Anda di halaman 1dari 14

DISKUSI

Sistim saraf perifer adalah rentan terhadap beberapa kategori penyakit, termasuk inflamatori, traumatic, metabolik , toxic, genetic dan neoplastic. Laporan kasus ini adalah berdasarkan pasien yang didiagnosis sebagai neuropatic diabeikum yang merupakan penyakit darah perifer yang terjadi akibat kelainan metabolik yang timbul akibat kelainan metabolik yang timbuk karena kondisi hiperglikemia yang tidak terkontrol. Diabetes merupakan penyebab terbanyak dari neuropati perifer. Tipe neuropati yang disebabkan oleh diabetes yang paling sering adalah polineuropati distal simetris dengan penurunan rasa sensorik bertingkat, disestesia akral dan kelemahan distal. Telah dilakukan pemariksaan pada laki-laki berumur 48 tahun. Pasien masuk ke bangsal neuro RSUP.Dr. M. Djamil padang dengan diagnosis klinik neuropati diabetikum. Diagnosis ini ditegakkan dari anamnesa yaitu pasien mengeluh kurang berasa di kaki dan jari-jari tangan yang semakin meningkat sejak 5 bulan. Pasien merasa nyeri membakar pada tumit kaki pada saat beraktivitas atau berdiri lama. Pasien mengeluh gangguan anatomi seperti sering buang air besar pada malam hari, sering merasa perut kembung setelah makan. Pasien dikenal mederita diabetes melitus tipe 2 sejak 5 tahun yang lalu. Pasien juga mengeluh penglihatannya berkurang dan tdak ada perbaikan walau telah memakai kaca mata. Dari pemeriksaan sensori didapatkan penurunan sensori taktil, termis, nyeri, streognosis, dan diskriminasi 2 titik di kaki dan tangan. Pada pemeriksaan visus didapatkan pasien -5/ -4 di mata kiri dan kanan. Pada pemeriksaan labor didapatkan gula darah pusa pasien 230mg/dl dan gula darah sewaktu pasien 300 mg/dl Pada pasien ini dianjurkan pemeriksaan gula darah perhari dan terapi berdasarkan kontrol ketat gula darah. Terapi lain termasuk Gabapentin 1200 mg/ hari, pregabalin 300-600 mg/ hari, Duloxetin 60 -120 mg / hari dan metformin untuk kontrol gula darah. Terapi insulin akan dipertimbangkan kalau gula darah tidak terkontrol dengan obat. Pada umumnya neuropati diabetik tidak mengakibatkan kematian namun dapat menyebabkan berbagai macam cacat jasmani dan penyulit yang menyebabkan hambatan kegiatan sehari-hari yang sangat mengganggu seperti rasa panas, rasa tebal, rasa buang air kecil, mudah timbul infeksi, retnopati, impotensi dan hipotensi ortostatik.

Neuropati diabetik (ND) adalah istilah deskriptif yang menunjukkan adanya gejala dan atau tanda dari disfungsi saraf penderita diabetes tanpa ada penyebab lain selain diabetes mellitus (setelah dilakukan eksklusi penyebab lainnya), yaitu gangguan, baik klinis maupun subklinis, yang terjadi pada penderita diabetes mellitus (DM) tanpa penyebab neuropati perifer yang lain. Data epidemiologi menyatakan bahwa kira-kira 30% sampai 40% pasien dewasa dengan diabetes tipe 2 mempunyai suatu distal peripheral neuropathy (DPN). DPN telah dihubungkan dengan berbgai faktor resiko mencakup derajat tingkat hiperglikemi, indeks lipid dan tekanan darah, lama dan beratnya menderita diabetes. Angka durasi diabetes juga akan meningkat sesuai umur dan durasi diabetes. Studi epidemiologik menunjukkan bahwa dengan tidak terkontrolnya kadar gula maka akan mempunyai resiko yang lebih besar untuk terjadinya neuropati, seperti halnya borok kaki dan amputasi. Suatu kenaikan kadar HbA1c 2% mempunyai resiko komplikasi neuropati sebesar 1,6 kali lipat dalam waktu 4 tahun.

