Anda di halaman 1dari 45

KANDIDIASIS ORAL TERKAIT PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID

PADA PENDERITA RHEUMATOID ARTHRITIS

MAKALAH STUDI KASUS MAYOR

ILMU PENYAKIT MULUT

Disusun oleh :

Swarantika Aulia R 160112150078

Nadia Cantika H 160112150043

Mindy Frieda A 160112150037

Pembimbing :

Erna Herawati, drg., M. Kes.

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS PADJADJARAN

BANDUNG

2017
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................i

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................2

BAB II LAPORAN KASUS..................................................................4

BAB III TINJAUAN PUSTAKA........................................................15

BAB IV PEMBAHASAN.....................................................................32

BAB V SIMPULAN.............................................................................39

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................ii

i
BAB I

PENDAHULUAN

Kandidiasis merupakan infeksi jamur yang paling sering terjadi di rongga

mulut. Candida sp merupakan jamur dengan distribusi yang luas dan bagian dari

flora komensal di tubuh manusia. Kandidiasis oral dibagi menjadi infeksi primer

dan sekunder. Infeksi primer terbatas di oral dan perioral, sedangkan infeksi

sekunder disertai manifestasi mukokutan sistemik (Greenberg and Glick, 2008).

Infeksi primer terdiri dari terdiri dari infeksi akut, kronis, dan lesi yang terkait

dengan kandida (Scully,2014). Kandidiasis sekunder berupa manifestasi oral dari

kandidiasis mukokutan sistemik (karena penyakit seperti thymic aplasia dan

kandidiasis endocrinopathy syndrome), hyperplastic plaque-like, nodular, dan

stomatitis karena protesa, angular cheilitis, dan median rhomboid glossitis

(Greenberg and Glick, 2008). Lesi intraoral secara umum tidak sakit dan bisa

dihilangkan tetapi agak sulit. Pada orang dewasa, inflamasi, eritem, area erosi

yang sakit, lesi berupa plak berwarna putih seperti mutiara dan relatif tidak

mencolok (Greenberg and Glick, 2008).

Faktor predisposisi timbulnya kandidiasis secara lokal yaitu kebersihan

rongga mulut yang buruk, serostomia, kerusakan mukosa, gigi tiruan, dan obat

kumur. Sedangkan faktor predisposisi secara sistemik yaitu penggunaan antibiotik

spectrum luas, obat-obatan immunosupresif, radiasi, dan beberapa penyakit

sistemin seperti infeksi HIV, kelainan hematologis, neutropenia, anemia,

defisiensi zat besi, dan kelainan endokrin (Laskaris, 2006).

2
3

Makalah laporan kasus ini akan membahas mengenai pasien laki-laki usia

50 tahun yang didiagnosa rheumatoid arthritis oleh ilmu penyakit dalam

berdasarkan keluhan terdapat pembengkakan yang kemudian disertai dengan rasa

sakit pada lutut dan didiagnosis candidiasis oral terkait penggunaan kortikosteroid

oleh ilmu penyakit mulut berdasarkan keluhan pada mulut berupa adanya rasa

sakit dan sensasi terbakar pada saat pasien makan.

3
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1. Laporan Kasus (Kunjungan 23 November 2016)

Biodata Pasien

Nama : Tn. RSM

Agama : Islam

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Usia : 50 Tahun

Alamat : Bandung

Status : Menikah

NRM : 0001575XXX

Anamnesa

Pasien dikonsulkan oleh bagian penyakit dalam dengan keluhan kurang

nafsu makan sejak satu bulan yang lalu. Pasien tidak bisa berjalan sejak seminggu

yang lalu. Saat ini pasien hanya makan 3 sendok makan tiap waktu makan karena

terasa perih dalam mulutnya.

Pasien didiagonsis reumatoid arthritis pada saat masuk rumah sakit pada

tanggal 22 November 2016. Selain itu tidak terdapat catatan pengobatan

sebelumnya pada form rekonsiliasi obat. Riwayat penggunaan kortikosteroid

yang tercatat adalah sejak masuk rumah sakit pada tanggal 22 November 2016.

Tidak terdapat catatan riwayat penyakit sistemik yang pernah diderita pasien.

4
5

Kondisi Umum

Keadaan Umum : Sedang

Kesadaran : Compos Mentis

Tekanan darah : 110/80 mmHg

Nadi : 92x/menit

Pernafasan : 20x/menit

Suhu : Afebris

Pemeriksaan Ekstra Oral

Kelenjar Limfe : Tidak dapat diperiksa

Submandibula Kiri :Teraba + / - Sakit + / -


Kanan :Teraba + / - Sakit + / -
Submental Kiri :Teraba + / - Sakit + / -
Kanan :Teraba + / - Sakit + / -
Servikal Kiri :Teraba + / - Sakit + / -
Kanan :Teraba + / - Sakit + / -
Mata* : Konjungtiva : Anemis
Sklera : Non-ikterik
Bibir : Krusta coklat kehitaman, erosif (+)
Sudut Bibir : Fisur (+)
Lain -lain :-

Pemeriksaan Intra Oral


Kebersihan mulut : Buruk (nilai OHI-S 4,2)

Plak dan Kalkulus : (+), nilai OHI-S 4,2

Gingiva : Oedem di seluruh regio


Mukosa bukal : Plak putih multipel ar. 35-36 dan 44-45
Mukosa labial : - Ulser ar. 32-33, dasar putih, dikelilingi halo eritem,

diameter 6 mm
- Plak putih ar. 35-36 dan 43-45
Palatum durum& mole : Plak putih multipel dikelilingi tepi eritem pada palatum

mole
6

Frenulum : Tidak dapat diperiksa


Lidah : - Dorsum lidah: erosi ar. Midline 1/3 anterior lidah

dengan dasar putih kekuningan, plak putih (+)


- Lidah lateral kiri : Ulser (+) dengan diameter 6 mm,

tepi putih ar. 36


- Lidah lateral kanan : Ulser (+) dengan diameter 0,5

mm, plak putih (+)

Status Gigi Geligi


Belum dapat diperiksa maksimal

Pemeriksaan Penunjang
Radiologi : tdl
Patologi anatomi : tdl

Hasil Pemeriksaan

Tabel 2.1 Hasil Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan


1. Hematologi
Hemoglobin 9,7* 13.5 17.5 g/dL
Hematokrit 30 40 52 %
Leukosit 18.100* 4400 11300 /uL
Eritrosit 3,60 4.5 6.5 juta/uL
Trombosit 806,000* 150000 450000 /uL
Hitung Jenis
Basofil 0 01 %
Eosinofil 0 16 %
Batang 2 35 %
Segmen 85* 40 70 %
Limfosit 9* 30 - 45 %
Monosit 4 2 10 %
Index Eritrosit
MCV 83,6 80 100 Fl
MCH 26,9 25 34 Pg
MCHC 32.2 32 38 %
2. Fungsi Ginjal
Natrium 130 135 145 mEq/L
Kalium 3.5 3.5 5.0 mEq/L
7

Kalsium 4.44* 9 11 mg/dL


Kreatinin 0.61 0.5 1.5 mg/dL
Ureum 34 15 - 40 mg/dL
3. Lainnya
Laju Endap Darah 100 0 - 15

Hasil pemeriksaan penunjang dari pasien berupa pemeriksaan hasil lab

darah pada kunjungan pertama. Hasil pemeriksaan laboratorium memperlihatkan

bahwa terdapat pada kelainan pada nilai Hemoglobin, Hematokrit, Leukosit,

Tromobosit, Eosinofil, Neutrofil batang dan segmen, Limfosit, dan laju endap

darah.

