Anda di halaman 1dari 38

Case Presentation

ASMA BRONKIAL

Disusun oleh :
dr. Rashellya Rasyida Rahma

Pembimbing:
dr. Bondhan Prajati
dr. Iik Rachmawati

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BALARAJA
PERIODE FEBRUARI 2019-2020
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS
ASMA BRONKIAL

Digunakan untuk memenuhi syarat internsip di RSUD Balaraja

Disusun oleh:
dr. Rashellya Rasyida Rahma

Pendamping Internship IGD Pendamping Internship IRNA

dr. Bondhan Prajati dr. Iik Rachmawati

2
DAFTAR ISI

Judul ................................................................................................................. 1

Lembar pengesahan ......................................................................................... 2

Daftar isi........................................................................................................... 3

BAB I ...............................................................................................................

Pendahuluan ..................................................................................................... 4

BAB II..............................................................................................................

Laporan kasus .................................................................................................. 6

BAB III ............................................................................................................

Tinjauan pustaka ..............................................................................................

A. Definisi ........................................................................................................ 10

B. Epidemiologi ............................................................................................... 10

C. Etiologi ........................................................................................................ 12

D. Patofisiologi ................................................................................................ 14

E. Diagnosis ..................................................................................................... 15

F. Klasifikasi .................................................................................................... 16

G. Tatalaksana.................................................................................................. 18

H. Komplikasi .................................................................................................. 35

I. Prognosis ...................................................................................................... 35

BAB IV ............................................................................................................

Kesimpulan ...................................................................................................... 36

Daftar Pustaka .................................................................................................. 37

3
BAB I

PENDAHULUAN

Asma bronkial adalah suatu kelainan inflamasi (peradangan) kronik


saluran nafas yang menyebabkan hiperaktivitas bronkus terhadap berbagai
rangsangan yang ditandai dengan gejala episodik berulang berupa mengi,
batuk, sesak nafas, dan rasa berat di dada terutama pada malam hari dan atau
dini hari yang umumnya bersifat reversibel baik dengan atau tanpa
pengobatan.
Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di
Indonesia. Hal ini tercermin dari data studi survei kesehatan rumah tangga
(SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. Survey Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) tahun 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari 10
penyebab kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan
emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai
penyebab kematian ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995,
prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13/1000, dibandingkan bronkitis
kronik 11/1000 dan obstruksi paru 2/1000. Studi pada anak usia SLTP di
Semarang dengan menggunakan kuesioner International Study of Asthma and
Allergies in Childhood (ISAAC), didapatkan prevalensi asma (gejala asma 12
bulan terakhir/recent asthma) 6,2% yang 64% diantaranya mempunyai gejala
klasik.2
Prevalensi asma, terutama di negara-negara maju, dalam tiga puluh
tahun terakhir terjadi peningkatan. Asma dapat timbul pada berbagai usia,
dapat terjadi pada laki-laki dan wanita. Berbagai penelitian menunjukkan
bahwa prevalensi asma di Indonesia diperkirakan sekitar 3-8,02%. Prevalensi
morbiditas dan mortalitas asma akhir-akhir ini dilaporkan meningkat di
seluruh dunia. Penyakit asma terbanyak diderita oleh anak-anak. Kondisi ini
berpotensi menjadi masalah kesehatan di masa depan. Dampak buruk asma
meliputi penurunan kualitas hidup, produktivitas yang menurun,
ketidakhadiran di sekolah, peningkatan biaya kesehatan, risiko perawatan di
rumah sakit dan bahkan kematian. Asma menyebabkan mereka kehilangan 16

4
% hari sekolah di Asia, 34 % pada anak-anak di Eropa, dan 40 % pada anak-
anak di Amerika Serikat.1,2
Pada tahun 2002, di Amerika Serikat sekitar 14 juta dewasa dan 6 juta
anak-anak didiagnpenderitaa dengan asma (berdasarkan CDC). Setiap hari di
Amerika, terdapat 30.000 orang yang terkena serangan asma. Dari laporan
pada peringatan hari asma sedunia pada tanggal 4 Mei 2004 yang lalu,
menyatakan bahwa prevalensi asma diperkirakan akan terus megalami
peningkatan dalam beberapa tahun mendatang, dengan kenaikan setiap
180.000 penderita setiap tahunnya.1,2
Keluhan utama penderita asma ialah sesak napas mendadak, disertai
fase inspirasi yang lebih pendek dibandingkan dengan fase ekspirasi, dan
diikuti bunyi mengi (wheezing), batuk yang disertai serangn napas yang
kumat-kumatan.3

5
BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. S Alamat : Jl. Bangun Nusa
Tgl Lahir : 23/1/1988 Suku : Sunda
Usia : 31 tahun Tanggal Masuk : 03/11/19
Agama : Protestan Ruang : IGD

Tanggal pemeriksaan : 03/11/19

B. ANAMNESA
Keluhan Utama : Sesak nafas
Keluhan Tambahan : Batuk (+)

Riwayat Perjalanan Penyakit Sekarang:


Pasien seorang perempuan usia 31 tahun, datang ke IGD RSUD Balaraja
dengan sesak nafas yang berat sejak kurang lebih 4 jam sebelum masuk rumah
sakit. Sesak timbul mendadak, terutama saat terpapar debu dan udara dingin,
sesak tidak dipengaruhi oleh aktivitas maupun posisi. Saat sesak pasien masih
mampu untuk berjalan dan mengucapkan satu kalimat, namun pasien tidak dapat
berbaring, pasien lebih menyukai posisi duduk Nafas berbunyi ’ngik-ngik’.
Selain itu os juga mengeluh batuk (+) sejak 3 hari SMRS, berdahak warna putih,
encer, darah tidak ada. Demam disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu

 Keluhan seperti ini pernah dialami pasien sebelumnya. Pasien mengalami


serangan sesak terakhir sekitar 3 bulan yang lalu.
 Riwayat Asma (+) alergi (+) debu dan asap.
 Riw DM dan HT disangkal

Riwayat Penyakit dalam Keluarga


 Riwayat penyakit asma dalam keluarga ada (ibu dan adik penderita).

6
C. PEMERIKSAAN FISIK UMUM
Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Composmentis
Glasgow Coma Scale : E4M6V5
Tekanan Darah : 110/80 mmHg
Nadi : 108 x/menit
Pernafasan : 30x / menit, cepat dan dangkal
Suhu : 36,20C
BB : 56 kg
Kulit : Warna sawo matang
Turgor : Baik
Kelenjar getah bening : Tidak ada pembesaran
Kuku : Tidak ada sianosis

Pemeriksaan Regional :
Status Generalis
a. Kulit : Warna kulit sawo matang, tidak ikterik, tidak sianosis, turgor
kulit cukup, capilary refill kurang dari 2 detik dan teraba
hangat.

b. Kepala : Normosefali
 Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), RCL +/+,
RCTL +/+, pupil isokor 3mm/3mm
 Hidung : Deformitas (-), nyeri tekan (-), krepitasi (-), deviasi
septum (-), sekret (-/-)
 Telinga : Normotia (+/+), nyeri tekan (-/-), nyeri tarik (-/-), sekret
(-/-)
 Mulut : Mukosa kering (-), sianosis (-), coated tounge (-), koplik
sign (-)
 Tenggorokan : Trismus (-); arkus faring simetris, hiperemis (-); uvula di
tengah

7
c. Pemeriksaan Leher
a) Inspeksi : Tidak terdapat tanda trauma maupun massa
b) Palpasi : Tidak terdapat pembesaran KGB maupun kelenjar
tiroid, tidak terdapat deviasi trakea
c) JVP : 5-2 cm H2O

d. Pemeriksaan Toraks
Jantung
a) Inspeksi : Tampak iktus kordis di ICS V garis midklavikula sinistra
b) Palpasi : Iktus kordis teraba kuat di ICS V garis midklavikula sinistra
c) Perkusi : Batas kiri : ICS V garis midklavikula sinistra
Batas kanan : ICS IV garis parasternal dekstra
d) Auskultasi: Bunyi jantung I dan II regular, murmur (-), gallop (-)
Paru
a) Inspeksi : Dinding toraks simetris pada saat statis maupun dinamis,
retraksi otot-otot pernapasan (+)
b) Palpasi : Simetris, vocal fremitus sama kuat kanan dan kiri
c) Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
d) Auskultasi: vesikuler (+) ekspirasi memanjang, ronkhi (-/-), wheezing
(+/+) ekspirasi pada kedua lapangan paru.

e. Pemeriksaan Abdomen
a) Inspeksi : Perut datar, massa (-), pulsasi abnormal (-)
b) Auskultasi : Bising usus (+)
c) Perkusi : Timpani, nyeri ketok (-)
d) Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tdk teraba

f. Pemeriksaan Ekstremitas
 Tidak terdapat jejas, bekas trauma, massa, dan sianosis (-/-)
 Akral hangat (+/+), edema (-/-) ekstremitas atas dan ekstremitas bawah