Etiologi dan Faktor Risiko Diabetes mellitus merupakan penyebab utama terjadinya neuropati di negara maju, dan komplikasi yang sering muncul adalah tingginya angka morbiditas dan mortalitas pada pasien diabetes. Diperkirakan prevalensi neuropati pada pasien DM adalah sekitar 20%, dimana 50-75% menjadi penyebab dari amputasi non traumatik. Dalam studi DCCT (Sidang Kontrol dan Komplikasi Diabetes) pada tahun 1995, insiden tahunan neuropati adalah 2% per tahun. Perkembangan neuropati ini tergantung pada pengontrolan kadar glukosa pada DM tipe 1 dan tipe 2. Durasi menderita DM, usia, merokok, hipertensi, dan penyakit sifilis juga merupakan faktor risiko untuk terjadinya neuropati diabetes.

Klasifikasi Neuropati Diabetik

Patogenesis

Lesi pada saraf perifer akan menimbulkan enam tingkat kerusakan yaitu : Grade 1 (Neuropraksia) Kerusakan yang paling ringan, terjadi blok fokal hantaran saraf, gangguan umumnya secara fisiologis, struktur saraf baik. Karena tidak terputusnya kontinuitas aksoplasmik sehingga tidak terjadi degenerasi wallerian. Pemulihan komplit terjadi dalam waktu 1 2 bulan. Grade II (aksonometsis)

Kerusakan pada akson tetapi membrana basalis (Schwann cell tube), perineurium dan epineurium masih utuh. Terjadi degenerasi wallerian di distal sampai lesi, diikuti dengan regenerasi aksonal yang berlangsung 1 inci/bulan. Regenerasi bisa tidak sempurna seperti pada orang tua. Grade III Seperti pada grade II ditambah dengan terputusnya membrana basalis (Schwann cell tube). Regenerasi terjadi tetapi banyak akson akan terblok oleh skar endoneurial. Pemulihan tidak sempurna. Grade IV Obliterasi endoneurium dan perineurium dengan skar menyebabkan kontinuitas saraf berbagai derajat tetapi hambatan regenerasi komplit. Grade V Saraf terputus total, sehingga memerlukan operasi untuk penyembuhan. Grade VI Kombinasi dari grade II-IV dan hanya bisa didiagnosa dengan pembedahan.

Ada tiga proses patologi dasar yang bisa terjadi pada saraf perifer yaitu : Degenerasi Wallerian Terjadi degenerasi sekunder pada mielin oleh karena penyakit pada akson yang meluas ke proksimal dan distal dari tempat akson terputus. Perbaikan membutuhkan waktu sampai tahunan, oleh karena pertama terjadi regenerasi kemudian baru terjadi koneksi kembali dengan otot, organ sensoris, pembuluh darah. Demielinisasi segmental Terjadi destruksi mielin tanpa kerusakan akson, lesi primer melibatkan sel Schwann. Demielinisasi mulai dari nodus ranvier meluas tak teratur ke segmen-segmen internodus lain. Perbaikan fungsi cepat karena tidak terjadi kerusakan akson.

Degenerasi aksonal Degenerasi pada bagian distal akson saraf perifer dan beberapa tempat ujung akson sentral kolumna posterior medulla spinalis.

Basis patofisiologik pengembangan timbulnya periferal neuropati dari diabetes tidaklah dipahami dengan sepenuhnya, dan berbagai hipotesis telah diajukan. Faktorfaktor etiologik daripada diabetes neuropati diduga adalah vaskuler, metabolisme, neurotrofik dan immunologik.

