Anda di halaman 1dari 34

BAB II

DASAR TEORI

A. Konsep Dasar Penyakit

1. Pengertian

Cedera kepala adalah gangguan traumatik pada daerah kepala yang

menggangu fungsi otak dengan atau menyebabkan terputusnya

kontinuitas jaringan kepala yang biasanya disebabkan oleh trauma keras

(Sylvia A. Price, 1995).

Otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit dan tulang yang

mengelilingi. Tanpa perlindingan ini otak yang lembut mudah sekali

cedera dan mengalami kerusakan. Cedera kepala dapat mengakibatkan

malapetaka besar bagi individu, beberapa disebabkan oleh cedera dan

sebagian akibat sekunder dari cedera.

Pelindung lain yang melapisi otak adalah meningen. Ke tiga lapisan

meningen adalah duramater, arachnoid dan piamater. Masing masing

mempunyai fungsi tersendiri. Duramater adalah membran luar yang liat,

semitransluten dan tidak elastis. Fungsi duramater (1) Melindungi otak,

(2) Menutupi sinus sinus vena yang terdiri atas duramater dan lapisan

endothelial saja tanpa jaringan vaskuler, (3) Membentuk periosteum

tubula interna. Duramater berhubungan erat dengan permukaan dalam

tengkorak.Arachnoid adalah membran yang tidak melekat pada duramater

tetapi ruangan antara duramater dan arachnoid adalah ruangan subdural.

Subdural adalah ruangan yang potensial perdarahan. Antara duramater

7
dengan arachnoid (Ruang Subdural) menyebar dengan bebas hanya

dibatasi oleh sawar (barrier) dari falx cerebri dan tentorium. Vena vena

otak yang melewati ruangan ini hanya memiliki sedikit vena vena otak

yang melewati ruangan ini hanya memiliki sedikit penyangga oleh karena

mudah cedera dan robek oleh cedera kepala. Diantara arachnoid dan

piamater adalah ruangan sub arachnoid. Ruangan ini melebar dan

mendalam pada tempatnya dan mengalir sirkulasi cairan cerebro spinalis

pada sinus sagitalis superior dan transversal, membentuk tonjolan villus

yang bertindak sebagai lintas cairan serebro spinalis untuk mengalir ke

dalam system vena. Piamater adalah membran lunak sekali yang banyak

disuplai oleh pembuluh darah halus.

Berdasarkan patofisiologinya, cedera kepala dibagi :

a. Komosio serebri

Pada keadaan ini tidak ada jaringan otak yang rusak tetapi hanya

kehilangan fungsi otak sesaat berupa pingsan kurang dari 10 menit

atau amnesia pasca trauma

b. Kontusio serebri

Kerusakan jaringan otak dengan defisit neurologik yang timbul

setara dengan kerusakan otak tersebut, minimal pingsan lebih dari 10

menit dan atau lesi neurologik yang jelas

c. Laserasi otak

Kerusakan otak yang luas dan jaringan otak robek yang

umumnya disertai fraktur tengkorak terbuka.

8
Karena pembagian di atas sukar diterapkan di klinis terutama dalam

rangka triage maka lebih realistis bila pembagian berdasarkan tingkat

kesadaran meskipun terdapat beberapa kekurangan yaitu :

1. Cedera Kepala Berat (GCS : 3-8)

2. Cedera Kepala Sedang (GCS : 9-12)

3. Cedera Kepala Ringan (GCS : 13-15)

4. Perdarahan Intrakranial dengan GCS : Cedera Ringan/sedang

dianggap sebagai cedera kepala berat.

Pembagian cedera kepala lain adalah berdasarkan ICD IX ditambah

dengan cedera kepala otak dan fraktur tengkorak.

Klasifikasi yang banyak dipakai yang berdasarkan lokasi lesi :

a. Lesi difus

Kerusakan akibat proses cedera akselerasi / deselerasi yang merusak

sebagian besar akson di susunan saraf pusat akibat regangan.

b. Lesi akibat kerusakan vaskuler otak (vascular brain damage)

Disebabkan oleh lesi sekunder iskemis terutama akibat hipoperfusi

dan hipoksia yang dapat terjadi waktu dalam perjalanan ke RS atau

selama perawatan.

c. Lesi Fokal

1) Kontusio dan laserasi otak

Disebut kontusio bila pia-subarachnoid atau epidural di luar

pembuluh darah meningen atau cabang-cabang yang pecah.

9
Perdarahan intraduraldapat beruapa subarachnoid, intra cerebral

atau intraserebellum.

2. Etiologi

a. Kecelakaan lalu lintas

b. Kecelakaan rumah tangga

c. Kecelakaan kerja.

3. Patofisiogi

Dipandang dari sudut waktu dan berat ringannya cedera kepala yang

terjadi ; proses cedera kepala dibagi :

a. Proses primer : ini adalah kerusakan otak tahap pertama / awal

yang diakibatkan oleh benturan / proses mekanis yang membentur

kepala. Derajat kerusakan tergantung pada kekuatannya, benturan dan

arahnya, kondisi kepala yang bergerak / diam, percepatan dan

perlambatan gerak kepala. Proses primer mengakibatkan fraktur

tengkorak, perdarahan segera dalam rongga tengkorak / otak, robekan

dan regangan serabut saraf dan kematian langsung neuron pada daerah

yang terkena.

b. Proses sekunder : Merupakan tahap lanjutan dari kerusakan otak

primer dan timbul karena kerusakan primer membuka jalan untuk

kerusakan berantai karena berubahnya struktur anatomi maupun

fungsional dari otak misalnya meluasnya perdarahan, edema otak,

kerusakan neuron berlanjut, iskemia / global otak, kejang, hipertermia.

