Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH SEMINAR ILMU PENYAKIT MULUT

Jurnal : Recurrent aphthous stomatitis and Helicobacter pylori


Pengarang : Carolina-Cavaliri Gomes, Ricardo-Santiago Gomez, Lvia-
Guimares Zina , Fabrcio-Rezende Amaral
Pembimbing : Nanan Nuraeny, drg., Sp.PM
Seminaris : Swarantika Aulia R. 160112150078
Yustina Marietta 160112150514
Wafa Fathya Ismail 160112150520

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
BANDUNG
2017
ABSTRAK

Latar belakang : Stomatitis aftosa rekuren / recurrent aphtous stomatitis (RAS)

merupakan ulser pada mukosa yang disertai sakit dan bersifat rekuren. Faktor

lokal dan sistemik seperti trauma, sensitif terhadap makanan, defisiensi nutrisi,

kondisi sistemik, gangguan imun dan keberagaman morfologi genetik berkaitan

dengan adanya penyakit ini. Helicobacter pylori (H.pylori) merupakan bakteri

mikroaerofil gram negatif yang berkolonisasi pada mukosa lambung yang

sebelumnya telah diduga termasuk penyebab RAS. Pada makalah ini, kami

membahas semua studi terdahulu dan meneliti hubungan RAS dengan H.pylori.

Metode dan bahan: data penelitian di Pubmed (MEDLINE) yang dibuat pada

artikel yang diterbitkan hingga Juli 2015 menggunakan kata kunci tersebut :

Helicobacter Pylori atau H.pylori dan RAS atau Recurrent aphtous stomatitis.

Hasil: Lima belas studi percobaan mengenai hubungan antara infeksi H.pylori

dengan RAS dan tiga tinjauan, termasuk tinjauan sistematik dan meta-analisis.

Tinjauan studi ini menggunakan metode berbeda untuk menilai hubungan, yaitu

PCR, nested PCR, kultur, ELISA, dan urea breath test. Variasi beragam pada

sejumlah pasien terdapat pada setiap studi, serta kriteria inklusi dan metode

laboratorial. H.pylori dapat ditemukan pada mukosa oral atau lesi ulserasi pada

beberapa pasien dengan RAS. Kualitas seluruh studi pada tinjauan ini dinilai

menggunakan derajat berdasarkan University of Oxfords Center for Evidence

Based Medicine Criteria.

Kesimpulan: Walaupun pembasmian infeksi dapat berdampak klinis pada lesi oral

dengan mekanisme yang belum diketahui, ulser pada RAS tidak berhubungan
dengan adanya bakteri pada kavitas oral dan tidak ada dasar ilmu pasti bahwa

infeksi H.pylori menyebabkan RAS.

Kata kunci : Campylobacter, elisa, h.pylori, Helicobacter Pylori, RAS, recurrent

aphtous stomatitis, PCR.


BAB I

PENDAHULUAN

Recurrent aphtous stomatitis (RAS) sangat sering terjadi dengan ciri-ciri

bentuk kecil, bundar, tunggal maupun jamak, rekurensi ulser, dengan dikelilingi

eritema dan tepi berbatas jelas. Ulser disertai sakit muncul secara periodik,

muncul ketika anak-anak, dan cenderung berkurang keparahannya seiring

bertambahnya usia. Diagnosis RAS ditentukan berdasarkan pemeriksaan klinis,

etiologi serta patogenesisnya belum diketahui secara jelas. Faktor lokal dan

sistemik diperkirakan mempengaruhi munculnya RAS. Faktor-faktor ini

diilustrasikan pada gambar 1. Sebagai contoh, beberapa keberagaman morfologi

genetik disertai dengan RAS. Beberapa faktor predisposisi yaitu trauma,

perubahan hormon, pola makan, kekurangan nutrisi, gangguan pencernaan, dan

gangguan imun. Beberapa studi mengenai kekurangan nutrisi menemukan adanya

penurunan kadar besi, vitamin B3 dan B12, vitamin C dan asam folat.

Helicobacter pylori (H. pylori) merupakan bakteri mikroaerofil gram

negatif yang berkolonisasi pada mukosa lambung yang menginfeksi dari adanya

peptic ulser, mukosa lambung dengan limfoma jaringan limfoid, dan kanker

lambung. Walaupun H.pylori dianggap sebagai salah satu faktor etiologi

pathogenesis RAS, keterlibatannya masih didebatkan. Pada makalah in, kami

membahas isu kontroversial tersebut dan mengkaji dasar ilmunya.


BAB II

MATERIAL DAN METODE

Hubungan antara RAS dengan Helicobacter pylori

Pada tinjauan ini, database Pubmed (MEDLINE) didapat dari hasil

pencarian artikel yang dipublikasikan hingga bulan Juli 2015 menggunakan kata

kunci: Helicobacter Pylori atau H. pylori dan RAS atau Reccurent Aphtous

Stomatitis. Eksperimen dan studi tinjauan yang menilai hubungan antara H. pylori

dengan RAS diikut sertakan dalam studi ini. Kualitas studi dinilai dari tingkat

kebenaran oleh University of Oxfords Center untuk kriteria evidence based

medicine (CEMB 2009) (Tabel 1).