a. Faktor vaskular Abnormalitas vaskuler yang terjadi pada pasien dengan diabetik polineuropati meliputi penebalan membran basalis dinding pembuluh darah, endotelial hiperplasia, disfungsi endotelial, peningkatan ekspresi endotelin dan peningkatan kadar vascular endotelial growth factor (VEGF). Diabetes secara selektif merusak sel, seperti endotelial sel dan mesangial sel, dimana kecepatan pengangkutan glukosa tidak merosot dengan cepat seperti halnya hasil peningkatan kadar gula, hal ini mendorong ke arah penumpukan glukosa tinggi dalam sel. Berdasarkan teori ini, terjadi proses iskemia endoneurial yang berkembang karena adanya peningkatan endoneural vascular resistance terhadap daerah hiperglikemi. Berbagai faktor berkenaan dengan metabolisme, termasuk pembentukan glycostatin end product, juga telah mencakup, mendorong ke arah kerusakan kapiler, inhibisi transpor aksonal, aktivitas Na+/K+ATPase, dan akhirnya ke degenerasi aksonal.

b. Teori Metabolisme Ada 2 teori utama berhubungan dengan efek yang berkenaan dengan metabolisme dari hiperglikemi kronis dan efek iskemia pada saraf periferal. Efek hiperglikemia yang berkenaan dengan metabolisme meliputi pembuatan potensi neurotoksin (seperti jenis oksigen reaktif dan sorbitol) dan perubahan tingkatan enzimntraseluler dan molekul pemberian isyarat (seperti Na+/K+ATPase, protein kinase C, dan protein mitogenactivated kinase).

i. Jalur Polyol Di dalam status yang normoglikemik, kebanyakan glukosa intraselular adalah di phosphorylated ke glucose-6-phosphate oleh hexoginase. Hanya sebagian kecil dari

glukosa masuk polyol pathway. Dibawah kondisi-kondisi hiperglikemi, hexoginase disaturasi, maka akan terjadi peningkatan influks glukosa ke dalam polyol pathway aldose reductase, yang mengkatalisa pengurangan glukosa ke sorbitol, adalah rate limiting enzim didalam pathway ini. Aldose reductase, yang secara normal mempunyai fungsi mengurangi aldehid beracun didalam sel ke alkohol non aktif, tetapi ketika konsentrasi glukosa di dalam sel menjadi terlalu tinggi, aldose reductase juga mengurangi glukosa itu ke sorbitol, yang mana kemudian dioksidasi menjadi fruktose. Sedang dalam proses mengurangi glukosa intraselluler tinggi ke sorbitol, aldose reductase mengkonsumsi co-factor NAPH (nicotinamide adenin dinucleotide phospat hydrolase). NADPH adalah juga ko-factor yang penting untuk memperbaharui suatu intraselluler critical antioxidant, dan pengurangan glutathione. Dengan mengurangi jumlah glutathione,polyol pathway meningkatkan kepekaan ke intracelluler oxidative stress. Oxydative stress berperan utama didalam patogenesis diabetik periferal neuropati. Stress oxidatif terjadi didalam sistem seluler ketika produksi radikal bebas melebihi kemampuan antioksidan didalam sel. Jika antioksidan tidak membuang radikal bebas, radikal akan menyerang dan merusak protein, lipid dan asam nukleat. Hasil dari oksidasi atau nitrosilasi dari radikal bebas akan menyebabkan penurunan aktivitas biologik, kehilangan kemampuan metabolisme energi, transport, dan kehilangan kemampuan fungsi utama lainnya. Akumulasi dari proses ini akan menyebabkan sel mati melalui mekanisme apoptosis atau nekrotik. Suatu teori mengatakan bahwa glukosa yang berlebihan dalam sirkulasi darah di tubuh saling berinteraksi dengan suatu enzim di dalam sel Schwann, yang disebut aldose reductase. Aldose reductase mengubah bentuk gula ke dalam sorbitol, yang pada gilirannya menarik air ke dalam sel Schwann, menyebabkan sel Schwann membengkak. Ini pada gilirannya menjepit serabut saraf, menyebabkan kerusakan dan menimbulkan rasa nyeri. Akhirnya sel Schwann dan serabut saraf dapat nekrosis.

