Anda di halaman 1dari 35

Case Report Session (CRS)

Januari 2019

GLAUKOMA SEKUNDER

OLEH :
Primadita Asis Pratiwi (G1A217055)

PEMBIMBING:
dr. Vonna Riasari, Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA RSUD ABDUL MANAP
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
TAHUN 2019
LEMBAR PENGESAHAN

CASE REPORT SESSION (CRS)


GLAUKOMA SEKUNDER

OLEH :
Primadita Asis Pratiwi (G1A217055)

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan


Pada, Januari 2019

Pembimbing

dr. Vonna Riasari, Sp.M


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Case Report Session (CRS) yang berjudul “Glaukoma Sekuder” untuk memenuhi
tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Jambi di
RSUD Abdul Manap.
Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih banyak
kepada dr. Vonna Riasari, Sp.M selaku konsulen ilmu mata yang telah
membimbing dalam mengerjakan Case Report Session (CRS) ini sehingga dapat
diselesaikan tepat waktu.
Dengan laporan kasus ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi
penulis dan orang banyak yang membacanya terutama mengenai masalah
Glaukoma. Saya menyadari bahwa Case Report Session (CRS) ini masih jauh
dari sempurna. Oleh karena itu saya harapkan saran dan kritik yang membangun
untuk perbaikan yang akan datang.

Jambi, Januari 2019

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Glaukoma adalah suatu kelainan yang berhubungan dengan tekanan


intraokular yang disertai dengan kerusakan pada saraf optik yang terjadi secara
perlahan. Pada sebagian besar penderitanya terjadi akibat peningkatan intra okular
oleh karena adanya sumbatan pada sirkulasi atau drainase aquos. Pada glaukoma
akan terdapat melemahnya fungsi mata dengan terjadinya cacat lapang pandang,
kerusakan anatomi berupa ekskavasi (penggaungan) serta degenerasi papil saraf
optik, yang dapat berakhir dengan kebutaan. 1
Berdasarkan Survei Kesehatan Indera tahun 1993-1996, sebesar 1,5%
penduduk Indoneisa mengalami kebutaan dengan prevalensi kebutaan akhibat
glaukoma sebesar 0,20%. Prevalensi glaukoma hasil Jakarta Urban Eye Helath
Study tahun 2008 adalah 2,53% dengan prevalensi terjadinya glaukoma sekunder
0,16%. 1
Glaukoma sekunder merupakan glaukoma yang timbul sebagai akibat dai
penyakit mata lainnya, seperti truma, pembedahan, penggunaan kortikosteroid
jangka panjang, tumor, dan penyakit sistemik lainnya. Oleh karena itu sebagai
penatalaksanaannya selain untuk mengurangi tekanan intraokular yang sudah
terjadi, penatalaksanaan sesuai dengan etiologi juga diperluka.1,2
BAB II
LAPORAN KASUS
Anamnesis
Identifikasi Nama : Tn.H A
Umur : 58 Tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jln.Abd Rahman Saleh, Paal
Merah, Jambi
Tanggal berobat : 27 Desember 2018
Keluhan utama Luas lapangan pandang mata kiri mengempit sejak ± 2
tahun
Anamnesa Khusus ±2 tahun SMRS pasien mengeluhkan luas pandangan mata
kirinya terasa menyempit. Keluhan dirasakan terus
menerus. Pasien mengaku dapat melihat jelas hanya pada
titik tengah pandangannya namun disekitarnya terlihat
buram dan semakin ke tepi semakin gelap. Keluhan ini
mulai dirasakan sekitar 5 tahun yang lalu dan dirasa
semakin berat, kemudian pasien memeriksakan diri ke
dokter mata dan di diagnosis dengan glaukoma sekunder,
dan pasien sudah pernah menjalai operasi pemasangan
implant mata untuk mengobati keluhan tersebut. Setelah
operasi pasien mengaku pandangannya membaik namun
keluhan kemudian keluhannya muncul kembali. Keluhan
yang dirasakan ini tidak membaik dengan penggunaan
kacamata. mata merah (-), berair (-) nyeri (-), terasa
mengganjal (-), gatal (-), riwayat trauma kepala (-), trauma
mata (-). 7 tahun yang lalu pasien menjalani operasi
katarak pada mata kanan dan mata kirinya
Riwayat penyakit a. Riwayat keluhan serupa (+)
dahulu b. Riwayat operasi (+) katarak pada mata kiri 2011,
dan mata kanan 2012, operasi pemasangan implant
katup Ahmed di mata kiri 2016
c. Riwayat penyakit DM (-)
d. Trauma pada mata (-)
e. Alergi (-)
f. Riwayat hipertensi (-)
g. Riwayat pakai kaca mata (+)
Riwayat penyakit a. Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama (-)
keluarga b. Riwayat Hipertensi (-)
c. Riwayat DM (-)
Riwayat gizi IMT = BB/(TB)2= 81/182 = IMT 24,5 (overweight)
Keadaan sosial Menengah keatas
ekonomi
Penyakit sistemik
 Tractus respiratorius Tidak ada keluhan
 Tractus digestivus Tidak ada keluhan
 Kardiovaskuler Tidak ada keluhan

 Endokrin Tidak ada keluhan

 Neurologi Tidak ada keluhan

 Kulit Tidak ada keluhan


Tidak ada keluhan
 THT
Tidak ada keluhan
 Gigi dan mulut
Tidak ada keluhan
 Lain-lain
I.Pemeriksaan visus dan refraksi
OD OS
Visus 6/12 6/15
PH 6/12 6/15
II. Muscle Balance
Kedudukan bola mata Ortophoria Ortophoria Ahmed valve
Pergerakan bola mata

