Anda di halaman 1dari 46

LAPORAN KASUS/CASE REPORT SESSION (CRS)

*Kepanitraan Klinik Senior/ G1A216092/MARET 2017


** Pembimbing/ dr. Monalisa, Sp.PD

CHRONIC KIDNEY DISEASE e.c NEFROPATI DIABETIK

+ EFUSI PLEURA

FRAYA LIVIA ULIMA*

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD. RADEN MATTAHER JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2017

1
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS

CHRONIC KIDNEY DISEASE e.c NEFROPATI DIABETIK

+ EFUSI PLEURA

Oleh:

FRAYA LIVIA ULIMA, S.Ked


G1A216092

Sebagai salah satu tugas kepaniteraan klinik senior


Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Jambi
RSUD Raden Mattaher Jambi
2017

Jambi, Maret 2017


Pembimbing

dr. Monalisa, Sp.PD


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Case Report Session yang berjudul “Chronic Kidney Disease e.c Nefropati
Diabetik + Efusi Pleura” sebagai kelengkapan persyaratan dalam mengikuti
Pendidikan Profesi Dokter Bagian Penyakit Dalam di Rumah Sakit Umum Daerah
Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Monalisa, Sp.PD, yang
telah meluangkan waktu dan pikirannya sebagai pembimbing sehingga penulis
dapat menyelesaikan laporan ini.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat
diharapkan. Selanjutnya, penulis berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat
dan menambah ilmu bagi para pembaca.

Jambi, Maret 2017

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... ii
KATA PENGANTAR .................................................................................. iii
DAFTAR ISI ................................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
BAB II LAPORAN KASUS ......................................................................... 2
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 12
BAB IV ANALISIS KASUS ........................................................................ 35
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 41
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit ginjal kronik atau Chronic kidney disease (CKD)


menggambarkan suatu keadaan ginjal yang abnormal baik secara struktural
maupun fungsinya yang terjadi secara progresif dan menahun, umumnya bersifat
ireversibel. Sering kali berakhir dengan penyakit ginjal terminal yang
menyebabkan penderita harus menjalani dialisis atau bahkan transplantasi ginjal.
Penyakit ini sering terjadi, seringkali tanpa disadari dan bahkan dapat timbul
bersamaan dengan berbagai kondisi (penyakit kardiovaskular dan diabetes).
Menurut world health organization (WHO), data hingga 2015
diperkirakan tingkat presentase dari 2009 sampai 2011 ada sebanyak 36 juta
warga dunia meninggal akibat chronic kidney disease (CKD). Lebih dari 26 juta
orang dewasa di Amerika atau sekitar 17 % dari populasi orang dewasa terkena
CKD.
Indonesia termasuk pada tingkat gagal ginjal yang cukup tinggi, sampai
januari 2011 diperkirakan terdapat 70.000 penderita gagal ginjal di Indonesia yang
membutuhkan cangkok ginjal, menurut Persatuan Nefrologi Indonesia.
Peran ginjal terkadang sering diabaikan dibandingkan dengan organ- organ
lainnya. Padahal ginjal mempunyai peran yang sangat vital bagi bekerjanya tubuh
kita dalam melakukan aktifitas sehari-hari. Begitu pentingnya sehinga manusia
diberikan dua ginjal sebagai cadangan untuk menjaga kemungkinan bila salah satu
ginjal rusak atau tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Manusia tidak akan dapat
bertahan hidup lebih lama apabila kedua ginjalnya berhenti bekerja. Melihat
fungsi ginjal yang begitu penting, tentu dengan tidak bekerjanya ginjal secara
maksimal akan banyak gangguan yang terjadi dalam tubuh kita. Tubuh akan
keracunan sampah hasil metabolisme karena tidak dapat dikeluarkan dengan baik
sehingga menumpuk di dalam darah, terbawa dalam sirkulasi aliran darah ke
seluruh tubuh dan akan menimbulkan gejala akibat terganggunya sistem organ.
Bahkan protein yang sangat dibutuhkan untuk membentuk sel-sel baru pada
jaringan yang rusak dan beregenerasi seperti otot, tulang, kulit, rambut, dan kuku
dapat menjadi masalah karena terganggunya fungsi ginjal.
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn Hendri Ponti
Umur : 58 Tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Kenali Asam
Masuk RS : 5 Maret 2017
Tanggal pemeriksaan : 16 Maret 2017

2.2 ANAMNESIS
Keluhan utama :
Sesak napas ± 1 bulan SMRS
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang dengan keluhan sesak napas ± 1 bulan SMRS. Sesak
mucul secara tiba-tiba. Sesak dirasakan hilang timbul dan semakin
memberat. Pasien mengatakan sesak nafas semakin berat saat beraktifitas
dan lebih berkurang ketika posisi setengah duduk. Sebelum masuk rumah
sakit, pasien pernah mengkonsumsi obat yang dibeli sendiri dan ada
sedikit perbaikan, tetapi kemudian sesak lagi.
Pasien juga mengeluhkan batuk ± 4 bulan yang lalu. Batuk
dirasakan hilang timbul dan muncul secara tiba-tiba. Waktu dalam satu
kali batuk yaitu lebih kurang 15 detik. Batuk diawali dengan batuk kering
dan lama-kelamaan berdahak bewarna putih dan kental. Pasien pernah
meminum obat warung untuk meredakan batuk tetapi batuk tidak hilang.
Pasien juga mengeluhkan kedua kaki dan tangannya bengkak.
Bengkak dirasakan sejak ± 5 bulan yang lalu. Bengkak timbul perlahan-
lahan yang didahului bengkak pada pergelangan kaki lalu lama-kelamaan
seluruh kaki dan tangan pasien ikut membengkak. Bengkak dirasakan
tidak nyeri. Pasien mengatakan bahwa bengkak pernah dikompres dan
berkurang sedikit tetapi kemudian membengkak kembali.
Sejak adanya keluhan ± 5 bulan terakhir ini, pasien mengaku
jumlah urin dalam sekali BAK lebih sedikit dari biasanya. Frekuensi BAK
pasien sering tetapi urin yang dikeluarkan hanya sedikit. Dalam sehari urin
yang dikeluarkan lebih kurang 120ml. Warna urin yang dikeluarkan
kuning pekat dan tidak berbusa. Pasien pernah mencoba untuk minum air
putih lebih banyak dari biasanya tetapi urin yang dikeluarkan tetap sedikit
Pasien pernah dirawat ± 2 bulan yang lalu dengan keluhan yang
sama yaitu sesak napas dan bengkak pada kaki dan tangan. Keluhan
dirasakan 1 minggu SMRS. Pasien dirawat selama ± 11 hari. Keluhan
sesak dan bengkak masih dirasakan ketika pasien sudah keluar dari rumah
sakit.
Riwayat penyakit dahulu :
- Riwayat dengan keluhan yang sama (+) 2 bulan yang lalu
- Riwayat hipertensi (+)
- Riwayat DM (+) sejak 11 tahun yang lalu
- Riwayat penyakit paru (+) 20 tahun yang lalu dan sudah sembuh
- Riwayat asma (-)
- Riwayat penyakit jantung disangkal
- Riwayat cuci darah disangkal
Riwayat penyakit keluarga :
- Riwayat dengan keluhan yang sama (-)
- Riwayat hipertensi (+) yaitu ayah dan ibu
- Riwayat DM (+) yaitu adik
- Riwayat penyakit jantung disangkal
- Riwayat penyakit paru disangkal

2.3 Pemeriksaan Fisik


Tanda Vital
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 180/90 mmHg
Nadi : 78x/i
RR : 25x/i
Suhu : 36,7 ºC
Keadaan Gizi
TB : 158cm
BB : 70kg
IMT : 28,11 (obesitas I)
Keadaan Spesifik
Kulit
Warna : Sawo matang Suhu : 36,5ºC
Efloresensi : (-) Turgor : Baik
Pigmentasi : Dalam batas normal Ikterus : (-)
Jar. Parut : (-) Edema : edema pada
Pertumbuhan Rambut : rambut tumbuh kedua tungkai kaki
dan
tidak merata tangan kanan
Kelenjar
Pembesaran Kel. Submandibula : (-)
Jugularis Superior : (-)
Submental : (-)
Jugularis Interna : (-)
Kepala
Bentuk kepala : Normocephali
Ekspresi muka : Tampak sakit sedang
Simetris muka : Simetris
Rambut : tampak hitam dan tidak tumbuh merata
Perdarahan temporal : (-)
Nyeri tekan syaraf : (-)
Mata
Exophthalmus/endopthalmus : (-/-)
Edema palpebra : (-/-)
Conjungtiva anemis : (-/-)
Sklera Ikterik : (+/+)
Pupil : Isokor (+/+)
Lensa : Tidak keruh
Reflek cahaya : (+/+)
Gerakan bola mata : baik kesegala arah

