan demikian, risiko terkena komplikasi hipertensi dapat. Oleh karena itu,

penelitian tentang pengaruh tingkat stress terhadap kepatuhan minum obat pada

pasien hipertensi ini sangat penting untuk dilakukan.

B. Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah dan uraian singkat pustaka yang relevan

di atas, peneliti menyusun rumusan masalah penelitian sebagai berikut, “Bagaimana

hubungan distres psikologis terhadap kepatuhan minum obat pada pasien hipertensi?”

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji secara empiris bagaimana hubungan

antara distres psikologi dengan tingkat kepatuhan minum obat pada pasien hipertensi.

Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk memahami bagaimana persepsi pasien

terhadap depresi, kecemasan, dan stres dalam pengobatan dapat mempengaruhi

tingkat kepatuhan mereka.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kepatuhan Minum Obat

1. Definisi Kepatuhan Minum Obat

Secara umum, WHO mendefinisikan kepatuhan pengobatan sebagai

tingkat kesesuaian perilaku seseorang dengan rekomendasi dari penyedia layanan

kesehatan (World Health Organization, 2003). Menurut Fitri et al. (2018),

kepatuhan merupakan suatu perilaku yang timbul pada seseorang sebagai respon

terhadap tuntutan dalam aturan yang diharuskan untuk dijalankan.

Menurut Svarstad et al. (1999), kepatuhan minum obat didefinisikan

sebagai tingkat konsisten pasien dalam mengikuti jadwal dan takaran obat yang

diresepkan oleh dokter secara konsisten. Hal ini termasuk menghindari kelalaian

dalam penggunaan obat dan mematuhi petunjuk yang diberikan (Svarstad et al.,

1999). Dalam konteks ini, pasien dianggap patuh jika mereka mengikuti aturan

yang telah ditentukan dan tidak melupakan atau mengabaikan penggunaan obat

yang direkomendasikan.

Osterberg dan Blaschke (2005) memberikan definisi lain tentang

kepatuhan minum obat, yang menyatakan bahwa kepatuhan yang melibatkan

kesesuaian perilaku pasien dengan penggunaan obat sesuai dengan instruksi

medis yang diberikan. Hal ini mencakup faktor seperti waktu penggunaan obat,

dosis yang ditentukan, frekuensi penggunaan, dan durasi pengobatan yang telah

ditentukan (Osterberg & Blaschke, 2005). Dengan demikian, dapat diartikan

bahwa kepatuhan terjadi ketika pasien mengikuti petunjuk medis secara akurat

dan tidak membuat perubahan tanpa persetujuan dokter.


Vrijens et al. (2012) juga membahas penelitian yang relevan tentang

kepatuhan minum obat. Kepatuhan minum obat didefinisikan sebagai

kemampuan pasien untuk menjalankan pengobatan dengan mengikuti jadwal

penggunaan obat yang direkomendasikan, tidak melebihi dosis, dan tidak

mengubah dosis obat tanpa persetujuan dokter (Vrijens et al., 2012).

Mengacu pada Hoegy et al. (2019), definisi kepatuhan minum obat

merujuk pada sejauh mana seseorang mengikuti regimen minum obat yang

diresepkan, terutama dalam konteks perawatan pasca transplantasi pada anak-

anak. Hal ini mencakup konsumsi obat secara konsisten dan tepat waktu sesuai

petunjuk tenaga kesehatan. Kepatuhan minum obat yang buruk dapat

menimbulkan dampak negatif dan masalah yang serius, sehingga diperlukan

upaya untuk meningkatkan tingkat kepatuhan guna mengoptimalisasi kesehatan

dan kesejahteraan pasien secara keseluruhan (Hoegy et al., 2019).

