Anda di halaman 1dari 30

CASE REPORT SESSION (CRS)

* Kepaniteraan Klinik Senior / G1A221018/ September 2022


** Pembimbing / dr. Kuswaya Waslan, Sp.M

ABRASI KORNEA OD + HIPOPION OD

Oleh :

Triyan Ihza Mahendra


G1A221018

Pembimbing :
dr. Kuswaya Waslan, Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN MATA


RSUD RADEN MATTAHER JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2022
HALAMAN PENGESAHAN
CASE REPORT SESSION (CRS)

ABRASI KORNEA OD + HIPOPION OD

Oleh :
Triyan Ihza Mahendra
G1A221018

Sebagai Salah Satu Tugas Kepaniteraan Klinik Senior


Bagian Mata RSUD Raden Mattaher Jambi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Jambi

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan pada :


Jambi, September 2022

Pembimbing

dr. Kuswaya Waslan, Sp.M

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
tugas CRS yang berjudul “ABRASI KORNEA OD + HIPOPION OD” sebagai
kelengkapan persyaratan dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior Bagian
Mata di Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Jambi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Kuswaya Waslan, Sp.M yang
telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya serta memberikan arahan dalam
membimbing penulis selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Mata
di Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Jambi.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat
diharapkan guna kesempurnaan tugas referat ini, sehingga dapat bermanfaat bagi
penulis dan para pembaca.

Jambi, September 2022

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN................................................................ ii
KATA PENGANTAR..................................................................... iii
DAFTAR ISI....................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................... 5
BAB II LAPORAN KASUS........................................................... 6
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ....................................................... 13
BAB IV ANALISA KASUS................................................................. 36
BAB V KESIMPULAN....................................................................... 38
DAFTAR PUSTAKA........................................................................... 39

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Kornea adalah selaput bening mata, tembus cahaya, dan merupakan lapisan

yang menutupi bola mata bagian depan. Kornea berfungsi sebagai membran

pelindung dan “jendela” yang dilalui berkas cahaya menuju retina. Sifat tembus

cahayanya disebabkan strukturnya yang uniform, avaskuler dan deturgenses.

Deturgenses, atau keadaan dehidrasi relatif jaringan kornea, dipertahankan oleh

“pompa” bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel.

Endotel lebih penting daripada epitel dalam mekanisme dehidrasi dan cedera

kimiawi atau fisik pada endotel jauh lebih berat daripada cedera pada epitel.

Kerusakan sel-sel endotel menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat

transparan. Sebaliknya, cedera pada epitel hanya menyebabkan edema lokal sesaat

stroma kornea yang akan menghilang bila sel-sel epitel telah beregenerasi.1

Abrasi kornea merupakan cedera mata yang paling umum dan menjadi
salah satu gangguan pada mata yang paling diabaikan. Kondisi ini dapat terjadi
akibat adanya gangguan pada integritas epitel kornea maupun karena terkikisnya
permukaan kornea sebagai akibat dari tekanan fisik eksternal. Abrasi epitel kornea
dapat kecil atau besar, tergantung pada seberapa besar tekanan yang
mempengaruhi permukaan kornea. Abrasi kornea traumatik ialah jenis abrasi
kornea klasik dimana trauma mekanik pada mata akan menghasilkan defek pada
permukaan epitel kornea.2
Hipopion didefinisikan sebagai kumpulan sel darah putih atau pus pada
bilik anterior mata akibat inflamasi intraokular pada bilik anterior atau iris. Pus
pada hipopion bersifat steril karena merupakan hasil racun dari patogen bukan
karena invasi patogen tersebut karena sifatnyat patogen yang tidak dapat
melewati membran Descemet. 3-6

5
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. R
Umur : 36 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Tanjung Jabung
Pekerjaan : Buruh sawit
Pendidikan :
Status : Menikah
2.2 Anamnesis (Autoanamnesis)
2.2.1 Keluhan Utama
Pasien mengeluh pandangan kabur mendadak pada mata kanan yang
semakin memberat sejak ± 1 hari SMRS setelah terkena serpihan sawit
saat bekerja
2.2.2 Riwayat Perjalanan Penyakit
Pasien datang dengan keluhan pandangan kabur mendadak pada mata
kanan yang memberat sejak sejak ± 1 hari SMRS setelah terkena serpihan
sawit saat bekerja. ± 1 hari SMRS, pasien sedang bekerja di kebun sawit.
Pasien mengatakan ketika sedang bekerja, tidak sengaja terkena serpihan
sawit dan masuk ke mata kanannya. Sejak saat itu, pasien mengeluhkan
matanya berair, merah dan sulit untuk membuka mata karena terasa seperti
ada benda asing. Pasien mengatakan, sudah mencoba mengompres mata
kanannya dengan air hangat namun tidak ada perbaikan dan pandangannya
tetap kabur. Keluhan lain mata merah (+), nyeri (+), sensasi seperti melihat
pelangi (-), adanya bintik hitam di depan mata (-), nyeri kepala (-), belekan
(-), penglihatan ganda (-), melihat kilatan cahaya (-).

