Anda di halaman 1dari 20

PATOFISIOLOGI ULKUS KAKI DIABETES

Wanda Maail, Aron Pase, Melati Silvanni, Santi Syafril, Dharma Lindarto
Divisi Endokrin Metabolik dan Diabetes
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP H. Adam Malik Medan

PENDAHULUAN
Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit yang serius dan kompleks yang
mempengaruhi hampir semua organ vital dalam tubuh. Sekitar 347 juta orang di dunia yang
didiagnosis dengan DM dan mayoritas dari mereka adalah karena DM tipe 2. Insiden DM terus
meningkat dan diperkirakan meningkat dua kali lipat pada tahun 2030.1,2 Di Asia Tenggara
terdapat satu per lima atau sekitar 19% dari total penderita diabetes didunia dan sekitar 58% dari
mereka belum terdiagnosa dan memiliki resiko tinggi terjadi komplikasi yang membahayakan
dan dengan memakan biaya yang besar.3
DM diketahui memiliki banyak komplikasi dan salah satunya adalah Ulkus Kaki Diabetes yang
mempengaruhi 15% dari penderita diabetes. Ulkus kaki diabetes bersifat kronis dengan angka
kekambuhan yang tinggi serta rentan terhadap infeksi dan akhirnya mempengaruhi kesehatan
mental pasien. Suatu penelitian didapatkan bahwa ulkus pada pasien dengan diabetes sering
berakhir dengan amputasi. Sebuah penelitian di Amerika Serikat melaporkan bahwa 38% dari
semua amputasi berkaitan dengan DM. Hal ini dapat menyebabkan tingginya angka morbiditas
dan mortalitas. Oleh karena itu ulkus kaki diabetes menyebabkan beban keuangan yang sangat
besar pada pasien dan pelayanan kesehatan. Keberhasilan penanganan ulkus kaki diabetes dapat
terlaksana apabila didahului dengan tindakan pencegahan, diagnosis yang cepat dan pengobatan
yang agresif.1,2

DEFINISI
Ulkus kaki diabetes didefinisikan sebagai ulserasi pada kaki yang berhubungan dengan
neuropati dan / atau penyakit arteri perifer pada tungkai bawah pada pasien diabetes.4 Trias

1
klasik dari Ulkus Kaki Diabetes adalah neuropati, iskemia, dan infeksi. Gangguan metabolisme
pada DM meningkatkan risiko infeksi akibat penyembuhan luka yang buruk. Hal ini terjadi
karena serangkaian mekanisme yang meliputi penurunan respons sel, berkurangnya aliran darah
di perifer dan penurunan angiogenesis lokal. Dengan demikian, kaki pada penderita DM
cenderung mengalami penyakit pembuluh darah perifer, kerusakan saraf perifer, kelainan bentuk,
ulserasi dan gangren.2

EPIDEMIOLOGI
Ulkus kaki diabetes merupakan suatu komplikasi diabetes yang berhubungan dengan
meningkatnya angka kesakitan, kematian, biaya dan terjadinya penurunan kualitas hidup. 5-8
Berdasarkan data dari International Diabetes Federation tahun 2015, diperkirakan setiap tahun
diseluruh dunia, ulkus kaki diabetes meningkat dari 9,1 juta menjadi 26,1 juta. Insidens ulkus
kaki diperkirakan sekitar 15-25 % pada orang dengan diabetes, namun ada data terbaru yang
memperkirakan bahwa sekitar 19-34% dengan diabetes juga mengalami ulkus kaki diabetes. 9-10
Beberapa studi di Indonesia menyebutkan insidens ulkus kaki diabetes di Indonesia adalah
sekitar 17-32%, dan proporsi amputasi adalah sebanyak 15-30%. Komplikasi luka yang kronis
merupakan suatu masalah yang besar karena mempengaruhi kesehatan masyarakat dan juga
ekonomi. Sebagai tambahan, diperkirakan biaya untuk pengobatan ulkus kaki diabetes dan
komplikasinya adalah sekitar 13 juta dollar. Lebih mahal dari pengobatan penyakit diabetes itu
sendiri. 11-12

PATOFISIOLOGI
Etiologi dari Ulkus kaki diabetes adalah multifaktor. Beberapa komponen terlibat dan
bersama-sama menciptakan suatu ulkus.