Tabel 1. Klasifikasi studi yang dipilih untuk tinjauan berdasarkan tipe studi dan
tingkat kebenaran (CEMB 2009)
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Stomatitis Aftosa Rekuren

Stomatitis aftosa rekuren (SAR) adalah penyakit kronis yag paling sering

terjadi pada rongga mulut, menjangkit sekitar 5-25% dari populasi. SAR adalah

suatu peradangan yang terjadi pada mukosa mulut, biasanya berupa ulser putih

kekuningan. Ulser ini dapat berupa ulser tunggal maupun lebih dari satu. SAR

dapat menyerang gusi, mukosa mulut dan mukosa orofaring. Umumnya terjadi

pada usia 10-40 tahun dan dominannya terjadi pada wanta dan pada kelas

masyarakat menengah keatas.

3.1.1 Etiologi

Etiologi pasti SAR belum bisa dijelaskan. Tetapi beberapa faktor

predisposisi telah diketahui, seperti genetik, hormona (saat menstruasi), stess,

merokok, trauma lokal, alergi makanan, dan infeksi mikroba.

Perubahan kekebalan tubuh telah lama diamati, dimulai dengan tidak

diketahuinyastimulasi antigenik dari keratinosit, dan mengakibatkan aktivasi

limfosit T, sekresi sitokin (termasuk tumor necrosis factor-alpha (TNF-), dan

kemotaksis leukosit. TNF- diyakini memainkan peran penting dalam

perkembangan lesi SAR baru, dantelah ditemukan meningkat 2 sampai 5 kali lipat

dalam air liur pasien yang terkena.


Perubahan dalam kandungan saliva, seperti enzim superoxide dismutase (SOD),

yang berpartisipasi dalam respon inflamasi dari SAR. Bisa diamati melalui tes

darah dan molekul adhesi keratinosit yang ditandai dengan naiknya limfosit. Di

sisi lain, banyak penyakit sistemik yang bermanifestasi di rongga mulut,termasuk

sindrom Behet, gangguan hematologi,kekurangan vitamin, penyakit

gastrointestinal, siklik neutropenia, dan sindrom Reiter.

3.1.2 Karakteristik

Karakteristik stomatitis aftosa rekuren (SAR) berupa lesi ulser putih

nekrosis dengan batas jelas dan tegas serta dikelilingi lingkarah kemerahan. Lesi

berisfat berulang, kronis, dan sembuh dengan sendirinya (self-limiting) pada

kebanyakan kasus.

SAR diawali gejala prodormal yang digambarkan dengan rasa sakit dan terbakar

selama 24-48 jam sebelum terjadi ulser. Ulser ini menyakitkan, berbatas jelas,

dangkal, bulat atau oval, tertutup selaput pseudomembran kuning keabu-abuan,

dan dikelilingi pinggiran yang eritematus dan dapat bertahan untuk beberapa hari

atau bulan. Tahap perkembangan SAR dibagi kepada 4 tahap yaitu:

1. Tahap premonitori, terjadi pada 24 jam pertama perkembangan lesi SAR.

Pada waktu prodromal, pasien akan merasakan sensasi mulut terbakar

pada tempat dimana lesi akan muncul. Secara mikroskopis sel-sel

mononuklear akan menginfeksi epitelium, dan edema akan mulai

berkembang.
2. Tahap pre-ulserasi, terjadi pada 18-72 jam pertama perkembangan lesi

SAR. Pada tahap ini, makula dan papula akan berkembang dengan tepi
eritematus. Intensitas rasa nyeri akan meningkat sewaktu tahap pre-

ulserasi ini.
3. Tahap ulseratif akan berlanjut selama beberapa hari hingga 2 minggu. Pada

tahap ini papula-papula akan berulserasi dan ulser itu akan diselaputi oleh

lapisan fibromembranous yang akan diikuti oleh intensitas nyeri yang

berkurang.
4. Tahap penyembuhan, terjadi pada hari ke - 4 hingga 35. Ulser tersebut

akan ditutupi oleh epitelium. Penyembuhan luka terjadi dan sering tidak

meninggalkan jaringan parut dimana lesi SAR pernah muncul. Semua lesi

SAR menyembuh dan lesi baru berkembang.

Berdasarkan hal tersebut SAR dibagi menjadi tiga tipe yaitu stomatitis aftosa

rekuren tipe minor, stomatitis aftosa rekuren tipe mayor, dan stomatitis aftosa

rekuren tipe herpetiformis.

1. SAR Tipe Minor Tipe minor mengenai sebagian besar pasien SAR yaitu

75% sampai dengan 85% dari keseluruhan SAR, yang ditandai dengan

adanya ulser berbentuk bulat dan oval, dangkal, dengan diameter 1-10

mm, dan dikelilingi oleh pinggiran yang eritematous. Ulserasi dari tipe

minor cenderung mengenai daerah-daerah non-keratin, seperti mukosa

labial, mukosa bukal dan dasar mulut. Ulserasi biasa tunggal atau

merupakan kelompok yang terdiri atas 4-5 ulser dan akan sembuh dalam

waktu 10-14 hari tanpa meninggalkan bekas jaringan parut.


Gambar 3.1 Stomatitis aftosa rekuren tipe minor.