Hidung
Bentuk : Normal Selaput lendir : normal
Septum : Deviasi (-) Penumbatan : (-)
Sekret : (-) Perdarahan : (-)
Mulut
Bibir : sianosis (-)
Gigi geligi : gigi tinggal 2
Gusi : berdarah (-)
Lidah : tremor (-)
Bau pernafasan : dbn
Leher
Kelenjar getah bening : pembesaran (-)
Kelenjar tiroid : pembesaran (-)
Tekanan vena jugularis : (5-2) cm H2O
Thorax
Bentuk : simetris
 Paru-paru
o Inspeksi : Simetris kanan dan kiri
o Palpasi : fremitus taktil menurun
o Perkusi : redup pada basal paru kanan, nyeri
tekan(-)
o Auskultasi : vesikuler melemah, wheezing (-/-),
ronkhi (-/-)

 Jantung
o Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
o Palpasi : ictus cordis teraba 2 jari di ICS V linea
midclavicula sinistra
o Perkusi batas jantung :
Kanan : ICS III Linea parasternalis dekstra
Kiri : ICS V Linea midklavikularis sinistra
Atas : ICS II Linea parasternalis sinistra
Pinggang jantung : ICS III Linea parasternalis
sinistra
o Auskultasi : BJ I dan II reguler, murmur (-), gallop
(-)
 Abdomen
o Inspeksi : cembung, sikatrik (-), massa (-), bekas
operasi (-)
o Palpasi : Nyeri tekan regio epigastrium (+), nyeri
lepas (-), hepar dan lien tidak teraba.
o Perkusi : Timpani (+)
o Auskultasi : Bising usus (+) 7x/menit
Ekstremitas atas
Gerakan : terbatas Akral : hangat, CRT < 2
detik
Nyeri sendi : (-) Luka : (-)
Edema : kanan (+), pitting edema (+)
Extremitas bawah
Gerakan : terbatas Akral : hangat, CRT < 2
detik
Nyeri sendi : (-) Luka : (-)
Edema : kanan/kiri (+/+), pitting edema (+)

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Darah Rutin (05-03-2017)
WBC : 13,3 103/mm3 (3,5-10)
RBC : 3,31 106/mm3 (3,80- 5,80)
HGB : 9,2 g/dl % (11,0-16,5)
HCT : 25,7 % (35-50)
PLT : 294 103/mm3 (150-450)
GDS : 276 mg/dl (<200)

Kimia Darah
Faal Ginjal (09-03-2017)
Ureum : 109,0 mg/dL (15-39)
Kreatinin : 5,0 mg/dL (0,9-1,3)
Urin Rutin (09-03-2017)
Warna : Kuning muda
Berat Jenis : 1020
Protein : (+) Positif 1
Reduksi/glukosa: negatif
Faal Hati (19-03-2017)
Albumin : 2,7 (3,5-5,0)

Rontgen Thorax

2.5 Diagnosa Kerja


Primer : CKD Grade IV e.c Nefropati Diabetik
Sekunder : Efusi Pleura
2.6 Diagnosis Banding
Gagal ginjal akut
TB Paru
PPOK
Gagal Jantung Kronik

2.7 Penatalaksanaan
Farmakologis
- Oksigen 4 L/menit nasal kanul
- IVFD Nacl 0,5 % 5mm
- Pemasangan venflon 6.20
- Inj Furosemid 2x1 ampul
- Ceftriaxone 1x2 gram IV
- Bicnat 3x1 tab
- Amlodipine 10 g 1x1 tab (pagi)
- Bisoprolol 5 mg 1x1 tab (malam)
- Rencana Hemodialisa
Non farmakologis
- Protein diberikan 0,6-0,8/kgBB/hari
- Jumlah kalori yang diberikan sekitar 30-35 kkal/kgBB/hari
- Pembatasan cairan 500-800 ml/hari

Rencana pemeriksaan penunjang :


- USG abdomen
- Rontgen thorax
- EKG

2.8 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad fungsionam : dubia ad malam
Follow Up Pasien
16 Maret 2017
S : sesak nafas (+), kaki bengkak (+), tangan bengkak (+) kanan
O:
Kesadaran : CM
Tekanan Darah : 180/90 mmHg
Nadi : 78x/i
RR : 25x/i
Suhu : 36,7 ºC
Input : 240 ml
Output : 300 ml
A : CKD grade IV e.c Nefropati Diabetik + Efusi Pleura
P:
- Inj Furosemid 2x1 ampul
- Ceftriaxone 1x2 gram IV
- Bicnat 3x1 tab
- Amlodipine 10 g 1x1 tab (pagi)
- Bisoprolol 5 mg 1x1 tab (malam)

17 Maret 2017
S : sesak nafas(+), kaki bengkak (+), tangan bengkak (+) kanan
O:
Kesadaran : CM
Tekanan Darah : 160/90 mmHg
Nadi : 82x/i
RR : 28x/i
Suhu : 37 ºC
Input : 240 ml
Output : 300 ml
GDS : 500 g/dL
A : CKD grade IV e.c Nefropati Diabetik + Efusi Pleura
P:
- Inj Furosemid 2x1 ampul
- Ceftriaxone 1x2 gram IV
- Bicnat 3x1 tab
- Amlodipine 10 g 1x1 tab (pagi)
- Bisoprolol 5 mg 1x1 tab (malam)
- Miniaspi 1x1 tab

18 Maret 2017
S : sesak nafas (+), kaki bengkak (+), tangan bengkak (+) kanan
O:
Kesadaran : CM
Tekanan Darah : 130/70 mmHg
Nadi : 68x/i
RR : 20x/i
Suhu : 36,5 ºC
Input : 300 ml
Output : 300 ml
A : CKD grade IV e.c Nefropati Diabetik + Efusi Pleura
P:
- Albumin 25% fl

19 Maret 2017
S : sesak nafas (+), kaki bengkak (+), tangan bengkak (+) kanan
O:
Kesadaran : CM
Tekanan Darah : 150/80 mmHg
Nadi : 80x/i
RR : 19x/i
Suhu : 36 ºC
Input : 320 ml
Output : 240 ml
GDS : 332 g/dL
A : CKD grade IV e.c Nefropati Diabetik + Efusi Pleura
P:
- Inj Furosemid 2x1 ampul
- Ceftriaxone 1x2 gram IV
- Bicnat 3x1 tab
- Amlodipine 10 g 1x1 tab (pagi)
- Bisoprolol 5 mg 1x1 tab (malam)
- Miniaspi 1x1 tab

2.9 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad fungsionam : dubia ad malam

BAB III
Tinjauan Pustaka
Nefropati diabetik
DEFENISI
Nefropati diabetik adalah sindrom klinis pada pasien diabetes melitus yang
ditandai dengan albuminuria menetap (>300 mg/24 jam) pada minimal dua kali
pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan yang berhubungan dengan
peningkatan tekanan darah dan penurunan LFG (laju filtrat glomerulus).1
Mikroalbuminuria didefinisikan sebagai ekskresi albumin lebih dari 30 mg per
hari dan dianggap sebagai prediktor penting untuk timbulnya nefropati diabetik.

