Anda di halaman 1dari 55

Laporan Kasus

Gangguan Kesadaran pada CVD Hemoragik

Oleh:

Sheisa Marinka, S.Ked 04084821820042


Annisa Muthia Haryani, S.Ked 04084821820002

Pembimbing:

dr. H.A Rachman Toyo, Sp. S (K)

BAGIAN / DEPARTEMEN NEUROLOGI


RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Kasus

Gangguan Kesadaran pada CVD Hemoragik

Oleh:

Sheisa Marinka, S.Ked 04084821820042

Annisa Muthia Haryani, S.Ked 04084821820004

Referat ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Neurologi RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya periode 4 Juni 2018 s.d 9
Juli 2018.

Palembang, 23 Juni 2018

dr. H.A Rachman Toyo, Sp. S (K)

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT karena atas rahmat
dan berkat-Nya Telaah Ilmiah yang berjudul “Gangguan Kesadaran pada CVD
Hemoragik” ini dapat diselesaikan tepat waktu. Telaah Ilmiah ini dibuat untuk
memenuhi salah satu syarat ujian kepaniteraan klinik senior di Bagian Neurologi
RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya. Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. H.A
Rachman Toyo, Sp. S (K) atas bimbingannya sehingga penulisan ini menjadi
lebih baik.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kekeliruan dalam
penulisan telaah ilmiah ini. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun
sangat penulis harapkan untuk penulisan yang lebih baik di masa yang akan
datang.

Palembang, 23 Juni 2018

Penulis

3
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... 2

KATA PENGANTAR ........................................................................................... 3

DAFTAR ISI .......................................................................................................... 4

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 6

BAB II STATUS PASIEN ..................................................................................... 8

2.1 Identifikasi ....................................................................................................... 8


2.2 Anamnesis ......................................................................................................... 8
2.3 Pemeriksaan Fisik ............................................................................................ 9
2.4 Diagnosis ....................................................................................................... 17
2.5 Pemeriksaan Penunjang ................................................................................. 18
2.6 Terapi .............................................................................................................. 20
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 21
3.1 Penurunan Kesadaran .................................................................................... 21
3.1.1 Definisi Penurunan Kesadaran .............................................................. 21
3.1.2 Etiologi Penurunan Kesadaran .............................................................. 24
3.1.3 Patofisiologi Penurunan Kesadaran ...................................................... 25
3.1.4 Klasifikasi Penurunan Kesadaran ......................................................... 26
3.1.5 Penegakkan Diagnosis Penurunan Kesadaran ...................................... 27
3.1.6 Tatalaksana Penurunan Kesadaran ....................................................... 31
3.1.7 Prognosis Penurunan Kesadaran .......................................................... 33
3.2 Cerebrovascular disease ................................................................................. 33
3.2.1 Definisi Stroke ....................................................................................... 33
3.2.2 Epidemiologi Stroke .............................................................................. 33
3.2.3 Faktor Risiko Stroke .............................................................................. 34
3.2.4 Klasifikasi Stroke .................................................................................. 35
3.2.5 Penegakkan Diagnosis Stroke ............................................................... 37
3.2.6 Klasifikasi Stroke Hemoragik ............................................................... 40
3.2.7 Patogenesis Stroke Hemoragik .............................................................. 41

4
3.2.8 Gejala Stroke Hemoragik ...................................................................... 42
3.2.9 Diagnosis Stroke Hemoragik ................................................................. 42
3.2.10 Tatalaksana Stroke Hemoragik ........................................................... 47
3.2.11 Prognosis Stroke Hemoragik ............................................................... 49
BAB IV ANALISIS KASUS ................................................................................ 52

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 55

5
BAB I
PENDAHULUAN

Penurunan kesadaran adalah suatu kegawatdaruratan dalam neurologi


yang ditandai dengan hilangnya kemampuan pasien untuk merespon stimulasi dari
dalam tubuh maupun lingkungan luar tubuh. Dalam praktik di IGD dan praktik
neurologi sehari-hari sangat penting untuk dapat melakukan penilaian dengan
cepat pada penurunan kesadaran dan mendiagnosis penyebab dari penurunan
kesadaran tersebut untuk mencegah terjadinya kerusakan otak yang irreversibel.
Sekitar 80 tahun yang lalu diadakan survei di dua rumah sakit besar di
Boston mengenai penyebab dari koma. Hasil dari survei tersebut menunjukan
bahwa dalam praktek klinis sehari-hari, ternyata penyebab dari koma atau
penurunan kesadaran tidak begitu bervariasi. Intoksikasi alkohol, penyakit
cerebrovaskular (CVD) dan trauma kepala merupakan penyebab 82% terjadinya
penurunan kesadaran.1 Penyebab lainnya yang cukup sering adalah kejang,
keracunan obat, komplikasi diabetes melitus dan infeksi berat. Menurut data yang
dikumpulkan oleh Plum dan Posner penyebab tersering dari koma adalah
penyebab metabolik baik eksogen (overdosis obat) maupun endogen (asidosis,
hipoglikemia) dan kelainan seperti stroke infark maupun hemoragik hanya 25%
dari seluruh penyebab koma.1 Penyebab yang lebih jarang, hanya sekitar 6%
adalah trauma kepala, dan penyebab koma yang terjarang ditemui adalah penyakit
seperti tumor otak, abses, dan perdarahan spontan.
Salah satu penyakit cerebrovaskular (CVD) meliputi stroke yang
didefinisikan WHO sebagai suatu tanda klinis yang berkembang cepat akibat
gangguan otak fokal maupun global dengan gejala-gejala yang berlangsung
selama 24 jam atau lebih dan dapat menyebabkan kematian tanpa adanya
penyebab lain yang jelas selain vaskuler. Stroke sendiri merupakan salah satu
penyebab gangguan otak pada usia produktif 2. Berdasarkan patologis, stroke
dibagi menjadi dua jenis yaitu stroke iskemik dan stroke hemoragik. Stroke
iskemik yaitu tersumbatnya pembuluh darah yang menyebabkan aliran darah ke
otak sebagian atau keseluruhan terhenti. 80% stroke adalah stroke iskemik.
Sedangkan stroke hemoragik adalah stroke yang disebabkan oleh pecahnya

6
pembuluh darah otak dan hampir 70% kasus stroke hemoragik terjadi pada
penderita hipertensi.3 Sekitar 20-30% perdarahan akan bertambah dalam 24 jam
dan ini dapat diketahui dengan bertambah jeleknya keadaan umum penderita serta
gejala neurologis yang timbul. Insiden perdarahannya 8-15% dari semua stroke
yang terjadi di Amerika Serikat dan 20-30% di Jepang dan China. Diduga
insidennya bertambah karena usia manusia semakin bertambah, dimana risiko
terjadinya stroke lebih sering pada usia yang lebih tinggi.11
Penanganan koma atau penurunan kesadaran maupun stroke termasuk
perdarahan dan infark dalam Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) 2012
ialah 3B. Hal ini menunjukkan bahwa lulusan dokter harus mampu membuat
diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan pada keadaan gawat darurat
demi menyelamatkan nyawa atau mencegah keparahan dan/atau kecacatan pada
pasien. Lulusan dokter juga diharapkan mampu menentukan rujukan yang paling
tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu
menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan. Maka dari itu, laporan kasus ini
disusun agar bermanfaat bagi dokter yang sesuai dengan standar kompetensi.

7
BAB II
STATUS PASIEN
2.1 Identifikasi
Nama : Endang Siti Sulastri
Jenis kelamin : Perempuan
Usia : 50 tahun (7 Mei 1968)
Pekerjaan : IRT
Pendidikan : SLTA
Suku : Sumsel
Agama : Islam
Status : Kawin
Alamat : Desa Purwosari Kec. Tanjung Lago Kab. Banyuasin
MRS : 17 Juni 2018
No. RM : 1066639

2.2 Anamnesis (dari alloanamnesis 17 Juni 2018 Pukul 01.00)


Penderita dirawat di bagian neurologi RS dr. Mohammad Hoesin
Palembang karena mengalami penurunan kesadaran secara tiba-tiba.
Sejak ± 6 jam SMRS, penderita mengalami penurunan kesadaran secara
tiba-tiba saat aktivitas. Sebelum serangan penderita merasa sakit kepala yang
disertai mual dan muntah, tanpa disertai kejang maupun demam. Penderita
mengalami kelemahan sesisi tubuh kiri, mulut mengot ke kanan ada, dan bicara
pelo ada. Gangguan sensibilitas berupa rasa baal atau kesemutan belum dapat
dinilai. Kemampuan penderita mengungkapkan isi pikirannya secara lisan, tulisan
dan isyarat belum dapat dinilai. Kemampuan penderita mengerti isi pikiran orang
lain secara lisan, tulisan, dan isyarat belum dapat dinilai. Gangguan sensibilitas
berupa rasa baal atau kesemutan belum dapat dinilai. Penderita sehari – hari
bekerja dengan menggunakan tangan kanan.
Saat serangan penderita tidak mengalami jantung berdebar disertai sesak
napas. Penyakit jantung sebelumnya tidak ada. Penyakit darah tinggi diderita
sejak ± 2 tahun yang lalu dan tidak rutin minum obat. Riwayat kencing manis
juga diketahui sejak ± 2 tahun yang lalu dan tidak minum obat, riwayat sakit

8
ginjal tidak ada, riwayat trauma kepala tidak ada, dan riwayat stroke sebelumnya
tidak ada.
Penyakit ini diderita untuk pertama kalinya.

2.3 Pemeriksaan Fisik (17 Juni 2018 Pukul 01.00)


Status Internus
Kesadaran : GCS 9 (E2M5V2) Jantung : HR 96x/m, murmur(-), gallop(-)
Gizi : Baik Paru-paru : ves(+)N, ronkhi(-), wheezing (-)
Suhu Badan : 36,40C Hepar : tidak teraba
Nadi : 96x/m Lien : tidak teraba
Pernapasan : 22x/m, SpO2 95% Anggota gerak : tidak ada edema
Tekanan darah : 190/100 mmHg Genitalia : tidak diperiksa
Berat badan : 78 kg
Tinggi badan : 162 cm
IMT : 29,72 kg/m2

Status Psikiatrikus
Sikap : belum dapat dinilai Ekspresi Muka : belum dapat dinilai
Perhatian : belum dapat dinilai Kontak Psikik : belum dapat dinilai

Status Neurologikus
Kepala
Bentuk : normocephali Deformitas : tidak ada
Ukuran : normal Fraktur : tidak ada
Simetris : simetris Nyeri tekan : ada
Hematom : tidak ada Pembuluh darah : tidak ada pelebaran
Tumor : tidak ada Pulsasi : tidak ada pelebaran
Leher
Sikap : lurus Deformitas : tidak ada
Torticolis : tidak ada Tumor : tidak ada
Kaku kuduk : tidak ada Pembuluh darah : tidak ada pelebaran

Pemeriksaan Nervus Craniales


Nervus Olfaktorius Kanan Kiri

9
Penciuman belum dapat dinilai belum dapat dinilai

Anosmia belum dapat dinilai belum dapat dinilai


Hyposmia belum dapat dinilai belum dapat dinilai

Parosmia belum dapat dinilai belum dapat dinilai

N. opticus Kanan Kiri


Visus belum dapat dinilai belum dapat dinilai
Campur visi V.O.D V.O.S

Anopsia belum dapat dinilai belum dapat dinilai


Hemianopsia belum dapat dinilai belum dapat dinilai
Fundus Okuli Tidak dilakukan Tidak dilakukan
- Papil edema
- Papil atrofi
- Perdarahan retina