Diagnosis dan Diagnosis Banding


Dk/ - Suspek Candidiasis Oral
- Apthous Like Ulcer di regio mukosa labial kiri dan lateral lidah kiri

dan kanan
- Gingivitis Marginalis Kronis Generalisata
- Angular Cheilitis

Rencana Perawatan

- OHI dan KIE ( membersihkan gigi dan lidah minimal 2x sehari dengan

menggunakan kassa yang dicelupkan ke dalam clorhexidine gluconate 0,2%,

diet lunak - cair)


- Pro scaling di bagian Periodonsia SMF Gimul (jika kondisi pasien

memungkinkan Hb 10 mg/gl, trombosit 100.000 mg/dl, PT, apTT = DBN)


- R/ Vaselin alba tube No I 25gr

oles lesi bibir 3 x sehari

- R/ Nystatin oral suspension fl No V

4 dd 2 ml

- R/ Vit B12 50 mg tab No XXV

3 dd 1 tab a.c.
8

- R/ Asam folat 1 mg No X

1 dd tab 1 a.c.

- R/ Chlorhexidine gluconate 0,2% fl No. I

ue

Saran

- Pemeriksaan KOH (rongga Mulut)


- Diet lunak atau cair (Entrasol)

Gambar Kasus

a b c

d e f
Gambar 2.1
g
Gambaran Klinis Kunjungan I a) Bibir dengan krusta coklat kehitaman b) Mukosa

Labial RB dengan ulser ar. 32-33, c) Mukosa Bukal Kanan, d) Mukosa Bukal Kiri

dengan Plak putih multipel ar. 35-36 dan 44-45 e) Palatum Durum, f) Ventral

Lidah , g) Mukosa Labial

2.2. Kunjungan Kontrol I (30 November 2016)


9

Anamnesa

Nyeri pada lidah sudah berkurang, pasien sudah bisa makan.

Pemeriksaan Ekstra Oral

Mata : Konjungtiva non anemis, Sklera non ikterik,

Bibir : Sedikit kering

Pemeriksaan Intra Oral

Mukosa labial bawah : Ulser a.r. 32, dasar putih


Lidah : - Dorsum lidah: erosi pada median (Perbaikan +)
- Lidah lateral: Ulser putih kekuningan, kedalaman 1

mm diameter + 0,5 mm
Plak dan Kalkulus : (+), nilai OHI-S 4,2

Pemeriksaan Penunjang
Mikrobiologi* : Preparat Jamur dengan sample apus lidah. Ditemukan

adanya hifa

Diagnosis dan Diagnosis Banding


Dk/ - Suspek Candidiasis Oral tipe Pseudomembran
- Apthous Like Ulcer di regio mukosa labial bibir bawah dan lateral

lidah
- Gingivitis Marginalis Kronis Generalisata
Rencana Perawatan

- OHI dan KIE ( membersihkan gigi dan lidah minimal 2x sehari, aturan

penggunaan obat)
- Pro rujuk ke bagian periodonsia untuk membersihkan karang gigi di bagian

periodonsia SMF gigi dan mulut


- R/ Aloclair gel Tube No. I
10

oles tipis bibir 3 x sehari

Gambar Kasus

Gambar 2.2

a b c
Gambaran

Klinis
Kunjungan II a) Mukosa Labial RB, b) Defek pada Median Lidah, c)

Ulser pada Lateral Lidah

2.3. Kunjungan Kontrol II (7 Desember 2016)

Anamnesa

Keluhan pada rpngga mulut sudah berkurang, sariawan pada lidah masih

ada, plak putih pada lidah sudah mulai menghilang.

Pemeriksaan Ekstra Oral

Kelenjar Getah Bening : Servikalis, submandibularis tidak sakit, tidak teraba

Mata : Konjungtiva anemis, Sklera non ikterik

Bibir : Kering (+), eksfoliatif (+)


11

Pemeriksaan Intra Oral

Mukosa labial bawah : Ulser healing (+), perbaikan (+)


Lidah : - Dorsum lidah: 1/3 median: Ulser dengan diameter + 6

mm, kedalaman 1mm, dasar kuning tepi putih, healing

(+). Plak putih dapat discrab dan meninggalkan daerah

eritema.

- Lidah lateral kanan: Ulser dasar kuning, kedalaman

1 mm, diameter 5 mm, healing (+).


- Lateral lidah kiri: ulser, dasar kuning, kedalaman

0,5 mm, diameter 3 mm, healing (+).

Plak dan Kalkulus : (+), nilai OHI-S 4,2

Diagnosis dan Diagnosis Banding


Dk/ - Candidiasis Oral Tipe Pseudomembran dalam proses penyembuhan
- Apthous Like Ulcer di regio lateral lidah kiri dan kanan dalam proses

penyembuhan
- Gingivitis Marginalis Kronis Generalisata

Rencana Perawatan

- OHI dan KIE ( membersihkan gigi dan lidah minimal 2x sehari, aturan

penggunaan obat)
- Pro konsul bagian periodonsia SFM gigi dan mulut (jika kondisi pasien

memungkinkan Hb 10 mg/gl, trombosit 100.000 mg/dl, PT, apTT = DBN)


- Meneruskan obat kumur Clorhexidine 0,2 % 3 kali sehari
- Meneruskan pbat nystatin oral suspension 4 kali 2 ml sehari
- Mengoleskan vaseline albume pada bibir 3 kali sehari
- R/ Aloclair gel Tube No. I

oles tipis bibir 3 x sehari


12
13

Gambar Kasus

gh

a b c

d
Gambar e f
2.3

Gambaran Klinis
Kunjungan III a) Bibir, b) Mukosa Labial RB, c) Mukosa Labial RA,

d) Dorsal Lidah, e) Mukosa Bukal Kanan, f) Mukosa Bukal Kiri, g) Lateral

Lidah Kiri, h) Lateral Lidah Kanan

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA
14

3.1 Kandidiasis Oral

Kandisiasis adalah infeksi yang disebabkan oleh jamur spesies

kandida dan adalah yang paling sering candida albicans (Scully, 2014).

Kandidiasis adalah tahap dimana spesies kandida menyebabkan lesi, dimana

kandida berkoloni di permukaan mukokutan dan dapat masuk ke jaringan yang

lebih dalam (Scully, 2014). Kandidiasis oral adalah infeksi oportunis dengan

prevalensi tertinggi mengenai mukosa oral. Lesi disebabkan oleh jamur Candida

albicans. Patogenesis belum diketahui, tetapi faktor predisposisi dapat

menyebabkan berubahnya kandida sebagai flora normal (tahap saprofit) rongga

mulut menjadi organisme patogen (tahap parasit). Candida albicans merupakan

organisme patogen yang lemah, dan kandidiasis lebih banyak menyerang host

yang sangat muda, sangat tua, atau dengan penyakit sistemik (Greenberg and

Glick, 2008).

Kandidiasis oral dibagi menjadi infeksi primer dan sekunder.

Infeksi primer terbatas di oral dan perioral, sedangkan infeksi sekunder disertai

manifestasi mukokutan sistemik (Greenberg and Glick, 2008). Infeksi primer

terdiri dari terdiri dari infeksi akut, kronis, dan lesi yang terkait dengan kandida.

(Scully,2014). Kandidiasis sekunder berupa manifestasi oral dari kandidiasis

mukokutan sistemik, kandidiasis hyperplastic plaque-like, nodular, dan stomatitis

karena protesa, angular cheilitis, dan median rhomboid glossitis (Tabel 3.1)

Tabel 3.1 Klasifikasi kandidiasis oral (Greenberg and Glick, 2008)

15
15

Klasifikasi kandidiasis terbaru mengelompokan kandidiasis menjadi oral

kandidiasis primer, yang berhubunga dengan jaringan oral dan perioral, dan oral

kandidiasis sekunder yang lesinya tersebar di bagian tubuh yang lain dan juga

rongga mulut (Scully, 2014)

3.1.1 Etiologi dan patogenesis

C. albicans, C. tropicalis, dan C. glabrata terlihat terdapat lebih

dari 80% jumlahnya dalam isolasi spesies pada pasien dengan infeksi kandida.