8
D. RESUME
Pasien seorang perempuan usia 31 tahun, datang ke IGD RSUD Balaraja dengan
sesak nafas yang berat sejak kurang lebih 4 jam sebelum masuk rumah sakit. Sesak
timbul mendadak, terutama saat terpapar debu dan udara dingin, sesak tidak
dipengaruhi oleh aktivitas maupun posisi. Saat sesak pasien masih mampu untuk
berjalan dan mengucapkan satu kalimat, namun pasien tidak dapat berbaring, pasien
lebih menyukai posisi duduk Nafas berbunyi ’ngik-ngik’. Selain itu os juga mengeluh
batuk (+) sejak 3 hari SMRS, berdahak warna putih, encer, darah tidak ada. Demam
disangkal. Os riw asma (+) alergi (+) debu dan dingin. Sesak terakhir kurang lebih 3
bulan sebelum masuk rumah sakit. Riw asma pada keluarga (+)
Pada pemeriksaan fisik, keadaan umu pasien tampak sakit sedang dengan
kesadaran composmentis (GCS: E4M6V5), TD 110/80 mmHg, nadi 108 x/menit,
pernafasan 30 x / menit cepat dan dangkal, suhu 36,20C, dan BB 56kg. Pada
pemeriksaan thoraks, pada inspeksi terdapat retraksi otot-otot pernapasan (+), pada
auskultasi bunyi nafas dasar vesikuler (+) ekspirasi memanjang, ronkhi (-/-),
wheezing (+/+) ekspirasi pada kedua lapangan paru.

E. DIAGNOSA KLINIS :
SERANGAN ASMA AKUT PADA ASMA BRONKIAL

F. TERAPI IGD :
Nebulisasi dengan combivent
Inj metil prednisolon 1 amp

G. TERAPI PULANG
Salbutamol 3 x 2 mg
Ambroxol 3x30 mg
Metil prednisolon 3x4 mg

H. PROGNOSIS
 Ad Vitam : Ad Bonam
 Ad Sanationum : dubia
 Ad Fungsionum : dubia ad bonam

9
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Asma adalah penyakit jalan napas obstruktif intermitten, reversibel
dimana trakea dan bronki berespons dalam secara hiperaktif terhadap stimulun
tertentu. Asma dimanifestasikan dengan penyempitan jalan napas, yang
mengakibatkan dispnea, batuk dan mengi. Tingkat penyempitan jalan napas
dapat berubah baik secara spontan atau karena terapi. Asma berbeda dari
penyakit paru obstruktif, dalam hal bahwa asma adalah proses reversibel. Jika
asma dan bronkitis terjadi bersamaan, obstruksi yang diakibatkan menjadi
gabungan dan disebut Bronkitis Asmatik Kronik.
Asma dapat terjadi pada sembarang golongan usia; sekitar setengah
dari kasus terjadi pada anak – anak dan sepertiga lainnya terjadi sebelum usia
40 tahun. Meski asma dapat berakibat fatal, lebih sering lagi, asma sangat
menganggu, mempengaruhi kehadiran di sekolah, pilihan pekerjaan, aktivitas
fisik dan banyak aspek kehidupan lainnya. 5
Secara khas, sebagian besar serangan berlangsung singkat selama
beberapa menit hingga beberapa jam setelah itu, pasien tampak mengalami
kesembuhan klinik yang total. Namun demikian, ada suatu fase ketika pasien
mengalami obstruksi jalan napas dengan derajat tertentu setiap harinya. Fase
ini dapat ringan dengan atau tanpa disertai episode yang berat atau yang lebih
serius lagi, dengan obstruksi hebat yang berlangsung selama berhari-hari atau
berminggu-minggu. Keadaan semacam ini dikenal sebagai status asmatikus.
Pada beberapa keadaan yang jarang ditemui, serangan asma yang akut dapat
berakhir dengan kematian. 3

B. Epidemiologi
Penyakit asma merupakan kelainan yang sangat sering ditemukan dan
diperkirakan 4–5% populasi penduduk di Amerika Serikat terjangkit oleh
penyakit ini. Asma bronkial terjadi pada segala usia tetapi terutama dijumpai
pada usia dini. Sekitar separuh kasus timbul sebelum usia 10 tahun dan
sepertiga kasus lainnya terjadi sebelum usia 40 tahun. Pada usia kanak-kanak

10
terdapat predisposisi laki-laki : perempuan = 2 : 1 yang kemudian menjadi
sama pada usia 30 tahun. 2
Asma merupakan 10 besar penyebab kesakitan dan kematian di
Indonesia, hal itu tergambar dari data studi Survey Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. SKRT 1986 menunjukkan asma
menduduki urutan ke 5 dari 10 penyebab kesakitan bersama-sama dengan
bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan
emfisema sebagai penyebab kematian ke 4 di Indonesia atau sebesar 5,6%.
Tahun 1995, prevalensi asma di Indonesia sekitar 13 per 1.000 penduduk,
dibandingkan bronkitis kronik 11 per 1.000 penduduk dan obstruksi paru 2 per
1.000 penduduk. 1
Kira-kira 2–20% populasi anak dilaporkan pernah menderita asma.
Belum ada penyelidikan menyeluruh mengenai angka kejadian asma pada
anak di Indonesia, namun diperkirakan berkisar antara 5–10%. Dilaporkan di
beberapa negara angka kejadian asma meningkat, misalnya di Jepang.
Australia dan Taiwan. Di poliklinik Subbagian Paru Anak FKUI-RSCM
Jakarta, lebih dari 50% kunjungan merupakan penderita asma. Jumlah
kunjungan di poliklinik Subbagian Paru Anak berkisar antara 12.000–13.000
atau rata-rata 12.324 kunjungan pertahun. Pada tahun 1985 yang perlu
mendapat perawatan karena serangan asma yang berat ada 5 anak, 2 anak di
antaranya adalah pasien poliklinik paru. Sedang yang lainnya dikirim oleh
dokter luar. Tahun 1986 hanya terdapat 1 anak dan pada tahun 1987 terdapat 1
anak yang dirawat karena serangan asma yang berat. 2
Tahun 1993 UPF Paru RSUD dr. Sutomo Surabaya melakukan
penelitian di lingkungan 37 puskesmas di Jawa Timur dengan menggunakan
kuisioner modifikasi ATS, yaitu proyek pneumobile Indonesia dan
Respiratory Sympton questioner of Institute of Respiratory Medicine, New
South Wales dan pemeriksaan arus puncak ekspirasi (APE) menggunakan alat
peak flow meter dan uji bronkodilator. Seluruhnya 6662 responden usia 13 –
70 tahun (rata-rata 35,6 tahun) mendapatkan prevalensi asma sebesar 7,7 %
dengan rincian laki-laki 9,2 % dan perempuan 6,6 %.4

11
C. Etiologi
Dari sudut etiologik, asma merupakan penyakit heterogenosa.
Klasifikasi asma dibuat berdasarkan rangsangan utama yang membangkitkan
atau rangsangan yang berkaitan dengan episode akut. Berdasarkan stimuli
yang menyebabkan asma, dua kategori timbal balik dapat dipisahkan : 1
A. Asma ekstrinsik imunologik
Ditemukan kurang dari 10% dari semua kasus. Biasanya terlihat pada
anak-anak, umumnya tidak berat dan lebih mudah ditangani daripada
bentuk intrinsik. Kebanyakan penderita adalah atopik dan mempunyai
riwayat keluarga yang jelas dari semua bentuk alergi dan mungkin asma
bronkial.
B. Asma intrinsik imunologik
Dapat terjadi pada segala usia dan ada kecenderungan untuk lebih sering
kambuh dan berat. Lebih sering berkembang ke status asmatikus.
Banyak penderita mempunyai kedua bentuk asma diatas. Penting untuk
ditekankan bahwa perbedaan ini sering hanya merupakan perkiraan saja dan
jawaban terhadap subklasifikasi yang diberikan biasanya dapat dibangkitkan
oleh lebih dari satu jenis rangsangan. Dengan mengingat hal ini, dapat
diperoleh dua kelompok besar, yaitu alergi dan idiosinkrasi. 5
Asma alergik seringkali disertai dengan riwayat pribadi dan atau keluarga
mengenai penyakit alergi, seperti rinitis, urtikaria dan ekzema. Reaksi kulit
wheal and flare yang positif terhadap penyuntikan intradermal ekstrak antigen
yang terbawa udara, peningkatan kadar IgE dalam serum dan respons positif
terhadap tes provokasi yang meliputi inhalasi antigen spesifik. 4
Idiosinkrasi disebut sebagai bagian dari populasi pasien asma yang akan
memperlihatkan riwayat alergi pribadi atau keluarga negative, uji kulit negatif,
dan kadar IgE serum normal. Oleh sebab itu tidak dapat diklasifikasikan
berdasarkan mekanisme imunologik yang sudah jelas. Banyak pasien
kelompok ini akan menderita kompleks gejala yang khusus berdasarkan
gangguan saluran napas bagian atas. Gejala awal mungkin hanya berupa gejala
flu biasa, tetapi setelah beberapa hari pasien mulai mengalami mengi
paroksismal dan dispnea yang dapat berlangsung selama berhari-hari samapai
berbulan-bulan. 2