Nn. Occulomotorius, Trochlearis dan Abducens


Kanan Kiri
Diplopia tidak ada tidak ada
Celah mata Simetris Simetris
Ptosis tidak ada tidak ada
Sikap bola mata Kedudukan bola mata di tengah Kedudukan bola mata di tengah
- Strabismus tidak ada tidak ada
- Exofthalmus tidak ada tidak ada
- Enofthalmus tidak ada tidak ada
- Deviation conjugae tidak ada tidak ada
Gerakan bola mata Belum dapat dinilai Belum dapat dinilai
Pupil
- Bentuk Bulat Bulat

10
- Besar 2mm 2mm
- Isokor/anisokor Isokor Isokor
- Midriasis/miosis tidak ada tidak ada
- Refleks cahaya
- Langsung Ada Ada
- Konsensuil Ada Ada
- Akomodasi Belum dapat dinilai Belum dapat dinilai
- Argyl robertson Belum dapat dinilai Belum dapat dinilai

Nervus Trigeminus
Kanan Kiri
Motorik
- Menggigit Belum dapat dinilai Belum dapat dinilai
- Trismus Belum dapat dinilai Belum dapat dinilai
- refleks kornea ada Ada
Sensorik
- dahi Belum dapat dinilai Belum dapat dinilai
- pipi Belum dapat dinilai Belum dapat dinilai
- dagu Belum dapat dinilai Belum dapat dinilai

Nervus Facialis
Kanan Kiri
Motorik
- mengerutkan dahi Belum dapat dinilai Belum dapat dinilai
- menutup mata Belum dapat dinilai Belum dapat dinilai
- menunjukkan gigi Belum dapat dinilai Belum dapat dinilai
- lipatan nasolabialis Lipatan nasolabialis kiri datar (dengan rangsang nyeri)
Bentuk muka
- istirahat Simetris Simetris
- berbicara/bersiul belum dapat dinilai belum dapat dinilai
Sensorik
2/3 depan lidah Belum dapat dinilai Belum dapat dinilai
Otonom
- salivasi Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan

11
- lakrimasi Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
- chovstek’s sign Tidak ditemukan Tidak ditemukan

Nervus Statoacusticus
Kanan Kiri
Nervus Cochlearis
- suara bisikan belum dapat dinilai belum dapat dinilai
- detik arloji belum dapat dinilai belum dapat dinilai
- tes weber belum dapat dinilai belum dapat dinilai
- tes rinne belum dapat dinilai belum dapat dinilai
Nervus Vestibularis
- nistagmus belum dapat dinilai belum dapat dinilai
- vertigo belum dapat dinilai belum dapat dinilai

N. Glossopharingeus dan N. Vagus


Arcus pharingeus Simetris
Uvula Di tengah
Gangguan menelan belum dapat dinilai
Suara serak/sengau Tidak ada
Denyut jantung Pulsasi normal
Refleks
- muntah Ada
- batuk Ada
- okulokardiak Tidak diperiksa
- sinus karotikus Tidak diperiksa
Sensorik
- 1/3 belakang lidah Belum dapat dinilai
N. Accessorius
- Mengangkat bahu Belum dapat dinilai
- Memutar bahu Belum dapat dinilai
N. Hypoglossus
Mengulur lidah Belum dapat dinilai
Fasikulasi Tidak ada
Atrofi papil Tidak ada

12
Disartria Belum dapat dinilai

MOTORIK
LENGAN Kanan Kiri
Gerakan lateralisasi ke kiri
Kekuatan lateralisasi ke kiri
Tonus normal normal
Refleks fisiologis
- Biceps normal meningkat
- Triceps normal meningkat
- Radius normal meningkat
- Ulna normal meningkat
Refleks patologis
- Hoffman Tromner tidak ada

TUNGKAI Kanan Kiri


Gerakan lateralisasi ke kiri
Kekuatan lateralisasi ke kiri
Tonus normal meningkat
Klonus
- Paha tidak ada tidak ada
- Kaki tidak ada tidak ada

Refleks fisiologis
- KPR normal meningkat
- APR normal meningkat

Refleks patologis
- Babinsky tidak ada ada
- Chaddock tidak ada tidak ada

13
- Oppenheim tidak ada tidak ada
- Gordon tidak ada tidak ada
- Schaeffer tidak ada tidak ada
- Rossolimo tidak ada tidak ada
- Mendel Bechterew tidak ada tidak ada

Refleks kulit perut


- Atas tidak dilakukan
- Tengah tidak dilakukan
- Bawah tidak dilakukan
- Refleks cremaster tidak dilakukan

SENSORIK
Belum dapat dinilai

FUNGSI VEGETATIF
Miksi : terpasang kateter urin
Defekasi : tidak ada kelainan

14
KOLUMNA VERTEBRALIS
Kyphosis : tidak ada
Lordosis : tidak ada
Gibbus : tidak ada
Deformitas : tidak ada
Tumor : tidak ada
Meningocele : tidak ada
Hematoma : tidak ada
Nyeri ketok : tidak ada

GEJALA RANGSANG MENINGEAL


Kanan Kiri
Kaku kuduk tidak ada
Kernig tidak ada tidak ada
Lasseque tidak ada tidak ada
Brudzinsky
- Neck tidak ada
- Cheek tidak ada
- Symphisis tidak ada
- Leg I tidak ada tidak ada
- Leg II tidak ada tidak ada

GAIT DAN KESEIMBANGAN


Gait Keseimbangan dan Koordinasi
Ataxia : belum dapat dinilai Romberg : Belum dapat dinilai
Hemiplegic : belum dapat dinilai Dysmetri :
Scissor : belum dapat dinilai - jari-jari : Belum dapat dinilai
Propulsion : belum dapat dinilai - jari hidung : Belum dapat dinilai
Histeric : belum dapat dinilai - tumit-tumit : belum dapat dinilai
Limping : belum dapat dinilai Rebound ph : belum dapat dinilai
Steppage : belum dapat dinilai Astasia-Abasia: belum dapat dinilai
Trunk ataxia : belum dapat dinilai
Dysdiadochokinesis : Belum dapat dinilai Limb ataxia : belum dapat dinilai

15
GERAKAN ABNORMAL
Tremor : tidak ada
Chorea : tidak ada
Athetosis : tidak ada
Ballismus : tidak ada
Dystoni : tidak ada
Myocloni : tidak ada

FUNGSI LUHUR
Afasia motorik : belum dapat dinilai
Afasia sensorik : belum dapat dinilai
Apraksia : belum dapat dinilai
Agrafia : belum dapat dinilai
Alexia : belum dapat dinilai
Afasia nominal : belum dapat dinilai

Rangkuman
Status Generalis
Sensorium: E2M5V2
Blood Pressure: 190/100
Pulse Rate: 96x/m
Respiratory Rate: 22x/m
SpO2: 95%
Temperature: 36,70
Status neurologis
N. III: pupil bulat, isokor, reflex cahaya +/+, diameter 2mm/2mm
N. III, IV, VI: kedudukan bola mata di tengah, deviasi konjugae (–)
N. VII: plica nasolabialis sinistra datar (dengan rangsang nyeri)
N. XII: deviasi lidah bdd, disartria bdd

16
Fungsi motorik LKa LKi TKa TKi
Gerakan Lateralisasi ke kiri
Kekuatan Lateralisasi ke kiri
Tonus N N

Klonus - -
R. fisiologis N N
R. patologis - - - B+

Fungsi sensorik: bdd


Fungsi luhur: bdd
Fungsi vegetative: terpasang kateter urin
GRM: kaku kuduk (-) lasseque (-/-), kernig (-/-)
Gerakan abnormal: -
Gait dan keseimbangan : bdd

Siriraj Score:
= (2.5 x Kesadaran) + (2 x Nyeri kepala) + (2 x Muntah) + (0,1 x diastolik)
– (3 x faktor ateroma) – 12
= (2,5 x 1) + (2 x 1) + (2 x 1 ) + (0,1 x 100) – (3x1) -12
= 2,5+2+2+10-3-12
=1,5 (Nilai >1, interpretasi: hemoragik)

2.4 Diagnosis Kerja


Klinis:
– Observasi penurunan kesadaran
– Hemiparese sinistra tipe spastik
– Parese N VII sinistra tipe sentral
Topik:
- Kapsula Interna Hemisferium Cerebri Dextra dd/ Subkorteks
Hemisferium Cerebral Sinistra

17
- PACI dd/TACI
Etiologi:
– Susp CVD Hemoragik dd/Susp CVD Non hemoragik

2.5 Pemeriksaan Penunjang


Rencana Pemeriksaan Penunjang
– EKG, BSS
– CT Scan kepala, Ro. Thorax
– Cek lab darah rutin, darah kimia, elektrolit, faal hemostasis

Hasil Pemeriksaan Penunjang


- EKG (17 Juni 2018 Pukul 01.15)
Interpretasi : normal sinus rhytm

- BSS (17 Juni 2018 Pukul 01.20) : 224 mg/dL


- CT-Scan kepala (17 Juni 2018 Pukul 02.36 di RSMH)
- ICH basal ganglia kanan, kapsula interna kanan, subkortikal lobus
parietal kanan dengan edema perifocal di sekitar
- IVH lateral kanan
- Infark multiple di periventrikel lateral kiri, pons dan mesencefalon

18
- Rontgen Thorax (17 Juni 2018 Pukul 02.40)
Kardiomegali

- Hasil Laboratorium (17 Juni 2018 Pukul 01.27)


o Hb : 17,5 g/dl
o Eritrosit : 5,82x106/mm3
o Leukosit : 24.600 /mm3

19
o Diff Count : 0/0/0/85/11/4
o Trombosit : 220.000/mm3
o Hematokrit : 51 vol%
o BSS : 189 mg/dL
o Ureum : 51 mg/dl
o Kreatinin : 1,20 mg/dl
o Natrium : 153 mmol/l
o Kalium : 3,4 mmol/l
2.6 Terapi
Non Farmakologis:
o Follow up GCS + TTV
o Head up 30o
o O2 10-12 L/m NRM
o Diet cair via NGT 1800 kal
o Konsul ke bagian bedah

Farmakologis:
o IVFD NaCl 0,9% gtt xx/m
o Inj. Citicolin 500mg per 12 jam IV
o Inj. Omeprazole 40mg per 24 jam IV
o Inj. Asam traneksamat 3 x 500 mg IV
o Neurodex 1 tab per 24 jam PO
o Manitol 4x125cc IV
o Paracetamol 500mg per 8 jam PO
o Drip nikardipin 2 amp (20 mg) dalam NaCl 0,9% 100 ml (dosis 0,5 –
6 mcq/kgBB/menit) (titrasi)

20
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Penurunan Kesadaran


3.1.1 Definisi Penurunan Kesadaran
Kesadaran adalah suatu keadaan dimana seseorang sadar penuh atas
dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya. Komponen yang dapat dinilai dari
suatu keadaan sadar yaitu kualitas kesadaran itu sendiri dan isinya. Isi kesadaran
menggambarkan keseluruhan dari fungsi cortex serebri, termasuk fungsi kognitif
dan sikap dalam merespon suatu rangsangan. Pasien dengan gangguan isi
kesadaran biasanya tampak sadar penuh, namun tidak dapat merespon dengan
baik beberapa rangsangan - rangsangan, seperti membedakan warna, raut wajah,
mengenali bahasa atau simbol, sehingga seringkali dikatakan bahwa penderita
tampak bingung4.
Penurunan kesadaran atau koma menjadi petunjuk kegagalan fungsi
integritas otak dan sebagai “final common pathway” dari gagal organ seperti
kegagalan jantung, nafas dan sirkulasi akan mengarah kepada gagal otak dengan
akibat kematian. Jadi, bila terjadi penurunan kesadaran maka terjadi disregulasi
dan disfungsi otak dengan kecenderungan kegagalan seluruh fungsi tubuh. Dalam
hal menilai penurunan kesadaran, dikenal beberapa istilah yang digunakan
diklinik yaitu kompos mentis, somnolen, stupor atau sopor, koma ringan dan
koma. Terminologi tersebut bersifat kualitatif. Sementara itu, penurunan
kesadaran dapat pula dinilai secara kuantitatif, dengan menggunakan skala koma
Glasgow4.