Untuk dapat menginvasi mukosa, mikroorganisme ini melakukan adhesi ke

permukaan epitel. Kandida dengan potensi adhesi yang tinggi menjadi lebih

patogen. Penetrasi jamur ke sel epitel difasilitasi oleh produksi enzim lipase yang

mendegradasi membran sel pejamu menyebabkan sel lisis dan mati, enzim ini

berperan untuk jamur yang terdapat didalam epitel, bertahan saat terjadi

deskuamasi konstan pada permukaan sel epitel (Greenberg and Glick, 2008).

Jamur candida menghasilkan enzim SAP (Secreted Aspartyl Proteinase) yang

berperan untuk menginduksi kerusakan sel penjamu, mendukung pertumbuhan


16

hyphal dalam menginnvasi jaringan, meningkatkan perlekatan, mendegradasi

imunoglobulin pejamu dan protein pertahanan tubuh (Regezi, 2003)

Faktor predisposisi lokal (tabel 3.2) dapat membantu pertumbuhan

candida atau mengubah respon imun di mukosa oral. Faktor predisposisi umum

berhubungan dengan imunitas pasien dan status endokrin (tabel 2). Status imun

dapat dipengaruhi oleh obat dan penyakit yang menekan sistem imun adaptive dan

innate. Kandidiasis pseudomembran berhubungan dengan infeksi jamur pada

anak, yang sistem imunnya belum berkembang sempurna. (Greenberg and Glick,

2008)

Tabel 3.2 Faktor predisposisi lokal dan umum

3.1.2 Gambaran klinis

1. Kandidiasis pseudomembran

Kandidiasis pseudomembran termasuk dalam klasifikasi kandidiasis, dan

dapat bersifat akut(Greenberg and Glick, 2008)


17

Bentuk akut dari kandidiasis pseudomembran (thrush) termasuk di dalam

grup oral kandidiasis primer (tabel 3.1). Infeksi ini menyerang pasien yang

mengkonsumsi obat immunosupressan, antiobiotik atau dengan penyakit yang

menekan sistem imun (Greenberg and Glick, 2008). Lesi candida mempunyai ciri

khas bercak yang lunak, warna krem, dasar lebih tinggi sedikit dari mukosa dan

bisa diangkat, meninggalkan area kemerahan (Scully, 2014). Infeksi terlihat

dengan membran yang merekat longgar mengandung jamur dan debris selular,

meninggalkan daerah terinflamasi, terkadang berdarah saat pseudomembran

diangkat (Greenberg and Glick, 2008)

Gambaran klinis dari infeksi kandida akut dan kronis hampir sama.

Bentuk klinis infeksi kronis terjadi pada infeksi HIV, terlihat pseudomembran

dalam jangka waktu yang lama. Pada pasien yang menggunakan inhaler steroid

juga terdapat lesi pseudomembran. Rasa tidak nyaman dapat menjadi keluhan

pasien dengan lesi pseudomembran (Greenberg and Glick, 2008).

Gambar 3.1 Kandidiasis Pseudomembran. (Greenberg and Glick, 2008)

2. Kandidiasis eritematous
18

Lesi kandidiasis eritematous dapat akut ataupun kronis, tergantung pada

durasi dari lesi oral. Kandidiasis eritematous akut biasanya disebut acute atrophic

kandidiasis atau antibiotic sore mouth, lesi ini biasanya terjadi karena pengaruh

dari pengobatan antibiotik atau steroid (Field and Longman,2008). Permukaan

eritematous terlihat atrofi dan terjadi peningkatan vaskularisasi. Secara klinis,

mukosa yang terlibat merah dan sakit pada lesi yang akut. Epitel permukaannya

tipis dan atrofi dengan adanya hifa kandida di superfisial epitel (Field and

Longman, 2008).

Lesi kronis dari kandidiasis eritematous biasanya berhubungan dengan

komplikasi dari HIV, dan menyebabkan eritem fokal atau meluas dan bercak

eritem pada mukosa, khususnya palatum (Scully, 2014). Lesi memiliki batas difus

(Gambar 3.2), yang membedakannya dengan eritroplakia yang memiliki batas

yang lebih tajam. Infeksi ini sering terjadi di palatum dan dorsal lidah pada pasien

yang menggunakan inhalasi steroid (Greenberg and Glick, 2008).

Gambar 3.2. Kandidiasis eritematous pada pengguna inhalasi steroid


(Greenberg and Glick, 2008).

3. Denture stomatitis
19

Mukosa palatal yang mengakomodir protesa menjadi daerah

dengan prevalensi tertinggi terkena stomatitis. Denture stomatitis dibedakan

menjadi 3 tipe. Tipe I adalah daerah eritem minor lokal karena trauma dari

protesa. Tipe II mengenai sebagian besar mukosa yang tertutupi protesa. Tipe III

terdapat mukosa granular di tengah palatum. Mikroflora yang menyebabkan

denture stomatitis kompleks, selain candida, juga terinfeksi oleh bakteri

Streptococcus, Veillonella, Lactobacillus, Prevotella, dan Actinomyces.

(Greenberg and Glick, 2008)

Gambar 3.3. Denture stomatitis tipe III dengan mukosa granular

4. Angular cheilitis

Angular cheilitis merupakan infeksi berbentuk fissure pada sudut

mulut, yang dikeliling oleh daerah eritem. Lesi ini disebabkan oleh Candida dan

Staphylococcus aureus. (Greenberg and Glick, 2008)


20

Gambar 3.4. Angular cheilitis

5. Oral Kandidiasis yang berhubungan dengan HIV

Lebih dari 90% pasien AIDS terkena kandidiasis oral selama

infeksi HIV. Tipe kandidiasis oral yang berhubungan dengan HIV adalah

pseudomembran kandidiasis, kandidiasis eritematous, angular cheilits, dan

kandidiasis hiperplastik kronis. (Greenberg and Glick, 2008)

Gambar 3.5. Kandidiasis eritematous pada bagian tengah lidah pada pasien
AIDS.

3.1.3 Manifestasi klinis

Oral kandidiasis sekunder berhubungan dengan kandidiasis mukokutan

sistemik dan penyakit imunodefisiensi lainnnya. Kandidiasis mukokutan kronis


21

(CMC) mencakup penyakit yang heterogen, dengan manifestasi pada mulut dan

kulit, khususnya kuku dan lapisan mukosa lainnya, termasuk mukosa genital.

Wajah dan kulit kepala mungkin terlibat, dan terlihat massa granulomatous pada

sisi yang terkena. 90% dari pasien yang terkena CMC memiliki oral candidiasis

(Greenberg and Glick, 2008)

Efek di oral melibatkan lidah, dan lesi hiperplastik putih dengan fissure.

CMC berhubungan dengan penyakit endokrin seperti hipertiroid dan Addisons

disease. Fungsi fagosit dari granulosit neutrofilik dan makrofag menyebabkan

defisiensi myeloperoxidase yang berkaitan dengan CMC. Kombinasi sindrom

immunodefisiensi yang parah dikarakteristikan dengan defek fungsi cell-mediated

sistem imun. Pasien dengan kelainan ini sering terkena infeksi candida. Kedua

sistem imun native dan adaptive sangat berpengaruh dalam mencegah

perkembangan dari kandidiasis mukokutan (Greenberg and Glick, 2008).