12
Macam-macam pencetus asma : 4
1. Alergen
Faktor alergi dianggap mempunyai peranan penting pada sebagian besar
anak dengan asma (William dkk 1958, Ford 1969). Disamping itu
hiperreaktivitas saluran napas juga merupakan faktor yang penting.
Sensitivitas tergantung pada lama dan intensitas hubungan dengan bahan
alergenik. Pada bayi dan anak kecil sering berhubungan dengan isi dari
debu rumah. Dengan bertambahnya umur makin banyak jenis alergen
pencetusnya. Asma karena makanan biasanya terjadi pada bayi dan anak
kecil.
2. Infeksi
Biasanya infeksi virus, terutama pada bayi dan anak kecil. Virus penyebab
biasanya respiratory syncytial virus (RSV) dan virus parainfluenza.
Kadang-kadang juga dapat disebabkan oleh bakteri, jamur dan parasit.
3. Cuaca
Perubahan tekanan udara (Sultz dkk 1972), suhu udara, angin dan
kelembaban (Lopez dan Salvagio 1980) dihubungkan dengan percepatan
dan terjadinya serangan asma.
4. Iritan
Hairspray, minyak wangi, asap rokok, cerutu dan pipa, bau tajam dari cat,
SO2, dan polutan udara yang berbahaya lainnya, juga udara dingin dan air
dingin.Iritasi hidung dan batuk dapat menimbulkan refleks
bronkokonstriksi (Mc. Fadden 1980). Udara kering mungkin juga
merupakan pencetus hiperventilasi dan kegiatan jasmani (strauss dkk
1978, Zebailos dkk 1978).
5. Kegiatan jasmani
Kegiatan jasmani yang berat dapat menimbulkan serangan pada anak
dengan asma (Goldfrey 1978, Eggleston 1980). Tertawa dan menangis
dapat merupakan pencetus. Pada anak dengan faal paru di bawah normal
sangat rentan terhadap kegiatan jasmani.
6. Infeksi saluran napas bagian atas
Disamping infeksi virus saluran napas bagian atas, sinusitis akut dan
kronik dapat mempermudah terjadinya asma pada anak (Rachelesfsky dkk

13
1978). Rinitis alergi dapat memperberat asma melalui mekanisme iritasi
atau refleks.
7. Refluks gastroesofagitis
Iritasi trakeobronkial karena isi lambung dapat memberatkan asma pada
anak dan orang dewasa (Dess 1974).
8. Psikis
Tidak adanya perhatian dan tidak mau mengakui persoalan yang
berhubungan dengan asma oleh anak sendiri atau keluarganya akan
memperlambat atau menggagalkan usaha-usaha pencegahan. Dan
sebaliknya jika terlalu takut terhadap serangan asma atau hari depan anak
juga tidak baik, karena dapat memperberat serangan asma. Membatasi
aktivitas anak, anak sering tidak masuk sekolah, sering bangun malam,
terganggunya irama kehidupan keluarga karena anak sering mendapat
serangan asma, pengeluaran uang untuk biaya pengobatan dan rasa
khawatir, dapat mempengaruhi anak asma dan keluarganya.

D. Patofisiologi
Asma ditandai dengan kontraksi spastik dari otot polos bronkiolus
yang menyebabkan sukar bernafas. Penyebab yang umum adalah
hipersensitivitas bronkioulus terhadap benda-benda asing di udara.

Gambar 1. Skema patofisiologi asma bronkial

Reaksi yang timbul pada asma tipe alergi diduga terjadi dengan cara
sebagai berikut: seorang yang alergi mempunyai kecenderungan untuk

14
membentuk sejumlah antibodiIg E abnormal dalam jumlah besar dan antibodi
ini menyebabkan reaksi alergi bila reaksi dengan antigen spesifikasinya. Pada
asma, antibodi ini terutama melekat pada sel mast yang terdapat pada
interstisial paru yang berhubungan erat dengan brokiolus dan bronkus kecil.
Bila seseorang menghirup alergen maka antibodi Ig E orang tersebut
meningkat, alergen bereaksi dengan antibodi yang telah terlekat pada sel mast
dan menyebabkan sel ini akan mengeluarkan berbagai macam zat, diantaranya
histamin, zat anafilaksis yang bereaksi lambat (yang merupakan leukotrient),
faktor kemotaktik eosinofilik dan bradikinin. Efek gabungan dari semua
faktor-faktor ini akan menghasilkan adema lokal pada dinding bronkhioulus
kecil maupun sekresi mucus yang kental dalam lumen bronkhioulus dan
spasme otot polos bronkhiolus, sehingga menyebabkan tahanan saluran napas
menjadi sangat meningkat. Pada asma, diameter bronkiolus lebih berkurang
selama ekspirasi daripada selama inspirasi karena peningkatan tekanan dalam
paru selama eksirasi paksa menekan bagian luar bronkiolus. Kalau bronkiolus
sudah tersumbat sebagian, maka sumbatan selanjutnya adalah akibat dari
tekanan eksternal yang menimbulkan obstruksi berat terutama selama
ekspirasi. Pada penderita asma biasanya dapat melakukan inspirasi dengan
baik dan adekuat, tetapi sekali-kali melakukan ekspirasi. Hal ini menyebabkan
dispnea. Kapasitas residu fungsional dan volume residu paru menjadi sangat
meningkat selama serangan asma akibat kesukaran mengeluarkan udara
ekspirasi dari paru. Hal ini bisa menyebabkan barrel chest.5

E. Diagnosis
Mengi/wheezing berulang dan/atau batuk kronik berulang merupakan
titik awal untuk menegakkan diagnosis. Termasuk yang perlu
dipertimbangkan kemungkinan asma adalah anak-anak yang hanya
menunjukkan batuk sebagai satu-satunya tanda dan pada saat diperiksa tanda
wheezing, sesak dan lain-lain sedang tidak timbul. 8
Asma sulit didiagnosis pada anak di bawah 3 tahun. Untuk anak yang
sudah besar (> 6 tahun) pemeriksaan faal fungsi paru sebaiknya dilakukan. Uji
fungsi paru yang sederhana dengan peak flow meter, atau yang lebih lengkap
dengan spirometer. Lainnya bisa melalui uji provokasi bronkus dengan
histamin, metakolin, latihan (exercise), udara kering dan dingin, atau dengan

15
NaCl hipertonis. Pemeriksaan ini berguna untuk mendukung diagnosis asma
anak melalui 3 cara, yaitu didapatkannya:
a. Variabilitas pada PFR (peak flow rate) dan FEV1 (forced expiratory atau
volume in 1 second) ≥15%
Variabilitas harian adalah perbedaan nilai (peningkatan/ penurunan) hasil
PFR dalam satu hari. Penilaian yang baik dapat dilakukan dengan
variabilitas mingguan yang pemeriksaannya berlangsung ≥ 2 minggu.
b. Reversibilitas pada PFR atau FEV1 ≥15%
Reversibilitas adalah perbedaan nilai (peningkatan) PFR atau FEV1
setelah
pemberian inhalasi bronkodilator.
c. Penurunan ≥ 20% pada FEV1 (PD20 atau PC20) setelah provokasi
bronkus
dengan metakolin atau histamin.

Penggunaan peak flow meter merupakan hal penting dan perlu


diupayakan,
karena selain mendukung diagnosis, juga mengetahui keberhasilan tata laksana
asma. Jika tidak tersedia, dapat menggunakan Lembar Catatan Harian sebagai
alternatif.
Pada anak dengan tanda dan gejala asma yang jelas, serta respon
terhadap
pemberian obat asma baik sekali, maka tidak perlu pemeriksaan diagnostik
lebih lanjut. 8

F. Klasifikasi
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan
pola keterbatasan aliran udara. Klasifikasi berdasarkan berat penyakit penting
bagi pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin
berat asma semakin tinggi tingkat pengobatan. 2

16
Tabel 1. Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis
Derajat asma Gejala Gejala malam Faal paru
Intermitten  Bulanan ≤ 2x/bulan  APE ≥ 80%
o Gejala < 1x/minggu  VEP1 ≥ 80% nilai
o Tanpa gejala diluar prediksi APE ≥ 80%
serangan nilai terbaik
o Serangan singkat  Variabilitas APE <
20%
Persisten  Mingguan > 2x/bulan  APE > 80%
ringan  Gejala > 1x/minggu  VEP1 ≥ 80% nilai
tetapi < 1x/hari prediksi APE ≥ 80%
 Serangan dpt nilai terbaik
mengganggu aktivitas  Variabilitas APE
dan tidur 20-30%
Persisten  Harian > 1x/minggu  APE 60-80%
sedang  Gejala setiap hari  VEP1 60-80% nilai
 Serangan mengganggu prediksi APE 60-
aktivitas dan tidur 80% nilai terbaik
 membutuhkan  Variabilitas APE >
bronkodilator setiap hari 30%
Persisten  Kontinu Sering  APE ≤ 60%
berat  Gejala terus menerus  VEp1 ≤ 60% nilai
 Sering kambuh prediksi ≤ 60% nilai
 Aktivitas fisik terbatas terbaik
 Variabilitas APE >
30%
Pada umumnya penderita sudah dalam pengobatan, dan pengobatan
yang telah berlangsung seringkali tidak adekuat. Pengobatan akan mengubah
gambaran klinis bahkan faal paru, oleh karena itu penilaian berat asma pada
penderita dalam pengobatan juga harus mempertimbangkan pengobatan itu
sendiri. 3

