Anda di halaman 1dari 24

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
STOMATITIS APHTOSA RECURRENT (SAR)

2.1 Definisi

SAR merupakan ulser oval rekuren pada mukosa mulut tanpa tanda-tanda adanya penyakit lain
dan salah satu kondisi ulseratif mukosa mulut yang paling menyakitkan terutama sewaktu
makan, menelan dan berbicara. Penyakit ini relatif ringan karena tidak bersifat membahayakan
jiwa dan tidak menular. Tetapi bagi orang – orang yang menderita SAR dengan frekuensi yang
sangat tinggi akan merasa sangat terganggu. Beberapa ahli menyatakan bahwa SAR bukan
merupakan penyakit yang berdiri sendiri, tetapi lebih merupakan gambaran beberapa keadaan
patologis dengan gejala klinis yang sama. SAR dapat membuat frustasi pasien dan dokter gigi
dalam merawatnya karena kadang-kadang sebelum ulser yang lama sembuh ulser baru dapat
timbul dalam jumlah yang lebih banyak.

2.2 Etiologi

Sampai saat ini, etiologi SAR masih belum diketahui dengan pasti. Ulser pada SAR bukan
karena satu faktor saja tetapi multifaktorial yang memungkinkannya berkembang menjadi ulser.
Namun, kemungkinan penyebab ulser aftosa diduga akibat kelainan imunologis (T-cell
mediated), inflamasi neurogenik (neuropeptide induced, seperti zat P), defek mucosal healing
(inhibisi oleh sitokin), mikrobiologis (virus, bakteri), defisiensi nutrisi (vitamin B12, asam folat,
zat besi), kimia (pasta gigi).

3
Salah satu bukti ulser aftosa berhubungan dengan disfungsi focal immune di mana limfosit T
memiliki peran penting. Asal stimulus masih belum diketahui. Agen penyebab bisa antigen
endogen (autoimun) atau eksogen (hiperimun), atau faktor non-spesifik, seperti trauma di mana
mediator kimia terlibat. Inflamasi neruogenik dapat berasal dari menginisiasi stimulus. Focal
release neuropeptide, seperti zat P dapat memediasi infiltrasi limfositik dan nekrosis epitel,
menghasilkan ulser aftosa. Focal release sitokin dapat mempengaruhi penyembuhan tertunda,
yang mencirikan tampakan klinis dari gejala lesi ini.

Defisiensi vitamin B12, asam folat, dan zat besi ditemukan hanya sedikit pada pasien dengan
ulser aftosa. Koreksi defisiensi ini menghasilkan perbaikan atau penyembuhan. Pada beberapa
kasus, defisiensi asam folat dan faktor yang berhubungan dengan penyakit di bawahnya dapat
menjadi bagian penyebab.

Penyebab lain meliputi perubahan hormon, stress, trauma, dan alergi makanan kacang, coklat,
dan perekat/gluten. Bisa juga akibat perawatan preserfatif dan komponen yang terkandung dalam
pasta gigi.

2.3 Patofisiologi

Pada awal lesi terdapat infiltrasi limfosit yang diikuti oleh kerusakan epitel dan infiltrasi
neutrofil ke dalam jaringan. Sel mononuclear juga mengelilingi pembuluh darah (perivaskular),
tetapi vasculitis tidak terlihat. Namun, secara keseluruhan terlihat tidak spesifik.

4
Perjalanan stomatitis aphtous dimulai dari masa prodromal selama 1-2 hari, berupa panas atau
nyeri setempat. Kemudian mukosa berubah menjadi makula berwarna merah, yang dalam waktu
singkat bagian tengahnya berubah menjadi jaringan nekrotik dengan epitelnya hilang sehingga
terjadi lekukan dangkal. Ulkus akan ditutupi oleh eksudat fibrin kekuningan yang dapat bertahan
selama 10-14 hari. Bila dasar ulkus berubah warna menjadi merah muda tanpa eksudat fibrin,
menandakan lesi sedang memasuki tahap penyembuhan

