Anda di halaman 1dari 12

HUBUNGAN ANTARA STRES DAN STOMATITIS AFTOSA

REKUREN

(THE RELATION BETWEEN STRESS AND STOMATITIS AFTOSA

REKUREN )

Sal Sabila Aulia Rahma

180600023

Mahasiswa Program Studi Pendidikan Kedokteran Gigi

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara

Jalan Alumni No. 2 Kampus USU Medan 2015

Email: salsabilaauliarahma81@gmail.com

ABSTRACT
Recurrent aphthous stomatitis (RAS) is an inflammation of the oral mucosa that was
characterized by recurrent ulcers and a clinical picture round shaped or oval, with the
boundaries clearly and the central necrotic yellow gray, and the edge of the redness. Until now,
the etiology of this disease remains unknown, but there are many predisposition factors, one of
it is stress. Stress is a condition of tension and pressure on a person's psychological. When
stress, there will be an increase in cortisol levels. This is can reduce the function of protection
against microorganisms, so there will be a destruction of tissue that produce RAS. This paper
aims to know if stress can causes recurrent aphthous stomatitis (RAS).
Keywords: Recurrent Aphthous Stomatitis, Kortisol, Recurrent Ulcers.

PENDAHULUAN

Stres merupakan respon non spesifik tubuh akibat perubahan sosial dari

modernisasi.1 Setiap individu memiliki tingkat stres yang berbeda-beda. Tingkat

stress individu mengacu pada kemampuan individu untuk bertahan dalam

menghadapi berbagai tekanan tanpa mengakibatkan gangguan.2 Akibat dari stres,

timbul penyakit berupa luka pada mukosa rongga mulut yang disebut stomatitis

aftosa rekuren. Masyarakat awam mengenalnya dengan istilah sariawan.1

1
Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) yang dikenal dengan istilah apthae atau cancer

sores, merupakan suatu lesi ulserasi yang terjadi secara kambuhan pada mukosa

mulut tanpa adanya tanda-tanda suatu penyakit lainnya.3 Gejala awal SAR bisa

dirasakan penderita sebagai rasa sakit dan ditandai dengan adanya ulser tunggal

atau multipel yang terjadi secara kambuhan pada mukosa mulut. SAR memiliki

karakteristik berbentuk bulat atau oval, dengan batas jelas beserta pusat nekrotik

berwana kuning-keabuan dan tepi yang berwarna kemerahan.4

Stres merupakan salah satu faktor predisposisi stomatitis aftosa rekuren yang

dapat dialami oleh seseorang. Sebagian besar orang yang mengalami stres

cenderung pernah mengalami stomatitis aftosa rekuren.1Makalah tinjauan pustaka

ini bertujuan untuk membahas hubungan stres sebagai penyebab munculnya

penyakit stomatitis aftosa rekuren.

STRES

Stres adalah ketegangan atau tekanan yang berdampak pada kejiwaan seseorang.

Beberapa kejadian tertentu dalam kehidupan seseorang dapat beraksi sebagai

aktivator atau stimulus untuk timbulnya respons stres. Respons stres dapat

mengubah status kesehatan seseorang. Stres sebagai jalur untuk terjadinya penyakit,

karena stres dapat meregulasi fungsi neuroendokrin dalam sistem

psikoneuroimunologi. Stres akan dialami oleh semua individu, hanya saja tipe stres

yang mereka alami berbeda-beda sesuai dengan tipe kepribadiannya. Orang yang

penanggulangan stresnya tidak baik, akan dirasakan oleh susunan saraf pusat

(Hipotalamus) sebagai respons yang mengakibatkan dikeluarkan corticotropic

releasing hormone (CRH), lalu hormon tersebut akan menstimulasi kelenjar

pituitari untuk menyekresi adrenokortikotropik hormone (ACTH), kemudian

2
ACTH juga akan menstimulasi korteks adrenal untuk mengeluarkan kortisol. Di

sini kortisol bertugas untuk menurunkan fungsi imun termasuk SigA, IgG dan

neutrofil, yang akibatnya mudah terjadi infeksi.2

STOMATITIS AFTOSA REKUREN

Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) biasa dikenal dengan istilah aphthae/ canker