Menentukan Penurunan Kesadaran secara Kualitatif4,5


a. Kompos mentis berarti kesadaran normal, menyadari seluruh asupan panca
indera (aware atau awas) dan bereaksi secara optimal terhadap seluruh
rangsangan dari luar maupun dari dalam (arousal atau waspada), atau dalam
keadaaan awas dan waspada.
b. Somnolen atau keadaan mengantuk. Kesadaran dapat pulih penuh bila
dirangsang. Somnolen disebut juga sebagai: latergi, obtudansi. Tingkat

21
kesadaran ini ditandai oleh mudahnya penderita dibangunkan, mampu
memberi jawaban verbal dan menangkis rangsang nyeri.
c. Sopor atau stupor berarti kantuk yang dalam. Penderita masih dapat
dibangunkan dengan rangsang yang kuat, namun kesadarannya segera
menurun lagi. Ia masih dapat mengikuti suruhan yang singkat, dan masih
terlihat gerakan spontan. Dengan rangsang nyeri penderita tidak dapat
dibangunkan sempurna. Reaksi terhadap perintah tidak konsisten dan samar.
Tidak dapat diperoleh jawaban verbal dari penderita. Gerak motorik untuk
menangkis rangsang nyeri masih baik.
d. Koma ringan (semi-koma). Pada keadaan ini tidak ada respon terhadap
rangsang verbal. Reflex (kornea, pupil dan lain sebagainya) masih baik.
Gerakan terutama timbul sebagai respons terhadap rangsang nyeri tidak
terorganisasi, merupakan jawaban “primitif”. Penderita sama sekali tidak
dapat dibangunkan.
e. Koma (dalam atau komplit). Tidak ada gerakan spontan tidak ada jawaban
sama sekali terhadap rangsang nyeri yang bagaimanapun kuatnya.
f. Delirium adalah suatu keadaan mental abnormal yang dicirikan oleh adanya
disorientasi, ketakutan, iritabilitas, salah persepsi terhadap stimulasi
sensorik, dan sering kali disertai dengan halusinasi visual. Tingkah laku
yang demikian biasanya menempatkan penderita di alam yang tak
berhubungan dengan lingkungannya, bahkan kadang penderita sulit
mengenali dirinya sendiri. Keadaan ini dapat juga diselingi oleh suatu lucid
interval. Biasanya delirium menimbulkan delusi seperti alam mimpi yang
kompleks sistematis serta berlanjut sehingga tak ada kontak sama sekali
dengan lingkungannya serta secara psikologis. Penderita umumnya menjadi
banyak bicara, bicaranya keras, menyerang, curiga, dan agitatif. Keadaan ini
timbulnya cepat dan jarang berlangsung lebih dari 4-7 hari namun salah
persepsi dan halusinasinya dapat berlangsung sampai berminggu-minggu
terutama pada penderita alkoholik atau penderita yang berkaitan dengan
penyakit vaskuler kolagen. Keadaan delinum biasanya tampil pada
gangguan-gangguan toksik dan metabolik susunan saraf seperti keracunan
atropin yang akut, sindroma putus obat (alkohol-barbiturat), porfiria akut,

22
uremia, gagal hati akut, ensefalitis, penyakit vaskuler kolagen. Bentuk status
epileptikus yang melibatkan sistem limbik sering kali juga menimbulkan
sindrom yang sulit dibedakan dengan keadaan delirium ini.

Menentukan Penurunan Kesadaran secara Kuantitatif5


Untuk mengikuti perkembangan tingkat kesadaran dapat digunakan skala
koma Glasgow yang memperhatikan tanggapan (respons) penderita terhadap
rangsang dan memberikan nilai pada respons tersebut. Tanggapan/respons
penderita yang perlu diperhatikan adalah:
Mata:
 E1 tidak membuka mata dengan rangsang nyeri
 E2 membuka mata dengan rangsang nyeri
 E3 membuka mata dengan rangsang suara
 E4 membuka mata spontan
Motorik:
 M1 tidak melakukan reaksi motorik dengan rangsang nyeri
 M2 reaksi deserebrasi dengan rangsang nyeri
 M3 reaksi dekortikasi dengan rangsang nyeri
 M4 reaksi menghampiri rangsang nyeri tetapi tidak mencapai sasaran
 M5 reaksi menghampiri rangsang nyeri tetapi mencapai sasaran
 M6 reaksi motorik sesuai perintah
Verbal:
 V1 tidak menimbulkan respon verbal dengan rangsang nyeri (none)
 V2 respon mengerang dengan rangsang nyeri (sounds)
 V3 respon kata dengan rangsang nyeri (words)
 V4 bicaradengan kalimat tetapi disorientasi waktu dan tempat (confused)
 V5 bicaradengan kalimat dengan orientasi baik (orientated)
Jika nilai GCS 14-13 menandakan somnolen, 12-9 sopor, dan kurang dari 8
menandakan koma.
Dua skala yang lebih sederhana ACDU (alert, confused, drowsy,
unresponsive), dan AVPU (alert, respon to voice, respon to pain, unresponsive).

23
Skala AVPU adalah cara mudah dan cepat untuk menilai tingkat kesadaran.
Pemeriksaan ini ideal sebagai penilaian awal dan cepat, yaitu terdiri dari:2
 Alert
 Respon terhadap suara
 Respon terhadap nyeri
 Penurunan kesadaran
AVPU termasuk ke dalam beberapa sistem skor peringatan dini untuk pasien –
pasien kritis, sebagai cara yang lebih sederhana dibanding dengan GCS, tetapi
tidak cocok untuk observasi jangka panjang2.

3.1.2 Etiologi Penurunan Kesadaran


Etiologi penurunan kesadaran secara garis besar terbagi menjadi dua,
yaitu: gangguan metabolik/fungsional dan gangguan struktural.2
a. Gangguan metabolik/fungsional
Gangguan ini antara lain berupa keadaan hipoglikemik/hiperglikemik,
gangguan fungsi hati, gangguan fungsi ginjal, gangguan keseimbangan
elektrolit, intoksikasi obat-obatan, intoksikasi makanan serta bahan-bahan
kimia, infeksi susunan saraf pusat.
b. Gangguan struktural dapat dibagi lagi menjadi 2, yaitu:
1) Lesi supratentorial
- Perdarahan intraserebral: ekstradural, subdural, intraserebral
- Infark: emboli, thrombosis
- Tumor otak: Tumor primer, tumor sekunder, abses, tuberkuloma
2) Lesi infratentorial
- Perdarahan : serebelum pons
- Infark : batang otak
- Tumor : serebelum
- Abses : serebelum
Untuk memudahkan mengingat dan menelusuri kemungkinan – kemungkinan
penyebab penurunan kesadaran dengan istilah “SEMENITE“ yaitu:
a) S : Sirkulasi
Meliputi stroke dan penyakit jantung

24
b) E : Ensefalitis
Dengan tetap mempertimbangkan adanya infeksi sistemik / sepsis yang
mungkin melatarbelakanginya atau muncul secara bersamaan.
c) M : Metabolik
Misalnya hiperglikemia, hipoglikemia, hipoksia, uremia, koma hepatikum
d) E : Elektrolit
Misalnya diare dan muntah yang berlebihan.
e) N : Neoplasma
Tumor otak baik primer maupun metastasis
f) I : Intoksikasi
Intoksikasi berbagai macam obat maupun bahan kimia dapat menyebabkan
penurunan kesadaran
g) T : Trauma
Terutama trauma kapitis : komusio, kontusio, perdarahan epidural, perdarahan
subdural, dapat pula trauma abdomen dan dada.
h) E : Epilepsi
Pasca serangan Grand Mall atau pada status epileptikus dapat menyebabkan
penurunan kesadaran.8

3.1.3 Patofisiologi Penurunan Kesadaran


Penurunan kesadaran disebabkan oleh gangguan pada korteks secara
menyeluruh misalnya pada gangguan metabolik, dan dapat pula disebabkan oleh
gangguan ARAS di batang otak, terhadap formasio retikularis di thalamus,
hipotalamus, maupun mesensefalon.
Pada penurunan kesadaran, gangguan terbagi menjadi dua, yakni
gangguan derajat (kuantitas, arousal, wakefulness) kesadaran dan gangguan isi
(kualitas, awareness, alertness) kesadaran. Adanya lesi yang dapat mengganggu
interaksi ARAS dengan korteks serebri, apakah lesi supratentorial, subtentorial,
infratentorial, dan metabolik akan mengakibatkan menurunnya kesadaran.
RAS (reticular activating system) adalah merupakan suatu sistem yang
mengatur beberapa fungsi penting seperti, tidur dan bangun, perhatian/fokus,
kelakuan seseorang, pernapasan dan detak jantung. Sistem ini berada pada batang

25
otak, dibagia menjadi ascending (yang menerima impuls/rangsangan) dan
descending (yang memberi respon terhadap impuls/rangsangan yang diberikan).
Area yang mengatur ARAS (ascending) adalah formation reticularis,
mesencephalon, thalamic intralaminar nucleus, dorsal hipotalamus, dan
tegmentum. Pada DRAS (descending), impuls diteruskan ke saraf-saraf perifer
yang berakhir pada motor end plate dan cerebellum. Neurotransmitter yang
berperan dalam jalur RAS adalah kolinergik dan adrenergik, kadang GABA juga
berperan dalam rangsangan nyeri yang diberikan untuk menilai kesadaran
seseorang.