10
Mungkin juga kerusakan primer menyebabkan perubahan sistemik

seperti hipertensi atau hipotensi sistemik. Hal ini sangat penting adalah

bahwa jika klien masih hidup pada benturan pertama, proses sekunder

yang dapat menyebabkan kematian pada saat berikutnya.

Proses terjadinya trauma otak sekunder melalui beberapa proses :

1) Kerusakan otak berlanjut (Progressive Injury)

Yaitu terjadi kerusakan berlanjut yang progresif pada daerah otak

yang rusak dan sekitarnya melalui 3 proses :

a) Proses kerusakan biokimia yang menghancurkan sel

sel dan sitoskeletonnya yang dapat berakibat

(1) Edema sitotoksik karena kerusakan pompa natrium

terutama pada dendrit dan sel glia

(2) Kerusakan membran dan sitoskeleton karena kerusakan

pompa kalsium mengenai semua jenis sel

(3) Inhibisi dari sintesis protein intraseluler.

b) Kerusakan pada mikrosirkulasi seperti vasoparalysis

disfungsi membran kapiler disusul dengan edema vasogenik.

Pada mikrosirkulasi regional ini tampak jauh sludging dari sel

sel darah merah dan trombosit. Pada keadaan ini sawar darah

otak menjadi rusak.

c) Perluasan dari daerah hematoma dan perdarahan

petekhiae otak yang kemudian membekas akibat proses

kompresi local dari hematoma multi petekhiae. Ini

11
menyebabkan kompresi dan bendungan pada pembuluh di

sekitarnya yang pada akhirnya menyebabkan peninggian

tekanan intra kranial.

2) Cedera otak sekunder berlanjut (Delayed Secondary Brain Injury)

Penyebabnya adalah :

a) Intrakranial : Karena peningkatan tekanan intrakranial

secara berangsur angsur dimana suatu saat terjadi toleransi

maksimal dari otak sehingga perfusi otak tak cukup lagi untuk

mempertahankan integritas neuron disusul oleh hipoksia /

hipoksemia otak dengan kematian karena herniasi, kenaikan

tekanan intrakranial ini juga akibat hematoma berlanjut

(progresif), hematoma epidural, sebab intrakranial lain adalah

kejangkejang yang dapat menyebabkan asidosis dan

vasospasme / vasoparalisis karena oksigen tidak mencukupi.

b) Sistemik : Perubahan sistemik akan sangat

mempengaruhi tekanan intrakranial. Hipotensi dapat

menyebabkan penurunan tekanan perfusi otak berlanjut dengan

iskemia global. Penyebab gangguan sistemik ini disebut oleh

Dearden (1995) sebagai nine deadly HS yaitu : hipotensi,

hipokapnea, hiperglikemia, hiperkapnea, hiperpireksia,

hipoksemia, hipoglikemia, hiponatremi dan hipoproteinemia.

12
Dampak Cedera Kepala terhadap berbagai system tubuh antara lain :

d. Faktor pernafasan

Hipertensi setelah cedera kepala terjadi karena pengaruh

vasokonstriksi paru, hipertensi paru, dan edema paru. Hal ini

menyebabkan hiperkapnea dan bronkokonstriksi. Sensitifitas yang

meningkat pada mekanisme pernafasan terhadap karbondioksida dan

periode setelah hiperventilasi akan menyebabkan pernafasan cheyne

stokes.

e. Faktor kardiovaskuler

Cedera kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung yang

mencakup aktifitas atycikal myocardial, edema paru dan tekanan

vaskuler. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel / perubahan

gelombang T, gelombang P tinggi dan disritmia, vibrilasi atrium dan

ventrikel takikardia. Perubahan aktifitas miokardial mencakup

peningkatan frekuensi jantung dan menurunnya stroke work, CVP

abnormal. Dengan tidak adanya endogenous stimulus saraf simpatis

maka akan mempengaruhi penurunan kontraktilitas ventrikel. Hal ini

mengakibatkan terjadinya penurunan CO2 dan peningkatan atrium kiri

sehingga terjadi edema paru.

f. Faktor Gastrointestinal

Setelah Cedera Kepala, perlukaan dan perdarahan pada lambung

jarang ditemukan tetapi setelah 3 hari pasca cedera terdapat respon

13
yang besar dan merangsang aktifitas hipotalamus dan stimulus vagus

yang dapat menyebabkan langsung hiperacidikum. Hipotalamus

merangsang anterior hipofise untuk mengeluarkan steroid adrenal. Hal

ini merupakan kompensasi tubuh dalam mengeluarkan kortikosteroid

dalam menangani edema cerebral. Hiperacidicum terjadi karena adanya

peningkatan katekolamin dalam menangani stress yang mempengaruhi

produksi asam lambung.

g. Faktor Metabolisme

Cedera Kepala dapat mengakibatkan perubahan metabolisme

seperti pada traumatubuh lainnya, yaitu kecendrungan retensi sodium /

natrium dan air serta hilangnya hilangnya sejumlah nitrogen.