2. SAR Tipe Mayor Tipe mayor diderita 10%-15% dari penderita SAR dan

lebih parah dari tipe minor. Ulser biasanya tunggal, berbentuk oval dan

berdiameter sekitar 1-3 cm, berlangsung selama 2 minggu atau lebih dan

dapat terjadi pada bagian mana saja dari mukosa mulut, termasuk daerah-

daerah berkeratin. Ulser yang besar, dalam serta bertumbuh dengan lambat

biasanya terbentuk dengan bagian tepi yang menonjol serta eritematous

dan mengkilat, yang menunjukkan bahwa terjadi edema. Selalu

meninggalkan jaringan parut setelah sembuh dan jaringan parut tersebut

terjadi karena keparahan dan lamanya ulser.

Gambar 3.2 Stomatitis aftosa rekuren tipe mayor.

3. SAR Tipe Herpetiformis Istilah herpetiformis pada tipe ini dipakai karena

bentuk klinisnya (yang dapat terdiri dari 100 ulser kecil-kecil pada satu

waktu) mirip dengan gingivostomatitis herpetik primer, tetapi virus-virus

herpes tidak mempunyai peran etiologi pada SAR tipe herpetiformis. SAR

tipe herpetiformis jarang terjadi yaitu sekitar 5%-10% dari kasus SAR.

Setiap ulser berbentuk bulat atau oval, mempunyai diameter 0,5- 3,0 mm

dan bila ulser bergabung bentuknya tidak teratur. Setiap ulser berlangsung
selama satu hingga dua minggu dan tidak akan meninggalkan jaringan

parut ketika sembuh.

Gambar 3.3 Stomatitis aftosa rekuren tipe herpetiformis

3.1.3 Penatalaksanaan

Terapi pada SAR merupakan terapi simptomatik. Tidak ada pengobatan

secara farmakologis yang efektif terhadap SAR. Pengobatan ditujukan untuk

engurangi rasa sakt dan menccegah timbulnya lesi baru. Untuk SAR ringan

berikan oabt kumur antibakteri lii peratama, contoh: klorheksidin 0,2%. Untuk

SAR ringan-sedang berikan obat kumur antibakteri lini kedua atau yang

mengandung anestesi local contoh: benzydamine 0,15%, lignocain 1% gel

dioleskan pada area yang sakit. Jika terdiagnosis adanya infeksi, berikan antibiotic

pada infeksi bakteri, antivirus pada infeksi virus, dan antifungi pada infeksi jamur.

Terapi non farmakologi lebih dianjurkan. Hal ini dimaksudkan untuk memperkuat

imun pasien. Anjurkan konsumsi buah yang mengandung vitamin c, vitamin B12

1000 mcg, banyak minum, hindari makan makanan yang panas dan diikuti dengan

minum minuman dingin. Dengan memperbaiki dan meningkatkan daya tahan

tubuh pasien maka akan menurunkan resiko terjadinya sariawan yang disebabkan

penurunan system imun.


3.2 Infeksi Helicobacter pylori

Helicobacter pylori adalah bakteri Gram negatif yang berkolonisasi di

mukosa lambung dan merupakan penyebab penting untuk terjadinya ulkus dan

karsinoma lambung (Marshall dan Warren, 1984). Helicobacter pylori berbentuk

kecil, melengkung, dan sangat motil. Sebagian besar penderita (>70%) ternyata

asimtomatik (Logan dan Walker, 2002). Peran infeksi Helicobacter pylori pada

kanker lambung semakin dikenal. Saat ini sedang dilakukan evaluasi mengenai

peran infeksi tersebut pada penyakit saluran cerna atas (Suerbaum dan Michetti,

2002).

Helicobacter pylori merupakan salah satu bakteri patogen yang paling

sering ditemukan pada manusia. Prevalensinya bervariasi, namun rendah di

sebagian besar negara maju. Seropositivitas meningkat seiring bertambahnya usia

dan status sosioekonomi yang rendah (Malaty dan Graham, 1994; Logan dan

Walker, 2002). Prevalensi pada usia dewasa pertengahan lebih dari 80% di banyak

negara berkembang, sedangkan di negara maju sebesar 20-50% (Feldman, 2001;

Rowland dkk, 1999). Angka kejadian infeksi Helicobacter pylori di dunia cukup

tinggi yaitu 70-90% di negara berkembang dan 40-50% di negara industri (Fox

dan Megraud, 2007); sedangkan di Denpasar adalah 41,2% (Sumandi, 2005).

Studi seroepidemiologi retrospektif menunjukkan efek kohort yang sesuai

dengan hipotesis bahwa infeksi terutama diperoleh pada awal masa kanak-kanak.

Sampai saat ini, masih sulit melakukan penilaian secara akurat mengenai insiden

dan rute infeksi karena ketidakakuratan serta biaya deteksi Helicobacter pylori
(non-invasif) pada anak kecil. Akuisisi primer pada orang dewasa, atau reinfeksi

setelah keberhasilan eradikasi memang dapat terjadi, namun lebih jarang; insiden

tahunan adalah 0,3-0,7% di negara maju dan 6-14% di negara berkembang (Logan

dan Walker, 2002).

Infeksi didapat secara oral dan terutama ditransmisikan di antara anggota

keluarga pada masa anak-anak (Feldman, 2001; Rowland dkk, 1999). Di negara

maju, tampaknya transmisi secara langsung dari orang ke orang melalui

muntahan, saliva, atau feses mendominasi; sedangkan transmisi lain seperti

melalui air penting di negara berkembang (Parsonnet dkk, 1999; Goodman dkk,

1996).