Berdasarkan penjelasan mengenai pengertian kepatuhan minum obat yang

diambil dari penelitian-penelitian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa

kepatuhan minum obat adalah kemampuan pasien dalam menyesuaikan instruksi

medis dalam mengonsumsi obat secara konsisten. Kepatuhan minum obat

berkaitan dengan penggunaan obat secara tepat dan konsisten sesuai jadwal,

dosis, frekuensi dan durasi yang ditentukan. Ciri-ciri seorang pasien yang patuh

dalam minum obat adalah menghindari kelalaian dalam penggunaan obat,

memahami instruksi yang diberikan oleh tenaga medis dengan baik, serta

memiliki motivasi yang tinggi untuk melanjutkan pengobatan dengan tepat.


2. Dimensi-dimensi Kepatuhan Minum Obat

Menurut Morisky et al. (2008), terdapat empat dimensi dari kepatuhan

minum obat, yaitu:

a) Kesulitan mengingat

Dimensi ini berkaitan dengan kemampuan pasien untuk mengingat

dan memperhatikan jadwal minum obat. Julaiha (2019) menjelaskan

hasil penelitiannya bahwa pasien yang termasuk kategori tidak patuh

sering menunjukkan perilaku kesulitan mengingat untuk meminum

obat atau tidak membawa obat ketika bepergian. Pasien yang

mengalami kesulitan mengingat akan cenderung lupa atau

mengabaikan waktu minum obat, yang berdampak pada efektivitas

pengobatan yang diterima (Morisky et al., 2008).

b) Konsisten

Morisky et al. (2008) mengartikan dimensi ini sebagai kemampuan

pasien untuk konsisten dan tepat waktu dalam mengonsumsi obat

sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh dokter. Menurut

penelitian Nurani et al. (2022), pasien yang patuh dalam mengonsumsi

obat akan minum obat secara konsisten, yaitu dengan mengonsumsi

obat tepat dosis, tepat waktu, dan tepat caranya agar mencapai

pengobatan yang efektif.

c) Mengikuti instruksi

Dimensi ini berkaitan dengan perilaku pasien untuk mengikuti

instruksi penyedia layanan kesehatan. Pasien yang memiliki kepatuhan

minum obat yang baik akan mengikuti instruksi dokter atau apoteker,

serta tidak mengurangi atau menghentikan penggunaan obat yang telah


diresepkan tanpa berkonsultasi dengan dokter terlebih dahulu

(Morisky et al., 2008).

d) Persepsi kesulitan

Selain aspek-aspek sebelumnya, persepsi pasien terhadap kesulitan

dalam menjalankan pengobatan juga merupakan dimensi kepatuhan

minum obat, termasuk masalah aksesibilitas dan kecemasan terhadap

efek samping dari obat (Morisky et al., 2008).

Penelitian ini merujuk pada penelitian Morisky yang mengidentifikasikan

empat dimensi kepatuhan minum obat, yaitu kesulitan mengingat, konsisten,

mengikuti instruksi, dan persepsi kesulitan. Berdasarkan dimensi-dimensi yang

telah dijelaskan, peneliti mendefinisikan kepatuhan minum obat sebagai perilaku

pasien untuk secara konsisten dan tepat waktu mengonsumsi obat sesuai dengan

aturan yang telah ditetapkan oleh tenaga kesehatan, dengan mengikuti instruksi

yang diberikan dan tidak mengurangi atau menghentikan penggunaan obat tanpa

berkonsultasi terlebih dahulu.

3. Faktor-faktor Kepatuhan Minum Obat

Kepatuhan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Paczkowska (2021)

menjelaskan bahwa pengetahuan pasien terhadap hipertensi dapat mempengaruhi

kepatuhan mereka dalam minum obat. Hal ini juga berhubungan dengan kurangnya

pemahaman pasien terhadap instruksi petugas kesehatan. Beberapa studi

menunjukkan bahwa kegagalan pengobatan hipertensi terjadi secara signifikan

karena kurangnya kerjasama antara pasien dan dokter dalam hal perubahan gaya

hidup serta kepatuhan terhadap terapi obat yang telah diresepkan. Hal tersebut

menunjukkan bahwa pasien sering kali tidak memperoleh informasi yang memadai
tentang metode dan konsekuensi dari ketidakpatuhan terhadap penyakit yang

dialami.