17
G. Penatalaksanaan
Tujuan tata laksana asma anak secara umum adalah untuk menjamin
tercapainya potensi tumbuh kembang anak secara optimal. Secara lebih rinci, tujuan
yang ingin dicapai adalah:
1. Anak dapat menjalani aktivitas normalnya, termasuk bermain dan
berolahraga.
2. Sesedikit mungkin angka absensi sekolah.
3. Gejala tidak timbul siang ataupun malam hari.
4. Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal (dalam 24 jam)
yang mencolok.
5. Kebutuhan obat seminimal mungkin dan tidak ada serangan.
6. Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sesedikit mungkin timbul,
terutama yang mempengaruhi tumbuh kembang anak.
Apabila tujuan ini belum tercapai, maka perlu reevaluasi tata laksananya. 8
Komponen Perawatan Asma
Pedoman menekankan 4 komponen penting terhadap perawatan asma.11
 Penilaian dan pemantauan
 Edukasi
 Pengendalian faktor lingkungan dan kondisi komorbiditas
 Terapi farmakologis

1. Penilaian dan Pemantauan


Setelah kondisi pasien dinilai dan terapi telah dimulai, penilaian
berkelanjutan penting untuk pengendalian penyakit. Asma yang terkontrol
dinilai dari sejauh mana manifestasi asma diminimalkan oleh intervensi
terapeutik dan tujuan terapi terpenuhi. Penilaian juga dilakukan terhadap
adanya kemungkinan eksaserbasi akut, efek samping dari obat-obatan, dan
kemungkinan adanya penurunan fungsi paru-paru. Untuk itu, tes spirometri
harus dilakukan setiap 1-2 tahun atau lebih sering pada asma yang tidak
terkontrol.

18
2. Edukasi
Edukasi terhadap pasien sangatlah penting, terutama mengenali tanda-
tanda dan gejala memburuknya asma. Penggunaan obat (teknik pemakaian
inhaler yang benar dan penggunaan alat lainya) juga harus di edukasikan
secara benar. Edukasi terhadap keluarga, dan fasilitas pelayanan (sekolah,
klinik, rumah sakit) lainnya juga dibutuhkan.

3. Pengendalian Faktor Lingkungan dan Kondisi Komorbiditas


Saat ini telah banyak bukti bahwa alergi merupakan salah satu faktor
penting berkembangnya asma. Paling tidak 75-90% anak asma balita terbukti
mengidap alergi, baik di negara berkembang maupun negara maju. Atopi
(kecenderungan mempunyai satu atau beberapa jenis dari kelompok besar
alergi) merupakan faktor risiko yang nyata untuk menetapnya hiperreaktivitas
bronkus dan gejala asma. Terdapat hubungan antara pajanan alergen (pencetus
alergi) dengan sensitisasi. Pajanan yang tinggi berhubungan dengan
peningkatan gejala asma pada anak.
Pengendalian lingkungan harus dilakukan untuk setiap anak asma.
Penghindaran terhadap asap rokok merupakan rekomendasi penting. Keluarga
dengan anak asma dianjurkan tidak memelihara binatang berbulu, seperti
kucing, anjing, burung. Perbaikan ventilasi ruangan, dan penghindaran
kelembaban kamar perlu untuk anak yang sensitif terhadap debu rumah dan
tungaunya.
Perlu ditekankan bahwa anak asma seringkali menderita rinitis alergi
dan/atau sinusitis yang membuat asmanya sukar dikendalikan. Deteksi dan
diagnosis kedua kelainan itu yang diikuti dengan terapi adekuat akan
memperbaiki gejala asmanya.
Beberapa penelitian menemukan bahwa banyak bayi dengan wheezing tidak
berlanjut menjadi asma pada masa anak dan remajanya. Adanya asma pada
orangtua, dan dermatitis (penyakit kulit eksim) atopik pada anak dengan
mengi merupakan salah satu indikator terjadinya asma di kemudian hari.
Apabila terdapat kedua hal tersebut, maka kemungkinan menjadi asma lebih
besar. 8
Paparan alergen dan bahan iritan memiliki peranan yang kuat dalam
eksaserbasi akut, sangat dianjurkan untuk melakukan tes kulit terhadap

19
alergen dan bahan iritan untuk menghindari adanya kekambuhan. Kondisi
komorbiditas yang dapat mempengaruhi asma, sebagai berikut :
 Aspergilosis bronkopulmoner
 Penyakit gastroesophageal reflux (GERD)
 Kegemukan
 Apnea obstruktif
 Rhinitis
 Radang selaput lendir
 Depresi
 Kadar vitamin D rendah.12,13,14

4. Terapi Farmakologis
Tujuan utama dari terapi farmakologis adalah mencegah timbulnya gejala,
meninimalkan morbiditas dari eksaserbasi akut, mencegah morbiditas faal
paru, dan psikologis terhadap anak (memberikan hidup sehat dan gaya hidup
yang sesuai dengan usianya). Ketika anak-anak memiliki asma yang sudah
terkontrol dengan baik, penggunaan obat-obat harus dikurangi. Baik untuk
dosis steroid inhalasi atau kombinasi dari steroid.
Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever)
dan obat pengendali (controller).
Reliever, sering disebut obat serangan, digunakan untuk meredakan
serangan atau gejala asma jika sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan
sudah tidak ada gejala lagi, maka obat ini tidak digunakan lagi. 8
Controller, sering disebut obat pencegah, digunakan untuk mengatasi
masalah dasar asma, yaitu inflamasi respiratorik kronik (peradangan saluran
napas menahun). Dengan demikian pemakaian obat ini terus-menerus dalam
jangka waktu relatif lama, tergantung derajat penyakit asma, dan responnya
terhadap pengobatan/penanggulangan. Controller diberikan pada Asma
Episodik Sering dan Asma Persisten. 8

1. Asma Episodik Jarang


Asma episodik jarang cukup diobati dengan reliever berupa
bronkodilator (melebarkan bronkus/batang paru-baru) beta agonis

20
hirupan (inhaler/spray) kerja pendek (short acting β2-agonist, SABA)
atau golongan xantin kerja cepat, bila terjadi gejala/serangan. Kendala
penggunaan spray ini adalah harganya yang mahal dan tidak tersedia di
semua tempat. Selain itu pemakaian inhaler (Metered Dose
Inhaler/MDI atau Dry Powder Inhaler/DPI) ini memerlukan teknik
penggunaan yang benar (untuk anak besar), dan memerlukan alat bantu
(untuk anak kecil/bayi). Bila obat hirupan tidak ada, maka beta agonis
diberikan per oral (obat minum).
Penggunaan xantin kerja cepat (teofilin) sebagai bronkodilator
makin kurang perannya dalam tata laksana asma, karena batas
keamanannya (margin of safety) sempit. Namun mengingat di
Indonesia obat beta agonis oral tidak selalu ada, maka dapat
menggunakan teofilin dengan memperhatikan kemungkinan timbulnya
efek samping. 8
2. Asma Episodik Sering
Jika penggunaan beta agonis hirupan sudah lebih dari 3x per
minggu (tanpa menghitung penggunaan sebelum aktivitas fisik), atau
serangan sedang/berat terjadi lebih dari sekali dalam sebulan, maka
penggunaan anti inflamasi sebagai pengendali (controller) diperlukan,
yakni steroid hirupan dosis rendah. Obat steroid yang sering digunakan
pada anak adalah budesonid, sehingga digunakan sebagai standar. 8
Dosis rendah steroid hirupan adalah setara dengan 100-200
mg/hari budesonid (50-100 mg/hari flutikason) untuk anak berusia
kurang dari 12 tahun, dan 200-400 mg/hari budesonid untuk anak
berusia di atas 12 tahun. Pada penggunaan dosis 100-200 mg/hari
belum dilaporkan adanya efek samping jangka panjang.
Sesuai dengan mekanisme dasar asma yaitu
inflamasi/peradangan kronik, controller berupa anti inflamasi
membutuhkan waktu untuk menimbulkan efek terapi. Penilaian
dilakukan setelah 6-8 minggu, yaitu waktu yang diperlukan untuk
mengendalikan inflamasinya. Apabila masih tidak respons (masih
terdapat gejala asma atau gangguan tidur atau aktivitas sehari-hari),
maka dilanjutkan dengan tahap kedua, yaitu menaikkan dosis steroid