3.2.1 Perjalanan Alamiah Infeksi Helicobacter pylori

Meskipun Helicobacter pylori menginduksi gastritis inflamasi akut,

namun respon imunologis host tersebut biasanya tidak cukup untuk mengeradikasi

infeksi dan dapat menetap seumur hidup. Selain itu, infeksi dengan satu strain

dari Helicobacter pylori tidak menghasilkan perlindungan terhadap ko-infeksi

selanjutnya oleh strain lain yang berbeda. Infeksi oleh beberapa strain cukup

sering terjadi dan lebih banyak ditemukan di negara berkembang. Infeksi

poliklonal memungkinkan sejumlah strain untuk saling bertukar DNA. Hal

tersebut dapat meningkatkan penyebaran gen yang mengkode faktor virulensi

penting ataupun resistensi terhadap antibiotik (Logan dan Walker, 2002).

Helicobacter pylori dengan enzim urease dan produk lainnya telah

beradaptasi sangat baik dalam cairan lambung. Ia juga memiliki heterogenitas


genetik (tidak ada strain yang identik); studi menunjukkan bahwa diversitas

tersebut memungkinkan setiap strain untuk beradaptasi dengan host (Logan dan

Walker, 2002).

Mukosa lambung sangat terlindungi dari infeksi bakteri. Helicobacter

pylori mampu beradaptasi dengan baik pada ekologi tersebut. Ia mampu masuk ke

dalam mukus, berenang, menyesuaikan diri dalam mukus, berikatan dengan sel

epitel, menghindar dari respon imun, dan pada akhirnya mampu mengadakan

kolonisasi persisten dan transmisi (Suerbaum dan Michetti, 2002).

Setelah tertelan, Helicobacter pylori harus menghindar dari aktivitas

bakterisidal isi lumen lambung dan kemudian masuk ke dalam lapisan mukosa.

Produksi urease dan motilitas penting pada langkah pertama infeksi tersebut.

Urease menghidrolisasi urea menjadi karbondioksida dan amonia yang

memungkinkan Helicobacter pylori bertahan dalam lingkungan asam (Mobley,

2001). Aktivitas enzim tersebut diatur oleh pH-gated urea channel (UreI) yang

terbuka pada pH rendah dan menghentikan influks urea pada kondisi netral

(Weeks dkk, 2000). Motilitas penting untuk kolonisasi, dan flagel Helicobacter

pylori telah beradaptasi dengan lingkungan lambung (Josenhans dan Suerbaum,

2001).

Helicobacter pylori menyebabkan inflamasi kontinyu pada lambung

(Dooley dkk, 1989). Respon inflamasi ini awalnya terdiri dari perekrutan netrofil

yang diikuti oleh limfosit T dan B, sel plasma, dan makrofag, bersama dengan

kerusakan sel epitel (Goodwin dkk, 1986). Karena Helicobacter pylori jarang

menginvasi mukosa lambung, respon host terutama dicetuskan oleh menempelnya


bakteri ke sel epitel. Patogen tersebut kemudian berikatan dengan molekul major-

histocompatibility-complex (MHC) kelas II di permukaan sel epitel lambung yang

nantinya menginduksi apoptosis (Fan dkk, 2000). Perubahan selanjutnya pada sel

epitel bergantung pada protein yang dikode di cag-pathogenicity island (cag-PAI)

dan pada translokasi CagA ke sel epitel lambung (Odenbreit dkk, 2000; Segal dkk,

1999). Urease dan porin Helicobacter pylori dapat berkontribusi pada ekstravasasi

dan kemotaksis netrofil (Tufano dkk, 1994; Mai dkk, 1992).

Epitel lambung pasien yang terinfeksi Helicobacter pylori mengalami

peningkatan kadar interleukin-1, interleukin-2, interleukin-6, interleukin-8, dan

tumor necrosis factor- (Yamaoka dkk, 1996; Yamaoka dkk, 1997; Crabtree dkk,

1991; Crabtree dkk, 1994). Di antara sitokin tersebut, interleukin-8 (kemokin

pengaktivasi netrofil yang poten, diekspresikan oleh sel epitel lambung) memiliki

peran sentral (Yamaoka dkk, 1996).

Infeksi Helicobacter pylori menginduksi respon humoral sistemik dan

mukosa yang hebat (Perez-Perez dkk, 1988). Produksi antibodi ini tidak

menyebabkan eradikasi infeksi namun berkontribusi terhadap kerusakan jaringan.

Sejumlah pasien yang terinfeksi Helicobacter pylori memiliki respon autoantibodi

+ +
terhadap H /K -ATPase sel parietal lambung yang berkorelasi dengan

peningkatan atrofi pada korpus (Negrini dkk, 1997).