3.1.4 Klasifikasi Penurunan Kesadaran


Gangguan kesadaran dibagi kepada 3, yaitu gangguan kesadaran tanpa
disertai kelainan fokal/ lateralisasi dan tanpa disertai kaku kuduk; gangguan
kesadaran tanpa disertai kelainan fokal/ lateralisasi disertai dengan kaku kuduk;
dan gangguan kesadaran disertai dengan kelainan fokal.
a) Gangguan kesadaran tanpa disertai kelainan fokal dan kaku kuduk
- Gangguan iskemik
- Gangguan metabolik
- Intoksikasi
- Infeksi sistemis
- Hipertermia

26
- Epilepsi
b) Gangguan kesadaran tanpa disertai kelainan fokal tapi disertai kaku kuduk
- Perdarahan subarakhnoid
- Radang selaput otak (meningitis)
- Radang selaput otak dan jaringan otak (meningoencefalitis)
c) Gangguan kesadaran dengan kelainan fokal
- Tumor otak
- Perdarahan otak
- Infark otak
- Abses otak

3.1.5 Penegakan Diagnosis Penurunan Kesadaran


Untuk mendiagnosis penurunan kesadaran tidaklah sulit. Yang menjadi
masalah apa yang menjadi penyebab penurunan kesadaran tadi dan bagaimana
siatuasi koma yang sedang dihadapinya (tenang, herniasi otak). Pendekatan
diagnostik tidak berbeda dengan kasus-kasus yang lainnya, yaitu melalui urutan
anamnesa, pemeriksaan fisik neurologik, dan pemeriksaan penunjang.
Perbedaannya terletak pada tuntutan kecepatan berpikir dan bertindak7.

Anamnesis (riwayat penyakit) Penurunan Kesadaran2


Tanyakan pada pasien atau pada pengantar tentang lingkungan sekeliling
saat awitan terjadi serta perjalanan penyakitnya. Beberapa poin penting yang
harus ditanyakan:
- Awitan: waktu, lingkungan sekeliling.
- Usia pasien merupakan bagian penting dari anamnesis. Pada pasien yang
sebelumnya sehat, usia muda, penurunan kesadarannya terjadi tida-tiba,
kemungkinan penyebabnya bisa keracunan obat, perdarahan subarachnoid, atau
trauma kepala. Sedangkan pada usia tua, penurunan kesadaran yang tiba-tiba
lebih mungkin disebabkan oleh perdarahan serebral atau infark.
- Gejala-gejala yang mendahului secara terperinci (bingung, nyeri kepala,
kelemahan, pusing, muntah, atau kejang), gejala-gejala fokal seperti sulit
bicara, tidak bisa membaca, perubahan memori, disorientasi, baal atau nyeri,

27
kelemahan motorik, berkurangnya enciuman, perubahan penglihatan, sulit
menelan, gangguan pendengaran, gangguan melangkah atau keseimbangan,
tremor.
- Pemakaian obat-obatan atau alkohol.
- Riwayat penyakit jantung, paru-paru, liver, ginjal, atau yang lainnya

Pemeriksaan Fisik Penurunan kesadaran8


a) Tanda vital
Pemeriksaan tanda vital: perhatikan jalan nafas, tipe pernafasannya dan
perhatikan tentang sirkulasi yang meliputi: tekanan darah, denyut nadi dan ada
tidaknya aritmia.
b) Bau nafas dan pola pernapasan
Bau nafas dapat memberi petunjuk adanya proses patologik tertentu misalnya
uremia, ketoasidosis, intoksikasi obat, dan bahkan proses kematian yang
sednag berlangsung.
Pemeriksaan pola pernafasan berupa:
- Cheyne-Stokes (pernapasan apnea, kemudian berangsur bertambah besar
amplitudonya)→gangguan hemisfer dan atau batang otak bagian atas
- Kussmaul (pernapasan cepat dan dalam) →gangguan di tegmentum (antara
mesensephalon & pons)
- Apneustik (inspirasi dalam diikuti penghentian ekspirasi selama waktu yang
lama) → gangguan di pons
- Ataksik (pernapasan dangkal, cepat, tak teratur)→gangguan di
fomartioretikularis bagian dorsomedial & medula Oblongata
c) Pemeriksaan kulit: pada pemeriksaan kulit, perlu diamati tanda – tanda trauma,
stigmata kelainan hati dan stigmata lainnya termasuk krepitasi dan jejas
suntikan. Pada penderita dengan trauma, kepala pemeriksaan leher itu, harus
dilakukan dengan sangat berhati – hati atau tidak boleh dilakukan jikalau
diduga adanya fraktur servikal. Jika kemungkinan itu tidak ada, maka lakukan
pemeriksaan kaku kuduk dan lakukan auskultasi karotis untuk mencari ada
tidaknya bruit.
d) Kepala: perhatikan ada tidaknya hematom, laserasi dan fraktur.

28
e) Leher: perhatikan kaku kuduk dan jangan manipulasi bila dicurigai fraktur
servikal (jejas, kelumpuhan 4 ekstremitas, trauma di daerah muka).
f) Toraks/abdomen dan ekstremitas: perhatikan ada tidaknya fraktur.

Pemeriksaan Neurologis Penurunan Kesadaran8


Pemeriksaan fisik neurologis bertujuan menentukan kedalaman koma secara
kualitatif dan kuantitatif serta mengetahui lokasi proses koma. Pemeriksaan
neurologis meliputi derajat kesadaran dan pemeriksaan motorik2.
a) Umum
- Buka kelopak mata menentukan dalamnya koma
- Deviasi kepala dan lirikan menunjukkan lesi hemisfer ipsilateral
- Perhatikan mioklonus (proses metabolik), twitching otot berirama (aktivitas
- seizure) atau tetani (spontan, spasmus otot lama).
b) Level kesadaran
- Kualitatif (apatis, somnolen, delirium, soporo dan koma)
- Kuantitatif (menggunakan GCS)
c) Pupil
- Diperiksa: ukuran, reaktivitas cahaya
- Simetris/reaktivitas cahaya normal, petunjuk bahwa integritas mesensefalon
baik.Pupil reaksi normal, reflek kornea dan okulosefalik(-), dicurigai suatu
koma metabolik
- Midposisi(2-5mm),ƒixed dan irregular, lesi mesenfalon fokal.
- Pupil reaktif point-point, pada kerusakan pons, intoksikasi opiate kolinergik.
- Dilatasi unilateral danƒixed,terjadi herniasi.
- Pupil bilateral ƒixed dan dilatasi, herniasi sentral, hipoksik – iskemi global,
keracunan barbiturat.
- Funduskopi: Pada pemeriksaan funduskopik perhatikanlah keadaan papil.
apakah ada edema, perdarahan, dan eksudasi, serta bagaimana keadaan
pembuluh darah. Tekanan intrakranlal yang meninggi dapat menyebabkan
terjadinya edema papli.

29
d) Refleks okulovestibuler/okulosefalik (dolls eye manuevre)
Pergerakan bola mata untuk melirik dan memfokuskan pandangan diatur
oleh nervus okulomotorius. Nuclei nervus oculomotor mendapat impuls aferen
dari cortical, tectal, dan tegmental sistem oculomotor, serta impuls langsung dari
sistem vestibular dan vestibule cerebellum. Reflex okulovestibuler diperiksa
dengan menolehkan kepala pasien, namun harus hati-hati pada pasien trauma
yang dicurigai adanya fraktur atau dislokasi dari tulang cervical. Selain dengan
menolehkan kepala pasien, dapat juga tes kalori. Respon normal dari gerakan
yang menimbulkan impuls pada vestibular menuju sistem okulomotor dan
membuat mata berputar berlawanan arah dengan gerakan yang diberikan
pemeriksa. Pada pasien sadar, refleks memfokuskan pandangan menutupi reflex
tesebut, sehingga pemeriksaan doll’s eye tidak dilakukan pada pasien sadar,
namun pada pasien dengan penurunan kesadaran.
Refleks okuloauditorik, bila dirangsang suara keras penderita akan
menutup mata maka gangguan di pons. Sedangkan pada refleks okulovestibular
bila meatus autikus eksteernus dirangsang air hangat akan timbul nistagmus ke
arah rangsangan maka gangguan di pons.
Pemeriksaan pupil berupa:
- Lesi di hemisfer →kedua mata melihat ke samping ke arah hemisfer yang
terganggu.Besar dan bentuk pupil normal. Refleks cahaya positif normal
- Lesi di talamus→kedua mata melihat ke hidung (medial bawah), pupil kecil,
reflekscahaya negatif.
- lesi di pons →kedua mata di tengah, gerakan bola mata tidak ada, pupil kecil,
reflekscahaya positif, kadang terdapat ocular bobing.
- lesi di serebellum→kedua mata ditengah, besar, bentuk pupil normal, refleks
cahaya positif normal
- gangguan N oculomotorius→pupil anisokor, refleks cahaya negatif pada
pupil yanglebar, ptosis
e) Pemeriksaan rangsang meningeal
f) Fungsi motorik
Perhatikan adanya gerakan pasien, apakah asimetrik (ada paresis). Gerak
mioklonik dapat dijumpai pada ensefalopati metabolik (mininya pada gagal hepar,

30
uremta. htpoksia). demikian juga gerak astcriksis. Kejang miofokal dapat
dijumpai pada gangguan metaboik. Sikap dekortikasi (lengan dalam keadaan
fleksi dan aduksi. Sedangkan tungkai dalam keadaan okstensi) menandakan lesi
yang dalam pada hemisfer atau tepat di alas mesensefalon. Sikap deserebrasl
(lengan dalam keadaan ekstensi, aduksi dan endorotasl, sedangkan tungkai dalam
sikap ekstensi) dapat dijumpai pada lesi batang otak bagian atas di antara nukleus
ruber dan nukleus vestibular.

3.1.6 Tatalaksana Penurunan Kesadaran


Langkah pertama yang harus diperhatikan saat melakukan penilaian pada
pasien dengan penurunan kesadaran baik etiologi yang mendasarinya seperti
kelainan struktural maupun metabolik kondisi medis utama yaitu kondisi jalan
napas, pola pernafasan, dan sirkulasi untuk reperfusi dan oksigenasi sistem saraf
pusat. Prinsip tatalaksana pasien dengan penurunan secara umum adalah:2
• Oksigenasi
• Mempertahankan sirkulasi
• Mengontrol glukosa
• Menurunkan tekanan tinggi intrakranial
• Menghentikan kejang
• Mengatasi infeksi
• Menoreksi keseimbangan asam-basa serta keseimbangan elektrolit
• Penilaian suhu tubuh
• Pemberian thiamin
• Pemberian antidotum (contoh: nalokson pada kasus keracunan morfin)
• Mengontrol agitasi

a) Mengontrol jalan napas (airway)2


Jalan napas yang baik dan suplementasi oksigen yang adekuat merupakan
tindakan yang sangat penting dalam mencegah terjadinya kerusakan otak lebih
lanjut akibat kondisi penurunan kesadaran terutama pada kasus-kasus yang akut.
Tindakan menjaga jalan napas tetap baik yang paling sederhana adalah dengan
mencegah jatuhnya lidah ke dinding faring posterior dengan jaw lift maneuver

