Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Stomatitis atau lebih dikenali oleh masyarakat awam dengan “sariawan”
merupakan salah satu penyakit yang ulang kambuh pada mukosa mulut yang
paling sering terjadi. Stomatitis merupakan salah satu kasus yang sering dijumpai
oleh dokter gigi diseluruh dunia sehingga dihasilkan beberapa penelitian-
penelitian yang berhubungan dengan stomatitis.
Prevalensi stomatitis bervariasi tergantung pada daerah populasi yang diteliti. Dari
penelitian-penelitian epidemiologi menunjukkan pada umumnya, prevalensi
stomatitis berkisar 15-25% dari populasi. Di Amerika, prevalensi tertinggi
ditemukan pada mahasiswa keperawatan 60%, mahasiswa kedokteran gigi 56%
dan mahasiswa profesi 55%. Resiko terkena stomatitis cenderung meningkat pada
kelompok sosioekonomi menengah ke atas, ini berhubungan dengan
meningkatnya beban kerja yang dialami kalangan profesi atau jabatan-jabatan
yang memerlukan tanggung jawab yang cukup besar, pada wanita dan individu
yang stres, seperti mahasiswa yang sedang menghadapi ujian.

1. 2        Rumusan Masalah


1. Apa pengertian stomatitis?
2. Apa etiologi dari stomatitis?
3. Apa patofisiologi dari stomatitis?
4. Apa manifestasi klinis dari stomatitis?
5. Apa saja pemeriksaan diagnostic yang di lakukan pada pasien stomatitis?
6. Apa saja penatalaksanaan medis stomatitis?
7. Apa saja komplikasi yang timbul dari stomatitis?
8. Apa prognosis dari stomatitis?

1
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian Stomatitis
2. Untuk mengetahui etiologi dari stomatitis
3. Untuk mengetahui patofisiologi dari stomatitis
4. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari stomatitis
5. Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostic yang di lakukan pada pasien
stomatitis
6. Untuk mengetahui penatalaksanaan medis stomatitis
7. Untuk mengetahui komplikasi yang timbul dari stomatitis
8. Untuk mengetahui prognosis dari stomatitis

BAB II

2
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian
Stomatitis merupakan bahasa awam untuk berbagai macam lesi/benjolan yang
timbul di rongga mulut. Namun biasanya jenis sariawan yang sering timbul
sehari-hari pada rongga mulut kita disebut (dalam istilah kedokteran gigi) adalah
Stomatitis Aftosa Rekuren. Sariawan atau stomatitis adalah radang yang terjadi
pada mukosa mulut, biasanya berupa bercak putih kekuningan. Bercak itu dapat
berupa bercak tunggal maupun berkelompok. Sariawan dapat menyerang selaput
lendir pipi bagian dalam, bibir bagian dalam, lidah, gusi, serta langit-langit dalam
rongga mulut. Meskipun tidak tergolong berbahaya, namun sariawan sangat
mengganggu. Ada pula yang mengatakan bahwa sariawan merupakan reaksi
imunologik abnormal pada rongga mulut.

2.2 Etiologi
Sampai saat ini penyebab utama dari Stomatitis belum diketahui. Namun para
ahli telah menduga banyak hal yang menjadi penyebab timbulnya stomatitis ini,
diantaranya adalah :
Penyebab yang berasal dari keadaan dalam mulut seperti :

1. Kebersihan mulut yang kurang


2. Letak susunan gigi/ kawat gigi
3. Makanan /minuman yang panas dan pedas
4. Rokok
5. Pasta gigi yang tidak cocok
6. Lipstik
7. Infeksi jamur
8. Overhang tambalan atau karies, protesa (gigi tiruan)
9. Luka pada bibir akibat tergigit/benturan.