sores/ recurrent aphthous ulcerations (RAU) yang merupakan suatu kondisi

peradangan pada mukosa mulut yang bersifat kambuhan dan juga salah satu lesi

mulut yang paling menyakitkan dan dapat menyebabkan gangguan saat makan,

menelan, serta bebicara.3 SAR adalah jenis ulkus yang muncul di rongga mulut

manusia dengan ciri khas ulkus single atau multiple, kambuhan, kecil, bulat atau

oval, dengan batas jelas kemerahan, dan dasar abu-abu atau kuning.1

GAMBARAN KLINIS STOMATITIS AFTOSA REKUREN

Stomatitis aftosa rekuren ditandai oleh ulser rekuren yang nyeri pada mukosa

mulut yang dilkasifikasikan menjadi tiga kategori sesuai dengan ukurannya:

1. SAR Minor

SAR minor juga disebut dengan canker sore. SAR minor mempunyai

tendensi untuk muncul pada mukosa bergerak yang terletak di atas kelenjar

saliva minor. SAR minor biasanya sembuh secara spontan tanpa

pembentukan jaringan parut dalam waktu 14 hari.5 SAR minor dengan 1-5

ulkus tiap pada episode mukosa tidak berkeratin tanpa meninggalkan

jaringan parut.6

Gambaran klinis tipe minor adalah berukuran 2-4 mm atau kurang dari

1 cm, simetris, dapat dimulai dengan munculnya makula eritematous yang

berhubungan dengan gejala prodomal. SAR minor biasanya lebih sering

3
mengenai mukosa rongga mulut yang tidak berkeratin seperti mukosa labial

dan bukal, dasar mulut, dan pada lateral dan ventral lidah.3

Gambar 1. SAR Minor

2. SAR Major

SAR mayor biasanya berbentuk bulat atau oval yang berukuran 2-3 cm

dengan 1-3 ulkus tiap episode pada mukosa berkeratin dan tidak berkeratin

yang meninggalkan jaringan parut. Biasanya jenis SAR ini terjadi pada

orang yang terjangkit penyakit AIDS.6,7 Penyembuhannya bisa memakan

waktu beberapa minggu bahkan berbulan-bulan. Ulser biasanya sembuh

dengan membentuk jaringan parut dan distorsi jaringan. Hal ini disebabkan

karena ulser sudah mengerosi jaringan ikat.4

Gambar 2. SAR Major

4
3. SAR Herpetiformis

SAR jenis ini sangat jarang terjadi. Ulser pada jenis ini biasanya

berukuran 1-2 mm.7 SAR Herpetiformis dengan 20-100 ulkus tiap episode

pada mukosa tidak berkeratin yang meninggalkan jaringan parut jika ulkus-

ulkus menyatu.6 SAR Herpetiformis khususnya terjadi pada ujung anterior

lidah, tepi-tepi lidah, dan mukosa bibir. Ulser ini berlangsung selama 7-30

hari.4

Gambar 3. SAR Herpetiformis

ETIOLOGI STOMATITIS AFTOSA REKUREN

Etiologi SAR hingga saat ini masih belum diketahui dengan pasti. Ada beberapa

etiologi/ faktor predisposisi yang diketahui secara pasti, namun ada beberapa

etiologi/ faktor predisposisi yang dianggap berhubungan dengan terjadinya SAR.

Beberapa etiologi/ faktor tersebut meliputi defisiensi nutrisi, trauma, genetik, stress,

hormonal, dan alergi.4

Defisiensi Nutrisi, contohnya kekurangan vitamin C mengakibatkan jaringan

di mukosa mulut dan jaringan penghubung antara gusi dan gigi mudah robek yang

akhirnya dapat menimbulkan SAR.