31
yaitu dengan mengekstensinya kepala samapi menyentuh atlanto-occipital joint
bersamaan dengan menarik mandibula ke depan. Manuver ini dapat memperlebar
jarak antara lidah dan dinding faring sekitar 25%. Manuver ini tidak boleh
dilakukan pada kecurigaan adanya fraj=ktur atau lesi pada daerah cervical.
Pemasangan oropharingeal tube dapat juga dilakukan untuk menjaga
patensi jalan napas pada pasien dengan penurunan kesadaran. Oral airway device
dapat digunakan untuk mencegah tergigitnya lidah pada pasien dengan penurunan
kesadaran disertai kejang. Sedangkan nasal airway juga dapat digunakan dengan
menempatkan selang oksigen ke lubang hidung maupun nasofaring. Nasal airway
dapat digunakan pada pasien dengan kecurigaan adanya lesi pada cervical dan
kontraindikasi untuk dilakukan maneuver jaw lift maupun head-tilt.
Tindakan intubasi merupakan indikasi untuk jalan napas tetap terjaga
dengan baik pada pasien dengan penurunan kesadaran dan gangguan fungsi
bulber. Pasien dengan GCS yang rendah memiliki risiko yang lebih tinggi untuk
mengalami gangguan pernafasan walaupun masalah utamanya bukan pada sistem
pernafasan. Pasien dengan nilai GCS 8 harus dilakukan tindakan intubasi.
b) Pernafasan2
Pada pasien dengan penurunan kesadaran perlu diperhatikan frekuensi
pernafasan dan pola pernafasan. Frekuansi pernafasan normal adalah 16-24 kali
permenit dengan pola nafas torakoabdominal. Pada psien dengan gangguan
pernafasan seringkali disertai retraksi otot-otot ekstrapulmonal, seperti rektarksi
suprasternal, retraksi supraklavikula, dan retraksi otot abdominal. Suara nafas
tambahan juga perlu diperhatikan pada pasien dengan penurunan kesadaran.
Suplai oksigen binasal dapat diberikan sesuai dengan oksigenasinya. Pada
keadaan tertentu seperti kecurigaan adanya penyakit paru yang berat dapat
siperiksa analisis gas darah dan digunakan ventilator bila terdapat kondisi gagal
nafas.
3) Sirkulasi2
Pada pasien dengan penurunan kesadaran, untuk monitor dan evaluasi
kondisi sirkulasi sebaiknya dipasang kateterisasi vena sentral untuk memudahkan
dalam monitoring cairan dan pemberian nutrisi. Selain itu pula optimalkan
tekanan darah dengan target Mean Arterial Pressure di atas 70mmHg. Pada

32
kondisi hipovolemia berikan cairan kristaloid isotonik seperti cairan NaCl
fisiologis dan ringer laktat. Kita harus menghindari pemberian cairan hipotonik
seperti cairan glukosa maupun dektrosa terutama pada kasus stroke kecuali
penyebab penurunan kesadarannya adalah kondisi hipoglikemi. Bila cairan infus
sudah diberikan tetapi MAP belum mencapoai target, maka diusahakan untuk
pemberian obat-obatan vasopresor seperti dopamine dan epinefrin/norepinefrin.

3.1.7 Prognosis Penurunan Kesadaran


Prognosis penurunan kesadaran bersifat luas tergantung kepada penyebab,
kecepatan serta ketepatan dari pengobatan yang diberikan. Sehingga pemeriksaan
dan penegakan diagnosis pada kasus penurunan kesadaran harus dilakukan
sesegera mungkin untuk mencegah timbulnya kelainan yang sifatnya ireversible.
Prognosis jelek bila didapatkan gejala-gejala adanya gangguan fungsi
batang otak, seperti doll’s eye, refleks kornea yang negatif, refleks muntah yang
negatif; Pupil lebar tanpa adanya refleks cahaya; dan GCS yang rendah (1-1-1)
yang terjadi selama lebih dari 3 hari2.

3.2 Cerebrovascular Disease (CVD)


3.2.1 Definisi Stroke
Definisi stroke menurut World Health Organization (WHO),
diperkenalkan tahun 1970 dan masih digunakan sampai sekarang, adalah tanda-
tanda klinis dari gangguan fungsi serebri fokal atau global yang berkembang
dengan cepat atau tiba-tiba, berlangsung lebih dari 24 jam atau berakhir dengan
kematian, dengan tidak tampaknya penyebab lain selain penyebab vaskular.1
Stroke dapat dikarakteristikkan sebagai suatu defisit neurologis yang terjadi akibat
trauma fokal yang terjadi secara akut pada sistem saraf pusat yang disebabkan
oleh gangguan pada sistem vaskular, termasuk infark serebri, perdarahan
intraserebri, dan perdarahan subaraknoid, dan merupakan penyebab terbesar dari
disabilitas dan kematian di seluruh dunia.2

3.2.2 Epidemiologi Stroke

33
Di Amerika Serikat, stroke menempati urutan ketiga penyebab kematian
setelah penyakit jantung dan kanker. Di Indonesia, data nasional epidemiologi
stroke belum ada. Tetapi dari data sporadis di rumah sakit terlihat adanya tren
kenaikan angka morbiditas stroke yang seiring dengan makin panjangnya life
expentancy dan gaya hidup yang berubah. Mortalitas pasien stroke di RSUP Dr
Sardjito Yogyakarta menduduki peringkat ketiga setelah penyakit jantung koroner
dan kanker, 51,58% akibat stroke hemoragik, 47,37% akibat stroke iskemik, dan
1,05% akibat perdarahan subaraknoid.3,4
Karakteristik demografik yang umum dianalisa untuk stroke adalah usia dan
gender. Dari berbagai studi yang dilakukan di berbagai belahan dunia, terlihat hal
yang sama, yaitu adanya korelasi antara peningkatan kejadian stroke dengan
pertambahan umur. Untuk gender, kejadian stroke lebih sering pada pria
dibandingkan wanita di usia kuang dari 60 tahun dan relatif menjadi hampir sama
di usia lebih dari 60 tahun. Pada 1053 kasus stroke di 5 rumah sakit di
Yogyakarta, angka kematian tercatat sebesar 28.3%; sedangkan pada 780 kasus
stroke iskemik adalah 20,4%, lebih banyak pada laki-laki.3,4
Penelitian prospektif tahun 1996/1997 mendapatkan 2.065 pasien stroke dari
28 rumah sakit di Indonesia. Survei Departemen Kesehatan RI pada 987.205
subjek dari 258.366 rumah tangga di 33 propinsi mendapatkan bahwa stroke
merupakan penyebab kematian utama pada usia > 45 tahun (15,4% dari seluruh
kematian). Prevalensi stroke rata-rata adalah 0,8%, tertinggi 1,66% di Nangroe
Aceh Darussalam dan terendah 0,38% di Papua. Terdapat peningkatan insidensi
stroke per tahun, khususnya pada RSUP Dr. Sardjito dari tahun 2004-2009 (tabel
2).4

3.2.3 Faktor Risiko Stroke


Faktor-faktor risiko penyakit kardiovaskular tampak signifikan pada semua
populasi. Pada negara maju, 1/3 dari semua penyakit serebrovaskular berkaitan
dengan lima faktor risiko: penggunaan tembakau dan alkohol, tekanan darah
tinggi, kolesterol tinggi, dan obesitas. Pada Negara Cina dengan mortalitas
rendah, faktor-faktor risiko penyakit kardiovaskular juga terdapat pada daftar 10
tertinggi, berhubungan dengan masalah malnutrisi dan penyakit komunitas lain.

34
Faktor risiko tertinggi terhadap kejadian penyakit kardiovaskular di negara
berkembang adalah tekanan darah tinggi, kolesterol tinggi, penggunaan tembakau
dan alkohol, dan rendahnya konsumsi buah dan sayur.5
Tabel 3.2.3 Faktor-faktor risiko modifiable dan non-modifiable4

3.2.4 Klasifikasi Stroke


Klasifikasi modifikasi Marshall, yaitu:3
 Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya
a. Stroke Iskemik
- Serangan iskemik sepintas (Transient Ischemic Attack/TIA)
- Trombosis serebri
- Emboli serebri
b. Stroke Hemoragik
- Perdarahan intra serebral
- Perdarahan subarakhnoid
 Berdasarkan stadium/pertimbangan waktu
 TIA
 Stroke-in-evolution
 Completed stroke
 Berdasarkan sistem pembuluh darah
 Sistem karotis
 Sistem vertebro-basilar
Stroke mempunyai tanda klinik spesifik, tergantung daerah otak yang
mengalami iskemia atau infark. Serangan pada beberapa arteri akan memberikan
kombinasi gejala yang lebih banyak pula.

35
Bamford (1992), mengajukan klasifikasi klinis saja yang dapat dijadikan
pegangan, yaitu:
A. Total Anterior Circulation Infarct (TACI)
Gambaran klinik :
 Hemiparesis dengan atau tanpa gangguan sensorik (kontralateral sisi lesi)
 Hemianopia (kontralateral sisi lesi)
 Gangguan fungsi luhur : missal, disfasia, gangguan visuo spasial,
hemineglect, agnosia, apraxia.
Infark tipe TACI ini penyebabnya adalah emboli kardiak atau trombus arteri
ke arteri, maka dengan segera pada penderita ini dilakukan pemeriksaan
fungsi kardiak (anamnesia penyakit jantung, EKG,foto thorax) dan jika
pemeriksan kearah emboli arteri ke arteri mendapatkan hasil normal (dengan
bruit leher negatif, dupleks karotis normal), maka dipertimbangkan untuk
pemeriksaan ekhokardiografi.
B. Partial Anterior Circulation Infarct (PACI)
Gejala lebih terbatas pada daerah yang lebih kecil dari sirkulasi serebral
pada sistem karotis, yaitu:
1. Defisit motorik/sensirik dan hemianopia.
2. Defisit motorik/ sensorik disertai gejala fungsi luhur
3. Gejala fungsi luhur dan hemianopia
4. Defisit motorik/sensorik murni yang kurang extensif dibanding infark
lakunar (hanya monoparesis- monosensorik),
5. Gangguan fungsi luhur saja.
Gambaran klinis PACI terbatas secara anatomik pada daerah tertentu dan
percabangan arteri serebri media bagian kortikal, atau pada percabangan
arteri serebri media pada penderita dengan kolateral kompensasi yang baik
atau pada arteri serebri anterior. Pada keadaan ini kemungkinan embolisasi
sistematik dari jantung menjadi penyebab stroke terbesar dan pemeriksaan
tambahan dilakukan seperti pada TACI.
C. Lacunar Infarct (LACI)

36
Disebabkan oleh infark pada arteri kecil dalam otak (small deep infarct)
yang lebih sensitif dilihat dengan MRI dari pada CT scan otak.
Tanda-tanda klinis :
1) Tidak ada defisit visual
2) Tidak ada gangguan fungsi luhur
3) Tidak ada gangguan fungsi batang otak
4) Defisit maksimum pada satu cabang arteri kecil
5) Gejala :
 Pure motor stroke (PMS)
 Pure sensory stroke (PSS)
 Ataksik hemiparesis (termasuk ataksia dan paresis unilateral,
dysarthria-hand syndrome)
Jenis infark ini bukan disebabkan karena proses emboli karena biasanya
pemeriksaan jantung dan arteri besar normal, sehingga tidak diperlukan
pemeriksaan khusus untuk mencari emboli kardiak.

D. Posterior Circulation Infarct (POCI)


Terjadi oklusi pada batang otak dan atau lobus oksipitalis. Penyebabnya
sangat heterogen dibanding dengan 3 tipe terdahulu.
Gejala klinis:
 Disfungsi saraf otak, satu atau lebih sisi ipsilateral dan gangguan
motorik/sensorik kontralateral.
 Gangguan motorik/ sensorik bilateral.
 Gangguan gerakan konjugat mata (horizontal atau vertikal)
 Disfungsi serebelar tanpa gangguan long-tract ipsilateral.
 Isolated hemianopia atau buta kortikal.
Heterogenitas penyebab POCI menyebabkan pemeriksaan kasus harus
lebih teliti dan lebih mendalam. Salah satu jenis POCI yang sering disebabkan
emboli kardiak adalah gangguan batang otak yang timbulnya serentak dengan
hemianopia homonym (Warlow et. al 1995).

