UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
BANDUNG
2017
ABSTRAK
merupakan ulser pada mukosa yang disertai sakit dan bersifat rekuren. Faktor
lokal dan sistemik seperti trauma, sensitif terhadap makanan, defisiensi nutrisi,
sebelumnya telah diduga termasuk penyebab RAS. Pada makalah ini, kami
membahas semua studi terdahulu dan meneliti hubungan RAS dengan H.pylori.
Metode dan bahan: data penelitian di Pubmed (MEDLINE) yang dibuat pada
artikel yang diterbitkan hingga Juli 2015 menggunakan kata kunci tersebut :
Helicobacter Pylori atau H.pylori dan RAS atau Recurrent aphtous stomatitis.
Hasil: Lima belas studi percobaan mengenai hubungan antara infeksi H.pylori
dengan RAS dan tiga tinjauan, termasuk tinjauan sistematik dan meta-analisis.
Tinjauan studi ini menggunakan metode berbeda untuk menilai hubungan, yaitu
PCR, nested PCR, kultur, ELISA, dan urea breath test. Variasi beragam pada
sejumlah pasien terdapat pada setiap studi, serta kriteria inklusi dan metode
laboratorial. H.pylori dapat ditemukan pada mukosa oral atau lesi ulserasi pada
beberapa pasien dengan RAS. Kualitas seluruh studi pada tinjauan ini dinilai
Kesimpulan: Walaupun pembasmian infeksi dapat berdampak klinis pada lesi oral
dengan mekanisme yang belum diketahui, ulser pada RAS tidak berhubungan
dengan adanya bakteri pada kavitas oral dan tidak ada dasar ilmu pasti bahwa
PENDAHULUAN
bentuk kecil, bundar, tunggal maupun jamak, rekurensi ulser, dengan dikelilingi
eritema dan tepi berbatas jelas. Ulser disertai sakit muncul secara periodik,
etiologi serta patogenesisnya belum diketahui secara jelas. Faktor lokal dan
penurunan kadar besi, vitamin B3 dan B12, vitamin C dan asam folat.
negatif yang berkolonisasi pada mukosa lambung yang menginfeksi dari adanya
peptic ulser, mukosa lambung dengan limfoma jaringan limfoid, dan kanker
pencarian artikel yang dipublikasikan hingga bulan Juli 2015 menggunakan kata
kunci: Helicobacter Pylori atau H. pylori dan RAS atau Reccurent Aphtous
Stomatitis. Eksperimen dan studi tinjauan yang menilai hubungan antara H. pylori
dengan RAS diikut sertakan dalam studi ini. Kualitas studi dinilai dari tingkat
Tabel 1. Klasifikasi studi yang dipilih untuk tinjauan berdasarkan tipe studi dan
tingkat kebenaran (CEMB 2009)
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Stomatitis aftosa rekuren (SAR) adalah penyakit kronis yag paling sering
terjadi pada rongga mulut, menjangkit sekitar 5-25% dari populasi. SAR adalah
suatu peradangan yang terjadi pada mukosa mulut, biasanya berupa ulser putih
kekuningan. Ulser ini dapat berupa ulser tunggal maupun lebih dari satu. SAR
dapat menyerang gusi, mukosa mulut dan mukosa orofaring. Umumnya terjadi
pada usia 10-40 tahun dan dominannya terjadi pada wanta dan pada kelas
3.1.1 Etiologi
perkembangan lesi SAR baru, dantelah ditemukan meningkat 2 sampai 5 kali lipat
yang berpartisipasi dalam respon inflamasi dari SAR. Bisa diamati melalui tes
darah dan molekul adhesi keratinosit yang ditandai dengan naiknya limfosit. Di
3.1.2 Karakteristik
nekrosis dengan batas jelas dan tegas serta dikelilingi lingkarah kemerahan. Lesi
kebanyakan kasus.
SAR diawali gejala prodormal yang digambarkan dengan rasa sakit dan terbakar
selama 24-48 jam sebelum terjadi ulser. Ulser ini menyakitkan, berbatas jelas,
dan dikelilingi pinggiran yang eritematus dan dapat bertahan untuk beberapa hari
berkembang.
