Oleh:
Pembimbing:
Judul Kasus
Oleh:
Referat ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Neurologi RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya periode 4 Juni 2018 s.d 9
Juli 2018.
2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT karena atas rahmat
dan berkat-Nya Telaah Ilmiah yang berjudul “Gangguan Kesadaran pada CVD
Hemoragik” ini dapat diselesaikan tepat waktu. Telaah Ilmiah ini dibuat untuk
memenuhi salah satu syarat ujian kepaniteraan klinik senior di Bagian Neurologi
RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya. Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. H.A
Rachman Toyo, Sp. S (K) atas bimbingannya sehingga penulisan ini menjadi
lebih baik.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kekeliruan dalam
penulisan telaah ilmiah ini. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun
sangat penulis harapkan untuk penulisan yang lebih baik di masa yang akan
datang.
Penulis
3
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
4
3.2.8 Gejala Stroke Hemoragik ...................................................................... 42
3.2.9 Diagnosis Stroke Hemoragik ................................................................. 42
3.2.10 Tatalaksana Stroke Hemoragik ........................................................... 47
3.2.11 Prognosis Stroke Hemoragik ............................................................... 49
BAB IV ANALISIS KASUS ................................................................................ 52
5
BAB I
PENDAHULUAN
6
pembuluh darah otak dan hampir 70% kasus stroke hemoragik terjadi pada
penderita hipertensi.3 Sekitar 20-30% perdarahan akan bertambah dalam 24 jam
dan ini dapat diketahui dengan bertambah jeleknya keadaan umum penderita serta
gejala neurologis yang timbul. Insiden perdarahannya 8-15% dari semua stroke
yang terjadi di Amerika Serikat dan 20-30% di Jepang dan China. Diduga
insidennya bertambah karena usia manusia semakin bertambah, dimana risiko
terjadinya stroke lebih sering pada usia yang lebih tinggi.11
Penanganan koma atau penurunan kesadaran maupun stroke termasuk
perdarahan dan infark dalam Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) 2012
ialah 3B. Hal ini menunjukkan bahwa lulusan dokter harus mampu membuat
diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan pada keadaan gawat darurat
demi menyelamatkan nyawa atau mencegah keparahan dan/atau kecacatan pada
pasien. Lulusan dokter juga diharapkan mampu menentukan rujukan yang paling
tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu
menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan. Maka dari itu, laporan kasus ini
disusun agar bermanfaat bagi dokter yang sesuai dengan standar kompetensi.
7
BAB II
STATUS PASIEN
2.1 Identifikasi
Nama : Endang Siti Sulastri
Jenis kelamin : Perempuan
Usia : 50 tahun (7 Mei 1968)
Pekerjaan : IRT
Pendidikan : SLTA
Suku : Sumsel
Agama : Islam
Status : Kawin
Alamat : Desa Purwosari Kec. Tanjung Lago Kab. Banyuasin
MRS : 17 Juni 2018
No. RM : 1066639
8
ginjal tidak ada, riwayat trauma kepala tidak ada, dan riwayat stroke sebelumnya
tidak ada.
Penyakit ini diderita untuk pertama kalinya.
Status Psikiatrikus
Sikap : belum dapat dinilai Ekspresi Muka : belum dapat dinilai
Perhatian : belum dapat dinilai Kontak Psikik : belum dapat dinilai
Status Neurologikus
Kepala
Bentuk : normocephali Deformitas : tidak ada
Ukuran : normal Fraktur : tidak ada
Simetris : simetris Nyeri tekan : ada
Hematom : tidak ada Pembuluh darah : tidak ada pelebaran
Tumor : tidak ada Pulsasi : tidak ada pelebaran
Leher
Sikap : lurus Deformitas : tidak ada
Torticolis : tidak ada Tumor : tidak ada
Kaku kuduk : tidak ada Pembuluh darah : tidak ada pelebaran
9
Penciuman belum dapat dinilai belum dapat dinilai
10
- Besar 2mm 2mm
- Isokor/anisokor Isokor Isokor
- Midriasis/miosis tidak ada tidak ada
- Refleks cahaya
- Langsung Ada Ada
- Konsensuil Ada Ada
- Akomodasi Belum dapat dinilai Belum dapat dinilai
- Argyl robertson Belum dapat dinilai Belum dapat dinilai
Nervus Trigeminus
Kanan Kiri
Motorik
- Menggigit Belum dapat dinilai Belum dapat dinilai
- Trismus Belum dapat dinilai Belum dapat dinilai
- refleks kornea ada Ada
Sensorik
- dahi Belum dapat dinilai Belum dapat dinilai
- pipi Belum dapat dinilai Belum dapat dinilai
- dagu Belum dapat dinilai Belum dapat dinilai
Nervus Facialis
Kanan Kiri
Motorik
- mengerutkan dahi Belum dapat dinilai Belum dapat dinilai
- menutup mata Belum dapat dinilai Belum dapat dinilai
- menunjukkan gigi Belum dapat dinilai Belum dapat dinilai
- lipatan nasolabialis Lipatan nasolabialis kiri datar (dengan rangsang nyeri)
Bentuk muka
- istirahat Simetris Simetris
- berbicara/bersiul belum dapat dinilai belum dapat dinilai
Sensorik
2/3 depan lidah Belum dapat dinilai Belum dapat dinilai
Otonom
- salivasi Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
11
- lakrimasi Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
- chovstek’s sign Tidak ditemukan Tidak ditemukan
Nervus Statoacusticus
Kanan Kiri
Nervus Cochlearis
- suara bisikan belum dapat dinilai belum dapat dinilai
- detik arloji belum dapat dinilai belum dapat dinilai
- tes weber belum dapat dinilai belum dapat dinilai
- tes rinne belum dapat dinilai belum dapat dinilai
Nervus Vestibularis
- nistagmus belum dapat dinilai belum dapat dinilai