Pada respon imun spesifik, muncul subgrup sel T. Sel tersebut

berpartisipasi dalam proteksi mukosa dan membantu membedakan bakteria

patogen dari bakteri komensal. Sel T helper (Th) imatur yang mengekspresikan

CD4 dapat berdiferensiasi menjadi dua subtipe fungsional: sel Th1 yang

mensekresikan interleukin-2 dan interferon-; dan sel Th2 yang mensekresikan


interleukin-4, interleukin-5, dan interleukin-10. Sel Th2 menstimulasi sel B

sebagai respon terhadap patogen ekstrasel, sedangkan sel Th1 sebagian besar

diinduksi sebagai respon terhadap patogen intrasel. Karena Helicobacter pylori

bersifat non-invasif dan menginduksi respon humoral yang kuat, diduga akan

muncul respon sel Th2 (Harris dkk, 2000). Studi terhadap tikus dengan target gen

menunjukkan bahwa sitokin Th1 menyebabkan gastritis, sedangkan sitokin Th2

bersifat protektif terhadap inflamasi lambung (Smythies dkk, 2000). Orientasi Th1

ini mungkin disebabkan oleh peningkatan produksi interleukin-18 di antrum

sebagai respon terhadap infeksi Helicobacter pylori (Tomita dkk, 2001). Respon

Th1 ini bersama dengan apoptosis klon sel T spesifik Helicobacter pylori yang

dimediasi Fas berperan dalam persistensi Helicobacter pylori (Wang dkk, 2001).

Selain kerusakan yang berhubungan dengan translokasi protein yang

dimediasi cag-PAI, infeksi Helicobacter pylori menyebabkan cedera epitel

melalui beberapa mekanisme lain. Kerusakan sel epitel dapat disebabkan oleh

spesies oksigen reaktif atau spesies nitrogen reaktif yang dihasilkan oleh netrofil

yang teraktivasi (Zhang dkk, 1996). Inflamasi kronik juga meningkatkan turnover

dan apoptosis sel epitel; mungkin disebabkan oleh efek kombinasi kontak

langsung yang dimediasi Fas antara sel epitel dan sel Th1 serta interferon- (Rudi

dkk, 1998). Tingkat ekspresi Fas, NF-B, dan mitogen-associated protein (MAP)

kinase nantinya akan diregulasi oleh interleukin-1. Polimorfisme proinflamasi

gen interleukin-1 membantu terjadinya gastritis dominan di korpus lambung,

yang berhubungan dengan hipokhloridia, atrofi gaster, dan adenokarsinoma

lambung. Jika polimorfisme proinflamasi tersebut tidak ada, gastritis yang


dimediasi Helicobacter pylori akan terjadi dengan dominansi di antrum dimana

sekresi asam lambung normal sampai tinggi (El-Omar dkk, 2001).

Perjalanan alamiah infeksi Helicobacter pylori sangat bervariasi dan

dipengaruhi oleh faktor mikrobial dan host (Dixon, 2001). Outcome infeksi

terutama bergantung kepada berat serta topografi gastritis secara histologis yang

dapat ditentukan dari usia saat infeksi didapat. Infeksi saat bayi diduga

menyebabkan pangastritis sedangkan akuisisi di masa kanak-kanak dapat

menyebabkan gastritis predominan antrum (Logan dan Walker, 2002).

Helicobacter pylori bertanggung jawab untuk sebagian besar ulkus

duodenum dan lambung. Risiko ulkus peptikum pada pasien yang terinfeksi

Helicobacter pylori berkisar dari 3% di Amerika Serikat sampai 25% di Jepang

(Feldman, 2001; Schlemper dkk, 1996).

Kanker lambung adalah penyebab kematian akibat kanker terbanyak

kedua. Bukti yang sangat kuat menunjukkan bahwa Helicobacter pylori

meningkatkan risiko kanker lambung (Parsonnet dkk, 1991; Nomura, dkk, 1991;

Forman dkk, 1991). Infeksi Helicobacter pylori secara bermakna meningkatkan

risiko limfoma MALT pada lambung; dan 72-98% pasien dengan jenis limfoma

ini terinfeksi Helicobacter pylori (Parsonnet dkk, 1994; Wotherspoon, 1998).

Pola dan distribusi gastritis berkorelasi kuat dengan risiko sekuele klinis

yaitu ulkus duodenum dan ulkus lambung, atrofi mukosa, karsinoma lambung,

ataupun limfoma lambung. Pada gastritis predominan antrum (bentuk

Helicobacter pylori yang paling banyak), terjadi kehilangan umpan balik regulasi

(namun dengan korpus gaster pensekresi asam yang masih intak), dan beban asam
tinggi yang mencapai duodenum menyebabkan berkembangnya metaplasia sel

duodenum menjadi sel gaster. Metaplasia tersebut kemudian dikolonisasi oleh

Helicobacter pylori dan menyebabkan duodenitis dan memberi risiko tinggi untuk

terjadinya ulkus duodenum. Sedangkan pasien pangastritis (dengan inflamasi

korpus dan atrofi multifokal) berhubungan dengan hilangnya sel-sel pensekresi

asam yang meningkatkan risiko terjadinya ulkus lambung, atrofi lambung,

metaplasia intestinal, dan pada akhirnya akan menjadi karsinoma lambung

(Dixon, 2001; Logan dan Walker, 2002).