Algoritma diagnosis albuminuria


ETIOLOGI
Secara ringkas, faktor-faktor etiologi timbulnya penyakit ginjal diabetic
adalah:
1. Kurang terkendalinya kadar gula darah ( gula darah puasa> 140-160 mg/dl
(7,7-8,8 mmol/l); AIC > 7-8%
2. Factor-faktor genetis
3. Kelainan hemodinamik (peningkatan aliran darah ginjal dan laju filtrasi
glomerulus, peningkatan tekanan intraglomerulus)
4. Hipertensi sistemik
5. Sindrom resistensi insulin (sindroma metabolic)
6. Keradangan
7. Perubahan permeabilitas pembuluh darah
8. Asupan protein berlebih
9. Gangguan metabolic (kelainan metabolisme polyol, pembentukan
advanced glication end product, peningkatan produksi sitokin)
10. Pelepasan growth factors
 Transforming growth factors Transforming growth factors (TGF-b,
TGF-b2, TGF-b3) dan reseptornya terdapat pada semua sel glomerulus
dan sel tubulus proksimal. Sel epitel dan mesangium glomerulus yang
terpapar dengan TGF-b akan meningkatkan sintesis protein MES,
menurunkan sintesis MMP (matrix metalloproteniase), dan
meningkatkan produksi TIMP (tissue inhibitors of MMPs). Mitogen-
activated protein kinases (MAPK) mungkin berperan dalam glucose-
induced TGF-b yang memediasi peningkatan produksi MES dalam sel
mesangium. TGF-b-akan merangsang pengambilan glukosa dengan
meningkatkan transporter glukosa (GLUT- ) dalam sel mesangium.
Konsentrasi TGF-b2 dan reseptor TGF-b tipe II juga meningkat pada
diabetes. Antibodi netralisasi terhadap TGF-b-, TGF-b-2, dan TGF-b-3
ginjal akan membatasi peningkatan TGF-b-, reseptor TGF-b tipe II,
kolagen IV, mRNA fibronektin, dan hipertrofi glomerulus. Pengobatan
dengan penghambat ACE (enalapril) akan menurunkan reseptor TGF-b
tipe I, II, dan III glomerulus tanpa ada perubahan dalam isoform TGF-
b. Penghambat ACE dapat mencegah peningkatan urinary albumin
excretion rate (UAER) dan mencegah hipertrofi ginjal, serta mengatur
sistem TGF-b ginjal melalui penurunan reseptor TGF-b.
 Growth hormone dan insulin-like growth factor Diabetes melitus dapat
menyebabkan penurunan produksi IGF-oleh hepar sehingga kadar
IGF-serum dan sekresi growth hormone turun, yang akan menstimulasi
jalur IGF-lokal jaringan (seperti IGF-ginjal) dan menginduksi
proliferasi sel mesangium. Penelitian menunjukkan bahwa pada sel
mesangium tikus dengan diabetik non obese terjadi peningkatan
sekresi IGF-dan penurunan aktivitas MMP-2 yang menyebabkan
akumulasi MES glomerulus. Akumulasi IGF-ginjal dan hipertrofi
ginjal dipengaruhi oleh glikemia. Akumulasi IGF- ginjal ini lebih
disebabkan oleh perub ahan reseptor IGF-ginjal dan IGF-binding
protein dibandingkan dengan meningkatnya produksi IGF-ginjal.
Analog somatostatin dan antagonis reseptor growth hormone dapat
mencegah peningkatan kadar mRNA protein pengikat IGF ginjal, IGF-
ginjal, dan hipertrofi ginjal.
 Vascular endothelial growth factor Vascular endothelial growth factor
(VEGF) merupakan mitogen poten terhadap sel endotel vaskular dan
regulator penting dalam angiogenesis terjadinya retinopati proliferatif
pada diabetes melitus. Dalam keadaan normal, VEGF terdapat pada
glomerulus dan sel epitel tubulus, sedangkan reseptor VEGF tipe 2
terdapat pada sel endotel glomerulus dan sel interstitial kortikal.
Mechanical stretch pada sel mesangium dapat menginduksi produksi
VEGF yang berkaitan dengan kelainan hemodinamik glomerulus.3
VEGF akan meningkat dalam glomerulus pasien diabetes mellitus
akibat hiperglikemia yang diinduksi aktivasi PKC, dan meningkatkan
permeabilitas glomerulus dan albuminuria. Permeabilitas glomerulus
berkurang oleh inhibisi PKC.2 Hipoksia merupakan stimulator kuat
terhadap VEGF. Angiotensin II menstimulasi VEGF pada sel
mesangium dan glukosa menstimulasi VEGF pada sel otot polos.
 Epidermal growth factor Epidermal growth factor (EGF) disintesis di
ginjal. Mesangium, tubulus, dan sel interstitial glomerulus mempunyai
reseptor terhadap peptida ini. EGF merangsang proliferasi sel tubulus
dan menyebabkan hipertrofi ginjal pada diabetes melitus stadium dini.
EGF juga mempengaruhi sintesis MES dan perubahan protein MES
sehingga terjadi nefropati diabetik.
11. Kelainan metabolisme karbohidrat/lemak/protein
12. Kelainan structural (hipertrofi glomerulus, ekspansi mesangium,
penebalan membrana basalis glomerulus)
13. Gangguan ion-pumps (peningkatan Na+ -H+ pump dan penurunan Ca2+ -
ATPase pump).
14. Hiperlipidemia (hiperkolesterolemia dan hipertrigliseridemia)
15. Aktivasi protein kinase.
Pada hiperglikemia dan diabetes melitus, terjadi peningkatan sintesis
diasilgliserol (DAG) dari fosfatidil kholin oleh enzim fosfolipase D.
Selanjutnya DAG akan mengaktivasi protein kinase C (PKC). Akumulasi
DAG dan aktivasi PKC menyebabkan perubahan struktur dan
permeabilitas glomerulus. Aktivasi PKC akan mempengaruhi inducible
nitric oxide dan menyebabkan ekspansi mesangium, meningkatkan TGF-b
dan aktivitas mitogen- activated protein kinases (MAPK), serta
menyebabkan vasodilatasi glomerulus.2,3 Meskipun terdapat hubungan
antara PKC dan TGF-b, namun kerja TGF-b tidak dimediasi oleh PKC.3
Aktivasi DAG kinase akan menurunkan aktivitas PKC dan menyebabkan
restorasi hemodinamik ginjal.2,3 Inhibisi PKC akan menurunkan TGF-b,
menurunkan ekspansi mesangium dan albuminuria.