Motivasi berobat pada pasien juga dapat mempengaruhi kepatuhan minum

obat. Motivasi ini dapat muncul karena adanya dorongan, tujuan, dan kebutuhan

akan kesembuhan (Nuratiqa et al., 2020). Faktor-faktor seperti pembacaan tekanan

darah normal, pemantauan tekanan darah sendiri, dan keyakinan akan efektivitas

pengobatan dapat membangun motivasi ini sehingga berdampak pada kepatuhan

minum obat (Abbas et al., 2020). Pasien yang melihat hasil pengobatan yang

positif cenderung merasa lebih aman dan puas, sehingga mendorong mereka untuk

terus mengikuti pengobatan.

Faktor lainnya juga dapat dilihat dari dukungan sosial yang didapatkan oleh

pasien. Mengacu pada Abbas (2020), peneliti terdahulu menemukan adanya

hubungan positif antara dukungan sosial keluarga dan kepatuhan minum obat.

Dukungan sosial dari teman juga memiliki efek positif pada kepatuhan minum

obat. Selain itu, status perkawinan juga dapat berdampak signifikan pada

kepatuhan pasien dalam minum obat. Hal ini menunjukkan bahwa dukungan sosial

dapat mempengaruhi kesejahteraan emosional pasien dan memberikan dampak

positif pada kepatuhan minum obat.

Penelitian yang dilakukan oleh (Alvarez et al., 2021) menunjukkan bahwa

pasien hipertensi yang mengalami tingkat stres yang tinggi cenderung memiliki

tingkat kepatuhan yang lebih rendah dalam mengonsumsi obat. Dalam penelitian

Abbas (2020), dilakukan analisis yang menunjukkan bahwa pasien yang berupaya

mengontrol tingkat stresnya memiliki kecenderungan untuk tidak patuh dalam

mengonsumsi obat antihipertensi. Hasil tersebut sesuai dengan penemuan studi


sebelumnya, yang mengindikasikan bahwa stress pada pasien berkontribusi pada

penurunan tingkat kepatuhan dalam mengonsumsi obat. Hubungan antara stress

dan kepatuhan menunjukkan pentingnya mengenali stres sebagai faktor risiko

dalam kepatuhan minum obat.

Berdasarkan uraian sebelumnya, kepatuhan minum obat dapat dipengaruhi

oleh berbagai faktor. Pengetahuan pasien mengenai hipertensi dan instruksi tenaga

Kesehatan memainkan peran penting dalam kepatuhan. Kurangnya pemahaman

dan informasi yang memadai dapat menyebabkan kegagalan pengobatan. Selain

itu, motivasi pasien juga berperan dalam kepatuhan, dimana dorongan, tujuan, dan

keyakinan akan kesembuhan dapat mempengaruhi kepatuhan minum obat.

Dukungan sosial dari keluarga, teman, dan lingkungan juga memiliki dampak

positif pada kepatuhan minum obat. Namun, faktor penting yang perlu diperhatikan

adalah tingkat stress pasien, yang dapat menyebabkan penurunan kepatuhan dalam

mengonsumsi obat. Oleh karena itu, pengenalan stres sebagai faktor risiko dalam

kepatuhan minum obat menjadi penting untuk diperhatikan.

B. Distres Psikologis (Depresi, Kecemasan, dan Stres)

1. Definisi Distres Psikologis

Lovibond (1995) mendefinisikan bahwa psychological distress merupakan respon

emosi yang muncul akibat peristiwa yang menekan dalam hidup seseorang.

