Anda di halaman 1dari 6

Recurrent Aphthous Stomatitis (RAS) merupakan penyakit yang ditandai dengan eritema dan

ulcer rekuren pada mukosa mulut. Bentuk ulcer lonjong atau uvoid dengan tepi yang
berbatas tegas dan tertutup selaput putih kekuningan.Faktor mikroorganisme, Streptococcus
diduga sangat berpengaruh dala patogenesis RAS, baik itu secara langsung maupun melalui
stimulus antigen yang mungkin melakukan reaksi silang dengan mukosa mulut. Faktor stress
dalam perkembangan RAS masih kontafersial. Diduga berhubungan dengan peningkatan
hormon glukokortikoid. RAS ditemukan pada penderita penyakit sistemik seperti
inflammatory bowl disease, chorn disease, HIV dan AIDS, dan celiac sprue.

Kata aphthous berasal dari bahasa yunani yang diperkenalkan oleh Hippocrates (450-370
SM) sebagai suatu kelainan di dalam rongga mulut. Dalam penggunaannya kata aphthous
mengacu pada adanya ulcer yang tidak diketahui. Meskipun kenyataanya stomatitis
aphthous merupakan penyakit mukosa oral yang paling sering terjadi pada manusia, namun
penyebabnya masih belum dimengerti. Walau telah tersedia pengobatan simtomatik, namun
recurrent aphthous stomatitis tidak dapat dicegah. Selama etiologi RAS belum dapat
ditentukan, penelitian difokuskan pada faktor-faktor predisposisi timbulnya RAS.
Semakin banyaknya penelitian dan teori-teori baru mengenai faktor predisposisi RAS
memungkinkan suatu saat nanti apa yang saat ini masih kita anggap faktor predisposisi
telah terbukti sebagai etiologi.
Seperti telah diketahui bersama bahwa faktor etiologi RAS adalah idiopatik (belum diketahui)
namun telah banyak dugaan mengenai faktor predisposisi RAS. Faktor-faktor yang dianggap
sebagai faktor predisposisi antara lain faktor genetic, faktor local, hormonal, defisiensi
nutrisi, stress, dan gangguan imunologi, dan penyakit sistemik.
1. Faktor Genetik
Faktor genetic dianggap memainkan peranan yang sangat besar pada pasien yang
menderita RAS. Insiden RAS dipercaya meningkat pada pasien yang memiliki riwayat
keluarga positif terkena RAS. Kurang lebih 50% keturunan derajat pertama dari penderita
RAS juga akan mengidap RAS. Sircus berpendapat bahwa bila kedua orang tua menderita
RAS maka diperkirakan besar kenungkinan timbul RAS pada beberapa anak-anaknya. Pasien
dengan riwayat keluarga RAS akan menderita RAS sejak usia muda dan lebih berat
dibandingkan pasien tanpa riwayat keluarga RAS. Probabilitas perkembangan RAS mungkin
sangat dipengaruhi oleh status RAS orang tua dan terdapat hubungan yang signifikan antara
RAS pada kembar monozygote tapi tidak pada kembar dizygote.
Faktor genetic RAS diduga berhubungan dengan peningkatan jumlah human leucocyte
antigen (HLA), namun beberapa ahli masih menolak hal tersebut. Pada penelitian yang
dilakukan pada penderita RAS dengan etnik yang berbeda ditemukan hubungan yang
signifikan antara HLA dengan RAS, namun karena sample penelitian ini sedikit maka
dianggap tidak mewakili populasi.1 Pada penelitian di Turki ditemukan jumlah HLA yang
tidak signifikan dibandingkan subyek kontrol sehat.
Antigen HLA klas I dan II terlihat pada epithelium basal dan pada sel perilesi pada semua
lapisan epithelium pada fase awal ulserasi yang rupanya di mediasi oleh interferon gamma
(IFN-) yang dilepaskan oleh sel T. Antigen ini menyerang sel-sel melalui mekanisme

sitotoksik dengan jalan mengaktifkan terlepasnya sel mononuclear ke epithelium khususnya