Duksi : baik Duksi : baik


Versi : baik Versi : baik

Pemeriksaan Eksternal
Pemeriksaan Eksternal OD OS
Palpebra Superior Hiperemis (-), edema (-) Hiperemis (-), edema (-)
Palpebra Inferior Hiperemis (-), edema (-) Hiperemis (-), edema (-)
Silia Trichiasis (-) Trichiasis (-)
Konjungtiva tarsus Sup Papil(-), folikel (-), Papil(-),folikel(-),
& Inf
Konjungtiva Bulbi Injeksi siliar (-), Injeksi Injeksi siliar (-), Injeksi
Konjungtiva (-) Konjungtiva (-)
Kornea Infiltrat (-), sikatrik (-), Infiltrat (-), sikatrik (-), ulkus (-)
ulkus (-)
COA Sedang Sedang, terdapat internal
galucoma device/Ahmed valve
Pupil Bulat, Isokor Bulat, Isokor
Diameter 3mm 3mm
RCL/RCTL +/+ +/+
Iris Kripta iris normal, Kripta iris normal, warna coklat
warna coklat
Lensa IOL (+) sentral, glass IOL (+) sentral, glass effect (+)
effect (+)
PD 3 cm 3 cm
Pemeriksaan Slit Lamp
(Tidak dilakukan)
Tekanan Intra Okuler
Palpasi : N N
NCT: 13 mmHg 15 mmHg
Funduskopi (Tidak dilakukan)
VISUAL FIELD
Konfrontasi Sama dengan pemeriksa Menyempit

Pemeriksaan Umum
Tinggi badan 182 Cm
Berat badan 81 Kg
Tekanan darah 110/70 mmHg
Nadi 80 kali/menit
Suhu 36,70C
Pernapasan 20 kali/menit

Diagnosis : Pseudofakia ODS + Glaukoma sekunder OS


Diffrential Diagnosa :
- Glaukoma Primer Sudut Tertutup
- Glaukoma Primer Sudut Terbuka
- Glaukoma Absolut

Pengobatan :
- Timolol 0.5% 2x1 tetes (OS)
- asetazolamid tablet 3x250 mg

Prognosis :
Q Quoad vitam : dubia ad malam
Quoad functionam : malam
Quoad sanationam : malam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Fisiologi Cairan Aquos


Humor akueus atau cairan aquos adalah cairan jernih yang mengisi
bilik mata depan dan belakang. Volumenya sekitar 250 μL dan kecepatan
pembentukannya yang bervariasi diurnal adalah 2-3 μL/mnt. Cairan aquous
diproduksi di badan siliar dan berjalan antara lensa dan iris, dan melalui
pupil. Cairan aquous membawa oksigen, glukosa dan beberapa nutrisi
penting lainnya. Cairan ini masuk di bilik anterior dan mengalirkannya
melalui sudut drainase (trabecullar meshwork). Jalinan/jala trabekula terdiri
dari berkas-berkas jaringan kolagen dan elastic yang dibungkus oleh sel-sel
trabekular yang membentuk saringan dengan ukuran pori-pori semakin mengecil
sewaktu mendekati kanalis Schelmm.3
Terdapat dua jalur utama keluarnya cairan akuous yaitu :
1. Aliran keluar konvensional menyediakan mayoritas drainase akuous
menuju Trabecullar meshwork. Kontraksi otot siliaris melalui insersinya ke
dalam jalinan trabekula memperbesar ukuran pori-pori di jalinan tersebut
sehingga kecepatan drainase cairan aquos juga meningkat. Aliran cairan aquos
ke dalam kanalis Schelmm tergantung pada permukaan saluran-saluran
transelular siklik di lapisan endotel. Saluran eferan dari kanalis Schelmm
(sekitar 30 saluran pengumpul dan 12 vena akueus).4,5
2. Aliran keluar non konvensional atau aliran keluar uveoskleral, menyediakan
sisa drainase aliran keluar akuous dari mata antara berkas otot siliaris dan lewat
sela-sela sklera. Drainase aquos melawan tahanan jadi tekanan intraokular
dijaga agar tetap lebih tinggi dibanding tekanan udara namun lebih rendah
dibanding tekanan darah.4,5
Gambar 2.1. Aliran Aqueos Humor Normal

3.2 Glaukoma
3.2.1 Definisi Glaukoma
Glaukoma berasal dari kata Yunani ”Glaukos” yang berarti hijau kebiruan
yang memberikan kesan warna tersebut pada pupil penderita glaukoma.
Glaukoma merupakan penyebab kebutaan pertama yang irreversibel.
Glaukoma adalah suatu keadaan pada mata yang ditandai dengan kenaikan
tekanan intraokuli, penurunan visus, penyempitan lapang pandang, dan atropi
nervus optikus.5,6
Glaukoma merupakan kumpulan beberapa penyakit dengan tanda utama
tekanan intraokuler yang tinggi dengan segala akibatnya yaitu, penggaungan
dan atrofi papil saraf optik serta defek lapang pandang yang khas. Di dalam
bola mata (intraokular) terdapat cairan bola mata atau humor akuos yang setiap
saat mengalir dari tempat pembuatannya sampai berakhir disaluran keluar. Bila
dalam pengalirannya mengalami hambatan, maka akan terjadi peningkatan
tekanan bola mata sehingga menganggu saraf penglihatan dan terjadi
kerusakan lapang pandang mulai ringan sampai berat sesuai tinggi dan lamanya
tekanan tersebut mengenai saraf mata. 7

3.2.2 Epidemiologi
Glaukoma merupakan penyebab kebutaan nomor dua di Indonesia setelah
katarak. Penyakit mata ini biasanya terjadi pada usia 40 tahun ke atas. Etnis
Afrika dibandingkan etnis kaukasus pada glaukoma sudut terbuka primer
adalah 4:1. Glaukoma berpigmen terutama pada etnis Kaukasus. Pada orang
Asia lebih sering dijumpai glaukoma sudut tertutup. Berdasarkan Survei
Kesehatan Indera tahun 1993-1996, sebesar 1,5% penduduk Indoneisa
mengalami kebutaan dengan prevalensi kebutaan akhibat glaukoma sebesar
0,20%. Prevalensi glaukoma hasil Jakarta Urban Eye Helath Study tahun 2008
adalah 2,53% dengan prevalensi terjadinya glaukoma sekunder 0,16%.1