5
Trauma, trauma yang sering dialami yaitu trauma karena terbentur sikat gigi

saat menyikat gigi dan tidak sengaja tergigit bagian tertentu dari mukosa mulut.

Beberapa orang mengira bahwa lesi terjadi akibat trauma, sebab gejala awalnya

didahului oleh sikat gigi yang menyodok mukosa mulut. Letak lesinya tergantung

pada daerah yang terlibat dalam trauma tersebut. Cedera yang disebabkan mekanis

dari mukosa mulut dapat menyebabkan ulserasi pada orang rentan terhadap

stomatitis aftosa rekuren.8

Genetik, faktor ini dianggap mempunyai peranan yang sangat besar pada pasien

yang menderita SAR. Faktor ini diduga berhubungan dengan peningkatan jumlah

Human Leucocyte Antigen (HLA), namun beberapa ahli masih menolak hal

tersebut. HLA menyerang sel-sel melalui mekanisme sitotoksik dengan jalan

mengaktifkan sel mononukleus ke epitelium.Prevalensi paling tinggi dari SAR

dapat terindikasi dari latar belakang kondisi genetik. Keturunan dari beberapa gen

tertentu, terutama sitokin proinflamasi yang berperan dalam pembentukan ulser

SAR, dapat mempengaruhi anggota keluarga untuk terkena SAR. Pasien dengan

riwayat keluarga SAR akan menderita SAR sejak usia muda dan lebih berat

dibandingkan dengan pasien tanpa riwayat keluarga SAR.8

Stres, kondisi ini akan membuat kadar kortisol pada manusia meningkat

sehingga dapat menimbulkan SAR.2

Hormonal, para penderita SAR yang disebabkan oleh kadar hormon

progesteron yang rendah maka efek self limiting process berkurang,

polimorphonuclear leucocytes menurun, permeabilitas vaskuler menurun sehingga

SAR akan terbentuk dengan mudah yang muncul berdasarkan periodik sesuai siklus

menstruasi.3

6
Alergi, alergi terhadap beberapa makanan seperti kacang, cokelat, kentang

goreng, keju, susu, terigu, gandum, kopi, sereal, almon, stroberi dan beberapa

makanan dari tomat dihubungkan dengan munculnya SAR pada beberapa orang.

Beberapa literatur mengemukakan bahwa ikan asin juga dapat memicu timbulnya

SAR. Ketika memakan ikan asin, akan timbul rasa gatal pada rongga mulut, lalu

membuat mukosa mulut terluka. Luka tersebut akan berkembang menjadi SAR

pada rongga mulut.

PENCEGAHAN STOMATITIS AFTOSA REKUREN

Ada tindakan pencegahan dasar yang dapat dilakukan orang untuk mencoba dan

menghentikan stomatitis kembali, seperti:

1. Menggunakan obat kumur untuk mengurangi tingkat rekurensi dari SAR.1

2. Menjaga kebersihan rongga mulut, menggunakan pasta gigi tanpa sodium

lauryl sulfate yang bersifat iritatif.6 Menjaga kebersihan rongga mulut

betujuan agar mencegah berkembang biaknya bakteri-bakteri patogen

rongga mulut yang dapat memicu ulser dan penyakit mulut lainnya.1

3. Menggunakan sikat gigi yang lembut, hal ini berupaya agar sikat tidak

melukai rongga mulut yang mana akan menyebabkan SAR.

4. Mengonsumsi buah dan sayur sebab faktor lain penyebab timbulnya SAR

adalah defisiensi nutrisi.1

PENGOBATAN STOMATITIS AFTOSA REKUREN

Untuk pengobatan SAR dapat dilakukan dengan pengobatan secara topikal:

a. Obat kumur seperti Clorhexidin dapat mempercepat penyembuhan luka sariawan

tetapi apabila diberikan dalam jangka panjang dapat mengakibatkan gigi menjadi

kecoklatan.