lapisan prickle sel sehingga terjadi kontak dengan apoptosis prickle sel yeng kemudian di
fagosit oleh neutrofil.
2. Faktor Lokal
Faktor lokal yang dimaksud dalam hal ini adalah trauma, rokok, dan alergi obat atau
makanan serta beberapa bahan kimia. Trauma juga dianggap dapat menimbilkan RAS,
pendapat ini didukung oleh hasil pemeriksaan klinis bahwa sekelompok ulcer terjadi setelah
adanya trauma ringan pada mukosa mulut.2 Rees dalam penelitiannya pada 128 penderita
RAS, terdapat 20 orang yang mengaku mengalami trauma mukosa mulut. Trauma yang
menstimulasi timbulnya lesi RAS seperti gigitan ringan pada mukosa, sikat gigi, dan suntikan
pada mulut atau makanan yang runcing. Perlu diingat bahwa trauma bukan merupakan
faktor yang berhubungan dengan berkembangnya RAS pada semua penderita tetapi trauma
sebaiknya dipertimbangkan sebagai faktor pendukung.
Khusus untuk rokok terdapat hubungan yang terbalik antara perkembangan RAS dengan
penggunaan berbagai bentuk tembakau.Ini sangat bertolak belakang dengan pemahaman
bahwa rokok sebagai sumber iritasi dalam rongga mulut yang dapat menyebabkan
timbulnya berbagai ulcer dalam rongga mulut salah satunya adalah stomatitis nicotina.
Hubungan terbalik tersebut didasarkan dari beberapa penelitian epidemiologi dimana
ditemukan insiden RAS yang rendah pada semua partisipan yang merokok. Penelitian pada
34 pasien RAS tipe minor dan major di Turki ditemukan penurunan jumlah insiden RAS pada
individu yang merokok dibandingkan dengan yang tidak merokok (kelompok kontrol) yaitu
8,8% vs 25,2%. Pada penelitian lain dengan sampel tim baseball ditemukan bahwa dari 17
orang pemain yang merokok mengalami penurunan insiden RAS yang signifikan.
Menurunnya insiden RAS pada perokok diduga berhubungan dengan meningkatnya
mekanisme keratinisasi mukosa mulut akibat rokok. Selain itu nikotin mungkin berperan
sebagai protektif faktor. Selain itu orang yang merokok mungkin mengalami stress
pisikologis yang lebih rendah dibandingkan yang tidak merokok.
Pada beberapa daerah tertentu, ditemukan adanya hubungan antara RAS dengan alergi
makanan. Dari hasil pemeriksaan ditemukan 25-27 % patien mengalami RAS akibat alergi.
Lesi RAS muncul pada beberapa pasien setelah mengkomsumsi makanan yang mengandung
coklat, sereal, keju, susu sapi, atau jus. Antibodi susu sapi telah ditemkan pada pasien
RAS.Sebaliknya banyak makanan yang menyebabkan alergi terbukti tidak menyebabkan
RAS seperti tomat, stroberi.
Mengenai penggunaan obat-obatan ditemukan obat antineoplasma menyebabkan 37 %
stomatitis ulseratif yang diberikan pada pasien yang menderita leukemia. Catopril juga
diduga bisa menyebabkan stomatitis, mengingat catopril dapat menyababkan serostomia.
Obat-obatan lain yang dianggap dapat menyebabkan stomatitis adalah obat antimikroba,
barbiturate, obat nonsteroid anti inflamasi, dan sulfonamide.
Peningkatan insiden RAS juga ditemukan akibat penggunaan sodium lauryl sulphate (SLS)
yang dikandung dalam pasta gigi sedangkan insiden RAS didapatkan menurun pada
penderita yang menggunakan pasta gigi yang bebas dari sodium lauryl sulphate. Hal ini
memperkuat dugaan bahwa agen tersebut juga merupakan faktor predisposisi terjadinya
RAS.