3.2.3 Faktor Risiko


Faktor risiko glaukoma meliputi hipermetropi (glaukoma sudut tertutup),
miopi (glaukoma sudut terbuka), usia > 45 tahun, keturunan (riwayat glaukoma
dalam keluarga), dan ras (Asia lebih berisiko). Faktor risiko lainnya adalah
migrain, hipertensi, hipotensi, diabetes melitus, peredaran darah dan
regulasinya (darah yang kurang akan menambah kerusakan), fenomena
autoimun, degenerasi primer sel ganglion, dan pascabedah dengan hifema /
infeksi.4
Hal yang memperberat resiko glaukoma :
1. Tekanan bola mata, makin tinggi makin berat
2. Makin tua makin berat, makin bertambah resiko
3. Resiko kulit hitam 7 kali dibanding kulit putih
4. Hipertensi, risiko 6 kali lebih sering
5. Kerja las, risiko 4 kali lebih sering
6. Miopia, risiko 2 kali lebih sering
7. Diabetes melitus, risiko 2 kali lebih sering.5
3.2.4 Etiopatogenesis
Penyebab glaukoma tidak diketahui secara pasti, bisa juga karena
trauma/benturan, atau karena penyakit mata lain seperti katarak yang sudah
pecah (katarak hipermatur), uveitis dan pengaruh obat-obatan.
Tiga faktor sehingga terjadinya peningkatan tekanan intraokuler yang
akhirnya menyebabkan terjadinya glaukoma adalah :
1. Produksi berlebih humor akuous pada corpus siliaris
2. Adanya resistensi dan aliran akuous pada sistem trabekular maupun kanal
Schlemm.
3. Peningkatan tekanan vena episklera.
Bilik anterior dan bilik posterior mata terisi oleh cairan encer yang disebut
humor aqueus. Dalam keadaan normal, cairan ini dihasilkan di dalam bilik
posterior, melewati pupil masuk ke dalam bilik anterior lalu mengalir dari mata
melalui suatu saluran. Jika aliran cairan ini terganggu (biasanya karena
penyumbatan yang menghalangi keluarnya cairan dari bilik anterior), maka
akan terjadi peningkatan tekanan sehingga merusak serabut saraf mata. Perlu
diketahui, saraf mata berfungsi meneruskan bayangan yang dilihat ke otak. Di
otak, bayangan tersebut akan bergabung di pusat penglihatan dan membentuk
suatu benda (vision). Peningkatan tekanan intraokuler akan mendorong
perbatasan antara saraf optikus dan retina di bagian belakang mata. Akibatnya
pasokan darah ke saraf optikus berkurang sehingga sel-sel sarafnya mati.
Karena saraf optikus mengalami kemunduran, maka akan terbentuk bintik buta
pada lapang pandang mata atau menimbulkan skotoma (kehilangan lapangan
pandang). Bila seluruh serabut saraf rusak dan tidak diobati, glaukoma pada
akhirnya akan menimbulkan kebutaan total.Yang pertama terkena adalah
lapang pandang tepi, lalu diikuti oleh lapang pandang sentral. Pada penderita
glaukoma, yang terjadi adalah kerusakan serabut saraf mata sehingga
menyebabkan blind spot.6
Faktor-faktor penyebab penggaungan dan degenerasi papil saraf optik :
1. Gangguan pendarahan pada papil yang disebabkan oleh peninggian
tekanan intraokuler.
2. Tekanan intraokuler yang tinggi secara mekanik menekan papil saraf optik
yang merupakan tempat dengan daya tahan paling lemah pada bola mata.
3. Penggaungan papil yang tidak simetris antara mata kanan dan mata kiri.7

Gambar 2.2. Kerusakan Saraf Optikus pada Glaukoma

3.2.5 Klasifikasi Glaukoma


Klasifikasi Vaughan untuk glaukoma adalah sebagai berikut :
1. Glaukoma primer
a. Glaukoma sudut terbuka (simpleks)
Penyebab glaukoma ini belum pasti , mula timbulnya gejala simpleks ini
agak lambat yang kadang tidak disadari oleh penderita sampai akhirnya
berlanjut dengan kebutaan. Umumnya ditemukan pada pasien usia lebih dari
40 tahun. Gambaran patologik utama pada glaukoma sudut terbuka adalah
proses degeneratif di jalinan trabekular, termasuk pengendapan bahan
ekstrasel di dalam jalinan dan di bawah lapisan endotel kanalis Schelmm.
Hal ini berbeda dari proses penuaan normal. Akibatnya adalah penurunan
drainase cairan aquos yang menyebabkan peningkatan tekanan intraokular.6
b. Glaukoma sudut tertutup, terdiri atas :
1. Akut
Glaukoma sudut tertutup akut primer terjadi apabila terbentuk iris
bombe yang menyebabkan sumbatan sudut bilik mata depan (BMD)
oleh iris perifer. Hal ini menyumbat aliran cairan aquos dan tekanan
intraokular meningkat dengan cepat. Glaukoma sudut tertutup terjadi
pada mata yang sudah mengalami penyempitan anatomik BMD.6
2. Sub akut
Pada glaukoma sudut tertutup sub akut episode peningkatan TIO
berlangsung singkat dan rekuren. Episode penutupan sudut membaik
secara spontan, tetapi terjadi akumulasi kerusakan pada sudut BMD
berupa pembentukan sinekia anterior perifer.6
3. Kronik
Sejumlah kecil pasien dengan predisposisi penutupan BMD tidak
pernah mengalami episode peningkatan akut TIO tetapi mengalami
sinekia anterior perifer yang semakin meluas disertai peningkatan
bertahap dari TIO.6
c. Glaukoma kongenital : primer atau infantile dan disertai kelainan
kongenital lainnya.6
d. Glaukoma sekunder
Glaukoma sekunder merupakan glaukoma yang terjadi akibat penyakit
mata yang lain atau penyakit sistemik yang menyertainya, seperti :
1. Akibat perubahan lensa (dislokasi lensa, intumesensi lensa, glaukoma
fakolitik dan fakotoksik pada katarak, glaukoma kapsularis / sindrom
eksfoliasi).
2. Akibat perubahan uvea (uveitis anterior, tumor, rubeosis iridis)
3. Akibat trauma (hifema, kontusio bulbi, robeknya kornea atau limbus
yang disertai prolaps iris)
4. Akibat post operasi (pertumbuhan epitel konjungtiva, gagalnya
pembentukan bilik mata depan post-operasi katarak, blok pupil post
operasi katarak).
5. Akibat pemakaian kortikosteroid sistemik atau topikal dalam jangka
waktu yang lama.6
e. Glaukoma absolut
Glaukoma absolut merupakan stadium akhir glaukoma (sempit/terbuka)
dimana sudah terjadi kebutaan total akibat tekanan bola mata memberikan
gangguan fungsi lanjut. Pada glaukoma absolute terlihat kornea keruh, bilik
mata dangkal, papil atrofi dengan ekskavasi glaukomatosa, mata keras
seperti batu dengan rasa sakit.6