- vertigo belum dapat dinilai belum dapat dinilai
12
Disartria Belum dapat dinilai
MOTORIK
LENGAN Kanan Kiri
Gerakan lateralisasi ke kiri
Kekuatan lateralisasi ke kiri
Tonus normal normal
Refleks fisiologis
- Biceps normal meningkat
- Triceps normal meningkat
- Radius normal meningkat
- Ulna normal meningkat
Refleks patologis
- Hoffman Tromner tidak ada
Refleks fisiologis
- KPR normal meningkat
- APR normal meningkat
Refleks patologis
- Babinsky tidak ada ada
- Chaddock tidak ada tidak ada
13
- Oppenheim tidak ada tidak ada
- Gordon tidak ada tidak ada
- Schaeffer tidak ada tidak ada
- Rossolimo tidak ada tidak ada
- Mendel Bechterew tidak ada tidak ada
SENSORIK
Belum dapat dinilai
FUNGSI VEGETATIF
Miksi : terpasang kateter urin
Defekasi : tidak ada kelainan
14
KOLUMNA VERTEBRALIS
Kyphosis : tidak ada
Lordosis : tidak ada
Gibbus : tidak ada
Deformitas : tidak ada
Tumor : tidak ada
Meningocele : tidak ada
Hematoma : tidak ada
Nyeri ketok : tidak ada
15
GERAKAN ABNORMAL
Tremor : tidak ada
Chorea : tidak ada
Athetosis : tidak ada
Ballismus : tidak ada
Dystoni : tidak ada
Myocloni : tidak ada
FUNGSI LUHUR
Afasia motorik : belum dapat dinilai
Afasia sensorik : belum dapat dinilai
Apraksia : belum dapat dinilai
Agrafia : belum dapat dinilai
Alexia : belum dapat dinilai
Afasia nominal : belum dapat dinilai
Rangkuman
Status Generalis
Sensorium: E2M5V2
Blood Pressure: 190/100
Pulse Rate: 96x/m
Respiratory Rate: 22x/m
SpO2: 95%
Temperature: 36,70
Status neurologis
N. III: pupil bulat, isokor, reflex cahaya +/+, diameter 2mm/2mm
N. III, IV, VI: kedudukan bola mata di tengah, deviasi konjugae (–)
N. VII: plica nasolabialis sinistra datar (dengan rangsang nyeri)
N. XII: deviasi lidah bdd, disartria bdd
16
Fungsi motorik LKa LKi TKa TKi
Gerakan Lateralisasi ke kiri
Kekuatan Lateralisasi ke kiri
Tonus N N
Klonus - -
R. fisiologis N N
R. patologis - - - B+
Siriraj Score:
= (2.5 x Kesadaran) + (2 x Nyeri kepala) + (2 x Muntah) + (0,1 x diastolik)
– (3 x faktor ateroma) – 12
= (2,5 x 1) + (2 x 1) + (2 x 1 ) + (0,1 x 100) – (3x1) -12
= 2,5+2+2+10-3-12
=1,5 (Nilai >1, interpretasi: hemoragik)
17
- PACI dd/TACI
Etiologi:
– Susp CVD Hemoragik dd/Susp CVD Non hemoragik
18
- Rontgen Thorax (17 Juni 2018 Pukul 02.40)
Kardiomegali
19
o Diff Count : 0/0/0/85/11/4
o Trombosit : 220.000/mm3
o Hematokrit : 51 vol%
o BSS : 189 mg/dL
o Ureum : 51 mg/dl
o Kreatinin : 1,20 mg/dl
o Natrium : 153 mmol/l
o Kalium : 3,4 mmol/l
2.6 Terapi
Non Farmakologis:
o Follow up GCS + TTV
o Head up 30o
o O2 10-12 L/m NRM
o Diet cair via NGT 1800 kal
o Konsul ke bagian bedah
Farmakologis:
o IVFD NaCl 0,9% gtt xx/m
o Inj. Citicolin 500mg per 12 jam IV
o Inj. Omeprazole 40mg per 24 jam IV
o Inj. Asam traneksamat 3 x 500 mg IV
o Neurodex 1 tab per 24 jam PO
o Manitol 4x125cc IV
o Paracetamol 500mg per 8 jam PO
o Drip nikardipin 2 amp (20 mg) dalam NaCl 0,9% 100 ml (dosis 0,5 –
6 mcq/kgBB/menit) (titrasi)
20
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
21
kesadaran ini ditandai oleh mudahnya penderita dibangunkan, mampu
memberi jawaban verbal dan menangkis rangsang nyeri.
c. Sopor atau stupor berarti kantuk yang dalam. Penderita masih dapat
dibangunkan dengan rangsang yang kuat, namun kesadarannya segera
menurun lagi. Ia masih dapat mengikuti suruhan yang singkat, dan masih
terlihat gerakan spontan. Dengan rangsang nyeri penderita tidak dapat
dibangunkan sempurna. Reaksi terhadap perintah tidak konsisten dan samar.
Tidak dapat diperoleh jawaban verbal dari penderita. Gerak motorik untuk
menangkis rangsang nyeri masih baik.
d. Koma ringan (semi-koma). Pada keadaan ini tidak ada respon terhadap
rangsang verbal. Reflex (kornea, pupil dan lain sebagainya) masih baik.
Gerakan terutama timbul sebagai respons terhadap rangsang nyeri tidak
terorganisasi, merupakan jawaban “primitif”. Penderita sama sekali tidak
dapat dibangunkan.
e. Koma (dalam atau komplit). Tidak ada gerakan spontan tidak ada jawaban
sama sekali terhadap rangsang nyeri yang bagaimanapun kuatnya.
f. Delirium adalah suatu keadaan mental abnormal yang dicirikan oleh adanya
disorientasi, ketakutan, iritabilitas, salah persepsi terhadap stimulasi
sensorik, dan sering kali disertai dengan halusinasi visual. Tingkah laku
yang demikian biasanya menempatkan penderita di alam yang tak
berhubungan dengan lingkungannya, bahkan kadang penderita sulit
mengenali dirinya sendiri. Keadaan ini dapat juga diselingi oleh suatu lucid
interval. Biasanya delirium menimbulkan delusi seperti alam mimpi yang
kompleks sistematis serta berlanjut sehingga tak ada kontak sama sekali
dengan lingkungannya serta secara psikologis. Penderita umumnya menjadi
banyak bicara, bicaranya keras, menyerang, curiga, dan agitatif. Keadaan ini
timbulnya cepat dan jarang berlangsung lebih dari 4-7 hari namun salah
persepsi dan halusinasinya dapat berlangsung sampai berminggu-minggu
terutama pada penderita alkoholik atau penderita yang berkaitan dengan
penyakit vaskuler kolagen. Keadaan delinum biasanya tampil pada
gangguan-gangguan toksik dan metabolik susunan saraf seperti keracunan
atropin yang akut, sindroma putus obat (alkohol-barbiturat), porfiria akut,
22
uremia, gagal hati akut, ensefalitis, penyakit vaskuler kolagen. Bentuk status
epileptikus yang melibatkan sistem limbik sering kali juga menimbulkan
sindrom yang sulit dibedakan dengan keadaan delirium ini.