2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu

6
 Riwayat trauma (+)
 Sering terpapar sinar matahari dan debu (-)
 Riwayat Penyakit Sistemik :
 Riwayat Hipertensi (-)
 Riwayat penyakit Diabetes Mellitus (-)
 Riwayat penyakit jantung koroner (-)
 Riwayat penggunaan kacamata (-)
 Riwayat alergi(-)

2.2.4 Riwayat Penyakit dalam Keluarga


- Keluarga tidak ada keluhan serupa
2.2.5 Riwayat Gizi
Pasien dengan berat badan 60 kg, tinggi badan 167 cm
IMT = 21,5 (normo).
2.2.6 Keadaan Sosial Ekonomi
Pasien merupakan seorang buruh sawit. Pasien tinggal bersama istri.
Pasien merupakan keluarga menengah.
2.2.7 Penyakit Sistemik
Trac. Respiratorius : Tidak ada keluhan
Trac. Digestivus : Tidak ada keluhan
Kardiovaskuler : Tidak ada keluhan
Endokrin : Tidak ada keluhan
Neurologi : Tidak ada keluhan
THT : Tidak ada keluhan
Kulit : Tidak ada keluhan

2.3 PEMERIKSAAN FISIK


2.3.1 Status Generalis
Keadaan umum : tampak sakit ringan

7
Kesadaran : Compos mentis
TB / BB : 167 cm/60 kg
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 82 x/menit
Respiratory rate : 22 x/menit
Suhu : 36,6

2.3.2 Status Oftalmologikus (tanggal 18 September 2022)


Pemeriksaan Visus dan Refraksi
OD OS
Visus : sulit dinilai Visus : 6/6
Muscle Balance
Kedudukan bola mata Orthotropia Orthotropia

Pergerakan bola mata

Duksi : baik Duksi : baik


Versi : baik Versi : baik

8
Pemeriksaan Eksternal

OD OS
Palpebra superior Palpebra superior
Edema (-), hiperemis (-), massa (-) Edema (-), hiperemis (-), massa (-)
Palpebra inferior Palpebra inferior
Edema (-), hiperemis (-),massa (-) Edema (-), hiperemis (-),massa (-)
Cilia Cilia
warna hitam dan sebagian warna putih warna hitam dan sebagian warna putih
(+), distribusi merata, Trikiasis (-), (+), distribusi merata, Trikiasis (-),
distikiasis (-) distikiasis (-)
Ap. lacrimalis Ap. lacrimalis
Sumbatan (-) Sumbatan (-)
Conjungtiva tarsus superior Conjungtiva tarsus superior
Hiperemis (-), edem (-) Hiperemis (-), edem (-)
Conjungtiva tarsus inferior Conjungtiva tarsus inferior
Hiperemis (+), edem (-) Hiperemis (-), edem (-)
Conjungtiva bulbi Conjungtiva bulbi
Injeksi silier (+),injeksi kongjungtiva Injeksi silier (-), injeksi kongjungtiva(-),
9
(-) jaringan fibrovaskler (-) jaringan fibrovaskler (-)
Kornea Kornea
Jernih, edema (+) Jernih, edema (-)
COA COA
Jernih, Kesan sedang, hipopion (+) Jernih, Kesan sedang
Pupil Pupil
Bulat, isokor, diameter 3 mm, refleks Bulat, isokor, diameter 3 mm,refleks
pupil direct (+) dan indirect (+) pupil direct (+) dan indirect (+)
Limbus Kornea
Arcus sinilis - -
Bekas jahitan - -
Jaringan fibrovaskuler - -

Iris
Warna Coklat Coklat
Kripta Normal Normal
Prolaps - -
sinekia anterior - -
Iris Tremulans - -
Pupil
Bentuk Bulat Bulat
Isokoria isokor isokor
Ukuran 3 mm 3 mm

Lensa
Kejernihan Jernih Jernih
Tekanan Intra Okuler
Tonometer digital Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Tonometer non kontak Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Visual Field + +
+ +
+ +
10
+ +
++++ ++++ ++++ ++++
+ +
+ +
+ +
+ +
Lapang pandang sama Lapang pandang sama
dengan pemeriksa dengan pemeriksa
Funduskopi Tidak dilakukan
Pemeriksaan pada Tidak dilakukan
keadaan midriasis

2.5 Diagnosis Kerja


 ABRASI KORNEA OD + HIPOPION OD

2.6 Diagnosis Banding


 Endoftalmitis OD
 Iritis OD
 Ulkus Kornea OD

2.7 Anjuran
a. Pemeriksaan mata : Funduskopi, Tes Fistel, Tes Fluoresin
b. Pemeriksaan sistemik : tanda vital, pemeriksaan darah (darah rutin, kadar
gula darah).
2.8 Penatalaksanaan
- pengangkatan benda asing pada mata kanan
 Medikametosa
- Cendo Mycetin (Kloramfenikol 1%) 1x OD
- Cendo Tropin 1% (Sulfat Atropin) 1x OD
- Cendo Polydex (Dexamethasone) 1x OD
- Cendo Floxa (Ofloxacin) 1x OD
- Cendo Mycos (kloramfenikol dan hidrokortison) 2x1 OD
11
 Edukasi
- Menjelaskan pada pasien bahwa pandangan mata kanan yang kabur
disebabkan oleh serpihan sawit yang masuk ke matanya
- Diperlukan perawatan luka pada mata kanan pasien agar tidak terjadi
komplikasi.