Tahap perkembangan SAR dibagi kepada 4 tahap yaitu:

1. Tahap premonitori, terjadi pada 24 jam pertama perkembangan lesi SAR. Pada waktu
prodromal, pasien akan merasakan sensasi mulut terbakar pada tempat dimana lesi akan
muncul. Secara mikroskopis sel-sel mononuklear akan menginfeksi epitelium, dan edema
akan mulai berkembang.
2. Tahap pre-ulserasi, terjadi pada 18-72 jam pertama perkembangan lesi SAR. Pada tahap
ini, makula dan papula akan berkembang dengan tepi eritematus. Intensitas rasa nyeri
akan meningkat sewaktu tahap pre-ulserasi ini.
3. Tahap ulseratif akan berlanjut selama beberapa hari hingga 2 minggu. Pada tahap ini
papula-papula akan berulserasi dan ulser itu akan diselaputi oleh lapisan
fibromembranous yang akan diikuti oleh intensitas nyeri yang berkurang.
4. Tahap penyembuhan, terjadi pada hari ke – 4 hingga 35. Ulser tersebut akan ditutupi oleh
epitelium. Penyembuhan luka terjadi dan sering tidak meninggalkan jaringan parut
dimana lesi SAR pernah muncul. Semua lesi SAR menyembuh dan lesi baru
berkembang.

5
2.4 Faktor Predisposisi

Pasta Gigi dan Obat Kumur SLS

Penelitian menunjukkan bahwa produk yang mengandungi SLS yaitu agen berbusa paling
banyak ditemukan dalam formulasi pasta gigi dan obat kumur, yang dapat berhubungan dengan
peningkatan resiko terjadinya ulser, disebabkan karena efek dari SLS yang dapat menyebabkan
epitel pada jaringan oral menjadi kering dan lebih rentan terhadap iritasi. Beberapa penelitian
telah melaporkan bahwa peserta yang menggunakan pasta gigi yang bebas SLS mengalami
sariawan yang lebih sedikit.

Trauma

Ulser dapat terbentuk pada daerah bekas terjadinya luka penetrasi akibat trauma. Pendapat ini
didukung oleh hasil pemeriksaan klinis, bahwa sekelompok ulser terjadi setelah adanya trauma
ringan pada mukosa mulut. Umumnya ulser terjadi karena tergigit saat berbicara, kebiasaan
buruk, atau saat mengunyah, akibat perawatan gigi, makanan atau minuman terlalu panas, dan
sikat gigi. Trauma bukan merupakan faktor yang berhubungan dengan berkembangnya SAR
pada semua penderita tetapi trauma dapat dipertimbangkan sebagai faktor pendukung

Genetik

Faktor ini dianggap mempunyai peranan yang sangat besar pada pasien yang menderita SAR.
Bila kedua orangtua menderita SAR maka besar kemungkinan timbul SAR pada anak-anaknya.
Pasien dengan riwayat keluarga SAR akan menderita SAR sejak usia muda dan lebih berat
dibandingkan pasien tanpa riwayat keluarga SAR.

6
Gangguan Immunologi

Faktor gangguan sistem imun telah banyak dihubungkan sebagai salah satu faktor yang sangat
berperan sebagai faktor predisposisi SAR. Imunopatogenesis SAR dapat melibatkan semua
komponen sistem imun baik seluler maupun humoral. Pada sistem imun seluler yaitu Sel T dan
sitokin, sedangkan pada sistem imun humoral yaitu IgA, IgM dan IgG

Defisiensi Nutrisi

Wray (1975) meneliti pada 330 pasien SAR dengan hasil 47 pasien menderita defisiensi nutrisi
yaitu terdiri dari 57% defisiensi zat besi, 15% defisiensi asam folat, 13% defisiensi vitamin B12,
21% mengalami defisiensi kombinasi terutama asam folat dan zat besi dan 2% defisiensi
ketiganya. Penderita SAR dengan defisiensi zat besi, vitamin B12 dan asam folat diberikan terapi
subtitusi vitamin tersebut hasilnya 90% dari pasien tersebut mengalami perbaikan.