3. Faktor Hormon
Pada wanita, sekelompok aphthous stomatitis sering terlihat di masa pra-menstruasi bahkan
banyak yang menggalaminya berulang kali.1,2 Keadaan ini diduga berhubungan dengan
faktor hormonal. Hormon yang dianggap berperan penting adalah estrogen dan
progesterone.
Pada masa pra-menstruasi (phase lhuteal menstruasi) korpus luteum menyekresi sejumlah
besar progesterone dan estrogen. Hormon ini memberi umpan balik negatif terhadap
kelenjar hipopisis anterior dan hypothalamus kira- kira 3-4 hari sebelum menstruasi
sehingga menekan produksi hormon pada kelenjar tersebut seperti FSH, LH, maupun
hormon pertumbuhan. Menurunnya kerja hormon hipoposis akan mempengaruhi
seluruh/hampir seluruh jaringan tubuh termasuk rongga mulut. Dimana kemampuan sintesis
protein sel akan menurun sehingga metabolisme sel-sel juga akan menurun.
Dua hari sebelum menstruasi akan terjadi penurunan estrogen dan progesterone secara
mendadak.Penurunan estrogen mengakibatkan terjadi penurunan aliran darah sehingga
suplai darah utamanya daerah perifer menurun sehingga terjadinya gangguan
keseimbangan sel-sel termasuk rongga mulut, memperlambat proses keratinisasi sehingga
menimbulkan reaksi yang berlebihan terhadap jaringan lunak mulut sehingga rentan
terhadap iritasi lokal sehingga mudah terjadi RAS. Beberapa ahli berpendapat bahwa
progesterone juga memegang peranan dalam terjadinya RAS. Progesteron dianggap
berperan dalam mengatur pergantian ephitel mukosa rongga mulut. Meskipun belum ada
literature yang menjelaskan hal ini secara lebih terperinci namun ada kemungkinan
beberapa penderita RAS mengalami progesterone dermatitis autoimun.
4. Faktor Defisiensi Nutrisi
Defisiensi hematinic (besi, asam folat, vitamin B1, B2,B6, B12) kemungkinan 2x lebih besar
terkena RAS dibandingkan orang yang sehat. Sekitar 20 % penderita RAS defisiensi
hematinic, tapi di Amerika Serikat hal tersebut tidak dilaporkan. Telah banyak fakta yang
mendukung bahwa pasien yang menderita RAS kemungkinan mengalami defisiensi satu
atau beberapa hematinic.
Pada penelitan di Jepang ditemukan adanya hubungan RAS dengan menurunnya intake
makanan yang mengandung zat besi dan vitamin B1, akan tetaapi pada peneituan ini tidak
dilakukan pengujian hubungan antara intake makanan dengan fakta-fakta deficiensi
haematologi.
Pada penelitian yang baru-baru ini dilakukan di India dilaporkan adanya korelasi antara
konsentrasi nitrat dalam air minum dengan timbulnya RAS, nitrate mengakibatkan
meningkatnya aktivitas cytochrome B5 reductase dalam darah dan kerentanan terjadinya
recurrent stomatitis. Penjelasan dari teori ini berhubungan dengan adanya kelebihan oxidasi
NADH yang medukung timbulnya inflamasi pada mukosa mulut.
Defisiensi vitamin B1, B2, dan B6 telah ditemukan pada 28% pasien yang menderita RAS
akan tetapi alasan mengapa defisiensi vitamin tersebut menyebabkan RAS masih belum
diketahui pasti. Namun diduga defisiensi vitamin tersebut memegang peranan penting
dalam patogenesis RAS. Mengingat defisiensi vitamin tersebut menyebabkan menurunnya
kualitas mukosa sehingga bakteri mudah melekat pada mukosa, dan menurunnya sintesis

protein sehingga menghambat metabolisme sel.