3.1.4 Penanganan

Penanganan candidiasis antara lain penanganan faktor predisposisi seperti

xerostomia, memperbaiki kebersihan dan kesehatan rongga mulut serta

menghindari atau mengurangi merokok. Evaluasi akan adanya faktor predisposisi

penting dilakukan sebelum memulai pengobatan antifungal. Obat antifungal yang

paling banyak digunakan tergolong dalam grup polyene atau azoles. Polyene

seperti nystatin dan amphotecirin B adalah alternatif pertama dalam perawatan

kandidiasis oral primer. Polyene tidak di absorbsi dari GIT dan tidak

menimbulkan resistensi. Polyene berefek pada kemampuan adhesi jamur (Scully,


22

2008). Polyene beraksi melalui efek negatif dari produksi ergosterol, yang penting

untuk integritas sel membran candida.

Perawatan topical dengan azole seperti miconazole adalah pilihan

perawatan untuk angular cheilitis yang disebabkan oleh S.aureus dan Candida.

Obat ini memiliki efek biostatik pada S. Aureus dan fungistatik pada Candida.

Penggunaan azole sistemik dapat digunakan untuk kandidiasis primer seperti

candiadiasis hiperplastik kronis dan denture stomatitis.

3.1.5 Differential Diagnosis

1.5.1 Oral leukoplakia

Oral leukoplakia adalah lesi putih predominan pada mukosa oral yang

tidak bisa dikarakteristikan seperti lesi lainnya (Greenberg and Glick, 2008).

Leukoplakia didefinisikan sebagai plak putih, tebal, pada mukosa mulut yang

dihasilkan oleh hiperkeratosis, hiperplasia, infiltrasi inflamasi, dan degenerasi sel

epitel (Dorland, 2009).

Leukoplakia dapat disebabkan oleh pengaruh faktor lokal, yakni

tembakau, alkohol, candidiasis, reaksi elektrogalvanik, iritan mekanis dan kemis,

dan virus herpes simpleks. Tembakau diidentifikasi sebagai faktor penyebab

utama terjadinya laukoplakia berdasarkan observasi klinis dan penyelidikan

terhadap leukoplakia yang ditimbulkan secara eksperimental dalam binatang di

Laboratorium (Birnbraum, et al, 2009). Penggunaan tembakau, baik dengan


23

mengunyah ataupun merokok dapat menjadi faktor risiko terjadinya leukoplakia.

Penyakit sifilis tertier, defisiensi vitamin B12, defisiensi asam folat, anemia

siderofenik, defisiensi nutrisi lainnya, dan xerostomia merupakan faktor

predisposisi terjadinya leukoplakia. (Banoczy, et al, 2010)

Gambaran klinis leukoplakia berupa bercak putih, plak pecah-pecah,

berulserasi, dan papilomatous dengan bentuk yang tidak beraturan, ukuran

bervariasi, dan tidak dapat diangkat. Lesi yang terbatas pada daerah yang kecil,

biasanya asimtomatis. Lesi yang besar biasanya terasa gatal, rasa terbakar dan rasa

kering. Daerah yang biasa terkena adalah mukosa bukal, komisura lidah, dasar

mulut, mukosa alveolar, dan gingiva. Lesi ini juga bisa mengenai palatum lunak

dan palatum keras. (R. John and Pramod, 2009)

Oral leukoplakia dibagi menjadi dua tipe yaitu homogenus dan

nonhomogenus. Leukoplakia tipe homogenous secara klinis terlihat sebagai plak

putih berbatas tegas dengan pola lesi yang identik (Gambar 6). Tekstur permukaan

lesi dapat berupa permukaan halus sampai kasar dengan dikelilingi fissure yang

disebut sebagai cracked mud. Lesi ini biasanya asimptomatik. Tipe non

homogenous terlihat sebagai plak/ patch putih dan elemen jaringan merah. Kedua

tipe oral leukoplakia ini dapat terjadi di seluruh bagian mukosa oral. (Greenberg

and Glick, 2008)

Leukoplakia nonhomogenous terlihat granular, leukoplakia jenis ini

terlihat sebagai lesi merah dan putih dimana terdapat nodule putih keratotik atau

patches yang tersebar diatas jaringan yang atrofi eritematous. Leukoplakia tipe ini
24

berhubungan dengan tingkat transformasi keganasan yang lebih tinggi, dimana

lebih dari 2/3 kasus memperlihatkan adanya displasia epitel atau karsinoma

(Greenberg and Glick, 2008).

Leukoplakia verrrucous atau verruciform leukoplakia adalah istilah yang

digunakan untuk adanya lesi putih tebal dengan permukaan papilary di rongga

mulut. Lesi ini biasanya terkeratinisasi dan sering terlihat pada pasien tua berumur

60-80 tahun (Greenberg and Glick, 2008).

Proliferative verrucous leukoplakia (PVL) mempunyai tipe khusus dimana

leukoplakia terlihat ektensif atau verrucoid plak putih yang secara perlahan

melibatkan beberapa bagian dari mukosa di rongga mulut dan berubah menjadi

SCC dalam jangka waktu beberapa tahun. PVL beresiko tinggi untuk berubah

menjadi displasia, SCC atau verrucous carcinoma (Greenberg and Glick, 2008).

Gambar 3.6. Homogenous leukoplakia pada mukosa bukal kiri


25

1.5.2 Oral Lichen Planus (Retikulum, Plaque-like)

Reaksi lichenoid mewakili kelompok lesi dengan etiologi yang berbeda

dengan gambaran klinis dan histologi yang serupa. Oral lichenoid reactions

termasuk penyakit seperti lichen planus, lichenoid contact reactions, lichenoid

drug eruptions, lichenoid reactions of grafts-versus-host disease (GVHD). Etiologi

dari OLP tidak diketahui, namun banyak penelitian membuktikan sistem imun

berperan dalam perkembangan lesi ini. (Greenberg and Glick, 2008)

Gambaran klinis

OLP dapat terdiri dari elemen merah dan putih, dengan tekstur yang

berbeda dan menjadi dasar klasifikasi klinis dari kelaianan ini. Tekstur nya dapat

berupa retikulum, papula, plaque-like, bullous, erythematous, dan ulserative.

Perbedaan manifestasi klinis dari OLP bergubungan dengan besarnya inflamasi

subepitelial. Inflamasi ringan menyebabkan hiperkeratosis sementara yang lebih

berat dapat menghasilkan atrofi, erosi atau ulserasi dari jaringan. (Greenberg and

Glick, 2008)

Bentuk retikular dari OLP dikarakteristikan dengan garis putih atau striae.

Striae memperlihatkan daerah eritematous perifer yang menunjukan inflamasi

subepithelial. Tipe papular dari OLP terlihat di fase inisial penyakit. Lesi plaque

like secara klinis hampir sama dengan homogenous oral leukoplakia.

Perbedaannya adalah tampilan struktur retikular atau papular pada kasus OLP

plaque-like. Gambaran sering terlihat pada perokok (Greenberg and Glick, 2008)
26

Gambar 3.7 kiri Bentuk retikular dari OLP. Kanan Bentuk papular OLP

Tipe papular, retikular dan plaque like biasanya asimptomatik, sebagaian

pasien merasakan kekasaran pada tempat tejadinya lesi. Eritematous (atrofi) OLP

dikarakteristikan dengan area merah homogen. Saat terjadi di mukosa bukal atau

palatum, striae terlihat di perifernya. Bentuk lesi ini dapat terjadi tanpa papula

atau striae dan terlihat seperti gingivitis deskuamasi (Greenberg and Glick, 2008)

Gambar 3.8 Plaque-like OLP.