2. Tahap pre-ulserasi, terjadi pada 18-72 jam pertama perkembangan lesi
SAR. Pada tahap ini, makula dan papula akan berkembang dengan tepi
eritematus. Intensitas rasa nyeri akan meningkat sewaktu tahap pre-
ulserasi ini.
3. Tahap ulseratif akan berlanjut selama beberapa hari hingga 2 minggu. Pada
tahap ini papula-papula akan berulserasi dan ulser itu akan diselaputi oleh
berkurang.
4. Tahap penyembuhan, terjadi pada hari ke - 4 hingga 35. Ulser tersebut
akan ditutupi oleh epitelium. Penyembuhan luka terjadi dan sering tidak
meninggalkan jaringan parut dimana lesi SAR pernah muncul. Semua lesi
Berdasarkan hal tersebut SAR dibagi menjadi tiga tipe yaitu stomatitis aftosa
rekuren tipe minor, stomatitis aftosa rekuren tipe mayor, dan stomatitis aftosa
1. SAR Tipe Minor Tipe minor mengenai sebagian besar pasien SAR yaitu
75% sampai dengan 85% dari keseluruhan SAR, yang ditandai dengan
adanya ulser berbentuk bulat dan oval, dangkal, dengan diameter 1-10
mm, dan dikelilingi oleh pinggiran yang eritematous. Ulserasi dari tipe
labial, mukosa bukal dan dasar mulut. Ulserasi biasa tunggal atau
merupakan kelompok yang terdiri atas 4-5 ulser dan akan sembuh dalam
2. SAR Tipe Mayor Tipe mayor diderita 10%-15% dari penderita SAR dan
lebih parah dari tipe minor. Ulser biasanya tunggal, berbentuk oval dan
berdiameter sekitar 1-3 cm, berlangsung selama 2 minggu atau lebih dan
dapat terjadi pada bagian mana saja dari mukosa mulut, termasuk daerah-
daerah berkeratin. Ulser yang besar, dalam serta bertumbuh dengan lambat
3. SAR Tipe Herpetiformis Istilah herpetiformis pada tipe ini dipakai karena
bentuk klinisnya (yang dapat terdiri dari 100 ulser kecil-kecil pada satu
herpes tidak mempunyai peran etiologi pada SAR tipe herpetiformis. SAR
tipe herpetiformis jarang terjadi yaitu sekitar 5%-10% dari kasus SAR.
Setiap ulser berbentuk bulat atau oval, mempunyai diameter 0,5- 3,0 mm
dan bila ulser bergabung bentuknya tidak teratur. Setiap ulser berlangsung
selama satu hingga dua minggu dan tidak akan meninggalkan jaringan
3.1.3 Penatalaksanaan
engurangi rasa sakt dan menccegah timbulnya lesi baru. Untuk SAR ringan
berikan oabt kumur antibakteri lii peratama, contoh: klorheksidin 0,2%. Untuk
SAR ringan-sedang berikan obat kumur antibakteri lini kedua atau yang
dioleskan pada area yang sakit. Jika terdiagnosis adanya infeksi, berikan antibiotic
pada infeksi bakteri, antivirus pada infeksi virus, dan antifungi pada infeksi jamur.
Terapi non farmakologi lebih dianjurkan. Hal ini dimaksudkan untuk memperkuat
imun pasien. Anjurkan konsumsi buah yang mengandung vitamin c, vitamin B12
1000 mcg, banyak minum, hindari makan makanan yang panas dan diikuti dengan
tubuh pasien maka akan menurunkan resiko terjadinya sariawan yang disebabkan
mukosa lambung dan merupakan penyebab penting untuk terjadinya ulkus dan
kecil, melengkung, dan sangat motil. Sebagian besar penderita (>70%) ternyata
asimtomatik (Logan dan Walker, 2002). Peran infeksi Helicobacter pylori pada
kanker lambung semakin dikenal. Saat ini sedang dilakukan evaluasi mengenai
peran infeksi tersebut pada penyakit saluran cerna atas (Suerbaum dan Michetti,
2002).
dan status sosioekonomi yang rendah (Malaty dan Graham, 1994; Logan dan
Walker, 2002). Prevalensi pada usia dewasa pertengahan lebih dari 80% di banyak
Rowland dkk, 1999). Angka kejadian infeksi Helicobacter pylori di dunia cukup
tinggi yaitu 70-90% di negara berkembang dan 40-50% di negara industri (Fox
dengan hipotesis bahwa infeksi terutama diperoleh pada awal masa kanak-kanak.
