Anda di halaman 1dari 14

STOMATITIS AFTOSA REKUREN SEBAB TRAUMATIK: LAPORAN SIMULASI

KASUS

Nabila1, Audiawati S2

1
Mahasiswa Profesi Kedokteran Gigi

2
Dosen Ilmu Penyakit Mulut

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Yarsi

Jakarta- Indonesia

Abstrak

Pendahuluan: Laporan Kasus: Seorang pasien laki-laki berusia 27 tahun datang kedokter
gigi dengan keluha muncul sariawan di ronggamulut yang terasa sakit sejak 2 minggu yang
lalu. Sariawan awalnya muncul di bibir dalam sisi kiri yang kemudian terasa membesar dan
sakit. Menurut pasien sariawan ini sudah ia rasakan beberapa kali. Pada pemeriksaan intraoral
didapati adanya kesi tipe ulserasi, dengan bentuk irregular dengan tepi jelas berukuran kurang
lebih 3x1cm, berwarna putih dengan batas merah jumlah tunggal yang terletak pada mukosa
labial sejajar dengan gigi 32-33. Gigi 33 tersebut terlihat maloklusi disto labio versi, sehingga
memungkinkan adanya gesekan pada mahkota bagian disto-inisial terhadap mukosa bukal
Pembahasan: Trauma, menjadi predisposisi SAR dengan menginduksi edema dan
peradangan seluler awal yang terkait dengan peningkatan viskositas matriks ekstraseluler
submucosa oral. Kesimpulan: banyaknya factor predisposisi SAR seperti Stress dan trauma
dapat memicu terjadinya SAR. Terapi dengan penggunaan pengobatan lini pertama terdiri
dari antiseptik dan obat antiinflamasi/analgesik

Keyword: Stomatitis Aftosa Rekuren, Traumatik,

Pendahuluan

Stomatitis aphthous berulang (SAR) merupakan penyakit ulseratif yang paling umum terjadi
di mukosa mulut yang bermanifestasi sebagai ulkus dangkal bulat yang menyakitkan dengan
eritematosa yang berbatas jelas dan pusat pseudomembran abu-abu kekuningan. SAR
memiliki karakteristik prodromal sensasi terbakar yang berlangsung dari 2 hingga 48 jam
sebelum ulkus muncul. Itu terjadi di individu yang sehat dan biasanya terletak pada mukosa
bukal dan labial dan lidah. Keterlibatan mukosa palatum dan gingiva yang sangat
terkeratinisasi umumnya lebih jarang [1]

Universitas YARSI 1
SAR diklasifikasikan menjadi ulkus minor, mayor, dan herpetiform. SAR muncul
sebagai ulkus minor dengan diameter kurang dari 1 cm dan sembuh tanpa bekas luka.
Ulserasi diklasifikasikan sebagai SAR mayor, juga dikenal sebagai penyakit Sutton atau
periadenitis mukosa necrotica berulang, berdiameter lebih besar dari 1 cm, bertahan selama
berminggu-minggu hingga berbulan-bulan, dan sembuh dengan bekas luka. Ulkus
herpetiform berbeda secara klinis karena tampak berkelompok beberapa ulkus yang tersebar
di seluruh mukosa mulut; terlepas dari namanya, lesi ini tidak memiliki hubungan dengan
virus herpes simpleks. [1]

Beberapa faktor dianggap sebagai agen penyebab yang memicu timbulnya SAR. Ini
termasuk faktor lokal, seperti trauma pada individu yang secara genetik rentan terhadap SAR,
faktor mikroba, faktor nutrisi, seperti defisiensi folat dan vitamin B kompleks dan lainnya

Laporan Kasus

Seorang pasien laki-laki berusia 27 tahun datang kedokter gigi dengan keluha muncul
sariawan yang terasa sakit sejak 2 minggu yang lalu. Sariawan awalnya muncul di bibir
dalam sisi kiri yang kemudian terasa membesar dan sakit. Menurut pasien sariawan ini sudah
ia rasakan beberapa kali, namun belum pernah dengan ukuran yang besar. Saat ini pasie
terlihat pucat dan lesu karena kesulitan mengunyah makanan serta sulit tidur. Pasien sudah
mencoba mengobti dengan obat kumur yang mengandung povidone iodine 1% namun belum
menunjukan perubahan.