2.2 Rheumatoid Arthritis

Rheumatoid arthritis adalah suatu penyakit autoimun dimana persendian

(biasanya sendi tangan dan kaki) mengalami peradangan, sehingga terjadi

pembengkakan, nyeri dan seringkali akhirnya menyebabkan kerusakan bagian

dalam sendi (Gordon, 2008). Rheumatoid arthritis adalah penyakit jaringan ikat

sistemik dan kronis dikarakteristikkan oleh inflamasi dari membran sinovial dari

sendi diartroidial (Gordon, 2008).


27

2.2.1 Etiologi

Penyebab penyakit rheumatoid arthritis belum diketahui secara pasti,

namun faktor predisposisinya adalah mekanisme imunitas (antigen-antibodi),

faktor metabolik, dan infeksi virus (Suratun, Heryati, Manurung & Raenah, 2008).

2.2.2 Patofisiologis

Pada rheumatoid arthritis, reaksi autoimun terjadi dalam jaringan sinovial.

Proses fagositosis menghasilkan enzim-enzim dalam sendi. Enzim-enzim tersebut

akan memecah kolagen sehingga terjadi edema, dan proliferasi membran synovial.

Hal ini akan menghancurkan tulang rawan dan menimbulkan erosi tulang.

Akibatnya adalah menghilangnya permukaan sendi yang akan mengganggu gerak

sendi. Otot akan turut terkena karena serabut otot akan mengalami perubahan

degeneratif dengan menghilangnya elastisitas otot dan kekuatan kontraksi otot

(Smeltzer & Bare, 2007).

Lamanya rheumatoid arthritis berbeda pada setiap orang ditandai dengan

adanya masa serangan dan tidak adanya serangan. Sementara ada orang yang

sembuh dari serangan pertama dan selanjutnya tidak terserang lagi. Namun pada

sebagian kecil individu terjadi progresif yang cepat ditandai dengan kerusakan

sendi yang terus menerus dan terjadi vaskulitis yang difus (Long, 2006).

2.2.3 Manifestasi klinis


28

Gejala umum rheumatoid arthritis bersifat rekuren, tergantung pada tingkat

peradangan jaringan. Ketika jaringan tubuh inflamasi, penyakit ini aktif. Remisi

dapat terjadi secara spontan atau dengan pengobatan dan pada minggu-minggu

terakhir bisa bulan atau tahun. Selama remisi, gejala penyakit hilang dan orang-

orang pada umumnya merasa sehat. (Reeves, Roux &Lockhart, 2008).

Gejala dapat termasuk kelelahan, kehilangan energi, kurangnya nafsu

makan, demam ringan, nyeri otot dan sendi dan kekakuan. Otot dan kekauan sendi

biasanya paling sering di pagi hari. Disamping itu juga manifestasi klinis

rheumatoid arthritis sangat bervariasi dan biasanya mencerminkan stadium serta

beratnya penyakit. Rasa nyeri, pembengkakan, panas, eritema dan gangguan

fungsi merupakan gambaran klinis yang klasik untuk rheumatoid arthritis

(Smeltzer & Bare, 2002). Gejala sistemik dari rheumatoid arthritis adalah mudah

capek, lemah, lesu, takikardi, berat badan menurun, anemia (Long, 2006).

Pola karakteristik dari persendian yang terkena dimulai pada persendian

kecil di tangan, pergelangan, dan kaki. Secara progresif mengenai persendian,

lutut, bahu, pinggul, siku, pergelangan kaki, tulang belakang serviks, dan

temporomandibular. Persendian dapat teraba hangat, bengkak, kaku pada pagi hari

berlangsung selama lebih dari 30 menit.. Adapun tanda dan gejala yang umum

ditemukan atau sangat serius terjadi pada lanjut usia menurut Buffer (2010), yaitu:

sendi terasa kaku pada pagi hari, bermula sakit dan kekakuan pada daerah lutut,

bahu, siku, pergelangan tangan dan kaki, juga pada jari-jari, mulai terlihat

bengkak setelah beberapa bulan, bila diraba akan terasa hangat, terjadi kemerahan
29

dan terasa sakit/nyeri, bila sudah tidak tertahan dapat menyebabkan demam, dapat

terjadi berulang.

2.2.4 Penatalaksanaan

Terapi di mulai dengan pendidikan pasien mengenai penyakitnya dan

penatalaksanaan yang akan dilakukan sehingga terjalin hubungan baik antara

pasien dan keluarganya dengan dokter atau tim pengobatan yang merawatnya.

Tanpa hubungan yang baik akan sukar untuk dapat memelihara ketaatan pasien

untuk tetap berobat dalam suatu jangka waktu yang lama (Mansjoer, dkk. 2010).

Penanganan medik pemberian kortikosteroid atau NSAID (Non Steriodal Anti-

Inflammatory Drug) dalam dosis terapeutik. Kalau diberikan dalam dosis

terapeutik, obat-obat ini akan memberikan efek anti inflamasi maupun analgesik.

Namun pasien perlu diberitahukan untuk menggunakan obat menurut resep dokter

agar kadar obat yang konsisten dalam darah bisa dipertahankan sehingga

keefektifan obat anti-inflamasi tersebut dapat mencapai tingkat yang optimal

(Smeltzer & Bare, 2002).

Kecenderungan yang terdapat dalam penatalaksanaan rheumatoid arthritis

menuju pendekatan farmakologi yang lebih agresif pada stadium penyakit yang

lebih dini. Kesempatan bagi pengendalian gejala dan perbaikan penatalaksanaan

penyakit terdapat dalam dua tahun pertama penyakit tersebut (Smeltzer & Bare,

2002). Selain mengobati, pencegahan dapat dilakukan dengan tidak melakukan

olahraga secara berlebihan, menjaga berat badan tetap stabil, dan menjaga asupan

makanan selalu seimbang sesuai dengan kebutuhan tubuh. Mengkonsumsi


30

suplemen bisa menjadi pilihan, terutama yang mengandung Omega 3. Didalam

omega 3 terdapat zat yang sangat efektif untuk memelihara persendian agar tetap

lentur (Smeltzer & Bare, 2002).

Tubuh membutuhkan tiga asam lemak omega-3 utama untuk berfungsi

dengan baik: alfa- linoleat, asam eicosapentaenoic dan docosahexaenoic acid,

yang juga dikenal sebagai ALA, EPA dan DHA. Minyak ikan mengandung EPA

dan DHA, dan asam lemak ini penting untuk mengendalikan sistem kekebalan

tubuh, fungsi otak dan cara tubuh menangani lipid. Mengkonsumsi minyak ikan

dapat membantu memperbaiki ketidakseimbangan ini dan mengurangi

peradangan, sehingga menurunkan rasa sakit, bengkak, kemerahan dan kerusakan

sendi yang terkait dengan gout (Lesley, 2009).

3. Kortikosteroid

Kortikosteroid adalah derivat hormon steroid yang dihasilkan oleh kelenjar

adrenal. Hormon ini memiliki peranan penting seperti mengontrol respon

inflamasi. Hormon steroid dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu glukokortikoid

dan mineralokortikoid. Glukokortikoid memiliki efek penting pada metabolisme

karbohidrat dan fungsi imun, sedangkan mineralokortikoid memiliki efek kuat

terhadap keseimbangan cairan dan elektrolit (Katzung, 2012; Gilman, 2012;Johan,

2015).