2.9 Prognosis OD
Quo ad vitam : Bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 ABRASI KORNEA
3.1.1 Definisi2
Trauma tumpul kornea dapat menimbulkan kelainan
kornea mulai dari erosi kornea sampai laserasi kornea. Bilamana
lesi terletak dibagian sentral, lebih-lebih bila mengakibatkan
pengurangan ketajaman penglihatan. Benda asing dan abrasi di
kornea menyebabkan nyeri dan iritasi yang dapat dirasakan
sewaktu mata dan kelopak digerakkan. Pada trauma tumpul mata,
kornea diperiksa untuk mencari apakah terdapat kehilangan
lapisan epitel (abrasi), laserasi dan benda asing. Abrasi kornea
merupakan terkikisnya lapisan kornea (epitel) oleh karena trauma
pada bagian superfisial mata. Abrasi kornea umumnya sembuh
dengan cepat dan harus diterapi dengan salep antibiotik dan
pelindung mata.
Ada 2 kategori pada abrasi kornea yaitu abrasi superfisial,
hanya sebatas lapisan epitel saja dan arbrasi profunda, abrasi
yang terjadi hingga pada membran descemen tanpa disertai ruptur
12
pada membran tersebut. Abrasi dapat diakibatkan oleh karena
benda asing, lensa kontak, pengusap pipi untuk make-up, ranting
kayu dan tertusuknya mata oleh jari.
Abrasi kornea atau jejas kornea adalah kondisi medis
yang melibatkan ilangnya lapisan permukaan epitel kornea mata.
Abrasi kornea merupakan luka umum yang mengakibatkan
rusaknya epitel permukaan kornea. Hal ini disebabkan oleh mata
kering,lensa kontak,debu atau kotoran. Penanganan yang
diberikan adalah mencakup pencucian mata dengan saline steril
dan mengangkat lensa kontak hingga kornea sembuh. Abrasi
kornea sangat menyakitkan, namun kornea biasanya sembuh
tanpa scarring. apabila dalam 24 jam yang menjadi penyebab
harus sudah diambil. Photophobia dan air mata yang terus keluar
adalah gejala umum, sebuah patch mata bias digunakan untuk
mengistirahatkan kornea.
Abrasi adalah defek pada lapisan epitel dapat disebabkan
oleh trauma benda asing,lensa kontak yang dipakai dalam jangka
waktu lama, defek lapisan air mata, kesulitan menutup kelopak
mata atau melapisi kelopak mata atau bulu mata. Abrasi kornea
dan benda asing akan didiskusikan lebih dalam dibagian trauma
okuler.Abrasi kornea kambuhan yang diakibatkan oleh kebiasan
menggosok mata dapat ditangani dengan larutan pelumas, (lensa
kontak yang dapat diberi bebas dipakai untuk melindungi kornea
dari iritasi yang disebabkan oleh kelopak mata).
3.1.2 ETIOLOGI7
Abrasio kornea umumnya akibat dari trauma pada
permukaan mata. Penyebab umum termasuk menusukkan jari ke
mata, berjalan ke sebuah cabang pohon, mendapatkan pasir di
mata dan kemudian menggosok mata atau dipukul dengan
sepotong logam proyektil. Sebuah benda asing di mata juga dapat
menyebabkan goresan jika mata digosok. Selain itu, jika kornea

13
menjadi sangat kering, mungkin menjadi lebih rapuh dan mudah
rusak oleh gerakan di seluruh permukaan.Cedera (trauma) adalah
penyebab paling umum untuk abrasio kornea.
Penyebab trauma yang paling umum adalah:
o Goresan dari kuku (manusia dan hewan).
o Memukul benda asing kornea (misalnya, kotoran, serpihan
kayu, serutan logam, tanaman,cabang pohon,dll)
o Berlebihan menggosok mata.
o Lebih dari pemakaian lensa kontak.
o Kuas Makeup.
o Kimia luka bakar.
o Bulu mata teratur menggosok kornea atau jatuh ke dalam
mata.
o Sebuah benda asing yang tertangkap di bawah kelopak
mata, yang kemudian mengganggu kornea setiap kali Anda
berkedip.

Penyebab lainnya adalah kondisi mata yang mendasari,


seperti:
o Ketidakmampuan untuk sepenuhnya menutup kelopak
mata.
o Kelainan posisi tutup.
o Parah kondisi mata kering.
o Parah blepharitis, kronis (kelopak mata meradang).
3.1.3 PATOFISIOLOGI7
Abrasi kornea terbagi menjadi dua yaitu abrasi kornea
superficial (abrasi yang tidak melibatkan membrane Bowman)
dan abrasi kornea profunda (abrasi yang menembus membran
Bowman). Abrasi kornea disebabkan karena terjadinya trauma
pada permukaan mata. Kornea memiliki sifat penyembuhan yang
luar biasa. Lesi yang mengenai epitel sering sembuh dengan cepat
14
dan sempurna tanpa jaringan parut. Sedangkan lesi yang
mengenai sampai ke membrane Bowman lebih cenderung
meninggalkan bekas luka permanen.
Proses penyembuhan epitel dimulai ketika sel-sel epitel
basal mengalami mitosis, memproduksi sel-sel baru yang
menempati luka. Setiap gangguan produksi sel basal akan
membuat mata lebih rentan terhadap erosi berulang.
3.1.4 DIAGNOSIS2
Diagnosis abrasi kornea ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan oftalmologi dan pemeriksaan penunjang, sebagai
berikut:
1. Anamnesis

Pada anamnesis yang didapatkan adanya riwayat trauma tumpul dengan


gejala-gejala seperti rasa nyeri pada mata, fotopobia, rasa mengganjal,
blefarospasme, pengeluaran air mata berlebihan dan visus yang menurun.