Gambar 2.3. Klasifikasi Glaukoma

3.2.6 Penatalaksanaan
a. Beta blockers
Farmakodinamik : Menurunkan produksi humor aqueous
Reduksi TIO: 20-25%
Efek Samping : Toksisitas kornea, reaksi alergi, bronkospasme,
bradikardi, depresi, impotensi
Kontraindikasi : PPOK (nonselektif), asma (nonselektif), gagal
jantung kongestif, bradikardia, hipotensi, blok jantung lebih dari
derajat I
Contoh Obat :
 Timolol larutan 0,25% dan 0,5%; gel 0,25% dan 0,5%; 1-
2x/hari,
 12-24 jam
 Betaksolol larutan 0,5%; suspensi 0,25%; 2x/hari, 12-18 jam
 Levobunolol larutan 0,25% dan 0,5%; 1-2x/hari, 12-24 jam
 Metipranolol 0,3%
b. Karbonik anhydrase inhibitor
Farmakodinamik : Menurunkan produksi humor aqueous
Reduksi TIO : 15-20%
Efek Samping :
 Topikal : sensasi rasa metalik, dermatitis atau konjungtivitis
alergi, edema kornea
 Oral : Sindrom Steven-Johnson, malaise, anoreksia, depresi,
ketidakseimbangan elektrolit serum, batu ginjal, diskrasia
darah (anemia aplastic, trombositopenia), rasa metalik
Kontraindikasi : Alergi sulfonamide, batu ginjal, anemia aplastic,
trombositopenia, penyakit anemia sel sabit
Contoh obat :
Topikal :
 Dorzolamide larutan 2%; 2-3x/hari, 8-12 jam
 Brinzolamide suspensi 1%; 2-3x/hari, 8-12 jam
Sistemik :
 Asetazolamid 250 mg tab; ½-4 tab/hari, 6-12 jam
c. Agonis alfa adrenergic
Farmakodinamik :
 Non-selektif : memperbaiki aliran aqueous
 Selektif : menurunkan produksi aqueous humor, menurunkan
tekanan vena apisklera atau meningkatkan aliran keluar
uveosklera
Reduksi TIO : 20-25%
Efek Samping : Injeksi konjungtiva, reaksi alergi, kelelahan,
somnolen, nyeri kepala
Contoh obat :
 Brimonidine 0,2% 2x/hari, 8-12 jam
 Apraclonidine 1% dan 0,5%; jangka pendek
d. Agen Parasimpatomimetik (Miotika)
Farmakodinamik : meningkatkan aliran keluar trabekula
Reduksi TIO : 20-25%
Efek Samping : Peningkatan myopia, nyeri pada mata atau dahi,
penurunan tajam penglihatan, katarak, dermatitis kontak periokuler,
toksisitas kornea, penutupan sudut paradoksal
Kontraindikasi : Glaukoma neovskular, uveitis, atau keganasan
Contoh obat :
 Pilocarpine larutan 0,5%, 1%, 2%, 3%, 4%, 6%; 2-4x/hari, 4-
12
 jam
 Carbachol larutan 1,5%, 3%; 2-4x/hari, 4-12 jam
e. Analog prostaglandin
Farmakodinamik : meningkatkan aliran keluar uveosklera atau
trabecular
Reduksi TIO : 25-33%
Efek Samping : cystoid macular edema (CME), injeksi konjungtiva,
peningakatan pertumbuhan bulu mata, hiperpigmentasi periokular,
perubahan warna iris, uveitis, kemungkinan aktivasi virus herpes
Kontraindikasi : macular edema, riwayat keratitis herpes
Contoh obat :
 Latanoprost, 0.005%, 1X/hari, 24-36 jam
 Travoprost, 0.004%, 1X/hari, 24-36 jam
 Bimstoprost, 0.03%, 1X/hari, 24-36 jam
 Unoprostone, 0.15%, 1X/hari, 12-18 jam
f. Obat lainnya :
 Dipivefrine, larutan 0,1%, 2/hari, 12-18 jam; adrenergic;
meningkatkan keluarnya aquos humor melalui saluran
uveosklera
g. Gabungan tetap
 Timolol/dorzolamide, 0,5%/2%, 2/hari, 12 jam
 Timolol/latanoprost, 0,5%/0.005%, 1X/hari, 24 jam
h. Neuroprotektor
Obat neuroprotektif dimasukkan kedalam kelompok berikut :
 Anti radikal bebas
 Obat anti eksitotoksik
 Anti apoptosis
 Obat anti radang
 Faktor neurotrofik
 Metal ion chelators
 Ion channel modulators
 Terapi gen