1. NEUROPATI
Neuropati perifer terjadi 8-12 tahun setelah terjadi diabetes mellitus. Neuropati perifer
diabetes adalah gangguan aktivitas normal saraf di seluruh tubuh dan dapat mengubah fungsi
otonom, motorik dan sensori. Diperkirakan prevalensi neuropati perifer adalah sekitar 16-
66% pada penderita diabetes. Neuropati diabetes terbagi atas 3 tipe yaitu neuropati sensoris,
neuropati motoric, neuropati otonom.13

2
Gambar 1. Anatomi dan suplai pembuluh darah pada sistem saraf perifer
(sumber : Yagihashi S et al. J Diabetes Investig. 2011 Jan; 2(1): 18-32)

Karakteristik anatomi dari sistem saraf perifer mungkin menjelaskan mengapa


patogenesis neuropati berbeda dari komplikasi mikrovaskular lainnya. Saraf perifer ditutupi oleh
perineurium, dimana hanya beberapa arteriol transperineurial yang menembus ke endoneurium
(Gambar 1). Suplai Pembuluh darah dan sistem autoregulasi pada saraf perifer yang sedikit,
membuat saraf perifer rentan terhadap iskemia.14

3
Gambar 2. Sistem persarafan epidermal dengan immunostaining PGP95
(sumber : Yagihashi S et al. J Diabetes Investig. 2011 Jan; 2(1): 18-32)

4
Pada gambar 2 terlihat sistem persarafan pada kulit yang dilakukan dengan biopsi kulit
(punched skin biopsy) dengan immunostaining menggunakan produk gen protein 95 ( Protein
Gene Product 95), terlihat pada orang normal (a) serat saraf (anak panah) yang menembus ke
lamina basal (kepala panah) yang berasal dari dermis menyebar secara difus dan berakhir di
permukaan epidermis pada kulit. (b) Sebaliknya, pada subjek diabetes tipe 2 dengan neuropati
simtomatik (wanita berusia 52 tahun dengan durasi diabetes 15 tahun), serat di epidermis benar-
benar hilang. Hanya sedikit serat yang tertinggal di dermis.14
Mekanisme terjadinya neuropati yang disebabkan oleh suatu kondisi hiperglikemia dapat
dijelaskan melalui polyol pathway (Gambar 3).15

Gambar 3. Polyol Pathway


(sumber: Brownlee M, Diabetes 2005 Jun; 54(6): 1615-1625)

Pada kondisi gula darah yang normal, sel akan menggunakan glukosa sebagai sumber
energi. Sel saraf, retina dan ginjal adalah sel yang bersifat insulin-independent, yang tidak
membutuhkan insulin untuk memasukan glukosa ke dalam sel sehingga glukosa dapat masuk

5
dengan bebas. Enzim aldose reduktase memiliki afinitas yang rendah terhadap glukosa pada
keadaan kadar gula darah norml. Pada keadaan hiperglikemik, enzim aldose reduktase teraktifasi,
afinitasnya terhadap glukosa meningkat dan mengaktifkan jalur poliol. Enzim ini mengubah
glukosa menjadi sorbitol. Sorbitol mempunyai sifat tidak dapat menembus membran sel, dan saat
terakumulasi maka sorbitol akan menyebabkan stres osmotik dengan menarik air ke dalam
jaringan yang bersifat insulin-independent. Sehingga menyebabkan kerusakan sel. Seiring
dengan menumpuknya produk gula ini, sintesis myoinositol sel saraf juga menurun,
mempengaruhi konduksi saraf. Disamping itu juga, enzim aldose reduktase membutuhkan
NADPH sebagai kofaktor dalam membentuk sorbitol sehingga konsentrasi NADPH menurun.
NADPH diperlukan juga sebagai kofaktor enzim glutation reductase untuk membentuk glutation
yang merupakan antioksidan sel.14-17 Penurunan sintesis glutation akan menyebabkan stress
oksidatif sel. Hal-hal ini menyebabkan kerusakan saraf, penurunan sensasi perifer dan rusaknya
persarafan ke otot kaki dan kontrol vasomotor halus pada sirkulasi pedal. Ketika saraf terganggu,
pasien berisiko lebih tinggi terkena luka ringan tanpa menyadarinya sampai menjadi ulkus.
Risiko terjadinya ulkus kaki pada pasien dengan gangguan sensorik meningkat hingga tujuh kali
lipat, dibandingkan pasien diabetes non-neuropatik. DM juga mempengaruhi sistem saraf
otonom, menyebabkan kekeringan dan kerutan pada kulit, sehingga rentan terhadap infeksi.1,9,16