23
Skala AVPU adalah cara mudah dan cepat untuk menilai tingkat kesadaran.
Pemeriksaan ini ideal sebagai penilaian awal dan cepat, yaitu terdiri dari:2
Alert
Respon terhadap suara
Respon terhadap nyeri
Penurunan kesadaran
AVPU termasuk ke dalam beberapa sistem skor peringatan dini untuk pasien –
pasien kritis, sebagai cara yang lebih sederhana dibanding dengan GCS, tetapi
tidak cocok untuk observasi jangka panjang2.
24
b) E : Ensefalitis
Dengan tetap mempertimbangkan adanya infeksi sistemik / sepsis yang
mungkin melatarbelakanginya atau muncul secara bersamaan.
c) M : Metabolik
Misalnya hiperglikemia, hipoglikemia, hipoksia, uremia, koma hepatikum
d) E : Elektrolit
Misalnya diare dan muntah yang berlebihan.
e) N : Neoplasma
Tumor otak baik primer maupun metastasis
f) I : Intoksikasi
Intoksikasi berbagai macam obat maupun bahan kimia dapat menyebabkan
penurunan kesadaran
g) T : Trauma
Terutama trauma kapitis : komusio, kontusio, perdarahan epidural, perdarahan
subdural, dapat pula trauma abdomen dan dada.
h) E : Epilepsi
Pasca serangan Grand Mall atau pada status epileptikus dapat menyebabkan
penurunan kesadaran.8
25
otak, dibagia menjadi ascending (yang menerima impuls/rangsangan) dan
descending (yang memberi respon terhadap impuls/rangsangan yang diberikan).
Area yang mengatur ARAS (ascending) adalah formation reticularis,
mesencephalon, thalamic intralaminar nucleus, dorsal hipotalamus, dan
tegmentum. Pada DRAS (descending), impuls diteruskan ke saraf-saraf perifer
yang berakhir pada motor end plate dan cerebellum. Neurotransmitter yang
berperan dalam jalur RAS adalah kolinergik dan adrenergik, kadang GABA juga
berperan dalam rangsangan nyeri yang diberikan untuk menilai kesadaran
seseorang.
26
- Epilepsi
b) Gangguan kesadaran tanpa disertai kelainan fokal tapi disertai kaku kuduk
- Perdarahan subarakhnoid
- Radang selaput otak (meningitis)
- Radang selaput otak dan jaringan otak (meningoencefalitis)
c) Gangguan kesadaran dengan kelainan fokal
- Tumor otak
- Perdarahan otak
- Infark otak
- Abses otak
27
kelemahan motorik, berkurangnya enciuman, perubahan penglihatan, sulit
menelan, gangguan pendengaran, gangguan melangkah atau keseimbangan,
tremor.
- Pemakaian obat-obatan atau alkohol.
- Riwayat penyakit jantung, paru-paru, liver, ginjal, atau yang lainnya
28
e) Leher: perhatikan kaku kuduk dan jangan manipulasi bila dicurigai fraktur
servikal (jejas, kelumpuhan 4 ekstremitas, trauma di daerah muka).
f) Toraks/abdomen dan ekstremitas: perhatikan ada tidaknya fraktur.
29
d) Refleks okulovestibuler/okulosefalik (dolls eye manuevre)
Pergerakan bola mata untuk melirik dan memfokuskan pandangan diatur
oleh nervus okulomotorius. Nuclei nervus oculomotor mendapat impuls aferen
dari cortical, tectal, dan tegmental sistem oculomotor, serta impuls langsung dari
sistem vestibular dan vestibule cerebellum. Reflex okulovestibuler diperiksa
dengan menolehkan kepala pasien, namun harus hati-hati pada pasien trauma
yang dicurigai adanya fraktur atau dislokasi dari tulang cervical. Selain dengan
menolehkan kepala pasien, dapat juga tes kalori. Respon normal dari gerakan
yang menimbulkan impuls pada vestibular menuju sistem okulomotor dan
membuat mata berputar berlawanan arah dengan gerakan yang diberikan
pemeriksa. Pada pasien sadar, refleks memfokuskan pandangan menutupi reflex
tesebut, sehingga pemeriksaan doll’s eye tidak dilakukan pada pasien sadar,
namun pada pasien dengan penurunan kesadaran.
Refleks okuloauditorik, bila dirangsang suara keras penderita akan
menutup mata maka gangguan di pons. Sedangkan pada refleks okulovestibular
bila meatus autikus eksteernus dirangsang air hangat akan timbul nistagmus ke
arah rangsangan maka gangguan di pons.
Pemeriksaan pupil berupa:
- Lesi di hemisfer →kedua mata melihat ke samping ke arah hemisfer yang
terganggu.Besar dan bentuk pupil normal. Refleks cahaya positif normal
- Lesi di talamus→kedua mata melihat ke hidung (medial bawah), pupil kecil,
reflekscahaya negatif.
- lesi di pons →kedua mata di tengah, gerakan bola mata tidak ada, pupil kecil,
reflekscahaya positif, kadang terdapat ocular bobing.
- lesi di serebellum→kedua mata ditengah, besar, bentuk pupil normal, refleks
cahaya positif normal
- gangguan N oculomotorius→pupil anisokor, refleks cahaya negatif pada
pupil yanglebar, ptosis
e) Pemeriksaan rangsang meningeal
f) Fungsi motorik
Perhatikan adanya gerakan pasien, apakah asimetrik (ada paresis). Gerak
mioklonik dapat dijumpai pada ensefalopati metabolik (mininya pada gagal hepar,
30
uremta. htpoksia). demikian juga gerak astcriksis. Kejang miofokal dapat
dijumpai pada gangguan metaboik. Sikap dekortikasi (lengan dalam keadaan
fleksi dan aduksi. Sedangkan tungkai dalam keadaan okstensi) menandakan lesi
yang dalam pada hemisfer atau tepat di alas mesensefalon. Sikap deserebrasl
(lengan dalam keadaan ekstensi, aduksi dan endorotasl, sedangkan tungkai dalam
sikap ekstensi) dapat dijumpai pada lesi batang otak bagian atas di antara nukleus
ruber dan nukleus vestibular.