2. Pemeriksaan oftalmologi

Pada pemeriksaan oftalmologi, langkah pertama adalah inspeksi kornea.


Pemeriksaan permukaan konjungtiva tarsalis palpebral superior serta
inferior pemeriksaan visus untuk menilai apakah terjadi penurunan tajam
penglihatan.

3. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan slit lamp pada area yang sama dengan cahaya biru setelah
mata ditetesi fluorescein dilakukan untuk mengetahui area yang terkena
abrasi (akan berwarna hijau).

3.1.5 PENATALAKSANAAN8
Kornea memiliki kemampuan untuk menyembuhkan diri
sendiri, dimana pengobatan yang diberikan bertujuan untuk
mencegah komplikasi lebih lanjut. Abrasi kornea merupakan
15
suatu defek yang terasa nyeri tetapi penyembuhannya cepat,
terbatas pada epitel permukaan kornea, meskipun lapisan
Bowman dan stroma superfisial bias juga terkena.
Dalam waktu satu jam setelah trauma, sel epitel
parabasilar mulai membelah dan bermigrasi ke seluruh
denudation area hingga mencapai sel yang bermigrasi lainnya,
kemudian contact inhibition menghentikan migrasi lebih jauh.
Secara terusmenerus sel basal di sekitar bermitosis untuk
menutup defek. Meskipun abrasi kornea yang luas biasanya
ditutup oleh sel epitel yang bermigrasi dalam 24-48 jam, tapi
penyembuhan yang lengkap termasuk restorasi ketebalan epitel
dan reformasi fibril membutuhkan waktu 4-6 minggu.
Sebagai langkah awal, diberikan pengobatan yang bersifat
siklopegik untuk mengurangi nyeri dan meningkatkan
kenyamanan seperti Atropine 1% pada kasus yang berat,
Hematropine 5% pada kasus sedang dan Cyclopentolate1% untuk
pasien dengan abrasi yang ringan. Anjuran selanjutnya yaitu pada
obat topikal antibiotik yang terdiri dari polytrim, gentamycin dan
tombramycin ataupun obat antibiotik tetes. Selain itu, pasien
dianjurkan untuk istirahat total (bed-rest) diharapkan tidak
adanya pergerakkan pasien secara aktif. Apabila pasien merasa
nyeri, diberikan pengobatan topikal nonsteroid anti inflamasi
(Voltaren, Acular atau Ocufen).
3.1.6 KOMPLIKASI7
Apabila penyembuhan epitel tidak terjadi secara baik kerusakan
dapat terjadi hingga pada daerah membrane descemen. Dengan
keadaan seperti itu, maka akan terjadi pelepasan pada lapisan
kornea hingga terjadi Recurrent corneal erosion (RCE) dalam
beberapa bulan atau hingga beberapa tahun.
3.1.7 PROGNOSIS7
Pada pengobatan topical umumnya dengan prognosis yang baik.

16
Penyembuhan pada lapisan kornea ini dapat terjadi dalam
beberapa hari (dengan kecepatan 1 sampai 2 mm per hari) dan
tidak menyebabkan kerusakan penglihatan secara permanen.

3.2 HIPOPION
3.2.1 DEFINISI3-6
Hipopion didefinisikan sebagai kumpulan sel darah putih
atau pus pada bilik anterior mata akibat inflamasi intraokular
pada bilik anterior atau iris. Pus pada hipopion bersifat steril
karena merupakan hasil racun dari patogen bukan karena invasi
patogen tersebut karena sifatnyat patogen yang tidak dapat
melewati membran Descemet. Pus pada ulser akibat jamur
umunya mengandung hifa. Pus pada hipopion bersifat lebih pekat
dibanding aqueous humor sehingga akan posisinya akan berada di
bagian terbawah bilik anterior mengikuti gaya gravitasi dan
memberikan tampilan fluid level di belakang kornea.
Pseudo-hipopion adalah kondisi ketika ada endapan putih
selain pus pada bilik anterior. Pseudo-hipopion dapat disebabkan
oleh sel-sel ganas, kumpulan injeksi steroid pada bilik anterior,
ghost cell pada glaukoma, atau minyak silikon. Minyak silikon
bersifat lebih ringan dibanding aqueous humor sehingga minyak

17
silikon akan pindah ke sisi yang lebih tinggi disebut inverse-
hypopyon.5
Gambar 2. Hipopion Gambar 3. Ulkus kornea