2. VASKULOPATI

Hiperglikemia menyebabkan disfungsi sel endotel di arteri perifer. Disfungsi endotel


adalah gangguan paling serius yang mempengaruhi mikrosirkulasi, karena adanya perubahan
dalam proliferasi sel endotel, penebalan membran basal, penurunan sintesis oksida nitrat,
peningkatan viskositas darah, perubahan mikrovaskular dan penurunan aliran darah.13
Kondisi Vaskulopati pada diabetes dapat dijelaskan melalui beberapa mekanisme.
a. Glikasi non-enzimatik
Pada keadaan hiperglikemia, maka akan terjadi proses glikasi nonenzimatik protein sehingga
terbentuk Advanced Glycation End-product (AGE). AGE mampu mengubah struktur dan
sifat kolagen matriks protein dan laminin melalui ikatan silang. Reaksi silang antara AGE
dengan matriks protein pada endotel akan mengakibatkan turunnya elastisistas, gangguan
pada kolagen tipe IV dan laminin yang merupakan molekul kunci pada membrane basalis.

6
Reaksi silang ini menyebabkan LDL dapat masuk ke subendotel dan dioksidasi oleh monosit
sehingga dapat terjadi proses aterosklerosis. Di dalam sirkulasi, AGE apat berinteraksi
dengan Receptor for Advanced Glycation End-product (RAGE) sehingga meningkatkan
produksi Reactive Oxygen Species (ROS) intraseluler, sehingga terjadi penurunan aktivitas
Nitric Oxide (NO) sehingga terjadi vasokonstriksi pada pembuluh darah. Pembentukan AGE
ini terbentuk secara signifikan pada sel endotel setelah satu minggu pada kondisi
hiperglikemi. Kondisi hiperglikemia juga berhubungan dengan peningkatan Thromboxane
A2 yang menyebabkan hiperkoagulasi plasma. Hal-hal tersebut diatas pada akhirnya akan
berdampak pada terjadinya iskemia. 1,17,18-21

Gambar 5. Glikasi non-enzimatik dan Advanced Glycation End-Products (AGE)


(sumber : Rodrigues J, Available from: http://www.intechopen.com/books/gangrene-current-concepts-and-
management-options/diabetic-foot-and gangrene)

b. Aktivasi Jalur Protein Kinase-C (PKC)


Penelitian oleh Inoguchi et al menunjukan adanya peningkatan PKC pada jaringan retina,
22,23
ginjal, jantung dan aorta. Keadaan hiperglikemia di dalam sel, meningkatkan sintesis
molekul diacylglycerol (DAG) yang merupakan kofaktor yang penting untuk aktivasi PKC.
PKC yang teraktivasi menyebabkan banyak perubahan pada ekspresi gen (gambar 6).15

7
Gambar 6. Jalur Protein Kinase C
(sumber: Brownlee M, Diabetes 2005 Jun; 54(6): 1615-1625)

3. IMUNOPATI

Sistem kekebalan tubuh pasien diabetes jauh lebih rendah daripada orang sehat.
Penelitian menunjukkan bahwa gangguan sistem imunitas terjadi pada kadar glukosa darah ≥ 150
mg/dl. Status hiperglikemik menyebabkan peningkatan sitokin pro-inflamasi dan penurunan
fungsi sel polimorfonuklear seperti kemotaksis, adheren, fagositosis dan kemampuan membunuh
(Intracellular killing). Keadaan hiperglikemia menghambat fungsi antimicrobial melalui
penghambatan glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD), meningkatkan apoptosis PMN dan
menurunkan transmigrasi PMN lewat endotel. Pada beberapa penelitian yang telah dilakukan
menunjukan bahwa jika hemoglobin terglikasi (HbA1c) < 8,0 %, fungsi proliferatif CD4 limfosit
T dan respon terhadap antigen tidak terganggu.24,25
Keadaan hiperglikemia meningkatkan produksi ROS intraseluler dan up-regulasi faktor
transkripsi NF-KB (Nuclear Factor Kappa B-Cell) yang akan memproduksi sitokin pro inflamasi
seperti IL-1, IL-6, dan TNF-α yang akan merusak endotel pembuluh darah. Disamping itu,

