Anda di halaman 1dari 5

SUPPOSITORIA

Suppositoria adalah sediaan padat dalam berbagai bobot dalam bentuk, yang diberikan
melalui rectal,vaginal atau uretra (Anonim,1995 ).
Bentuk dan ukurannya harus sedemikian rupa sehingga dapat dengan mudah dimasukkan
ke dalam lubang atau celah yang diinginkan tanpa meninggalkan kejanggalan begitu
masuk, harus dapat bertahan untuk suatu waktu tertentu (Ansel,2005).
Penggunaan suppositoria bertujuan :
1) Untuk tujuan lokal seperti pada pengobatan wasir atau hemoroid dan penyakit infeksi
lainnya. Suppositoria untuk tujuan sistemik karena dapat diserap oleh membran
mukosa dalam rektum.
2) Untuk memperoleh kerja awal yang lebih cepat
3) Untuk menghindari perusakan obat oleh enzim di dalam saluran gastrointestinal dan
perubahan obat secara biokimia di dalam hati ( Syamsuni, 2005 )
Keuntungan penggunaan suppositoria antara lain:
Dapat menghindari terjadinya iritasi pada lambung
Dapat menghindari kerusakan obat oleh enzim pencernaan
Obat dapat masuk langsung saluran darah dan ber akibat obat dapat memberi efek
lebih cepat daripada penggunaan obat per oral
Baik bagi pasien yang mudah muntah atau tidak
Bentuknya seperti terpedo karena suppositoria akan tertarik masuk dengan
sendirinya bila bagian yang besar masuk melalui otot penutup dubur (Anief, 2005;
Syamsuni, 2005).
Kerugian penggunaan bentuk sediaan suppositoria antara lain:
Tidak menyenangkan penggunaan
Absorbsi obat sering tidak teratur dan sedikit diramalkan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi absorbsi obat per rektal:
a) Faktor fisiologis antara lain pelepasan obat dari basis atau bahan dasar, difusi obat
melalui mukosa, detoksifikasi atau metanolisme, distribusi di cairan jaringan dan
terjadinya ikatan protein di dalam darah atau cairan jaringan.
b) Faktor fisika kimia obat dan basis antara lain : kelarutan obat, kadar obat dalam basis,
ukuran partikel dan basis supositoria ( Syamsuni, 2005).
Bahan dasar yang digunakan untuk membuat suppositoria harus dapat larut dalam air atau
meleleh pada suhu tubuh. Bahan dasar yang biasa digunakan adalah lemak cokelat
(oleum cacao), polietilenglikol (PEG), lemak tengkawang (oleum shorae) atau gelatin
(Syamsuni, 2005).
Sifat ideal bahan dasar/ basis yang digunakan antara lain:
Tidak mengiritasi
Mudah dibersihkan
1