Pada pemeriksaan intraoral didapati adanya kesi tipe ulserasi, dengan bentuk irregular
dengan tepi jelas berukuran kurang lebih 3x1cm, berwarna putih dengan batas merah jumlah
tunggal yang terletak pada mukosa labial sejajar dengan gigi 32-33. Gigi 33 tersebut terlihat
maloklusi disto labio versi, sehingga memungkinkan adanya gesekan pada mahkota bagian
disto-inisial terhadap mukosa bukal. Pada pemeriksaan ekstra oral tidak ditemukan adanya
kelainan, dan pasien tidak memiliki kelainan sistemik dan tidak sedang mengkonsumsi obat.

Gambar 1: Lesi ulserasi pada mukosa labial sejajar dengan gigi 32-33

Universitas YARSI 2
            Berdasarkan pemeriksaan klinis dan anamnesis, diagnosa pada pasien ini adalah
stomatitis aftosa rekuren (SAR) mayor predisposisi maloklusi gigi. Dengan diagnosis
banding infeksi HSV dan eritema multiform. Perawatan yang dilakukan adalah  memberikan
komunikasi, informasi, edukasi (KIE) meliputi penjelasan mengenai penyakit dan faktor
predisposisinya, menjelaskan cara penggunaan obat, cara menjaga kebersihan mulut,
konsumsi sayur buah dan air mineral yang cukup. Medikamentosa yang diberikan yaitu obat
kumur Benzydamine HCL. Untuk mengeliminasi faktor predisposisi dilakukan grinding pada
disto incisal gigi 32 yang berkontak dengan mukosa labial, serta memberikan rujukan pada
spesialis ortodonsia untuk mengoreksi maloklusi.  

Pembahasan

Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) merupakan kelainan yang ditandai dengan ulkus berulang
yang terbatas pada mukosa rongga mulut tanpa adanya tanda penyakit penyerta lainnya. SAR
diklasifikasikan menurut karakteristik klinis yang terbagi menjadi ulkus minor, ulkus mayor
dan ulkus herpetiformis. [2] SAR hanya bertahan dalam jangka waktu terbatas, berbeda
dengan ulkus ganas yang bertahan tanpa adanya penyembuhan. [3]

Etiologi SAR adalah multifactorial dan belum diketahui secara jelas, selain itu ada
banyak factor predisposisi yang mencetus munculnya SAR, faktor lokal seperti merokok dan
trauma, kelainan hematologic dan immunologi, genetik. SAR dianggap sebagai kondisi yag
dimediasi keadaan imun, namun kelainan yang spesifik dalam system kekebalan tubuh belum
diketahui secara pasti. Pada pasien dengan SAR memiliki serum immunoglobulin dalam
kisaran normal, namun diketahui adanya perubahan rasio limfosit T. secara khsusu sel CD4+
didapati pada fase pra-ulkus dan penyembuhan, sedangkan kadar sel CD8+ didapati lebih
tinggi pada fase ulkus. Selain itu pada pasien SAR ditrmukan peningkatan kadar interleukin-2
(IL-2), IL-4, IL-5, Interferon gamma, peningkatan kadar IL-6 pada sirkulasi. Keterkaitan
dengan genetik,pada stuatu studi menunjukan bahwa kerentanan peningkatan SAR pada
anak-anak dari orang tua yang positif SAR, selain itu studi lain menunjkan bahwa orang tua
positf SAR memiliki peluang 90% untuk berkembang SAR pada anaknya. Bukti lebih lanjut
untuk genetic ditemukan bahwa antigen leukosit manusia spesifik (HLA) telah diindentifikasi
pada pasien dengan SAR, khususny pada kelompok etnis tertentu. Faktor predisposisi lain
termasuk kekurangan nutrisi, stress psikologis, kecemasan, fluktuasi hormonal, alergi
terhadap makanan tertentu, pasta gigi yang mengandung natrium lauril sulfat. Selain itu

