PENDAHULUAN
1
Penyelidikan ini bertujuan untuk menjelaskan kembali (rekonstruksi) suatu
kejadian yang melanggar hukum serta pola pikir yang mengikutinya untuk menjelaskan
siapa pelakunya. Berbagai upaya dari kegiatan penyelidikan dilakukan secara retrograde
dari apa yang diketahui untuk mengungkapkan apa yang tidak diketahui, sehingga dari
faktor yang diketahui dapat ditegakkan suatu kebenaran 1.
Pada kasus kematian yang wajar, pemeriksaan TKP tidak perlu dilakukan.
Namun, dibutuhkan suatu kepekaan untuk mendeteksi suatu tindak kriminal. Karena
harus diingat juga bahwa kematian yang nampaknya wajar bisa saja merupakan hasil dari
suatu kriminalitas. Maka, suatu kematian harus dianggap sebagai sesuatu yang tidak
wajar sampai bukti-bukti yang ada menyatakan sebaliknya. 1
Kira-kira 20 persen dari seluruh kematian membutuhkan penyelidikan dari
medikolegal untuk menentukan sebab dan cara kematiannya, dan kira-kira separuhnya
disebabkan oleh tindak kekerasan. Dalam menentukan wajar atau tidaknya suatu
kematian, peran dari seorang dokter sangat diperlukan 3.
Dalam meminta pertolongan dokter dalam penyelidikan TKP, penyidik dikuatkan
oleh beberapa dasar hukum, karena itu, merupakan kewajiban dokter untuk hadir di TKP
apabila diminta. Karena itu, referat ini membahas tentang peran dokter atau ilmu
kedokteran dalam penyelidikan suatu Tempat Kejadian Perkara, dimana hanya akan
dibahas TKP yang berhubungan dengan manusia sebagai korban.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Tindakan pertama yang dilakukan di TKP biasanya dikerjakan oleh polisi yang
datang pertama kali di TKP setelah mendengar, menjumpai, menerima laporan,
pengaduan dari masyarakat tentang adanya tindak pidana. Kegiatan yang dilakukan oleh
petugas ini bertujuan untuk:
1. Memberikan perlindungan dan pertolongan pertama terhadap masyarakat maupun
korban.
2. Menutup dan mengamankan TKP (mempertahankan status quo) terhadap barang
bukti manusia maupun benda.
Dalam rangka mengamankan TKP, batas pengaman ditentukan dengan perkiraan: 4
1. membuat batas TKP seluas mungkin, baru kemudian dipersempit kalau perlu.
2. mengevaluasi TKP atas dasar lokasi dimana tubuh korban ditemukan, adanya
barang-barang bukti lain, keterangan saksi, dan batas-batas yang sudah ada.
Upaya pengamanan perlu dilakukan sedini mungkin untuk mencegah dan melindungi
barang-barang bukti agar tidak hilang, berubah karena pengaruh cuaca dan kontaminasi
manusia. Umumnya, tanpa adanya pengamanan, maslah kontaminasi ini baik berdiri
sendiri atau bersama-sama dapat mengakibatkn TKP berantakan dan tidak mungkin
dibenahi kembali. 4
Cuaca merupakan salah satu faktor yang perlu mendapat perhatian karena adanya
barang bukti yang mudah berubah atau hilang, misalnya cairan tubuh, residu, merupakan
barang-barang bukti yang akan hilang oleh karena hujan. Selain itu para penonton, atau
bahkan anggota polisi sendiri merupakan kontaminator yang perlu diwaspadai.
Tindakan pertama di TKP ini penting karena kaberhasilan suatu penyidikan
sangat tergantung dengan tindakan pertama di TKP yang dilakukan oleh petugas polisi
pertama 1.
4
ada barang bukti yang rusak. Pihak lain yang biasanya dilibatkan dalam penyelidikan
adalah tim penyelidik yang bertugas mendokumentasikan TKP dan mengumpulkan bukti-
bukti fisik. Dalam kasus-kasus tertentu, dapat pula melibatkan specialist (entomologis,
ahli forensic), detektif, dan seorang medical examiner 4.
Pengolahan TKP ini terdiri dari pengamatan umum (general observation),
membuat sketsa dan pemotretan, penanganan korban, saksi dan tersangka, serta
pengumpulan barang bukti.