Sampai saat ini, masih sulit melakukan penilaian secara akurat mengenai insiden
dan rute infeksi karena ketidakakuratan serta biaya deteksi Helicobacter pylori
(non-invasif) pada anak kecil. Akuisisi primer pada orang dewasa, atau reinfeksi
setelah keberhasilan eradikasi memang dapat terjadi, namun lebih jarang; insiden
tahunan adalah 0,3-0,7% di negara maju dan 6-14% di negara berkembang (Logan
keluarga pada masa anak-anak (Feldman, 2001; Rowland dkk, 1999). Di negara
melalui air penting di negara berkembang (Parsonnet dkk, 1999; Goodman dkk,
1996).
namun respon imunologis host tersebut biasanya tidak cukup untuk mengeradikasi
infeksi dan dapat menetap seumur hidup. Selain itu, infeksi dengan satu strain
selanjutnya oleh strain lain yang berbeda. Infeksi oleh beberapa strain cukup
tersebut memungkinkan setiap strain untuk beradaptasi dengan host (Logan dan
Walker, 2002).
pylori mampu beradaptasi dengan baik pada ekologi tersebut. Ia mampu masuk ke
dalam mukus, berenang, menyesuaikan diri dalam mukus, berikatan dengan sel
epitel, menghindar dari respon imun, dan pada akhirnya mampu mengadakan
bakterisidal isi lumen lambung dan kemudian masuk ke dalam lapisan mukosa.
Produksi urease dan motilitas penting pada langkah pertama infeksi tersebut.
2001). Aktivitas enzim tersebut diatur oleh pH-gated urea channel (UreI) yang
terbuka pada pH rendah dan menghentikan influks urea pada kondisi netral
(Weeks dkk, 2000). Motilitas penting untuk kolonisasi, dan flagel Helicobacter
2001).
(Dooley dkk, 1989). Respon inflamasi ini awalnya terdiri dari perekrutan netrofil
yang diikuti oleh limfosit T dan B, sel plasma, dan makrofag, bersama dengan
kerusakan sel epitel (Goodwin dkk, 1986). Karena Helicobacter pylori jarang
nantinya menginduksi apoptosis (Fan dkk, 2000). Perubahan selanjutnya pada sel
dan pada translokasi CagA ke sel epitel lambung (Odenbreit dkk, 2000; Segal dkk,
1999). Urease dan porin Helicobacter pylori dapat berkontribusi pada ekstravasasi
tumor necrosis factor- (Yamaoka dkk, 1996; Yamaoka dkk, 1997; Crabtree dkk,
pengaktivasi netrofil yang poten, diekspresikan oleh sel epitel lambung) memiliki
mukosa yang hebat (Perez-Perez dkk, 1988). Produksi antibodi ini tidak
+ +
terhadap H /K -ATPase sel parietal lambung yang berkorelasi dengan
patogen dari bakteri komensal. Sel T helper (Th) imatur yang mengekspresikan
CD4 dapat berdiferensiasi menjadi dua subtipe fungsional: sel Th1 yang
sebagai respon terhadap patogen ekstrasel, sedangkan sel Th1 sebagian besar
bersifat non-invasif dan menginduksi respon humoral yang kuat, diduga akan
muncul respon sel Th2 (Harris dkk, 2000). Studi terhadap tikus dengan target gen
bersifat protektif terhadap inflamasi lambung (Smythies dkk, 2000). Orientasi Th1
sebagai respon terhadap infeksi Helicobacter pylori (Tomita dkk, 2001). Respon
Th1 ini bersama dengan apoptosis klon sel T spesifik Helicobacter pylori yang
dimediasi Fas berperan dalam persistensi Helicobacter pylori (Wang dkk, 2001).