Hipopion umumnya terjadi pada kondisi ulkus kornea, uveitis,


ulkus kornea, Behcet’s disease, Sarcoidosis, atau positif Human
Leucocyte Antigen B27 (HLA-B27). Ulkus kornea merupakan
manifestasi dari keratitits infektif dimana patogen menyebabkan
nekrosis dan pembentukkan pus pada jaringan kornea. Uveitis,
berdasarkan lokasinya, dapat terbagi menjadi uveitis anterior,
uveitis intermediet, uveitis posterior, dan panuveitis. Uveitis
anterior mencangkup bilik anterior, iris, dan korpus siliaris, uveitis
intermediet mencangkup vitreous dan retina bagian perifer, uveitis
posterior mencangkup retina dan koroid, sedangkan panuveitis
merupakan gabungan dari uveitis anterior dan posterior.9,10
3.2.2 INSIDENSI4
Berdasarkan sebuah studi tahun 2015, prevalensi dari Behcet’s disease per
100.000 populasi di beberapa negara Asia adalah 13,5 di Jepang, 20 di Suadi
Arabia, 17 di Irak, 80 di Iran, dan 421 di Turki. Berbeda dengan negeara di Eropa
dimana prevalensi per 100.000 populasi hanya 4,9 di Sweden dan 2,26 di Jerman.
Hal ini dikarenakan epidemiologi dari Behcet’s disease mengikuti geografi dari
jalur perdagangan Silk Road dari Jepang ke Timur tengah. [11] Sedangkan
prevalensi sarkoidosis berdasarkan sebuah penelitian di Jepang hanyalah 1,01 per
100.000 populasi. Berdasarkan studi di Amerika, ditemukan sebanyak 124 pasien
dengan HLA-B27 positif dari 2.320 populasi dimana dari 1.021 populasi ras non
hispanic white terdapat 79 kasus HLA-B27 positif.[13] Di sisi lain, setiap tahunnya
terdapat dekitar 15 juta kasus ulkus kornea di negara berkembang. Prevalensi
ulkus kornea di Amerika sendiri adalah 27,6 kasus per 100.000 populasi.
Berdasarkan sebuah studi cohort pada 5000 pasien dengan uveitis, sebanyak
0,83% dari kasus uveitis juga mengalami hipopion.
Lebih dari 20% pasien dengan sarcoidosis mengalami manifestasi pada
18
mata dan sekitar 4 – 13% kasus uveitis terjadi karena sarcoidosis. [10] Kasus uveitis
yang paling sering menyebabkan hipopion adalah kasus uveitis anterior. Faktor
risiko yang paling sering menyebabkan hipopion adalah Behcet’s disease disusul
dengan sarcoidosis dan HLA-B27.

3.2.3 PATOFISIOLOGI
Perkembangan hipopion dipengaruhi oleh faktor virulensi dari patogen dan
kemampuan resistensi dari jaringan yang bersangkutan. Patogen yang sering
menyebabkan hipopion adalah Staphylococci spp, grup A Streptococcus,
gonococci, pneumococci, dan Pseudomonas pyocyanea.11
Trauma, mata kering, pemakaian steroid yang lama, entropion dengan
trichiasis, pemaikaian lensa kontak, atau lagophthalmos dapat menunrunkan
resistensi dari laipsan kornea. Menurunnya resistensi lapisan kornea atau abrasi
akan memudahkan penyebaran patogen dan mengakibatkan ulserasi pada lapisan
kornea. Ulkus kornea ditandai dengan adanya diskontinuitas dari lapisan epitel
kornea dan nekrosis yang terjadi secara lokal. Ulkus tersebut berbentuk seperti
cekungan dengan pinggir menonjol karena penyerapan cairan oleh lapisan kornea
dan dikelilingi kumpulan leukosit. Racun dari bakteri akan berdifusi menembus
kornea ke bilik anterior. Racun tersebut akan mengiritasi pembuluh darah iris dan
korpus siliaris sehingga terjadi keratouveitis dimana iris akan menjadi hiperemis
dengan injeksi siliar. Iritasi yang berlanjut akan menyebabkan sel leukosit masuk
ke dalam aqueous humor dari pembuluh darah dan berkumpul di bagian terbawah
bilik anterior menjadi hipopion.9

3.2.4 DIAGNOSIS
Keluhan gejala dan hasil pemeriksaan fisik pada pasien dengan hipopion
dapat berbeda-beda sesuai dengan penyakit mata yang mendasarinya. Pasien
dengan ulkus kornea akan mengeluhkan nyeri, lakrimasi, fotofobia, dan tajam
penglihatan yang menurun. Salah satu teori terjadinya fotofobia adalah melalui
jaras aferen nervus trigeminus. Cabang pertama nervus trigeminus, nervus
ophthalmikus, mentransmisi stimulus nyeri dari konjungtiva, kornea, sklera, dan
19
uvea. Iritasi lokal pada mata seperti iritis dan uveitis akan menghipersensitisasi

nervus trigeminus yang mendukung terjadinya fotofobia. Perjalanan sirkuit proses


fotofobia dimulai dari impuls ganglion sel pada retina yang yang terkena cahaya.
Impuls tersebut kan diterukan menuju olivary pretectal nucleus yang akan
diteruskan mengaktivasi superior salivatory nucleus (SSN). Dari SSN impuls
akan menyebabkan vasodilatasi okular melalui ganglion pterygopalatine dan
aktivasi dari saraf aferen nervus trigeminus. Saraf aferen tersebut akan
meneruskan impuls menuju trigeminal nucleus caudalis yang akan diterukan lagi
menuju thalamus dan korteks cerebri. Intrinsically photsosensitive retinal
ganglion cells (IPRGCs) juga akan mengirim impuls langsung menuju thalamus
sebagai respon dari cahaya.9,12

Gambar 6. Sirkuit Fotofobia[16]

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan mata merah, kornea yang tidak
jernih dengan kerusakan epitel yang dekelilingi infiltrasi kornea pada pemeriksaan
fluorescein, dasar yang nekrosis, abses kornea, dan penipisan kornea yang dapat
berujung pada prolaps uvea bila ada perforasi. Ulkus kornea yang disebabkan oleh