ii. Aktivasi Jalur Protein kinase C Berperan dalam patogenesis diabetic peripheral neuropathy. Hiperglikemi didalam sel meningkatkan sintesa suatu molekul yang disebut dicylglycerol (DAG),

yaitu suatu critical activating factor untuk isoforms protein kinase-C,,,. Protein kinase C juga diaktifkan oleh oxydative stress dan advanced glycation end product. Aktivasi protein kinase C menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskuler, gangguan sintesa nitric oxyde (NOs), dan perubahan aliran darah. Advanced glycation end product ini sangat toksik dan merusak semua protein tubuh, termasuk sel saraf. Dengan terbentuknya AGEs dan sorbitol, maka sintesis dan fungsi NO akan menurun, sehingga vasodilatasi berkurang, aliran darah ke saraf menurun, dan bersama rendahnya mionisitol dalam sel saraf, terjadilah neuropati diabetik. iii. Adenosine diphosphate (ADP) Ada bukti bahwa poly-adenosine diphosphate (ADP)-ribose polymerase (PARP) mempunyai suatu peran penting dalam mediator beberapa jalur dari kerusakan yang diinduksi disebabkan hiperglikemia. iv. Jalur Heksosamin Ketika hiperglikemia intraseluler berkembang didalam sel target dari komplikasi diabetes, menyebabkan produksi ROS (reactive oxygen species) mitokhondria. ROS menerobos inti DNA, yang mengaktifkan PARP. PARP kemudian memodifikasi enzim GAPDH (glycolytic glyceryldehyde-3 fosfat dehidrogenase), dengan demikian mengurangi aktivitasnya. Akhirnya, pengurangan aktivitas GAPDH akan

mengaktifkan polyolpathway, meningkatkan pembentukan AGE intraseluler (lycation and product), mengaktifkan PKC dan sesudah itu NFxB, dan mengaktifkan hexosamine pathway flux.

c. Faktor neurotropik Nerve growth factor diperlukan untuk mempercepat dan mempertahankan pertumbuhan saraf. Pada penderita diabetes kadar NGF serum cenderung turun dan berhubungan dengan derajat neuropati.

d. Faktor immunologi

Pada penderita diabetes dijumpai adanya antineural antibodies dalam serum yang secara langsung dapat merusak struktur saraf sensorik dan motorik yang bisa dideteksi dengan immunoflorens indeks.

Gejala Klinis Polineuropati diabetika merupakan neuropati diabetika yang paling sering terjadi. Pada pasien-pasien DM tipe 2, 59% menunjukkan berbagai neuropati, 45% diantaranya menderita polineuropati diabetika. Gejala yang mudah dikenal adalah kelainan yang sifatnya simetris. Gangguan sensorik selalu lebih nyata dibanding kelainan motorik dan sudah terlihat pada awal penyakit. Ditandai dengan hilangnya akson dan serabut saraf terpanjang terkena terlebih dahulu. Umumnya gejala nyeri, parastesi dan hilang timbul ketika malam hari. Khas diawali dari jari kaki berjalan ke proksimal tungkai. Seiring memberatnya penyakit jari tangan dan lengan terkena sehingga memberi gambaran sarung tangan dan kaos kaki. Kelainan ini dapat mengenai saraf sensoris, motor dan fungsi otonomik dengan bermacam-macam derajat tingkat, dengan predominan terutama disfungsi sensoris. Kelemahan otot-otot tungkai dan penurunan reflek lutut dan tumir terjadi lebih lambat.

Adanya nyeri dan menurunnya rasa terhadap temperatur melibatkan serabut saraf kecil (small fiber neuropathy) dan merupakan predisposisi terjadinya ulkus kaki. Gangguan propiosepti, rasa getar dan gaya berjalan (sensory ataxia gait) menunjukkan keterlibatan serabut saraf ukuran besar (large fiber neuropathy). Disfungsi otonom yang timbul adalah adanya anhidrosis, atonia kandung kencing dan pupil reaksi lambat. Awitan gejala perlahan sebagai negatif dan / atau positif. Serabut saraf berukuran besar dan kecil terkena walaupun manifestasi dini yang muncul mungkin dari serabut kecil. Gejala bergantung pada tipe neuropati dan saraf yang terlibat. Pada beberapa orang bisa tidak dijumpai gejala. Kesemutan, tingling atau nyeri pada kaki sering merupakan gejala yang pertama, bisa juga nyeri dan kesemutan. Gejala bisa melibatkan sistem saraf sensoris atau motorik ataupun sistem saraf otonom.