31
yaitu dengan mengekstensinya kepala samapi menyentuh atlanto-occipital joint
bersamaan dengan menarik mandibula ke depan. Manuver ini dapat memperlebar
jarak antara lidah dan dinding faring sekitar 25%. Manuver ini tidak boleh
dilakukan pada kecurigaan adanya fraj=ktur atau lesi pada daerah cervical.
Pemasangan oropharingeal tube dapat juga dilakukan untuk menjaga
patensi jalan napas pada pasien dengan penurunan kesadaran. Oral airway device
dapat digunakan untuk mencegah tergigitnya lidah pada pasien dengan penurunan
kesadaran disertai kejang. Sedangkan nasal airway juga dapat digunakan dengan
menempatkan selang oksigen ke lubang hidung maupun nasofaring. Nasal airway
dapat digunakan pada pasien dengan kecurigaan adanya lesi pada cervical dan
kontraindikasi untuk dilakukan maneuver jaw lift maupun head-tilt.
Tindakan intubasi merupakan indikasi untuk jalan napas tetap terjaga
dengan baik pada pasien dengan penurunan kesadaran dan gangguan fungsi
bulber. Pasien dengan GCS yang rendah memiliki risiko yang lebih tinggi untuk
mengalami gangguan pernafasan walaupun masalah utamanya bukan pada sistem
pernafasan. Pasien dengan nilai GCS 8 harus dilakukan tindakan intubasi.
b) Pernafasan2
Pada pasien dengan penurunan kesadaran perlu diperhatikan frekuensi
pernafasan dan pola pernafasan. Frekuansi pernafasan normal adalah 16-24 kali
permenit dengan pola nafas torakoabdominal. Pada psien dengan gangguan
pernafasan seringkali disertai retraksi otot-otot ekstrapulmonal, seperti rektarksi
suprasternal, retraksi supraklavikula, dan retraksi otot abdominal. Suara nafas
tambahan juga perlu diperhatikan pada pasien dengan penurunan kesadaran.
Suplai oksigen binasal dapat diberikan sesuai dengan oksigenasinya. Pada
keadaan tertentu seperti kecurigaan adanya penyakit paru yang berat dapat
siperiksa analisis gas darah dan digunakan ventilator bila terdapat kondisi gagal
nafas.
3) Sirkulasi2
Pada pasien dengan penurunan kesadaran, untuk monitor dan evaluasi
kondisi sirkulasi sebaiknya dipasang kateterisasi vena sentral untuk memudahkan
dalam monitoring cairan dan pemberian nutrisi. Selain itu pula optimalkan
tekanan darah dengan target Mean Arterial Pressure di atas 70mmHg. Pada
32
kondisi hipovolemia berikan cairan kristaloid isotonik seperti cairan NaCl
fisiologis dan ringer laktat. Kita harus menghindari pemberian cairan hipotonik
seperti cairan glukosa maupun dektrosa terutama pada kasus stroke kecuali
penyebab penurunan kesadarannya adalah kondisi hipoglikemi. Bila cairan infus
sudah diberikan tetapi MAP belum mencapoai target, maka diusahakan untuk
pemberian obat-obatan vasopresor seperti dopamine dan epinefrin/norepinefrin.
33
Di Amerika Serikat, stroke menempati urutan ketiga penyebab kematian
setelah penyakit jantung dan kanker. Di Indonesia, data nasional epidemiologi
stroke belum ada. Tetapi dari data sporadis di rumah sakit terlihat adanya tren
kenaikan angka morbiditas stroke yang seiring dengan makin panjangnya life
expentancy dan gaya hidup yang berubah. Mortalitas pasien stroke di RSUP Dr
Sardjito Yogyakarta menduduki peringkat ketiga setelah penyakit jantung koroner
dan kanker, 51,58% akibat stroke hemoragik, 47,37% akibat stroke iskemik, dan
1,05% akibat perdarahan subaraknoid.3,4
Karakteristik demografik yang umum dianalisa untuk stroke adalah usia dan
gender. Dari berbagai studi yang dilakukan di berbagai belahan dunia, terlihat hal
yang sama, yaitu adanya korelasi antara peningkatan kejadian stroke dengan
pertambahan umur. Untuk gender, kejadian stroke lebih sering pada pria
dibandingkan wanita di usia kuang dari 60 tahun dan relatif menjadi hampir sama
di usia lebih dari 60 tahun. Pada 1053 kasus stroke di 5 rumah sakit di
Yogyakarta, angka kematian tercatat sebesar 28.3%; sedangkan pada 780 kasus
stroke iskemik adalah 20,4%, lebih banyak pada laki-laki.3,4
Penelitian prospektif tahun 1996/1997 mendapatkan 2.065 pasien stroke dari
28 rumah sakit di Indonesia. Survei Departemen Kesehatan RI pada 987.205
subjek dari 258.366 rumah tangga di 33 propinsi mendapatkan bahwa stroke
merupakan penyebab kematian utama pada usia > 45 tahun (15,4% dari seluruh
kematian). Prevalensi stroke rata-rata adalah 0,8%, tertinggi 1,66% di Nangroe
Aceh Darussalam dan terendah 0,38% di Papua. Terdapat peningkatan insidensi
stroke per tahun, khususnya pada RSUP Dr. Sardjito dari tahun 2004-2009 (tabel
2).4
34
Faktor risiko tertinggi terhadap kejadian penyakit kardiovaskular di negara
berkembang adalah tekanan darah tinggi, kolesterol tinggi, penggunaan tembakau
dan alkohol, dan rendahnya konsumsi buah dan sayur.5
Tabel 3.2.3 Faktor-faktor risiko modifiable dan non-modifiable4
35
Bamford (1992), mengajukan klasifikasi klinis saja yang dapat dijadikan
pegangan, yaitu:
A. Total Anterior Circulation Infarct (TACI)
Gambaran klinik :
Hemiparesis dengan atau tanpa gangguan sensorik (kontralateral sisi lesi)
Hemianopia (kontralateral sisi lesi)
Gangguan fungsi luhur : missal, disfasia, gangguan visuo spasial,
hemineglect, agnosia, apraxia.
Infark tipe TACI ini penyebabnya adalah emboli kardiak atau trombus arteri
ke arteri, maka dengan segera pada penderita ini dilakukan pemeriksaan
fungsi kardiak (anamnesia penyakit jantung, EKG,foto thorax) dan jika
pemeriksan kearah emboli arteri ke arteri mendapatkan hasil normal (dengan
bruit leher negatif, dupleks karotis normal), maka dipertimbangkan untuk
pemeriksaan ekhokardiografi.