21
hirupan sampai dengan 400 mg/hari, yang termasuk dalam tata laksana
asma persisten.
Prinsip pengobatan adalah: jika tata laksana suatu derajat
penyakit asma sudah sesuai dengan panduan, namun respon tetap tidak
baik dalam 6-8 minggu, maka derajat tata laksana berpindah ke yang
lebih berat (step-up). Sebaliknya jika asmanya terkendali dalam 6-8
minggu, maka derajatnya beralih ke yang lebih ringan (step-down).
Bila memungkinkan, steroid hirupan dihentikan penggunaannya.
Catatan: sebelum melakukan step-up, perlu dievaluasi (1) pelaksanaan
penghindaran pencetus, (2) cara penggunaan obat, dan (3) penyakit
penyerta yang mempersulit pengendalian asma (seperti rinitis dan
sinusitis).
3. Asma Persisten
Cara pemberian steroid hirupan apakah dimulai dari dosis
tinggi ke rendah selama gejala masih terkendali, atau sebaliknya
dimulai dari dosis rendah ke tinggi hingga gejala dapat dikendalikan,
tergantung pada kasusnya. Dalam keadaan tertentu, khususnya pada
anak dengan penyakit berat, dianjurkan untuk menggunakan dosis
tinggi dahulu, disertai steroid oral jangka pendek (3-5 hari).
Selanjutnya dosis steroid hirupan diturunkan sampai dosis terkecil
yang masih optimal. 8
Setelah pemberian steroid hirupan dosis rendah tidak
mempunyai respons yang baik, diperlukan terapi alternatif pengganti,
yaitu meningkatkan steroid menjadi dosis medium atau tetap steroid
hirupan dosis rendah ditambah dengan LABA (long acting beta-2
agonist) atau ditambahkan teophylline slow release (TSR) atau
ditambahkan anti-leukotriene receptor (ALTR). Dosis medium adalah
setara dengan 200-400 µg/hari budosenid (100-200 µg/hari flutikason)
untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, dan 400-600 µg/hari
budosenid (200-300 µg/hari flutikason) untuk anak berusia di atas 12
tahun.
Apabila dengan pengobatan lapis kedua selama 6-8 minggu
tetap terdapat gejala asma, maka dapat diberikan alternatif lapis ketiga,
yaitu dapat meningkatkan dosis kortikosteroid sampai dengan dosis

22
tinggi, atau tetap dosis medium ditambahkan dengan LABA, atau TSR,
atau ALTR. Yang dimaksud dosis tinggi adalah setara dengan > 400
µg/hari budesonid (> 200 µg/hari flutikason), untuk anak berusia
kurang dari 12 tahun, dan > 600 µg/hari budesonid (> 300 µg/hari
flutikason) untuk anak berusia di atas 12 tahun. 8
Penambahan LABA pada steroid hirupan dibuktikan dapat
memperbaiki FEV1, menurunkan gejala asma, dan memperbaiki
kualitas hidup. Apabila dosis steroid hirupan sudah mencapai > 800
mg/hari namun tidak mencapai respon, maka baru menggunakan
steroid oral (sistemik). Jadi penggunaan kortikosteroid oral sebagai
controller (pengendali) adalah jalan terakhir. Langkah ini diambil
hanya bila bahaya dari asmanya lebih besar daripada bahaya efek
samping obat. Sebagai dosis awal, steroid oral dapat diberikan 1-2
mg/kgBB/hari. Dosis kemudian diturunkan sampai dosis terkecil yang
diberikan selang hari pada pagi hari. Efek samping steroid sistemik.
Pemberian antileukotrien (zafirlukas) dikontraindikasikan pada
kelainan hati. Pemberian obat anti histamin generasi baru non sedatif
(misalnya setirizin dan ketotifen), dipertimbangkan pada anak dengan
asma yang disertai rinitis.15
Table 1. Stepwise Approach to Asthma Medications

Intermittent
Persistent Asthma: Daily Medication
Asthma

Age Step 1 Step 2 Step 3 Step 4 Step 5 Step 6

Low-dose High-dose
Medium-
inhaled ICS plus
dose ICS
Rapid- corticosteroi High-dose either LABA
plus either
acting d (ICS) ICS plus or
< 5 Medium- long-acting
beta2- either montelukast;
y Alternate dose ICS beta2-
agonis LABA or Oral
regimen: agonist
t prn montelukast systemic
cromolyn or (LABA) or
corticosteroi
montelukast montelukast
d

23
High-dose
ICS plus
Medium- High-dose
Low-dose LABA plus
dose ICS ICS plus
ICS oral systemic
Either low- plus LABA LABA
corticosteroi
dose ICS
d
Rapid- plus either
Alternate
acting LABA,
5-11 Alternate Alternate regimen:
beta2- LTRA, or Alternate
y regimen: regimen: high-dose
agonis theophylline regimen:
cromolyn, high-dose ICS plus
t prn OR medium-
leukotriene ICS plus LRTA or
Medium- dose ICS
receptor either theophylline
dose plus either
antagonist LABA or plus
LTRA or
(LTRA), or theophyllin systemic
theophylline
theophylline e corticosteroi
d

Low-dose
ICS plus Medium- High-dose
Low-dose
LABA OR dose ICS High-dose ICS plus
ICS
Medium- plus LABA ICS plus either LABA
Rapid-
dose ICS LABA (and plus oral
12 y acting
Alternate Alternate consider corticosteroi
or beta2-
regimen: regimen: omalizuma d (and
olde agonis Alternate
low-dose medium- b for consider
r t as regimen:
ICS plus dose ICS patients omalizumab
needed cromolyn,
either plus either with for patients
LTRA, or
LTRA, LTRA, allergies) with
theophylline
theophylline theophylline allergies)

, or zileuton , or zileuton

24
Sebuah meta-analisa oleh Salpeter et al menemukan LABAs
meningkatkan risiko untuk dilakukannya intubasi terkait asma dan kematian
sebanyak 2 kali lipat, bahkan ketika digunakan secara terkontrol dengan
kostikosteroid inhalasi secara bersamaan. Namun dengan angka kejadian yang
kecil dan kebanyakan terjadi pada pasien dewasa.16,17
US Food an Drug Administration (FDA) telah mengkaji data dan isu-isu dan
telah menetapkan bahwa manfaat LABAs dalam meningkatkan gejala asma
lebih besar daripada risiko potensial ketika LABAs digunakan secara tepat
dengan obat pengontrol asma pada pasien yang membutuhkan penambahan
LABAs. FDA merekomendasikan langkah-langkah berikut untuk
meningkatkan keamanan penggunaan obat ini.18 :
 LABAs harus digunakan jangka panjang hanya pada pasien yang asma
tidak dapat secara memadai dikendalikan pada steroid inhalasi.
 LABAs harus digunakan untuk durasi terpendek waktu yang dibutuhkan
untuk mencapai kontrol gejala asma dan dihentikan, jika mungkin, sekali
kontrol asma dicapai; pasien kemudian harus beralih ke obat pengontrol
asma.
 Pasien anak dan remaja yang membutuhkan penambahan LABA ke
sebuah kortikosteroid inhalasi harus menggunakan produk kombinasi
yang mengandung corticosteroid inhalasi dan LABA untuk memastikan
kepatuhan dengan kedua obat.
Pada anak-anak, penggunaan jangka panjang steroid dosis tinggi (sistemik
atau inhalasi) dapat menyebabkan efek samping, termasuk gagal tumbuh.
Data terbaru dari Childhood Asthma Management Program (CAMP) studi
dan hasil dari penggunaan jangka panjang steroid inhalasi (budesonide)
menunjukkan bahwa penggunaan jangka panjang steroid inhalasi tidak
memiliki efek samping yang berkelanjutan pada pertumbuhan pada anak-
anak.18,19,20,21
Cara Pemberian Obat
Cara pemberian obat asma harus disesuaikan dengan umur anak,
karena perbedaan kemampuan menggunakan alat inhalasi. Perlu dilakukan
pelatihan yang benar dan berulang kali.8

25
Pemakaian alat perenggang (spacer) mengurangi deposisi
(penumpukan) obat dalam mulut (orofaring), sehingga mengurangi jumlah
obat yang tertelan, dan mengurangi efek sistemik. Deposisi (penyimpanan)
dalam paru pun lebih baik, sehingga didapatkan efek terapetik (pengobatan)
yang baik. Obat hirupan dalam bentuk bubuk kering (DPI = Dry Powder
Inhaler) seperti Spinhaler, Diskhaler, Rotahaler, Turbuhaler, Easyhaler,
Twisthaler memerlukan inspirasi (upaya menarik/menghirup napas) yang kuat.
Umumnya bentuk ini dianjurkan untuk anak usia sekolah. 8
Pemberian aerosol yang idel adalah dengan alat yang sederhana,
mudah dibawa, tidak mahal, secara selektif mencapai saluran napas bawah,
hanya sedikit yang tertinggal di saluran napas atas, serta dapat digunakan oleh
anak, orang cacat, dan orang tua. Namun keadaan ideal tersebut tidak dapat
sepenuhnya tercapai.
Berikut beberapa alat terapi inhalasi:
 Metered Dose Inhaler (MDI)
1. MDI tanpa Spacer
2. MDI dengan Spacer
Spacer (alat penyambung) akan menambah jarak antara alat dengan
mulut, sehingga kecepatan aerosol pada saat dihisap menjadi berkurang. Hal
ini mengurangi pengendapan di orofaring (saluran napas atas). Spacer ini
berupa tabung (dapat bervolume 80 ml) dengan panjang sekitar 10-20 cm, atau
bentuk lain berupa kerucut dengan volume 700-1000 ml. Penggunaan spacer
ini sangat menguntungkan pada anak.
 Dry Powder Inhaler (DPI)
Penggunaan obat dry powder (serbuk kering) pada DPI memerlukan
hirupan yang cukup kuat. Pada anak yang kecil, hal ini sulit dilakukan. Pada
anak yang lebih besar, penggunaan obat serbuk ini dapat lebih mudah, karena
kurang memerlukan koordinasi dibandingkan MDI. Deposisi (penyimpanan)
obat pada paru lebih tinggi dibandingkan MDI dan lebih konstan. Sehingga
dianjurkan diberikan pada anak di atas 5 tahun.