2. Terapi Bedah
Indikasi terapi bedah :
 TIO tidak dapat dipertahankan dibawah 22 mmHg
 Lapang pandang terus mengecil
 Pasien yang tidak dapat dipercaya pengobatannya
 Tidak mampu membeli obat seumur hidup
 Tidak tersedia obat yang diperlukan
Prinsip operasi : fistulasi, mebuat jalan baru untuk mengeluarkan
humor aqueous, kaena jalan yang normal tidak dapat digunakan lagi
a. Trabekulopati Laser (LTP)
Penggunaan laser (biasanya argon) untuk menimbulkan luka
bakar pada trabecular meshwork dan kanal Schlemm sehingga
mempermudah aliran keluar humor aqueous. Rediksi tekanan yang
terjadi membuat berkurangnya terapi obat-obatan serta penundaan
operasi glaukoma. Teknik ini biasanya digunakan sebagai terapi awal
glaukoma sudut terbuka primer.
Indikasi :
 Glaukoma sudut terbuka dengan TIO yang masih belum
 terkontrol setelah pemberian terapi medikamentosa yang
 maksimal
 Terapi primer pada pasien dengan kepatuhan terhadap
 pengobatan medikamentosa rendah
 Untuk glaukoma sudut terbuka bersamaan dengan
dilakukannya
 bedah drainase dimana diperlukan penurunan TIO lebih lanjut.
 Sebelum ekstrasi katarak pada pasien glaukoma sudut terbuka
 dengan control yang buruk
Kontraindikasi :
 Sudut tertutup atau sangat sempit
 Edema kornea yang menutupi pandangan sehingga sudut tidak
 dapat dinilai
 Glaukoma lanjut dan progresif cepat dengan kepatuhan
 medikamentosa rendah
 Inflamasi intraocular atau terdapat darah pada bilik mata
anterior
 Usia kurang dari 25 tahun
b. Iridektomi dan Iridotomi perifer
Sumbatan pupil pada glaukoma sudut tertutup dapat
ditatalaksana dengan membentuk komunikasi langsung antara kamera
okuli anterior dan posterior yang menghilangkan perbedaan tekanan
di antara keduanya. Hal ini dapat dicapai dengan laser neodinium :
YAG atau argon (iridotomi perifer) atau dengan tindakan iridektomi
perifer. Cincin laser membakar iris perifer sehingga
mengkontraksikan stroma it is, membuka kamera okuli anterior secara
mekanis.
Indikasi :
 Glaukoma sudut tertutup
 Mata yang lain dimana mata yang satu telah terserang
glaukoma akut
 Sudut sempit
 Penutupan sudut sekunder dengan sumbatan pupil
 Glaukoma sudut terbuka dengan sudut sempit
Kontraindikasi :
 Edema kornea
 Bilik mata depan dangkal

c. Bedah drainase
Tindakan bedah untuk membuat jalan pintas dari mekanisme drainase
normal, sehingga terbentuk akses langsung humor aqueous dari
kamera anterior ke jaringan subkonjungtiva atau orbita dapat dibuat
dengan trabekulotomi atau insersi selang drainase.
Trabekulektomi adalah prosedur yang paling sering dilakukan.
Komplikasi trabekulektomi adalah kegagalan fibrosis pada jaringan
episklera menutup jalur drainase yang baru. Biasanya terjadi pada
pasien berusia muda, berkulit hitam dan pasien yang pernah menjalani
bedah drainase atau tindakan bedah lain yang melibatkan jarngan
episklera. Terapi ajuvan dengan antimetabolite biasanya fluorourasil
dan mitomisin berguna untuk memperkecil risiko ini.
Apabila trabekulektomi tidak efektif, dapat dilakukan penanaman
suatu selang silicon untuk membentuk saluran keluar permanen humor
aqueous.
Jenis operasi lainnya yaitu sklerostomi, goniotomi, viskokanalostomi
untuk menatalaksana glaukoma kongenital dimana terjadi sumbatan
drainase humor aqueous di bagian dalam jaringan trabecular.
d. Siklodestruktif
TIO diturunkan dengan cara merusak epitel sekretorik dari badan
siliar. Kegagalan terapi medis dan bedah dapat menjadi pertimbangan
untuk dilakukannya destruksi korpus siliaris dengan laser atau bedah
untuk mengontrol tekanan intraocular. Metode yang digunakan adalah
: krioterapi, diatermik, utrasonografi frekuensi tinggi, terapi laser
neodinium : YAG termal mode atau laser diode.
Komplikasi pembedahan antara lain:
 Penyempitan bilik anterior pada masa pascaoperasi dini yang beresiko
merusak lensa dan kornea.
 Infeksi intraokular
 Kemungkinan percepatan perkembangan katarak
 Kegagalan mengurangi tekanan intraokular yang adekuat.
Bagan 1. Tatalaksana Glaukoma

Terget Tekaan intraokluler pada psien glaukoma seeag mendapat


pengobatan :
1. Glaukoma dengan kerusakan ringan : 15-17 mmHg
2. Glaukoma dengan kerusakan sedang 12-15 mmHg
3. Glaukoma dengan kerusakan berat : 10-12 mmHg

2.2.7 Komplikasi
Jika pengobatan terlambat akan cepat berlanjut pada tahap akhir glukoma
yaitu gloukoma absolut.8

2.2.8 Prognosis
Diagnosis yang lebih awal dan penanganan dini pada glaukoma dapat
memberikan hasil yang memuaskan.8

2.2 Glaukoma Sekunder


2.3.1 Definisi Glaukoma Sekunder
Galukoma sekunder merupakan keadaan dimana glaukoma yang
terjadi dipredisposisi oleh suatu keadaan kesehatan atauun keadaan
mata yang dapat meningkatkan tekanan bola mata.2

2.3.2 Patofisiologi Glaukoma Sekunder


Patofisiologi peningkatan tekanan intraokular baik disebabkan oleh
mekanisme sudut terbuka atau sudut tertutup pada glaukoma
sekunder, sesuai dengan bentuk kelainan klinis yang menjadi
penyebabnya. Efek peningkatan tekanan intraokuler didalam mata
dipengaruhi oleh perjalanan waktu dan besar peningkatan intraokuler.8
Kerusakan saraf optik berupa penggaungan dan degenerasi papil
saraf optik diduga disebabkan oleh :
1. Gangguan pendarahan pada papil yang menyebabkan degenerasi
berkas serabut saraf pada pupil saraf optik.
2. Tekanan intraokular yang tinggi secara mekanik menekan papil
saraf optik.
3. Ekskavasio papil saraf optik
Mekanisme utama penurunan penglihatan pada glaukoma adalah
atropi sel ganglion difus, yang menyebabkan penipisan lapisan serat
saraf dan inti bagian dalam retina dan berkurangnya akson disaraf
optikus. Diskus optikus menjadi atropik, disertai pembesaran
cekungan optikus, iris dan korpus siliaris juga. 5