20
jamur akan memberikan tampilan pinggir yang halus, lesi satelit, dan deposit
kompleks imun yang disebut cincin Wesseley. Pemeriksaan mikrobiologi untuk
mengetahui etiologi patogen dilakukan dengan cara mengerok dasar dan pinggir
dari ulkus untuk diperiksa dengan perwarnaan gram, giemsa, dan KOH.9
Uveitis umumnya terjadi unilateral kecuali pada pasien dengan Behcet’s
disease dimana uveitis terjadi bilateral. Gejala dari uveitis anterior terdiri dari
nyeri tumpul yang hilang timbul, pandangan buram, fotofobia, lakrimasi, floaters,
dan hiperemis. Riwayat kelainan dermatologis, respirasi, rematik, genitalia,
gastrointestinal, atau neurologi juga harus diperdalam karena kondisi-kondisi
tersebut memiliki hubungan erat dengan uveitis anterior. Pupil miosis sebelum
terkena cahaya langsung terjadi karena refleks spasme dari sfingter atau distensi
pembuluh darah iris. Namun, apabila akomodasi pupil lemah maka dapat diduga
iris beradesi dengan permukaan anterior lensa atau yang disebut juga sinekia
posterior. Sinekia posterior dapat menyebabkan corectopia atau tampilan Vossius
ring hasil dari adesi pigmen pada permukaan lensa. Sinekia posterior yang
berkelanjutan berakibat adesi sekeliling iris pada lensa sehingga blok pada pupil
dan penonjolan iris atau yang disebut juga iris bombé. Pemeriksaan bilik anterior

harus dilakukan dengan kaca pembesar dan cahaya yang terang untuk visualisasi
Koeppe’s nodule, Busaca’s nodule, dan persipitat keratik. Persipitat keratik halus
menandakan inflamasi non-granulomatosa. Nodul dan sel tersebut harus
dibedakan dengan yang di dalam vitrous, yang merupakan gejala uveitis
intermediet atau posterior. Pemeriksaan bilik anterior dengan cahaya akan
memberikan tampilan flare akibat dari efek Tyndall pada partikel protein.13,14

21
Gambar 7. Koeppe’s nodule Gambar 8. Busaca’s nodule
International Criteria for Behcet’s disease tahun 2010 terdiri dari lesi pada

mata, lesi pada mulut, lesi pada kulit yang berupa eritema nodosum atau lesi
papulopustular, kelainan vaskular yang terdiri dari thrombosis atau aneurisma,
ulkus genital, kelainan neurologis seperti nyeri kepala atau kenaikan tekanan
intrakranial, dan tes Pathergy positif.15 Sedangkan kriteria untuk mendiagnosis
sarcoidosis dari International Workshop on Ocular Sarcoidosis (IWOS) berupa 7
gejala okular dan beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilihat pada
Gambar berikut.16

Gambar International criteria for the diagnosis of ocular sarcoidosis [15]


Pasien dengan hipopion umunya akan mengeluhkan iritasi, dan gatal pada
mata. Visual acuity pasien umumnya akan menurun dan lapang pandang pasien
akan berkurang. Pada pemeriksaan slit-lamp akan ditemukan lapisan berwarna
putih pada bagian inferior bilik anterrior.11
Pemeriksaan fisik lainnya dilakukan dengan meminta pasien untuk duduk
tegak selama beberapa menit. Cahaya diarahkan ke bagian bawah bilik anterior
bersamaan dengan pasien diminta untuk melihat ke bawah. Beberapa hal yang
harus diperiksa pada hipopion yang pertama adalah banyaknya pus dihitung dalam
milimeter dari batas bawah bilik anterior. Kemudian, tinggi batas pus yang
berubah dengan perubahan posisi dan gerakan kepala. Konsistensi dari pus yang
masih baru bersifat lebih cair dan akan berubah sesuai gerakan kepala. Semakin
lama pus tersebut akan mengendap. Pus karena infeksi jamur terlihat halus dan