Kortikosteroid banyak digunakan dalam pengobatan karena efek yang kuat

dan reaksi antiinflamasi yang cepat. Kortikosteroid banyak digunakan untuk

tatalaksana penyakit inflamasi seperti reumathoid arthritis (RA) dan systemic


31

lupus erythematosus (SLE)(Arthritis Australia, 2008). Kortikosteroid sering

disebut life saving drug karena dalam penggunaanya sebagai antiinflamasi,

kortikosteroid berfungsi sebagai terapi paliatif, yaitu menghambat gejala saja

sedangkan penyebab penyakit masih tetap ada. (Suherman & Ascobat, 2005; Azis,

2006; Guidry et al., 2009).

Efek samping yang ditimbulkan oleh kortikosteroid akan menjadi semakin

buruk apabila digunakan tidak sesuai dengan aturan pakainya, baik itu dosis

maupun lama pemakaian (Gilman, 2012). Terdapat hubungan yang signifikan

antara durasi pemakaian kortikostroid dengan derajat keparahan efek samping

kortikosteroid. (Guidry et al, 2009). Salah satu efek samping dari kortikosteroid

adalah menurunkan jumlah limfosit dan monosit di perifer dalam 4 jam.

Pemberian glukokortikoid menyebabkan penurunan jumlah limfosit,

eosinofil,monosit, dan basofil dalam sirkulasi. Penggunaan kortikosteroid dalam

jumlah banyak dan waktu yang lama juga dapat menurunkan proses pembentukan

fibroblas (Aziz, 2006; David & Dolores, 2007; Hidayanti et al., 2014).

Menurut Crohn & Colitis Foundation of America(2015), selain memiliki

efek antiinflamasi yang cepat, kortikosteroid juga memiliki efek imunosupresif.

Efek ini menyebabkan penurunan aktivitas sistem imun tubuh yang pada akhirnya

dapat menyebabkan seseorang lebih mudah terinfeksi penyakit. Kortikosteroid

memengaruhi sel darah putih (leukosit) dengan cara menurunkan migrasi sel

inflamasi (PMN, monosit, dan limfosit) sehingga penggunaan kortikosteroid

dalam waktu yang lama dapat meningkatkan kejadian infeksi.


32

Kortikosteroid mempunyai efek imunosupresan karena kemampuannya

dalam menghambat fungsi makrofag. Efek terhadap makrofag tersebut menandai

dan membatasi kemampuannya untuk memfagosit dan membunuh

mikroorganisme. Aktivasi limfosit T dan produksi limfosit B juga dihambat oleh

obat steroid. Antibodi sebagai salah satu komponen penting dalam sistem

imunitas manusia dapat ditekan produksinya terutama apabila digunakan dalam

dosis besar. Makrofag, limfosit T dan limfosit B,merupakan komponen penting

yang berfungsi sebagai sistem pertahanan dan imunitas tubuh manusia yang juga

terdapat dalam rongga mulut. Komponen-komponen tersebut diatas dapat

terganggu fungsinya akibat pemakaian obat steroid yang mana obat ini dapat

menekan sistem imunitas manusia (Yuan, 2015).

Berdasarkan cara penggunaannya, kortikosteroid dapat dibagi dua, yaitu

kortikosteroid sistemik dan kortikosteroid topikal. Selain sediaan oral, terdapat

pula sediaan dalam bentuk obat luar untuk pengobatan kulit, mata, dan juga

inflammatory bowel disease. Sebagian besar efek yang diharapkan dari pemakaian

kortikosteroid adalah sebagai antiinflamasi dan antialergi (Yuan, 2015).


33

BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien bernama Tn. RSM berusia 50 tahun datang ke instalasi Ilmu

Penyakit Dalam RSUP Dr. Hasan Sadikin dan didiagnosis rhematoid arthritis

berdasarkan anamnesis berupa keluhan nyeri sendi disertai bengkak pada lutut,

bahu, dan pinggul terutama saat digerakkan. Pada pasien ini didapatkangambaran

klinis berupa pembengkakan positif pada sendi lutut atau bahu. Rheumatoid

arthritismerupakan salah satu penyakit autoimun berupa inflamasi arthritis, dapat

diakibatkan oleh beberapa hal seperti stress, merokok, faktor lingkungan, dan

faktor keturunan (Brooke, 2014). Pada pasien ini diduga terkena rhematoid

arthritis dikarenakan faktor lingkungan seperti kebiasaan pasien merokok dan

berhubungan dengan pekerjaan pasien sebagai satpam yang diduga memengaruhi

pola istirahat pasien. Terganggunya pola istirahat yang kemudian diikuti dengan

perubahan siklus metabolisme pasien, sehingga turut menyebabkan penurunan

sistem imun pasien. Penurunan sistem imun pasien ini dapat mengakibatkan

pasien lebih rentan terhadap infeksi. Pada pasien ini, tidak ditemukan adanya

gejala stress dan faktor keturunan.

Perawatanyangumumdiberikanpadapasienrheumatoidarthritisadalah

terapi farmakologi seperti pemberian Disease Modifying Anti Rheumatic Drugs

(DMARDs) contohnya adalah metotreksat (MTX), sulfasalazin, leflunomide,

klorokuin, siklosporin dan azatioprin (Saag et al., 2008). Selain itu, pengobatan

farmakologi dengan kortikosteroid oral dalam dosis rendah/ sedang bisa menjadi

34
32
34

bagian dari pengobatan rheumatoid arthritis. Pasien ini sebelumnya telah diobati

menggunakan metyl prednisolone sebanyak 1 x 16 mg per hari oleh dokter bagian

Ilmu Penyakit Dalam RSHS. Metil prednisolon merupakan obat golongan

kortikosteroid bekerja dengan menekan sistem imun dan memiliki efek anti

inflamasi.

Seperti yang telah dijabarkan diatas, pasien ini menjalani terapi pemberian

obat-obatan kortikosteroid sebagai terapi farmakologis penyakit rheumatoid

arthritis. Pemberian kortikosteroid diketahui efektif dalam mengurangi

peradangan yang disebabkan oleh rheumatoid arthritis.

Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di

bagian korteks kelenjar adrenal sebagai respon atas hormon adrenokortikotropik

(ACTH) yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis. Hormon ini berperan pada

banyak sistem fisiologis pada tubuh, misalnya tanggapan terhadap stres, reaksi

sistem kekebalan tubuh, dan pengaturan inflamasi, metabolisme karbohidrat,

pemecahan protein, kadar elektrolit darah, serta tingkah laku (Yuan, 2015)

Kortikosteroid mempunyai efek samping imunosupresan karena

kemampuannya dalam menghambat fungsi makrofag. Efek terhadap makrofag

tersebut menandai dan membatasi kemampuannya untuk memfagosit dan

membunuh mikroorganisme. Aktivasi limfosit T dan produksi limfosit B juga

dihambat oleh obat steroid. Antibodi sebagai salah satu komponen penting dalam

sistem imunitas manusia dapat ditekan produksinya terutama apabila digunakan

dalam dosis besar. Makrofag, limfosit T, limfosit B, dan juga antibodi merupakan
35

komponen penting yang berfungsi sebagai sistem pertahanan dan imunitas tubuh

manusia yang juga terdapat dalam rongga mulut. Komponen-komponen tersebut

diatas dapat terganggu fungsinya akibat pemakaian obat steroid yang mana obat

ini dapat menekan sistem imunitas manusia (Yuan, 2015). Dalam keadaan imun

yang lemah, maka infeksi akan mudah menyerang seseorang. Kandida yang

merupakan flora normal dalam rongga mulut dapat bersifat patogen dalam kondisi

imunitas pasien yang lemah. pemberian kortikosteroid dalam jangka panjang

merupakan salah satu faktor yang berkontribusi menyebabkan kandidiasis oral.