3
Bagian dari penyakit sistemik antara lain :

a. Reaksi alergi : seriawan timbul setelah makan jenis makanan tertentu


b. Jenis makanan ini berbeda untuk tiap-tiap penderita
c. Hormonal imbalance
d. Stres mental
e. Kekurangan vitamin B12 dan mineral
f. Gangguan pencernaan
g. Radiasi

Infeksi virus dan bakteri juga diduga sebagai pencetus timbulnya sariawan ini.
Ada pula yang mengatakan bahwa sariawan merupakan reaksi imunologik
abnormal pada rongga mulut. Dan imunologik sangat erat hubungannya dengan
psikologis (stress). Faktor psikologis (stress) telah diselidiki berhubungan dengan
timbulnya stomatitis (sariawan) di sebagian besar masyarakat. Berikut adalah
klasifikasi stomatitis :

a. Stomatitis Primer, meliputi :

1. Recurrent Aphtouch Stomatitis (RAS)

Merupakan ulcer yang terjadi berulang. Bentuknya 2 – 5 mm, awal lesi


kecil, dan berwarna kemerahan. Akan sembuh ± 2 minggu tanpa luka
parut.

2. Herpes Simplek Stomatitis

Stomatitis yang disebabkan oleh virus. Bentuknya menyerupai vesikel.

3. Vincent’s Stomatitis

Stomatitis yang terjadi pada jaringan normal ketika daya tahan tubuh
menurun. Etiologinya, bakteri normal yang ada pada mulut, yaitu B. Flora.

4
Bentuk stomatitis ini erythem, ulcer dan nekrosis pada ginggival.

4. Traumatik Ulcer

Stomatitis yang ditemukan karena trauma. Bentuknya lesi lebih jelas, dan
nyeri tidak hebat.

b. Stomatitis Sekunder, merupakan stomatitis yang secara umum terjadi


akibat infeksi oleh virus atau bakteri ketika host (inang) resisten baik lokal
maupun sistemik.

2.3 Patofisiologi
Identifikasi pada pasien dengan resiko tinggi, memungkinkan dokter gigi
untuk memulai evaluasi pra-perawatan dan melakukan tindakan profilaktis yang
terukur untuk meminimalkan insidens dan morbiditas yang berkaitan dengan
toksisitas rongga mulut. Faktor resiko paling utama pada perkembangan
komplikasi oral selama dan terhadap perawatan adalah pra-kehadiran penyakit
mulut dan gigi, perhatian yang kurang terhadap rongga mulut selama terapi dan
faktor lainnya berpengaruh pada ketahanan dari rongga mulut. Faktor resiko
lainnya adalah : tipe dari kanker (melibatkan lokasi dan histology), penggunaan
antineoplastik, dosis dan administrasi penjadwalan perawatan, kemudian area
radiasi, dosisnya, jadwal dilakukan radiasi (kekerapan dan durasi dari antisipasi
myelosuppresi) serta umur pasien. Keadaan sebelum hadirnya penyakit seperti
adanya kalkulus, gigi yang rusak, kesalahan restorasi, penyakit periodontal,
gingivitis dan penggunaan alat prostodontik, berkontribusi terhadap
berkembangnya infeksi lokal dan sistemik. Kolonisasi bakteri dan jamur dari
kalkulus, plak, pulpa, poket periodontal, kerusakan operculum, gigi palsu, dan
penggunaan alat-alat kedokteran gigi merupakan sebuah lahan yang subur buat
organisme opportunistik dan pathogenistik yang mungkin berkembang pada

5
infeksi lokal dan sistemik. Tambalan yang berlebih atau peralatan lain yang
melekat pada gigi, membuat lapisan mulut lebih buruk, menebal dan mengalami
atropi, kemudian menghasilkan ulserasi local (stomatitis).

6
2.4 Manifestasi Klinis

a. Masa prodromal atau penyakit 1 – 24 jam :

Hipersensitive dan perasaan seperti terbakar

b. Stadium Pre Ulcerasi

7
Adanya udema / pembengkangkan setempat dengan terbentuknya makula
pavula serta terjadi peninggian 1- 3 hari

c. Stadium Ulcerasi

Pada stadium ini timbul rasa sakit terjadi nekrosis ditengah-tengahnya,


batas sisinya merah dan udema tonsilasi ini bertahan lama 1 – 16 hari.
Masa penyembuhan ini untuk tiap-tiap individu berbeda yaitu 1 – 5
minggu.