22
tidak mudah digerakkan. Pada umumnya pus berwarna putih. Namun, pus akan
berwarna merah bila ada darah, kekuningan pada infeksi jamur, dan kehijauan
pada infeksi pseudomonas.5
Umumnya pus pada hipopion tidak perlu untuk dibersihkan karena akan
diserap dengan sendirinya bila kondisi penyakit terkontrol. Namun, pada kasus
ulser karena jamur yang sulit perlu dilakukan paracentesis untuk mengetahui
adanya invasi jamur pada bilik anterior. Bila diperlukan, bilik anterior dapat
dibersihkan dengan antifungal setelahnya. Pada infeksi yang resisten juga perlu
dilakukan aspirasi untuk mengetahui jenis patogen.11
3.2.5 TATALAKSANA
Penanganan penderita hipopion harus dilakukan dengan segara. Penangan
yang dapat dilakukan adalah drainase dan pemberian antibiotik topikal, antibiotik
parenteral, atau injeksi antibiotik intravitreal. Namun, penanganan hipopion harus
disesuaikan dengan penyakit yang mendasari dan jenis patogennya.15
Prinsip manajemen pada orang dengan Behcet’s disease adalah menangani
gejala sistemik, mencegah kerusakan permanen, dan peningkatan kualitas hidup.
Pengobatan inisial Behcet’s disease berupa pemberian steroid untuk menekan
sistem imun ditambah azathioprine. Pada kasus penyakit refraktorik pilihan
utamanya berupa cyclosporin A, steroid, dan azathioprine. Cyclosporin A tidak
boleh digunakan apabila pasien mengalami gejala neurologis karena sifat
neurotoksisitasnya. Pilihan keduanya berupa interferon α dengan atau tanpa
steroid.[11] Penderita Sarcoidosis dengan uveitis anterior dapat ditangani dengan
pemberian steroid topikal. Bila penyakit belum membaik maka dapat ditambah
dengan injeksi coticosteroid periocular dengan triamcinolone acetonide atau
implan corticosteroid dexamethasone atau fluocinolone acetonide.10
Pilihan lain manajemen dari uveitis non infektif adalah pemberian
imunosupresan antimetabolit seperti methotrexate, calcineurin inhibitor seperti
cyclosporine, atau ankylating agent seperti cyclophosphamide atau chlorambucil.
Pilihan terakhir berupa Tumor necrosis factor alpha seperti infliximab atau
adalimumab.14
Prinsip manajemen dari uveitis anterior adalah pengendalian gejala dan
23
indektifikasi jenis patogen. Mata dengan anterior uveitis akut harus dilindungi
dari cahaya terang dengan menggunakan kacamata hitam ataupun meredupkan
lampu. Pemberian cyclopegic penting untuk relaksasi dari iris dan perbaikan
sinekia posterior. Jenis cyclopegic yang sering digunakan adalah homatropine 5%,
scopolamine 0,25%, dan untuk kondisi yang lebih buruk dapat digunakan atropin.
Pemberian midratik phenylephrine 2,5% atau 10% digunakan bersamaan dengan
cyclopegic untuk memperbaiki sinekia posterior yang sudah bertahan lama.
Corticosteroid topikal diberikan untuk mengurangi nyeri, inflamasi, dan mata
merah. Corticosteroid yang paling sering digunakan adalah prednisolone 1% atau
lotoprednol 0,5%. Corticosteroid umumnya digunakan selama 1 minggu dan
diturunkan dosisnya bila ada perbaikan gejala. Bila gejala kembali maka
corticostreroid diberikan sesuai dosis awalnya. Pemberian corticosteroid jangka
panjang memiliki risiko pembentukkan katarak subskapular posterior dan
peningkatan tekanan intrakranial. Pemberian steroid oral prednisone atau
methylprednisolone dengan dosis 1 mg/kgBB hanya dilakukan pada anterior
uveitis yang memburuk atau menyebar ke posterior.14
Operasi pada kasus anterior uveitis hanya dilakukan bila muncul
komplikasi katarak, glukoma sekunder, atau ablasio retina. Tipe-tipe operasi
termasuk phacoemulsifikasi atau ekstraksi katarak, iridotomi atau iridectomi, dan
vitrectomy.14
Infeksi pada ulkus kornea dikontrol dengan pemberian antimikrobial.
Untuk ulkus kornea akibat bakteri dapat diberikan antibiotik sesuai dengan
Gambar 10. Ulkus kornea karena infeksi jamur ditangani dengan pemberian obat
tetes natamycin, voriconazol, atau amphoterecin B untuk Aspergillus atau
Fusarium dan Nystatin untuk Candida. Obat oral ketoconazole atau voriconazole
diberikan apabila hipopion timbul.9

24
Gambar 10. Atibiotik untuk ulkus kornea

3.2.6 PROGNOSIS
Komplikasi yang mungkin terjadi pada pasien penderita
hipopion adalah endoftalmitis kronik dan hilangnya penglihatan
secara permanen. Namun, berdasarkan data tidak ada perbedaan
dalam perbaikan visus mata, insidensi peningkatan intraokular,
operasi katarak, maupun edema makula pada pasien dengan
uveitis anterior yang mengalami hipopion dan yang tidak. Pasien
yang mengalami hipopion memiliki risiko yang lebih rendah
dalam penurunan visus mata sampai 20/200 atau kurang dibanding
dengan pasien yang tidak pernah mengalami hipopion.3

25
BAB IV

ANALISIS KASUS

Pada kasus ini, Tn. R usia 36 tahun, didiagnosis dengan Abrasi Kornea OD +
Hipopion OD berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan oftalmologis yang
dilakukan.

FAKTA TEORI
Tn. R usia 36 tahun datang ke  Berdasarkan keluhan utama,
poliklinin RSUD Raden Mattaher pasien mengalami trauma pada
dengan keluhan mata buram sejak 1 korneanya yang merupakan
hari SMRS akibat terkena serpihan salah satu etiologi dari abrasi
sawit. kornea. Etiologinya diantara
lainnya adalah goresan dari
kuku (manusia dan hewan),
berlebihan menggosok mata,
pemakaian berlebihan kontak
lensa dan lain sebagainya.