Faktor nutrisi lain yang berpengaruh pada timbulnya SAR adalah vitamin B1, B2 dan B6. Dari 60
pasien SAR yang diteliti, ditemukan 28,2% mengalami penurunan kadar vitamin-vitamin
tersebut. Penurunan vitamin B1 terdapat 8,3%, B2 6,7%, B6 10% dan 33% kombinasi ketiganya.
Terapi dengan pemberian vitamin tersebut selama 3 bulan memberikan hasil yang cukup baik,
yaitu ulserasi sembuh dan rekuren berkurang.

Dilaporkan adanya defisiensi Zink pada penderita SAR, pasien tersebut diterapi dengan 50 mg
Zink Sulfat peroral tiga kali sehari selama tiga bulan.Lesi SAR yang persisten sembuh dan tidak
pernah kambuh dalam waktu satu tahun. Beberapa peneliti lain juga mengatakan adanya
kemungkinan defisiensi Zink pada pasien SAR karena pemberian preparat Zink pada pasien SAR
menunjukkan adanya perbaikan, walaupun kadar serum Zink pada pasien SAR pada umumnya
normal.

7
Stress

Stres merupakan respon tubuh dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan yang
terjadi terus menerus yang berpengaruh terhadap fisik dan emosi. Stres dinyatakan merupakan
salah satu faktor yang berperan secara tidak langsung terhadap ulser stomatitis rekuren ini.

Hormonal

Pada wanita, sering terjadinya SAR di masa pra menstruasi bahkan banyak yang mengalaminya
berulang kali. Keadaan ini diduga berhubungan dengan faktor hormonal. Hormon yang dianggap
berperan penting adalah estrogen dan progesteron.

Dua hari sebelum menstruasi akan terjadi penurunan estrogen dan progesteron secara mendadak.
Penurunan estrogen mengakibatkan terjadinya penurunan aliran darah sehingga suplai darah
utama ke perifer menurun dan terjadinya gangguan keseimbangan sel-sel termasuk rongga mulut,
memperlambat proses keratinisasi sehingga menimbulkan reaksi yang berlebihan terhadap
jaringan mulut dan rentan terhadap iritasi lokal sehingga mudah terjadi SAR. Progesteron
dianggap berperan dalam mengatur pergantian epitel mukosa mulut

Infeksi Bakteri

Graykowski dan kawan-kawan pada tahun 1966 pertama kali menemukan adanya hubungan
antara bakteri Streptokokus bentuk L dengan lesi SAR dengan penelitian lebih lanjut ditetapkan
bahwa Streptokokus sanguis sebagai penyebab SAR. Donatsky dan Dablesteen mendukung
pernyataan tersebut dengan melaporkan adanya kenaikan titer antibodi terhadap Streptokokus
sanguis 2A pada pasien SAR dibandingkan dengan kontrol.

8
Alergi dan Sensitifitas

Alergi adalah suatu respon imun spesifik yang tidak diinginkan (hipersensitifitas) terhadap
alergen tertentu. Alergi merupakan suatu reaksi antigen dan antibodi. Antigen ini dinamakan
alergen, merupakan substansi protein yang dapat bereaksi dengan antibodi, tetapi tidak dapat
membentuk antibodinya sendiri.

SAR dapat terjadi karena sensitifitas jaringan mulut terhadap beberapa bahan pokok yang ada
dalam pasta gigi, obat kumur, lipstik atau permen karet dan bahan gigi palsu atau bahan
tambalan serta bahan makanan. Setelah berkontak dengan beberapa bahan yang sensitif, mukosa
akan meradang dan edematous. Gejala ini disertai rasa panas, kadang-kadang timbul gatal-gatal,
dapat juga berbentuk vesikel kecil, tetapi sifatnya sementara dan akan pecah membentuk daerah
erosi kecil dan ulser yang kemudian berkembang menjadi SAR.

Obat-obatan

Penggunaan obat nonsteroidal anti-inflamatori (NSAID), beta blockers, agen kemoterapi dan
nicorandil telah dinyatakan berkemungkinan menempatkan seseorang pada resiko yang lebih
besar untuk terjadinya SAR.