2.3.2 Etiologi Glaukoma Sekunder


1. Glaukoma sekunder akibat perubahan lensa
Kelainan ini dapat berupa mekanik yaitu lensanya dan kimiawi yaitu
fokolitik atau fokotoksik. Dislokasi lensa dapat berupa subluksasi ke
depan atau ke belakang. Trauma tumpul lensa dapat mengakibatkan
dislokasi lensa., antara lain. 5,6
a. Glaukoma pada subluksasi ke depan :
Subluksasi lensa ke depan dapat menyebabkan glaukoma karena
terjadinya hambatan pupil sehingga aliran aqueous dari bilik mata
belakang ke bilik mata depansehingga menyebabkan penutupan sudut
bilik mata depan dan mata depan. Subluksasi ini juga dapat
mendorong iris ke depan sehingga menyebabkan penutupan sudut
bilik mata depan dan perlengketan di sudut tersebut yang kedua-
duanya dapat menyebabkan glaucoma.
b. Glaukoma pada subluksasi ke belakang :
Pada subluksasi ke belakang dapat terjadi rangsangan yang menahun
pada badan siliar akibat tarikan-tarikan zonula Zin atau geseran lensa
pada badan siliar.Rangsangan ini menyebabkan produksi aqueous
yang berlebihan yang dapat menimbulkan glaukoma.
c. Glaukoma pada luksasi ke depan :
Pada luksais ke depan lensa terletak langsung dalam bilik mata depan
dan ini menutup jalur keluar aqueous sehingga terjadi glaukoma.
d. Glaukoma pada luksasi ke belakang :
Dalam keadaan ini lensa terletak langsung dalam bilik mata depan dan
ini menutup jalur keluar aqueous sehingga terjadi glaukoma.
Kelainan kimiawi dapat terjadi pada katarak hipermatur dimana protein
lensa dan makrofag menutup sudut bilik mata depan, hal ini disebut
glaukoma fakolitik. Protein lensa yang terlepas dari kapsulnya dapat
menyebabkan iridosiklitis, hai ini disebut glaukoma fakotoksik.
Tatalaksana pada galukoma ini:
a. Dapat diberikan obat-obat anti glaukoma
b. Bila tidak berhasil dapat dilakukan iridektomi perifer
c. Operasi pengeluaran lensa merupakan cara untuk menghilangkan
penyebab utamanya dan hal ini merupakan pengobatan yag paling
berhasil
2. Glaukoma sekunder akibat uveitis anterior
Badan siliaris berfungsi sebagai pembentuk cairan bilik mata (humor
akuos) yang memberi makanan kepada lensa dan kornea. Adanya
peradangan diiris dan badan siliaris, maka timbul hiperemi yang aktif,
pembuluh darah melebar, pembentukan cairan bertambah, sehingga dapat
menyebabkan glaukoma sekunder.
Di sudut KOA, cairan melalui trabekulum masuk ke dalam kanal
Schlemn untuk menuju ke pembuluh darah episklera. Bila keluar
masuknya cairan ini masih seimbang, maka tekanan mata masih dalam
batas-batas normal 15-20 mmHg. Jika banyak sel radang dan fibrin dapat
pula menyumbat sudut KOA, sehingga aliran cairan KOA keluar
terhambat dan menimbulkan glaukoma sekunder.
Elemen-elemen radang mengandung fibrin, yang menempel pada
pupil, dapat juga mengalami jaringan organisasi, sehingga melekatkan
ujung iris pada lensa. Perlekatan ini disebut sinekhia posterior. Bila
seluruh pinggir iris melekat pada lensa, disebut seklusio pupil, sehingga
cairan dari KOP, tidak dapat melalui pupil untuk masuk ke KOA, iris
terdorong kedepan, menyebabkan sudut KOA sempit dan timbullah
glaukoma sekunder. Perlekatan-perlekatan iris pada lensa, menyebabkan
pupil bentuknya tak teratur. Pupil dapat pula diisi oleh sel-sel radang dan
fibrin, yang kemudian mengalami jaringan organisasi dan terbentuklah
oklusi pupil sehingga akan menghambat aliran humor akuos dan dapat
menyebabkan glaukoma sekunder.
Hal-hal tersebut dapat mengakibatkan glaukoma sekunder yang dapat
terjadi pada stadium dini dan juga stadium lanjut. Pada stadium dini
terjadi peradangan uvea anterior, timbul hiperemi yang menimbulkan
bertambahnya produk humor akuos, juga ikut keluarnya sel-sel radang
dengan fibrinnya akibat gangguan permeabilitas dari pembuluh darah dan
menyebabkan meningginya tekanan intraokuler. Pada stadium lanjut
adanya seklusio pupil, oklusi pupil, sinekhia perifer dapat menimbulkan
iris bombe yang menyebabkan sudut iridokornealis sempit dan
menimbulkan gangguan aliran keluar dari humor akuos sehingga tekanan
intraokuler meningkat yang pada akhirnya dapat menyebabkan glaukoma
sekunder.
Glaukoma sekunder akibat uveitis anterior itu sendiri
dikelompokkan menjadi glaukoma sekunder sudut terbuka dan glaukoma
sekunder sudut tertutup.8
a. Glaukoma sekunder sudut terbuka akibat uveitis anterior
Pada tahap awal glaukoma sekunder akibat uveitis anterior,
banyak berhubungan dengan glaukoma sudut terbuka seperti yang
terlihat pada gambar. Hambatan aliran humor akuos berhubungan
dengan menumpuknya sel-sel inflamasi dan serat fibrin ditrabekulum
(T). Pada tahap lanjut, sinekhia perifer (P) dapat muncul dan sudut
iridokornealis akan terbuka kurang dari 50% jika sudut tertutup oleh
sinekhia perifer. Terapi pada glaukoma sudut terbuka ini lebih
banyak dengan medikamentosa.
Pada tahap yang lebih lanjut dari penyakit ini, pada banyak kasus,
dapat terjadi glaukoma sudut tertutup sebagai efek sekunder dari
sinekhia perifer atau efek sekunder blok pupil dari produk hasil
inflamasi dipupil. Ini dapat juga karena pada awalnya terjadi sebagai
serangan berulang ringan dari uveitis yang tidak terdeteksi yang
menyebabkan sinekhia perifer dan menjadi glaukoma sudut tertutup
kronik
Gambar 2. Glaukoma sekunder sudut terbuka akibat uveitis anterior