Pada kasus ini pasien diduga oleh sejawat Ilmu Penyakit Dalam terkena

kandidiasis oral berkaitan dengan penggunaan obat kortikosteroid. Pasien di rujuk

ke instalasi Ilmu Penyakit Mulut, dan didiagnosis candidiasis oral. Diagnosis ini

diambil berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis ekstra oral dan intra oral, serta

pemeriksaan penunjang mikrobiologi. Pasien mengeluhkan perih dan terasa panas

terbakar sejak satu bulan yang lalu sehingga menyebabkan kesulitan makan,

hanya dapat makan 3 sendok setiap kali makan.

Pada pemeriksaan klinis ekstra oral, nampak konjungtiva pasien yang

anemis. Konjungtiva anemis berkaitan dengan hasil lab darah pasien yang

menunjukan kadar Hb rendah. Hemoglobin merupakan komponen dalam darah

yang berperan penting dalam transportasi oksigen keseluruh tubuh. Kadar Hb

yang rendah merupakan salah satu indikator kondisi sistemik pasien yang kurang

baik. Selain itu, pada pemeriksaan ekstra oral ditemukan bibir dengan krusta

coklat kehitaman dan erosif.


36

Pada pemeriksaan klinis intraoral ditemukan adanya plak putih multipel

dikelilingi tepi eritem pada mukosa bukal regio 35-36 dan 44-45 dan di palatum

mole. Ditemukan ulser berbentuk oval berukuran 6 mm, bewarna putih dikelilingi

eritem pada mukosa labial di regio gigi 32-33. Di lateral kiri lidah terdapat ulser

dengan diameter 6 mm, di lateral kanan lidah terdapat ulser dengan diameter 0,5

mm. Pada dorsum lidah terdapat erosi di regio midline 1/3 anterior lidah dengan

dasar putih kekuningan.

Pada hasil pemeriksaan laboratorium ditemukan nilai leukosit diatas nilai

rujukan sebesar 18.100/uL yang merupakan salah satu indikator terjadinya infeksi

dalam tubuh pasien. Pada pemeriksaan penunjang mikrobiologi, ditemukan

adanya hifa kandida pada preparat jamur dengan sample apus lidah.

Pada literatur, penentuan diagnosis kandidiasis oral didasarkan pada

temuan mikroskopis berupa hifa dari jamur C. albicans dan pemeriksaan intra oral

dimana ditemukannya bercak halus berwarna krem dengan dasar lebih tinggi dari

mukosa dan dapat diangkat, meninggalkan area yang kemerahan dan berbatas

tidak tegas. Pada beberapa kasus kandida biasanya pasien mengeluhkan rasa sakit

dan tidak nyaman pada lokasi terdapatnya plak. Pada diagnosa banding untuk

kandidiasis, yaitu oral leukoplakia, biasanya menunjukkan lesi predominan pada

mukosa oral yang berupa plak putih dengan batas tegas dengan pola lesi yang

identik, tidak dapat diangkat serta dikelilingi fissure yang biasa disebut sebagai

cracked mud lesi ini bersifat asimptomatik (Myers, 2006).

Kandidiasis oral merupakan suatu penyakit pada rongga mulut berupa lesi

merah dan putih yang disebabkan oleh infeksi oportunistik dari pertumbuhan
37

berlebih jamur kandida, terutama C. albicans. Pada orang sehat, C. albicans

umumnya tidak menyebabkan masalah dalam rongga mulut, namun karena

berbagai faktor, dapat menyebabkan pertumbuhan berlebihan dan menginfeksi

rongga mulut. Faktor resiko tersebut tergantung kepada patogenitas jamur,

perubahan dari bentuk ragi ke bentuk hifa dan produksi enzim ekstraseluler. Pada

bentuk ini, hifa memiliki aksi adhesi yang kuat terhadap host dan enzim yang

dihasilkan memiliki aksi hidrolitik terhadap sel host. Selain itu, faktor resiko

lainnya adalah faktor host yang terbagi menjadi dua yaitu faktor lokal, adalah

terganggunya aliran saliva. Saliva memiliki aksi pembersihan yang dapat

mencegah pertumbuhan berlebih dari Kandida. Selain dikarenakan faktor lokal,

kandidiasis juga dapat dihubungkan dengan keadaan sistemik, yaitu usia, penyakit

sistemik seperti diabetes, kondisi imunodefisiensi seperti HIV, keganasan seperti

leukemia, defisiensi nutrisi, dan pemakaian obat-obatan seperti antibiotik

spektrum luas dalam jangka waktu lama, kortikosteroid, dan kemoterapi (Scully,

2014). Pada pasien ini, faktor resiko yang diduga menyebabkan meningkatnya

patogenitas dari candida adalah usia, pemakaian obat kortikosteroid, defisiensi

nutrisi dan status oral hygiene pasien. Penentuan faktor resiko diambil

berdasarkan anamnesa dan riwayat pengobatan sebelumnya.

Rencana perawatan yang dilakukan terhadap pasien terdiri dari perawatan

farmakologis dan non farmakologis. Pasien diberikan terapi Vaseline alba,

nystatin suspensi oral, vitamin B12, asam folat, serta chlorhexidine gluconate 0,1

%. Selain itu, pasien diedukasi mengenai OHI dan KIE, membersihkan gigi dan

lidah minimal 2x sehari dengan menggunakan kassa yang dicelupkan ke dalam air
38

gloconate 0,1%, dan pemberian diet lunak. Scaling di bagian Periodonsia SMF

Gimul disarankan apabila kondisi memungkinkan. Tindakan scaling ini

disarankan untuk dilakukan oleh pasien sebagai tindakan kuratif dari kondisi

gingivitis yang di derita pasien.

Nystatin merupakan medikasi antifungal yang merupakan first line untuk

perawatan kandidiasis. Spesies Candida berkolonisasi pada mukosa oral melalui

adhesi pada epitel bukal, pembentukan germ tube dan hidrofobisitas relatif

permukaan sel. Nystatin berikatan dengan ergosterol pada membran fungal yang

menyebabkan membran mengalami kebocoran dan terjadi sel lisis (Myers, 2006).

Chlorhexidine gluconate merupakan agen antimikrobial golongan

bisguanide yang efektif bekerja in vitro dalam melawan bakteri gram positif

maupun negatif, termasuk aerob, anaerob, dan jamur. Pemberian obat

chlorhexidine bertujuan untuk mengontrol kontaminasi mikrobial dan infeksi

sekunder. Chlorhexidine pada dosis rendah akan mengganggu transport seluler,

sehingga sel jamur mengalami kerusakan dengan terbentuknya pori-pori pada

membran seluler. Chlorhexidine gluconate 0,2% adalah antiseptik yang aktif

melawan bakteri dan jamur. Chlorhexidine gluconate 0,2% terbukti dapat

mengurangi pertumbuhan mikroorganisme secara signifikan dan mempunyai zona

hambat yang sangat kuat terhadap beberapa spesies jamur terutama Candida

albicans (Machado, 2010). Selain itu, chlorhexidine gluconate memiliki sifat anti

plak, dimana deposisi plak berkorelasi dengan terjadinya gingivitis.


39

Vitamin B12 diberikan untuk mempercepat proses penyembuhan. Vitamin

B 12 menjalankan beberapa fungsi metabolisme, bertindak sebagai koenzim

akseptor hidrogen. Fungsi vitamin B 12 adalah bekerja sebagai koenzim yang

dibutuhkan dalam replikasi gen, sehingga fungsi utama dari vitamin ini adalah

meningkatkan pertumbuhan dan meningkatan pembentukan serta pematangan sel

darah merah dalam sel epitel. Asam folat, merupakan salah satu bentuk dari

vitamin B memiliki peran penting dalam DNA, RNA, dan metabolisme asam

amino yang dibutuhkan untuk pembelahan sel (Hall, 2011).