Universitas YARSI 3
terdapat konsis yang mungkin muncul dengan RAS yaitu defisiensi mikronutrien, penyakit
Behcet, penyakit celiac, penyakit radang usus, dan penyakit HIV. [2] [4]

Etiologi SAR yang belum diketahui secara pasti sehingga SAR disebut idiopatik.
Tidak ada bukti bahwa SAR adalah penyakit autoimun, karena tidak ada gangguan yang
berhubungan dengan autoimun sistemik, tidak ada autoantibodi yang ditemukan, dan SAR
cenderung sembuh secara spontan dengan bertambahnya usia. Dalam kebanyakan kasus
serum immunoglobulin normal. Kemungkinan SAR bukanlah kondisi tunggal, melainkan
manifestasi dari sekelompok gangguan. [3]

Beberapa lesi SAR dikaitkan dengan adanya faktor predisposisi seperti imunologi,
genetik, alergi, gizi, dan faktor mikroba. Berikut beberapa hal yang sering dikaitkan dengan
keberadaan SAR: [1]

1. Trauma, menjadi predisposisi SAR dengan menginduksi edema dan peradangan


seluler awal yang terkait dengan peningkatan viskositas matriks ekstraseluler
submucosa oral. Namun tidak semua traumatic dapat memicu SAR. Seperti
penggunaan gigi tiruan dengan prevalensi SAR yang rendah, dan merokok
menunjukan hubungan negatif dengan SAR. Oleh karena itu trauma lokal yang
menjadi faktor predisposisi SAR dengan predileksi herediter. PH saliva yang berubah
mempengaruhi sifat lokal saliva dan peningkatan kortisol saliva yang diinduksi oleh
stress memiliki hubungan dengan munculnya SAR. Meskipun belum terbukti adanya
hubungan langsung antara kelenjar saliva dengan SAR. Pasien SAR dengan
xerostomia memungkinkan adanya peningkatan gejala karena adanya peningkatan
mulut kering
2. Meskipun secara etiologis SAR tidak terkait dengan HSV, namun reaktifitas Varicella
zoster virus, human cytomegalo virus dikaitkan dengan rekurensi SAR.
3. Kondisi medis yang mendasari munculnya SAR salah satunya adalah sindrom Behçet,
ditandai dengan ulkus oral dan genital berulang, dan lesi mata. Behçet’s sindrom
adalah gangguan multisistem akibat vaskulitis kecil dan menengah pembuluh darah
dan radang epitel. Respon inflamasi abnormal pada Behçet Sindrom ini disebabkan
oleh kompleks imun yang diinduksi oleh limfosit T dan sel plasma. Meskipun
sindrom Behçet biasanya menyerang orang dewasa, sejumlah kasus telah dilaporkan
pada anak. A high titer of antiSaccharomyces cerevisiae antibodies (ASCA) dengan
titer tinggi telah terdeteksi pada pasien Behçet disbanding pasien SAR. Varian lain