3.2.5 Penegakkan Diagnosis Stroke

37
Diagnosis stroke dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Defisit neurologis yang terjadi secara tiba-tiba, saat aktifitas/istirahat,
kesadaran baik/terganggu, nyeri kepala/tidak, muntah/tidak, kejang/tidak,
kelemahan sesisi tubuh/ tidak, gangguan sensibilitas/tidak, afasia/tidak,
riwayat hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung (faktor risiko stroke
lainnya), lamanya (onset), serangan pertama/ulang.
2. Pemeriksaan Fisik
Status generalis : kesadaran (Glasgow Coma Scale), vital sign (TD, Nadi,
RR, Temperatur) dan pemeriksaan umum lainnya
Status neurologis : ditemukan adanya defisit neurologis pada salah satu atau
lebih dari pemeriksaan berikut ini: pemeriksaan saraf-saraf kranialis, fungsi
motorik, sensorik, luhur, vegetatif, gejala rangsang meningeal, gerakan
abnormal, gait dan keseimbangan. Penentuan stroke dapat dilakukan dengan
menggunakan Skor Stroke Siriraj dan Algoritma Gajah Mada (tabel 2 dan
tabel 2).
Tabel 2. Skor Stroke Siriraj

38
Tabel 2 Algoritma Gajah Mada

3. Pemeriksaan Penunjang
 Laboratorium : darah perifer lengkap, faal hemostasis (PT, APTT,
Fibrinogen, INR, D-dimer), BSS, fungsi ginjal ( Ureum, Kreatinin,
Asam urat),fungsi jantung (CK-NAK, CK-MB), fungsi hati ( SGOT,
SGPT), Profil lipid (Kolesteroltotal,LDL,HDL,Trigliserida),
elektrolit, analisa gas darah (AHA/AS, Class I, Level of evidence B)
 EKG (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B)
 Rontgen Thorak (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B)
 CT SCAN kepala tanpa kontras sebagai golden standar (AHA/ASA,
Class II, Level of evidence A)
 MRI kepala (AHA/ASA, Class II, Level of evidence A)
 MRA (AHA/ASA, Class I, Level of evidence A)
 CT Angiografi (AHA/ASA, Class II, Level of evidence A)
 Pungsi lumbal

39
 Echocardiography ( TTE dan atau TEE) (AHA/ASA, Class III,
Level of evidence B)
 Carotid Doppler (USG Carotis)
 Transcranial Doppler /TCD (AHA/ASA, Class II, Level of evidence
A)
Diagnosis banding:
1. Ensefalopati toksik atau metabolik
2. Kelainan non neurologis / fungsional ( contoh : kelainan jiwa)
3. Bangkitan epilepsi yang disertai paresis Todd’s
4. Migren hemiplegic
5. Lesi struktural intracranial (hematoma subdural, tumor otak, AVM)
6. Infeksi ensefalitis, abses otak
7. Trauma kepala
8. Ensefalopati hipertensif
9. Sklerosis multiple

3.2.6 Klasifikasi Stroke Hemoragik


Pembagian stroke hemorgaik dapat dibedakan berdasarkan penyebab
perdarahannya1,2, yaitu:
a) Perdarahan Intraserberal
Perdarahan intaserebral dibagi menjadi dua, yaitu perdarahan intaserebral primer
dan perdarahan intraserebral sekunder. Perdarahan intraserbral primer disebabkan
oleh hipertensi kronik yang menyebabkan vaskulopati serebral dengan akibta
pecahnya pembuluh darah otak. Sedangkan perdarahan sekunder terjadi aakibat
adanya anomaly vaskular congenital, koagulopati, tumor otak, vaskulitis, maupun
akibat obat-obat antikoagulan. Diperkirakan sekitar 50% dari penyebab
perdarahan intraserebral adalah hipertensi kronik. 4
b) Perdarahan Subarachnoid
Perdarahan subarachnoid terjadi bila keluarnya darah ke ruang subarachnoid
sehingga menyebakan reaksi yang cukup hebat berupa sakit keapala yang hebat
dan bahkan penurunan kesadaran. Perdarahan subarachnoid dapat terjadi akibat
pecahnya aneurisma sakuler.

40
3.2.7 Patogenesis Stroke Hemoragik
Perdarahan intraserebral terjadi dalam 3 fase, yaitu fase initial
hemorrhage, hematoma expansion dan peri-hematoma edema. Fase initial
hemmorhage terjadi akibat rupturnya arteri serebral. hipertensi kronis, akan
menyebabkan perubahan patologi dari dinding pembuluh darah. Perubahan
patologis dari dinding pembuluh darah tersebut dapat berupa hipohialinosis,
nekrosis fibrin serta timbulnya aneurisma tipe Bouchard. Kenaikan tekanan darah
dalam jumlah yang mencolok dan meningkatnya denyut jantung, dapat
menginduksi pecahnya aneurisma, sehingga dapat terjadi perdarahan. Perdarahan
ini akan menjadi awal dari timbulnya gejala-gejala klinis (fase hematoma
expansion). 1,2,12 Pada fase hematoma expansion, gejala-gejala klinis mulai timbul
seperti peningkatan tekanan intracranial. Meningkatnya tekanan intracranial akan
mengganggu integritas jaringan-jaringan otak dan blood brain-barrier.
Perdarahan intraserebral lama kelamaan akan menyebabkan terjadinya inflamasi
sekunder dan terbentuknya edema serebri (fase peri-hematoma edema). Pada fase
ini defisit neurologis, yang mulai tampak pada fase hematoma expansion, akan
terus berkembang. Kerusakan pada parenkim otak, akibat volume perdarahan
yang relatif banyak akan mengakibatkan peninggian tekanan intracranial dan
menyebabkan menurunnya tekanan perfusi otak serta terganggunya drainase otak.
Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar serta kaskade iskemik akibat
menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan neuron-neuron di daerah yang terkena
darah dan sekitarnya menjadi lebih tertekan dan defisit neurologis pun akan
semakin berkembang.
Ukuran perdarahan akan berperan penting dalam menentukan prognosis.
Perdarahan yang kecil ukurannya akan menyebabkan massa darah menerobos atau
menyela di antara selaput akson massa putih “dissecan splitting” tanpa
merusaknya. Dalam keadaan ini, absorpsi darah akan diikuti oleh pulihnya fungsi-
fungsi neurologi. Sedangkan bila perdarahan yang terjadi dalam jumlah besar,
maka akan merusak struktur anatomi dari otak, peningkatan tekanan intracranial

41
dan bahkan dapat menyebabkan herniasi otak pada falx serebri atau lewat foramen
magnum. Perdarahan intraserebral yang yang tidak diatasi dengan baik akan
menyebar hingga ke ventrikel otak sehingga menyebabkan perdarahan
intraventrikel. Perdarahan intraventrikel ini diikuti oleh hidrosefalus obstruktif
dan akan memperburuk prognosis. Jumlah perdarahan yang lebih dari 60 ml akan
meningkatkan resiko kematian hingga 93%. 1,2,14

3.2.8 Gejala Stroke Hemoragik


Serangan stroke jenis apa pun akan menimbulakan defisist neurologi yang
bersifat akut, baik deficit motorik, deficit sensorik, penurnan kesadaran, gangguan
fungsi luhur, maupun gangguan pada batang otak. 6
Gejala klinis dari stroke hemoragik dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1) Gejala perdarahan intraserebral
Perdarahan intraserebral umumnya terjadi pada usia 50-75 tahun.
Perdarahan intraserebral umunya akan menunjukkan gejala klinis berupa:
a. Terjadi pada waktu aktif
b. Nyeri kepala , yang diikuti dengan muntah dan penurunan
kesadaran
c. Adanya riwayat hipertensi kronis
d. Nyeri telinga homolaterlal (lesi pada bagian temporal), afasia (lesi
pada thalamus)
e. Hemiparese kontralateral
2) Gejala perdarahan subarachnoid
Pada perdarahan subarachnoid akan menimbulakan tanda dan gejala klinis
berupa:
a. Nyeri kepala yang hebat dan mendadak
b. Hilangnya kesdaran
c. Fotofobia
d. Meningismus
e. Mual dan muntah
f. Tanda-tanda perangsangan meningeal, seperti kaku kuduk.

42
3.2.9 Diagnosis Stroke Hemoragik
1) Anamnesis
Pada anamnesa akan ditemukan kelumpuhan anggota gerak, mulut mengot
atau bicara pelo yang terjadi secara tiba-tiba pada saat sedang beraktivitas. Selain
itu, pada anamnesa juga perlu ditanyakan penyakit-penyakit tedahulu seperti
diabetes mellitus atau kelainan jantung. Obat-obatan yang dikonsumsi, riwayat
penyakit dalam keluarga juga perlu ditanyakan pada anamnesa.

2) Pemeriksaan Fisik
Pada pasien stroke perlu dilakukan pemeriksaan fisik neurologi seperti
tingkat kesadaran, ketangkasan gerakan, kekuatan otot, refleks tendon, refleks
patologis dan fungsi saraf kranial. Pemeriksaan tingkat kesadaran dengan
Glasgow Coma Scale (GCS).
Gangguan ringan ketangkasan gerakan jari-jari tangan dan kaki dapat
dinilai melalui tes yang dilakukan dengan cara menyuruh penderita membuka dan
menutup kancing bajunya. Kemudian melepas dan memakai sandalnya.
Penilaian kekuatan otot dalam derajat tenaga 0 sampai 5 secara praktis
mempunyai kepentingan dalam penilaian kemajuan atau kemunduran orang sakit
dalam perawatan dan bukan suatu tindakan pemeriksaan yang semata-mata
menentukan suatu kelumpuhan.
Pemeriksaan kekuatan otot adalah sebagai berikut :
0 : Tidak ada kontraksi otot
1 : Terjadi kontraksi otot tanpa gerakan nyata
2 : Pasien hanya mampu menggeserkan tangan atau kaki
3 : Mampu mengangkat tangan, tetapi tidak mampu menahan gravitasi
4 : Tidak mampu menahan tangan pemeriksa
5 : Kekuatan penuh
Refleks patologis dapat dijumpai pada sisi yang hemiparetik. Refleks
patologis yang dapat dilakukan pada tangan ialah refleks Hoffmann–Tromner.
Sedangkan refleks patologis yang dapat dibangkitkan di kaki ialah refleks
Babinsky, Chaddock, Oppenheim, Gordon, Schaefer dan Gonda.4
Saraf kranial adalah 12 pasang saraf pada manusia yang keluar melalui
otak, berbeda dari saraf spinal yang keluar melalui sumsum tulang belakang. Saraf

43
kranial merupakan bagian dari sistem saraf sadar. Dari 12 pasang saraf, 3 pasang
memiliki jenis sensori (saraf I, II, VIII), 5 pasang jenis motorik (saraf III, IV, VI,
XI, XII) dan 4 pasang jenis gabungan (saraf V, VII, IX, X).