B. Partial Anterior Circulation Infarct (PACI)
Gejala lebih terbatas pada daerah yang lebih kecil dari sirkulasi serebral
pada sistem karotis, yaitu:
1. Defisit motorik/sensirik dan hemianopia.
2. Defisit motorik/ sensorik disertai gejala fungsi luhur
3. Gejala fungsi luhur dan hemianopia
4. Defisit motorik/sensorik murni yang kurang extensif dibanding infark
lakunar (hanya monoparesis- monosensorik),
5. Gangguan fungsi luhur saja.
Gambaran klinis PACI terbatas secara anatomik pada daerah tertentu dan
percabangan arteri serebri media bagian kortikal, atau pada percabangan
arteri serebri media pada penderita dengan kolateral kompensasi yang baik
atau pada arteri serebri anterior. Pada keadaan ini kemungkinan embolisasi
sistematik dari jantung menjadi penyebab stroke terbesar dan pemeriksaan
tambahan dilakukan seperti pada TACI.
C. Lacunar Infarct (LACI)
36
Disebabkan oleh infark pada arteri kecil dalam otak (small deep infarct)
yang lebih sensitif dilihat dengan MRI dari pada CT scan otak.
Tanda-tanda klinis :
1) Tidak ada defisit visual
2) Tidak ada gangguan fungsi luhur
3) Tidak ada gangguan fungsi batang otak
4) Defisit maksimum pada satu cabang arteri kecil
5) Gejala :
Pure motor stroke (PMS)
Pure sensory stroke (PSS)
Ataksik hemiparesis (termasuk ataksia dan paresis unilateral,
dysarthria-hand syndrome)
Jenis infark ini bukan disebabkan karena proses emboli karena biasanya
pemeriksaan jantung dan arteri besar normal, sehingga tidak diperlukan
pemeriksaan khusus untuk mencari emboli kardiak.
37
Diagnosis stroke dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Defisit neurologis yang terjadi secara tiba-tiba, saat aktifitas/istirahat,
kesadaran baik/terganggu, nyeri kepala/tidak, muntah/tidak, kejang/tidak,
kelemahan sesisi tubuh/ tidak, gangguan sensibilitas/tidak, afasia/tidak,
riwayat hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung (faktor risiko stroke
lainnya), lamanya (onset), serangan pertama/ulang.
2. Pemeriksaan Fisik
Status generalis : kesadaran (Glasgow Coma Scale), vital sign (TD, Nadi,
RR, Temperatur) dan pemeriksaan umum lainnya
Status neurologis : ditemukan adanya defisit neurologis pada salah satu atau
lebih dari pemeriksaan berikut ini: pemeriksaan saraf-saraf kranialis, fungsi
motorik, sensorik, luhur, vegetatif, gejala rangsang meningeal, gerakan
abnormal, gait dan keseimbangan. Penentuan stroke dapat dilakukan dengan
menggunakan Skor Stroke Siriraj dan Algoritma Gajah Mada (tabel 2 dan
tabel 2).
Tabel 2. Skor Stroke Siriraj
38
Tabel 2 Algoritma Gajah Mada
3. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium : darah perifer lengkap, faal hemostasis (PT, APTT,
Fibrinogen, INR, D-dimer), BSS, fungsi ginjal ( Ureum, Kreatinin,
Asam urat),fungsi jantung (CK-NAK, CK-MB), fungsi hati ( SGOT,
SGPT), Profil lipid (Kolesteroltotal,LDL,HDL,Trigliserida),
elektrolit, analisa gas darah (AHA/AS, Class I, Level of evidence B)
EKG (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B)
Rontgen Thorak (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B)
CT SCAN kepala tanpa kontras sebagai golden standar (AHA/ASA,
Class II, Level of evidence A)
MRI kepala (AHA/ASA, Class II, Level of evidence A)
MRA (AHA/ASA, Class I, Level of evidence A)
CT Angiografi (AHA/ASA, Class II, Level of evidence A)
Pungsi lumbal
39
Echocardiography ( TTE dan atau TEE) (AHA/ASA, Class III,
Level of evidence B)
Carotid Doppler (USG Carotis)
Transcranial Doppler /TCD (AHA/ASA, Class II, Level of evidence
A)
Diagnosis banding:
1. Ensefalopati toksik atau metabolik
2. Kelainan non neurologis / fungsional ( contoh : kelainan jiwa)
3. Bangkitan epilepsi yang disertai paresis Todd’s
4. Migren hemiplegic
5. Lesi struktural intracranial (hematoma subdural, tumor otak, AVM)
6. Infeksi ensefalitis, abses otak
7. Trauma kepala
8. Ensefalopati hipertensif
9. Sklerosis multiple
40
3.2.7 Patogenesis Stroke Hemoragik
Perdarahan intraserebral terjadi dalam 3 fase, yaitu fase initial
hemorrhage, hematoma expansion dan peri-hematoma edema. Fase initial
hemmorhage terjadi akibat rupturnya arteri serebral. hipertensi kronis, akan
menyebabkan perubahan patologi dari dinding pembuluh darah. Perubahan
patologis dari dinding pembuluh darah tersebut dapat berupa hipohialinosis,
nekrosis fibrin serta timbulnya aneurisma tipe Bouchard. Kenaikan tekanan darah
dalam jumlah yang mencolok dan meningkatnya denyut jantung, dapat
menginduksi pecahnya aneurisma, sehingga dapat terjadi perdarahan. Perdarahan
ini akan menjadi awal dari timbulnya gejala-gejala klinis (fase hematoma
expansion). 1,2,12 Pada fase hematoma expansion, gejala-gejala klinis mulai timbul
seperti peningkatan tekanan intracranial. Meningkatnya tekanan intracranial akan
mengganggu integritas jaringan-jaringan otak dan blood brain-barrier.
Perdarahan intraserebral lama kelamaan akan menyebabkan terjadinya inflamasi
sekunder dan terbentuknya edema serebri (fase peri-hematoma edema). Pada fase
ini defisit neurologis, yang mulai tampak pada fase hematoma expansion, akan
terus berkembang. Kerusakan pada parenkim otak, akibat volume perdarahan
yang relatif banyak akan mengakibatkan peninggian tekanan intracranial dan
menyebabkan menurunnya tekanan perfusi otak serta terganggunya drainase otak.
Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar serta kaskade iskemik akibat
menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan neuron-neuron di daerah yang terkena
darah dan sekitarnya menjadi lebih tertekan dan defisit neurologis pun akan
semakin berkembang.