8
keadaan hiperglikemia adalah media yang baik untuk pertumbuhan bakteri, terutama bakteri
gram positif seperti S. aureus dan streptokokus β-hemolitik. 18,26,27

4. NEUROARTROPATI

Charcot neuroarthropathy (CN) adalah arthropathy degeneratif progresif kronis tanpa rasa
sakit akibat gangguan pada inervasi sensoris sendi yang terkena. Kaki charcot adalah kondisi
patologis yang berbahaya, merusak, dan progresif yang mempengaruhi tulang kaki dan
menyebabkan kelainan bentuk yang dapat menyebabkan terbentuknya ulkus. Perkembangan kaki
Charcot ditandai dengan subluksasi dan dislokasi sendi, osteolisis dan fragmentasi tulang, dan
edema jaringan lunak.28 Kerusakan sistem saraf otonom akibat DM menyebabkan gangguan
tonus otot polos pada dinding arteri yang menyebabkan kegagalan vasoregulasi dan peningkatan
aliran darah ke tulang. Peningkatan aliran darah yang tiba-tiba menyebabkan kalsium larut,
mengaktivasi osteoklas dan terjadi osteopenia. Teori lain mengatakan adalah bahwa trauma kecil
berulang pada sendi menyebabkan fraktur dan deformitas. Produksi sitokin proinflamasi
menyebabkan osteolisis yang tidak terkontrol pada Charcot Neuroartropathy. Sitokin seperti
tumor necrosis factor-α dan interleukin-1β meningkatkan ekspresi Receptor Activator of Nuclear
factor-κB Ligand (RANKL), yang pada gilirannya menyebabkan pematangan osteoklas dengan
memicu produksi NF-kB. Ciri khas kaki Charcot adalah "rocker-bottom" foot. Keadaan ini
merupakan suatu predisposisi terjadinya ulkus yang rekuren. 13,28,29

9
Gambar 7. Lingkaran Patofisiologi Charcot Neuroartropathy
(Sumber : Kaynak et al, Diabetic Foot & Ankle 2013)

KLASIFIKASI
Saat ini ada beberapa klasifikasi ulkus kaki diabetes, namun yang sering digunakan
adalah Klasifikasi menurut Wagner-Meggit.30

Tabel 1 . Klasifikasi kaki diabetes berdasarkan Wagner-Meggit

10
Gambar 8. Klasifikasi Ulkus Kaki Diabetes berdasarkan Wagner-Meggit.
(Sumber : Kartika RW, Pengelolaan Ganggren Kaki Diabetik31)

The International Working Group on theDiabetic Foot telah mengusulkan Klasifikasi


PEDIS dimana membagi luka berdasarkan 5 ciri berdasarkan: Perfusion, Extent, Depth, Infection
dan Sensation.32

Tabel 2. Klasifikasi PEDIS32

Grade Perfusion Extent Depth Infection Sensation Score


1 No PAD Skin Skin intact None No loss 0
intact
2 PAD, No <1 cm2 Superficial Surface Loss 1
CLI
3 CLI 1–3 cm2 Fascia, muscle, Abscess, fasciitis, 2
tendon septic arthritis
4 >3 cm2 Bone or joint SIRS 3

PAD, peripheral arterial disease; CLI, critical limb ischemia.

11
Dengan klasifikasi ini akan dapat ditentukan kelainan yang dominan, vaskular, infeksi,
atau neuropatik dengan ankle brachial index (ABI), filament test, nerve conduction study,
electromyography (EMG), autonomic testing, sehingga pengelolaan lebih baik. Ulkus gangren
dengan critical limb ischemia lebih memerlukan evaluasi dan perbaikan keadaan vaskularnya.
Sebaliknya jika factor infeksi menonjol, antibiotik harus adekuat. Sekiranya faktor mekanik yang
dominan, harus diutamakan koreksi untuk mengurangi tekanan plantar.31,32