26
 Nebulizer
Alat nebulizer dapat mengubah obat yang berbentuk larutan menjadi
aerosol secara terus-menerus, dengan tenaga yang berasal dari udara yang
dipadatkan, atau gelombang ultrasonik. Aerosol yang terbentuk dihirup
penderita melalui mouth piece atau sungkup.
Bronkodilator yang diberikan dengan nebulizer memberikan efek
bronkodilatasi yang bermakna tanpa menimbulkan efek samping. Hasil
pengobatan dengan nebulizer lebih banyak bergantung pada jenis nebulizer
yang digunakan. Ada nebulizer yang menghasilkan partikel aerosol terus-
menerus, ada juga yang dapat diatur sehingga aerosol hanya timbul pada saat
penderita melakukan inhalasi, sehingga obat tidak banyak terbuang.

Obat-obatan Pada Terapi Asma


Manajemen farmakologis meliputi penggunaan controller seperti kortikosteroid
inhalasi, cromolyn inhalasi atau nedokromil, bronkodilator long-acting, teofilin,
leukotrien, dan strategi yang lebih baru seperti penggunaan anti-imunoglobulin E
(IgE) antibodi (omalizumab). Obat-obatan reliever termasuk bronkodilator short-
acting, kortikosteroid sistemik, dan ipratropium.
 Bronkodilator, Beta2-Agonis
Obat ini digunakan untuk mengobati bronkospasme di episode asma akut, dan
digunakan untuk mencegah bronkospasme berhubungan dengan asma akibat
olahraga atau asma nokturnal.
1. Albuterol sulfat (Proventil HFA, Ventolin HFA, PROair HFA)
Obat ini adalah digunakan bronkodilator yang paling umum yang tersedia
dalam berbagai bentuk (misalnya, solusi untuk nebulization, solusi MDI,
PO). Hal ini paling sering digunakan dalam terapi reliever untuk gejala
asma akut. Digunakan sesuai kebutuhan. Penggunaan jangka panjang
mungkin terkait dengan tachyphylaxis karena downregulation beta2-
reseptor dan hyposensitivity reseptor.
2. Pirbuterol (MAXair Autohaler)
Pirbuterol tersedia sebagai inhaler. Kemudahan alat membuatnya menjadi
pilihan yang menarik dalam pengobatan gejala akut pada anak-anak yang

27
lebih muda yang tidak bisa menggunakan MDI. The Autohaler diberikan
200 mcg per aktuasi.

 Long Acting Beta2-Agonist


Bronkodilator long-acting (LABA) tidak digunakan untuk pengobatan
bronkospasme akut. Mereka digunakan untuk pengobatan pencegahan asma
nokturnal atau gejala asma akibat olahraga, misalnya. Saat ini, 2 LABA
tersedia di Amerika Serikat: salmeterol (Serevent) dan formoterol (Foradil).
Salmeterol dan formoterol yang tersedia sebagai produk kombinasi dengan
kortikosteroid inhalasi di Amerika Serikat (Advair, Symbicort, Dulera).
LABA berkemungkinan dapat meningkatkan episode asma berat dan
kematian ketika episode sedang terjadi. Sebagian besar kasus terjadi pada
pasien dengan asma berat dan / atau asma akut dengan perburukan; kejadian
tersebut juga dapat terjadi pada pasien yang jarang mengalami kekambuhan.
LABAs tidak lagi menjadi obat lini pertama dalam mengobati asma.
LABAs tidak bisa digunakan sebagai obat yang berdiri sendiri, dan hanya bisa
digunakan pada pengobatan asma jika obat lainnya tidak dapat mengontrol
asma, termasuk penggunaan kortikosteroid dosis rendah atau menengah. Jika
digunakan sebagai obat yang berdiri sendiri, LABAs harus diresepkan oleh
subspecialist (yaitu, paru, alergi).
1. Salmeterol (Serevent Diskus)
Long-acting dari beta2-agonis ini digunakan terutama untuk mengobati
gejala nocturnal atau gejala yang diakibatkan oleh aktivitas yang
berlebihan. Tidak memiliki anti-inflamasi dan tidak diindikasikan dalam
pengobatan episode bronchospastic akut. Obat ini dapat digunakan
sebagai tambahan kortikosteroid inhalasi untuk mengurangi efek negatif
dari steroid. Obat disampaikan melalui Diskus DPI.
2. Formoterol (Foradil Aerolizer)
Formoterol mengurangi bronkospasme dengan cara merelaksasi otot
polos bronkiolus dalam kondisi yang mirip dengan asma

28
 Kortikosteroid Inhalasi
Steroid adalah agen anti-inflamasi yang paling ampuh. Bentuknya
dihirup adalah topikal aktif, kurang dapat diserap, dan paling mungkin
menyebabkan efek samping. Biasanya sering digunakan untuk pengontrolan
gejala jangka panjang dan juga biasa digunakan untuk menekan, mengontrol
dari reaksi peradangan. Bentuk dihirup mengurangi kebutuhan untuk
kortikosteroid sistemik.
Steroid inhalasi memblokir respon akhir asma alergen; mengurangi
akibat hyperresponsiveness; menghambat produksi sitokin, protein aktivasi
adhesi, dan migrasi sel inflamasi dan aktivasi; dan reverse downregulation
beta2-reseptor dan subsensitivity (di episode asma akut dengan menggunakan
LABA).

1. Ciclesonide (Alvesco)
Ciclesonide adalah aerosol inhalasi kortikosteroid diindikasikan untuk
pengobatan pemeliharaan asma sebagai terapi profilaksis pada pasien
dewasa dan remaja berusia 12 dan atau lebih. Tidak diindikasikan untuk
menghilangkan bronkospasme akut.
Kortikosteroid memiliki berbagai efek pada beberapa jenis sel
(misalnya, sel mast, eosinofil, neutrofil, makrofag, limfosit) dan mediator
(misalnya, histamines, eikosanoid, leukotrien, sitokin) yang terlibat dalam
proses inflamasi. Pasien individu mengalami waktu variabel untuk onset
dan derajat lega gejala. Manfaat maksimal mungkin tidak akan tercapai
dalam 4 minggu atau lebih setelah memulai terapi.
Setelah stabilitas asma tercapai, yang terbaik adalah titrasi sampai
dengan dosis terendah yang efektif untuk mengurangi adanya efek
samping. Untuk pasien yang tidak mendapatkan respon yang adekuat
dalam memulai dosis awal setelah 4 minggu terapi, dosis yang lebih tinggi
dapat membantu untuk mengontrol asma.
2. Beklometason (Qvar)
Beklometason menghambat mekanisme bronkokonstriksi;
menyebabkan relaksasi otot polos secara langsung; dan dapat menurunkan
jumlah dan aktivitas sel-sel inflamasi, yang, pada gilirannya, mengurangi

29
napas hyperresponsiveness. Ini tersedia sebagai 40 mcg / aktuasi atau 80
mcg / aktuasi.
3. Flutikason (Flovent Diskus, Flovent HFA)
Fluticasone memiliki vasokonstriksi sangat ampuh dan aktivitas anti-
inflamasi. Ini tersedia sebagai produk aerosol MDI (HFA) atau DPI
(Diskus).
4. Budesonide inhalasi (Pulmicort Flexhaler atau Respules)
Budesonide memiliki vasokonstriksi sangat ampuh dan aktivitas anti-
inflamasi. Memiliki hipotalamus-hipofisis adrenocortical sumbu
penghambatan potensi lemah ketika dioleskan. Ini tersedia sebagai DPI di
90 mcg / aktuasi (memberikan sekitar 80 mcg / aktuasi) atau 180 mcg /
aktuasi (memberikan sekitar 160 mcg / aktuasi). Sebuah susp nebulisasi
(yaitu, Respules) juga tersedia untuk anak-anak.
5. Bubuk mometason furoat inhalasi (Asmanex Twisthaler)
Mometason adalah kortikosteroid untuk inhalasi. Hal ini diindikasikan
untuk asma sebagai terapi profilaksis.22