Ukuran perdarahan akan berperan penting dalam menentukan prognosis.
Perdarahan yang kecil ukurannya akan menyebabkan massa darah menerobos atau
menyela di antara selaput akson massa putih “dissecan splitting” tanpa
merusaknya. Dalam keadaan ini, absorpsi darah akan diikuti oleh pulihnya fungsi-
fungsi neurologi. Sedangkan bila perdarahan yang terjadi dalam jumlah besar,
maka akan merusak struktur anatomi dari otak, peningkatan tekanan intracranial
41
dan bahkan dapat menyebabkan herniasi otak pada falx serebri atau lewat foramen
magnum. Perdarahan intraserebral yang yang tidak diatasi dengan baik akan
menyebar hingga ke ventrikel otak sehingga menyebabkan perdarahan
intraventrikel. Perdarahan intraventrikel ini diikuti oleh hidrosefalus obstruktif
dan akan memperburuk prognosis. Jumlah perdarahan yang lebih dari 60 ml akan
meningkatkan resiko kematian hingga 93%. 1,2,14
42
3.2.9 Diagnosis Stroke Hemoragik
1) Anamnesis
Pada anamnesa akan ditemukan kelumpuhan anggota gerak, mulut mengot
atau bicara pelo yang terjadi secara tiba-tiba pada saat sedang beraktivitas. Selain
itu, pada anamnesa juga perlu ditanyakan penyakit-penyakit tedahulu seperti
diabetes mellitus atau kelainan jantung. Obat-obatan yang dikonsumsi, riwayat
penyakit dalam keluarga juga perlu ditanyakan pada anamnesa.
2) Pemeriksaan Fisik
Pada pasien stroke perlu dilakukan pemeriksaan fisik neurologi seperti
tingkat kesadaran, ketangkasan gerakan, kekuatan otot, refleks tendon, refleks
patologis dan fungsi saraf kranial. Pemeriksaan tingkat kesadaran dengan
Glasgow Coma Scale (GCS).
Gangguan ringan ketangkasan gerakan jari-jari tangan dan kaki dapat
dinilai melalui tes yang dilakukan dengan cara menyuruh penderita membuka dan
menutup kancing bajunya. Kemudian melepas dan memakai sandalnya.
Penilaian kekuatan otot dalam derajat tenaga 0 sampai 5 secara praktis
mempunyai kepentingan dalam penilaian kemajuan atau kemunduran orang sakit
dalam perawatan dan bukan suatu tindakan pemeriksaan yang semata-mata
menentukan suatu kelumpuhan.
Pemeriksaan kekuatan otot adalah sebagai berikut :
0 : Tidak ada kontraksi otot
1 : Terjadi kontraksi otot tanpa gerakan nyata
2 : Pasien hanya mampu menggeserkan tangan atau kaki
3 : Mampu mengangkat tangan, tetapi tidak mampu menahan gravitasi
4 : Tidak mampu menahan tangan pemeriksa
5 : Kekuatan penuh
Refleks patologis dapat dijumpai pada sisi yang hemiparetik. Refleks
patologis yang dapat dilakukan pada tangan ialah refleks Hoffmann–Tromner.
Sedangkan refleks patologis yang dapat dibangkitkan di kaki ialah refleks
Babinsky, Chaddock, Oppenheim, Gordon, Schaefer dan Gonda.4
Saraf kranial adalah 12 pasang saraf pada manusia yang keluar melalui
otak, berbeda dari saraf spinal yang keluar melalui sumsum tulang belakang. Saraf
43
kranial merupakan bagian dari sistem saraf sadar. Dari 12 pasang saraf, 3 pasang
memiliki jenis sensori (saraf I, II, VIII), 5 pasang jenis motorik (saraf III, IV, VI,
XI, XII) dan 4 pasang jenis gabungan (saraf V, VII, IX, X).
44
sebagian
3) Pemeriksaan Penunjang
a) CT scan
- Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan baku emas untuk membedakan
stroke infark dengan stroke perdarahan.
- Pada stroke karena infark, gambaran CT scannya secara umum adalah
didapatkan gambaran hipodens sedangkan pada stroke perdarahan
menunjukkan gambaran hiperdens.
-
Intracranial Hemorrhage
Pada intracranial hemorrhage, pada fase akut
(<24 jam), gambaran radiologi akan terlihat
hyperdense, sedangkan jika fase subakut (24
jam – 5 hari) akan terlihat isodense,
sedangkan pada fase kronik (> 5hari) akan
terlihat gambaran hypodense. Perdarahan
terjadi di intracerebral sehingga gambaran
CSF akan terlihat jernih.
45
Subarachnoid Hemorrhage
Pada subarachonid hemorrhage, gambaran radiologi akan memperlihatkan
ruangan yang diisi dengan CSF menjadi isodens.
Pemeriksaan MRI
Pemeriksaan ini sangat baik untuk menentukan adanya lesi di batang otak
(sangat sensitif). Secara umum juga lebih sensitif dibandingkan CT scan, terutama
untuk mendeteksi pendarahan posterior.
Pemeriksaan Angiografi
Pemeriksaan ini digunakan untuk menentukan apakah lokasi pada sistem
karotis atau vertebrobasiler, menentukan ada tidaknya penyempitan, oklusi atau
aneurisma pada pembuluh darah.
Pemeriksaan USG
Pemeriksaan ini untuk menilai pembuluh darah intra dan ekstra kranial,
menentukan ada tidaknya stenosis arteri karotis.
Pemeriksaan Pungsi Lumbal
Pemeriksaan ini digunakan apabila tidak ada CT scan atau MRI. Pada
stroke perdarahan intraserebral didapatkan gambaran LCS seperti cucian daging
atau berwarna kekuningan. Pada perdarahan subaraknoid didapatkan LCS yang
gross hemorragik. Pada stroke infark tidak didapatkan perdarahan (jernih).
Pemeriksaan Penunjang Lain.
Pemeriksaan untuk menetukan faktor risiko seperti darah rutin, komponen
kimia darah (ureum, kreatinin, asam urat, profil lipid, gula darah, fungsi hepar),
elektrolit darah, foto toraks, EKG, echocardiografi.
46
Tindakan pada stadium ini dilakukan di Instalasi Rawat Darurat dan
merupakan tindakan resusitasi serebro-kardio-pulmonal bertujuan agar kerusakan
jaringan otak tidak meluas. Pada stadium ini, pasien diberi oksigen 2 L/menit dan
cairan kristaloid/koloid; hindari pemberian cairan dekstrosa atau salin dalam H2O.