9
Penyakit Sistemik

Beberapa kondisi medis yang berbeda dapat dikaitkan dengan kehadiran SAR. Bagi pasien yang
sering mengalami kesulitan terus-menerus dengan SAR harus dipertimbangkan adanya penyakit
sistemik yang diderita dan perlu dilakukan evaluasi serta pengujian oleh dokter. Beberapa
kondisi medis yang dikaitkan dengan keberadaan ulser di rongga mulut adalah penyakit
Behcet’s, penyakit disfungsi neutrofil, penyakit gastrointestinal, HIV-AIDS, dan sindroma
Sweet’s.

Merokok

Adanya hubungan terbalik antara perkembangan SAR dengan merokok. Pasien yang menderita
SAR biasanya adalah bukan perokok, dan terdapat prevalensi dan keparahan yang lebih rendah
dari SAR diantara perokok berat berlawanan dengan yang bukan perokok. Beberapa pasien
melaporkan mengalami SAR setelah berhenti merokok.

10
2.5 Klasifikasi

Tiga bentuk ulser aftosa yang dikenal: minor, mayor, dan herpetiform. Semua diyakini menjadi
bagian spektrum penyakit yang sama, dan diyakini memiliki etiologi umum. Perbedaannya pada
klinis dan derajat keparahan. Semua tampak sebagai ulser rekuren yang nyeri. Pasien kadang
memiliki gejala prodromal kesemutan atau terbakar sebelum muncul lesi. Ulser tidak didahului
oleh vesikel dan cirinya tampak pada mukosa vestibular dan bukal, lidah, palatum mole,
tenggorokan, dan dasar mulut. Jarang terjadi pada attached gingiva dan palatum durum, sehingga
membedakannya dari ulser herpetic sekunder. Pada pasien dengan AIDS, ulser mirip aftosa dapat
terjadi pada lokasi mukosa.

A. Ulser aftosa minor

Ulser aftosa minor paling banyak ditemukan. Tipe ini biasanya tampak sebagai ulser tunggal,
nyeri, oval yang berdiamater < 5 mm, dikelilingi oleh membran fibrinosa kuning dan dikelilingi
oleh halo eritem. Bisa juga multiple. Jika permukaan lateral atau ventral lidah terkena, nyeri
cenderung lebih besar. Ulser aftosa minor umumnya bertahan selama 7-10 hari dan sembuh
tanpa pembentukan scar. Rekurensi bervariasi pada satu orang dengan yang lain. Periode bebas
penyakit berkisar selama beberapa pekan sampai tahun.

Jika aftosa sulit sembuh, bisa didiagnosa Crohn’s disease. Penyakit granulomatosa ini
mempengaruhi saluran gastrointestinal dari mulut ke anus. Manifestasi oral meliputi fisur
mukosa dan nodul kecil, multiple, hiperplasik pada mukosa bukal, yang menghasilkan gambaran
bebatuan. Temuan biopsy menunjukkan ciri granuloma kecil dan noncaseating. Pasien HIV-
positif dapat mengalami ulser aftosa, meskipun lebih banyak lesi mayor atau hepetiform.

11
B.Ulser aftosa mayor

Ulser aftosa mayor dianggap sebagai stomatitis aftosa dengan ekspresi paling parah. Lesi lebih
besar (> 5 mm) dan lebih nyeri dan bertahan lebih lama dibandingkan aftosa minor. Karena
kedalaman inflamasi, ulser aftosa mayor berbentuk seperti kawah dan sembuh dengan
pembentukan scar. Lesi perlu waktu 6 pekan untuk sembuh, dan segera setelah satu ulser hilang,
muncul satu lagi. Pasien dapat mengalami nyeri dan ketidaknyamanan sehingga kesehatan
sistemik terganggu karena kesulitan makan dan stress psikologis.