Menurut APA (American Psychiatric Assosation) bahwa psychological distress

adalah gambaran rasa kewalahan, kekhawatiran, kehancuran, tekanan, kelelahan,

dan kelesuan. Oleh karena itu, stres dapat mempengaruhi orang-orang di segala

usia, jenis kelamin, ras, dan situasi dan dapat mengakibatkan baik kesehatan fisik

maupun psikis. Taylor (2018) mengemukakan bahwa psychological distress

adalah pengalaman emosional negatif yang disertai oleh perubahan fisiologis,


biokimiawi, kognisi, dan perilaku yang dengan tujuan untuk penyesuaian diri

terhadap situasi yang menyebabkan stres. Sarafino dan Smith (2011)

mendefinisikan psychological

distress sebagai kondisi yang diakibatkan oleh adanya interaksi individu dengan

lingkungan yang menyebabkan individu melihat ketidaksesuaian antara tuntutan

fisik atau keadaan psikologis dengan tuntutan sosial. Dari beberapa pengertian

mengenai psychological distress penelitian ini mengacu pada definisi dari


(Nipta Aini 2022)
Lovibond .

Lovibond (1995) menyatakan bahwa dalam psychological distress terdapat

tiga aspek, yaitu :

a. Fisik, seperti ketegangan otot, peningkatan tekanan darah,gelisah, sakit kepala,

sakit perut, gangguan pencernaan, dan lain-lain.

b. Emosi, seperti murung, tidak fokus, ragu-ragu, mudah marah, kaku berfikir

serta tidak ada rasa humor,mudah tersinggung, dan lain-lain.

c. Perilaku, yaitu seperti kesulitan tidur, perubahan nafsu makan,menarik diri dari

lingkungan sosial, kurang kontrol diri, dan lain- lain.

2. Dimensi-dimensi Distres Psikologis

a. Depresi

Depresi merupakan kondisi mental yang ditandai dengan perasaan sedih yang

berkepanjangan, kehilangan minat atau kesenangan dalam aktivitas sehari-

hari, energi yang rendah, dan penurunan harga diri. Berikut beberapa sub

dimensi dari depresi:

- Perasaan sedih yang persisten: Depresi seringkali ditandai dengan perasaan

sedih yang mendalam dan berlangsung selama berhari-hari atau bahkan

berbulan-bulan tanpa henti.


- Hilangnya minat atau kesenangan: Orang yang mengalami depresi

mungkin kehilangan minat dalam aktivitas yang sebelumnya mereka

nikmati. Bahkan hal-hal yang sebelumnya memberi mereka kebahagiaan

menjadi tidak menarik.

- Gangguan tidur: Kesulitan tidur atau tidur berlebihan (hipersomnia) adalah

gejala umum depresi. Orang yang mengalami depresi seringkali

mengalami masalah tidur seperti insomnia atau terbangun di malam hari.

- Gangguan nafsu makan: Depresi dapat memengaruhi nafsu makan

seseorang, menyebabkan penurunan atau peningkatan berat badan secara

signifikan.

- Perasaan lelah atau kelelahan yang berlebihan: Orang yang mengalami

depresi seringkali merasa kelelahan secara fisik dan mental bahkan setelah

beristirahat yang cukup.

- Perasaan bersalah atau tidak berharga: Orang dengan depresi mungkin

merasa bersalah tanpa alasan yang jelas atau merasa bahwa mereka tidak

berharga.

- Pikiran tentang kematian atau bunuh diri: Depresi seringkali dikaitkan

dengan pikiran-pikiran tentang kematian atau bunuh diri, meskipun tidak

semua orang yang mengalami depresi mengalami hal ini


(Putri and Fitri 2021)
.
b. Kecemasan:

Kecemasan adalah kondisi mental yang ditandai dengan perasaan cemas yang

berlebihan, ketegangan, dan ketakutan yang persisten. Berikut beberapa sub

dimensi dari kecemasan:

- Perasaan cemas yang konstan: Orang yang mengalami kecemasan

seringkali merasa cemas secara konstan tanpa alasan yang jelas. Mereka

mungkin merasa gelisah atau tegang sepanjang waktu.