Universitas YARSI 4
dari sindrom Behçet yang mencakup polikondritis yang kambuh, suatu kelainan
ditandai dengan ulkus mulut dan kelamin dengan tulang rawan yang meradang, telah
diberi label MAGIC sindrom. Penyakit radang usus seperti penyakit Crohn dan kolitis
ulserativa telah terjadi terkait dengan ulkus mulut yang mungkin menyerupai RAS,
tetapi lesi Crohn sering mengalami indurasi berbatasan dan secara histologis berbeda
karena sifat granulomatosa dari lesi. Sekitar 10% pasien dengan penyakit Crohn
memiliki ulkus mukosa mulut, dan manifestasi oral terkadang mendahului gejala usus.
Beberapa peneliti percaya bahwa radang kelenjar ludah kecil adalah kemungkinan
penyebab ulkus mulut. Penyakit celiac, sensitivitas autoimun terhadap gluten adalah
gangguan medis lain yang sering terjadi terkait dengan RAS, tetapi hubungan sebab
akibat antara kedua gangguan ini tidak benar-benar jelas. Prevalensi RAS pada pasien
penyakit celiac telah dilaporkan berkisar dari 4% sampai 40%, tetapi ulserasi mulut
pada pasien penyakit celiac juga bervariasi dari 3% sampai 61% Disregulasi
imunologis mendasari terjadinya SAR. Pada individu dengan HIV+ SAR lebih sering
terjadi, dan bertahan lama dengan symptom rasa sakit dari pada pada individu sehat.
SAR seringkali telat disadari pada pasien AIDS dengan CD4+ limfosit dibawah
100cells/mm3. Kehadiran SAR terswbut dapat menjadi pertanda adanya infeksi HIV.
4. Faktor Genetik. Factor keturunan merupakan penyebab yang mendasari SAR yang
terdefinisi dengan baik. Keretanan terhadap SAR meningkat secara signifikan dengan
adanya gen pada salah satu orang tua atau keduanya. Individu dengan Riwayat
keluarga positif SAR, cenderung mengalami SAR pada usia dini. Pada suatu studi
anak anak denga kedua orang tua yang positif SAR memiliki 90% peluang memiliki
SAR dengan gejala yang lebih parah dan lebih sering kambuh.
5. Faktor Alergi. Hipersensitivitas terhadap zat makanan tertentu, mikroba oral seperti
Streptococcus sanguis diduga sebagai factor penyebab timbulnya SAR
6. Faktor Imunitas. Pada beberapa pasien, peningkatan kadar sIgA telah dilaporkan
selama masa akut dan remisi fase minor SAR. Beberapa penelitian lain menunjukkan
hubungan antara keparahan SAR dan proporsi abnormal sel CD4+ dan CD8+,
perubahan CD4+: CD8+ rasio dan peningkatan kadar beberapa sitokin termasuk
interleukin 2 (IL-2), interferon gamma (INF-γ), dan tumor necrosis factor-α (TNF-α)
mRNA pada lesi SAR. Studi imunohistokimia dari jaringan biopsi SAR menunjukkan
banyak sel inflamasi dengan rasio variabel CD4+: CD8+ T limfosit tergantung pada
durasi ulkus. Sel CD4+ lebih banyak selama pra-ulseratif dan penyembuhan,
sedangkan sel CD8+ cenderung lebih banyak selama keadaan ulseratif

Universitas YARSI 5
7. Defisiensi Nutrisi. Pasien SAR didapati memiliki kadar zat besi, folat, zinc, atau vit
B1, B2, B6, B12 yang rendah. Perbaikan nutrisi pada pasien menunjukan
penyembuhan pada pasien SAR menunjukan adanya hubungan antara nutrisi dengan
timbulnya SAR
8. Stress psikologi. Stress dan ketidak sseimbangan psikologis dikaitkan dengan
kerentana SAR dan kemungkinan terbentuk lesi baru. Suatu studi menunjukan adanya
hubungan antara stress beban akademik dengan SAR

Mekanisme kekebalan tubuh dengan faktor predisposisi genetic terhadap ulserasi oral
diawali dengan Sel T-helper yang mendominasi pada lesi SAR awal, Bersama dengan sel
NK. Sel sitotoksik kemudian muncul pada lesi dan terdapat bukti reaksi antibody-dependent-
cellular cytotoxicity (ADCC), sehingga sel mononuclear, sel T, neutrophil dan sel NK dapat
terlibat. [3]

Gambar 2: Patogenesis SAR

Pasien dengan SAR tidak memiliki gejala atau tanda sitemik yang terdeteksi secara
klinis. Jika ulserasi mempengaruhi mukosa lan selain rongga mulut, maka diagnosisnya tidak
bisa hanya SAR. Mendiagnosis SAR dibuat berdasarkan riwayat nedis dan gambaran klinis.
Berdasarkan riwayat medis biasanya SAR berkembang dalam dua decade pertama kehidupan,
kemudian frekuensi terjadinya lesi berulang menuru selama decade ketiga. Dalam beberapa
kasus yang jarang tingkat keparahan dan frekuensi SAR dapat meningkat pada lansia. [4]