Pengamatan Umum
Pengamatan umum ini penting, karena pada tahap ini penyidik mendapat
1
kesempatan untuk berpikir dan tidak emosional . Pemeriksaan dilakukan untuk
meyakinkan bahwa teori dari kasus yang sedang dihadapi sesuai dengan pengamatan
penyidik. Pemeriksaan TKP dilakukan untuk mengidentifikasi barang bukti yang
menungkinkan, awal dan akhir dari kasus, dan mendapatkan gambaran umum dari TKP 4.
5
dihadirkan di sidang. Fungsi lain dari foto adalah sebagai penyegar daya ingat sipa saja
yang berkepentingan terhadap tindak pidana yang telah terjadi. Agar foto dapat
dipergunakan di pengadilan, diperlukan teknis pemotretan oleh petugas khusus yang
terlatih. Fotografi TKP secara umum dibagi menjadi dua, gambaran umum dan gambar
masing-masing barang bukti 1,4.
Penanganan Korban
Dalam menangani seorang korban perlu dibedakan apakah korban hidup,
diragukan hidup, atau mati. Pada setiap korban hidup atau diragukan kehidupannya,
prinsip tindakan pertolongan pertama harus diprioritaskan. Sementara tindakan
pertolongan pertama diberikan penyidik meminta bantuan petugas kesehatan atau segera
melarikannya ke Rumah Sakit 1. Sewaktu evakuasi korban, perlu diperhatikan agar tidak
terdapat barang bukti yang tercecer, dan catat hal-hal yang diungkapkan korban.
Setibanya dirumah sakit berikan penjelasan secukupnya pada petugas rumah sakit. Dokter
sebaiknya melakukan koordinasi dengan dokter rumah sakit tentang hal-hal yang dapat
membantu pengumpulan barang bukti, terutama pada luka-tembak dimana anak peluru
merupakan suatu bukti, yang amat penting. Kalau ditemukan anak peluru, perlu dijaga
agar tidak sampai tergores, rusak atau hilang 5.
Sebaliknya, bila tanda-tanda kematian jelas, penyidik tidak akan tergesa-gesa dan
dapat mengadakan pemeriksaan dengan lebih tenang. Bila dianggap perlu untuk
memeriksa korban, penyidik dapat meminta bantuan dokter untuk datang di TKP dengan
tujuan untuk memperkirakan berapa lama korban meninggal, sebab, cara, dan pola
kematiannya ataupun hal-hal lain yang dianggap perlu guna kepentingan penyidikan 4.
6
tersangka dan lain pemeriksaan yang dianggap perlu. Dari hasil pemeriksaan yang telah
dilakukan terharap tersangka, dokter dapat menyarankan apakah ia bisa ditahan atau perlu
perawatan 1.
Dengan demikian pada pemeriksaan luka yang ditemukan pada mayat, hal- hal yang perlu
dicatat adalah :
a. Jenis luka
b. Lokasi luka (contoh : di pipi kanan, 2 cm dibawah mata kanan, 1 cm diatas
bibir atas dsb)
c. Ukuran luka. Sebutkan panjang dan lebar serta dalamnya (cm)
d. Dasar luka ( misalnya : tulang, otot, dsb).
e. Penjelasan lain yang perlu 5.
Pada setiap kejahatan hampir selalu ada barang bukti yang tertinggal. Barang
bukti tersebut jika diteliti dengan memanfaatkan berbagai macam disiplin ilmu
7
kedokteran forensik (forensic science) maka tidak mustahil kejahatan itu dapat terungkap.
Dalam pengumpulan barang bukti dari TKP, penyidik mempunyai beberapa tujuan utama
yaitu untuk kepentingan rekonstruksi tindak kejahatan, mengidentifikasi pelaku, menjaga
barang bukti untuk analisa lebih lanjut serta sebagai alat bukti di pengadilan. Oleh karena
itu pada kasus-kasus tindak pidana yang dilakukan terhadap manusia perlu dicari
sebanyak mungkin barang bukti medik, baik yang berasal dari korban maupun dari
pelaku. Barang bukti medik yang berasal dari tubuh korban akan lebih banyak
memberikan informasi seputar proses terjadinya kejahatan, sedangkan yang berasal dari
tubuh pelaku akan menunjukkan informasi identitasnya 4,6.