5. Faktor Imunologi
Dewasa ini ada kecendrungan untuk menganggap penyakit yang penyebabnya tidak
diketahui pasti berhubungan dengan autoimunitas, termasuk RAS. Lehner telah
membuktikan bahwa autoimunitas merupakan penyebab, ia menyatakan bahwa pada
sejumlah besar penderita aphthous stomatitis terlihat adanya antibody pada mukosa fetus.2
Dalam beberapa penelitian imunophatgenesis ditemukan bahwa ulcerasi mungkin
disebabkan oleh aksi sitotoksin dari limfosit dan monosit pada mukosa mulut dimana
pemicunya tidak diketahui.
Telah terbukti bahwa pada pasien RAS terjadi perubahan cell-mediated imun. Pada pasien
RAS kemungkinan terjadi respon imunologi yang abnormal terhadap jaringan mukosa mulut
sendiri. Pada penderita RAS mungkin terjadi peningkatan jumlah limfosit T CD8+ dalam
aliran darah perifer dan atau terjadi penurunan limfosit T CD4+ meskipun jumlah total
limfosit T CD3+ menurun di perifer. Pada penderita RAS aktif, kemungkinan terjadi
penurunan persentase CD4+ virgin T sel dan peningkatan persentase CD4+ memori T sel.
Selain itu terjadi peningkatan jumlah sel Y dibandingkan subjek kontrol yang normal dan
pasien dengan inaktif RAS. Dimana sel Y memegang peranan penting dalam antibody
dependent cell mediated cytotokcyt (ADCC). Akan tetapi hubungan yang pasti mengenai
peningkatan sel T Y dengan RAS masih belum jelas.
Pada fase preulseratif RAS, ditemukan infiltrasi lokal mononuclear yang terdiri dari large
granular limfosit (LGL) dan CD4+. Fase ulseratif terlihat CD4+ cytotoxic suppressor cell
tetapi selama masa penyembuhan berangsur-angsur digantikan oleh sel CD4+, dan kadang
terlihat pula leukosit PMN.
Seperti telah disebutkan diatas, dapat terjadi peningkatan sel T Y yang penting dalam
ADCC. Pada penelitian invitro ditemukan toksisitas leukosit darah perifer pasien RAS
terhadap mukosa epithel mulut meningkat dan besar kemungkinan terjadi karena reaksi
ADCC terhadap mukosa mulut. Konsep ini didukung oleh pengetahuan bahwa sel
mononuclear darah perifer pada pasien RAS menyebabkan lisis sel mukosa mulut. Selain itu,
sel CD4+ pada daerah perifer pasien RAS dapat menyebabkan lisis sel epitel. Hal itu
mungkin saja terjadi mengingat CD4+ dan CD8+ memediasi terjadinya reaksi sititoksin
pada RAS.
Meskipun ada perubahan mediasi system imun pada RAS, mekanisme mediasi limfosit B
yang melibatkan ADCC dan kompleks imun juga telah diteliti. Mengenai immunoglobulin,
telah ada laporan yang menghubungkannya dengan RAS. Defisiensi IgG mungkin
mempredisposisi timbulnya infeksi bakteri dan diketahui menghasilkan respon imun.
Bagaimanapun ulserasi dalam rongga mulut tidak bersamaan dengan defisiensi IgG.
Sehingga hubungan ini masih dipertanyakan hingga sekarang.
Dari semua fakta diatas, meski tidak menyatukan teori mengenai imunopatogenesis RAS,
namun diketahui bahwa adanya ulserasi pada RAS terjadi karena ada reaksi sititoksik
limfosit dan monisit pada mukosa mulut. Tetapi pemicu dari respon tersebut belum
diketahui. Penderita RAS besar kemungkinan memiliki mediator local active inflamatori yang
tidak terkontrol atau terlalu aktif, yang mungkin saja terjadi akibat trauma lokal. Jumlah IL-2,