SAR muncul pada rongga mulut dengan bentuk bulat atau oval pada mukosa
nonkeratin dengan warna kuning keabun fibrin pseudo membran dengan halo eritema. Bagian
yang paling sering terkena adalah mukosa labial dan bukal. Pada SAR tipe mayor mungkin
dapat muncul di bagian lain seperti dorsal lidah, palatal keras dan lunak, palatoglossal dan
palatopharyngeal arches. Kadang pasien merasaka sensasi terbakar dan tingling .
mengkonsumi makanan garing, pedas, asaam dan makanan tertentu mungkin membuat
makan dan menelan menjadi tidak nyaman. [4] SAR muncul dengan prodromal berupa

Universitas YARSI 6
sensasi terbakar pada 2-48 jam pertama sebelum ulkus muncul. Pada periode inisial
terbentuknya eritema pada area lokal saja. Dalam hitungan jam muncul bentuk papula
berwarna putih, ulkus, dan pembengkakan pada 48-72 jam selanjutnya. [2]

Terdapat 4 jenis SAR yang memiliki gambaran yang berbeda beda. [4]

1. Stomatitis Aftosa Rekuren Tipe Minor


SAR tipe minor muncul dengan ukuran diameter kurang dari 1cm dengan jumlah
tunggal ataupun banyak dengan bentuk bulat atau oval. Tipe minor ini biasanya
muncul pada mukosa non-keratin mukosa bergerak seperti bibir, pipi, dasar mulut dan
ventral lidah. Kemunculannya dapat disertai rasa sakit selama 3-4 hari pertama. Lesi
bertahan 7-10 hari dan sembuh tanpa adanya bekas. Pasien dengan SAR tipe ini
melaporkan jumlah lesi 1-6 dengan kekambuhan 1 tahun kemudian. [4] [3]

Gambar 3: Stomatitis Aftosa Rekuren Tipe Minor2

2. Stomatitis Aftosa Rekuren Tipe Mayor


SAR tipe ini muncul dengan ukuran lebih besar yaitu dengan diameter >1cm, lesi ini
sangat menyakitkan disertai dengan kesulitan makan dan bicara. Lesi dapat ditemukan
di mukosa keratin. Lesi dapat berlangsung hitungan minggu hingga bulan. Jenis lesi
ini lebih sering mengalami rekurensi. Pada kasus tertentu kadang operator salah
mendiagnosis antara SAR mayor dengan vesiculobullous, squamous cell carcinoma
atau granulomatous. Terkadang pasien dengan lesi ini menunjukan adanya
peninkgkatan sedimen eritrosit dan visksitas plasma. Lesi sembuh dengan
meninggalkan bekas luka, terkadang dibutuhkan rawat inap agar mendapatkan
makanan melalui intravena. [4] [3]

Universitas YARSI 7
Gambar 4: Stomatitis Aftosa Rekuren Tipe Mayor2

3. Stomatitis Aftosa Rekuren Herpetiformis


SAR jenis ini jarang terjadi, muncul dengan ukuran kecil dan jumlah yang banyak.
Dalam pengukuran mungkin hanya beberapa mm. terkadang lesi menyatu satu sama
lain membentuk lesi yang lebih besar dengan bentuk irregular menyerupai lesi terkait
HSV. Dapat ditemukan di seluruh bagian mukosa rongga mulut, termasuk mukosa
keratin. Gambaran klinis secara keseluruhan mirip dengan SAR minor namun dengan
ukuran yang lebih kecil. Lesi ini sembuh dalam jangka waktu 7-10 hari atau bahkan
lebih. SAR tipe ini ditemukan lebih banyak pada kelompok usia tua dibandingkan
jenis SAR lainnya, dan paling banyak pada Wanita. [4] [3]

Gambar 5: Stomatitis Aftosa Rekuren Tipe Herpetiformis2

4. Stomatitis Aftosa Rekuren Severe


SAR jenis ini membuat pasien hamper tidak pernah terbebas dari ulkus dan dikaitkn
dengan nyeri kronis, malnutrisi dan penurunan berat badan. Pasien bisanya
mengembangka ulkus baru Ketika lesi sebelumnya sembuh. Lesi ini dapat mengenai