 Kortikosteroid Sistemik
Obat ini digunakan untuk waktu yang singkat (3-10 d) untuk
mendapatkan kontrol yang cepat dari episode asma akut yang tidak terkontrol.
Obat ini juga dapat digunakan untuk pencegahan jangka panjang gejala asma
persisten berat dan untuk menekan, mengontrol, dan pembalikan peradangan.
Sering menggunakan berulang-ulang dari beta2-agonis telah dikaitkan dengan
subsensitivity beta2-reseptor dan downregulation; proses ini terbalik dengan
kortikosteroid.
Kortikosteroid dosis tinggi tidak memiliki keuntungan dalam
eksaserbasi asma berat, dan pemberian intravena tidak memiliki keuntungan
lebih dari terapi oral, asalkan waktu transit dan penyerapannya dalam GI tidak
terganggu. Rejimen biasa dapat digunakan sebagai dosis harian sampai FEV1
atau arus puncak ekspirasi (PEF) adalah 50% dari nilai-nilai terbaik yang
dapat dicapai; kemudian, dosis diubah menjadi dua kali sehari. Ini biasanya
terjadi dalam waktu 48 jam.
1. Prednisone (Deltasone, Orasone) dan prednisolon (Pediapred,
Prelone, Orapred)

30
Immunosuppressant untuk pengobatan gangguan autoimun,
prednison dapat mengurangi peradangan dengan meningkatkan
permeabilitas kapiler dan menekan aktivitas polymorphonuclear
neutrofil (PMN).
2. Methylprednisolone (Solu-Medrol)
Methylprednisolone dapat mengurangi peradangan dengan
meeningkatkan permeabilitas kapiler dan menekan aktivitas PMN.
3. Deksametason (Baycadron, Deksametason Intensol)
Deksametason dalam ED dapat memberikan efek yang sama
setara dengan 5 hari pemakaian prednison dan tanpa adanya efek
samping yang merugikan, seperti muntah. Para peneliti melakukan
meta-analisis dari 6 studi berbasis di UGD dan menemukan bahwa
secara signifikan lebih sedikit pasien yang menerima deksametason
muntah di UGD atau di rumah setelah pulang dibandingkan dengan
pasien yang menerima prednison oral atau prednisolon. Data
menunjukkan bahwa dokter darurat harus mempertimbangkan
rejimen deksametason tunggal atau 2 dosis lebih dari 5 hari rejimen
prednison / prednisolon untuk pengobatan eksaserbasi asma akut.

 Leukotrien Modifikasi
Pengetahuan yang leukotrien menyebabkan bronkospasme, peningkatan
permeabilitas vaskuler, edema mukosa, dan infiltrasi sel inflamasi telah
menyebabkan konsep memodifikasi aksi mereka dengan menggunakan agen
farmakologis. Ini adalah baik inhibitor 5-lipoxygenase atau antagonis
leukotrien-reseptor.
1. Zafirlukast (Accolate)
Zafirlukast adalah inhibitor kompetitif selektif reseptor LTD4 dan LTE4.
2. Montelukast (Singulair)
Obat ini cukup terkenal di kelasnya, montelukast memiliki
keuntungan, yaitu dapat dikunyah, ia memiliki dosis sekali sehari, dan
tidak memiliki efek samping yang signifikan.

31
 Methylxanthines
Agen ini digunakan untuk kontrol jangka panjang dan pencegahan
gejala, terutama yang terjadi pada malam hari.
1. Theophylline (Theo-24, Theochron, Uniphyl)
Teofilin tersedia dalam short-acting dan formulasi long-acting. Karena
kebutuhan untuk memantau konsentrasi serum, agen ini jarang digunakan.
Dosis dan frekuensi tergantung pada produk tertentu yang dipilih.

 Antibodi Monoklonal
Agen ini mengikat secara selektif untuk IgE manusia pada permukaan
sel mast dan basofil.
1. Omalizumab (Xolair)
Omalizumab adalah rekombinan, DNA yang diturunkan, antibodi
monoklonal IgG yang mengikat secara selektif di IgE pada permukaan sel
mast dan basofil. Hal ini dapat mengurangi pelepasan mediator, yang
mana dapat meningkatkan respon alergi. Hal ini diindikasikan untuk asma
persisten sedang sampai berat pada pasien yang terus bereaksi terhadap
alergen, yang mana gejala sudah tidak dapat dikendalikan oleh
kortikosteroid inhalasi.

 Kombinasi inhalasi Steroid / Long-Acting Beta2-Agonis


Kombinasi ini dapat menurunkan eksaserbasi asma dimana
penggunaan short-acting beta2-agonis dan kortikosteroid telah gagal.
Mengacu ke pembahasan sebelumnya di bagian LABAs mengenai
peningkatan risiko episode asma berat dan kematian dengan penggunaan
LABAs. Dalam penelitian terbaru, penggunaan terapi kombinasi
menggunakan fluticasone propionate dan waktu lama salmeterol untuk
pertolongan pertama pada eksaserbasi asma berat.
Budesonide merupakan kortikosteroid inhalasi yang mengubah tingkat
peradangan di saluran napas dengan menghambat reaksi beberapa jenis sel
inflamasi dan penurunan produksi sitokin dan mediator lain yang terlibat
dalam respons asma. Tersedia sebagai MDI di 2 kekuatan; setiap aktuasi
memberikan formoterol 4,5 mcg dengan baik 80 mcg atau 160 mcg.

32
1. Budesonide / formoterol (Symbicort)
Formoterol mengurangi bronkospasme dengan cara merelaksasi otot
polos bronkiolus dalam kondisi yang berhubungan dengan asma.
Budesonide merupakan kortikosteroid inhalasi yang mengubah tingkat
peradangan di saluran napas dengan menghambat beberapa jenis sel
inflamasi dan penurunan produksi sitokin dan mediator lain yang terlibat
dalam respons asma. Kombinasi ini tersedia sebagai MDI di 2 kekuatan;
setiap aktuasi memberikan formoterol 4,5-mcg dengan baik 80-mcg atau
160-mcg budesonide.
2. Mometason dan formoterol (Dulera)
Ini adalah kortikosteroid kombinasi dengan LABA meteran-dosis
inhaler. Mometason memunculkan efek anti-inflamasi lokal pada saluran
pernapasan dengan penyerapan sistemik yang minimal. Formoterol dapat
merelaksasi otot polos bronkiolus.
Kombinasi ini diindikasikan untuk pencegahan dan pemeliharaan
gejala asma pada pasien yang tidak dapat terkontrol dengan obat
controller asma (misalnya, dosis rendah hingga dosis menengah
kortikosteroid inhalasi) atau penyakit asma yang berat yang
mengharuskan memulai pengobatan dengan 2 terapi pemeliharaan,
termasuk salah satunya LABA. Tersedia dalam 2 jenis; setiap aktuasi
memiliki mometason / formoterol 100 mcg / 5 mcg atau 200 mcg / 5 mcg.
3. Salmeterol / flutikason dihirup (Advair)
Ini adalah kortikosteroid kombinasi dengan LABA meteran-dosis
inhaler. Fluticasone menghambat mekanisme bronkokonstriksi,
merelaksasi otot polos, dan dapat menurunkan jumlah dan aktivitas sel-sel
inflamasi, mengurangi napas hiper-responsif. Ia juga memiliki efek
vasokonstriksi. Salmeterol merelaksasikan otot-otot polos bronkiolus
dalam kondisi yang berhubungan dengan bronkitis, emfisema, asma, atau
bronkiektasis dan dapat meredakan bronchospasms. Efeknya juga dapat
mengencerkan dahak. Efek samping yang lebih mungkin terjadi bila
diberikan pada dosis tinggi atau lebih sering dari yang direkomendasikan.
Dua mekanisme penyampaian yang tersedia (yaitu, bubuk untuk
menghirup [Diskus], meteran-dosis inhaler [MDI]). Diskus tersedia
sebagai kombinasi salmeterol 50 mcg dengan fluticasone 100 mcg, 250

33
mcg, atau 500 mcg. MDI tersedia sebagai 21 mcg salmeterol dengan
flutikason 45 mcg, 115 mcg, atau 230 mcg.

 Agen antikolinergik
Obat ini dapat ditambahkan ke terapi beta2-agonist untuk pengobatan
eksaserbasi akut.
1. Ipratropium (Atrovent)
Secara kimia yang berhubungan dengan atropin, protropium memiliki
sifat antisekresi dan, bila diterapkan secara lokal, menghambat sekresi
dari serosa dan seromucous kelenjar yang melapisi mukosa hidung. MDI
memberikan 17 mcg / aktuasi. Solusi untuk inhalasi mengandung 500 mcg
/ mL 2,5 (yaitu, solusi 0,02% untuk nebulization).