Gambar 3.4 Perjalanan Alamiah Infeksi Helicobacter pylori

(Suerbaum dan Michetti, 2002)

3.2.2 Mekanisme terjadinya RAS dan infeksi H.Pylori


Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, salah satu faktor pencetus

munculnya RAS adalah kondisi imun yang rendah, malnutrisi, dan adanya

perubahan hormon. Saat RAS muncul, kondisi yang sering terjadi pada pasien

adalah kurangnya asupan makanan yang mengakibatkan asupan nutrisi untuk

tubuh menjadi berkurang, sehingga untuk beberapa pasien hal ini akan

menyebabkan peningkatan produksi asam lambung. Peningkatan produksi asam

lambung ini akan menjadi lingkungan yang menguntungkan bagi bakteri H.

Pylori untuk berkembang biak dan menjadi patogen. Dengan adanya penambahan

jumlah H. Pylori dan peningkatan asam lambung, akan menyebabkan munculnya

lesi berupa ulcer pada dinding lambung. Lesi pada dinding lambung dapat

menyebabkan fungsi penyerapan sari makanan menjadi berkurang. Jika intake

nutrisi dan penyerapan nutrisi berkurang, maka secara tidak langsung akan

menyebabkan RAS sukar sembuh. Karena untuk perbaikan jaringan pada lesi

RAS, dibutuhkan sejumlah nutrisi dan vitamin yang cukup.

3.2.3 Terapi RAS dengan infeksi H. Pylori

Beberapa pasien akan datang ke praktek dokter gigi mengeluhkan adanya

lesi yang sukar sembuh disertai dengan adanya rasa sakit di bagian perut. Jika hal

tersebut terjadi pada tempat praktek, hal pertama yang harus dilakukan adalah

melakukan analisis dengan lengkap, sehingga dapat diketahui mengenai waktu,

gejala, riwayat penyakit lambung, dan jenis rasa sakit yang diderita pasien. Hal ini

penting dilakukan untuk mengetahui jenis terapi yang akan diberikan selanjutnya

oleh dokter gigi.


Untuk jenis sakit yang ringan, dokter gigi dapat melakukan perawatan di

rongga mulut untuk perawatan RAS, yaitu pemberian OHI, salep Triamcynolone

acetonide 0,1% dan vitamin B12. Selain itu sebagai dokter gigi, juga

diperkenankan untuk melalukan pemeriksaan darah lengkap jika dibutuhkan.

Pemeriksaan darah ini dilakukan untuk mengetahui kadar leukosit dalam darah.

Jika jumlahnya tinggi, maka kemungkinan telah terjadi infeksi. Jika hal tersebut

terjadi, pasien dapat dikonsulkan ke dokter umum untuk diberikan terapi

menyenai infeksinya.

Untuk jenis sakit yang sedang dan parah dan sering terjadi, dokter gigi

perlu mencurigai adanya infeksi kronis pada daerah pencernaannya. Biasanya

untuk rasa sakit yang parah, pada anamnesa disertai dengan adanya demam, rasa

mual, diare, dan muntah. Oleh karena itu selain menangani dan memberikan

pengobatan pada rongga mulut, dokter gigi sebagai lini pertama sebaiknya

melakukan pemeriksaan darah lengkap dan langsung mengkonsulkan ke dokter

spesialis gastrointestinal untuk dilakukan pemeriksaan feses. Hal tersebut

berhubungan dengan terapi lanjutan supaya pasien menjadi sembuh atau

berkurang rasa sakitnya.


BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN DISKUSI

Kami memasukan review dari lima belas hasil studi penelitian yang

menunjukan adanya hubungan antara infeksi H.pylori dan RAS, dan review dari

tiga penelitian yang termasuk ulasan sistematis dan analisis-meta yang

memeriksa hubungan tersebut (tabel 2). Seperti yang terlihat ada tabel, terdapat

variasi jumlah pasien yang dieriksa pada setiap penelitian, begitu pula dengan

metode yang digunakan untuk mengumpulkan sampel atau untuk mengidentifikasi

H.pylori. Sedangkan ada beberapa studi lebih memilih menggunakan teknik

biopsi dari lesi yang digunakan (7-9) dari pada teknik swab (10-16). Sepuluh dari

lima belas studi tidak menunjukan perbedaan yang signifikan mengenai hubungan

H.pylori dengan adanya RAS (7,8,10,12,-18). Variasi penting lain yang

mempengaruhi analisis adalah kriteria ingklusi yang digunakan untuk

mendiagnosa RAS. Karena sifat idiopatik RAS tidak spesifik dan diagnosisnya

berdasarkan lingkup klinis, seleksi standardisasi pasien pada penelitian dimasa

depan sangat penting. Terdapat review yang baik mengenai asek klinis dan

diagnosa dari penyakit ini.

Metode rantai reaksi ilmerisasi (PCR) digunakan untuk mengidentifikasi

keberadaan H.pylori DNA pada delapan studi (8-11, 13, 16). Dua diantaranya

dilaporkan terdapat perbedaan yang signifikan mengenai hubungan antara

H.pylori dan keberadaan RAS (9,11). Sedangkan Brick, et al. (11) mendeteksi

H.pylori ada 72% dari sampel RAS menggunakan PCR dan RT-PCR , Elsheik &
Mahfouz (9) melaporkan bahwa ini banyak diobservasi dari lesi yang dilokaisasi