Tabel 4. Gangguan nervus kranialis. 20

Nervus kranial Fungsi Penemuan klinis dengan


lesi
I: Olfaktorius Penciuman Anosmia (hilangnya daya
penghidu)
II: Optikus Penglihatan Amaurosis
III: Okulomotorius Gerak mata, kontriksi pupil, Diplopia (penglihatan
akomodasi kembar), ptosis; midriasis;
hilangnya akomodasi
IV: Troklearis Gerak mata Diplopia
V: Trigeminus Sensasi umum wajah, kulit ”mati rasa” pada wajah;
kepala, dan gigi; gerak kelemahan otot rahang
mengunyah
VI: Abdusen Gerak mata Diplopia
VII: Fasialis Pengecapan; sensasi umum Hilangnya kemampuan
pada platum dan telinga mengecap pada duapertiga
luar; sekresi kelenjar anterior lidah; mulut
lakrimalis, submandibula kering; hilangnya
dan sublingual; ekspresi lakrimasi; paralisis otot
wajah wajah
VIII: Vestibulokoklearis Pendengaran; Tuli; tinitus(berdenging
keseimbangan terus menerus);
vertigo;nistagmus
IX: Glosofaringeus Pengecapan; sensasi umum Hilangnya daya
pada faring dan telinga; pengecapan pada sepertiga
mengangkat palatum; posterior lidah; anestesi
sekresi kelenjar parotis pada faring; mulut kering

44
sebagian

X: Vagus Pengecapan; sensasi umum Disfagia (gangguan


pada faring, laring dan menelan) suara parau;
telinga; menelan; fonasi; paralisis palatum
parasimpatis untuk jantung
dan visera abdomen
XI: Asesorius Spinal Fonasi; gerakan kepala; Suara parau; kelemahan
leher dan bahu otot kepala, leher dan bahu
XII: Hipoglosus Gerak lidah Kelemahan dan pelayuan
lidah

3) Pemeriksaan Penunjang
a) CT scan
- Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan baku emas untuk membedakan
stroke infark dengan stroke perdarahan.
- Pada stroke karena infark, gambaran CT scannya secara umum adalah
didapatkan gambaran hipodens sedangkan pada stroke perdarahan
menunjukkan gambaran hiperdens.
-
Intracranial Hemorrhage
Pada intracranial hemorrhage, pada fase akut
(<24 jam), gambaran radiologi akan terlihat
hyperdense, sedangkan jika fase subakut (24
jam – 5 hari) akan terlihat isodense,
sedangkan pada fase kronik (> 5hari) akan
terlihat gambaran hypodense. Perdarahan
terjadi di intracerebral sehingga gambaran
CSF akan terlihat jernih.

45
Subarachnoid Hemorrhage
Pada subarachonid hemorrhage, gambaran radiologi akan memperlihatkan
ruangan yang diisi dengan CSF menjadi isodens.

Pemeriksaan MRI
Pemeriksaan ini sangat baik untuk menentukan adanya lesi di batang otak
(sangat sensitif). Secara umum juga lebih sensitif dibandingkan CT scan, terutama
untuk mendeteksi pendarahan posterior.
Pemeriksaan Angiografi
Pemeriksaan ini digunakan untuk menentukan apakah lokasi pada sistem
karotis atau vertebrobasiler, menentukan ada tidaknya penyempitan, oklusi atau
aneurisma pada pembuluh darah.
Pemeriksaan USG
Pemeriksaan ini untuk menilai pembuluh darah intra dan ekstra kranial,
menentukan ada tidaknya stenosis arteri karotis.
Pemeriksaan Pungsi Lumbal
Pemeriksaan ini digunakan apabila tidak ada CT scan atau MRI. Pada
stroke perdarahan intraserebral didapatkan gambaran LCS seperti cucian daging
atau berwarna kekuningan. Pada perdarahan subaraknoid didapatkan LCS yang
gross hemorragik. Pada stroke infark tidak didapatkan perdarahan (jernih).
Pemeriksaan Penunjang Lain.
Pemeriksaan untuk menetukan faktor risiko seperti darah rutin, komponen
kimia darah (ureum, kreatinin, asam urat, profil lipid, gula darah, fungsi hepar),
elektrolit darah, foto toraks, EKG, echocardiografi.

3.3.10 Tatalaksana Stroke Hemoragik


1) Stadium Hiperakut

46
Tindakan pada stadium ini dilakukan di Instalasi Rawat Darurat dan
merupakan tindakan resusitasi serebro-kardio-pulmonal bertujuan agar kerusakan
jaringan otak tidak meluas. Pada stadium ini, pasien diberi oksigen 2 L/menit dan
cairan kristaloid/koloid; hindari pemberian cairan dekstrosa atau salin dalam H2O.
Dilakukan pemeriksaan CT scan otak, elektrokardiografi, foto toraks, darah
perifer lengkap dan jumlah trombosit, protrombin time/INR, APTT, glukosa
darah, kimia darah (termasuk elektrolit); jika hipoksia, dilakukan analisis gas
darah. Tindakan lain di Instalasi Rawat Darurat adalah memberikan dukungan
mental kepada pasien serta memberikan penjelasan pada keluarganya agar tetap
tenang.
2) Stadium Akut
Pasien stroke hemoragik harus dirawat di ICU jika volume hematoma >30
mL, perdarahan intraventrikuler dengan hidrosefalus, dan keadaan klinis
cenderung memburuk. Tekanan darah harus diturunkan sampai tekanan darah
premorbid atau 15-20% bila tekanan sistolik >180 mmHg, diastolik >120 mmHg,
MAP >130 mmHg, dan volume hematoma bertambah. Bila terdapat gagal
jantung, tekanan darah harus segera diturunkan dengan labetalol iv 10 mg
(pemberian dalam 2 menit) sampai 20 mg (pemberian dalam 10 menit) maksimum
300 mg; enalapril iv 0,625-1.25 mg per 6 jam; kaptopril 3 kali 6,25-25 mg per
oral. Jika didapatkan tanda tekanan intracranial meningkat, posisi kepala
dinaikkan 30º, posisi kepala dan dada di satu bidang, pemberian manitol (lihat
penanganan stroke iskemik), dan hiperventilasi (pCO2 20-35 mmHg). 4,5,16
Terapi umum:
a. Letakkan kepala pasien pada posisi 30º, kepala dan dada pada satu
bidang; ubah posisi tidur setiap 2 jam; mobilisasi dimulai bertahap bila
hemodinamik sudah stabil. Selanjutnya, bebaskan jalan napas, beri
oksigen 1-2 liter/menit sampai didapatkan hasil analisis gas darah. Jika
perlu, dilakukan intubasi. Demam diatasi dengan kompres dan
antipiretik, kemudian dicari penyebabnya; jika kandung kemih penuh,
dikosongkan (sebaiknya dengan kateter intermiten).
b. Pemberian nutrisi dengan cairan isotonik, kristaloid atau koloid 1500-
2000 mL dan elektrolit sesuai kebutuhan, hindari cairan mengandung

47
glukosa atau salin isotonik. Pemberian nutrisi per oral hanya jika fungsi
menelannya baik; jika didapatkan gangguan menelan atau kesadaran
menurun, dianjurkan melalui selang nasogastrik.
c. Kadar gula darah >150 mg% harus dikoreksi sampai batas gula darah
sewaktu 150 mg% dengan insulin drip intravena kontinu selama 2-3 hari
pertama. Hipoglikemia (kadar gula darah < 60 mg% atau < 80 mg%
dengan gejala) diatasi segera dengan dekstrosa 40% iv sampai kembali
normal dan harus dicari penyebabnya.
d. Nyeri kepala atau mual dan muntah diatasi dengan pemberian obat-
obatan sesuai gejala. Tekanan darah tidak perlu segera diturunkan,
kecuali bila tekanan sistolik ≥220 mmHg, diastolik ≥120 mmHg, Mean
Arterial Blood Pressure (MAP) ≥ 130 mmHg (pada 2 kali pengukuran
dengan selang waktu 30 menit), atau didapatkan infark miokard akut,
gagal jantung kongestif serta gagal ginjal. Penurunan tekanan darah
maksimal adalah 20%, dan obat yang direkomendasikan: natrium
nitroprusid, penyekat reseptor alfa-beta, penyekat ACE, atau antagonis
kalsium. Jika terjadi hipotensi, yaitu tekanan sistolik ≤ 90 mm Hg,
diastolik ≤70 mmHg, diberi NaCl 0,9% 250 mL selama 1 jam,
dilanjutkan 500 mL selama 4 jam dan 500 mL selama 8 jam atau sampai
hipotensi dapat diatasi. Jika belum terkoreksi, yaitu tekanan darah
sistolik masih < 90 mmHg, dapat diberi dopamin 2-20 μg/kg/menit
sampai tekanan darah sistolik ≥ 110 mmHg.
e. Jika kejang, diberi diazepam 5-20 mg iv pelan-pelan selama 3 menit,
maksimal 100 mg per hari; dilanjutkan pemberian antikonvulsan per oral
(fenitoin, karbamazepin). Jika kejang muncul setelah 2 minggu,
diberikan antikonvulsan peroral jangka panjang.
f. Jika didapatkan tekanan intrakranial meningkat, diberi manitol bolus
intravena 0,25 sampai 1 g/ kgBB per 30 menit, dan jika dicurigai
fenomena rebound atau keadaan umum memburuk, dilanjutkan
0,25g/kgBB per 30 menit setiap 6 jam selama 3-5 hari. Harus dilakukan
pemantauan osmolalitas (<320 mmol); sebagai alternatif, dapat diberikan
larutan hipertonik (NaCl 3%) atau furosemid.

48
Terapi khusus
Neuroprotektor dapat diberikan kecuali yang bersifat vasodilator. Tindakan bedah
mempertimbangkan usia dan letak perdarahan yaitu pada pasien yang kondisinya
kian memburuk dengan perdarahan serebelum berdiameter >3 cm3, hidrosefalus
akut akibat perdarahan intraventrikel atau serebelum, dilakukan VP-shunting, dan
perdarahan lobar >60 mL dengan tanda peningkatan tekanan intrakranial akut dan
ancaman herniasi. Pada perdarahan subaraknoid, dapat digunakan antagonis
Kalsium (nimodipin) atau tindakan bedah (ligasi, embolisasi, ekstirpasi, maupun
gamma knife) jika penyebabnya adalah aneurisma atau malformasi arteri-vena
(arteriovenous malformation, AVM). 1,2,15

3) Stadium Subakut
Tindakan medis dapat berupa terapi kognitif, tingkah laku, menelan, terapi
wicara, dan bladder training (termasuk terapi fisik). Mengingat perjalanan
penyakit yang panjang, dibutuhkan penatalaksanaan khusus intensif pasca stroke
di rumah sakit dengan tujuan kemandirian pasien, mengerti, memahami dan
melaksanakan program preventif primer dan sekunder.
Terapi fase subakut:
a. Melanjutkan terapi sesuai kondisi akut sebelumnya,
b. Penatalaksanaan komplikasi,
c. Restorasi/rehabilitasi (sesuai kebutuhan pasien), yaitu fisioterapi,
terapi wicara, terapi kognitif, dan terapi okupasi,
d. Prevensi sekunder
e. Edukasi keluarga dan Discharge Planning

3.3.11 Prognosis
Prognosis pada stroke secara umum:

Ad vitam: tergantung berat stroke dan komplikasi yang timbul


Ad fungtionam: penilaian dengan parameter:
- Activity Daily Living (The Barthel Index)6:

49
- NIH Stroke Scale (NIHSS)3
Nilai NIHSS adalah antara 0 – 42. Terdiri dari dari 11 komponen, bila
motorik lengan serta kaki kanan dan kiri dituliskan dalam satu nomer dan
dipisahkannya dengan penambahan nomer a dan b, tetapi akan menjadi 13
komponen apabila masing masing motorik lengan dan tungkai kanan dan kiri
diberi nomer terpisah. Komponen komponen tersebut adalah sebagai berikut :

Prognosis pada stroke hemoragik:


1) Perdarahan Intraserebral

50
Prediktor terpenting untuk menilai outcome perdarahan intra serebri (PIS)
adalah volume PIS, tingkat kesadaran penderita (menggunakan skor Glasgow
Coma Scale (GCS), dan adanya darah intraventrikel. Volume PIS dan skor GCS
dapat digunakan untuk memprediksi tingkat kematian dalam 30 hari dengan
sensitivitas sebesar 96% dan spesifitas 98%. Prognosis buruk biasanya terjadi
pada pasien dengan volume perdarahan (>30mL), lokasi perdarahan di fossa
posterior, usia lanjut dan MAP >130 mmHg pada saat serangan. GCS <4 saat
serangan juga bisa memberi prognosis buruk.
Suatu PIS dengan volume >60 mL dan skor GCS ≤ 8 memiliki tingkat
mortalitas sebesar 91% dalam 30 hari, dibanding dengan tingkat kematian 19%
pada PIS dengan volume <30 mL dan GCS skor ≥ 9. Perluasan PIS ke
intraventrikel meningkatkan mortalitas secara umum menjadi 45% hingga 75%,
tanpa memperhatikan lokasi PIS, sebagai bagian dari adanya hidrosefalus
obstruktif akibat gangguan sirkulasi liquor cerebrospinal (LCS). Pengukuran
volume hematom dapat dilakukan secara akurat dengan CT scan. Secara klinis,
edema berperan dalam efek massa dari hematom, meningkatkan tekanan
intrakranial dan pergeseran otak intrakranial. Secara paradoks, volume relatif
edema yang tinggi berhubungan dengan outcome fungsional yang lebih baik, yang
menimbulkan suatu kerancuan apakah edema harus dijadikan target terapi atau
hanya merupakan variabel prognostik.
2) Perdarahan Subarachnoid
Tingkat mortalitas pada tahun pertama dari serangan stroke hemoragik
perdarahan subarachnoid sangat tinggi, yaitu 60%. Sekitar 10% penderita
perdarahan subarachnoid meninggal sebelum tiba di RS dan 40% meninggal tanpa
sempat membaik sejak awitan. Perdarahan ulang juga sangat mungkin terjadi.
Rata-rata waktu antara perdarahan pertama dan perdarahan ulang adalah sekitar 5
tahun.

51
BAB IV

ANALISIS KASUS

Tn. ESS, 50 tahun, dirawat di bagian saraf RSMH karena penurunan


kesadaran secara tiba-tiba saat aktivitas.
Sejak ± 1 hari SMRS, penderita mengalami penurunan kesadaran secara
tiba-tiba setelah aktivitas berjalan dari kamar mandi. Sebelum serangan, penderita
merasa sakit kepala (+), mual dan muntah (+), kejang (-), kelemahan sesisi tubuh
kiri (+), mulut mengot ke kanan (+), dan bicara pelo bdd. Pada pasien didapatkan
riwayat hipertensi dan diabetes mellitus tidak terkontrol sejak ± 2 tahun yang lalu,
riwayat penyakit jantung (-), kolesterol tinggi (-), riwayat trauma (-), riwayat
stroke sebelumnya tidak ada, riwayat merokok ada. Penyakit ini baru dirasakan
pertama kalinya.
Berdasarkan anamnesis pasien dimana didapatkan penurunan kesadaran
secara tiba - tiba, kelemahan sesisi tubuh, sakit kepala, mual dan muntah, mulut
mengot, dan riwayat hipertensi, diabetes dan merokok maka dapat mengarahkan
diagnosis stroke (cerebrovascular disease). Definisi stroke menurut WHO ialah
manifestasi klinis gangguan fungsi cerebri fokal maupun global yang mendadak,
terjadi > 24 jam atau dapat menyebabkan kematian, dengan tidak ada penyebab
lain selain ganggaun vaskular.
Dari pemeriksaan generalisata didapatkan kesadaran GCS E2M5V2,
tekanan darah tinggi 190/100 mmHg, nadi 96x/m, pernapasan 22x/m dengan
saturasi O2 95%, dan suhu aksial 36,7oC. Pemeriksaan ini selaras dengan hasil
anamnesis pasien berupa adanya penurunan kesadaran dan riwayat darah tinggi
tidak terkontrol. Dari pemeriksaan neurologis fungsi motorik didapatkan
kelemahan lengan dan tungkai sebelah kiri dengan kekuatan dan gerakan
lateralisasi ke kiri, tonus pada lengan dan kaki kiri meningkat, klonus pada kaki
kiri meningkat, refleks fisiologis pada ekstremitas kiri meningkat, dan refleks
patologis Babinsky hanya didaptkan pada tungkai kiri. Sehingga pasien
menunjukkan klinis hemiparese sinistra tipe spastik. Pada pemeriksaan neurologi
nervi craniales didapatkan abnormalitas plica nasolabialis yang datar di sebelah

52
kiri yang merupakan manifestasi klinis parese N. VII. Parese N. VII pada kasus
ini merupakan tipe sentral karena tidak menunjukkan adanya kelumpuhan otot
orbicularis okuli maupun otot mimik di daerah pipi dan dagu. Sehingga dapat
disimpulkan pasien memiliki diagnosis klinis berupa penurunan kesadaran,
hemiparese sinistra tipe spastik, dan parese N. VII tipe sentral.
Diagnosis banding topik pada pasien ini berdasarkan klinis dapat dilihat
pada tabel berikut. Pada pasien ini, kemungkinan gejala lesi di capsula interna
hemisferium dextra dan gejala lesi di subkorteks hemisferium cerebri dextra
belum dapat disingkirkan.

Diagnosis Banding Diagnosis Topik pada Pasien

Gejala Lesi di korteks Pada penderita ditemukan Kemungkinan


hemisferium cerebri dextra gejala: lesi di cortex
Defisit motorik Hemiparese sinistra spastik cerebri
hemisferium
dextra dapat
Gejala iritatif (kejang pada sisi Tidak ada kejang pada sisi disingkirkan.
kanan) yang lemah
Gejala fokal (kelumpuhan tidak Kelemahan lengan dan
sama berat) tungkai kanan sama berat,
parese N VII sentral

Defisit sensorik pada sisi yang Belum dapat dinilai


lumpuh
Afasia global Belum dapat dinilai

Pada penderita ditemukan Kemungkinan


Gejala Lesi di capsula interna gejala: lesi di capsula
hemisferium dextra interna
hemisferium
Hemiparese/hemiplegic typical Hemiparese dextra spastik dextra belum
dapat
Parese N VII dekstra sentral Parese N. VII dextra sentral, disingkirkan
disertai parese N XII dekstra N. XII belum dapat dinilai
sentral
Kelemahan sisi yang lumpuh Kelemahan sisi yang lumpuh
sama berat sama berat
Pada penderita ditemukan Kemungkinan
Gejala Lesi di subkorteks gejala: lesi di subcortex
hemisferium cerebri dextra cerebri
hemisferium

53
Defisit motorik (hemiparese Hemiparese sinistra spastik dextra belum
sinistra sentral) dapat
disingkirkan.

Afasia motorik murni Belum dapat dinilai

Untuk membedakan etiologi CVD menjadi CVH hemoragik atau CVD


non-hemoragik dari anamnesis dan pemeriksaan fisik maka dapat dihitung skor
Siriraj dan Skor Gadjah Mada. Dari penghitungan skor Siriraj didapatkan total
skor 1,5 [(2,5x 1) + (2x1) + (2x1) + (0,1x100) – (3x1) – 12] yang menunjukkan
diagnosis CVD hemoragik (skor >1). Dari algoritma Gajah Mada didapatkan
semua kriteria terpenuhi yaitu penurunan kesadaran, nyeri kepala dan refleks
Babinsky dengan jumlah 3 kriteria sehingga didiagnosis perdarahan intraserebral.
Hal ini menunjukkan bahwa diagnosis etiologi pasien ini ialah CVD hemoragik.
Untuk menentukan diagnosis pasti etiologi dilakukan pemeriksaan CT-Scan
sesuai gold standard.
Tatalaksana pada CVD Hemoragik dapat dilakukan dengan pemberian
injeksi citicoline 500mg IV per 12 jam, Neurodex 1 tab per 24 jam PO, drip
Nicardipine untuk tatalaksana hipertensi, Paracetamol 500 mg IV per 8 jam,
injeksi omeprazol 40 mg per 24 jam intravena dan melanjutkan manitol 125cc per
6 jam karena telah diberikan initial dose pada penanganan pasien di RS
sebelumnya. Pasien juga dilakukan posisi head up untuk membantu mengurangi
TIK, dan pemberian oksigen yang adekuat yaitu 10-12 L/m NRM pada pasien ini
untuk memperbaiki oksigenasi tubuh.

54
DAFTAR PUSTAKA

1. Ropper AH, Samuels MA, Klein JP. Adams and Victor’s PRINCIPLE OF
NEUROLOGY. New York: Mc Graw Hill Education. 2014.p.357-380
2. Dian S, Basuki A, 2012. Altered consciousness basic, diagnostic, and
management. Bagian/UPF ilmu penyakit saraf. Bandung.
3. Cavanna AE, Shah S, Eddy CM. 2011. Conscioussnes : A neurological
perspective. IOS press. UK
4. PlumF, PosnerJB, SaperCB, SchiffND. 2007. Plum and Posner’s Diagnosis of
Stupor and Coma. Ed. IV. Oxford University Press. NewYork.
5. Lumbantobing SM. 2010. Neurologi klinik pemeriksaan fisik dan mental.
Balai penerbit FKUI. Jakarta.
6. Dirgahayu Grace. (2012). Pembahasan Kasus Stroke Hemoragik. Hal. 16-23.
7. Posner BJ, Saper CB, Schiff ND, Plum F. Plum and Posner’s Diagnosis of
Stupor and Coma. Oxford: OXFORD University Press. 2007.p.4-34, 40-78,
8. Silbernagl S, Lang F. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta: EGC;
2013.p.342
9. Parvizi J, Damasio A. Counsciousness and Brainstem. Cognition 79 (2001)
135-159
10. Lindsay KW, Bone I, Fuller G. Neurology an Neurosurgery Illustrated 5th ed.
London: Elsevier.2010.p.85
11. Walker HK, Hall WD, Hurst JW.Clinical Method: The History, Physical and
Laboratory Examination, 3rd edition. Boston: Butterworths; 2000
12. Harris, S. (2004). Penatalaksanaan Pada Kesadaran Menurun dalam Updates
in Neuroemergencies. Hal.1-7.
13. Harsono. (2005). Koma dalam Buku Ajar Neurologi. Gajah Mada University
Press. Yogyakarta.
14. Yunia A, Soegimin AS. (2017). Pengaruh Hipertensi Terhadap Terjadinya
Stroke Hemoragik Berdasarkan Hasil CT-Scan Kepala di Instalasi Radiologi
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo. Hal.36-40.
15. Agatha J, Aradea W, Elen A. (2010). Cerebrovascular Disease/CVD. Hal. 4-8.

55

Anda mungkin juga menyukai