Salah satu tugas dokter di tempat kejadian perkara (TKP) adalah mengumpulkan
benda-benda bukti yang berkaitan dengan korban, terutama sampel biologis untuk dikirim
ke laboratorium. Sampel biologis yang dimaksud meliputi darah, air mani, rambut,
jaringan tubuh, air liur dll. Sedangkan barang bukti medis adalah racun, obat-obatan, dll.
Selalu gunakan prosedur pencegahan bahaya atau infeksi dalam pengumpulan sampel
biologis. Pastikan untuk memakai sarung tangan, pakaian pelindung, masker dan atau
kacamata pelindung jika situasi mengharuskan 7,8.
Pengambilan benda-benda bukti tersebut juga tetap harus mematuhi prosedur
pengambilan barang bukti secara umum. Perlu diingat moto “to touch as little as possible
and to displace nothing”, yaitu tidak boleh menambah atau mengurangi benda-benda
yang ada di TKP. Dokter tidak boleh membuang barang sembarangan di TKP,
meninggalkan perlengkapannya, atau membuang air kecil di kamar mandi, karena semua
itu dikhawatirkan akan menghilangkan barang-barang bukti yang lain. Beberapa tindakan
lain yang dapat mempersulit penyidikan seperti memegang setiap benda di TKP tanpa
sarung tangan, mengganggu bercak darah, membuat jejak baru serta melakukan
pemeriksaan sambil merokok 2,7.
Peralatan yang sebaiknya dibawa saat pemeriksaan di TKP adalah sarung tangan,
kamera, film berwarna dan hitam putih (untuk ruangan gelap), lampu kilat, lampu senter,
lampu ultraviolet, alat tulis, tempat menyimpan barang bukti berupa amplop atau kantung
plastik, pinset, skalpel, jarum, tang, kaca pembesar, termometer rektal, termometer
ruangan, sarung tangan, kapas, kertas saring serta alat tulis (spidol) untuk memberikan
label pada barang bukti. Label pada barang bukti harus dituliskan tentang jenis barang
8
bukti, lokasi penemuan, saat penemuan, dan keterangan lain yang diperlukan 2.
Keterangan itu dapat berupa penjelasan lengkap mengenai barang bukti, jika ada nomor
serinya maka harus ditulis juga, tidak lupa inisial penyidik yang mengumpulkan barang
bukti serta nomor identitasnya 8.
Sebelum dokter melakukan pemeriksaan maka TKP harus diamankan atau dijaga
keasliannya oleh petugas (dengan memasang garis polisi) serta diabadikan dengan
membuat foto dan sketsa keadaan di TKP. Sebelum melakukan prosedur “trace
evidence” atau pencarian barang bukti, dokter harus membuat foto dan sketsa TKP serta
barang bukti yang disimpan dengan baik untuk keperluan ketika diajukan sebagai saksi di
pengadilan. Foto dan sketsa itu akan mempermudah dokter untuk mengingat kembali
kasus yang pernah diperiksanya. Pembuatan foto dan sketsa juga harus memenuhi standar
sehingga tidak akan terjadi penafsiran yang berbeda antara dokter dan penyidik pada
sebuah obyek yang sama 7.
Setelah seluruh TKP terdokumentasikan, lokasi penemuan dari masing-masing
barang bukti sudah dicatat atau ditandai, maka proses pengumpulan barang bukti bisa
dimulai. Proses pengumpulan biasanya akan dimulai dari barang bukti yang paling rapuh
atau paling mudah hilang. Pertimbangan khusus dapat diberikan pada barang bukti yang
perlu untuk segera dipindahkan. Pengumpulan barang bukti bisa berlangsung bersamaan
dengan prosedur penyidikan yang lain. Pengambilan gambar juga bisa terus dilakukan
jika penyidik menemukan barang-barang bukti baru yang belum terdokumentasikan
sebelumnya karena tersembunyi dari penglihatan 8.
Sebagian besar barang bukti disimpan dalam wadah kertas seperti paket, amplop
dan kantung. Benda cair dapat dikirim dalam wadah yang tidak mudah pecah dan tidak
mudah bocor, seperti tabung reaksi kering. Barang bukti bekas terbakar (arson) disimpan
dalam kaleng logam bersih dan kedap udara. Hanya barang bukti berupa serbuk dalam
jumlah banyak yang disimpan dalam kantung plastik. Barang bukti yang lembab dan
basah (darah, tanaman, dll) dapat disimpan dalam wadah plastik saat di tempat kejadian
untuk dikirim ke tempat pemeriksaan hanya jika waktu pengiriman kurang dari dua jam.