PENATALAKSANAAN
Pengelolaan ulkus kaki diabetes memerlukan kerjasama multidisipliner. Berbagai hal
harus ditangani dengan benar agar dapat diperoleh hasil pengelolaan yang maksimal, dan
semuanya harus dikelola bersama, yaitu : 33,34,35
 Mechanical control-pressure control
 Wound control
 Microbiological control-infection control
 Vascular control
 Metabolic control
 Educational control
Mechanical control-pressure control. Jika tetap dipakai untuk berjalan (menahan berat
badan/weight bearing), luka selalu mendapat tekanan, sehingga tidak akan sempat menyembuh,
apalagi bila terletak di plantar seperti pada kaki Charcot. Berbagai cara surgikal dapat dipakai
untuk mengurangi tekanan pada luka seperti:
a. Dekompresi ulkus/gangren dengan insisi abses
b. Prosedur koreksi bedah seperti operasi untuk hammer toe, metatarsal head resection,
Achilles tendon lengthening, partial calcanectomy.
Wound Control. Perawatan luka sejak awal harus dikerjakan dengan baik dan teliti. Evaluasi
luka harus secermat mungkin. Klasifikasi ulkus pedis dilakukan setelah debridement adekuat.
Jaringan nekrotik dapat menghalangi proses penyembuhan luka dengan menyediakan tempat
untuk bakteri, sehingga dibutuhkan tindakan debridement. Debridement yang baik dan adekuat
akan sangat membantu mengurangi jaringan nekrotik, dengan demikian akan sangat mengurangi
produksi pus/cairan dari ulkus/gangren. Debridement dapat dilakukan dengan beberapa metode
seperti mekanikal, surgikal, enzimatik, autolisis, dan biokemis. Cara paling efektif adalah dengan

12
metode autolysis debridement. Autolysis debridement adalah cara peluruhan jaringan nekrotik
oleh tubuh sendiri dengan syarat utama lingkungan luka harus lembap.Pada keadaan lembap,
enzim proteolitik secara selektif akan melepas jaringan nekrosis, sehingga mudah lepas dengan
sendirinya atau dibantu secara surgikal atau mekanikal. Pilihan lain dengan menggunakan
maggot. Saat ini terdapat banyak macam dressing (pembalut) yang dapat dimanfaatkan sesuai
keadaan luka dan letak luka. Dressing mengandung komponen zat penyerap, seperti carbonated
dressing, alginate dressing akan bermanfaat pada luka yang masih produktif. Hydrophilic fiber
dressing atau silver impregnated dressing bermanfaat untuk luka produktif dan terinfeksi.
Berbagai terapi topikal dapat dimanfaatkan untuk mengurangi mikroba pada luka, cairan normal
saline sebagai pembersih luka, senyawa silver sebagai bagian dari dressing. Berbagai cara
debridement non-surgikal seperti preparat enzim dapat dimanfaatkan untuk mempercepat
pembersihan jaringan nekrotik. Jika luka sudah lebih baik dan tidak terinfeksi lagi, dressing
seperti hydrocolloid dressing dapat dipertahankan beberapa hari. Untuk kesembuhan luka kronik
seperti luka kaki diabetes, suasana kondusif sekitar luka harus dipertahankan. Selama proses
inflamasi masih ada, proses penyembuhan luka tidak akan beranjak ke proses selanjutnya. Untuk
menjaga suasana kondusif dapat dipakai kasa yang dibasahi dengan normal saline.
Microbiological control-infection control. Data pola kuman perlu diperbaiki secara berkala,
umumnya didapatkan infeksi bakteri multipel, anaerob, dan aerob. Antibiotik harus selalu sesuai
dengan hasil biakan kuman dan resistensinya. Lini pertama antibiotik spectrum luas, mencakup
kuman gram negatif dan positif (misalnya sefalosporin), dikombinasi dengan obat terhadap
kuman anaerob (misalnya metronidazole). Semua luka diabetes yang terinfeksi secara klinis
membutuhkan terapi antibiotik. Meski begitu, terapi antimikroba untuk luka klinis tidak
terinfeksi tidak direkomendasikan. Terapi antibiotik 1-2 minggu cukup untuk kebanyakan
infeksi ringan dan sedang. Untuk infeksi kulit dan jaringan lunak yang lebih serius, 3 minggu
biasanya cukup. Antibiotik dapat dihentikan saat tanda dan gejala infeksi telah teratasi, bahkan
jika luka belum sembuh. Terapi antibiotik parenteral sangat dibutuhkan pada infeksi berat dan
beberapa infeksi sedang, beralih ke terapi oral saat infeksi teratasi. Untuk osteomielitis kaki
diabetik, terapi antibiotik selama 6 minggu diperlukan untuk pasien yang tidak menjalani reseksi
tulang.
Vascular control. Pada Pasien dengan ABI <0,5 tindakan vascular imaging dapat dilakukan dan
jika kemungkinan kesembuhan luka rendah atau kondisi klaudikasio intermitten hebat, maka

13
tindakan revaskularisasi dapat dianjurkan. Bila ulkus tidak menunjukan tanda-tanda
penyembuhan dalam 6 minggu meskipun dengan manajemen optimal, dapat dipertimbangkan
untuk revaskularisasi, terlepas dari hasil tes diatas.
Untuk oklusi panjang dianjurkan operasi bedah pintas terbuka. Untuk oklusi pendek dapat
dipikirkan prosedur endovaskular. Pada keadaan sumbatan akut dapat dilakukan
tromboarterektomi. Dengan berbagai teknik bedah tersebut, vaskularisasi daerah distal dapat
diperbaiki, sehingga pengelolaan ulkus diharapkan lebih baik.
Metabolic control. Keadaan umum pasien harus diperhatikan dan diperbaiki. Konsentrasi
glukosa darah diusahakan agar selalu optimal. Umumnya diperlukan insulin untuk normalisasi
glukosa darah. Status nutrisi harus diperhatikan dan diperbaiki seperti konsentrasi albumin serum
dan kadar hemoglobin.
Educational control. Berkurangnya respon nyeri akibat neuropati pada akan menyebabkan
pasien mengabaikan tanda-tanda cedera. Perawatan kaki diabetes diperlukan untuk mengurangi
komplikasi kaki.
Pasien harus:
 Hindari berjalan tanpa alas kaki
 Jangan menggunakan sepatu yang sempit dengan ujung runcing.
 Periksa sepatu sebelum dipasang
 Ganti sepatu setiap hari jika bisa, untuk mendistribusikan tekanan secara berbeda
 Tidak memeriksa air mandi dengan kaki mereka
 Cuci kaki setiap hari dengan air dibawah 37 C dan keringkan dengan baik terutama
daerah antara jari kaki.
 Tidak menggunakan sabun wangi
 Tidak menggunakan pemanas jenis apapun atau hot-water bottle untuk menghangatkan
kaki.
 Jangan menggunakan bahan kimia apapun untuk menyingkirkan kalus. Hubungi tenaga
kesehatan.
 Jaga kelembaban kaki dengan krim tapi tidak dioleskan diantara jari kaki
 Potong kuku bentuk rata.
 Periksakan kaki secara regular pada tenaga kesehatan.

14
(a)

(b)

Gambar 9. Perawatan kaki penderita diabetes. Cara memotong kuku yang benar (a), cara
pemilihan sepatu yang tepat (b).
(Sumber : Casquerio J, et al Indian J Endocr Metab [serial online] 2012 [cited 2018 Feb 26];16, Suppl
S1:27-36)

PENCEGAHAN
Penyuluhan cara terjadinya kaki diabetes sangat penting, harus selalu dilakukan setiap saat.
Berbagai usaha pencegahan sesuai dengan tingkat risiko dengan melakukan pemeriksaan dini
setiap ada luka pada kaki secara mandiri ataupun ke dokter terdekat. International Working
Group on the Diabetic Foot (IWGDF) Guidance 2015 membuat klasifikasi dan jadwal skrining
pada penderita diabetes.34,35