b. Glukoma sekunder sudut tertutup akibat uveitis anterior


Gambar menunjukkan keadaan sudut tertutup (A) dengan
presentase lebih dari 50%. Pada uveitis tahap lanjut ini glaukoma
sudut tertutup dapat berasal dari sinekhia perifer atau efek sekunder
blok pupil dari produk inflamasi yang ada dipupil (P). Anatomi dari
sudut iridokornealis tidak dapat dilihat dengan jelas pada
pemeriksaan gonioskopi disebabkan adanya sinekhia perifer dari iris
dan adanya iris bombe sehingga iris terdorong kedepan oleh cairan
humor akuos pada kamera okuli posterior sehingga menutupi sudut
iridokornealis tersebut. Jika sudut sudah terbuka maka kita dapat
mengontrol glaukoma sekunder dan uveitis sehingga dapat
menurunkan tekanan intraokular, pengontrolan ini sulit dilakukan
jika kondisi sudah berlangsung dalam jangka waktu yang cukup
lama dan telah ada jaringan fibrotik permanen pada trabekulum,
pada keadaan ini glaukoma sekunder yang terjadi dapat berlangsung
permanen selamanya. Pada kasus yang lain, setelah periode panjang
pada uveitis yang tidak diterapi atau dikontrol, sudut perlahan-lahan
akan tertutup oleh sinekhia perifer, pada keadaan ini, tentu saja
glaukoma juga dapat berlangsung permanen pula.10

Gambar 3. Glaukoma sekunder sudut tertutup akibat uveitis anterior

3. Glaukoma sekunder akibat trauma


Pada cedera mata dapt terjadi pendarahan ke dalam bilik mata depan
(hifema) ataupun hal lain yang menutupi cairan mata keluar sehingga
tekana intraokuler biasanya meningkat karena tersumbatnya aliran
tersebut sehingga terjadi glaukoma sekunder. Glaukoma sekunder juga
dapat terjadi pad atrauma tumpul mata yang merusak sudut (resesi sudut).
Selain itu limbusa atau kornea yang robek juga bisa menyebabakan
glaukoma sekunder.

4. Glaukoma sekunder akibat operasi


Glaukoma sekunder juga sering terjadi pasca pembedahan mata, hal
ini sering disebabkan oleh pertumbuhan epitel di COA setelah insisi
kornea atau sklera sehingga menutup COA yang dapat menimbulkan
glaukoma. Selain itu gagalnya pertumbuhan COA posca operasi karena
adanya kebocoran pada luka operasi juga bisa menimbulkan terjadinya
glaukoma.

5. Glaukoma sekunder akibat tumor intra okuler


Pada retinoblastoma mempunyai gejala mata merah, mata merah ini
sering berhubungan dengan glaukoma sekunder yang terjadi akibat
retinoblastoma. Apabila sudah terjadi glaukoma maka dapat diprediksi
sudah terjadi invasi ke nervus optikus. Selain glaukoma, penyebab mata
merah ini dapat pula akibat gejala inflamasi okuler atau periokuler yang
tampak sebagai selulitis preseptal atau endoftalmitis. Inflamasi ini
disebabkan oleh adanya tumor yang nekrosis. 8
Pada retinoblastoma didapatkan tiga stadium, yaitu : 9
1. Stadium tenang
Pupil lebar, di pupil tampak refleks kuning yang disebut “amaurotic
cat’s eye”. Hal inilah yang menarik perhatian orang tuanya untuk
kemudian berobat. Pada funduskopi, tampak bercak yang berwarna
kuning mengkilat dapat menonjol ke dalam badan kaca. Di
permukaannya ada neovaskularisasi dan perdarahan, dapat disertai
dengan ablation retina.
2. Stadium glaukoma
Tumor menjadi besar, menyebabkan tekanan intraokuler meningkat
(glaukoma sekunder) yang disertai rasa sakit yang sangat. Media
refrakta keruh, pada funduskopi sukar menentukan besarnya tumor.
3. Stadium ekstraokuler
Tumor menjadi lebih besar, bola mata membesar menyebabkan
eksoftalmus kemudian dapat pecah ke depan sampai ke luar dari
rongga orbita disertai nekrosis di atasnya. Pertumbuhan dapat pula
terjadi ke belakang sepanjang N. II dan masuk ke ruang tengkorak.
Penyebaran ke kelenjar getah bening, dapat masuk ke pembuluh darah
untuk kemudian menyebar ke seluruh tubuh.

6. Glaukoma sekunder akibat penggunaan steroid jangka panjang


Penggunaan steroid dalam jangka waktu lama diketahui dapat
meningkatkan terjadinya glaukoma, Oleh karena itu tidak dianjurkan
untuk menggunakan steroid dalam jangka waktu lama pada pengobatan
mata
BAB IV
ANALISA KASUS

Resume Kasus
Pasien datang ke poli mata RSUD Abdul Manap dengan keluhan luas
lapangan pandang mata kiri menyempit sejak 2 tahun yang lalu. Keluhan
dirasakan terus menerus. Pasien mengaku dapat melihat jelas hanya pada titik
tengah pandangannya namun disekitarnya terlihat buram dan semakin ke tepi
semakin gelap. Keluhan ini mulai dirasakan sekitar 5 tahun yang lalu dan dirasa
semakin berat, kemudian pasien memeriksakan diri ke dokter mata dan di
diagnosis dengan glaukoma sekunder, dan pasien sudah pernah menjalai operasi
pemasangan implant mata untuk mengobati keluhan tersebut. Setelah operasi
pasien mengaku pandangannya membaik namun keluhan kemudian keluhannya
muncul kembali. Keluhan yang dirasakan ini tidak membaik dengan penggunaan
kacamata.. mata berair (-), gatal (-), keluar kotoran air mata(-), Riwayat konsumsi
obat-obatan warung (+). Pasien emmiliki riwayat operasi katarak pada maa kiri
tahun 2011 dan mata kanan 2012, serta operasi pemasangan implanr ahmed pada
mata kiri tahun 2016
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan penurunan visus yaitu VOD 6/12 dan
VOS 6/15. Hasil dari pemeriksaan NCT didapatkan TIO OD 13mmHg, dan OS
15mmHg

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan


penunjang maka pasien didiagnosa Pseudofakia ODS dengan Glaukoma Sekunder
OS. Os kemudian diterapi dengan Timolol 0,5% eye drop 2 dd gtt 1 OS,
asetazolamid tab 250 mg 2 dd tab I