Diagnosis Ada beberapa kriteria untuk menentukan adanya komplikasi neuropati pada penderita diabetes, salah satunya adalah dengan Konsensus San Antonio.

Konsesus Antonio Penegakan neuropati diabetika selain berdasarkan WHO, dapat pula ditegakkan berdasarkan konsensus San Antonio. Pada konsensus tersebut telah direkomendasikan bahwa paling sedikit 1 dari 5 kriteria dibawah ini dapat dipakai untuk menegakkan diagnosis neuropati diabetika, yakni : (1) Symptom scoring; (2) Physical examination

scoring; (3) Quantitative Sensory Testing (QST); (4) Cardiovascular Autonomic Function Testing (cAFT); (5) Electro-diagnostic studies (EDS). Pemeriksaan symptom scoring dan physical examination scoring yang telah terbukti memiliki sensitifitas tinggi untuk mendiagnosis neuropati atau polineuropati diabetika adalah skor Diabetic Neuropathy Symptom (DNS) dan skor Diabetic Neuropathy Examination (DNE).

Diabetic Neuropathy Examination (DNE) Alat ini mempunyai sensitifitas sebesar 96% dan spesifitas 51%. Skor Diabetic Neuropathy Examination (DNE) adalah sebuah sistem skor untuk mendignosa polineuropati distal pada diabetes mellitus. DNE adalah sistem skor yang sensitive dan telah divalidasi dengan baik dan dapat dilakukan secara cepat dan mudah di praktek klinik. Skor DNE terdiri dari 8 item, yaitu : a) kekuatan otot : (1) quadrisep femoris (ekstensi sendi lutut); (2) tibialis anterior (dorsofleksi kaki). b) Refleks: (3) trisep surae / tendo Achilles. c) sensibilitas jari telunjuk: (4) sensitivitas terhadap tusukan jarum. d) sensibilitas ibu jari kaki: (5) sensitivitas terhadap tusukan jarum; (6)sensitivitas terhadap sentuhan; (7) persepsi getar; dan (8) sensitivitas terhadap posisi sendi. Skor 0 adalah normal; skor 1 defisit ringan atau sedang (kekuatan otot 3-4, refleks dan sensitivitas menurun); skor 2 : defisit berat (kekuatan otot 0-2, refleks daru sensitivitas negatif/tidak ada). Nilai maksimal dari 4 macam pemeriksaan tersebut di atas adalah 16. Sedangkan kriteria diagnostik untuk neuropati bila nilai > 3 dari 16 nilai tersebut.

Diabetic Neuropathy Symptom (DNS) Skor DNS Skor Diabetic Neuropathy Symptom (DNS) merupakan 4 point yang bernilai untuk skor gejala, dengan prediksi nilai yang tinggi untuk menyaring polineuropati pada DM. Gejala jalan tidak stabil, nyeri neuropatik, parastesi atau rasa tebal. Satu gejala dinilai skor 1, maksimum skor 4. Skor 1 atau lebih diterjemahkan sebagai positif polineuropati diabetik.

Visual Analogue Scale (VAS)

Banyak metode yang lazim diperkenalkan untuk menentukan derajat nyeri, salah satunya adalah VAS. Skala ini hanya mengukur intensitas nyeri seseorang. VAS yang merupakan garis lurus dengan ujung sebelah kiri diberi tanda 0 = untuk tidak nyeri dan ujung sebelah kanan diberi tanda dengan angka 10 = untuk nyeri terberat yang dibayangkan. Cara pemeriksaan VAS adalah penderita diminta untuk memproyeksikan rasa nyeri yang dirasakan dengan cara memberikan tanda berupa titik pada garis lurus VAS antara 010 sehingga penderita dapat mengetahui intensitas nyeri.