Hal ini untuk mencegah kontaminasi dari barang bukti yang lain. Setelah tiba di lokasi
yang aman, barang bukti tersebut harus dibuka dari wadahnya dan dikeringkan di udara.
Barang bukti dapat disimpan kembali dalam wadah kertas yang kering. Barang bukti
9
yang lembab tidak boleh disimpan dalam wadah plastik atau kertas lebih dari dua jam.
Keadaan lembab memungkinkan pertumbuhan mikroorganisme yang bisa
menghancurkan atau mengubah barang bukti 8.
Barang bukti yang berupa bercak kering di atas dasar keras harus dikerok dan
dimasukkan ke dalam amplop atau kantung plastik. Bercak pada kain harus diambil
seluruhnya atau apabila bendanya besar digunting dan dimasukkan ke dalam amplop atau
kantung plastik. Benda-benda keras diambil seluruhnya dan dimasukkan ke dalam
kantung plastik. Mayat yang ditemukan dibungkus dengan plastik atau kantong plastik
khusus mayat (kantong mayat) setelah sebelumnya diabadikan letak dan posisinya serta
pemeriksaan sidik jari oleh penyidik. Kedua tangan mayat juga harus dibungkus plastik
sebatas pergelangan tangan. Setiap barang yang bisa saling mengontaminasi harus
disimpan secara terpisah. Wadah harus ditutup dan diamankan untuk mencegah
percampuran dalam proses pengiriman 2.
Mayat dan barang bukti biologis atau medis, termasuk obat atau racun dikirim ke
Instalasi Kedokteran Forensik atau ke Rumah Sakit Umum setempat untuk pemeriksaan
lanjutan. Apabila tidak tersedia sarana pemeriksaan laboratorium forensik, maka
dikirimkan ke Laboratorium Kepolisian atau ke Bagian Kedokteran Forensik. Barang
bukti bukan biologis dapat langsung dikirimkan ke Laboratorium Kriminal atau Forensik
Kepolisian daerah setempat 2.
Setiap jenis barang bukti mempunyai nilai yang khusus dalam penyidikan. Nilai
ini harus selalu disimpan dalam ingatan penyidik ketika melakukan penyidikan di TKP.
Sebagi contoh, ketika melakukan penyidikan di TKP penyidik harus lebih
memprioritaskan untuk mencari sidik jari yang bagus daripada mengumpulkan serat baju
yang tertinggal. Karena sidik jari dapat mengidentifikasi secara tepat orang yang pernah
berada di TKP, sedangkan serat baju bisa berasal dari siapa saja yang mengenakan baju
yang berbahan sama. Dalam kondisi khusus mungkin saja mengumpulkan serat baju
menjadi lebih penting karena ada dalam jumlah banyak pada tubuh korban serta tidak
ditemukan sidik jari di TKP. Lebih baik mengumpulkan lebih banyak barang bukti
daripada kurang. Penyidik seringkali hanya mempunyai sekali kesempatan melakukan
penyidikan di TKP, maka harus dimanfaatkan sebaik-baiknya 8.
10
2.4 DASAR HUKUM MENDATANGKAN DOKTER PADA PENYIDIKAN DI
TKP
Diperlukan atau tidaknya kehadiran seorang dokter di TKP oleh penyidik sangat
bergantung pada kasusnya, yang pertimbangannya dapat dilihat dari sudut korbannya,
tempat kejadiannya, kejadiannya, atau tersangka pelakunya. Peranan dokter di TKP
adalah membantu penyidik dalam mengungkap kasus dari sudut kedokteran forensik.
Pada dasarnya, semua dokter dapat bertindak sebagai pemeriksa di TKP, namun dengan
perkembangan spesialisasi dalam ilmu kedokteran, adalah lebih baik jika dokter ahli
forensik atau dokter kepolisian yang hadir 1.