C.Ulser aftosa herpetiform

Ulser aftosa herpetiform tampak sebagai recurrent crop ulser kecil. Meskipun lebih sering terjadi
pada mukosa bergerak, mukosa palatal dan gingiva juga terlibat. Bisa merasakan nyeri dan
penyembuhan terjadi dalam 1-2 pekan. Tidak seperti infeksi herpes, ulser ini tidak didahului oleh
vesikel dan tidak menunjukkan terinfeksi virus.

12
2.6 Gejala Klinis

Gambaran klinis SAR penting untuk diketahui karena tidak ada metode diagnosa laboratoriam
spesifik yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosa SAR. SAR diawali gejala prodormal
yang digambarkan dengan rasa sakit dan terbakar selama 24-48 jam sebelum terjadi ulser. Ulser
ini menyakitkan, berbatas jelas, dangkal, bulat atau oval, tertutup selaput pseudomembran
kuning keabu-abuan, dan dikelilingi pinggiran yang eritematus dan dapat bertahan untuk
beberapa hari atau bulan.

a. SAR Tipe Minor

Tipe minor mengenai sebagian besar pasien SAR yaitu 75% sampai dengan 85% dari
keseluruhan SAR, yang ditandai dengan adanya ulser berbentuk bulat dan oval, dangkal, dengan
diameter 1-10 mm, dan dikelilingi oleh pinggiran yang eritematous. Ulserasi dari tipe minor
cenderung mengenai daerah-daerah non-keratin, seperti mukosa labial, mukosa bukal dan dasar
mulut. Ulserasi biasa tunggal atau merupakan kelompok yang terdiri atas 4-5 ulser dan akan
sembuh dalam waktu 10-14 hari tanpa meninggalkan bekas jaringan parut

b. SAR Tipe Mayor

Tipe mayor diderita 10%-15% dari penderita SAR dan lebih parah dari tipe minor. Ulser
biasanya tunggal, berbentuk oval dan berdiameter sekitar 1-3 cm, berlangsung selama 2 minggu
atau lebih dan dapat terjadi pada bagian mana saja dari mukosa mulut, termasuk daerah-daerah
berkeratin.Ulser yang besar, dalam serta bertumbuh dengan lambat biasanya terbentuk dengan
bagian tepi yang menonjol serta eritematous dan mengkilat, yang menunjukkan bahwa terjadi
edema. Selalu meninggalkan jaringan parut setelah sembuh dan jaringan parut tersebut terjadi
karena keparahan dan lamanya ulser.

13
c. SAR Tipe Herpetiformis

Istilah herpetiformis pada tipe ini dipakai karena bentuk klinisnya (yang dapat terdiri dari 100
ulser kecil-kecil pada satu waktu) mirip dengan gingivostomatitis herpetik primer, tetapi virus-
virus herpes tidak mempunyai peran etiologi pada SAR tipe herpetiformis. SAR tipe
herpetiformis jarang terjadi yaitu sekitar 5%-10% dari kasus SAR. Setiap ulser berbentuk bulat
atau oval, mempunyai diameter 0,5- 3,0 mm dan bila ulser bergabung bentuknya tidak teratur.
Setiap ulser berlangsung selama satu hingga dua minggu dan tidak akan meninggalkan jaringan
parut ketika sembuh.

Histologi

Diagnosis biasanya berdasarkan gambaran klinis, sehingga biopsy jarang dilakukan. Ulser aftosa
memiliki temuan mikroskop nonspesifik, dan tidak ada gambaran histologis sebagai diagnostik.
Tidak ada bukti infeksi virus. Perubahan mikroskopis yang sama ditemukan pada semua bentuk
ulser aftosa. Sel mononuclear ditemukan pada jaringan submukosa dan perivaskuler pada tahap
preulseratif. Sel-sel ini didominasi oleh limfosit CD4, yang kemudian dikalahkan oleh limfosit
CD8 pada tahap ulsertatif.