0 Tidak nyeri

10 Nyeri terberat yang terbayangkan

VAS dapat diukur secara kategorikal. Meliala mengemukakan nyeri ringan dinilai dengan VAS : 0-<4, sedang nilai VAS : >4-7, berat dengan nilai VAS >7-10.

Elektromiografi (EMG) Elektromiografi adalah pemeriksaan elektrodiagnosis untuk memeriksa saraf perifer dan otot. Prinsip kerjanya adalah merekam gelombang potensial yang ditimbulkan baik oleh otot maupun saraf. Gelombang potensial dapat ditimbulkan dalam otot dengan memberikan stimulus pada saraf motorik yang mengelolanya. Untuk mengukur kecepatan hantaran saraf (KHS) motorik yaitu dengan merangsang saraf motorik pada dua tempat di sebelah proksimal dan distal. Latensi adalah waktu yang dibutuhkan dalam menghantarkan impuls dari tempat perangsangan (stimulus) sampai ke akson terminal dan transmisi dari akson terminal ke motor end plate, sehingga timbul potensial aksi. Dengan memberi stimulus pada dua tempat, akan timbul dua gelombang potensial yang masing-masing latensi distalnya berbeda. Agar lebih akurat hasilnya, sebaiknya jarak antara 2 stimulus adalah 10 cm. KHS motorik dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

KHS (m/det) =

Jarak antara ke 2 titik stimulus (mm)

Latensi distal II (proksismal) latensi I (distal) (milidetik)

Untuk mengukur saraf sensorik dilakukan dengan memberikan stimulus pada saraf sensorik. Aksi potensial saraf sensorik dapat direkam dengan elektroda permukaan yang dililitkan pada jari. Pengukuran KHS sensorik adalah dengan menghitung jarak dari stimulus tunggal sampai elektroda perekam dibagi dengan latensi. Aksi potensialnya jauh lebih kecil daripada otot.

Kecepatan Hantaran Saraf (KHS) Merupakan teknik utama untuk studi fungsi saraf perifer yang melibatkan stimulasi kulit dari saraf sensorik dan motorik. Hasil studi kecepatan hantaran saraf sensorik dan motorik nampak sebagai amplitudo, conduction velocity, dan distal latensi.

Faktor-faktor yang mempengaruhi KHS adalah :

1. Faktor fisiologis seperti temperatur, umur, tinggi badan, segmen proksismal disbanding distal dan anomali inervasi. 2. Faktor nonfisiologis : tahanan elektrode dan interferensi 60 Hz, stimulus artefak, filter, posisi katode, stimulus supramaksimal, kostimulasi saraf yang berdekatan, penempatan elektroda, perekaman antidromik dibandingkan ortodromik, jarak antara elektrode aktif dan saraf yang diperiksa, jarak elektrode aktif dengan elektrode referens, posisi ekstremitas dan pengukuran jarak, sweep speed dan sensitivitas.

Diagnostik neuropati ditegakkan berdasarkan adanya gejala dua atau lebih dari empat kriteria dibawah ini : Kehadiran satu atau lebih gejala Ketidakhadiran dua atau lebih refleks patella atau achilles Nilai ambang persepsi getaran/vibration-abnormal. Fungsi otonomik abnormal (berkurangnya heart rate variability (HRV) dengan rasio RR kurang dari 1,04 hipotensi postural dengan turunnya tekanan darah sistolik 20 mmHg atau lebih, atau kedua-duanya).