dari jaringan mukosa yang berhubungan dengan limfoid dari faring. Bagaimana

pun juga, penting untuk menekankan bahwa deteksi simpel bakteri pada lesi oral

tidak lantas menyebabkan adanya hubungan, karena mikroorganisme mungkin

sebagai pembawa dan mungkin juga bukan sebagai faktor inisiasi dari penyakit

ini. Kebanyakan dari penelitian yang menggunakan PCR dan nested PCR tidak

ditemukan hubungan antara keberadaan bakteri pada lesi oral dan

perkembangannya (8,10, 13-16). H.pylori DNA dideteksi antara 2% dan 38,9%

dari lesi RAS termasuk pada penelitian (8,10, 13-16). Tidak ada penelitian yang

melaporkan terdapat perbedaan yang signifikan secara statistik antara sampel yang

positif dan sampel kontrol. Terdapat hal menarik, semua penulis yang

menggunakan metode nested PCR untuk mendeteksi keberadaan H.pylori DNA

pada lesi oral tidak menemukan hubungan yang positif (10, 13-15). Frekuensi

H.pylori pada mukosa oral yang tidak terinfeksi pada pasien penderita RAS tidak

berbeda dengan bukan penderita RAS (10, 13-15).

Song, et al. (20) membandingkan tiga penelitian yang paling banyak

menggunakan analisis primer PCR dari H.pylori dari sampel plak gigi.mereka

menyimulkan bahwa hubungan primer EHC U/EHC-L merupakan yang paling

direkomendasikan untuk deteksi H.pylori pada rongga mulut. Hal penting yang

harus di perhatikan bahwa penelitian yang berbasis PCR menggunakan beragam

primer, beberapa diantaranya menggunakan bagian spesifik untuk mengamati gen

H.pylori, dan beberapa diantaranya menggunakan beberapa bagian variasi gen.

Kemungkinan bisa ditemukan bakteri Helicobakter lainnya di rongga mulut


seperti Campylobacter Rectus, Camylobacter Curvus, dan dan Campylobacter

Concicus yang juga odontohatogen dan memiliki kemiripam 90 % dengan

H.pylori yang juga harus diperhatikan (21). Sebagai tambahan beberapa primer

yang digunakan pada penelitian juga ampuh pada sesies helicobacter lain yang

bisa ditemukan pada tubuh manusia bagian lainnya, seperti H.Fennelliae dan

H.cinaedas (22). Kontrol positif dan negatif bersama DNA secara langsung

menunjukan produk PCR yang paling tepat dan primer yang harus digunakan

untuk mendeteksi H.pylori dari sampel yang dikumpulkan dari rongga mulut.

Pada dua penelitian pasien penderita RAS telah dilakukan biopsi

endoskopsi untuk mendeteksi H.pylori (23,24). Kedua penelitian menunjukan

hubungan yang positif antara keberadaan bakteri dalam perut dan munculnya RAS

pada rongga mulut. Pada penelitian karaca, et al. (23) dan Tas, et al. (24) 87% dan

65% dari pasien dengan RAS menunjukan bakteri pada mukosa lambung. Pada

empat penelitian rantai enzyme imunosorbant assay (ELISA) digunakan untuk

mendeteksi antibodi spesifik dari H.pylori ada pasien RAS (12,16,17, 25). Pada

penelitian Farmaki et,al (25) kebanyakan pasien RAS menunjukan hasil positif

pada test ELISA pada serum dan salivanya. Penelitian lain yang menggunakan

ELISA tidak menemukan hubungan antara keberadaan anti H.pylori antibodi dan

pasien RAS. Mansour-Ghannei et al. (16) menemukan bahwa 26 (56%) dari 50

subjek RAS menunjukan hasil positif pada tes ELISA, 16 pasien memiliki

masalah lambung dan 10 pasien tidak. Penulis tidak menemukan hubungan antara

H.pylori positif pada tes ELISA dengan keberadaan bakteri ini pada lesi RAS.

Pada penelitian Porter et al.(17) frekuensi dari anti H.pylori seropositif tidak
signifikan pada pasien RAS (30,6%) dibandingkan dengan pasien ulserasi lain

(33,0%) dan kontrol (24%). Shinomiya et al. (12) mengukur keberadaan IgG

antibodi menolak H.pylori ada serum dari 12 pasiendan menemukan hanya

3kasus yang serositif. Meskipun tidak ada analisis tambahan yang dilakukan pada

penelitian yang berbasis ELISA, seperti tidak ada bukti yang menghubungkan

keberadaan H.pylori dan RAS.

Dua penelitian menggunakan kultur untuk mendeteksi H.pylori ada lesi

RAS. Shinomiya et al. (12) mengumulkan kultur yang di swab dari lesi ulcer dari

12 pasien. Hasilnya menunjukan tidak ada pasien yang positif dari kultur bakteri

tersebut. Chapman et al (7) tidak menemukan adanya H.pylori dari sampel biopsi

dari pasien RAS aktif dan memiliki riwayat RAS setelah menggunakan kultur

CLO (Compylobacter Like Organism). Sebagai tambahan tidak ada hubungan

antara H.pylori dan RAS dari enelitian yang dilakukan oleh Maleki et al.(18)

menggunakan UBT (Urea Breath Test). Lebih jauh lagi, penting untuk

menyatakan bahwa H.pylori ada rongga mulut mungkin tidak bisa dikultur

sebagai cocoid tanpa infeksi aktif (12).