melalui beberapa mekanisme lain. Kerusakan sel epitel dapat disebabkan oleh
spesies oksigen reaktif atau spesies nitrogen reaktif yang dihasilkan oleh netrofil
yang teraktivasi (Zhang dkk, 1996). Inflamasi kronik juga meningkatkan turnover
dan apoptosis sel epitel; mungkin disebabkan oleh efek kombinasi kontak
langsung yang dimediasi Fas antara sel epitel dan sel Th1 serta interferon- (Rudi
dkk, 1998). Tingkat ekspresi Fas, NF-B, dan mitogen-associated protein (MAP)
dipengaruhi oleh faktor mikrobial dan host (Dixon, 2001). Outcome infeksi
terutama bergantung kepada berat serta topografi gastritis secara histologis yang
dapat ditentukan dari usia saat infeksi didapat. Infeksi saat bayi diduga
duodenum dan lambung. Risiko ulkus peptikum pada pasien yang terinfeksi
meningkatkan risiko kanker lambung (Parsonnet dkk, 1991; Nomura, dkk, 1991;
risiko limfoma MALT pada lambung; dan 72-98% pasien dengan jenis limfoma
Pola dan distribusi gastritis berkorelasi kuat dengan risiko sekuele klinis
yaitu ulkus duodenum dan ulkus lambung, atrofi mukosa, karsinoma lambung,
Helicobacter pylori yang paling banyak), terjadi kehilangan umpan balik regulasi
(namun dengan korpus gaster pensekresi asam yang masih intak), dan beban asam
tinggi yang mencapai duodenum menyebabkan berkembangnya metaplasia sel
Helicobacter pylori dan menyebabkan duodenitis dan memberi risiko tinggi untuk
munculnya RAS adalah kondisi imun yang rendah, malnutrisi, dan adanya
perubahan hormon. Saat RAS muncul, kondisi yang sering terjadi pada pasien
tubuh menjadi berkurang, sehingga untuk beberapa pasien hal ini akan
Pylori untuk berkembang biak dan menjadi patogen. Dengan adanya penambahan
lesi berupa ulcer pada dinding lambung. Lesi pada dinding lambung dapat
nutrisi dan penyerapan nutrisi berkurang, maka secara tidak langsung akan
menyebabkan RAS sukar sembuh. Karena untuk perbaikan jaringan pada lesi
lesi yang sukar sembuh disertai dengan adanya rasa sakit di bagian perut. Jika hal
tersebut terjadi pada tempat praktek, hal pertama yang harus dilakukan adalah
gejala, riwayat penyakit lambung, dan jenis rasa sakit yang diderita pasien. Hal ini
penting dilakukan untuk mengetahui jenis terapi yang akan diberikan selanjutnya
rongga mulut untuk perawatan RAS, yaitu pemberian OHI, salep Triamcynolone
acetonide 0,1% dan vitamin B12. Selain itu sebagai dokter gigi, juga
Pemeriksaan darah ini dilakukan untuk mengetahui kadar leukosit dalam darah.
Jika jumlahnya tinggi, maka kemungkinan telah terjadi infeksi. Jika hal tersebut
menyenai infeksinya.