Penatalaksanaan Langkah manajemen terhadap pasien adalah untuk menghentikan progresifitas rusaknya serabut saraf dengan kontrol kadar gula darah secara baik. Mempertahankan kontrol glukosa darah ketat, HbA1c, tekanan darah, dan profil lipid dengan terapi farmakologis dan perubahan pola hidup. Komponen manajemen diabetes lain yaitu perawatan kaki, pasien harus diajar untuk memeriksa kaki mereka secara teratur. Diabetes Control and Complication Trial (DCCT) menunjukkan bahwa pengendalian gula darah yang baik merupakan cara yang paling efektif untuk menurunkan komplikasi diabetes. Pada penelitian lainnya, diabetes yang tidak terkendali menyebabkan stres oksidatif lebih jelas yang dapat diperbaiki dengan pasien mempertahankan pengendalian gula darah melalui pengobatan dengan glibencamid atau glicaxid. Tidak lain, pengendalian ketat yang terus menerus masih merupakan tantangan dalam sebagian besar kasus. Oleh karena itu, terapi tambahan yang ditujukan pada jalur-jalur yang menyebabkan komplikasi yang diinduksi oleh hiperglikemia penting dalam mempertahankan kualitas hidup jangka panjang dari pasien diabetes. Dengan hipotesis bahwa stres oksidatif dapat memperantarai komplikasi vaskuler, mikrovaskuler dan jaringan khusus pada diabetes, maka terapi antioksidan perlu digali lebih jauh. Mekanisme patogenik menunjukkan ada peran antioksidan potensial untuk mengobati neuropati. Beberapa pendekatan terapeutik telah dikembangkan termasuk antioksidan seperti Alpha-lipoic acid (ALA) untuk mengurangi stres oksidatif yang meningkat. ALA adalah antioksidan yang sangat kuat, dimana obat ini dirancang untuk mempengaruhi baik patofisiologi gangguan ini. ALA merupakan anti-oksidan yang mempunyai berat molekul rendah seperti asam askorbat (vitamin C) dan tokoferol (vitamin E) dan merupakan lipophilic free radical scavenger yang kuat. ALA memiliki rantai karbon 8 atom. Hati dan ragi merupakan sumber ALA dari diet yang paling baik. ALA diabsorbsi dengan baik melalui lambung dan usus dan dapat dengan mudha dikonsumsi secara oral. ALA tidak berakumulasi di jaringan pada derajat yang signifikan dan tidak menyebabkan beberapa toksisitas klinis yang signifikan saat digunakan dalam jumlah yang tepat untuk tujuan terapeutik (<1500 mg/hari). ALA

meningkatkan kadar glutation pada jaringan, dimana glutation merupakan antioksidan interseluler yang utama. ALA merupakan antioksidan natural yang efektif menetralkan beberapa jenis radikal bebas termasuk radikal oksigen dan pengion metal. Pada manusia ALA disintesis pada hepar dna jaringan tubuh lainnya, dimana ALA berfungsi sebagai ko-faktor alamiah pada berbagai enzim dehydrogenase seperti pyruvate dehydrogenase dan alpha ketoglutarate dehydrogenase. Pyruvate dehydrogenase berada pada mitokondria yng berperan dalam mengkatalisasi oksidasi decarboxylase dari pyruvate menjadi acetyl-CoA, yang merupakan langkah terpenting dalam metabolism glukosa. Suplementasi ALA memiliki kemampuan sebagai antioksidan yang sangat poten. Kemampuan antioksidan ALA diperantarai oleh kemampuannya dalam hal berikut : (1) menghambat aktivitas ROS (reactive oxygen species, (2) regenerasi antioksidan yang lain, dan (3) aktivitas pengikatan logam. Pemberian ALA juga dapat meningkatkan produksi nitric oxide yang penting dalam fungsi endotel pembuluh darah. Pemberian ALA dapat pula meningkatkan aliran darah dan perfusi kapiler. ALA berfungsi pula meningkatkan sensitivitas insulin. Selain itu ALA meningkatkan ambilan glukosa dengan mengaktivasi transporter glukosa (GLUT4). Analisis manfaat dan risiko menunjukkan bahwa dosis optimal ALA adalah 600 mg/hari. Efek samping yang muncul adalah nausea, muntah dan vertigo, namun tidak bermakna secara signifikan dibanding placebo.

Anda mungkin juga menyukai