Analisis Kasus

Hasil anamnesis yang mendukung glaukoma sekunder pada mata kiri adalah :
 Lapangan pandang mata kiri menyempit
Penurunan fungsi penglihatan dirasakan pasien seteah pasien
menjalani operasi katarak, dimulai sekitar 5 tahun yang lalu. Glaukoma
sekunder juga yang terjadi pasca pembedahan mata, hal ini sering
disebabkan oleh pertumbuhan epitel di COA setelah insisi kornea atau
sklera sehingga menutup COA yang dapat menimbulkan glaukoma. Selain
itu gagalnya pertumbuhan COA posca operasi karena adanya kebocoran
pada luka operasi juga bisa menimbulkan terjadinya glaukoma. Pada
anamnesis tidak ditemukan adanya penyebab lain dari glaukoma misalnya
adanya riwayat penyakit sistemik, trauma, tumor, maupun pemakaian
kortikosteroid jangka panjang.
Penatalaksanaan
Medikamentosa
Glaukoma primer terutama jika sudah kronis dengan penyempitan lapang
pandang dan peningkatan TIO yang signifikan harus diberikan terapi untuk
menurunkan tekanan bola mata serta mencegah kebutaan maupun
mempertahankan fungsi penglihataan yang masih baik.
Obat-obatan biasanya diberikan satu persatu atau kalau perlu dapat
dikombinasi. Kalau tidak berhasil, dapat dinaikkan frekuensi penetesannya atau
persentase obatnya, ditambah dengan obat tetes yang lain atau tablet.Monitoring
semacam inilah yang mengharuskan penderita glaukoma sudut terbuka selalu
dikelola oleh dokter dan perlu pemeriksaan yang teratur.
Pada kasus ini, pasien diberikan obat topikal tetes mata Timolol 0.5% 2x1
tetes (OS) sedangkan untuk pengobatan sistemik diberikan asetazolamid tablet
3x250 mg.
Asetazolamid adalah yang paling banyak digunakan, tetapi terdapat
alternatif yaitu diklorfenamid dan metazolamid digunakan untuk glaukoma kronik
apabila terapi topical tidak memberi hasil memuaskan dan pada glaukoma akut
dimana tekanan intraocular sangat tinggi perlu segera dikontrol. Obat ini dapat
diberikan dengan dosis 125-250 mg sampai 3x sehari peroral atau 500 mg sekali.
Pemberian obat ini memberikan efek samping hilangnya kalium tubuh, parastesi,
anoreksia, diarea, hipokalemia, batu ginjal dan miopia sementara. Untuk
mencegah efek samping tersebut, pada pasien ini diberikan pemberian KCL tablet.
Timolol merupakan beta bloker non selektif dengan aktivitas dan
konsentrasi tertinggi pada camera occuli posterior (COP) yang dicapai dalam
waktu 30-60 menit setelah pemberian topikal. Beta bloker dapat menurunkan
tekanan intraokular dengan cara mengurangi produksi humor aquos. Penggunan
beta bloker non selektif sebagai inisiasi terapi dapat diberikan 2 kali dengan
interval setiap 20 menit dan dapat diulang dalam 4, 8, dan 12 jam kemudian.
Pemberian Timolol 0.5% 2x1 tetes (OS) sudah tepat. Timolol termasuk beta
bloker non selektif sehingga perlu diperhatikan pemberiannya pada pasien dengan
asma, PPOK, dan penyakit jantung. Polynel tetes mata steril ini mengandung
Fluoromethasone 1 mgdan Neomycin Sulfate diberi untuk mengurangi reaksi
peradangan yang terjadi akibat proses akut.
BAB V
KESIMPULAN

Glaukoma adalah suatu neuropati optik kronik didapat yang ditandai oleh
pencekungan (cupping) diskus optikus, pengecilan lapangan pandang disertai
peningkatan tekanan intraokuler. Galukoma sekunder merupakan keadaan dimana
glaukoma yang terjadi dipredisposisi oleh suatu keadaan kesehatan atauun
keadaan mata yang dapat meningkatkan tekanan bola mata. Mekanisme utama
penurunan penglihatan pada glaukoma adalah atropi sel ganglion difus, yang
menyebabkan penipisan lapisan serat saraf dan inti bagian dalam retina dan
berkurangnya akson disaraf optikus. Diskus optikus menjadi atropik, disertai
pembesaran cekungan optikus, iris dan korpus siliaris juga. Etiologi Glaukoma
sekunder terbagi menjadi glaukoma sekuner akibat perubahan lensa, akibatuveitis
anterior, akibat trauma, akibat pembedahan, akibat adanya tumor, dan akibat dari
penggunaan steroid jangka panjang Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan oftalmologi. Tatalaksana meliputi non-bedah dan bedah. Apabila
proses penyakit terdeteksi dini sebagian besar pasien glaukoma dapat ditangani
dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementrian Kesehatan RI. Infodatin; Pusat Data dan Informasi Kementrian


Kesehatan RI; Situasi dan Analisis Glaukoma. Jakarta. 2015. Diakses dari
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin-
glaukoma.pdf

2. International Glaucoma Association. Secondary Glaucomas. Ashford. 2014.


Diakses dari :https://www.glaucoma-
association.com/media/wysiwyg/Leaflet_PDF_Files/Secondary_Glaucoma.pd
f

3. Riordan-Eva P. Anatomi & Embriologi Mata. Dalam: Vaughan, Asbury.


Oftalmologi Umum Edisi 17. Jakarta: EGC. 2010

4. Friedman, NJ. Review of Ophthalmology : Glaucoma. 3rd Edition.


Philadelphia. Elsevier Saunders. 2017. 261-81

5. Ilyas, S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 5. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. 2015.
222-29

6. Ilyas, S. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta. Balai Penerbit FKUI.
2008.

7. Kanski, JJ. Clinical Ophthalmology : A Systematic Approach. 8th Edition.


USA. McGraw-Hill. 2016 306-19.

8. James,Bruce dkk.. Lecture Notes : Oftalmolog Ed 9. Jakarta : Erlangga. 2006.


95-109

Anda mungkin juga menyukai