15
Tabel 3. The IWGDF Risk Classification System 2015 and preventative screening frequency

Source : International Working Group on the Diabetic Foot (IWGDF) Guidance 2015

KESIMPULAN
Ulkus Kaki diabetes adalah komplikasi DM yang kronis yang menyebabkan tingginya
angka morbiditas dan mortalitas. Faktor penyebab Ulkus kaki diabetes terdiri dari banyak faktor
yang terlibat bersama, diantaranya adalah neuropati, vaskulopati, imunopati dan neuroartropati.
Pengelolaan faktor etiologi sangat penting untuk mendapatkan hasil yang baik. Tatalaksana ulkus
kaki diabetes mencakup Mechanical control-pressure control, Wound control, Microbiological
control-infection control, Vascular control, Metabolic control, Educational control. Diagnosis
dini dan penanganan tepat merupakan hal yang penting untuk mencegah amputasi dan menjaga
kualitas hidup penderita.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Singh S, Pai DR, Yuhhui C (2013) Diabetic Foot Ulcer – Diagnosis and Management. Clin
Res Foot Ankle 2013, 1: 120. doi: 10.4172/2329-910X.1000120
2. Pendsey SP. Understanding diabetic foot. International Journal of Diabetes in Developing
Countries. 2010;30(2):75-79. doi:10.4103/0973-3930.62596.
3. IDF Diabetes Atlas 8th edition 2017. Available from : http://www.diabetesatlas.org/
4. Alexiadou K, Doupis J. Management of Diabetic Foot Ulcers. Diabetes Therapy.
2012;3(1):4. doi:10.1007/s13300-012-0004-9.
5. Jupiter DC, Thorud JC, Buckley CJ, Shibuya N. The impact of foot ulceration and
amputation on mortality in diabetic patients. I: From ulceration to death, a systematic review.
Int Wound J. 2016;13(5):892–903.
6. Schaper NC, Van Netten JJ, Apelqvist J, Lipsky BA, Bakker K, International Working Group
on the Diabetic Foot. Prevention and management of foot problems in diabetes: a Summary
Guidance for Daily Practice 2015, based on the IWGDF Guidance Documents. Diabetes
Metab Res Rev. 2016;32 Suppl 1:7–15.
7. Martins-Mendes D, Monteiro-Soares M, Boyko EJ, Ribeiro M, Barata P, Lima J, et al. The
independent contribution of diabetic foot ulcer on lower extremity amputation and mortality
risk. J Diabetes Complications. 2014; 28(5):632–8.
8. Pengzi Zhang, Jing Lu, Yali Jing, Sunyinyan Tang, Dalong Zhu & Yan Bi (2016): Global
epidemiology of diabetic foot ulceration: a systematic review and meta-analysis, Annals of
Medicine, DOI: 10.1080/07853890.2016.1231932
9. David G. Armstrong, D.P.M., M.D., Ph.D., Andrew J.M. Boulton, M.D., and Sicco A. Bus,
Ph.D. N Engl J Med 2017; 376:2367-2375June 15, 2017DOI: 10.1056/NEJMra1615439
10. Diabetes atlas. 7th ed. Brussels: International Diabetes Federation, 2015 (http:// www
.diabetesatlas .org)
11. Pradana W, Suyono S, Sastrosuwigyo MK, Harahap AR, Sutrisna B, Makmun LH.
Prediction Of Wound Healing in Diabetic Foot Ulcers: an Observational Study in Tertiary
Hospital in Indonesia. Acta Med Indones 2017 Jan;49(1):41-51.

17
12. Hoke GD, Ramos C, Hoke NN, Crossland MC, Shawler LG, Boykin JV. Atypical Diabetic
Foot Ulcer Keratinocyte Protein Signaling Correlates with Impaired Wound Healing. Journal
of Diabetes Research. 2016;2016:1586927. doi:10.1155/2016/1586927.
13. Rebolledo, F.A.; Soto, J.M.T.; de la Pen, J.E. The pathogenesis of the diabetic foot ulcer:
Prevention and management. In Global Perspective on Diabetic Foot Ulceration; Available
online: http://www.intechopen.com/books/global-perspective-on-diabetic-foot-
ulcerations/the-pathogenesis-of-the-diabetic-foot-ulcer-prevention-and-management
(accessed on 20th October 2017).
14. Yagihashi S, Mizukami H, Sugimoto K. Mechanism of diabetic neuropathy: Where are we
now and where to go? Journal of Diabetes Investigation. 2011;2(1):18-32.
doi:10.1111/j.2040-1124.2010.00070.x.
15. Brownlee M. The Pathobiology of Diabetic Complications a unifying mechanism. Diabetes
2005 Jun; 54(6): 1615-1625. https://doi.org/10.2337/diabetes.54.6.1615
16. Clayton W, Elcasy TA .A Review of the Pathophysiology, Classification, and Treatment of
Foot Ulcers in Diabetic Patients. Clin Diabetes 27: 52-58. 2009.
17. Jude Rodrigues and Nivedita Mitta (2011). Diabetic Foot and Gangrene, Gangrene - Current
Concepts and Management Options, Dr. Alexander Vitin (Ed.), ISBN: 978-953-307-386-6,
InTech, Available from: http://www.intechopen.com/books/gangrene-current-concepts-and-
management-options/diabetic-foot-andgangrene
18. Basta G, Schmidt AM, De Caterina R. Advanced glycation end products and vascular
inflammation: implication for accelerated atherosclerosis in diabetes. J Cardiovascular
Research 63 (2004) 582-592.
19. Nerlich AG, Schleicher ED. N-Carboxymethyl lysine in atherosclerotic vascular lesions as a
marker for local oxidative stress. Atherosclerosis 1999:144:41-7.
20. Steine K, Larsen JR, Stugaard M, Berg TJ, Brekke M. LV Systolic impairment in patients
with asymptomatic coronary heart disease and type I diabetes is related to coronary
atherosclerosis, glycaemic control and advanced glycation endproducts. Eur J Heart Fall
2007:9:1044-50.
21. Kluci K, Nejima J, Takano T, Ohta M, Iashimoto. Increased serum concentrations of
advanced glycation end products a marker for coronary artery disease activity in type 2
diabetic patients. Heart 2001:85:87-91.