Tidak meninggalkan bekas


Stabil
Tidak tergantung PH
Dapat bercampur dengan banyak obat
Secara terapi netral
Memiliki daya sebar yang baik/ mudah dioleskan
Memiliki kandungan mikrobakteri yang kecil (10 2 / g ) dan tidak ada
enterobakteri pseudemonas aeruginosa dan s.aureus ( Sulaiman dan
Kuswahyuning,2008 ).
Pembuatan suppositoria secara umum dapat dilakukan dengan cara sebagai
berikut:
Bahan dasar yang digunakan harus meleleh pada suhu tubuh atau larut dalam cairan
yang ada di rektum
Obat harus larut dalam bahan dasar dan bila perlu dipanaskan. Bila sukar larut, obat
harus diserbukkan terlebih dahulu sampai halus.
Setelah campurn obat dan bahan dasarnya meleleh atau mencair, campuran itu
dituangkan ke dalam cetakan supositoria dan didinginkan. Cetakan ini dibuat dari besi
yang dilapisi nikel dan logam lain; ada juga terbuat dari plastik (Syamsuni, 2005 ).
Penggolongan suppositoria berdasarkan tempat pemberiannya dibagi menjadi:
a. Suppositoria rectal
b. Suppositoria vaginal
c. Suppositoria uretra
d. Suppositoria untuk hidung dan untuk telinga disebut juga kerucut telinga,
A. Suppositoria rectal
suppositoria rectal untuk dewasa berbentuk berbentuk lonjong pada satu atau kedua
ujungnya dan biasanya berbobot lebih kurang 2 g ( anonim, 1995).
Suppositoria untuk rektum umumnya dimasukkan dengan jari tangan.
Biasanya suppositoria rektum panjangnya 32 mm (1,5 inchi).
bentuk silinder dan kedua ujungnya tajam.
Bentuk suppositoria rektum antara lain bentuk peluru,torpedo atau jari-jari kecil,
tergantung kepada bobot jenis bahan obat dan basis yang digunakan.
Beratnya menurut USP sebesar 2 g untuk yang menggunakan basis oleum cacao
( Ansel,2005 ).
B. Suppositoria vaginal
bentuk bulat atau bulat telur
berbobot lebih kurang 5,0 g
dibuat dari zat pembawa yang larut dalam air atau yang dapat bercampur dalam air
ex.polietilen glikol atau gelatin tergliserinasi. ( Anonim,1995; Ansel, 2005).
C. Suppositoria uretra
suppositoria untuk saluran urine yang juga disebut bougie.
2

Bentuknya ramping seperti pensil, gunanya untuk dimasukkan ke dalam saluran


urine pria atau wanita.
Suppositoria saluran urin pria berdiameter 3- 6 mm dengan panjang 140 mm,
Apabila basisnya dari oleum cacao maka beratnya 4 gram.
Suppositoria untuk saluran urin wanita panjang dan beratnya dari ukuran untuk
pria, panjang 70 mm dan beratnya 2 gram, bila digunakan oleum cacao sebagai
basisnya ( Ansel, 2005).

D. Suppositoria untuk hidung&untuk telinga


kerucut telinga,
keduanya berbentuk sama dengan suppositoria uretra hanya ukuran panjangnya lebih
kecil, biasanya 32 mm.
suppositoria telinga umumnya diolah dengan basis gelatin yang mengandung gliserin.
Namun, suppositoria untuk obat hidung dan telinga jarang digunakan (Ansel, 2005).
EVALUASI SUPPOSITORIA
1. Penetapan kadar zat aktifnya dan disesuaikan dengan yang tertera pada
etiketnya.
- Peralatan yang digunakan untuk uji penetapan kadar ialah peralatan volumetrik
seperti: buret, gelas ukur, pipet, termometer, serta timbangan yang sesuai yang
telah dikalibrasi.
- Penetapan kadar zat aktif dapat dilakukan dengan metode titrimetri dengan
terlebih dahulu melelehkan suppositoria. Untuk hasil kadar yang diperoleh harus
sama dengan yang tertera pada etiket.
- Apabila tidak sama atau pun sama sekali tidak mendekati maka suppositoria
tersebut harus diulang.
2. Uji terhadap titik leburnya, terutama jika menggunakan bahan Oleum cacao.
- Dalam farmakope, titik lebur, jarak lebur, dan suhu lebur zat didefinisikan sebagai
rentang suhu atau suhu pada saat zat padat menyatu dan melebur sempurna.
- Alat penetapan suhu lebur adalah wadah gelas untuk tangas cairan transparan, alat
pengaduk yang sesuai, termometer yang akurat, dan sumber panas yang
terkendali.
- Cairan dalam tangas memiliki kedalaman yang cukup sehingga termometer dapat
tercelup dengan pencadang raksa tetap berada lebih kurang 2 cm di atas dasar
tangas. Panas didapat dari api bebas atau listrik. Pipa kapiler berukuran panjang
lebih kurang 10 cm dan dalam diameter 0,8 mm sampai 1,2 mm dengan ketebalan
dinding 0,2 mm sampai 0,3 mm.
- Metode pengerjaan ialah dengan pertama-tama menggerus suppositoria sampai
halus. Mengisi pipa kapiler kaca yang salah satu ujungnya tertutup dengan
suppositoria tadi secukupnya hingga membentuk kolom didasar tabung dengan
tinggi 2,5 mm hingga 3,5 mm setelah diisi semampat mungkin. Kemudian
memanaskan tangas hingga suhu lebih kurang 10o dibawah suhu yang
diperkirakan, dan menaikkan suhu dengan kecepatan 1 o sampai 0,5o per menit.
Letakkan termometer sampai suhu-suhu tersebut kemudian diangkat dan
menempelkan tabung kapiler untuk membasahinya dengan cairan dari tangas
3