Cedera mengakibatkan pelepasan ADH sehingga terjadi retensi cairan

sehingga urine output sedikit dan meningkatnya konsentrasi elektrolit.

Retensi natrium disebabkan karena adanya rangsangan terhadap

hipotalamus yang dapat menyebabkan pelepasan ACTH dan sekresi

aldosteron. Ginjal mengambil peran dalam proses hemodinamik ginjal

untuk mengatasi retensi natrium. Kemudian natrium keluar bersama

urine, hal ini mempengaruhi hubungan natrium pada serum dan adanya

retensi Na+. Pada pasca cedera terjadi hiponatremia.

Hilangnya nitrogen yang berlebihan sama dengan respons metabolic

terhadap cedera, karena dengan adanya cedera tubuh maka diperlukan

energi untuk menangani perubahan seluruh system tetapi makanan yang

masuk kurang sehingga terjadi penghancuran protein otot sebagai

14
sumber nitrogen utama demikian pula respon hipotalamus terhadap

cedera, maka akan terjadi sekresi kortisol. Hormon pertumbuhan dan

produksi katekolamin dan prolaktin sehingga terjadi asidosis metabolic

karena adanya metabolisme anaerob glukosa.

4. Tanda Dan Gejala

a. Nyeri kepala

b. Mual, muntah

c. Keluar liquor dari telinga

d. Keluar darah dari hidung

e. Brill Hematoma

f. Kesadaran menurun

g. Pingsan

5. Pemeriksaan Diagnostik

a. Angiografi

b. CT Scan

c. X-Ray Tengkorak

d. EEG

e. GDA

f. Elektrolit.

15
6. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan klien cedera kepala ditentukan atas dasar beratnya

cedera, dan dilakukan menurut urutan prioritas. Yang ideal

penatalaksanaan tersebut dilaksanakan oleh tim yang terdiri dari perawat

yang terlatih dokter spesialis saraf dan bedah saraf, radiology,anastesi,

dan rehabilitasi medik.

Klien dengan cedera kepala harus dipantau terus dari tempat

kecelakaan, selama transportasi : di ruang gawat darurat, kamar radiology,

ruang perawatan atau ICU sebab sewaktu waktu bisa berubah akibat

aspirasi, hipotensi, kejang dan sebagainya.

Menurut prioritas tindakan pada cedera kepala ditentukan

berdasarkan beratnya cedera yang didasarkan atas kesadaran pada saat

diperiksa.

a. Klien dalam keadaan sadar (GCS : 15)

1) Cedera Kepala Simpleks

(Simple Head Injury)

Klien mengalami cedera kepala tanpa diikuti gangguan kesadaran,

amnesia maupun gejala serebral lainnya. Pada klien demikian

dilakukan perawatan luka, periksa radiologi hanya atas indikasi.

Kepada keluarga diminta untuk mengobservasi kesadaran.

2) Kesadaran terganggu sesaat

Klien mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah cedera

kepala dan saat diperiksa sudah sadar kembali, maka dilakukan

16
pemeriksaan foto kepala dan penatalaksanaan selanjutnya seperti

cedera kepala simpleks.

b. Klien dengan kesadaran menurun

1) Cedera Kepala Ringan / Minor

Head Injury (GCS : 13-15)

Kesadaran disoriented atau not obey command tanpa disertai

defisit fokal serebral. Setelah pemeriksaan fisik dilakukan

perawatan luka, dilakukan foto kepala. CT Scan kepala dilakukan

jika dicurigai adanya hematoma intrakranial, misalnya ada riwayat

interval lusid, pada follow up kesadaran semakin menurun atau

timbul lateralisasi, observasi kesadaran, pupil, gejala fokal

serebral di samping tanda tanda vital

2) Cedera Kepala Sedang (GCS :

9-12)

Klien dalam kategori ini bisa mengalami gangguan

kardiopulmoner oleh karena itu urutan tindakannya :

a) Periksa dan atasi

gangguan pada jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi.

b) Periksa kesadaran, pupil,

tanda fokal serebral dan cedera organ lain.

c) Foto kepala dan bila

perlu bagian tubuh lain

17
d) CT Scan bila dicurigai

adanya hematoma intrakranial.

3) Cedera Kepala Berat (GCS :

3-8)

Klien cedera kepala biasanya disertai oleh cedera multipel, oleh

karena itu di samping kelainan serebral juga bisa disertai kelainan

sistemik. Urutan tindakan menurut prioritas adalah :

a) Resusitasi Jantung Paru

(Air way, Breathing, Circulation)

b) Pemeriksaan fisik :

Setelah resusitasi ABC, pemeriksaan fisik kesadaran, pupil,

defisit fokal dan cedera ekstrakranial. Hasil pemeriksaan

adalah sebagai dasar follow up, penurunan dari salah satu

komponen di atas bisa diartikan timbulnya kerusakan sekunder

dan harus dicari penyebabnya dan diatasi.

c) Pemeriksaan Radiologi

rontgen kepala, leher dan CT Scan.

d) Pemeriksaan Tekanan

Intra Kranial meningkat.

18
Peningkatan Tekanan Intra Kranial terjadi akibat edema

serebri, vasodilatasi, hematoma intrakranial atau hidrosefalus.

Untuk mengatur turun naiknya tekanan intrakranial sebikny

dipasang monitor tekanan intrakranial. Tekanan Intra Kranial

di atas 20 mmHg harus diturunkan dengan urutan sebagai

berikut :

Hiperventilasi

Dilakukan hiperventilasi dengan ventilasi terkontrol

Drainage cairan

serebrospinal

Tindakan ini dilakukan bila hiperventilasi tidak berhasil

diturunkan untuk jangka pendek. Perlu dilakukan drainage

ventrikuler, sedangkan jangka panjang dipasang VP-Shunt

misalnya terjadi pada hidrosefalus

Terapi diuretik

Diuretik

osmotic (mannitol 20)

Loop

diuretic (furosemide)

Terapi Barbiturat

(Phenobarbital)

Terapi ini diberikan pada kasus yang tidak responsif

terhadap terapi di atas.

19
Cara pemberian : Bolus 10 mg / kg BB IV selama jam

dilanjutkan 2 3 mg / kg BB IV selama 3 jam, lalu 1 mg /

kg BB / jam setelah TIK terkontrol < 20 mmHg.

Kemudian diturunkan secara bertahap selama 3 hari.

Steroid

Berkhasiat mengurangi edema serebri pada tumor otak

tetapi pada cedera kepala belum terbukti

Posisi tidur

Klien cedera kepala posisi tidurnya bagian kepala

ditinggikan 20-30 dengan dada dan kepala pada satu

bidang. Jangan fleksi atau latero fleksi, supaya vena leher

tidak terjepit sehingga drainage vena otak menjadi lancar.

e) Keseimbangan cairan dan

elektrolit

Pada saat awal pemasukan cairan dikurangi untuk mencegah

bertambah edema serebri dengan jumlah cairan 1500-2000 cc /

hari diberikan secara parenteral. Sebaiknya diberikan cairan

koloid seperti NaCl 0,9 %, Ringer Laktat. Jangan diberikan

cairan yang mengandung glukosa karena akan menambah

edema otak.

f) Nutrisi

20
Pada Cedera Kepala Berat terjadi hipermetabolisme 2-2 kali

pada keadaan normal. Setelah 3-4 hari dengan cairan

parenteral, pemberian cairan nutrisi per oral melaui pipa

Nasogastrik bisa dimulai sebanyak 2000-3000 Kal / hari.

g) Epilepsi

Kejang pertama beri fenitoin 200 mg oral dilanjutkan 3-4 x

100 mg / hari. Pada status epileptikus diberikan diazepam 10

mg IV dapat diulang dalam 15 menit. Bila cenderung

berulang, berikan diazepam 50 100 mg / drip 500 cc NaCl

0.9 % dengan tetesan 40 mg / jam.

h) Neuro proteksi

Adanya tenggang waktu antara kejadian cedera dengan

timbulnya kerusakan jaringan saraf memberikan waktu untuk

memberikan neuro proteksi antara lain sitikolin, piracetam,

dan lain lain.

7. Komplikasi

a. Meningitis

b. Encephalitis

c. Epilepsi

d. Hidrosefalus

e. Cephalgia Post Trauma.

B. Asuhan Keperawatan

21
Dari seluruh dampak masalah di atas, maka diperlukan suatu asuhan

keperawatan yang komprehensif. Dengan demikian pola asuhan keperawatan

yang tepat adalah melalui proses perawatan yang dimulai dari pengkajian

yang diambil adalah merupakan respons klien, baik respon biopsikososial

maupun spiritual, kemudian ditetapkan suatu rencana tindakan perawatan

untuk menuntun tindakan perawatan. Dan untuk menilai keadaan klien,

diperlukan suatu evaluasi yang merujuk pada tujuan rencana perawatan klien

dengan cedera.

1. Pengkajian

Pengkajian merupakan dasar utama atau langkah awal dari proses

keperawatan secara keseluruhan. Pada tahap ini semua data dan informasi

tentang klien yang dibutuhkan dikumpulkan dan dianalisa untuk

menentukan diagnosa keperawatan. Tujuan dari pengkajian keperawatan

adalah pengumpulan data, mengelompokkan data dan menganalisa data,

sehingga ditemukan diagnosa keperawatan.

Adapun pengkajian pada klien dengan trauma kepala (Marlyn E.

Doenges. 2000) adalah :

a. Aktivitas / Istirahat

Data Subjektif : adanya kelemahan/kelelahan

Data Objektif : kesadaran menurun, lethargi/kelesuan, hemiparese,

hilang keseimbangan, adanya trauma tulang, kelemahan otot/spasme.

b. Peredaran Darah

22
Data Objektif : tekanan darah tinggi/hypertensi, denyut nadi

(brachialis, tachycardi, dysrhitmia).

c. Integritas Ego

Data subjektif : cemas

Data objektif : tampak bingung, mudah tersinggung

Data

d. Eliminasi

Data Subjektif : verbal tidak dapat menahan buang air kecil dan

buang air besar.

Data Objektif : incontinensia kandung kemih/usus atau mengalami

gangguan fungsi.

e. Makanan / Cairan

Data Subjektif : mual

Data Objektif : muntah yang memancar/proyektif, masalah

kesukaran menelan (batuk, air liur yang berlebihan, sukar makan).

f. Persyarafan

Subjektif : pusing, kejang, adanya kehilangan kesadaran,

masalah penglihatan, bunyi berdengung ditelinga.

Data Objektif : kesadaran menurun, coma, perubahan status

mental (perubahan orientasi, respon, pemecahan masalah), perubahan

penglihatan (respon terhadap cahaya, simetris/tidak), kehilangan

23
sensitifitas (bau, rasa, dengar), wajah tidak simetris, tidak ada repleks

tendon, hemiparise, adanya perdarahan mata, hidung, kejang.

g. Kenyamanan / Nyeri

Data Subjektif : nyeri kepala yang bervariasi tekanan dan

lokasinya.

Data Objektif : respon menarik diri terhadap rangsangan, wajah

mengerut, kelelahan, merintih.

h. Pernapasan

Data Objektif : perubahan pola napas (periode apnoe dengan

perubahan hyerventilasi), wheezing, stridor dan ronchi.

i. Keamanan

Data Subjektif : ada riwayat kecelakaan.

Data objektif : terdapat trauma/fraktur/dislokasi, perubahan

penglihatan, kulit (kepala/wajah mengalami luka, abrasi, warna),

keluar darah dari telinga dan hidung.

j. Konsep Diri

Data Subjektif : adanya perubahan tingkah laku.

Data Objektif : kecemasan, berdebar-debar, bingung, delirium,

interaksi sosial.

k. Interaksi Sosial

Data Objektif : afasis/disartria (gangguan mengartikan

pembicaraan orang lain).

2. Diagnosa Keperawatan

24
Diagnosa keperawatan adalah cara mengidentifikasi, memfokuskan

dan mengatasi kebutuhan spesifik klien serta respons terhadap masalah

aktual dan resiko tinggi (NANDA, 1990).

Diagnosa keperawatan pada klien dengan cedera kepala (Marilynn E.

Doenges, 2000) meliputi :

a. Potensial atau aktual tidak efektifnya jalan napas berhubungan dengan :

1. Gangguan/kerusakan pusat pernapasan dimedulla oblongata.

2. Adanya obstruksi trakeobronkial.

b. Potensial terjadinya peningkatan tekanan intrakranial berhubungan

dengan :

1. Adanya proses desak ruang akibat penumpukan cairan darah di

dalam otak.

2. Kelainan sirkulasi seroborbital.

3. Vasodilatasi pembuluh darah otak akibat asidosis metabolik.

c. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan

penurunan produksi anti diuretik hormon (ADH) akibat terinfeksinya

hipotalamus.

d. Aktual atau potensial terjadinya gangguan pemenuhan nutrisi kurang

dari kebutuhan berhubungan dengan :

1. Berkurangnya kemampuan menerima nutrisi akibat menurunnya

kesadaran.

2. Melemahnya otot-otot yang digunakan untuk mengunyah dan

menelan.

25
3. Hipermetabolik.

4. Perubahan kemampuan untuk mencerna makanan.

e. Perubahan mobilitas fisik berhubungan dengan :

1. Immobilisasi, aturan therafy untuk tirah baring.

2. Menurunnya kekuatan/kemampuan motorik.

f. Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan :

1. Menurunnya tingkat kesadaran (defisit neurologis)

2. Penurunan daya penangkapan sensoris.

g. Potensial terjadinya infeksi berhubungan dengan :

1. Masuknya kuman melalui jaringan atau kontinuitas yang rusak.

2. Kekurangan nutrisi.

h. Gangguan rasa nyaman (pada klien yang tingkat kesadarannya sudah

pulih, GCS = 15 ) nyeri kepala, pusing dan vertigo disebabkan karena

kerusakan jaringan otak dan perdarahan otak/peningkatan tekanan

intrakranial.

i. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan trauma atau deficit

neurologis.

j. Gangguan rasa aman, cemas dari keluarga berhubungan dengan

ketidakpastian terhadap pengobatan dan perawatan serta adanya

perubahan situasi krisis.

3. Perencanaan

Perencanaan adalah langkah awal dalam menentukan apa yang

dilakukan untuk membantu klien dalam memenuhi serta mengatasi

26
masalah keperawatan yang telah ditentukan. Tahap perencanaan

keperawatan adalah menentukan prioritas diagnosa keperawatan,

penetapan kriteria evaluasi dan merumuskan intervensi keperawatan.

Rencana tindakan keperawatan yang disusun pada klien dengan cedera

kepala (Marilynn E. Doenges, 2000) adalah sebagai berikut :

a. Diagnosa keperawatan pertama : potensial atau aktual tidak efektifnya

jalan napas berhubungan dengan gangguan/kerusakan pusat

pernapasan di medula oblongata.

1) Tujuan; jalan efektif.

2) Kriteria hasil pola napas dalam batas normal frekuensi 14 20

x/menit dan iramanya teratur, tidak ada stridor, ronchi dan

wheezing, gerakan dada simetris tidak ada retraksi, nilai AGD

normal, Ph 7,35 - 7,45, PaO2 80 - 100 mmHg, PaCO2 35 - 45

mmHg.

3) Intervensi;

a) Kaji kecepatan, kedalaman, frekuensi, irama dan bunyi napas.

Rasional : perubahan dapat menandakan awitan komplikasi

pulmonal atau menandakan luasnya keterlibatan otak.

b) Atur posisi klien dengan posisi semi fowler (15o 45o).

Rasional : untuk memudahkan ekspansi paru dan menurunkan

adanya kemungkinan lidah jatuh yang menyumbat jalan napas.

27
Lakukan penghisapan lendir dengan hati-hati selama 10-15

detik. Catat sifat, warna dan bau sekret. Lakukan bila tidak ada

retak pada tulang basal dan robekan dural.

Rasional : Penghisapan biasanya dibutuhkan jika klien koma

atau dalam keadaan imobilisasi dan tidak dapat memberikan

jalan napasnya sendiri.

c) Anjurkan klien latihan napas dalam apabila sudah sadar.

Rasional : Mencegah / menurunkan atelektasis

d) Lakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian

therafy.

Rasional : untuk mencegah terjadinya komplikasi

b. Diagnosa Keperawatan Kedua : Potensial terjadinya peningkatan

tekanan intrakranial berhubungan dengan adanya proses desak ruang

akibat penumpukan cairan darah di dalam otak.

1) Tujuan; Peningkatan tekanan intrakranial tidak terjadi.

2) Kriteria hasil; Tidak ada tanda-tanda peningkatan tekanan

intrakranial seperti tekanan darah meningkat, pupil melebar,

kesadaran tambah buruk, nilai GCS<15.

3) Intervensi;

a) Kaji status status neurologis yang berhubungan dengan

tanda-tanda TIK; terutama GCS.

Rasional : mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat

kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan bermanfaat

28
dalam menentukan lokasi, perluasan dan perkembangan

kerusakan SSP.

b) Monitor tanda-tanda vital setiap jam sampai keadaan klien

stabil.

Rasional : normalnya autoregulasi mempertahankan aliran

darah otak yang konstan pada sat ada fluktuasi tekanan darah

sistemik.

c) Naikkan kepala dengan sudut 15o-45o tanpa bantal dan

posisi netral.

Rasional : meningkatkan aliran balik vena dari kepala, sehingga

akan mengurangi kongesti dan edema.

d) Monitor asupan setiap delapan jam sekali.

Rasional : pembatasan cairan mungkin diperlukan untuk

menurunkan edema serebral.

e) Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat-

obatan anti edema seperti manitol, gliserol dan lasix.

Rasional : dapat digunakan pada fase akut untuk menurunkan

air dari sel otak, menurunkan edema otak dan TIK.

f) Berikan oksigen sesuai program terapy.

Rasional : menurunkan hipoksemia yang dapat meningkatkan

vasodilatasi dan volume darah serebral yang meningkatkan

TIK.

29
c. Diagnosa Keperawatan Ketiga : Gangguan keseimbangan cairan dan

elektrolit berhubungan dengan penurunan produksi anti diuretik

hormon (ADH) akibat terinfeksinya hipotalamus.

1) Tujuan; cairan elektrolit tubuh seimbang.

2) Kriteria hasil; asupan dan pengeluaran seimbang yaitu asupan

cairan selama 24 jam satu sampai dua liter dan pengeluaran urine

satu sampai dua cc/kgBB/jam, turgor kulit lain, nilai elektrolit

tubuh dalam batas normal.

3) Intervensi;

a) Monitor asupan tiap delapan jam sekali dan timbang berat

badan setiap hari bila dapat dilakukan.

Rasional : indikator langsung dari hidresi/perfusi organ dan

fungsi, memberikan pedoman untuk penggantian cairan.

b) Berikan cairan setiap hari tidak boleh lebih dari 2000 cc.

Rasional : mempertahankan volume sirkulasi dan

keseimbangan elektrolit.

c) Pasang dawer cateter dan monitor warna, bau dan aliran

urine.

Rasional : untuk memudahkan pengukuran pengeluaran.

d) Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian lasix.

Rasional : dapat digunakan pada fase akut untuk menurunkan

air dari sel otak, menurunkan udema otak dan TIK.

e) Kolaborasi dengan analis untuk pemeriksaan lab.

30
Rasional : menentukan kecukupan pernapasan, keseimbangan

asam basa dan kebutuhan akan terapi.

d. Diagnosa Keperawatan Keempat : aktual atau potensial terjadinya

gangguan pemenuhan nutrisi, kurang dari kebutuhan berhubungan

dengan berkurangnya kemampuan menerima nutrisi akibat

menurunnya kesadaran

1) Tujuan; kekurangan nutrisi tidak terjadi.

2) Kreteria hasil BB klien normal, tanda-tanda malnutrisi tidak ada,

Hb tidak kurang dari 10 gr%.

3) Intervensi;

a) Kaji kemampuan mengunyah, menelan, reflek batuk dan

pengeluaran sekret.

Rasional : kelemahan otot dan refleks yang hipoaktif /

hiperaktif dapat mengidentifikasikan kebutuhan akan metode

makan alternatif.

b) Auskultasi bising usus dan catat bila terjadi penurunan

bising usus.

Rasional : kelemahan otot dan hilangnya peristaltik usus

merupakan tanda bahwa fungsi defekasi hilang yang kemudian

berhubungan dengan kehilangan persyarafan parasimpatik usus

besar dengan tiba-tiba.

c) Timbang berat badan.

Rasional : mengkaji keefektifan aturan diet.