7
b. Salep yang mengandung Topical steroid dapat mengurangi gejala dari sariawan.

c. Analgesik / obat nyeri seperti obat kumur Benzydamine hydrochloride atau gel

Lignocaine yang dapat mengurangi rasa nyeri secara sementara tetapi tidak dapat

membantu penyembuhan ulser.

d. Obat lain yaitu Sodium Cromoglycate lozenges dapat mengurangi gejala yang

ringan, obat Immunomodulatory topikal dan lain - lain.

e. Terapi Fisik yaitu dengan operasi membuang lapisan yang terkena atau

penggunaan laser ablasi tetapi tindakan tersebut tidak praktis dan keuntungan

tindakan ini masih belum jelas.

f. Pengobatan Sistemik / Seluruh tubuh yaitu dengan memberikan obat

Immunosupresi / penurun sistem imun tetapi masih sedikit data peneltian yang

membuktikannya. Contoh obatnya adalah Prednisone dan/atau Azathiprine,

dapson, colchisine dan lain – lain. 9

g. Memakan tanaman jambu biji, karena tanaman ini telah lama ditemukan mampu

menyembuhkan stomatitis aftosa rekuren. Bagian yang digunakan adalah bagian

daunnya. Daun jambu biji mengandung senyawa aktif seperti Tannin, Triterpenoid,

Flavonoid, Sponin yang memiliki efek antimikroba.10

PEMBAHASAN

Stomatitis aftosa rekuren adalah sebuah penyakit yang ditandai oleh ulser

rekuren yang nyeri pada mukosa mulut. Stomatitis aftosa rekuren terbagi menjadi

3 kelas yaitu SAR Minor, SAR Mayor, SAR Herpetiformis. Etiologi SAR sampai

saat ini belum diketahui secara pasti, namun terdapat penelitian dari Sri Hernawati

yang menyatakan bahwa stres merupakan salah satu etiologi/faktor yang terjadi

karena tingginya kortisol pada saliva. Kortisol merupakan hormon steroid yang

8
diproduksi oleh kolestrol di dalam dua kelenjar adrenal yang terdapat pada ginjal.

Hormon kortisol dikenal sebagai hormon stres. Hormon ini diproduksi banyak

ketika manusia mengalami stres. Kortisol pada saliva memiliki hubungan timbal

balik dengan periodontitis (infeksi gingiva yang merusak jaringan lunak) serta

membuat kerusakan tulang aveolar (yakni bagian dari maksila (rahang atas) dan

mandibular (rahang bawah). Hal ini akan menyebabkan timbulnya ansiestas.

Ansietas merupakan kondisi kejiwaan berupa kegelisahan, ketakutan, dll. Ansietas

akan memberikan kontribusi terhadap rekurensi (kambuhnya) penyakit.

Stres adalah salah satu jalur terbentuknya penyakit. Karena stres akan meregulasi

(mengatur) fungsi neuroendokrin dalam sistem psikoneuroimunologi.

Neuroendokrin adalah suatu kelenjar yang secara teratur dibangun struktural oleh

sel-sel saraf yang merupakan bagian dari sistem saraf untuk menyimpan dan

mengalirkan hormon ke aliran darah menuju ke organ dan mengakibatkan

perubahan pada organ yang pada akhirnya akan menyebabkan perubahan terhadap

metabolism tubuh.

Stres yang dialami oleh setiap individu berbeda-beda sesuai dengan tipe

kepribadiannya. Individu yang memiliki penanggulangan yang tidak baik akan stres

akan menyebabkan hipotalamus mengeluarkan corticotropic releasing hormone

(CRH) untuk menstimulasi kelenjar pituitari. Agar kelenjar tersebut menyekresikan

adrena corticotropic hormone (ACTH). Lalu, hormon tersebut akan menstimulasi

korteks adrenal sehingga akan menghasilkan kortisol. Di sini, kortisol akan

meyebabkan penurunan fungsi imun berupa SIgA, IgA, dan Neurotrofil.