IFN- dan TNF- meningkat pada lesi jaringan pada penderita RAS. Jumlah TNF- banyak
pada lesi RAS dibandingkan pada traumatic ulser.
6. Faktor Mikroorganisme
Mikroba lokal pada RAS mungkin menjelaskan mengapa hanya mukosa mulut yang
dipengaruhi. Belum ada fakta yang menjelaskan hal tersebut dan dasar infeksi RAS belum
diketahui pasti.
Streptococcus diduga sangat berpengaruh dalam patogenesis RAS, baik itu secara langsung
maupun melalui stimulus antigen yang mungkin melakukan reaksi silang dengan mukosa
mulut. Streptococcus L-form ditemukan pada penderita RAS yang merupakan tipe dari
S.sanguis, meski pada penelitian selanjutnya di golongkan sebagai tipe dari S.mitis.
Meskipun dalam beberapa penelitian ditemukan respon yang tidak signifikan dibanding
subyek kontrol namun hal tersebut dapat dimaklumi mengingat tidak ada predominan cell
mediated dalam patogenesis RAS. Reaksi silang antara streptococcus dengan mukosa mulut
telah ditemukan dan memperlihatkan jumlah serum antibodi yang signifikan.
Hingga kini belum ada data yang akurat yang mendukung bahwa etiologi RAS adalah infeksi.
Begitu juga dengan virus. Beberapa fakta mendukung bahwa reaksi silang antara bakteri
heat shock protein dan komponen epitel berperan penting dalam terjadinya RAS.
7. Faktor Stress
Stress sangat berpengaruh pada sejumlah perubahan hidup yang terjadi termasuk
kemampuan dalam menimbulkan suatu penyakit. Stress dapat disertai rasa cemas dan
kadang terlihat adanya depresi. Kejadian stress dapat memberikan respon terhadap tubuh
baik itu respon fisiologis, respon psikologis, respon hormonal, maupun respon hemostatik.
Aktifnya hormon glukokortikoid pada orang yang mengalami stress menyebabkan
meningkatnya katabolisme protein sehingga sintesis protein menurun. Akibatnya
metabolisme sel terganggu sehingga rentan terhadap rangsangan (mudah terjadi ulcer).
Faktor stress dalam perkembangan RAS masih kontafersial. Pada beberapa pasien terapat
hubungan antara RAS dengan meningkatnya faktor stress. Selama stess berlangsung dapat
terjadi defisiensi niasin dan ascorbid acid. Telah dilakukan penelitian mengenai hubungan
RAS dengan stress, utamanya stress emosiaonal, dari penelitian tersebut ditemukan insiden
yang tinggi pada mahasiswa kedokteran dan kedokteran gigi yaitu sebesar 66 % dimana
jumlah ini lebih besar dibandingkan masyarakat umum yaitu sebesar 10-20%. Sterss fisik
juga dianggap sebagai patogenesis timbulnya RAS. Hal ini didukung oleh penelitian yang
dilakukan pada anggota militer dimana diketahui memiliki insiden yang tinggi terkena ulcer
rongga mulut.
8. Faktor Penyakit Sistemik
RAS ditemukan pada penderita penyakit sistemik seperti inflammatory bowl disease, chorn
disease, HIV dan AIDS, dan celiac sprue. Celiac sprue atau sprue topical yang merupakan
sindroma malabsorpsi yang tidak diketahui penyebabnya, yang sering terjadi di Asia dan
Karibia. Penyakit ini berhubungan dengan kekurangan folat dan malabsorbsi vitamin B12,
lemak, dan nutrient lainnya. Dengan adanya kelainan malaabsorbsi tersebut maka akan
semakin memicu terjadinya defisiensi nutrisi yang merupakan factor predisposisi timbulnya
RAS.

Recurrent Aphthous Stomatitis merupakan penyakit yang ditandai dengan eritema dan ulcer
rekuren pada mukosa mulut. Bentuk ulcer lonjong atau uvoid dengan tepi yang berbatas
tegas dan tertutup selaput putih kekuningan. Meskipun kenyataanya stomatitis aphthous
merupakan penyakit mukosa oral yang paling sering terjadi pada manusia, namun
penyebabnya masih belum dimengerti. Faktor-faktor yang dianggap sebagai faktor
predisposisi antara lain faktor genetic, faktor local, hormonal, defisiensi nutrisi, stress, dan
gangguan imunologi, dan penyakit sistemik.
Faktor genetic RAS diduga berhubungan dengan peningkatan jumlah human leucocyte
antigen (HLA). Faktor lokal yang dimaksud dalam hal ini adalah trauma, rokok, dan alergi
obat atau makanan serta beberapa bahan kimia. Hormon yang dianggap berperan penting
dalam timbulnya RAS adalah estrogen dan progesterone. Penurunan estrogen
mengakibatkan terjadinya gangguan keseimbangan sel-sel termasuk rongga mulut,
memperlambat proses keratinisasi sehingga menimbulkan reaksi yang berlebihan terhadap
jaringan lunak mulut sehingga rentan terhadap iritasi lokal sehingga mudah terjadi RAS.
Defisiensi hematinic (besi, asam folat, vitamin B1, B2,B6, B12) kemungkinan 2x lebih besar
terkena RAS dibandingkan orang yang sehat. Telah terbukti bahwa pada pasien RAS terjadi
perubahan cell-mediated imun. Pada pasien RAS kemungkinan terjadi respon imunoligi yang
abnormal terhadap jaringan mukosa mulut sendiri.
Diposkan oleh MISS_YASHA di 22.23
Label: ILMIAH

Anda mungkin juga menyukai