Literatur riview terbaru, termasuk sistematik analisis meta menaksir

hubungan H.pylori dan RAS. Afghari et al (26) setelah mengulas sembilan

penelitian samai 2011, menyimpulkan tidak ada hubungan . Li et al (27)

melakukan meta analisis ada penelitian yang dipublikasikan sampai tahun 2013

yang mengevaluasi revalensi infeksi oleh H.pylori pada pasien RAS dan kontrol.

Ada review ini ditemukan meningkatnya resiko RAS pada psien yang terinfeksi

H.pylori. Pembasmian infeksi H.pylori dapat menurunkan timbulnya RAS. Adler


et al (28) pada revisinya menyimpulkan bahwa infeksi H.pylori berhubungan

dengan anemia yang disebabkan oleh H.pylori positif pada saluran cerna.

Tabel 2 Studi yang meneliti hubungan RAS dengan adanya infeksi H.pylori
-Penangan infeksi Helicobacter pylori dan RAS

Ketika tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa ulser pada RAS disebabkan

langsung oleh infeksi H.pylori, beberapa studi menunjukkan bahwa pembasmian

H.pylori berdampak pada aspek klinis pada penyakit mulut tersebut. Karaca et al.

meneliti 23 pasien dengan RAS menggunakan endoskopi dan biopsi lambung.

Pasien dengan H.pylori dilakukan terapi dan kontrol apabila ada rekurensi.

Peneliti mendapatkan efek positif dari pembasmian bakteri terhadap tingkat

rekurensi, jumlah, diameter, dan waktu penyembuhan RAS. Albanidou-Farmaki et

al. meneliti 34 pasien RAS yang positif terdapat H.pylori. Setelah terapi,

kelompok pasien yang menjadi negatif H.pylori menunjukkan penurunan

rekurensi lesi RAS dan gejalanya. Tas et al. meneliti 46 pasien dengan RAS

selama 6 bulan dan mencatat kadar vitamin B12. 30 dari 46 pasien tersebut positif

terdapat H.pylori. Peneliti menemukan derajat vitamin B12 meningkat pesat pada

pasien RAS yang dilakukan pembasmian H,pylori. Studi ini berpendapat bahwa

efek pada derajat vitamin B12 merupakan mekanisme yang terjadi ketika

pembasmian H.pylori yang berpengaruh pada munculnya RAS. Akan tetapi,

temuan ini perlu diuji kembali pada pasien dalam jumlah besar dengan waktu

kontrol yang panjang. Selain itu, mekanisme biologi lainnya yang berkaitan

dengan infeksi H.pylori dan perawatannya harus diteliti lebih lanjut.


BAB IV

KESIMPULAN

Terkadang H. pylori terdeteksi pada lesi RAS dan upaya penghilangan

infeksi dapat mempengaruhi lesi klinis pada RAS dengan mekanisme

pengurangan. Akan tetapi sebagian besar studi tidak mendukung adanya hubungan

ulser RAS dengan kehadiran bakteri pada rongga mulut dan kehadiran bakteri

pada ulser menunjukkan adanya infeksi pda tubuh pasien dan bukan merupakan

faktor pencetus adanya ulser. Tidak terdapat adanya bukti yang menyebutkan

hubungan langsung dan akibat infeksi H. pylori dan perkembangan ulser pada

RAS. Hubungan ini membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut dengan bentuk studi

prospektif. Hal ini akan dibicarakan lebih lanjut.


DAFTAR PUSTAKA

Crabtree JE, Shallcross TM, Heatley RV, Wyatt JI. 1991. Mucosal tumour necrosis
factor alpha and interleukin-6 in patients with Helicobacter pylori
associated gastritis; 32:1473-7.
Boyanova, Lyudmila, dkk. 2011. Helicobacter pylori. UK : Caister Academic
Press.
Dooley CP, Cohen H, Fitzgibbons PL, et al. 1989. Prevalence of Helicobacter
pylori infection and histologic gastritis in asymptomatic persons. N Engl J
Med; 321:1562-6.
Gomes CC, Gomez RS, Zina LG, Amaral FR. 2016. Recurrent aphthous
stomatitis and Helicobacter pylori. Med Oral Patol Oral Cir Bucal.1;21
(2):e187-91.
Goodwin CS, Armstrong JA, Marshall BJ. 1993. Campylobacter pyloridis,
gastritis, and peptic ulceration. J Clin Pathol; 39:353-65.
Konturek SJ, Konturek PC, Konturek JW, Plonka M, Czesnikiewicz-Guzik M,
Brzozowski T, Bielanski W. 2006. Helycobacter pylori and its involvement
in gastritis and peptic ulcer formation. Journal of physiology and
pharmacology; 57, Supp 3, 29-50.
Preety, L et all. Recurent Apthous Stomatitis. 2011. J Oral Maxillofac Pathol.
2011 Sep-Dec; 15(3): 252256.
Sleboida, Z et all. Recurent Aptous Stomatitus: genetic aspect etiology. 2013. J
Postempy Dermatology:Allergy XXX. 2013-2: 92-102
Suerbaum, Sebastian dan Pierre. 2012. Helicobacter pylori infection. N Engl J
Med Vol.347, No.15.
Suzuki, Hidekazu, dkk. 2016. Helicobacter pylori. Japan : Springer.

Anda mungkin juga menyukai