31
d) Berikan makanan dalam porsi sedikit tapi sering baik

melalui NGT maupun oral.

Rasional : dapat diberikan jika klien tidak mampu untuk

menelan.

e) Tinggikan kepala klien ketika makan dan buat posisi

miring dan netral setelah makan.

Rasional : latihan sedang membantu dalam mempertahankan

tonus otot / berat badan dan melawan depresi.

f) Lakukan kolaborasi dengan tim kesehatan untuk

pemeriksaan HB, Albumin, protein total dan globulin.

Rasional : pengobatan masalah dasar tidak terjadi tanpa

perbaikan status nutrisi.

e. Diagnosa Keperawatan Kelima : perubahan mobilitas fisik

berhubungan dengan immobilisasi, aturan therafy untuk tirah baring

1) Tujuan; mampu melakukan aktivitas fisik, tidak terjadi komplikasi

dekubitus dan kontraksi sendi.

2) Kriteria; klien mampu dan pulih kembali setelah pasca akut dan

gerak, mampu melakukan aktivitas ringan pada tahap rehabilitasi

sesuai dengan kemampuan.

3) Intervensi;

a) Kaji kemampuan mobilisasi.

Rasional : dapat mengidentifikasi tingkat ketergantungan klien.

32
b) Atur posisi klien dan ubahlah secara teratur tiap dua jam

sekali bila tidak ada kejang.

Rasional : perubahan posisi secara teratur dapat meningkatkan

dan mencegah adanya penekanan pada organ yang menonjol.

c) Bantu klien dalam gerakan-gerakan kecil secara pasif

apabila kesadaran menurun dan secara aktif bila klien

kooperatif.

Rasional : mempertahankan fungsi sendi dan mencegah

penurunan tonus otak.

d) Observasi/kaji kemampuan gerakan motorik,

keseimbangan, koordinasi gerakan dan tonus otot.

Rasional : mengidentifikasi kekuatan / kelemahan dan dapat

memberikan informasi mengenai pemulihan.

e) Lakukan massage, perawatan kulit dan jaga kebersihan alat

tenun.

Rasional : meningkatkan sirkulasi intensitas kulit dan integritas

kulit.

f) Berikan motivasi dan latihan pada klien dalam memenuhi

kebutuhan sesuai kebutuhan.

Rasional : meminimalkan atrofi otot, meningkatkan sirkulasi,

membantu mencegah kontraktur.

g) Lakukan kolaborasi dengan tim kesehatan lain

(fisioterafy).

33
Rasional : program yang khusus dapat dikembangkan untuk

menemukan kebutuhan yang berarti / menjaga kekurangan

tersebut dalam keseimbangan, koordinasi dan kekuatan.

f. Diagnosa Keperawatan Keenam : gangguan persepsi sensori

berhubungan dengan menurunnya tingkat kesadaran (defisit

neurologis).

1) Tujuan; mengembalikan persepsi sensoris/normal dan komplikasi

dapat dicegah atau seminimal mungkin tidak terjadi.

2) Kriteria hasil; tingkat kesadaran normal, fungsi alat-alat indra baik,

klien kooperatif kembali dan dapat berorientasi terhadap orang,

tempat dan waktu.

3) Intervensi;

a) Kaji respon sensoris terhadap raba/sentuhan, panas atau

dingin, tajam dan tumpul dan catat perubahan-perubahan yang

terjadi.

Rasional : informasi penting untuk keamanan klien

b) Kaji persepsi klien, beri umpan balik dan koreksi

kemampuan klien berorientasi terhadap orang, tempat dan

waktu.

Rasional : membantu klien untuk memisahkan pada realitas

dari perubahan persepsi.

c) Berikan stimulus yang berarti saat penurunan kesadaran

sampai kembalinya fungsi persepsi yang maksimal.

34
Rasional : pilihan masukan sensorik secara cermat bermanfaat

untuk menstimulasi klien koma dengan baik selama melatih

kembali fungsi kognitifnya.

d) Berbicaralah dengan klien tenang, lembut dan

menggunakan kalimat yang sederhana.

Rasional : menurunkan frustasi yang berhubungan dengan

perubahan kemampuan / pola respons yang memanjang.

e) Berikan pengamanan klien dengan pengamanan sisi tempat

tidur, bantu latihan jalan dan lindungi dari cedera.

Rasional : agitasi, gangguan pengambilan keputusan, gangguan

keseimbangan dan penurunan sensorik meningkatkan resiko

terjadinya trauma pada klien.

g. Diagnosa Keperawatan Ketujuh : potensial terjadinya infeksi

berhubungan dengan masuknya kuman melalui jaringan atau

kontinuitas yang rusak.

1) Tujuan; tidak terjadi infeksi baru.

2) Kriteria hasil; tidak terdapatnya tanda-tanda infeksi, pus di daerah

kulit yang rusak.

3) Intervensi;

a) Lakukan cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan

tindakan perawatan secara septik dan aseptik.

Rasional : cara pertama untuk menghindari terjadinya infeksi

nasokomial.

35
b) Monitor suhu tubuh dan penurunan kesadaran.

Rasional : dapat mengidentifikasikan perkembangan sepsis

yang selanjutnya memerlukan evaluasi atau tindakan dengan

segera.

c) Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian antibiotik.

Rasional : terapi profitaktik dapat digunakan pada klien yang

mengalami trauma untuk menurunkan resiko terjadinya infeksi

nasokomial.

h. Diagnosa Keperawatan Kedelapan : gangguan rasa nyaman, nyeri

kepala berhubungan dengan kerusakan jaringan otak dan perdarahan

otak / peningkatan TIK.

1) Tujuan; rasa nyaman terpenuhi

2) Kriteria hasil; klien tenang, tidak gelisah, nyeri kepala, pusing dan

vertigo hilang.

3) Intervensi;

a) Kaji mengenai lokasi, intensitas, penyebaran nyeri.

Rasional : nyeri merupakan pengalaman subjektif dan harus

dijelaskan oleh klien.

b) Ajarkan latihan tehnik relaksasi.

Rasional : pemikiran negatif dapat meningkatkan ketegangan

yang meningkatkan nyeri dan sakit kepala yang menimbulkan

keadaan yang lebih tidak dapat ditoleransi lagi.

36
c) Buat posisi kepala lebih tinggi.

Rasional : meningkatkan aliran balik vena dari kepala,

sehingga akan mengurangi kongesti dan edema atau resiko

terjadinya peningkatan TIK.

d) Kurangi stimulus yang tidak menyenangkan dari luar dan

lakukan massage daerah punggung, kaki, dll.

Rasional : dapat diidikasikan untuk menghilangkan nyeri dan

dapat berakibat negatif pada TIK tetapi harus digunakan

dengan hati-hati untuk mencegah gangguan pernapasan.

e) Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat

analgetik.

Rasional : untuk mengurangi rasa sakit atau nyeri.

i. Diagnosa Keperawatan Kesembilan : perubahan persepsi sensori

berhubungan dengan trauma atau defisit neurologis.

1) Tujuan; Kemampuan berfikir klien dapat kembali normal.

2) Kreteria; klien dapat menerima/berorientasi terhadap kenyataan,

klien mau berperan serta dalam latihan dan perawatan.

3) Intervensi;

a) Kaji kemampuan berfikir dengan menanyakan nama dan

orientasi terhadap lingkungan sekitar.

Rasional : fungsi serebral bagian atas biasanya terpengaruh

lebih dulu oleh adanya gangguan sirkulasi, oksigenasi.

37
b) Kaji perhatian dan cara klien mengalihkan perhatiannya

dan catat tingkat cemas.

Rasional : respons individu mungkin berubah-ubah namun

umumnya seperti emosi yang labil, frustasi, apatis dan muncul

tingkah laku impulsif selama proses penyembuhan dari trauma

kepala.

c) Berikan penjelasan pada keluarga/klien tentang perubahan

berfikir klien dan rencana keperawatan.

Rasional : membantu klien untuk memisahkan pada realitas

dari perubahan persepsi.

d) Ajarkan tehnik relaksasi, jangan berikan tantangan berfikir

keras dan beri aktivitas sesuai kemampuan.

Rasional : menurunkan frustasi yang berhubungan dengan

perubahan kemampuan pola respon yang menunjang

j. DiagnosaKeperawatan Kesepuluh : gangguan rasa aman, cemas dari

keluarga berhubungan dengan ketidakpastian terhadap pengobatan dan

perawatan serta adanya perubahan situasi krisis.

1) Tujuan; rasa aman keluarga terpenuhi.

2) Kriteria hasil; keluarga menyadari dan menerima musibah, mampu

mengekspresikan perasaan, mempunyai rasa optimis terhadap

kesembuhan klien.

3) Intervensi;

38
a) Kaji perasaan keluarga dan beri rasa empati serta

dengarkan seluruh keluhan.

Rasional : membuat kepercayaan dan menurunkan kesalahan

persepsi / salah interpretasi terhadap informasi.

b) Berikan penjelasan pada keluarga mengenai kondisi, luasnya

trauma, rencana perawatan dan prognosa secara akurat dan

memperhatikan kondisi dan situasi.

Rasional : dapat membantu memperbaiki beberapa perasaan

kontrol / kemandirian pada klien yang merasa tak berdaya

dalam menerima diagnosa dan pengobatan.

4. Pelaksanaan

Pelaksanaan keperawatan merupakan tahapan pemberian tindakan

keperawatan untuk mengatasi permasalahan penderita secara terarah dan

komprehnsif, berdasarkan rencana tindakan yang telah ditetapkan

sebelumnya. Perencanaan keperawatan dikembangkan untuk memenuhi

pengurangan nyeri, mencegah decubitus, mengurangi kerusakan sel,

membantu klien/keluarga untuk beradaptasi dengan penyakitnya.

5. Evaluasi

Evaluasi sesuai dengan tindakan yang dilakukan oleh perawat.

Evaluasi diharapkan pada setiap tindakan, masalah dapat teratasi

seluruhnya sesuai dengan tujuan, kriteria hasil dari waktu yang telah

ditentukan dalam rencana tindakan.

39
Apabila masalah masih teratasi sebagian, maka perawat harus

melanjutkan intervensi yang ada dan bila perlu ditambahkan intervensi

baru sesuai dengan kondisi klien. Sebaliknya jika telah teratasi seluruhnya

maka perawat harus memperhatikan kondisi klien yang ada.

40

Anda mungkin juga menyukai