Universitas YARSI 8
mukosa keratin ataupun non keratin. Pada pasien HIV SAR jenis ini sering kali
muncul berulang dengan diameter lebih dari 1cm [4]

Tabel 1. Tipe Stomatitis Aftosa Rekuren [1]

Minor Major Herpetiform


Gender M=F M=F F>M (Biasanya)
Onset Usia 5-19 10-19 20-29
Jumlah Ulserasi 1-5 1-10 10-100
Durasi (hari) 4-14 >30 <30
Rasio Rekurensi 4-14 >30 <30
(bulan)
Lokasi Bibir,pipi,lidah,dasar Bibir, pipi, lidah, Bibir, pipi, lidah,
mulut palatal, faring faring, palatal,
gingiva, dasar mulut
Bekas luka Jarang Sering Jarang
Penegakan diagnosis dapat dilakukan dengan anamnesis, riwayat medis dan
pemeriksaan klinis yang adekuat. Tidak ada pemeriksaan penunjang yang spesifik, kadang
dibutuhkan hanya jika rancu dengan diagnosis banding. Untuk penegakan diagnosis yang
tepat pada pasien dengan SAR pada individu tua dengan episode baru atau pada pasien
dengan gejala sistemik lain atau baru, tes laboratorium dapat membantu. Pemeriksaan darah
mungkin diindikasikan jika diduga defisiensi hematologic (misalnya kadar serum vitamin
B12, folat, ferritin, dan zat besi yang rendah) atau pada pasien HIV dengan jumlah CD4
dibawah 100/mm3. Biopsi jaringan dapat diperoleh untuk mengeksklusi vesiculobullous
seperti pemfigoid atau pefigus membrane mukosa atau penyakit granulomatosa seperti
sarcoidosis atau penyakit corhn. [3] [4]

Diagnosis banding yang dapat mengaburkan dalam menegak diagnosis pada SAR
merupakan penyakit dengan manifestasi berupa ulkus, seperti infeksi HSV dan traumatic
ulser. Kondisi tersebut dapat dibedakan dari SAR berdasarkan lokasi lesi, dan symptom
penyerta. Infeksi HSV memiliki lesi yang mirip dengan SAR namun pada infeksi primer
disertai inflamasi gingiva berupa eritema dan oedem, disertai demam dan lesi berupa vesikel
dan ulkus. Sedangkan infeksi sekunder HSV ditemukan pada mukosa keratin seperti palatum
keras atau gingiva. Yang membedakan dengan SAR adalah tidak didahului dengan demam

Universitas YARSI 9
ataupun vesikel. Lesi SAR hamper sering terjadi hanya pada mukosa oral bergerak seperti
mukosa bukal, labial, lidah dan palatum lunak.

Tabel 2. Diagnosis Banding Stomatitis Aftosa Rekuren

SAR Infeksi HSV [2] Ulser Traumatik [5]


Etiologi Idiopatik, Disregulasi HSV-1 trauma mekanis, termal,
imunologis elektrik dan kimiawi
Gambaran Klinis Ulkus, halo eritema, Vesikel, kemudia pecah ulser dengan ukuran dan
kuning keabuan membentuk ulkus bentuk yang bervariasi,
berukuran 1-5mm dan tergantung pada jenis
menyatu membentuk trauma yang menjadi
ulkus yang lebih besar penyebab ulser tersebut,
dengan batas scalloped dapat berkisar dari
dan tanda eritema beberapa milimeter
disekitarnya. Gingiva sampai beberapa
eritematosa, dan mulut sentimeter. Pinggiran
terasa sangat nyeri, atau batas ulser tidak
beraturan dan dikelilingi
daerah yang eritema.
Permukaan ulser ditutupi
oleh pseudomembran
berwarna putih
kekuningkuningan yang
terdiri dari eksudat
fibrin.