- Gejala fisik: Kecemasan dapat menyebabkan gejala fisik seperti detak

jantung yang cepat, keringat berlebihan, gemetar, atau sensasi tertekan di

dada.

- Kekhawatiran berlebihan: Orang yang mengalami kecemasan seringkali

cemas tentang hal-hal yang tidak proporsional terhadap situasi yang

sebenarnya. Mereka cenderung merasa khawatir tentang kemungkinan

buruk yang mungkin terjadi.

- Kesulitan berkonsentrasi: Kecemasan dapat menyebabkan kesulitan dalam

berkonsentrasi atau memusatkan perhatian pada suatu tugas.

- Ketakutan akan hal-hal tertentu: Kecemasan seringkali dikaitkan dengan

ketakutan yang berlebihan terhadap objek atau situasi tertentu, seperti

ketakutan terhadap ketinggian, ketakutan akan kerumunan, atau ketakutan

akan gagal.

- Gejala fisik yang terkait dengan kecemasan: Selain gejala yang disebutkan

di atas, kecemasan juga dapat menyebabkan gejala fisik seperti sakit

kepala, gangguan pencernaan, atau masalah tidur.


Itulah beberapa sub dimensi dari depresi dan kecemasan, dua kondisi

psikologis yang seringkali terjadi bersamaan atau saling memperburuk


(Fitria khoirun 2021)
.

c. Stres

Stres dapat diartikan sebagai respons tubuh yang tidak spesifik terhadap tekanan

atau perubahan yang diterima (Susanti, 2017). Situasi dimana seseorang

mengalami tuntutan tugas yang berat namun tidak mampu mengatasinya, tubuh

akan merespons dengan cara menunjukkan tidak mampunya menyelesaikan tugas

tersebut dan akibatnya orang tersebut dapat mengalami stres. Hal tersebut

mendasari pengertian bahwa stress merupakan respons tubuh terhadap setiap

tekanan atau perubahan yang diterima.

Mengacu pada Sari dan Lubis (2023), stress adalah respon tubuh terhadap

suatu psikososial yang menimbulkan tekanan atau ketegangan emosi. Hal ini

dikarenakan kompleksitas faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dan

perilaku pasien. Stres merupakan suatu kondisi yang muncul akibat adanya

tekanan atau stimulus dari lingkungan yang merangsang respons tubuh dan

pikiran seseorang. Respons tubuh yang terjadi ketika seseorang mengalami stress

meliputi nafas pendek, detak jantung yang meningkat, dan keringat dingin.

Meskipun tidak memandang usia, stress dapat dibedakan menjadi tiga kategori,

yaitu stress ringan, sedang, dan berat (Sari & Lubis, 2023).

Stres dapat didefinisikan sebagai respons tubuh yang timbul sebagai

reaksi terhadap tekanan dan perubahan yang diterima. Hal ini mencakup situasi

dimana individu menghadapi tuntutan tugas yang melebihi kapasitasnya dan tidak

mampu mengatasinya secara efektif. Stres dapat terjadi akibat situasi yang
biasanya tidak dilakukan di kehidupan sehari-hari muncul, sehingga individu

harus beradaptasi dengan kebiasaan baru dan menyebabkan stres.

Menurut Cohen et al (1983), stress dapat dijelaskan melalui empat dimensi

yang berbeda, yaitu:

a) Stresor

Dimensi ini mengacu pada stimulus atau kejadian yang menjadi

penyebab stres pada seseorang. Stressor dapat berupa peristiwa

kehidupan yang signifikan, seperti peristiwa traumatis ataupun

peristiwa sehari-hari (Cohen et al., 1983).

b) Respons fisiologis

Mengacu pada Cohen, dimensi respons fisiologis merupakan reaksi

tubuh terhadap stresor. Respons fisiologis meliputi peningkatan denyut

jantung, tekanan darah, dan kadar hormon stres (Cohen et al., 1983).