1. Gambaran Klinis dari Stomatitis

a) Lesi bersifat ulcerasi


b) Bentuk oval / bulat
c) Sifat tersebar
d) Batasnya jelas
e) Biasa singulas (sendiri-sendiri) dan multiple (kelompok)
f) Tepi merah
g) Lesi dangkal
h) Lesi sembuh tanpa meninggalkan jaringan parut

2.5 Pemeriksaan Diagnostik


Dilakukan pengolesan lesi dengan toluidin biru 1% topikal dengan swab atau
kumur sedangkan diagnosis pasti dengan menggunakan biopsi.
Pemeriksaan laboratorium :

a. WBC menurun pada stomatitis sekunder


b. Pemeriksaan kultur virus ; cairan vesikel dari herpes simplek stomatitis
c. Pemeriksaan cultur bakteri ; eksudat untuk membentuk vincent’s stomatitis

2.6 Penatalaksanaan Medis

8
a) Hindari makanan yang semakin memperburuk kondisi seperti cabai.
b) Sembuhkan penyakit atau keadaan yang mendasarinya.
c) Pelihara kebersihan mulut dan gigi serta mengkonsumsi nutrisi yang
cukup, terutama makanan yang mengandung vitamin 12 dan zat besi.
d) Hindari stress
e) Pemberian Atibiotik

Harus disertai dengan terapi penyakit penyebabnya, selain diberikan


emolien topikal, seperti orabase, pada kasus yang ringan dengan 2 – 3
ulcersi minor. Pada kasus yang lebih berat dapat diberikan kortikosteroid,
seperti triamsinolon atau fluosinolon topikal, sebanyak 3 atau 4 kali sehari
setelah makan dan menjelang tidur. Pemberian tetraciclin dapat diberikan
untuk mengurangi rasa nyeri dan jumlah ulcerasi. Bila tidak ada responsif
terhadap kortikosteroid atau tetrasiklin, dapat diberikan dakson dan bila
gagal juga maka di berikan talidomid.

f) Terapi

Pengobatan stomatitis karena herpes adalah konservatif. Pada beberapa


kasus diperlukan antivirus. Untuk gejala lokal dengan kumur air hangat
dicampur garam (jangan menggunakan antiseptik karena menyebabkan
iritasi) dan penghilang rasa sakit topikal. Pengobatan stomatitis aphtosa
terutama penghilang rasa sakit topikal. Pengobatan jangka panjang yang
efektif adalah menghindari faktor pencetus. Digunakan satu dari dua terapi
yang dianjurkan yaitu:

1) Injeksi vitamin B12 IM (1000 mcg per minggu untuk bulan pertama
dan kemudian 1000 mcg per bulan) untuk pasien dengan level serum
vitamin B12 dibawah 100 pg/ml, pasien dengan neuropathy peripheral
atau anemia makrocytik, dan pasien berasal dari golongan
sosioekonomi bawah.

9
2) Tablet vitamin B12 sublingual (1000 mcg) per hari. Tidak ada
perawatan lain yang diberikan untuk penderita RAS selama perawatan
dan pada waktu follow-up. Periode follow-up mulai dari 3 bulan
sampai 4 tahun.

2.7 Komplikasi
Dampak gangguan pada kebutuhan dasar manusia

a. Pola nutrisi : nafsu makan menjadi berkurang, pola makan menjadi tidak
teratur
b. Pola aktivitas : kemampuan untuk berkomunikasi menjadi sulit
c. Pola Hygiene : kurang menjaga kebersihan mulut
d. Terganggunya rasa nyaman : biasanya yang sering dijumpai adalah perih

Stomatitis memunculkan berbagai macam komplikasi bagi tubuh kita diantaranya:

1. Komplikasi akibat kemoterapi

Karena sel lapisan epitel gastrointestinal mempunyai waktu pergantian


yang mirip dengan leukosit, periode kerusakan terparah pada mukosa oral
frekuensinya berhubungan dengan titik terendah dari sel darah putih.
Mekanisme dari toksisitas oral bertepatan dengan pulihnya granulosit.
Bibir, lidah, dasar mulut, mukosa bukal, dan palatum lunak lebih sering
dan rentan terkena komplikasi dibanding palatum keras dan gingiva; hal
ini tergantung pada cepat atau tidaknya pergantian sel epithelial. Mukosa
mulut akan menjadi tereksaserbasi ketika agen kemoterapeutik yang
menghasilkan toksisitas mukosa diberikan dalam dosis tinggi atau
berkombinasi dengan ionisasi penyinaran radiasi.