Lokasi mukosa oral bergerak mukosa keratin dari mukosa berkeratin


seperti mukosa bukal, mukosa palatum keras, seperti gingiva palatum
labial, lidah dan palatum attached gingiva dan dan lidah maupun
lunak dorsum lidah, dan mukosa tidak berkeratin
mukosa nonkeratin dari seperti mukosa labial,
mukosa bukal dan labial, mukosa bukal dan dasar
ventral lidah, dan mulut
palatum lunak
Pemicu seperti merokok dan Kontak langsung atau
trauma, kelainan droplet dari sekresi
hematologic dan saliva yang mengandung

Universitas YARSI 10
immunologi, genetik HSV
Penanganan lini pertama terdiri dari Agen antivirus sistemik Eleminasi faktor pemicu,
antiseptik dan obat (Asiklovir) adalah terapi menghilangkan rasa sakit
antiinflamasi/analgesic lini pertama tergantung dari ukuran,
topical klorheksidin lamanya dan lokasi ulser
0,2% dalam larutan dengan antiinflamasi
kumur atau gel, seperti
Triclosan juga dapat kortikosteroid.Obat lain
digunakan dalam bentuk yang dapat digunakan
gel atau bilas tiga kali anestesi topikal,
sehari (tanpa menelan), benzydamin
diklofenak 3% topikal hidroklorida, antiseptik
dengan asam hialuronat dan oba kumur sodium
2,5% dapat diterapkan klorida. Penggunaan
untuk mengurangi rasa antiseptik dan vitamin
sakit. Apabila tidak untuk mencegah infeksi
menunjukan perbaikan, sekunder
dibutuhkan lni kedua
berupa obat sistemik.

Untuk memudahkan penentuan pilihan pengobatan terbaik, pasien dapat diklasifikasikan


menurut karakteristik klinisnya sebagai berikut: [6]

Tipe A

Tipe ini terjadi dalam episodik singkat hanya beberapa kali dalam setahun, dikarakterisasi
dengan rasa sakit yang dapat ditoleransi. Faktor predisposisi dapat diidentifikasi dan
dikontrol (contoh: menghilangkan trauma lokal, menggunakan sikat gigi yang lembut,
mengikuti instruksi dalam menyikat gigi). Sebaiknya menanyakan kepada pasien mengenai
kebiasaan makan, untuk mengevaluasi kemungkinan adanya hubungan antara timbulnya
penyakit dengan beberapa jenis makanan. Dapat menjauhi makanan keras, segala jenis
kacang, coklat, makanan atau minuman asam, makanan asin, terlalu pedas, alkohol, dan
minuman berkarbonasi.10

Tipe B

Tipe ini meningkat menjadi bulanan, bertahan 3-10 hari, dan rasa sakit mempengaruhi
perubahan kebiasaan pasien terhadap kebersihan rongga mulut dan diet. Jika faktor
predisposisinya dapat diidentifikasi (trauma,stress,diet,hygiene,dll), hal ini dapat di

Universitas YARSI 11
sampaikan kepada pasien dan dikontrol. Dan penting untuk menanyakan adanya gejala
prodromal (gatal,bengkak), untuk dapat memberikan perawatan topikal jika hal ini terjadi.

Tipe C

Tipe ini sangat sakit, dengan aphthae kronis. Beberapa lesi timbul ketika lesi lain mulai tahap
penyembuhan, dan pasien tidak dapat merespon pada perawatan topical. Hal ini diindikasikan
untuk menggunakan terapi sistemik.

Pengobatan farmakologi local: Pengobatan harus selalu dimulai dengan pengobatan


topikal. Pilihan pengobatan lini pertama terdiri dari antiseptik dan obat
antiinflamasi/analgesik seperti klorheksidin 0,2% dalam larutan kumur atau gel, tiga kali
sehari (tanpa menelan), selama lesi bertahan. Triclosan juga dapat digunakan dalam bentuk
gel atau bilas tiga kali sehari (tanpa menelan), selama lesi bertahan, dan memberikan efek
antiinflamasi, antiseptik, dan analgesik. Selanjutnya, diklofenak 3% topikal dengan asam
hialuronat 2,5% dapat diterapkan untuk mengurangi rasa sakit. Terdapat laporan mengenai
penggunaan obat kumur dengan benzidamin hidroklorida, sebgai pereda nyeri sementara.
Amlexanox adalah obat yang dipelajari secara luas yang menawarkan kemanjuran jangka
pendek, terutama bila digunakan dalam fase prodromik (gejala awal). Mekanisme kerjanya
tidak diketahui, meskipun merupakan agen topikal dengan sifat antiinflamasi dan anti alergi
yang sudah mapan (1). Biasanya diberikan dalam bentuk salep dengan konsentrasi 5%, dan
dioleskan 2-4 kali sehari. Obat tersebut telah terbukti efektif dalam mempercepat
penyembuhan aphthae dan mengurangi rasa sakit, eritema dan ukuran lesi