FAKTOR RISIKO
Beberapa studi cross-sectional dan longitudinal telah mengidentifikasi
adanya beberapa faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan risiko utama dari
nefropati diabetikum. Faktor-faktor risiko tersebut antara lain : hipertensi,
glikosilasi hemoglobin, kolesterol total, peningkatan usia, resistensi insulin, jenis
kelamin, ras (kulit hitam), dan diet tinggi protein.
Hipertensi atau tekanan darah yang tinggi merupakan komplikasi dari
penyakit diabetes mellitus dipercaya paling banyak menyebabkan secara langsung
terjadinya nefropati diabetikum. Hipertensi yang tak terkontrol dapat
meningkatkan progresivitas untuk mencapai fase nefropati diabetikum yang lebih
tinggi (Fase V nefropati diabetikum).
Tidak semua pasien diabetes mellitus tipe I dan II berakhir dengan
nefropati diabetikum. Dari studi perjalanan penyakit alamiah ditemukan beberapa
faktor risiko antara lain:
1. Hipertensi
Hipertensi dapat menjadi penjadi penyebab dan akibat dari
nefropati diabetikum. Dalam glomerulus, efek awal dari hipertensi
sistemik adalah dilatasi arteriola afferentia, yang berkontribusi kepada
hipertensi intraglomerular, hiperfiltrasi, dan kerusakan hemodinamik.
Respon ginjal terhadap system renin-angiotensin menjadi abnormal pada
ginjal diabetes 11. Untuk alasan ini, agen yang dapat mengkoreksi kelainan
tekanan intraglomerular dipilih dalam terapi diabetes. ACE inhibitors
secara spesifik menurunkan tekanan arteriola efferentia, karena dengan
menurunkan tekanan intraglomerular dapat membantu melindungi
glomerulus dari kerusakan lebih lanjut, yang terlihat dari efeknya pada
mikroalbuminuria. Terutama setelah mikroalbuminuria muncul, kontrol
metabolik hanya salah satu faktor dalam mencegah progresi penyakit
ginjal. Hipertensi pada stadium ini diperkirakan menjadi penyabab
penurunan cepat kerusakan ginjal.
2. Prediposisi genetika berupa riwayat keluarga mengalami nefropati
diabetikum dan hipertensi
3. Kepekaan (susceptibility) nefropati diabetikum
a. Antigen HLA (Human Leukosit Antigen)
Beberapa penelitian menemukan hubungan faktor genetika tipe
antigen HLA dengan kejadian nefropati diabetikum. Kelompok
penderita diabetes dengan nefropati lebih sering mempunyai Ag tipe
HLA-B9
b. Glukose transporter (GLUT)
Setiap penderita diabetes mellitus yang mempunyai GLUT 1-5
mempunyai potensi untuk mendapat nefropati diabetikum.
4. Hiperglikemia
Kontrol metabolic yang buruk dapat menjadi memicu terjadinya
nefropati diabetikum. Nefropati diabetikum jarang terjadi pada orang
12
dengan HbA1c <7.58.0% . Pada akhirnya, glukosa memiliki arti dan
pertanda klinis untuk kelainan metabolic yang memicu nefropati
diabetikum.
Kelainan metabolik lain yang berhubungan dengan keadaan
hiperglikemi juga berperan dalam perkembangan nefropati diabetikum
termasuk AGEs dan polyols. AGEs ialah hasil pengikatan nonenzimatik,
yang tidak hanya mengubah struktur tersier protein, tapi juga
menghasilkan intra- dan intermolekular silang. Berbagai macam protein
dipengaruhi oleh proses ini. Kadar AGEs di sirkulasi dan jaringan
diketahui berhubungan dengan mikroalbuminuria pada pasien diabetes.
Kadar AGEs pada dinding kolagen arteri lebih besar 4 kali lipat pada
orang dengan diabetes. Pasien diabetes dengan ESRD memiliki AGEs di
jaringan dua kali lipat lebih banyak daripada pasien diabetes tanpa
gangguan ginjal.
5. Merokok
Merokok meningkatkan progresi nefropati diabetikum. Analisis
mengenai faktor risiko menunjukkan bahwa merokok meningkatkan
kejadian nefropati diabetikum sebesar 1,6 kali lipat lebih besar.
PATOFISOLOGI
Sampai saat ini, hiperfiltrasi masih dianggap sebagai awal dari mekanisme
patogenik dalam laju kerusakan ginjal. Penelitian Brenner dkk pada hewan
menunjukkan bahwa saat jumlah nefron mengalami pengurangan yang
berkelanjutan, filtrasi glomerulus dari nefron yang masih sehat akan meningkat
sebagai bentuk kompensasi. Hiperfiltrasi yang terjadi pada sisa nefron yang sehat
akan menyebabkan sklerosis dari nefron tersebut.
Mekanisme terjadinya peningkatan laju filtrasi glomerulus pada nefropati
diabetic ini masih belum jelas benar, tetapi kemungkinan disebabkan oleh dilatasi
arteriol aferen oleh efek yang tergantung glukosa, yang diperantarai hormone
vasoaktif, IGF-1, nitric oxide, prostaglandin dan glucagon. Efek langsung dari
hiperglikemia adalah rangsangan hipertrofi sel, sintesis matriks ekstraseluler, serta
produksi TGF-β yang diperantarai oleh aktivasi protein kinase-C (PKC) yang
termasuk dalam serine-threonin kinase yang memiliki fungsi vascular seperti
kontraktilitas, aliran darah, proliferasi sel dan permeabilitas kapiler.
Hiperglikemia kronik dapat menyebabkan terjadinya glikasi nonenzimatik
asam amino dan protein (reaksi Mallard dan Browning). Pada awalnya, glukosa
akan mengikat residu asam amino secara non-enzimatik menjadi basa Schift
glikasi, lalu terjadi penyusunan ulang untuk mencapai bentuk yang lebih stabil
tetapi masih reversible dan disebut produk amadori. Jika proses ini berlanjut terus,
akan terbentuk advanced glycation end-Product (AGEs) yang ireversibel. AGEs
diperkirakan menjadi perantara bagi beberapa kegiatan seluler seperti ekspresi
adhesion molecules yang berperan dalam penarikan sel-sel mononuclear, juga
pada terjadinya hipertrofi sel, sintesa matriks ekstraseluler serta inhibisi sintesis
nitric oxide. Proses ini akan terus berlanjut sampai terjadi ekspansi mesangium
dan pembentukan nodul serta fibrosis tubulointertisialis sesuai dengan tahap-tahap
dari mongesen. Hipertensi yang timbul bersama dengan bertambahnya kerusakan
ginjal, juga akan mendorong skeloris pada ginjal pasien diabetes.
DIAGNOSIS
Untuk menegakkan diagnosis komplikasi nefropati diabetik akibat DM
tipe 1 atau tipe 2 harus dicari manifestasi klinis maupun laboratorium yang
menunjang penyakit dasarnya maupun komplikasi yang ditimbulkannya.
 Manifestasi klinis
Gejala uremia : badan lemah ,anoreksia,mual, muntah.
Anemia, overhidrasi,asidosis,hipertensi,kejang-kejang sampai
koma uremik.neuropati, retinopati, dan gangguan serebrovaskular
atau gangguan profil lemak.
 Manifestasi laboratorium.
Kadar glukosa darah meningkat ( GDN  126 mg%, GDPP  200
mg% , proteinuria ( mikroalbuminuria 30- 300 mg/24 jam atau
makroalbiminuria 300 mg/24 jam ),profil lipid ( kolesterol
total,LDL,trigliserida meningkat dan HDL menurun )
 Diagnosis dini
mikroalbuminuria
Penanda paling dini adanya nefropati diabetik adalah adanya
mikroalbuminuria ( 30-300 mg/24 jam ) dan juga penanda
terjadinya gangguan membran basal yang menjadi petunjuk
progresivitas penyakit kearah terjadinya nefropati klinis.
Enzim tubular
Enzim-enzim tubuli yang telah diteliti dan dilaporkan dapat
merupakan penanda kelainan tubuli, antara lain yaitu n-aceyl-
glucosamidase (NAG),gamma-glutamyl-transferase dan lain-lain,
dan NAG merupakan enzim yang paling sensitif untuk
mendeteksi kelainan tubuli.
TERAPI NEFROPATI DIABETIK
Tatalaksana nefropati diabetic tergantung pada tahapan-tahapan apakah
masih normoalbuminuria, sudah terjadi mikroalbuminuria atau makroalbuminuria,
tetapi pada prinsipnya, pendekatan utama tatalaksana nefropati diabetic adalah
melalui:
1. Pengendalian gula darah (olah raga, diet, obat anti diabetes)
2. Pengendalian tekanan darah (diet rendah garam, obat anti hipertensi)
3. Perbaikan fungsi ginjal (diet rendah protein, pemberian Angiotensin
Converting Enzyme Inhibitor [ACE-I] dan/ atau Angiotensin Receptor
Blocker [ARB]
4. Pengendalian faktor-faktor ko-morbiditas lain (pengendalian kadar lemak,
mengurangi obesitas, dll)
Terapi non farmakologis nefropati diabetik berupa gaya hidup yang sehat
meliputi olah raga rutin, diet, menghentikan merokok serta membatasi konsumsi
alkohol. Olah raga rutin yang dianjurkan ADA adalah berjalan 3-5 km/hari
dengan kecepatan sekitar 10-12 menit/km, 4 sampai 5 kali seminggu. Pembatasan
asupan garam adalah 4-5 g/hari (atau 68-85 meq/hari), serta asupan protein
hingga 0,8 g/kg/berat badan ideal/hari.
Target tekanan darah pada nefropati diabetic adalah <130/80 mmHg. Obat
antihipertensi yang dianjurkan adalah ACE inhibitor atau ARB, sedangkan pilihan
lain adalah diuretika, kemudian beta-blocker atau calcium-channel blacker.
Tabel 3. Pengobatan pasien diabetes dengan atau tanpa mikroalbuminuria atau
dengan nefropati diabetic yang jelas.
Tanpa Mikro- Albuminuria
mikroalbuminuria Albuminuria klinis/insufisiensi
ginjal
A1C <6 – 7% <6 – 7% <7 – 8%
Tekanan darah 120-130/80 120-130/80 120-130/80
Sistolik/diastolic
(mmHg)
Mean Arterial 90-95 90-95 90-95
Pressure (mmHg)
Asupan protein >1,0-1,2 0,8-1,0 0,6-0,8
(g/kg/hari)

 Jika tekanan darah pasien diabetes diketahui sebelumnya dan <120-


130/80-85 mmHg, nilai ini dipakai sebagai end-point terapi
 Jika pasien mendapat ACE-I, asupan diet bisa lebih tinggi (0,8-1,0
g/kg/hari) [ADA]
Walaupun pasien nefropati diabetic memiliki tekanan darah normal,
penelitian mutakhir menunjukkan bahwa pemberian ACE-I dan ARB dapat
mencegah laju penurunan fungsi ginjal. Diperkirakan bahwa efek ini dicapai
akibat penurunan tekanan darah, penurunan tekanan intraglomerulus, peningkatan
aliran darah ginjal, penurunan proteinuria, efek natriuretik serta pengurangan
proliferasi sel, hipertrofi, ekspansi matriks, sitokin, dan sintesa growth Factor,
disamping hambatan aktivasi , proliferasi dan migrasi makrofag, serta perbaikan
sensitivitas terhadap insulin.
Pada pasien-pasien yang penurunan fungsi ginjalnya berjalan terus, maka
saat laju filtrasi glomerulus mencapai 10-12 ml/ menit (setara klirens kreatinin
<15 ml/ menit atau serum kreatinin > 6mg/dl) dianjurkan untuk memulai dialysis
(hemodialisis atau peritoneal dialysis), walaupun masih ada perbedaan pendapat
mengenai kapan sebaiknya terapi pengganti ginjal ini dimulai. Pilihan pengobatan
gagal ginjal terminal yang lain adalah cangkok ginjal, dan pada kasus nefropati
diabetik dinegara maju sudah sering dilakukan cangkok ginjal dan pancreas
sekaligus.
Chronic Kidney Disease (CKD)
DEFINISI
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) merupakan suatu proses patofisiologi
dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang
progresif, dan pada umumnya berakhir dengan keadaan klinis yang ditandai
dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversible, pada suatu derajat yang
memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi
ginjal.
Menurut National Kidney Foundation kriteria penyakit ginjal kronik
adalah:
1. Kerusakan ginjal ≥3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional
dari ginjal, dengan atau tanpa berkurangnya laju filtrasi glomerulus
(LFG), dengan manifestasi berupa kelainan patologi atau kelainan
laboratorik pada darah, urin, atau kelainan pada pemeriksaan radiologi.
2. LGF <60 ml/menit per 1,73 m2 luas permukaan tubuh selama >3 bulan,
dengan atau tanpa kerusakan ginjal

KLASIFIKASI
Klasifikasi gagal ginjal kronik didasarkan atas 2 hal yaitu atas dasar derajat
penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit
dibuat atas dasar LFG yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcroft-
Gault sebagai berikut:

Creatinin clearance test (ml/mnt) = (140-umur)x BB


72 x kreatinin plasma (mg/dl)
Wanita: x 0,85
ETIOLOGI
Dari data yang dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry (IRR) pada
tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai berikut
glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal
polikistik (10%).