Untuk jenis sakit yang sedang dan parah dan sering terjadi, dokter gigi
untuk rasa sakit yang parah, pada anamnesa disertai dengan adanya demam, rasa
mual, diare, dan muntah. Oleh karena itu selain menangani dan memberikan
pengobatan pada rongga mulut, dokter gigi sebagai lini pertama sebaiknya
Kami memasukan review dari lima belas hasil studi penelitian yang
menunjukan adanya hubungan antara infeksi H.pylori dan RAS, dan review dari
memeriksa hubungan tersebut (tabel 2). Seperti yang terlihat ada tabel, terdapat
variasi jumlah pasien yang dieriksa pada setiap penelitian, begitu pula dengan
biopsi dari lesi yang digunakan (7-9) dari pada teknik swab (10-16). Sepuluh dari
lima belas studi tidak menunjukan perbedaan yang signifikan mengenai hubungan
mendiagnosa RAS. Karena sifat idiopatik RAS tidak spesifik dan diagnosisnya
depan sangat penting. Terdapat review yang baik mengenai asek klinis dan
keberadaan H.pylori DNA pada delapan studi (8-11, 13, 16). Dua diantaranya
H.pylori dan keberadaan RAS (9,11). Sedangkan Brick, et al. (11) mendeteksi
H.pylori ada 72% dari sampel RAS menggunakan PCR dan RT-PCR , Elsheik &
Mahfouz (9) melaporkan bahwa ini banyak diobservasi dari lesi yang dilokaisasi
dari jaringan mukosa yang berhubungan dengan limfoid dari faring. Bagaimana
pun juga, penting untuk menekankan bahwa deteksi simpel bakteri pada lesi oral
sebagai pembawa dan mungkin juga bukan sebagai faktor inisiasi dari penyakit
ini. Kebanyakan dari penelitian yang menggunakan PCR dan nested PCR tidak
dari lesi RAS termasuk pada penelitian (8,10, 13-16). Tidak ada penelitian yang
melaporkan terdapat perbedaan yang signifikan secara statistik antara sampel yang
positif dan sampel kontrol. Terdapat hal menarik, semua penulis yang
pada lesi oral tidak menemukan hubungan yang positif (10, 13-15). Frekuensi
H.pylori pada mukosa oral yang tidak terinfeksi pada pasien penderita RAS tidak
menggunakan analisis primer PCR dari H.pylori dari sampel plak gigi.mereka
direkomendasikan untuk deteksi H.pylori pada rongga mulut. Hal penting yang
H.pylori yang juga harus diperhatikan (21). Sebagai tambahan beberapa primer
yang digunakan pada penelitian juga ampuh pada sesies helicobacter lain yang
bisa ditemukan pada tubuh manusia bagian lainnya, seperti H.Fennelliae dan
H.cinaedas (22). Kontrol positif dan negatif bersama DNA secara langsung
menunjukan produk PCR yang paling tepat dan primer yang harus digunakan
untuk mendeteksi H.pylori dari sampel yang dikumpulkan dari rongga mulut.
hubungan yang positif antara keberadaan bakteri dalam perut dan munculnya RAS
pada rongga mulut. Pada penelitian karaca, et al. (23) dan Tas, et al. (24) 87% dan
65% dari pasien dengan RAS menunjukan bakteri pada mukosa lambung. Pada
mendeteksi antibodi spesifik dari H.pylori ada pasien RAS (12,16,17, 25). Pada
penelitian Farmaki et,al (25) kebanyakan pasien RAS menunjukan hasil positif
pada test ELISA pada serum dan salivanya. Penelitian lain yang menggunakan
ELISA tidak menemukan hubungan antara keberadaan anti H.pylori antibodi dan
subjek RAS menunjukan hasil positif pada tes ELISA, 16 pasien memiliki
masalah lambung dan 10 pasien tidak. Penulis tidak menemukan hubungan antara
H.pylori positif pada tes ELISA dengan keberadaan bakteri ini pada lesi RAS.
Pada penelitian Porter et al.(17) frekuensi dari anti H.pylori seropositif tidak
signifikan pada pasien RAS (30,6%) dibandingkan dengan pasien ulserasi lain
(33,0%) dan kontrol (24%). Shinomiya et al. (12) mengukur keberadaan IgG
3kasus yang serositif. Meskipun tidak ada analisis tambahan yang dilakukan pada
penelitian yang berbasis ELISA, seperti tidak ada bukti yang menghubungkan
RAS. Shinomiya et al. (12) mengumulkan kultur yang di swab dari lesi ulcer dari
12 pasien. Hasilnya menunjukan tidak ada pasien yang positif dari kultur bakteri
tersebut. Chapman et al (7) tidak menemukan adanya H.pylori dari sampel biopsi
dari pasien RAS aktif dan memiliki riwayat RAS setelah menggunakan kultur
antara H.pylori dan RAS dari enelitian yang dilakukan oleh Maleki et al.(18)
menggunakan UBT (Urea Breath Test). Lebih jauh lagi, penting untuk
menyatakan bahwa H.pylori ada rongga mulut mungkin tidak bisa dikultur
melakukan meta analisis ada penelitian yang dipublikasikan sampai tahun 2013
yang mengevaluasi revalensi infeksi oleh H.pylori pada pasien RAS dan kontrol.