10
2. Komplikasi Akibat Radiasi

Penyinaran lokal pada kepala dan leher tidak hanya menyebabkan


perubahan histologis dan fisiologis pada mukosa oral yang disebabkan
oleh terapi sitotoksik, tapi juga menghasilkan gangguan struktural dan
fungsional pada jaringan pendukung, termasuk glandula saliva dan tulang.
Dosis tinggi radiasi pada tulang yang berhubungan dengan gigi
menyebabkan hypoxia, berkurangnya supplai darah ke tulang, hancurnya
tulang bersamaan dengan terbukanya tulang, infeksi, dan nekrosis. Radiasi
pada daerah kepala dan leher serta agen antineoplastik merusak divisi sel,
mengganggu mekanisme normal pergantian mukosa oral. Kerusakan
akibat radiasi berbeda dari kerusakan akibat kemoterapi, pada volume
jaringan yang terus teradiasi terus-menerus akan berbahaya bagi pasien
sepanjang hidupnya. Jaringan ini sangat mudah rusak oleh obat-obatan
toksik atau penyinaran radiasi lanjutan, Mekanisme perbaikan fisiologis
normal dapat mengurangi efek ini sebagai hasil dari depopulasi permanen
seluler.

3. Komplikasi Akibat Pembedahan

Pada pasien dengan osteoradionekrosis yang melibatkan mandibula dan


tulang wajah, maka debridemen sisa pembedahan dapat merusak. Usaha
rekonstruksi akan menjadi sia-sia, kecuali jaringan oksigenasi berkembang
pada pembedahan. Terapi hiperbarik oksigen telah berhasil menunjukkan
rangsangan terhadap formasi kapiler baru terhadap jaringan yang rusak
dan telah digunakan sebagai tambahan pada debridemen pembedahan.

4. Komplikasi Oral

a. Mucositis/Stomatitis

11
Defenisi mucositis dan stomatitis sering tertukar dalam
penggunaannya tetapi terdapat perbedaan yang besar diantara
keduanya. Mucositis dijelaskan sebagai suatu inflammatory toksik
yang mempengaruhi traktus gastrointestinal dari mulut sampai anus,
yang dapat dihasilkan akibat dari pennyorotan radiasi sampai agen
kemoterapeutik atau radiasi ionisasi. Tipikal mucositis termanifestasi
sebagai suatu eritematous, lesi seperti terbakar atau acak, focal to
diffuse, dan lesi ulseratif. Mucositis dapat tereksaserbasi dengan factor
lokal. Stomatitis merujuk pada suatu reaksi inflamasi yang terjadi pada
mukosa oral, dengan atau tanpa ulserasi dan dapat berkembang oleh
faktor lokal seperti yang teridentifikasi pada etiologi/patofisiologi pada
pembahasan ini. Stomatitis dapat menjadi berkadar ringan atau parah.
Pasien dengan stomatitis yang parah tidak akan mampu memasukkan
apapun kedalam mulutnya. Mucositis eritematous dapat terjadi 3 hari
setelah pemaparan kemoterapi, tapi secara umum berkisar 3-7 hari.
Perkembangan menuju mucositis ulseratif umumnya berlangsung 7
hari setelah kemoterapi. Dokter gigi harus waspada terhadap potensi
berkembangnya toksisitas akibat peningkatan dosis atau lamanya
perawatan pada percobaan klinik yang menunjukkan toksisitas
gastrointestinal. Dosis tinggi kemoterapi seperti yang dilakukan pada
perawatan leukemia dan pengaturan jadwal obat dengan infus
berlanjut, berulang dan tidak terputus (seperti bleomycin, cytarabine,
methotrexate dan fluororacil) sepertinya merupakan penyebab
mucositis dibanding obat infus satu bolus dengan dosis yang setara.
Mucositis tidak akan bertambah parah jika tidak terkomplikasi oleh
infeksi dan secara normal dapat sembuh total dalam waktu 2-4
minggu. Beberapa garis panduan untuk perawatan mulut termasuk
penilaian sebanyak dua kali sehari untuk pasien dirumah sakit dan
perawatan mulut yang sering (minimal 4 jam dan sewaktu akan tidur)

12
malahan meningkatkan keparahan dari mucositis.

b. Infeksi

Mucositis oral dapat berkomplikasi dengan infeksi pada pasien dengan


sistim imun yang menurun. Tidak hanya mulut itu sendiri yang dapat
terinfeksi, tetapi hilangnya epitel oral sebagai suatu protektif barrier
terjadi pada infeksi lokal dan menghasilkan jalan masuk buat
mikroorganisme pada sirkulasi sistemik. Ketika ketahanan mukosa
terganggu, infeksi lokal dan sistemik dapat dihasilkan oleh indigenous
flora seperti mikroorganisme nosokomial dan oportunistik. Ketika
jumlah netrofil menurun sampai 1000/kubik/mm, insiden dan
keparahan infeksi semakin meningkat. Pasien dengan neutropenia
berkepanjangan berada pada resiko tinggi buat perkembangan
komplikasi infeksi yang serius.
Penggunaan antibiotik berkepenjangan pada penyakit
neutropenia mengganggu flora mulut, menciptakan suatu lingkungan
favorit buat jamur untuk berkembang yang dapat bereksaserbasi oleh
terapi steroid secara bersamaan. Dreizen dan kawan-kawan
melaporkan bahwa sekitar 70 % infeksi oral pada pasien dengan tumor
solid disebabkan oleh Candida Albicans dan jamur lainnya, 20 %
disusun oleh Herpex Simplex Virus (HSV) dan sisanya disusun oleh
bakteri bacillus gram negatif. Pada pasien dengan keganasan
hematologik, 50 % infeksi oral akibat bakteri Candida Albicans, 25 %
akibat HSV, dan 15 % oleh bakteri bacillus gram negatif. HSV
merupakan gejala paling umum pada infeksi oral viral.

c. Hemorrhage

Hemorrhage dapat terjadi sepanjang perawatan akibat trombositopenia

13
dan atau koagulasipati. Pada lokasi terjadinya penyakit periodontal
dapat terjadi perdarahan secara spontan atau dari trauma minimal.
Perdarahan oral dapat berbentuk minimal, dengan ptekiae berlokasi
pada bibir, palatum lunak, atau lantai mulut atau dapat menjadi lebih
parah dengan hemorrhage mulut , terutama pada krevikular gingival.
Perdarahan gingiva spontan dapat terjadi ketika jumlah platelet
mencapai paling kurang 50.000/kubik/mm.

d. Xerostomia

Xerostomia dapat dikenali sebagai berkurangnya sekresi dari glandula


saliva. Gejala klinik tanda xerostomia termasuk diantaranya : rasa
kering, suatu sensasi rasa luka atau terbakar (khususnya melibatkan
lidah), bibir retak-retak, celah atau fissura pada sudut mulut, perubahan
pada permukaan lidah, kesulitan untuk memakai gigi palsu, dan
peningkatan frekuensi dan atau volume dari kebutuhan cairan.
Pengaturan perawatan preventif oral, termasuk applikasi topikal flour
harus segera dimulai untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.
Xerostomia dapat dihasilkan melalui reaksi inflammatory dan efek
degeneratif radiasi ionisasi pada glandula saliva parenkim, khususnya
pada serous acinar. Perubahan ini biasanya sangat pesat dan bersifat
irreversible, khususnya ketika glandula saliva termasuk daerah
penyorotan radiasi. Aliran saliva mengalami penurunan 1 minggu
setelah perawatan dan berkurang secara progresif ketika perawatan
terus dilanjutkan, Derajat dari disfungsi tersebut sangat berhubungan
dengan dosis radiasi dan volume jaringan glandula pada lapangan
radiasi. Glandula parotid dapat menjadi lebih rentan terhadap efek
radiasi daripada glandula submandibular, sublingual, dan jaringan