1. Glomerulonefritis
Glomerulonefritis (GN) adalah penyakit parenkim ginjal progresif dan difuse
yang sering berakhir dengan gagal ginjal kronik, disebabkan oleh respon
imunologik dan hanya jenis tertentu saja yang secara pasti telah diketahui
etiologinya. Kerusakan glomerulus tidak langsung disebabkan oleh kompleks
imun, berbagai faktor seperti proses inflamasi, sel inflamasi, mediator inflamasi
dan komponen berperan pada kerusakan glomerulus.
Glomerulonefritis ditandai dengan proteinuria, hematuri, penurunan fungsi
ginjal dan perubahan ekskresi garam dengan akibat edema, kongesti aliran darah
dan hipertensi. Manifestasi klinik GN merupakan sindrom klinik yang terdiri dari
kelainan urin asimptomatik, sindrom nefrotik dan GN kronik. Di Indonesia GN
masih menjadi penyebab utama penyakit ginjal kronik dan penyakit ginjal tahap
akhir.

2. Diabetes Mellitus
Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karateristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan
dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh,
terutama mata, ginjal, syaraf, jantung dan pembuluh darah.
Masalah yang akan dihadapi oleh penderita DM cukup kompleks sehubungan
dengan terjadinya komplikasi kronis baik mikro maupun makroangiopati. Salah
satu komplikasi mikroangiopati adalah nefropati diabetik yang bersifat kronik
progresif. Perhimpunan Nefrologi Indonesia pada tahun 2000 menyebutkan
diabetes mellitus sebagai penyebab nomor 2 terbanyak penyakit ginjal kronik
dengan insidensi 18,6.

3. Hipertensi
Hipertensi merupakan salah satu faktor pemburuk fungsi ginjal disamping
faktor lain seperti proteinuria, jenis penyakit ginjal, hiperglikemi dan faktor lain.
Penyakit ginjal hipertensi menjadi salah satu penyebab penyakit ginjal kronik.
Insidensi hipertensi esensial berat yang berakhir dengan gagal ginjal kronik <10
%.

Selain Glomerulonephritis, diabetes mellitus dan hipertensi, terdapat penyebab


lain penyakit ginjal kronik seperti kista dan penyakit bawaan lain, penyakit
sistemik (lupus, vaskulitis), neoplasma, serta berbagai penyakit lainnya.

PATOFISIOLOGI
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit
yang mendasarinya, tapi pengembangan proses selanjutnya yang terjadi kurang
lebih sama. Pengurangan massa ginjal (awal) akan mengakibatkan hipertrofi
struktur dan fungsional nefron yang masih tersisa sebagai upaya kompensasi.
Pada glomerulus terjadi hiperfiltrasi tekanan tinggi intraglomerulus (proses
adaptasi tidak ada gejala klinis). Proses adaptasi akan diikuti proses maladaptasi:
sklerosis nefron yang masih tersisa. Pada akhirnya akan terjadi proses penurunan
fungsi nefron yang progresif walaupun penyakit dasarnya tidak aktif lagi. Yang
berperan pada penurunan fungsi nefron yang progresif : RAA system,
albuminuria, hipertensi, hiperglikemi, dislipidemia.
Akhirnya tejadi sklerosis dan fibrosis pada glomerulus dan tubulointestinal
(LFG↓). LFG 60% asimtomatik, ureum/kreatinin. LFG 30% nokturia, badan
lemah, mual, nafsu makan menurun, BB menurun. LGF < 30% timbul gejala
uremia (anemia, TD↓, pruritus, gangguan metabolism P dan Ca, mual, muntah),
mudah terkena infeksi (saluran kemih, saluran napas, saluran cerna), ganguan
keseimbangan air (hipo atau hipervolemia) dan elektrolit (Na, K). LFG < 15 %
makin berat, harus terapi ginjal pengganti (dialysis, transplantasi ginjal)
Penurunan ekskresi Na akan menyebabkan retensi air sehingga pada
akhirnya dapat menyebabkan oedem, hipertensi. Penurunan ekskresi kalium juga
terjadi terutama bila GFR < 25 ml/mnt, terlebih pada CKD stadium 5. Penuruan
ekskresi ini akan menyebabkan hiperkalemia sehingga meningkatkan resiko
terjadinya kardiak arrest pada pasien.
Asidosis metabolik pada pasien CKD biasanya merupakan kombinasi
adanya anion gap yang normal maupun peningkatan anion gap. Pada CKD, ginjal
tidak mampu membuat ammonia yang cukup pada tubulus proksimal untuk
mengekskresikan asam endogen ke dalam urin dalam bentuk ammonium.
Peningkatan anion gap biasanya terjadi pada CKD stadium 5. Anion gap terjadi
karena akumulasi dari fosfat, sulfat, dan anion – anion lain yang tidak terekskresi
dengan baik. Asidosis metabolik pada CKD dapat menyebabkan gangguan
metabolisme protein. Selain itu asidosis metabolic juga merupakan salah satu
faktor dalam perkembangan osteodistrofi ginjal.
Pada CKD terutama stadium 5, juga dijumpai penurunan ekskresi sisa
nitrogen dalam tubuh. Sehingga akan terjadi uremia. Pada uremia, basal urea
nitrogen akan meningkat, begitu juga dengan ureum, kreatinin, serta asam urat.
Uremia yang bersifat toksik dapat menyebar ke seluruh tubuh dan dapat mengenai
sistem saraf perifer dan sistem saraf pusat. Selain itu sindrom uremia ini akan
menyebabkan trombositopati dan memperpendek usia sel darah merah.
Trombositopati akan meningkatkan resiko perdarahan spontan terutama pada GIT,
dan dapat berkembang menjadi anemia bila penanganannya tidak adekuat. Uremia
bila sampai di kulit akan menyebabkan pasien merasa gatal – gatal.
Pada CKD akan terjadi penurunan fungsi insulin, peningkatan produksi
lipid, gangguan sistem imun, dan gangguan reproduksi. Karena fungsi insulin
menurun, maka gula darah akan meningkat. Peningkatan produksi lipid akan
memicu timbulnya aterosklerosis, yang pada akhirnya dapat menyebabkan gagal
jantung.
Anemia pada CKD terjadi karena depresi sumsum tulang pada
hiperparatiroidisme sekunder yang akan menurunkan sintesis EPO. Selain itu
anemia dapat terjadi juga karena masa hidup eritrosit yang memendek akibat
pengaruh dari sindrom uremia. Anemia dapat juga terjadi karena malnutrisi.
Pada CKD juga dapat terjadi efusi pleura dikarenakan ketidakmempuan
ginjal untuk membuang cairan menyebabkan terjadinya overload cairan pada
tubuh dan akhirnya peningkatan tekanan hidrostatik yang berujung pada
kebocoran cairan ke ruang-ruang potensial tubuh termasuk rongga pleura dan
menimbulkan efusi pleura. Penurunan kadar albumin / protein dalam darah juga
mengakibatkan terjadinya penurunan tekanan onkotik yang menahan cairan tetap
di dalam pembuluh darah dan akhirnya cairan merembes ke ruang potensial
menimbulkan efusi pleura.

GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia, sangat
kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan
hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan
kelainan kardiovaskuler

1. Sindroma Uremia
Uremia timbul pada saat level terakhir dari penyakit gagal ginjal kronis ketika
GFR ginjal sudah dalam kondisi dibawah 15 mL/menit dan BUN melebihi dari 60
mg/dl. Beberapa gangguan, gejala dan komplikasi yang berkembang akibat
kondisi ini disebut dengan sindroma uremia.
Uremia dapat menyebabkan disfungsi mental dan perubahan pada
neuromuskuler seperti kram pada otot, kelemahan pada otot lengan dan nyeri.
Komplikasi lainnya akibat dari uremia adalah gangguan sintesis atau
pembentukan hormon. Gangguan ini meliputi gangguan pembentukan hormon
pengaktif vitamin D dan erythropoietin yang berfungsi pada pembentukan sel
darah merah. Akibatnya akan terjadi anemia dan osteoporosis akibat hilangnya
kalsium dari tulang.
Turunnya fungsi platelet dan faktor pembekuan dapat menyebabkan
pembekuan darah akibat luka yang lama yang dapat berkontribusi pada anemia
dan pendarahan pada saluran cerna.
Pasien dengan uremia memiliki imunitas yang rendah dan sangat berpotensi
untuk terjadinya infeksi yang lebih sering menyebabkan kematian pada pasien.

2. Kelainan hemopoeisis
Anemia normokrom normositer (MCV 78-94 CU), sering ditemukan pada
pasien gagal ginjal kronik. Anemia yang terjadi sangat bervariasi bila ureum darah
lebih dari 100 mg% atau bersihan kreatinin kurang dari 25 ml per menit.

3. Kelainan saluran cerna


Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien gagal
ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dan muntah masih
belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus
sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau
rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini
akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein dan antibiotika.

4. Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien
gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat
pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan
saraf mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan
retina (retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang sering
dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam kalsium
pada conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan
hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal
ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder.

5. Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan
diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan
segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan
bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan
dinamakan urea frost.

6. Kelainan selaput serosa


Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering dijumpai pada
gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Kelainan selaput serosa
merupakan salah satu indikasi mutlak untuk segera dilakukan dialisis

7. Kelainan neuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan
depresi sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Kelainan mental seperti
konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering dijumpai pada
pasien GGK. Kelainan mental ringan atau berat ini sering dijumpai pada pasien
dengan atau tanpa hemodialisis, dan tergantung dari dasar kepribadiannya
(personalitas).

8. Kelainan kardiovaskular
Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat
kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi
sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik terutama pada
stadium terminal dan dapat menyebabkan kegagalan faal jantung
9. Gangguan elektrolit dan hormon
Gangguan cairan dan elektrolit jarang terjadi kecuali pada tahap akhir dari
gagal ginjal. Akibat turunnya GFR, peningkatan aktivitas oleh beberapa nefron
menjadi hal yang penting dalam ekskresi elektrolit.

10. Renal osteodystrophy


Merupakan gangguan pada tulang yang disebabkan akibat dari aktivitas dari
hormon paratiroid. Hormon paratiroid akan menyebabkan keluarnya phosphate ke
dalam urine tetapi menyebabkan pembongkaran kalsium dari dalam tulang. Selain
itu hormon ini juga dapat menyebabkan turunnya kadar kalsium dalam serum,
asidosis, dan gangguan aktifasi vitamin D di dalam ginjal.

11. Protein Energi Malnutrisi


Pasien dengan gagal ginjal kronis biasanya akan berkembang PEM dan
wasting. Beberapa studi memperkirakan bahwa pasien dengan gagal ginjal akan
memiliki asupan energi dan protein yang tidak cukup bahkan pada saat awal
berkembangnya penyakit. Anoreksia merupakan salah satu faktor penyebab dari
rendahnya konsumsi makanan dan dapat berakibat pada gangguan hormonal.
Faktor penyebab lainnya adalah nausea dan vomiting, pembatasan diet, uremia
dan pengobatan. Kehilangan zat gizi dapat memberikan kontribusi pada malnutrisi
dan disebabkan akibat dari vomiting, diare, dan pendarahan gastrointestinal.
DIAGNOSA
1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang
berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi GGK,
perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal
ginjal (LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif dan objektif termasuk
kelainan laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan melibatkan
banyak organ dan tergantung dari derajat penurunan faal ginjal
2. Pemeriksaan Laboratorium
Tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu memastikan dan menentukan derajat
penurunan faal ginjal (LFG), identifikasi etiologi dan menentukan perjalanan
penyakit termasuk semua faktor pemburuk faal ginjal.
a. Pemeriksaan faal ginjal (LFG)
Pemeriksaan ureum, kreatinin serum dan asam urat serum sudah cukup
memadai sebagai uji saring untuk faal ginjal (LFG).
b. Etiologi gagal ginjal kronik (GGK)
Analisis urin rutin, mikrobiologi urin, kimia darah, elektrolit dan
imunodiagnosis
c. Pemeriksaan laboratorium untuk perjalanan penyakit
Progresivitas penurunan faal ginjal, hemopoiesis, elektrolit, endoktrin, dan
pemeriksaan lain berdasarkan indikasi terutama faktor pemburuk faal
ginjal (LFG).
3. Pemeriksaan Penunjang Diagnosis
Pemeriksaan penunjang diagnosis harus selektif sesuai dengan tujuannya,
yaitu:
- Diagnosis etiologi GGK
Beberapa pemeriksaan penunjang diagnosis, yaitu foto polos abdomen,
ultrasonografi (USG), pielografi retrograde, pielografi antegrade dan
Micturating Cysto Urography (MCU).
- Diagnosis pemburuk faal ginjal
Pemeriksaan radiologi dan radionuklida (renogram) dan pemeriksaan
ultrasonografi (USG)
1. Gambaran laboratorium
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi:
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasari
b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin
plasma dan penurunan LGF. Kadar kreatinin saja tidak bisa dipergunakan
untuk memperkirakan fungsi ginjal.
c. Kelainan biokimia darah meliputi: penurunan kadar hemoglobin,
peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper
atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolic.
d. Kelainan urinalisis meliputi hematuri, proteinuria, leukosuria, cast,
isostenuria.
2. Gambaran radiologis
a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio opak
b. Pielografi intravena, jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa
melewati filter glomerulus, disamping kekhawatiran terjadinya pengaruh
toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan.
c. Pielografi antegrad atau retrograde dilakukan sesuai dengan indikasi
d. USG gijal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang
menipis, adanya hidronefrosis, atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi
e. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.
3. Biopsy dan pemeriksaan histopatologi ginjal
Biopsy dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan
ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara
noninvasive tidak bisa ditegakkan. Tujuannya untuk mengetahui etiologi,
menetapkan terapi, prognosis dan mengevaluasi hasil terapi yang telah di
berikan. Kontraindikasi dilakukan biopsy ginjal pada keadaan dimana ukuran
ginjal yang sudah mengecil, ginjal polikistik, hipertensi yang tak terkendali,
infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal napas dan obesitas.
PENATALAKSANAAN
Perencanana Tatalaksana Penyakit Gagal Ginjal Kronik Sesuai Dengan
Derajatnya:
Derajat LFG Rencana tatalaksana
(ml/mn/1,73 m2
1 ≥ 90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid, evaluasi
pemburukan fungsi ginjal, memperkecil resiko
kardiovaskuler
2 60-89 Menghambat perburukan fungi ginjal
3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15-29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5 < 15 Terapi pengganti ginjal

1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya


Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum
terjadinya penurunan LFG, sehingga perburukan fungsi ginjal tidak terjadi.
Sebaiknya bila LGF sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi
terhadap penyakit dasar sudah tidak bermanfaat lagi.

2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid


Faktor-faktor komorbid antara lain, gangguan keseimbangan cairan, hipertensi
yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan
radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.

3. Menghambat perburukan fungsi ginjal


Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi
glomerulus. Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus ini
adalah :
a. Pembatasan asupan protein
Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG ≤ 60 ml/mnt,
sedangkan di atas nilai tersebut pembatasan asupan protein tidak selau
dianjurkan. Protein diberikan 0,6-0,8/kgBB/hari, yang 0,35-0,50 gr
diantaranya merupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang
diberikan sekitar 30-35 kkal/kgBB/hari hati-hati malnutrisi

Table Pembatasan Asupan Protein Dan Fosfat Pada Penyakit Ginjal Kronik

LFG ml/mnt Asupan protein g/kg/hari Fosfat g/kg/hari


60 Tidak dianjurkan Tidak dibatasi
25-60 0,6-0,8/kg/hari, termasuk ≤10 g
≥0,35 gr/kg/hr nilai biologi tinggi
5-25 0,6-0,8/kg/hari, termasuk ≥ 0,3
gr/kg/hari protein nilai biologi ≤10 g
tinggi atau tambah 0,3 g asam ≤ 9 g
amino esensial atau asam keton
< 60 (sindrom 0,8 gr/kg/hr (+1 gr protein/g
nefrotik) proteinuria atau 0,3 g/kg tambahan
asam amino asensial atau asam
keton

b. Terapi farmakologi
Pemakaian obat antihipertensi selain untuk memperkecil resiko
kardiovaskular juga sangat penting untuk memperlambat perburukan
kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi intraglomerulus dan
hipertropi glomerulus. Obat antihipertensi yang digunakan yaitu
penghambat enzim converting angiotensin /ACE inhibitor (antihipertensi
dan antiproteinuri)

4. Pencegahan Dan Terapi Terhadap Penyakit Kardiovaskular


Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal yang
penting karena 40-45% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh
penyakit kardiovaskular. Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan
pengendalian terhadap penyakit kardiovaskular yaitu: pengendalian DM,
hipertensi, dislipedemia, anemia, hiperfosfatemia dan terapi terhadap
kelebihan cairan dan elektrolit.

5. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi


a. Anemia
Terjadi pada 80-90% pasien penyakit gagal ginjal kronik. Anemia pada
gagal ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Hal-
hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah defisiensi besi,
kehilangan darah (missal: perdarahan disaluran cerna, hematuri), masa
hidup eritrosit yang pendek akibat adanya hemolisis, defisiensi asam folat,
penekanan sumsum tulang oleh subtansi uremik, proses inflamasi akut
maupun kronik. Evaluasi anemia dimulai saat kadar hemoglobin ≤ 10 g%
atau hematokrit ≤ 30%, meliputi evaluasi terhadap status besi ( kadar besi
serum/serum iron, kapasitas ikat besi total, ferittin serum), mencari sumber
perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan ada hemolisis dan lain
sebagainya. Pemberian eritropoetin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan.
Dalam pemberian EPO harus diperhatikan status besi karena EPO
memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya. Pemberian transfusi harus
diberikan secara hati-hati. Sasaran hemoglobin yaitu11-12 g/dl
b. Osteodistrofi renal
Pengurangan masa tulang akibat gangguan metabolism Ca.
c. Mengatasi hiperfosfatemia. Pembatasan asupan fosfat 600-800 mg/hari.
Pemberian pengikat fosfat seperti garam kalsium, alumunium hidroksida,
garam magnesium.
d. Pembatasan cairan dan elektrolit
Pembatasan cairan 500-800 ml/hari. Elektrolit yang harus dibatasi
pemberiannya kalium dan natrium. Kadar kalium darah 3,5 -5,5 mEq/lt.
Pembatasan natrium dimaksudkan untuk mengendalikan hipertensi dan
edema.