Dilakukan pemeriksaan CT scan otak, elektrokardiografi, foto toraks, darah
perifer lengkap dan jumlah trombosit, protrombin time/INR, APTT, glukosa
darah, kimia darah (termasuk elektrolit); jika hipoksia, dilakukan analisis gas
darah. Tindakan lain di Instalasi Rawat Darurat adalah memberikan dukungan
mental kepada pasien serta memberikan penjelasan pada keluarganya agar tetap
tenang.
2) Stadium Akut
Pasien stroke hemoragik harus dirawat di ICU jika volume hematoma >30
mL, perdarahan intraventrikuler dengan hidrosefalus, dan keadaan klinis
cenderung memburuk. Tekanan darah harus diturunkan sampai tekanan darah
premorbid atau 15-20% bila tekanan sistolik >180 mmHg, diastolik >120 mmHg,
MAP >130 mmHg, dan volume hematoma bertambah. Bila terdapat gagal
jantung, tekanan darah harus segera diturunkan dengan labetalol iv 10 mg
(pemberian dalam 2 menit) sampai 20 mg (pemberian dalam 10 menit) maksimum
300 mg; enalapril iv 0,625-1.25 mg per 6 jam; kaptopril 3 kali 6,25-25 mg per
oral. Jika didapatkan tanda tekanan intracranial meningkat, posisi kepala
dinaikkan 30º, posisi kepala dan dada di satu bidang, pemberian manitol (lihat
penanganan stroke iskemik), dan hiperventilasi (pCO2 20-35 mmHg). 4,5,16
Terapi umum:
a. Letakkan kepala pasien pada posisi 30º, kepala dan dada pada satu
bidang; ubah posisi tidur setiap 2 jam; mobilisasi dimulai bertahap bila
hemodinamik sudah stabil. Selanjutnya, bebaskan jalan napas, beri
oksigen 1-2 liter/menit sampai didapatkan hasil analisis gas darah. Jika
perlu, dilakukan intubasi. Demam diatasi dengan kompres dan
antipiretik, kemudian dicari penyebabnya; jika kandung kemih penuh,
dikosongkan (sebaiknya dengan kateter intermiten).
b. Pemberian nutrisi dengan cairan isotonik, kristaloid atau koloid 1500-
2000 mL dan elektrolit sesuai kebutuhan, hindari cairan mengandung
47
glukosa atau salin isotonik. Pemberian nutrisi per oral hanya jika fungsi
menelannya baik; jika didapatkan gangguan menelan atau kesadaran
menurun, dianjurkan melalui selang nasogastrik.
c. Kadar gula darah >150 mg% harus dikoreksi sampai batas gula darah
sewaktu 150 mg% dengan insulin drip intravena kontinu selama 2-3 hari
pertama. Hipoglikemia (kadar gula darah < 60 mg% atau < 80 mg%
dengan gejala) diatasi segera dengan dekstrosa 40% iv sampai kembali
normal dan harus dicari penyebabnya.
d. Nyeri kepala atau mual dan muntah diatasi dengan pemberian obat-
obatan sesuai gejala. Tekanan darah tidak perlu segera diturunkan,
kecuali bila tekanan sistolik ≥220 mmHg, diastolik ≥120 mmHg, Mean
Arterial Blood Pressure (MAP) ≥ 130 mmHg (pada 2 kali pengukuran
dengan selang waktu 30 menit), atau didapatkan infark miokard akut,
gagal jantung kongestif serta gagal ginjal. Penurunan tekanan darah
maksimal adalah 20%, dan obat yang direkomendasikan: natrium
nitroprusid, penyekat reseptor alfa-beta, penyekat ACE, atau antagonis
kalsium. Jika terjadi hipotensi, yaitu tekanan sistolik ≤ 90 mm Hg,
diastolik ≤70 mmHg, diberi NaCl 0,9% 250 mL selama 1 jam,
dilanjutkan 500 mL selama 4 jam dan 500 mL selama 8 jam atau sampai
hipotensi dapat diatasi. Jika belum terkoreksi, yaitu tekanan darah
sistolik masih < 90 mmHg, dapat diberi dopamin 2-20 μg/kg/menit
sampai tekanan darah sistolik ≥ 110 mmHg.
e. Jika kejang, diberi diazepam 5-20 mg iv pelan-pelan selama 3 menit,
maksimal 100 mg per hari; dilanjutkan pemberian antikonvulsan per oral
(fenitoin, karbamazepin). Jika kejang muncul setelah 2 minggu,
diberikan antikonvulsan peroral jangka panjang.
f. Jika didapatkan tekanan intrakranial meningkat, diberi manitol bolus
intravena 0,25 sampai 1 g/ kgBB per 30 menit, dan jika dicurigai
fenomena rebound atau keadaan umum memburuk, dilanjutkan
0,25g/kgBB per 30 menit setiap 6 jam selama 3-5 hari. Harus dilakukan
pemantauan osmolalitas (<320 mmol); sebagai alternatif, dapat diberikan
larutan hipertonik (NaCl 3%) atau furosemid.
48
Terapi khusus
Neuroprotektor dapat diberikan kecuali yang bersifat vasodilator. Tindakan bedah
mempertimbangkan usia dan letak perdarahan yaitu pada pasien yang kondisinya
kian memburuk dengan perdarahan serebelum berdiameter >3 cm3, hidrosefalus
akut akibat perdarahan intraventrikel atau serebelum, dilakukan VP-shunting, dan
perdarahan lobar >60 mL dengan tanda peningkatan tekanan intrakranial akut dan
ancaman herniasi. Pada perdarahan subaraknoid, dapat digunakan antagonis
Kalsium (nimodipin) atau tindakan bedah (ligasi, embolisasi, ekstirpasi, maupun
gamma knife) jika penyebabnya adalah aneurisma atau malformasi arteri-vena
(arteriovenous malformation, AVM). 1,2,15
3) Stadium Subakut
Tindakan medis dapat berupa terapi kognitif, tingkah laku, menelan, terapi
wicara, dan bladder training (termasuk terapi fisik). Mengingat perjalanan
penyakit yang panjang, dibutuhkan penatalaksanaan khusus intensif pasca stroke
di rumah sakit dengan tujuan kemandirian pasien, mengerti, memahami dan
melaksanakan program preventif primer dan sekunder.