14
2.7 Diagnosis

Diagnosis SAR didasarkan pada anamnesa dan gambaran klinis dari ulser. Biasanya pada
anamnesa, pasien akan merasakan sakit dan terbakar pada mulutnya, lokasi ulser berpindah-
pindah dan sering berulang. Harus ditanyakan sejak dari umur berapa terjadi, lama (durasi), serta
frekuensi ulser. Setiap hubungan dengan factor predisposisi juga harus dicatat. Pada
pemeriksaan fisik dapat ditemukan ulser pada bagian mukosa mulut dengan bentuk yang oval
dengan lesi ±1 cm yang jumlahnya sekitar 2-6. Pemeriksaan tambahan diperlukan seperti
pemeriksaan sitologi, biopsi, dan kultur bila ulser tidak kunjung sembuh.

2.8 Diferensial Diagnosis

Diagnosis ulser aftosa umumnya berdasarkan riwayat dan gambaran klinis. Lesi secondary oral
herpes sering tumpang tindih, namun dapat dibedakan dari ulser aftosa. Riwayat vesikel yang
mendahului ulser, lokasi pada attached gingiva dan palatum durum, dan crop lesi
mengindikasikan herpetic dibandingkan ulser aftosa. Kondisi ulseratif nyeri lain yang dapat
menstimulasi beragam bentuk ulser aftosa meliputi trauma, pemfigus vulgaris, mucous
membrane pemphigoid, dan neutropenia.

15
2.9 Perawatan

Dalam upaya melakukan perawatan terhadap pasien SAR, tahapannya adalah :

1. Edukasi bertujuan untuk memberikan informasi mengenai penyakit yang dialami yaitu
SAR agar mereka mengetahui dan menyadarinya.
2. Instruksi bertujuan agar dapat dilakukan tindakan pencegahan dengan menghindari
faktor-faktor yang dapat memicu terjadinya SAR.
3. Pengobatan bertujuan untuk mengurangi gejala yang dihadapi agar pasien dapat
mendapatkan kualitas hidup yang menyenangkan.
4. Tindakan pencegahan timbulnya SAR dapat dilakukan diantaranya dengan menjaga
kebersihan rongga mulut, menghindari stres serta mengkonsumsi nutrisi yang cukup,
terutama yang mengandung vitamin B12 dan zat besi. Menjaga kebersihan rongga mulut
dapat juga dilakukan dengan berkumur-kumur menggunakan air garam hangat atau obat
kumur. SAR juga dapat dicegah dengan mengutamakan konsumsi makanan kaya serat
seperti sayur dan buah yang mengandung vitamin C, B12, dan mengandung zat besi.

Karena penyebab SAR sulit diketahui maka pengobatannya hanya untuk mengobati keluhannya
saja. Perawatan merupakan tindakan simtomatik dengan tujuan untuk mengurangi gejala,
mengurangi jumlah dan ukuran ulkus, dan meningkatkan periode bebas penyakit. Pada pasien
dengan ulser aftosa minor yang jarang, biasanya tidak ada perawatan yang diperlukan selain obat
kumur sodium bikarbonat dalam air hangat untuk menjaga kebersihan mulut. Jika pasien terkena
lebih parah, beberapa bentuk perawatan dapat memberikan kontrol yang baik. Perawatan rasional
meliputi obat-obatan yang dapat memanipulasi atau meregulasi respons imun. Kortikosteroid
adalah pilihan terbaik. Pada pasien yang terkena lebih parah, steroid sistemik dapat digunakan.
Prednisone dosis rendah atau sedang jangka waktu pendek efektif (20-40 mg sehari selama
seminggu, diikuti dengan pekan berikutnya setengah dosis).

16
Pada pasien yang ringan sampai sedang, hanya terapi topical steoid. Topical steroid yang boleh
digunakan pada mukosa adalah clobetasol propionate (Temovate), clobetasol propionate plus
oral adhesive (50% Temovate ointment plus 50% Orabase), betamethasone dipropionate
(Diprosone), fluocinonide (Lidex), dan betamethasone plus clotrimazole (Lotrisone). Injeksi
intralesi triamsinolon dapat digunakan pada pasien atau focal problematic lesion. Pada kasus di
mana terjadi episode ulser berulang dan penggunaan steroid sistemik tidak mungkin dan agen
topical tidak efektif, administrasi montelukast sistemik dapat berguna.