Proses penyidikan membutuhkan kerjasama yang baik dan profesional antara
penyidik dan dokter. Selain itu, kunci keberhasilan penyidikan juga terletak pada
pemeriksaan di TKP. Penanganan yang baik, tepat, cermat, dan dilaksanakan secara
profesional merupakan pertanda akan tercapainya keberhasilan penyidikan untuk
membuat jelas perkara yang dihadapi. Oleh karena itu, dokter dan penyidik perlu
mengetahui bagaimana cara penanganan yang semestinya, bila diharuskan melakukan
pemeriksaan di TKP. 5
Pihak penyidik yang mendapatkan laporan telah terjadi suatu tindak pidana, dapat
meminta bantuan dari dokter untuk melakukan pemeriksaan di tempat kejadian perkara
sesuai dengan Pasal 120 KUHAP, yang bunyinya sebagai berikut:
(1) Dalam hal penyidik mengangap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau
orang yang memiliki keahlian khusus.
(2) Ahli tersebut mengangkat sumpah atau mengucapkan janji dimuka penyidik maka
bahwa ia akan memberi keterngan menurut pengetahuannya yang sebaik-baiknya
kecuali bila disebabkan harkat dan martabat, pekerjaan atau jabatan yang
mewajibkan ia menyimpan rahasia dapat menolak untuk memberikan keterangan
yang diminta.
Selain itu, terdapat juga Pasal 133 ayat (1) KUHAP yang berbunyi:
“Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik
luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak
pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran
kehakiman atau dokter atau ahli lainnya.”
11
Bila dokter menolak untuk datang ke tempat kejadian perkara, sanksi yang dikenakan
padanya adalah dipidana sesuai dengan Pasal 224 KUHP, yang berbunyi:
“Barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-undang
dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus
dipenuhinya, diancam:
1. Dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama 9 bulan.
2. Dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama 6 bulan.”
Dokter harus selalu memperhatikan beberapa hal, mengingat akan kepentinganya yaitu:
1. siapa yang meminta dokter datang ke TKP, bagaimana permintaan tersebut
sampai ke tangan dokter, dimna TKP, serta saat permintaan tersebut diajukan,
2. minta informasi secara global tentang kasusnya, dengan demikian dokter dapat
membuat persiapan seperlunya,
3. dokter tidak boleh menambah atau mengurangi benda-benda yang ada di TKP,
seperti: membuang puntung rokok, membuang air kecil di kamar mandi TKP, dan
lain-lain,
4. dokter sebaiknya membuat foto atau sketsa dengan baik karena kemungkinan ia
akan diajukan sebagai saksi selalu ada. Foto atau sketsa tersebut harus memenuhi
stendar sehingga antara dokter dan penyidik tidak akan terjadi penafsiran yang
berbeda atas objek yang sama,
5. dokter harus menilai dengan seksama gambaran umum tentang situasi di TKP,
6. pemeriksaan atas tubuh korban hendaknya dilakukan secara sistematik dan terarah
sesuai ilmu kedokteran forensik 6.
Bila ada permintaan penyidik ke TKP, maka seorang dokter akan menghadapi 2 aspek,
yaitu aspek pertolongan pertama korban dan aspek kedokteran forensik
Dengan demikian peralatan yang perlu dibawa adalah : 4
a. Perangkat pertolongan pertama korban
1. Tensi
2. Stetoskop
3. Alat kesehatan termasuk obat – obatan untuk kedaruratan medis.
12
b. Perangkat TKP aspek kedokteran forensik
1. Pinset anatomi
2. Skalpel
3. Loupe
4. Sarung tangan karet bedah
5. Sarung tangan lapangan
6. Thermometer
7. Kertas saring
8. Pipet
9. Senter
10. Meteran
11. Penggaris
12. Botol plastik (untuk spesimen)
13. Kertas lakmus
14. Amplop
15. Lak
16. Tali rami
17. Buku catatan
18. Alat tulis
19. NaCl 0,9%
20. Formalin
21. Kamera
22. Kompas.
Tanda-tanda yang menunjukkan bahwa seseorang itu telah meninggal dunia adalah
sebagai berikut :
a. Terhentinya denyut jantung.
Hal tersebut dapat diperiksa dengan menggunakan stetoskop atau dengan
menempelkan telinga ke dada sebelah kiri dari korban.
b. Terhentinya pergerakan pernapasan.
13
Hal tersebut dapat diperiksa dengan mengamati pergerakan dada korban, atau
dengan menempatkan cermin bersih dihadapan hidung dan mulut korban. Kalau
korban masih hidup terlihat adanya pergerakan dada atau cermin menjadi keruh.
c. Kulit tampak pucat.
d. Melemasnya otot-otot tubuh.