6. Terapi pengganti ginjal


Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal pada stadium 5 yaitu
pada LFG kurang dari 15 ml/mnt. Terapi pengganti tersebut dapat berupa
hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal.

KOMPLIKASI
Tabel : Komplikasi Penyakit Ginjal Kronik
Derajat Penjelasan LGF Komplikasi
1 Kerusakan ginjal dengan LFG ≥ 90 -
normal atau ↑
2 Kerusakan ginjal dengan LFG 60-89 Tekanan darah mulai↑
↓ ringan
3 Kerusakan ginjal dengan LFG 30-59 Hiperfosfatemia
↓ sedang Hipokalsemia
Anemia
Hiperparatiroid
Hipertensi
Hiperhomosistinemia
4 Kerusakan ginjal dengan LFG 15-29 Malnutrisi
↓ berat Asidosis metabolic
Cenderung hiperkalemia
Dislipidemia
5 Gagal ginjal < 15 Gagal jantung
Uremia
BAB IV
ANALISA KASUS

Pasien datang dengan keluhan sesak yang dirasakan ± 1 bulan sebelum


masuk rumah sakit. Setelah dilakukan anamnesis lebih lengkap, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang maka pasien ini di diagnosis CKD stage IV et causa
Nefropati diabetik dengan Efusi Pleura. Diagnosa itu sendiri bisa ditegakkan
berdasarkan hasil temuan klinis yang didapat pada anamnesis pasien, lalu temuan
yang ditemukan pada pemeriksaan fisik serta hasil lain yang mendukung dari
pemeriksaan penunjang.

Anamnesis
Berdasarkan anamnesis gejala yang didapatkan pada pasien ini adalah
sesak nafas ± 1 bulan yang timbul tiba-tiba, hilang timbul dan semakin memberat.
Sesak nafas semakin berat saat beraktivitas dan lebih berkurang ketika posisi
setengah duduk. Hal ini dikarenakan pada CKD akan terjadi asidosis metabolik
yang merupakan kombinasi adanya anion gap yang normal maupun peningkatan
anion gap. Pada CKD, ginjal tidak mampu membuat ammonia yang cukup pada
tubulus proksimal untuk mengekskresikan asam endogen ke dalam urin dalam
bentuk ammonium. Terbentuklah anion gap karena akumulasi dari fosfat, sulfat,
dan anion – anion lain yang tidak terekskresi dengan baik. Karena asam tidak
terekskresi dengan baik melalui ginjal, asam di dalam tubuh banyak dibuang
melalui karbon dioksida yang dikeluarkan melalui saluran pernafasan. Maka pada
pasien CKD akan mengalami sesak nafas dan pernafasan menjadi cepat dan dalam
untuk membuang banyaknya komponen asam yang tidak terekskresi melalui
ginjal.
Pasien juga mengeluhkan batuk.. Batuk dirasakan hilang timbul dan
muncul secara tiba-tiba. Batuk diawali dengan batuk kering dan lama-kelamaan
berdahak bewarna putih dan kental. Batuk pada CKD disebabkan oleh efusi pleura
yang merupakan penumpukan cairan di sekitar paru-paru. Efusi pleura terjadi
dikarenakan ketidakmempuan ginjal untuk membuang cairan sehingga
menyebabkan terjadinya overload cairan pada tubuh dan akhirnya peningkatan
tekanan hidrostatik yang berujung pada kebocoran cairan ke ruang-ruang potensial
tubuh termasuk rongga pleura. Penurunan kadar albumin / protein dalam darah
juga mengakibatkan terjadinya penurunan tekanan onkotik yang menahan cairan
tetap di dalam pembuluh darah dan akhirnya cairan merembes ke ruang potensial
menimbulkan efusi pleura.
Pasien mengeluhkan kedua kaki dan tangannya bengkak. Bengkak timbul
perlahan-lahan yang didahului bengkak pada pergelangan kaki lalu lama-
kelamaan seluruh kaki dan tangan pasien ikut membengkak. Bengkak dirasakan
tidak nyeri. Bengkak pada CKD dikarenakan ginjal gagal menjalankan fungsinya
untuk menyaring darah dan menghasilkan urin. Akibatnya, air tidak dapat keluar
dan menyebabkan hampir seluruh tubuh bengkak. Bengkak juga dapat
dikarenakan terjadinya penurunan ekskresi Na yang menyebabkan retensi air.
Sejak adanya keluhan ± 5 bulan terakhir ini, pasien mengaku jumlah urin
dalam sekali BAK lebih sedikit dari biasanya. Dalam sehari urin yang dikeluarkan
lebih kurang 120ml. Hal ini dikarenakan ginjal mengalami penurunan dalam
menjalankan fungsinya untuk menghasilkan urin.
Pasien pernah dirawat ± 2 bulan yang lalu dengan keluhan yang sama
yaitu sesak napas dan bengkak pada kaki dan tangan. Keluhan sesak napas dan
bengkak masih dirasakan ketika pasien sudah keluar dari rumah sakit. Hal itu
dikarenakan pasien tidak menjalani hemodialisa, dimana hemodialisa disarankan
untuk pasien CKD yang telah mengalami kegagalan fungsi ginjal untuk
menyaring darah dan menghasilkan urin. Maanfaat hemodialisa adalah untuk
menghilangkan limbah dan racun, seperti urea, dari darah, mengembalikan
keseimbangan kadar elektrolit dalam darah dan menghilangkan kelebihan cairan
dari dalam tubuh.
Pasien memiliki riwayat hipertensi dan diabetes melitus. Kemungkinan
yang menjadi penyebab terjadinya penyakit ginjal kronik pada pasien ini adalah
adanya penyakit diabetes melitus yang tidak terkontrol mengingat bahwa
tingginya kadar gula dalam darah membuat ginjal harus bekerja lebih, dalam
proses penyaringan darah dan mengakibatkan kebocoran ginjal. Hipertensi juga
akan menyebabkan terganggunya aliran darah ke ginjal yang akan menyebabkan
terjadinya gangguan ginjal yang irreversibel.
Pada riwayat penyakit keluarga, ayah dan ibu pasien memiliki riwayat
hipertensi dan adik pasien memiliki riwayat diabetes melitus. Hal ini
memungkinkan pasien memiliki riwayat penyakit tersebut dikarenakan hipertensi
dan diabetes melitus merupakan penyakit degeneratif.

Pemeriksaan Fisik

Pada tanda vital didapatkan tekanan darah pasien 180/90 yang merupakan
dikategorikan hipertensi derajat 2 menurut JNC VII. Hipertensi merupakan salah
satu faktor pemburuk fungsi ginjal disamping faktor lain seperti proteinuria, jenis
penyakit ginjal, hiperglikemi dan faktor lain. Penyakit ginjal hipertensi menjadi
salah satu penyebab penyakit ginjal kronik.
Pada tanda vital frekuensi pernafasan didapatkan 25x/menit. Dimana pada
CKD akan didapatkan pernafasan cepat dan dalam disebabkan oleh asidosis
metabolik.
Pada pemeriksaan palpasi thorax didapatkan fremitus taktil menurun dan
pada perkusi terdapat suara redup pada basal paru kanan yang merupakan ciri dari
adanya efusi pada pleura. Pada auskultasi ditemukan suara vesikuler melemah
dikarenakan pada kondisi efusi pleura terdapat cairan didalam rongga pleura paru.
Pada pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah didapatkan edema. Hal ini
dikarenakan ginjal gagal menjalankan fungsinya untuk menyaring darah dan
menghasilkan urin. Akibatnya, air tidak dapat keluar dan menyebabkan hampir
seluruh tubuh bengkak. Bengkak juga dapat dikarenakan terjadinya penurunan
ekskresi Na yang menyebabkan retensi air.

Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan gula darah sewaktu didapatkan nilai 276 mg/dL.
Dimana batas normal adalah kurang dari 200. Hal ini dikarenakan pasien memiliki
riwayat Diabetes Melitus dan Diabetes Melitus merupakan suatu kelompok
penyakit metabolik dengan karateristik hiperglikemia yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Masalah yang akan
dihadapi oleh penderita DM cukup kompleks sehubungan dengan terjadinya
komplikasi kronis baik mikro maupun makroangiopati. Salah satu komplikasi
mikroangiopati adalah nefropati diabetik yang bersifat kronik progresif.
Perhimpunan Nefrologi Indonesia pada tahun 2000 menyebutkan diabetes
mellitus sebagai penyebab nomor 2 terbanyak penyakit ginjal kronik dengan
insidensi 18,6.
Sementara itu dari hasil dari pemeriksaan penunjang yang mendukung
diagnosa gagal ginjal kronik yaitu hasil pemeriksaan darah rutin faal ginjal yang
memberikan data nilai ureum 109,0 mg/dL, kreatinin 5,0 mg/dL.
Berdasarkan hasil pemeriksaan darah tadi, kita bisa menentukan derajat
kerusakan ginjal pada pasien ini dengan menghitung LFG nya.

LFG = (140-58) x 70 Kg : (72 x 5)

= 5740 : 360

= 15,9 ml/mnt

Hasil perhitungan LFG pada pasien ini adalah 15,9 ml/mnt. Sesuai
dengan kriteria penegakan gagal ginjal kronik yaitu :

1. Kerusakan ginjal ≥3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional


dari ginjal, dengan atau tanpa berkurangnya laju filtrasi glomerulus
(LFG), dengan manifestasi berupa kelainan patologi atau kelainan
laboratorik pada darah, urin, atau kelainan pada pemeriksaan radiologi.
2. LFG <60 ml/menit per 1,73 m2 luas permukaan tubuh selama >3 bulan,
dengan atau tanpa kerusakan ginjal
Menurut klasifikasi nya berdasarkan laju filtrasi glomerulus, pada pasien
ini hampir mengalami gagal ginjal kronik stage IV dan harus direncanakan terapi
pengganti ginjal berupa hemodialisis.

Pada pemeriksaan faal hati didapatkan bahwa nilai albumin adalah 2,7.
Maka telah terjadi penurunan jumlah albumin yang disebut dengan
hipoalbuminemia. Hal ini dikarenakan pada CKD, kehilangan protein melalui urin
dapat menyebabkan terjadinya penurunan kadar albumin serum. Dimana
keluarnya albumin melalui urin adalah karena peningkatan permeabilitas di
tingkat glomerulus yang menyebabkan protein lolos ke dalam filtrat glomerulus.
Pada pemeriksaan rontgen thorax terlihat gambaran bahwa adanya efusi
pada paru pasien. Efusi pleura terjadi dikarenakan ketidakmempuan ginjal untuk
membuang cairan sehingga menyebabkan terjadinya overload cairan pada tubuh
dan akhirnya peningkatan tekanan hidrostatik yang berujung pada kebocoran
cairan ke ruang-ruang potensial tubuh termasuk rongga pleura. Penurunan kadar
albumin / protein dalam darah juga mengakibatkan terjadinya penurunan tekanan
onkotik yang menahan cairan tetap di dalam pembuluh darah dan akhirnya cairan
merembes ke ruang potensial menimbulkan efusi pleura.

Diagnosa
Diagnosa pada pasien ini adalah CKD Grade IV yang dikarenakan
komplikasi dari DM yaitu nefropati diabetik. DM menjadi komplikasi
dikarenakan DM tidak terkontrol.
Untuk diagnosa sekunder yaitu efusi pleura dikarenakan pada CKD ginjal
yang rusak tidak mampu untuk membuang cairan sehingga menyebabkan
terjadinya overload cairan pada tubuh dan akhirnya peningkatan tekanan
hidrostatik yang berujung pada kebocoran cairan ke ruang-ruang potensial tubuh
termasuk rongga pleura.

Diagnosa Banding
Pada gagal ginjal akut hasil pemeriksaan faal ginjal dapat ditemukan
peningkatan ureum dan kreatinin, sama halnya dengan gagal ginjal kronik. Tetapi
gagal ginjal akut memiliki onset mendadak dan dalam waktu yang singkat.
Sedangkan gagal ginjal kronik berlangsung perlahan-lahan selama setidaknya 3
bulan dan biasanya disebabkan oleh penyakit jangka panjang seperti DM dan
hipertensi.
Pada penyakit paru seperti TB dan PPOK memiliki gejala sesak nafas dan
batuk lama yang lebih dari 2 minggu. Pada perkusi biasanya disertai juga dengan
melemahnya fremitus taktil. Tetapi pada pemeriksaan perkusi pada TB paru dan
PPOK akan terdengar hipersonor dan pada auskultasi biasanya disertai dengan
suara nafas tambahan seperti ronkhi atau mengi.
Pada gagal jantung kronik memiliki keluhan sesak nafas lebih dari 2
minggu. Tetapi pada gagal jantung sesak nafas dirasakan ketika beraktivitas,
berbaring, dan tidur.

Tatalaksana
Selama di rumah sakit terapi yang diberikan kepada pasien berupa terapi
non farmakologis dan farmakologis. Terapi non farmakologis berupa oksigen,
tirah baring dan pengaturan diet makanan. Terapi farmakologis pada pasien ini
meliputi pemberian obat dieuretik yang berguna untuk mengurangi oedema pada
tungkainya dan bisa juga untuk menurunkan tekanan darah. Lalu pemberian
biknat untuk mengurangi kadar ureum dalam darah dan untuk menjaga ph darah
agar tetap dalam batas normal. Pemberian Nutrisi bagi pasien ini perlu
diperhitungkan, pemberian diet Protein diberikan 0,6-0,8/kgBB/hari. Jumlah
kalori yang diberikan sekitar 30-35 kkal/kgBB/hari.

Pasien direncanakan terapi pengganti ginjal berupa dialysis untuk pasien


ini. Edukasi dan penjelasan yang baik kepada pasien tentang penyakit dan
prognosisnya sangat penting, sehingga pasien dapat benar-benar mengerti dan
lebih tahu kondisi kesehatan sekarang serta tindakan yang perlu dilakukan.
Daftar pustaka
1. Suitra, K. 2006. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. Hal: 581-584
2. Cotran RS, Rennke H, Kumar V. Ginjal dan system penyalurannya.
Dalam Robbin. Buku ajar patologi. Edisi ke-7. Jakarta; EGC; 2007. hal
572.
3. Suwitra K, Gagal ginjal kronik. Dalam Sudoyo AW, Setiohadi B, Alwi
I, Simadibrata Mk, Setiadi S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Edisi ke-4. Jakarta: Balai penerbit FK-UI; 2006. hal. 570-573.
4. Wilson LM. Gagal ginjal kronik. Dalam Prince AS, Wilson LM.
Patofisiologi. Edisi ke-6. Jakarta: EGC; 2006.hal 912-18.
5. Cotran RS, Rennke H, Kumar V. Ginjal dan system penyalurannya.
Dalam Robbin. Buku ajar patologi. Edisi ke-7. Jakarta; EGC; 2007. hal
572.
6. Soegondo S, Nasir AUZ, Wijaya IP, Nafrialdi, Mansjoer A, editor.
Panduan pelayanan medic. Jakarta; PB PAPDI: 2008. hal 572
7. Rani AA, Soegondo S, Nasir AUZ, Wijaya IP, Nafrialdi, Mansjoer A.
Panduan Pelayanan Medik. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit
Dalam Indonesia. Interna Publishing; 2009. Hal 157-159
8. Hedromartono. Nefropati Diabetik. Dalam Sudoyo AW, Setiohadi B,
Alwi I, Simadibrata Mk, Setiadi S, editor. Buku ajar ilmu penyakit
dalam jilid III. Edisi ke-4. Jakarta: Balai penerbit FK-UI; 2006. hal.
1898-1901
9. Pardede, S. Nepropati Diabetik pada Anak. Jakarta: Departemen Ilmu
Kesehatan Anak FKUI RS. Dr Cipto Mangunkusumo; 2008
10. Arsono, S. Diabetes Melitus Sebagai Faktor Risiko Kejadian Gagal
Ginjal Terminal (Studi Kasus Pada Pasien RSUD Prof.Dr. Margono
Soekarjo Purwokerto). Jurnal Epidemiologi. Purwokerto; 2006
11. Marwanto, Pa. Proporsi Angka Kejadian Nefropati Diabetik Pada
Laki-Laki Dan Perempuan Penderita Diabetes Melitus Tahun 2009 Di
Rsud Dr.Moewardi Surakarta. Skirpsi. Surakarta. Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Surakarta; 2010
12. Batuman, V. Diabetic Nephropathy. http:/medscape.com[Diakses 06
Juni 2015]
13. Lubis, HR. Penyakit Ginjal Diabetik. Dalam Sudoyo AW, Setiohadi B,
Alwi I, Simadibrata Mk, Setiadi S, editor. Buku ajar ilmu penyakit
dalam Jilid I. Edisi ke-4. Jakarta: Balai penerbit FK-UI; 2006. hal. 534-
536
14. Kresnawan T, Darmarini T. Penatalaksanaan Diet Pada Nefropati
Diabetik. Jakarta: Instalasi Gizi Rumah Sakit Dr. Cipto
Mangunkusumo (RSCM); 2004

Anda mungkin juga menyukai