Antibiotik digunakan pada perawatan ulser aftosa dengan hasil yang cukup baik. Suspensi
tetrasiklin dan tetrasiklin congener, digunakan secara topical, seringkali menghasilkan hasil yang
memuaskan. Dosis yang digunakan 250 mg capsul tetrasiklin ke dalam 30 mL air hangat dan
berkumur beberapa menit, diulang 4 kali sehari selama 4 hari.

Hasilnya paling baik jika obat kumur digunakan pada hari pertama ulser muncul atau pada tahap
prodromal.Obat imunosupresif seperti azathioprine dan cyclophosphamide digunakan hanya
untuk perawatan pasien yang parah (untuk mengurangi dosis prednisone). Thalidomide dapat
menyembuhkan pada pasien AIDS. Obat lain yang menunjukkan efisiensi terapeutik adalah
pentoxifylline dan colchicines.

17
Perawatan Sesuai frekuensi SAR, yaitu:

 Tipe A

Durasi hanya beberapa hari, kekambuhan setahun hanya beberapa kali, perawatannya cari
predisposidi dan kumur antiseptik

 Tipe B

Durasi 3-10 hari, kambuh tiap bulan, perawatannya cari predisposisi, kumur antiseptik dan
pemberian kortikosteroid topikal

 Tipe C

Seakan tidak pernah sembuh karena satu ulser sembuh lalu timbul yang baru.Perlu pemeriksaan
lab komprehensif.Perawatannya atasi kondisi medis sesuai penemuan lab dan pemberian
kortikosteroid atau imunosupresan sistemik.

18
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat – Nya maka penulis
dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “STOMATITIS APHTOSA
RECURRENT (SAR).

Penulisan makalah adalah merupakan salah satu persyaratan untuk Kenaikan Pangkat.

Dalam Penulisan makalah penulis merasa masih banyak kekurangan – kekurangan baik
pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk
itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan
makalah ini.

Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tidak
terhingga kepada pihak – pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini, khususnya
kepada :
1. Kepala Puskesmas Batu Aji yang telah memberikan kemudahan – kemudahan baik

berupa moril maupun materil, Bapak dr. H. Harri Fajri Zisoni, selaku Kepala Puskesmas

Batu Aji Kota Batam

2. Rekan – rekan kerja di Puskesmas Batu Aji Kota Batam

3. Secara khusus penulis menyampaikan terima kasih kepada suami dan anak tercinta yang

telah memberikan dorongan dan bantuan serta pengertian yang besar kepada penulis,

dalam menyelesaikan makalah ini

4. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan

dalam penulisan makalah ini

i
Akhirnya penulis berharap semoga Tuhan memberikan imbalan yang setimpal pada
mereka yang telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua bantuan ini sebagai
ibadah, Amin.

Batam, Oktober 2016

Penulis

drg. Fitry

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................ i

DAFTAR ISI............................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1

1.2 Tujuan Penulisan .......................................................................... 1

1.3 Manfaat Penulisan ........................................................................ 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Defenisi SAR .............................................................................. 3

2.2 Etiologi ......................................................................................... 3

2.3 Patofisiologis …………………………………………………… 4

2.4 Faktor Predisposisi ..................................................................... 6

2.5 Klasifikasi ................................................................................... 11

a. Ulser Aftosa Minor ………………………………………….. 11

b. Ulser Aftosa Mayor ………………………………………….. 12

c. Ulser Aftosa herpetiform …………………………………….. 12


iii

2.6 Gejala Klinis …………………………………………………… 13

2.7 Diagnosis ………………………………………………………. 15

2.8 Diferensial Diagnosis ………………………………………….. 15

2.9 Perawatan ………………………………………………………. 16

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan ……………………………………………………… 19

3.2 Saran ……………………………………………………………. 19

DAFTAR PUSTAKA
iv

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Stomatitis aftosa rekuren (SAR) adalah suatu peradangan yang terjadi pada mukosa

mulut, biasanya berupa ulser putih kekuningan. Ulser ini dapat berupa ulser tunggal

maupun lebih dari satu. SAR dapat menyerang mukosa mulut yang tidak berkeratin yaitu

mukosa bukal, labial, lateral dan ventral lidah, dasar mulut, palatum lunak dan mukosa

orofaring.