14
4. Setelah 24 jam kaku mayat mulai menghilang sesuai dengan urutan terjadinya,
yaitu dimulai dari otot-otot wajah,leher, lengan, dada, perut dan tungkai.
5. Pada kematian karena infeksi, konvulsi (kejang-kejang), suhu keliling yang tinggi
serta keadaan gizinya jelek, akan mempercepat terbentuknya kaku mayat.
d. Pembusukan. 6
1. Tanda awal dari pembusukan akan tampak sebagai pewarnaan kehijauan pada
daerah perut kanan bawah. Pembusukan akan menyebar keseluruh perut dan
kemudian kedaerah dada.
2. Pada akhir minggu pertama tubuh akan seluruhnya berwarna kehijauan dan disana
sini akan tampak merah ungu.
3. Pembentukan gas dalam tubuh akan dimulai pada awal minggu kedua.
Tanda-tandanya adalah perut akan tampak,menggelembung dan dindingnya
tegang. Gelembung pembusukan akan tampak jelas biasanya pada daerah kantung
zakar dan buah dada.
4. Setelah tiga atau empat minggu rambut akan mudah dicabut, kuku-kuku akan
terlepas, wajah akan tampak menggembung mata akan tertutup erat oleh karena
penggembungan pada kedua kelopak mata, bibir akan menggembung dan
mencucur, lidah akan menggembung dan terjulur keluar.
5. Menurut Casper keadaan mayat setelah berada selama 1 minggu di udara terbuka
adalah sama dengan 2 minggu didalam air dan 8 minggu didalam kuburan.
6. Mumifikasi dapat terjadi bila keadaan lingkungan menyebabkan pengeringan
dengan cepat sehingga dapat menghentikan proses pembusukan.
15
a. Mencatat nama, Jenis kelamin, umur, alamat, pekerjaan, kalau
diketahui (dari kartu identitas, penyidik atau saksi-saksi).
b. Posisi korban saat ditemukan.
c. Pakaian yang melekat, termasuk perhiasan.
d. Tinggi badan, berat badan (atau taksiran kasar), habitue (atletis,
pyknis, kurus, gemuk, sedang), suku bangsa, warna kulit, warna rambut, gigi
geligi (gigi lengkap, gigi yang sudah dicabut, ada gigi palsu, gigi emas, dsb.),
ukuran sepatu.
e. Barang-barang atau cairan tubuh, obat-obatan atau peralatan
yang ada di sekitar korban 5.
16
Gambar 1. Alat dan perlengkapan pengambilan sampel darah9.
d. Mikroskopik
Terutama digunakan untuk memeriksa bercak darah yang masih baru atau
segar sehingga bisa dibedakan dengan melihat bentuk dan inti sel darah
yang ditemukan.
Langkah selanjutnya adalah menentukan golongan darah dari bercak yang kita
temukan. Ini penting untuk melihat kesesuaian apakah bercak yang ditemukan berasal
dari korban atau dari orang lain. Penentuan golongan darah bisa menggunakan
berbagai macam metode penggolongan darah, yang terkenal adalah sistem ABO.
Penentuan golongan darah bisa dilakukan pada sampel darah segar maupun yang
telah mengering, bahkan yang masih menempel pada pakaian korban. Selain dari
cairan darah bisa ditentukan juga golongan darah seseorang dari cairan tubuhnya
seperti air liur dan sperma, pemeriksaan ini khusus untuk orang-orang bertipe
sekretor 6.
3. Darah Jenazah
Tujuan pemeriksaan ini adalah :
a. Menentukan golongan darah korban untuk dicocokkan dengan bercak darah
yang ditemukan di TKP.
b. Menentukan sebab kematian jika dicurigai ada unsur keracunan dalam proses
kematiannya 6.
Mintalah ahli patologi untuk mengambil sampel darah langsung dari jantung
saat otopsi kemudian dimasukkan ke dalam tabung berisi asam sitrat dan larutan
dekstrosa (untuk pemeriksaan DNA). Dalam kasus tertentu jika tidak didapatkan
darah yang cair, mintalah ahli patologi untuk mengambil potongan hati, tulang dan
atau jaringan otot yang dalam untuk diperiksa. Jika korban masih hidup dan akan
dilakukan prosedur transfusi, maka pastikan untuk mengambil sampel darah sebelum
transfusi (biasanya sudah menjadi prosedur tetap di rumah sakit) 5.