c) Respons psikologis

Cohen menjelaskan dimensi ini sebagai reaksi psikologis terhadap

stresor. Respons emosional meliputi perasaan cemas, takut, marah,

atau sedih yang dapat terjadi ketika seseorang mengalami stres (Cohen

et al., 1983).

d) Perilaku

Selain itu, perilaku juga merupakan dimensi stres dimana berkaitan

pada tindakan yang dilakukan seseorang sebagai respons terhadap

stresor. Perilaku dapat berupa menarik diri dari lingkungan sosial,

menggunakan obat-obatan atau alkohol sebagai cara mengatasi stres,

atau melakukan perilaku agresif dan impulsif (Cohen et al., 1983).


Penelitian ini mengaitkan stres dengan merujuk pada penelitian Cohen.

Cohen menyajikan empat dimensi stres, yaitu stresor, respons fisiologis, respons

perilaku, dan perilaku. Dengan merujuk pada pemikiran Cohen, penelitian ini

memperkuat pemahaman bahwa tingkat stres dapat mempengaruhi kepatuhan

minum obat. Pasien yang mengalami stres mungkin lebih rentan terhadap efek

negatif dari pengobatan dan cenderung untuk menghentikan atau mengurangi

minum obat mereka. Berdasarkan dimensi-dimensi yang sudah dijelaskan

sebelumnya, peneliti mendefinisikan stress sebagai respons tubuh yang tidak

spesifik terhadap tekanan atau perubahan yang diterima.

C. Hubungan antara Distress Psikologis dengan Kepatuhan Minum Obat

Penelitian ini menguji apakah distress psikologis dapat mempengaruhi

kepatuhan minum obat pada pasien hipertensi. Beberapa penelitian terdahulu

menyebutkan bahwa kepatuhan minum obat dapat dipengaruhi oleh stres. Salah satu

hasil penelitian yang relevan adalah penelitian yang dilakukan oleh Arini Putri (2021),

Penelitian ini merupakan sebuah tinjauan sistematis dan meta-analisis yang bertujuan

untuk mengevaluasi pengaruh distress psikologis terhadap kepatuhan minum obat

pada pasien dengan hipertensi. Penelitian ini mengumpulkan data dari berbagai

penelitian sebelumnya yang telah dilakukan di bidang ini untuk memberikan

gambaran yang komprehensif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan

antara tingkat distress psikologis, seperti depresi, kecemasan, dan stres, dengan

tingkat kepatuhan minum obat pada pasien hipertensi. Pasien yang mengalami tingkat

distress psikologis yang lebih tinggi cenderung memiliki tingkat kepatuhan minum

obat yang lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang memiliki tingkat distress

psikologis yang lebih rendah.


Lebih lanjut, penelitian ini juga menunjukkan bahwa faktor-faktor seperti

tingkat pendidikan, dukungan sosial, dan kualitas hubungan pasien-dokter dapat

memoderasi hubungan antara distress psikologis dan kepatuhan minum obat. Hal ini

menunjukkan pentingnya mempertimbangkan konteks sosial dan psikologis pasien

dalam upaya meningkatkan kepatuhan minum obat pada pasien hipertensi


(Putri and Fitri 2021)
.

Adapun penelitian Ningsih, Dinda Ayu (2023), yang menggunakan objek pada

pasien tuberculosis. Berdasarkan penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa

terdapat hubungan yang signifikan antara variabel psikologis, efek samping, dan

pengawasan menelan obat (PMO) dengan kepatuhan mengonsumsi Obat Anti

Tuberkulosis (OAT) di Kota Jambi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-

faktor psikologis seperti tekanan psikologis pada pasien Tuberkulosis memiliki

dampak yang signifikan terhadap kepatuhan pasien dalam minum obat.

Distress psikologis yang tinggi pada pasien Tuberkulosis dapat mengganggu

konsistensi dan motivasi mereka dalam menjalani pengobatan, termasuk dalam hal

minum obat secara teratur. Pasien yang mengalami tekanan psikologis yang tinggi

mungkin cenderung kurang patuh dalam mengonsumsi OAT, yang dapat berdampak

negatif pada efektivitas pengobatan dan mengakibatkan risiko kambuhnya penyakit.