Ada review ini ditemukan meningkatnya resiko RAS pada psien yang terinfeksi
dengan anemia yang disebabkan oleh H.pylori positif pada saluran cerna.
Tabel 2 Studi yang meneliti hubungan RAS dengan adanya infeksi H.pylori
-Penangan infeksi Helicobacter pylori dan RAS
Ketika tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa ulser pada RAS disebabkan
H.pylori berdampak pada aspek klinis pada penyakit mulut tersebut. Karaca et al.
Pasien dengan H.pylori dilakukan terapi dan kontrol apabila ada rekurensi.
al. meneliti 34 pasien RAS yang positif terdapat H.pylori. Setelah terapi,
rekurensi lesi RAS dan gejalanya. Tas et al. meneliti 46 pasien dengan RAS
selama 6 bulan dan mencatat kadar vitamin B12. 30 dari 46 pasien tersebut positif
terdapat H.pylori. Peneliti menemukan derajat vitamin B12 meningkat pesat pada
pasien RAS yang dilakukan pembasmian H,pylori. Studi ini berpendapat bahwa
efek pada derajat vitamin B12 merupakan mekanisme yang terjadi ketika
temuan ini perlu diuji kembali pada pasien dalam jumlah besar dengan waktu
kontrol yang panjang. Selain itu, mekanisme biologi lainnya yang berkaitan
KESIMPULAN
pengurangan. Akan tetapi sebagian besar studi tidak mendukung adanya hubungan
ulser RAS dengan kehadiran bakteri pada rongga mulut dan kehadiran bakteri
pada ulser menunjukkan adanya infeksi pda tubuh pasien dan bukan merupakan
faktor pencetus adanya ulser. Tidak terdapat adanya bukti yang menyebutkan
hubungan langsung dan akibat infeksi H. pylori dan perkembangan ulser pada
RAS. Hubungan ini membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut dengan bentuk studi
Crabtree JE, Shallcross TM, Heatley RV, Wyatt JI. 1991. Mucosal tumour necrosis
factor alpha and interleukin-6 in patients with Helicobacter pylori
associated gastritis; 32:1473-7.
Boyanova, Lyudmila, dkk. 2011. Helicobacter pylori. UK : Caister Academic
Press.
Dooley CP, Cohen H, Fitzgibbons PL, et al. 1989. Prevalence of Helicobacter
pylori infection and histologic gastritis in asymptomatic persons. N Engl J
Med; 321:1562-6.
Gomes CC, Gomez RS, Zina LG, Amaral FR. 2016. Recurrent aphthous
stomatitis and Helicobacter pylori. Med Oral Patol Oral Cir Bucal.1;21
(2):e187-91.
Goodwin CS, Armstrong JA, Marshall BJ. 1993. Campylobacter pyloridis,
gastritis, and peptic ulceration. J Clin Pathol; 39:353-65.
Konturek SJ, Konturek PC, Konturek JW, Plonka M, Czesnikiewicz-Guzik M,
Brzozowski T, Bielanski W. 2006. Helycobacter pylori and its involvement
in gastritis and peptic ulcer formation. Journal of physiology and
pharmacology; 57, Supp 3, 29-50.
Preety, L et all. Recurent Apthous Stomatitis. 2011. J Oral Maxillofac Pathol.
2011 Sep-Dec; 15(3): 252256.
Sleboida, Z et all. Recurent Aptous Stomatitus: genetic aspect etiology. 2013. J
Postempy Dermatology:Allergy XXX. 2013-2: 92-102
Suerbaum, Sebastian dan Pierre. 2012. Helicobacter pylori infection. N Engl J
Med Vol.347, No.15.
Suzuki, Hidekazu, dkk. 2016. Helicobacter pylori. Japan : Springer.