Teknik pengambilan sampel darah pada penentuan golongan darah tidak
spesifik dari tempat-tempat tertentu. Tetapi untuk pengambilan sampel untuk
pemeriksaan alkohol perlu diambil dari pembuluh darah balik tepi (vena perifer)
terutama vena femoralis. Bila ada kecurigaan keracunan zat-zat lain perlu diambil
darah dari jantung dan vena perifer, ini bermanfaat untuk mengukur kadar
keracunannya. Metode penyimpanan sampel darah sebaiknya disimpan dalam suhu
4oC di dalam refrigerator dengan penambahan sedikit Sodium Florida untuk
mencegah proses enzimatik pembusukan 6.
B. SPERMA
1. Pemeriksaan Spermatozoa (Sel Sperma)
Spesimen basah diambil langsung dari liang senggama dengan oese platina
atau pipet. Jika tidak bisa diambil menggunakan cara ini, maka perlu penyemprotan
cairan fisiologis ke fornix posterior untuk dipusingkan (di-sentrifuge), diendapkan
kemudian diperiksa di bawah mikroskop. Sperma bisa dilihat langsung di bawah
mikroskop atau dicat dulu dengan Methylen Blue maupun Hematoxylin Eosin.
Spesimen kering perlu dilakukan skrining dulu dengan pemeriksaan di bawah
sinar ultraviolet. Bercak sperma akan mengalami fluoresensi jika terkena sinar
ultraviolet. Bercak yang ditemukan dikerok lalu ditetesi dengan larutan fisiologis
(HCl 1%) atau asam asetat glasial 0,3%. Selanjutnya dapat diperiksa di bawah
mikroskop secara langsung ataupun dicat terlebih dahulu. Dalam pengemasan barang
bukti sperma jangan menggunakan kantung plastik, gunakan kantung kertas dan
tunggu sampai kering di udara dahulu, baru dikirim ke laboratorium 6,5.
2. Pemeriksaan Cairan Sperma (Semen)
Pemeriksaan ini digunakan untuk menghindari salah penafsiran terhadap
bercak sperma yang tidak dapat ditemukan spermatozoa (sel sperma) sehingga
dianggap bukan sperma. Untuk mengetahuinya perlu diperiksa unsur-unsur yang ada
di dalam cairan sperma seperti asam fosfatase (acid phospatase), spermine dan kolin
(choline). Metode pemeriksaan untuk spermine adalah dengan Berberio test,
sedangkan untuk choline menggunakan Florens test 6.
Pemeriksaan sperma sangat penting pada tindak pidana perkosaan atau
kejahatan seksual untuk menerangkan kasus tersebut dan mengungkap identitas
pelaku. Pengungkapan identitas pelaku dimungkinkan dengan pemeriksaan golongan
darah dan atau dengan pemeriksaan DNA dari sel-sel yang ditemukan. Untuk setiap
kejahatan seksual, korban harus diperiksa oleh dokter. Tandai semua barang bukti
pakaian dan kemas dalam wadah yang terpisah. Usahakan seminimal mungkin
memegang barang bukti pakaian tersebut 6,8.
C. RAMBUT
Rambut baik rambut kepala maupun kelamin dapat memberikan banyak
informasi bagi kepentingan peradilan. Rambut bisa memberikan informasi mengenai
saat korban meninggal dunia, sebab kematian korban, jenis kejahatan, identitas
korban, identitas pelaku, dan benda/ senjata yang digunakan dalam tindak kejahatan.
Informasi itu dapat diperoleh dengan meneliti sifat-sifat, gambaran mikroskopik serta
perubahan-perubahan yang terjadi akibat trauma atau keracunan. Pemeriksaan rambut
yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui keaslian rambut, membedakan rambut
manusia dan rambut binatang, menentukan identitas pemilik rambut serta informasi-
informasi lain tentang kejahatan 6.