SIgA memiliki fungsi untuk mengikat virus maupun bakteri untuk mencegah

mikroorganisme melekat pada permukaan mukosa. SIgA akan membantu agar

9
mikroorganisme mudah difagositosis. Akibat dari penurunan SIgA karena stres,

mikroorganisme akan mudah meyebar ke mukosa. Karena penyebaran ini,

mikroorganisme sulit untuk difagositkan, sehingga terjadilah infeksi dengan

mudah.

IgG merupakan immunoglobulin utama yang dibentuk karena rangsangan

antigen. IgG berfungsi untuk melapisi mikroorganisme, agar mikroorganisme dapat

difagositosis dengan mudah dan IgG juga dapat mentralisasi toksin dari virus.

Namun, akibat dari stres IgG menurun, sehingga toksin dari virus tidak bisa

dinetralisir dan terjadilah kondisi patologis.

Neutrofil berfungsi untuk memberikan respons imun non spesifik agar dapat

melakukan fagositosis, pembunuhan mikroorganisme. Neutrofil memiliki granula

yang memiliki enzim perusak, namun akibat dari stres, tingkat neutrophil menurun.

Penurunan tersebut berakibat juga dalam penurunan pemusnahan mikroorganisme.

Jadi karena adanya stres, akan terjadi peningkatan kortisol yang berdampak pada

penurunkan SIgA, IgG, dan neutrofil. Hal ini dapat menyebabkan kesulitan dalam

memfagositosiskan mikroorganisme penyebab terjadinya infeksi pada mukosa

yang berakhir dengan timbulnya penyakit stomatitis aftosa rekuren. Namun,

penelitian lain menyatakan bahwa etiologi/ faktor predisposisi SAR tidak hanya

faktor stres, namun juga berupa defisiensi nutrisi (seperti kekurangan vitamin),

trauma, genetik (keturunan), hormonal, dan alergi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Junhar MG, Suling PL, Supit ASR. Gambaran stomatitis aftosa rekuren

dan stres pada narapidana di lembaga pemasyarakatan kelas II B Bitung. J

e-Gigi 2015; 3(1): 100-7.

1
0
2. Hernawati S, Mekanisme selular dan molekular stres terhadap terjadinya

rekuren aptosa stomatitis. J PDGI 2013; 62(1): 37-40.

3. Thantawi A, Khairiati, Nova MM, Marlisa S, Bakar A. Stomatitis aftosa

rekuren (SAR) minor multiple pre menstruasi (laporan kasus). Odonto

Dent J 2014; 1(2):57-62.

4. Sulistiani A, Hernawati S, Marshantini AP. Prevalensi dan distribusi

penderita stomatitis aftosa rekuren (SAR) di klinik penyakit mulut RSGM

FKG Universitas Jember pada tahun 2014. E-J Pustaka Kesehatan 2017;

5(1): 169-176.

5. Langlais RP, Miller CS, Nield-Gehrig JS. Atlas berwarana lesi mulut yang

sering ditemukan . Ed.4. Ahli Bahasa, Suta T. Jakarta: EGC,2013: 63-70.

6. Setyawati T, Wulandari EAT. Tata laksana SAR minor untuk mengurangi

rekurensi dan keparahan. Indonesian J Dentistry 2008; 15(2): 147-154.

7. Mirowski G. Aphthous stomatitis.

https://emedicine.medscape.com/article/1075570-overview#showall (28

Oktober 2018).

8. Permadi A, Widyastutik O. Faktor yang berhubungan dengan stomatitis

aftosa rekuren (SAR) pada mahasiswa di Pontianak. J Kesehatan

Masyarakat Khatulistiwa 2017; 4(3): 218-25.

9. Andrianto Y. Sariawan. www.kerjanyata.net/faq/10675-sariawan.html (28

Oktober 2018).

10. Minasari, Sinurat J. Efektivitas ekstrak daun jambu biji buah putih

terhadap pertumbuhan Staphylococcus aureus. Dalam: Nurlitasari DF,

1
1
Budinana IDG, Ma’aruf MT, dkk. Bali Dental Science and Exhibition,

Bali, 2016: 202-7.

1
2

Anda mungkin juga menyukai