14
glandula saliva minor.
Xerostomia mengganggu kapasitas buffer mulut dan
kemampuan pembersihan mekanis, sering berkonstribusi pada dental
karies dan penyakit periodontal yang progresif. Perkembangan dental
karies berakselerasi dengan sangat cepat pada terjadinya xerostomia
akibat hilangnya immunoprotein protektif yang merupakan komponen
dari saliva. Saliva dibutuhkan untuk eksekusi normal dari fungsi mulut
seperti mengecap, mengunyah, dan berbicara. Keseluruhan kecepatan
aliran saliva yang kurang dari 0,1 ml/menit dianggap sebagai indikasi
xerostomia (normal = 0,3-0,5 ml/menit). Xerostomia menghasilkan
perubahan didalam rongga mulut antara lain:

a) Saliva tidak melakukan lubrikasi dan menjadi menebal dan atrofi, yang
akan mengganggu kenyamanan pasien.
b) Kapasitas buffer menjadi tereliminasi, pada mulut kering yang bersih pH

umumnya 4,5 dan demineralisasi dapat terjadi.

c) Flora oral menjadi patogenik.


d) Plak menjadi tebal dan berat, debris tetap bertahan akibat ketidakmampuan

pasien untuk membersihkan mulut.

e) Tidak ada mineral (kalsium, fosfor, fluor) yang tersimpan pada permukaan
gigi.
f) Produksi asam setelah terpapar oleh gula dihasilkan oleh demineralisasi

selanjutnya pada gigi dan kemudian dapat menimbulkan kerusakan gigi

g) Nekrosis Akibat Radiasis

Nekrosis dan infeksi pada jaringan yang telah dilakukan penyorotan

15
radiasi sebelumnya (osteoradionekrosis) merupakan suatu komplikasi yang
serius bagi pasien yang menjalani terapi radiasi pada tumor kepala dan
leher. Komplikasi oral akibat terapi radiasi memerlukan terapi dental yang
agresif sebelum, selama dan setelah terapi radiasi untuk meminimalisasi
tingkat keparahan (xerostomia permanent, karies ulseratif, osteomyelitis
akibat radiasi dan osteoradionekrosis).
2.8 Prognosis
Prognosis stomatitis didasarkan pada masalah yang menyebabkan adanya
gangguan ini. Infeki pada stomatitis biasanya dapat disebabkan karena pengobatan
atau bila masalahnya disebabkan oleh obat-obatan maka yang harus dilakukan
adalah dengan mengganti obat. Stomatitis yang disebabkan oleh iritasi lokal dapat
diatasi dengan oral hygene yang bagus, memeriksakan gigi secara teratur, diet
yang bermutu, dan pengobatan.

BAB IIII
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Stomatitis adalah radang yang terjadi pada mukosa mulut, biasanya berupa
bercak putih kekuningan. Bercak itu dapat berupa bercak tunggal maupun
berkelompok. Sariawan dapat menyerang selaput lendir pipi bagian dalam, bibir
bagian dalam, lidah, gusi, serta langit-langit dalam rongga mulut. Meskipun tidak
tergolong berbahaya, namun sariawan sangat mengganggu. Penyebab yang
berasal dari keadaan dalam mulut seperti :

16
1. Kebersihan mulut yang kurang
2. Letak susunan gigi/ kawat gigi
3. Makanan /minuman yang panas dan pedas
4. Rokok
5. Pasta gigi yang tidak cocok
6. Lipstik
7. Infeksi jamur
8. Overhang tambalan atau karies, protesa (gigi tiruan)
9. Luka pada bibir akibat tergigit/benturan.

Bagian dari penyakit sistemik antara lain :

1. Reaksi alergi : seriawan timbul setelah makan jenis makanan tertentu


2. Jenis makanan ini berbeda untuk tiap-tiap penderita
3. Hormonal imbalance
4. Stres mental
5. Kekurangan vitamin B12 dan mineral
6. Gangguan pencernaan
7. Radiasi

3.2 Saran
Sekarang mulai hidup sehat dengan menjaga kebersihan mulut, banyak
konsumsi buah buahan, hindari stress, juga hindari rokok. Serta hindari makanan
dan obat obatan yang dapat menyebabkan reaksi alergi pada rongga mulut.

17
DAFTAR PUSTAKA
Inayah, Lin. 2004. Asuhan Keperawatan Medikal-Bedah, Edisi 1. Salemba
Medika : Jakarta
Muttaqin dan Sari. 2011. Gangguan Gastrointestinal Aplikasi Asuhan
Keperawatan Medikal Bedah. Salemba Medika : Jakarta

18

Anda mungkin juga menyukai