Bila suhu mencapai 5o dibawah suhu temperatur yang diperkirakan, dilanjutkan


pemanasan hingga melebur sempurna. Metode ini dilakukan berulang dengan
pengadukan tetap pada tangas
Suhu pada saat kolom suppositoria yang diamati terlepas sempurna dari dinding
kapiler didefinisikan sebagai permulaan melebur, dan suhu pada saat suppositoria
melebur seluruhnya didefinisikan sebagai akhir peleburan atau suhu lebur.
Untuk Oleum cacao karena merupakan bahan dasar yang titik leburnya dapat
turun atau naik jika ditambahkan bahan tertentu maka pemeriksaannya lebih
diutamakan. Oleum cacao nomal biasanya meleleh pada 31 o-34oC. Oleum cacao
dapat menunjukkan polimorfisme dari bentuk kristalnya pada pemanasan tinggi.
Di atas titik leburnya, Oleum cacao akan meleleh sempurna seperti minyak dan
akan kehilangan inti kristal stabil yang berguna untuk membentuk kristalnya
kembali.
Untuk bahan dasar PEG maka suppositoria harus meleleh pada suhu tubuh sekitar
37oC, untuk titik lebur PEG pada keadaan normal adalah 35o-63oC.
Untuk bahan dasar gelatin, tween, polietilen glikol, serta surfaktan juga harus
meleleh pada suhu tubuh. Apabila terjadi penyimpangan titik lebur maka
suppositoria harus diulang.

3. Uji kerapuhan untuk menghindari kerapuhan selama pengangkutan.


- Suppositoria hendaknya jangan terlalu lemah atau lembek maupun terlalu keras
yang menjadikannya sukar meleleh.
- Untuk uji kerapuhan dapat digunakan uji elastisitas. Suppositoria dipotong ke
arah bagian yang melebar. Kemudian ditandai kedua titik pengukuran melalui
bagian yang melebar, dengan jarak tidak kurang dari 50% dari lebar bahan yang
datar. Kemudian diberikan beban seberat 20N (lebih kurang 2 kg) dengan cara
menggerakkan jari atau batang yang dimasukkan ke dalam tabung. Apabila terlalu
keras atau pun terlalu rapuh maka suppositoria harus diulangi.
4. Uji waktu hancur, untuk PEG 1000 15 menit, sedangkan untuk Oleum cacao
dingin 3 menit.
- Uji waktu hancur untuk suppositoria dan adalah untuk menetapkan waktu hancur
atau menjadi lunaknya suatu sediaan suppositoria dalam waktu yang ditetapkan
apabila dimasukkan dalam suatu cairan media pada suatu kondisi percobaan yang
ditetapkan.
- Alat yang digunakan ialah:
a) suatu batang yang transparan yang terbuat dari kaca atau plastik yang sesuai
dengan tinggi 60 mm, diameter dalam 52 mm dan tebal dinding yang sesuai;
b) suatu alat logam yang terdiri atas dua cakram logam tahan karat, masingmasing cakram memiliki 39 lubang dengan diameter 4 mm dan tersebar
sedemikian rupa. Diameter dari cakram hampir sama dengan diameter dalam
dari tabung transparan. Cakram diletakkan terpisah pada jarak lebih kurang 30
mm dari cakram lainnya. Alat logam tersebut dilekatkan pada bagian luar
tabung transparan dengan tiga alat pengait berjarak sama.
- Cara kerjanya ialah dengan pertama-tama meletakkan satu suppositoria pada
cakram berlubang bawah dari alat logam dan memasukkan alat logam itu ke
4