Pasien datang dengan keluhan  Berdasarkan anamnesis


pandangan kabur mendadak pada mata ditemukan bahwa pasien
kanan yang memberat sejak sejak ± 1 sebelumnya terkena serpihan
hari SMRS akibat terkena serpihan sawit yaitu merupakan salah 1
sawit saat bekerja. ± 1 hari SMRS, etiologi dari abrasi kornea.
pasien sedang bekerja di kebun sawit.  Didapatkan juga matanya
Pasien mengatakan ketika sedang berair, merah, sulit membuka
bekerja, tidak sengaja terkena serpihan mata, terasa seperti ada benda
sawit dan masuk ke mata kanannya. asing, pandangan kabur, mata
Sejak saat itu, pasien mengeluhkan merah (+) dan nyeri. Dari
matanya berair, merah dan sulit untuk keluhan tersebut sudah
membuka mata karena terasa seperti mencakup dari keluhan abrasi
kelilipan. Pasien mengatakan, sudah kornea dan hipopion. Gejala

26
mencoba mengompres mata kanannya pada abrasi kornea antara lain
dengan air hangat namun tidak ada adalah nyeri pada mata,
perbaikan dan pandangannya tetap fotofobia, rasa mengganjal,
kabur. Keluhan lain mata merah (+), blefarospasme, pengeluaran air
nyeri (+), sensasi seperti melihat mata berlebihan dan visus
pelangi (-), adanya bintik hitam di menurun.
depan mata (-), nyeri kepala (-),
belekan (-), penglihatan ganda (-),
melihat kilatan cahaya (-).
Pada pasien ini diberikan tatalaksana Pada pasien ini diberikan cendo
cendo mycetin 3.5 g, cendo tropin 1%, mycetin yaitu obat salep mata yang
cendo polydex 0.6 ml, cendo floxa 0.6 berisi kloramfenikol 1% dan
ml dan 3.5 g. polimiksin B Sulfat untuk mengatas
radang pada mata. Cendo tropin 1%
berisi sulfat atropin yang berguna
untuk meredakan nyeri akibat radang.
Cendo polydex berisi dexamethasone,
Polimiksin B dan Neomisin sulfat
yang berguna untuk meredakan radang
akibat infeksi bakteri. Cendo floxa
yang berisi ofloxacin merupakan obat
tetes mata sebagai antibiotik. Cendo
mycos merupakan obat salep mata
yang berisi kloramfenikol dan
hidrokortison sebagai antibiotik
spectrum luas yang bersifat
bakteriostatik.

BAB V

27
KESIMPULAN
Definisi katarak menurut WHO adalah kekeruhan yang terjadi pada
lensa mata, yang menghalangi sinar masuk ke dalam mata. Efek samping
pada pemakaian jangka panjang dari steroid bersifat luas, dimana insiden
tertinggi adalah terjadinya katarak subkapsular posterior.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan oftalmologi yang telah
dilakukan kepada pasien, pasien didiagnosis Abrasi Kornea OD +
Hipopion OD. Diharapkan setelah pemberian obat mata dan perawatan
mata yang baik, penglihatan pasien dapat membaik. Edukasi diberikan
untuk memberikan pemahaman pada pasien mengenai penyakit yang
diderita pasien, penyebab, dan terapi yang diberikan serta kemungkinan
komplikasi yang terjadi jika perawatan matanya tidak baik.

DAFTAR PUSTAKA

28
1. Biswell R, MD. Kornea. Dalam: Eva PR, Witcher JP. Oftalmologi Umum.

Edisi ke-17. Jakarta: EGC; 2009. Hal 125-38.

2. Ilyas HS, Yulianti SR. Ilmu penyakit mata. Edisi 4. Jakarta: Fakultas Kedokteran
UI; 2013. h. 266-7.
3. Zaidi A, Ying G, Daniel E, Gangaputra S, Rosenbaum J, Suhler E et al.
Hypopyon in Patients with Uveitis. Ophthalmology. 2010;117(2):366-372.
4. LeBlond R, Brown D, Suneja M, Szot J. DeGowin's diagnostic
examination. 10th ed. McGraw-Hill Education; 2014.
5. Mukherjee P. Clinical examination in ophthalmology. Elsevier Health
Sciences; 2016.
6. Wright W. Essentials of clinical infectious diseases. New York: Demos
Medical; 2013.

7. Verma A. Corneal abrasion. Medscape: Updated Feb 20 2014. [Online].


http://emedicine.medscape.com/refarticle/1195402-overview.
8. Kumar P, Clark M. Kumar& Clark’s: Clinical Medicine. 8th Edition.
Philadelphia: Elsevier; 2012. p. 1059-60.
9. Parsons J, Sihota R, Tandon R. Parsons' diseases of the eye. 22nd ed.
Elsevier Health Sciences; 2014.
10. Kim Y. Ocular Manifestations of Sarcoidosis: An Ophthalmologist's View.
Hanyang Medical Reviews. 2016;36(3):168.
11. Greenberg M, Hendrickson R, Silverberg M. Atlas emergency medicine.
Philadelphia, Pa.: Lippincott Williams & Wilkins; 2004.
12. Digre K, Brennan K. Shedding Light on Photophobia. Journal of Neuro-
Ophthalmology. 2012;32(1):68-81.
13. Agrawal R, Murthy S, Sangwan V, Biswas J. Current approach in
diagnosis and management of anterior uveitis. Indian Journal of
Ophthalmology. 2010;58(1):11.
14. Hua L, Yudcovitch L. Anterior Uveitis: Teaching Case Reports.
Optometric Education. 2018;36(2):92-102.

29
15. Zeidan M, Saadoun D, Garrido M, Klatzmann D, Six A, Cacoub P.
Behçet’s disease physiopathology: a contemporary review. Autoimmunity
Highlights. 2016;7(1).
16. Baughman R, Lower E, Kaufman A. Ocular Sarcoidosis. Seminars in
Respiratory and Critical Care Medicine. 2010;31(04):452-462.
17.

30

Anda mungkin juga menyukai