Tabel 3. Pengobatan Farmakologi Lokal [6]

Pengobatan Farmakologi Lokal


1. Antiseptik, antiinflamasi dan analgesic (obat kumur chlorhexidine atau gel;
triclosan gel; topical diclofenac; ointment amlexanox
2. Antibiotik ( doxycycline gel dosis rendah)
3. Topikal Kortikosteroid ( Triamcinolone acetonide, fluocinolone acetonide;
Clobetasol Propionate)
4. Hyaluronic acid gel
5. Topical anastesi (lidocaine topical spray atau gel)

Universitas YARSI 12
SAR biasanya diatasi dengan pengobatan topikal, meskipun dalam beberapa kasus
tindakan ini terbukti tidak cukup karena keparahan lesi atau untuk alasan yang tidak
diketahui. Ini adalah saat terapi lini kedua dengan zat obat sistemik diindikasikan

Tabel 4. Terapi Farmakologi Sistemik [6]

Pengobatan Farmakologi Sistemik


1. Antibiotik (Penicillin G Potassium)
2. Kortikosteroid ( Prednisolone)
3. Colchicine
4. Dapsone
5. Clofazimine
6. Pentoxifylline
7. Zinc Sulfate
8. Immunomodulating (Thalidomide; Levamisole)
9. Substansi Homeophatik (mercurius solubilis, Natrum muriaticum, phosphorus,
sulfuric acid, nitric acid)

Kesimpulan

Stomatitis Aftosa Rekuren merupakan ulserasi yang paling umum terjadi pada rongga mulut,
dan sering menimbulkan ketidaknyamanan. Faktor etiologinya sampai saat ini belum
diketahui, tapi ada beberapa faktor predisposisi seperti stress dan trauma yang dapat memicu
adanya kelainan ini. Terapi dengan penggunaan pengobatan lini pertama terdiri dari
antiseptik dan obat antiinflamasi/analgesik efektif dalam penyembuhan Stomatitis Aftosa
Rekuren.

Universitas YARSI 13
DAFTAR PUSTAKA

[1] B. D. M. Sunday O. Akintoye and D. F. Martin S. Greenberg, "Recurrent Aphthous


Stomatitis," NIH Public Access, vol. 58, no. 2, pp. 281-297, 2015.
[2] M. Glick, M. S. Greenberg, P. B. Lockhart and S. J.Challacombe, Burket's Oral Medicine,
thirteenth ed., Philadelpia: Wiley Blackwell, 2021.
[3] C. Scully, Oral and Maxillofacial Medicine The Basis of Diagnosis ang treatment,
Philadephia: Elsevier, 2008.
[4] C. S.Farah, R. Balasubramaniam and M. J. McCullough, Contemporary Oral Medicine,
Philadephia: Springer, 2019.
[5] E. Herawati and N. Nur’aeny, "ETIOLOGI, DISTRIBUSI LOKASI, DAN TERAPI
ULSER TRAUMATIK PADA PASIEN DI RUMAH SAKIT GIGI DAN MULUT
UNIVERSITAS PADJADJARAN," B-Dent: Jurnal Kedokteran Gigi Universitas
Baiturrahmah, vol. 8, no. 3, pp. 313-319, 2021.
[6] Y. J.-S. A. C.-L. Irene Belenguer-Guallar, "Treatment of recurrent aphthous stomatitis. A
literature review," J Clin Exp Dent, vol. 6, no. 2, pp. 168-74, 2014.

Universitas YARSI 14

Anda mungkin juga menyukai