Ambil semua rambut yang ditemukan, gunakan jari atau penjepit kecil untuk
mengambil rambut dan masukkan dalam kemasan kertas atau amplop. Lipat dan
masukkan ke dalam amplop yang lebih besar serta berikan label. Jika rambut
menancap pada suatu obyek, seperti darah kering, pecahan logam maupun kaca,
jangan berusaha untuk memisahkannya. Biarkan tetap menempel dan kemas beserta
bendanya dalam wadah kertas. Jangan memotong rambut, diperlukan sejumlah 50-
100 buah rambut atau 30-60 rambut kemaluan dalam kasus perkosaan. Jika seseorang
dicurigai sebagai tersangka kumpulkan contoh rambut dari seluruh bagian tubuhnya 6.
Untuk memeriksa keaslian rambut bisa dilakukan secara mikroskopik.
Rambut yang utuh biasanya terdiri dari akar, batang dan ujung. Akar rambut terdiri
dari jaringan ikat longgar, sedangkan batang rambut terdiri dari kutikula, kortek dan
medula. Serat bukan rambut seperti serat sintetis misalnya, akan mempunyai
gambaran yang homogen 6.
Menentukan rambut yang ditemukan berasal dari manusia atau bukan juga
bisa dilakukan di bawah mikroskop, dan untuk lebih akurat lagi bisa menggunakan
tes presipitasi. Perbedaan rambut manusia dan binatang dapat dilihat dalam tabel
berikut ini :
Ciri-ciri khusus rambut juga dapat membantu proses identifikasi, lebih baik lagi
jika ada pembandingnya. Warna, bentuk, minyak, cat dan struktur mikroskopis dari
rambut dapat dijadikan bahan pembanding bagi kepentingan identifikasi. Nilai
pemeriksaan laboratorium pada spesimen rambut tergantung jumlah rambut yang
terkumpul dan adanya karakteristik yang ditemukan dalam pemeriksaan 6.
BAB III
KESIMPULAN
Sebelum pembuktian ilmiah diterapkan dalam sistem peradilan, berbagai cara
tahayul dan kekerasan digunakan oleh para penegak hukum alam peradilan utuk
memperoleh pengakuan tersangka sebagai bukti terhadap kejahatan yang
dilakukannya. Dalam berkembangnya ilmu dan teknologi, penjahat juga lebih
profesional dan berupaya menghilangkan jejak. Pada umumnya dengan mendasarkan
pada informasi saja, penyidikan sering tidak memperoleh bukti material sehingga
pembuktian akan menjadi sia-sia. Oleh karena itu, penyidik mulai beralih untuk
memperoleh data yang ada di tempat kejadian dan mencari informasi dari para saksi
duna membuktikan terjadinya suatu tindak pidana.
Pemeriksaan Tempat Kejadian Perkara (TKP) merupakan hal yang sangat
penting dalam suatu investigasi. Berhasil atau tidaknya suatu penyelidikan sangat
bergantung pada pemeriksaan TKP Dalam meminta pertolongan dokter dalam
penyelidikan TKP, penyidik dikuatkan oleh beberapa dasar hukum. Oleh karena itu,
merupakan kewajiban dokter untuk hadir di TKP apabila diminta terutama dalam
menentukan wajar atau tidaknya suatu kematian, peran dari seorang dokter sangat
diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ballou. S., Stolorow. M., et al. The Biological Evidence Preservation
Handbook: Best Practices for Evidence Handlers. USA: US Department of
Commerence. 2013
2. Dagnan.G., Crime Scene Investigation : Protecting, Processing and
Reconstructing the Scene. USA : Journal of Forensic Identification Vol. 55
No.6. 2005
3. Evans. C., Crime Scene Investigations. USA: Chelsea House. 2009.
4. Miller. M.T., Crime Scene Investigation : Forensic Science: An Introduction
to Scientific and Investigative Techniques. 2012
5. Newton. M., The Encyclopedia of Crime Scene Investigation. USA: Infobase
Publishing. 2008
6. National Police Commision HQ Philippine National Police. Conduct of Crime
Scene Investigation. Philipine : Camp Frame. 2011
7. Robinson, M.R, Cina, J.S., Forensi Scene Investigation. Avaialble from
http://emedicine.medscape.com/article/1680358-overview#showall [Updated
10 Mei 2013]
8. Schollar. J., Harrison.A., Crime Scene investigation. Bioscience Vol.4 No.1.
UK. 2008
9. Travis. J., Rau. R.M., Crime Scene Investigation :A Guide for Law
Enforcement. U.S. Department of Justice.2000