Obat Lain untuk Serangan Asma


 Magnesium Sulfat
Pada penelitian multisenter, pemberian magnesium sulfat intravena (infus)
di rumah sakit mempunyai efektivitas sama dengan pemberian beta
agonis.
 Mukolitik (pengencer dahak)
Pemberian mukolitik (misalnya Bisolvon sirup) pada serangan asma dapat
saja diberikan, tetapi harus berhati-hati pada anak dengan refleks batuk
yang tidak optimal. Pemberian mukolitik secara inhalasi (hirupan) tidak
mempunyai efek yang signifikan, tetapi harus berhati-hati pada serangan
asma berat.
 Antibiotika
Pemberian antibiotika pada asma tidak dianjurkan, karena sebagian besar
pencetusnya bukan infeksi bakteri, melainkan infeksi virus. Pada keadaan
tertentu, antibiotika dapat diberikan, yaitu pada infeksi saluran napas yang
dicurigai karena bakteri, atau dugaan sinusitis yang menyertai asma.
 Obat sedasi (mempunyai efek membuat kantuk)
Pemberian obat sedasi pada serangan asma sangat tidak dianjurkan,
karena menekan pernapasan.
 Anti histamin (anti alergi)

34
Anti histamin jangan diberikan pada serangan asma, karena tidak
mempunyai efek yang bermakna, bahkan dapat memperburuk keadaan. 8

H. Komplikasi
Bila serangan asma sering terjadi dan telah berlangsung lama, maka
akan terjadi emfisema dan mengakibatkan perubahan bentuk toraks yaitu
toraks membungkuk ke depan dan memanjang. Pada foto rontgen toraks
terlihat diafragma letak rendah, gambaran jantung menyempit, corakan hilus
kiri dan kanan bertambah. bentuk dada burung dapat dinilai dari perbaikan
pertumbuhannya. 4
Bila sekret banyak dan kental, salah satu bronkus dapat tersumbat
sehingga dapat terjadi atelektasis pada lobus segmen yang sesuai. Bila
atelektasis berlangsung lama dapat berubah menjadi bronkiektasis dan bila ada
infeksi terjadi bronkopneumonia. Serangan asma yang terus menerus dan
beberapa hari serta berat dan tidak dapat diatasi dengan obat-obatan disebut
status asmatikus. Bila tidak dtolong dengan semestinya dapat menyebabkan
gagal pernapasan, gagal jantung, bahkan kematian. 2

I. Prognosis dan perjalanan klinis


Mortalitas akibat asma jumlahnya kecil. Gambaran yang paling akhir
menunjukkan kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi berisiko
yang jumlahnya kira-kira 10 juta penduduk. Angka kematian cenderung
meningkat di pinggiran kota dengan fasilitas kesehatan terbatas. 4
Informasi mengenai perjalanan klinis asma menyatakan bahwa
prognosis baik ditemukan pada 50–80% pasien, khususnya pasien yang
penyakitnya ringan dan timbul pada masa kanak-kanak. Jumlah anak yang
masih menderita asma 7–10 tahun setelah diagnosis pertama bervariasi dari
26–78% dengan nilai rata-rata 46%, akan tetapi persentase anak yang
menderitaringan dan timbul pada masa kanak-kanak. Jumlah anak yang
menderita asma penyakit yang berat relatif berat (6 –19%). Secara keseluruhan
dapat dikatakan 70–80% asma anak bila diikuti sampai dengan umur 21 tahun
asmanya sudah menghilang. 4

35
BAB IV
KESIMPULAN

Asma adalah penyakit saluran napas kronik yang penting dan merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai Negara di seluruh dunia. Asma
dapat bersifat ringan dan tidak mengganggu aktivitas, akan tetapi dapat bersifat
menetap dan mengganggu aktivitas bahkan kegiatan harian. Produktivitas menurun
akibat bolos kerja atau sekolah dan dapat menimbulkan kecacatan sehingga
menambah penurunan produktivitas serta menurunkan kualitas hidup.
Penyebab asma dapat berasal dari gangguan pada saluran pernapasan yang
kita kenal sebagai asma bronkial dan bisa juga berasal dari jantung yang kita kenal
sebagai asma jantung. Istilah bronkial sendiri merujuk pada bronkus. Istilah tersebut
berasal dari bahasa Inggris, “bronchial.” Dengan demikian, asma bronkial dapat
dipahami sebagai asma yang penyebabnya berkaitan dengan bronkus.
Serangan asma dapat berupa serangan sesak napas ekspiratoir yang
paroksismal, berulang-ulang dengan mengi (“wheezing”) dan batuk yang disebabkan
oleh konstriksi atau spasme otot bronkus, inflamasi mukosa bronkus dan produksi
lendir kental yang berlebihan.
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan
banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperresponsif
jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas,
dada terasa berat dan batuk-batuk terutama pada malam hari atau dini hari. Episodik
tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan
seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.

36
Daftar Pustaka

1. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia. Buku Kuliah 3 Ilmu Kesehatan Anak. Cetakan Ke 7. Percetakan
Infomedika : Jakarta, 2002.
2. Isselbacher. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit dalam. Edisi 13. Volume
3. Editor Edisi bahasa Indonesia : Ahmad H. Asdie. Penerbit Buku
Kedokteran EGC : Jakarta, 2000.
3. Robbins dkk. Buku Ajar Patologi II. Edisi 4. Alih Bahasa : Staf pengajar
Laboratorium Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.
Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta, 1995.
4. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Asma : Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksaan di Indonesia. Balai Penerbit FKUI : Jakarta, 2004.
5. Pedoman Nasional Asma Anak, UKK Pulmonologi PP Ikatan Dokter Anak
Indonesia 2004.
6. Guyton, Arthur C. 1997. Fisiologi Manusia dan Mekanismenya terhadap
Penyakit. EGC Penerbit Buku kedokteran. Jakarta.
7. Ganong, W . 1999. Fisiologi Kedokteran; EGC Penerbit Buku Kedokteran.
Jakarta.
8. Buku Ajar Respirologi Anak.Edisi ke-1. Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto
DB, penyunting. Jakarta: Badan penerbit IDAI, 2008
9. Wikipedia, the free encyclopedia.Asma [serial online]. 2006 [cited 2008
October 5]. Available from: URL: http://en.wikipedia.org/wiki/asma
10. http://www.aaaai.org/members/resources/initiatives/pediatricasthmaguideline
s/default.htm
11. [Guideline] Expert Panel Report 3 (EPR-3): Guidelines for the Diagnosis and
Management of Asthma-Summary Report 2007. J Allergy Clin Immunol. 2007
Nov. 120(5 Suppl):S94-138. [Medline].
12. Goleva E, Searing DA, Jackson LP, Richers BN, Leung DY. Steroid
requirements and immune associations with vitamin D are stronger in children
than adults with asthma. J Allergy Clin Immunol. 2012 Feb 11.[Medline].
13. Wu AC, Tantisira K, Li L, Fuhlbrigge AL, Weiss ST, Litonjua A. Effect of
vitamin D and inhaled corticosteroid treatment on lung function in

37
children. Am J Respir Crit Care Med. 2012 Sep 15. 186(6):508-
13. [Medline]. [Full Text].
14. Holbrook JT, Wise RA, Gold BD, et al. Lansoprazole for children with poorly
controlled asthma: a randomized controlled trial. JAMA. 2012 Jan 25.
307(4):373-81. [Medline].
15. Brozek JL, Kraft M, Krishnan JA, Cloutier MM, Lazarus SC, Li JT, et al.
Long-Acting ß2-Agonist Step-off in Patients With Controlled Asthma:
Systematic Review With Meta-analysis. Arch Intern Med. 2012 Aug 27. 1-
11. [Medline].
16. Nelson HS, Weiss ST, Bleecker ER, Yancey SW, Dorinsky PM. The
Salmeterol Multicenter Asthma Research Trial: a comparison of usual
pharmacotherapy for asthma or usual pharmacotherapy plus salmeterol. Chest.
2006 Jan. 129(1):15-26. [Medline].
17. Salpeter SR, Wall AJ, Buckley NS. Long-acting beta-agonists with and
without inhaled corticosteroids and catastrophic asthma events. Am J Med.
2010 Apr. 123(4):322-8.e2. [Medline].
18. US Food and Drug Administration. FDA Drug Safety Communication: New
safety requirements for long-acting inhaled asthma medications called Long-
Acting Beta-Agonists (LABA). Human Department of Health and Human
services. Feb 18, 2010. 1-4. [Full Text].
19. Lemanske RF, Mauger DT, Sorkness CA, et al. Step-up therapy for children
with uncontrolled asthma receiving inhaled corticosteroids. N Engl J Med.
March 30, 2010. 362:975-85.
20. Agertoft L, Pedersen S. Effect of long-term treatment with inhaled budesonide
on adult height in children with asthma. N Engl J Med. 2000 Oct 12.
343(15):1064-9. [Medline].
21. Long-term effects of budesonide or nedocromil in children with asthma. The
Childhood Asthma Management Program Research Group. N Engl J Med.
2000 Oct 12. 343(15):1054-63. [Medline].
22. Postma DS, O'Byrne PM, Pedersen S. Comparison of the effect of low-dose
ciclesonide and fixed-dose fluticasone propionate and salmeterol combination
on long-term asthma control. Chest. 2011 Feb. 139(2):311-8. [Medline].

38

Anda mungkin juga menyukai