Selain itu, efek samping dari penggunaan OAT juga menjadi faktor penting

yang memengaruhi kepatuhan pasien. Pasien yang mengalami efek samping yang

tidak diinginkan mungkin cenderung menurunkan tingkat kepatuhan mereka dalam

mengonsumsi obat, karena mereka merasa tidak nyaman atau khawatir dengan efek

samping tersebut. Oleh karena itu, penting bagi petugas kesehatan untuk memantau
dan mengelola efek samping yang mungkin timbul dari penggunaan OAT agar dapat

meningkatkan tingkat kepatuhan pasien.

Selain itu, pengawasan menelan obat (PMO) juga menjadi faktor yang

signifikan dalam meningkatkan kepatuhan pasien dalam mengonsumsi OAT. Pasien

yang mendapatkan pengawasan dan dukungan yang memadai dalam menjalani

pengobatan cenderung memiliki tingkat kepatuhan yang lebih tinggi dibandingkan

dengan mereka yang tidak mendapatkan pengawasan yang memadai.

Dengan demikian, hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa distress

psikologis, efek samping, dan pengawasan menelan obat (PMO) memiliki hubungan

yang erat dengan kepatuhan pasien dalam mengonsumsi OAT pada pasien

Tuberkulosis di Kota Jambi. Oleh karena itu, penting bagi petugas kesehatan untuk

memperhatikan dan mengelola faktor-faktor tersebut secara efektif dalam upaya

meningkatkan kepatuhan pasien dan mencapai kesuksesan dalam pengobatan

Tuberkulosis.

D. Hipotesis

Berdasarkan penelitian sebelumnya, diduga bahwa adanya hubungan antara

stres dengan kepatuhan minum obat. Semakin tinggi tingkat stres yang dialami oleh

pasien, maka tingkat kepatuhan minum obat akan menurun. Sebaliknya, semakin

rendah tingkat stres yang dialami oleh pasien, maka tingkat kepatuhan minum obat

akan meningkat. Oleh karena itu, dapat diprediksikan bahwa tingkat stres yang

dialami oleh pasien hipertensi akan mempengaruhi tingkat kepatuhan mereka dalam

minum obat.
Referensi:

Dharma, Galuh Maitri Imantaka, Istar Yuliadi, and Rini Setyowati. 2020. “Hubungan Antara Adversity
Quotient Dengan Distres Psikologis Pada Mahasiswa Program Studi Kedokteran Universitas Sebelas
Maret Surakarta.” Philanthropy Journal of Psychology 4:172–91.

Fathoni, Aryo Bima, and Ratih Arruum Listiyandini. 2021. “Kebersyukuran, Kesepian, Dan
Distres Psikologis Pada Mahasiswa Di Masa Pandemi Covid-19.” Journal of Psychological
Science and Profession 5(1):11–19. doi: 10.24198/jpsp.v5i1.29212.
Fitria khoirun. 2021. “HUBUNGAN ANTARA DISTRES PSIKOLOGIS DAN KEMANDIRIAN
DENGAN SIKAP TERHADAP PENCARIAN BANTUAN PROFESIONAL PSIKOLOGIS
PADA MAHASISWA UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG.”
Nipta Aini. 2022. “PENGARUH DUKUNGAN SOSIAL TERHADAP DISTRES PSIKOLOGIS
PADA MAHASISWA YANG MENGERJAKAN SKRIPSI DAN MENGIKUTI PROGRAM
2022 Officially S.Psi.”
Putri, Arini, and Linda Dwi Novial Fitri. 2021. “Hubungan Tingkat Depresi Dengan Kepatuhan
Minum Obat Pada ODHA Di Puskesmas Temindung Samarinda.” Borneo Student Research
2(2):818–26.

Anda mungkin juga menyukai