18
22. Mark E. Cooper, Fabrice Bonnet, Matthew Oldfield, Karin Jandeleit-Dahm; Mechanisms of
diabetic vasculopathy: an overview, American Journal of Hypertension, Volume 14, Issue 5,
1 May 2001, Pages 475–486, https://doi.org/10.1016/S0895-7061(00)01323-6
23. Inoguchi T, Battan R, Handler E, Sportsman JR, Heath W, King GL: Preferential elevation of
protein kinase c isoform beta II and diacylglycerol levels in the aorta and heart of diabetic
rats: differential reversibility to glycemic control by islet cell transplantation. Proc Natl Acad
Sci USA, 1992; 89:11059-11063.
24. Casqueiro J, Casqueiro J, Alves C. Infections in patients with diabetes mellitus: A review of
pathogenesis. Indian J Endocr Metab [serial online] 2012 [cited 2018 Feb 26];16, Suppl
S1:27-36. Available from: http://www.ijem.in/text.asp?2012/16/7/27/94253
25. Peleg AY, Weerarathna T, McCarthy JS, Davis TM. Common infections in diabetes:
Pathogenesis, management and relationship to glycaemic control. Diabetes Metab Res Rev
2007;23:3-13.
26. Hobizal KB, Wukich DK. Diabetic foot infections: current concept review. Diabetic Foot &
Ankle 2012;3:10.3402/dfa.v3i0.18409. doi:10.3402/dfa.v3i0.18409.
27. Wautier MP, Chappey O, Corda S. Activation of NADPH oxidase by AGE link oxidant
stress to altered gene expression via RAGE. Am J Physiol Endocrinol Metab
2001:280:E2685-94.
28. Clerici G., Faglia E.Diabetic Foot Ulcers. Dalam: Khanna A., Tiwary S. (eds) Ulkus dari
Ekstremitas Bawah. Springer, New Delhi. 2016. DOI:https://doi.org/10.1007/978-81-322-
2635-2_12.
29. Kaynak G et al. An overview of the Charcot foot pathophysiology. Diabetic Foot & Ankle
2013, 4:21117. Doi : http://dx.doi.org/10.3402/dfa.v4i0.21117.
30. Fryberg RG. Diabetic foot ulcus: Pathogenesis and Management. Am Fam Physician. Vol 66,
Number 9. 2002. P 1655-62.
31. Kartika RW. Pengelolaan Ganggren Kaki Diabetes. CDK-248/ vol. 44 no. 1 th. 2017.
32. Chuan F, Tang K, Jiang P, Zhou B, He X. Reliability and Validity of the Perfusion, Extent,
Depth, Infection and Sensation (PEDIS) Classification System and Score in Patients with
Diabetic Foot Ulcer. Santanelli, di Pompeo d’Illasi F, ed. PLoS ONE. 2015;10(4):e0124739.
doi:10.1371/journal.pone.0124739.

19
33. Waspaji S. Ulkus Kaki Diabetes. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi VI. Interna
Publishing 2014.
34. IDF Clinical Practice Recommendations on Diabetic Foot-2017.
35. Schaper, N. C., Van Netten, J. J., Apelqvist, J., Lipsky, B. A., Bakker, K., and on behalf of
the International Working Group on the Diabetic Foot (IWGDF) (2016) Prevention and
management of foot problems in diabetes: a Summary Guidance for Daily Practice 2015,
based on the IWGDF Guidance Documents. Diabetes Metab Res Rev, 32: 7–15. doi:
10.1002/dmrr.2695.

20

Anda mungkin juga menyukai