Pada kontrol satu minggu, hasil anamnesa diketahui bahwa nyeri pada

lidah sudah berkurang, pasien sudah dapat makan. Pasien diberikan rujukan ke

bagian periodonsia untuk membersihkan karang gigi dan pemberian resep Aloclair

gel. Aloclair merupakan obat topikal yang bekerja dengan cara membentuk

lapisan protektif pada kavitas oral untuk melindungi akhiran saraf pada lesi,

mencegah iritasi, dan mengurangi rasa sakit. Zat aktif pada aloclair adalah

aloevera, dan sebagai zat tambahan adalah asam hyaluronat. Aloe vera

mengandung komponen aktif seperti saponins, lignin, asam salisilat,

anthraquinones dan asam amino. Asam salisilat pada aloclair berfungsi sebagai

anti inflamasi, sehingga saat inflmasinya diatasi maka rasa sakitnya juga bakan

hilang. Anthraquinoses memiliki aksi anti bakterial, anti viral, dan anti neoplastik

yang kuat (Dheepika dan Maheswari, 2014).

Pada kontrol kedua, keluhan pada rongga mulut sudah berkurang, plak

putih pada lidah sudah mulai menghilang, dan ulser pada lidah masih ada.
BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Berdasarkan keluhan pasien didiagnosa candidiasis oral yang diduga

karena penggunaan kortikosteroid sistemik untuk mengobati rheumatoid arthritis

yang dideritanya. Kebiasaan merokok pasien dapat merubah keseimbangan flora

normal rongga mulut dan juga pekerjaan pasien sebagai satpam turut menjadi

faktor predisposisi terjadinya candidiasis oral, karena menyebabkan perubahan

pola istirahat pasien yang dapat menyebabkan penurunan sistem imun sehingga

mudah pasien mudah terinfeksi.

Untuk mengobati candidiasis oral, pasien diresepkan nystatin dalam

sediaan suspensi oral, vitamin B12, asam folat, dan Chlorhexidine gluconate.

Pasien diinstruksikan untuk menjaga kesehatan oral dengan membersihkan gigi

dan lidah minimal dua kali sehari menggunakan kassa yang dicelupkan ke dalam

chlorhexidine gluconate 0,1% dan diet lunak. Pasien juga disarankan untuk

melakukan scaling apabila kondisi memungkinkan.

Pasien melakukan kunjungan kontrol satu minggu setelahnya, dari hasil

anamnesa diketahui bahwa keluhan pada lidah sudah berkurang dan pasien sudah

bisa makan. Masih terdapat ulser pada regio gigi 32, perkembangan kearah

perbaikan nampak signifikan pada kontrol pertama. Pada kunjungan kontrol

kedua, keluhan pada rongga mulut sudah berkurang, sariawan pada lidah masih

ada, plak putih pada lidah sudah menghilang.

40
5.2. Saran

Dalam penulisan makalah ini, penulis ingin memberikan beberapa

saran yaitu:

a. Perlunya dilakukan anamnesis secara menyeluruh dan mendalam

guna mendapatkan infomasi yanng sebanyak-banyaknya mengenai

riwayat penyakit pasien dan perawatan apa saja yang telah

diberikan untuk penegakan diagnosis dan rencana perawatan

pasien.

b. Dalam menuliskan surat konsul hendaknya memberikan informasi

yang lengkap mengenai kondisi pasien, sehingga dapat

memudahkan untuk memahami kondisi pasien guna penegakan

diagnosis dan rencana perawatan.

c. Dalam penentuan rencana perawatan hendaknya secara seksama

mempertimbangkan kondisi pasien berkaitan dengan faktor

predisposisi penyakit dan riwayat pengobatan sebelumnya untuk

mencapai hasil perawatan yang optimal.

41
DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, S. (2010). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Anwar, B. (2004). Dislipidemia Sebagai Faktor Risiko Jantung Koroner, (January
2004), 110.
Banoczy, Jolan., Zeno Gintner., dan Csaba Dombi. Tobaco use and oral
leukoplakia. Journal of Dental Education. 2001; 65 (4): 322-327.
Bhatnagar, D., Soran, H., & Durrington, H. (2008). Hypercholesterolemia and its
management. BMJ, 337. http://doi.org/doi:
http://dx.doi.org/10.1136/bmj.a993
Cawson, R. A., & Odell, E. W. (1993). Color Guide of Oral Pathology. Hong
Kong: Churchill Livingstone.
Dorland, W.A. Newman. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. Jakarta: EGC;
2010.
Field, A., Longman, L., & Tyldesley, W. R. (2004). Tyldesleys Oral Medicine (5th
ed.). New York: Oxford University Press Inc.
Field, A., Longman, L., & W.R., T. (2003). Tyldesleys Oral Medicine (5th ed.).
New York: Oxford University Press Inc.
Field, E. A., & Allan, R. B. (2003). Review article: oral ulceration
aetiopathogenesis, clinical diagnosis and management in the gastrointestinal
clinic. Aliment Pharmacol Ther, 18, 949962.
Grundy, S. M., Cleeman, J. I., Bairey Merz, C. N., Brewer, H. B., Clark, L. T.,
Hunninghake, D. B., Stone, N. J. (2004). Implications of recent clinical
trials for the National Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel
III guidelines. Circulation, 110(2), 227239.
http://doi.org/10.1161/01.CIR.0000133317.49796.0E
Guyton, Arthur, C., & John, E. H. (2007). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (11th
ed.). Jakarta: ECG.
Katzung, B. G. (2002). Farmakologi Dasar dan Klinik (2nd ed.). Jakarta: Salemba
Medika.
Regezi, J., & JJ, S. (1989). Oral Pthology: Clinical Pathologic Correlations.
Tokyo: W.B. Saunders Company.
Regezi, J., Sciubba, J. J., & Richard C.K, J. (2003). Oral Pathology Clinical
Pathologic Correlations (4th ed.). Missouri: Saunders.

ii
Scully, C., M, G., & F, L.-N. (2003). The Diagnosis and Management of
Recurrent Aphthous Stomatitis. J Am Dent Assoc, 134(2), 200207.
Sherwood, L. (2001). Fisiologi Manusia, dari Sel ke Sistem (2nd ed.). Jakarta:

iii
ECG.
Smith, D. J., Dillon, M., Russell, J., & Kanatas, A. (2016). Statins and oral
ulceration. British Dental Journal, 220(2), 456.
http://doi.org/10.1038/sj.bdj.2016.41
Stapleton, P. A., Goodwill, A. G., James, M. E., Brock, R. W., & Frisbee, J.
(2010). Hypercholesterolemia and Microvascular Dysfunction: Interventional
Strategies. Journal of Inflammation, 7(54).
Ujevi, A., Lugovi-Mihi, L., itum, M., Ljubei, L., Mihi, J., & Troskot, N.
(2013). Aphthous Ulcers As a Multifactorial Problem. Acta Clin Croat,
52(52), 213221.
Wiryodidagdo, S. (2002). No TitleTanaman Obat untuk Penyakit Jantung, Darah
Tinggi, dan Kolsterol (3rd ed.). Jakarta: PT. Agromedia Pustaka.
Yani, M. (2015). Mengendalikan Kadar Kolesterol Pada Hiperkolesterolemia.
Olahraga Prestasi, 11(2), 3 7.
http://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Yuan, A., & Woo, S.-B. (2015). Adverse drug events in the oral cavity. Oral
Surgery, Oral Medicine, Oral Pathology and Oral Radiology, 119(1), 3547.
http://doi.org/10.1016/j.oooo.2014.09.009

iii
4

Anda mungkin juga menyukai