1.2 Tujuan penulisan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui defenisi, etiologi,

patofisiologi,factor predisposisi, klasifikasi, gejala klinis, diagnosis, diferensial diagnosis, serta

perawatan dari SAR.

1
1.3 Manfaat Penulisan

Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

Dapat menambah wawasan dan pengetahuan mengenai klasifikasi dan perawatan SAR.

Dengan adanya makalah ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pengetahuan

baik bagi masyarakat dan terutama bagi dokter gigi sendiri serta memberi khasanah ilmu

pengetahuan itu sendiri.

2
Bab III

Kesimpulan dan Saran

3.1 KESIMPULAN

Stomatitis Aftosa Rekuren ( SAR ) adalah suatu peradangan yang terjadi pada mukosa mulut,
biasanya berupa ulser putih kekuningan. Merupakan salah satu kasus penyakit mulut yang sering
dijumpai. Ada banyak faktor predisposisi dari penyakit ini, diantaranya yaitu: trauma, genetic,
gangguan imunologi, hormonal, stress, infeksi bakteri dan merokok. Gambaran klinisnya sendiri
terbagi menjadi empat tahapan. Yaitu tahap premonitory, preuseratif, ulseratif, dan tahap
penyembuhan. Dari bentuk lesinya, SAR terbagi menjadi 3 yaitu tipe minor, mayor, dan
herpetiformiis. Pengobatan penyakit ini sendiri hanya bersifat simtomatis, dikarenakan etiologi
penyakit itu sendiri yang belum begitu jelas.

3.2 SARAN

Dalam upaya melakukan perawatan terhadap pasien SAR,tahapannya adalah:

1. Edukasi bertujuan untuk memberikan informasi mengenai penyakit yang dialami


yaitu SAR agar mereka mengetahui dan menyadarinya.
2. Instruksi bertujuan agar dapat dilakukan tindakan pencegahan dengan
menghindari faktor yang dapat memicu terjadinya SAR.
DAFTAR PUSTAKA

1. Lynch MA, Brightman VJ, Greenberg MS. Burket ilmu penyakit mulut: diagnosa & terapi. Alih

Bahasa. PP. Sianita Kurniawan. Grogol: Binarupa Aksara, 1994: 267-287.

2. Farmer ED, Lawton FF. Stones oral and mouth diseases. 5th ed. Great Britain: The English

Language Book Society and E&S Livingstone LTD, 1966 : 634-637.

3. Bag / SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK UNAIR / RSU Dr. Soetomo. Atlas penyakit

kulit dan kelamin. 5th ed. Surabaya: Airlangga University Press, 2008: 86-91.

4. Gupta LC, Gupta A, Gupta A. Oral medicine. 1st ed. Delhi: A.I.T.B.S Publishers & Distributors,

1999: 13-16.

5. Neville BW, Damm DD, Allen CM, Bouquot JE. Oral & maxillofacial pathology. 2nd ed.

Pennsylvania: Saunders, 2002: 187-199.

6. Gayford JJ, Harskell R. Penyakit mulut: clinical oral medicine. Alih Bahasa. Lilian Yuwono. 2nd

ed. Jakarta: EGC, 1979: 56-63.

7. Rossie K, Guggenheimer J. Oral candidiasis: clinical manifestations, diagnosis, and treatment.

PP&A. 1997; Vol. 9 (6): 635-641.

8. Zunt SL. Oral candidiasis: diagnosis & treatment. (3 Oktober 2009).

9. Anonymous. Oral candidiasis and HIV diseases. (3 Oktober 2009).

10. Anderson KM. Diagnosis and treatment of oral candidiasis infection. (3 Oktober 2009).

Anda mungkin juga menyukai