Terapi fase subakut:
a. Melanjutkan terapi sesuai kondisi akut sebelumnya,
b. Penatalaksanaan komplikasi,
c. Restorasi/rehabilitasi (sesuai kebutuhan pasien), yaitu fisioterapi,
terapi wicara, terapi kognitif, dan terapi okupasi,
d. Prevensi sekunder
e. Edukasi keluarga dan Discharge Planning
3.3.11 Prognosis
Prognosis pada stroke secara umum:
49
- NIH Stroke Scale (NIHSS)3
Nilai NIHSS adalah antara 0 – 42. Terdiri dari dari 11 komponen, bila
motorik lengan serta kaki kanan dan kiri dituliskan dalam satu nomer dan
dipisahkannya dengan penambahan nomer a dan b, tetapi akan menjadi 13
komponen apabila masing masing motorik lengan dan tungkai kanan dan kiri
diberi nomer terpisah. Komponen komponen tersebut adalah sebagai berikut :
50
Prediktor terpenting untuk menilai outcome perdarahan intra serebri (PIS)
adalah volume PIS, tingkat kesadaran penderita (menggunakan skor Glasgow
Coma Scale (GCS), dan adanya darah intraventrikel. Volume PIS dan skor GCS
dapat digunakan untuk memprediksi tingkat kematian dalam 30 hari dengan
sensitivitas sebesar 96% dan spesifitas 98%. Prognosis buruk biasanya terjadi
pada pasien dengan volume perdarahan (>30mL), lokasi perdarahan di fossa
posterior, usia lanjut dan MAP >130 mmHg pada saat serangan. GCS <4 saat
serangan juga bisa memberi prognosis buruk.
Suatu PIS dengan volume >60 mL dan skor GCS ≤ 8 memiliki tingkat
mortalitas sebesar 91% dalam 30 hari, dibanding dengan tingkat kematian 19%
pada PIS dengan volume <30 mL dan GCS skor ≥ 9. Perluasan PIS ke
intraventrikel meningkatkan mortalitas secara umum menjadi 45% hingga 75%,
tanpa memperhatikan lokasi PIS, sebagai bagian dari adanya hidrosefalus
obstruktif akibat gangguan sirkulasi liquor cerebrospinal (LCS). Pengukuran
volume hematom dapat dilakukan secara akurat dengan CT scan. Secara klinis,
edema berperan dalam efek massa dari hematom, meningkatkan tekanan
intrakranial dan pergeseran otak intrakranial. Secara paradoks, volume relatif
edema yang tinggi berhubungan dengan outcome fungsional yang lebih baik, yang
menimbulkan suatu kerancuan apakah edema harus dijadikan target terapi atau
hanya merupakan variabel prognostik.
2) Perdarahan Subarachnoid
Tingkat mortalitas pada tahun pertama dari serangan stroke hemoragik
perdarahan subarachnoid sangat tinggi, yaitu 60%. Sekitar 10% penderita
perdarahan subarachnoid meninggal sebelum tiba di RS dan 40% meninggal tanpa
sempat membaik sejak awitan. Perdarahan ulang juga sangat mungkin terjadi.
Rata-rata waktu antara perdarahan pertama dan perdarahan ulang adalah sekitar 5
tahun.
51
BAB IV
ANALISIS KASUS
52
kiri yang merupakan manifestasi klinis parese N. VII. Parese N. VII pada kasus
ini merupakan tipe sentral karena tidak menunjukkan adanya kelumpuhan otot
orbicularis okuli maupun otot mimik di daerah pipi dan dagu. Sehingga dapat
disimpulkan pasien memiliki diagnosis klinis berupa penurunan kesadaran,
hemiparese sinistra tipe spastik, dan parese N. VII tipe sentral.
Diagnosis banding topik pada pasien ini berdasarkan klinis dapat dilihat
pada tabel berikut. Pada pasien ini, kemungkinan gejala lesi di capsula interna
hemisferium dextra dan gejala lesi di subkorteks hemisferium cerebri dextra
belum dapat disingkirkan.
53
Defisit motorik (hemiparese Hemiparese sinistra spastik dextra belum
sinistra sentral) dapat
disingkirkan.
54
DAFTAR PUSTAKA
1. Ropper AH, Samuels MA, Klein JP. Adams and Victor’s PRINCIPLE OF
NEUROLOGY. New York: Mc Graw Hill Education. 2014.p.357-380
2. Dian S, Basuki A, 2012. Altered consciousness basic, diagnostic, and
management. Bagian/UPF ilmu penyakit saraf. Bandung.
3. Cavanna AE, Shah S, Eddy CM. 2011. Conscioussnes : A neurological
perspective. IOS press. UK
4. PlumF, PosnerJB, SaperCB, SchiffND. 2007. Plum and Posner’s Diagnosis of
Stupor and Coma. Ed. IV. Oxford University Press. NewYork.
5. Lumbantobing SM. 2010. Neurologi klinik pemeriksaan fisik dan mental.
Balai penerbit FKUI. Jakarta.
6. Dirgahayu Grace. (2012). Pembahasan Kasus Stroke Hemoragik. Hal. 16-23.
7. Posner BJ, Saper CB, Schiff ND, Plum F. Plum and Posner’s Diagnosis of
Stupor and Coma. Oxford: OXFORD University Press. 2007.p.4-34, 40-78,
8. Silbernagl S, Lang F. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta: EGC;
2013.p.342
9. Parvizi J, Damasio A. Counsciousness and Brainstem. Cognition 79 (2001)
135-159
10. Lindsay KW, Bone I, Fuller G. Neurology an Neurosurgery Illustrated 5th ed.
London: Elsevier.2010.p.85
11. Walker HK, Hall WD, Hurst JW.Clinical Method: The History, Physical and
Laboratory Examination, 3rd edition. Boston: Butterworths; 2000
12. Harris, S. (2004). Penatalaksanaan Pada Kesadaran Menurun dalam Updates
in Neuroemergencies. Hal.1-7.
13. Harsono. (2005). Koma dalam Buku Ajar Neurologi. Gajah Mada University
Press. Yogyakarta.
14. Yunia A, Soegimin AS. (2017). Pengaruh Hipertensi Terhadap Terjadinya
Stroke Hemoragik Berdasarkan Hasil CT-Scan Kepala di Instalasi Radiologi
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo. Hal.36-40.
15. Agatha J, Aradea W, Elen A. (2010). Cerebrovascular Disease/CVD. Hal. 4-8.
55