dalam tabung transparan dan mengaitkan pada tabung. Mengulangi lebih lanjut
dengan dua suppositoria dengan alat logam dan tabung transparan. Menempatkan
alat dalam wadah berisi paling sedikit 4 liter air. Tiga alat tersebut semua dapat
ditempatkan bersama-sama dalam satu wadah berisi paling sedikit 12 liter air,
bersuhu antara 36o hingga 37o, dilengkapi dengan suatu pengaduk lambat dan alat
penopang agar bagian atas alat berjarak 90 mm di bawah permukaan air. Setelah
tiap 10 menit, alat dibalikkan tanpa mengeluarkannya dari cairan.
Suatu suppositoria dinyatakan hancur sempurna apabila :
1) terlarut sempurna atau,
2)
terdispersi menjadi komponen, bagian lemak cair berkumpul pada
permukaan, bagian serbuk yang tidak larut berada di dasar atau terlarut atau,
3) menjadi lunak, mengalami perubahan dalam bentuknya tanpa harus terpisah
menjadi komponennya dan massa tidak mempunyai inti yang memberikan
rintangan bila diaduk dengan pengaduk kaca. Kecuali dinyatakan lain, waktu
maksimal yang diperlukan untuk menghancurkan suppositoria tidak lebih dari
30 menit untuk suppositoria dengan dasar lemak dan tidak lebih dari 60 menit
untuk suppositoria yang larut dalam air. Apabila waktu hancur menyimpang
dari yang seharusnya maka suppositoria harus diulang.
Kecuali dinyatakan lain, waktu maksimal yang diperlukan untuk menghancurkan
suppositoria tidak lebih dari 30 menit untuk suppositoria dengan dasar lemak dan
tidak lebih dari 60 menit untuk suppositoria yang larut dalam air. Apabila waktu
hancur menyimpang dari yang seharusnya maka suppositoria harus diulang.

5. Uji homogenitas.
- Kecuali dinyatakan lain dalam masing-masing monografi, suppositoria harus
memiliki homogenitas atau keseragaman bobot dan keseragaman kandungan.
- Untuk keseragam bobot, ditimbang dengan seksama 10 tablet, satu per satu, dan
dihitung berat rata-rata, dari hasil penetapan kadar maka dapat dihitung jumlah zat
aktif dari masing-masing dari 10 tablet dengan masing-masing 10 satuan sediaan
terletak antara 85,0% hingga 115,0% dari yang tertera pada etiket dan simpangan
baku relatif kurang dari atau sama dengan 6,0%.
DAFTAR PUSTAKA
1) Anief, Moh, 2000, Ilmu Meracik Obat, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
2) Anief, Moh, 2005, Farmasetika, Gadjah Mada University Press,
YogyakartaAnonim, 1979, Farmakope Indonesia Ed III, Depkes RI, Jakarta
3) Anonim, 1995, Farmakope Indonesia Ed IV, Depkes RI, Jakarta
4) Ansel, 2005, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, UI Press, Jakarta
5) Syamsuni, 2005, Farmasetika Dasar dan Hitungan Farmasi, Penerbit Buku
6) Kedokteran EGC, Jakarta
7) Sulaiman, T. N. S dan Rina Kuswahyuning, 2008, Teknologi dan Formulasi
8) Sediaan Semipadat, Laboratorium Teknologi Farmasi Bagian Farmasetika Fakultas
Farmasi UGM, Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai